Top Banner
PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: RINNY DHITA UTARI NIM. 11140460000008 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M
97

PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

May 08, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG

BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar

Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RINNY DHITA UTARI

NIM. 11140460000008

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG

BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Guna Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rinny Dhita Utari

NIM. 11140460000008

Pembimbing:

Dr. Isnawati Rais, M.A.

NIP. 19571027 198503 2 001

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 3: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Pelaksanaan Gadai Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu

Kecamatan Candung Kabupaten Agam dalam Perspektif Hukum Islam”, yang ditulis

oleh Rinny Dhita Utari, NIM. 11140460000008, telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah pada Jumat, 05 Oktober 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi

Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 05 Oktober 2018

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.

NIP. 19691216 199603 1 001

Panitia Sidang:

Ketua : AM. Hasan Ali, M.A. (………………….)

NIP. 19751201 200501 1 005

Sekretaris : Dr. Abdurrauf, M.A. (………………….)

NIP. 19731215 200501 1 002

Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, M.A. (………………….)

NIP. 19571027 198503 2 001

Penguji I : Hidayatulloh, M.H. (………………….)

NIP. 19870830 201801 1 002

Penguji II : Nurul Handayani, M.Pd. (………………….)

NIP. 19710113 199903 2 001

Page 4: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

l.

LEMBAR PER}TYATAAIT

Denganini saya bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta

Jika di kemudian hari terbukti bahwa ka.ya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lafui, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta-

Jakart4 05 Oktober20lS

aJ.

ffiB=ffRinny DhitaUtari

)

Page 5: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

ABSTRAK

Rinny Dhita Utari. NIM 11140460000008. Pelaksanaan Gadai Sawah Pada

Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam dalam

Perspektif Hukum Islam. Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

(Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M. Isi: x + 65 halaman 20 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan gadai sawah

pada masyarakat Jorong Bingkudu, dan untuk mengetahui bagaimana perspektif

hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai pada masyarakat Jorong

Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan

kualitatif. Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan sekunder. Mengenai

data penelitian penulis memperoleh data dengan metode wawancara, studi

dokumentasi, dan studi kepustakaan. Dan teknik penulisannya berdasarkan pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2017.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jika dilihat dari segi rukun gadai maka

pelaksanaan gadai sawah yang dilakukan masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan

Candung Kabupaten Agam telah sesuai dengan aturan gadai dalam hukum Islam,

tetapi jika dilihat dari segi syarat gadai maka pelaksanaan gadai yang dilakukan di

Jorong Bingkudu terdapat beberapa aspek yang tidak sesuai dengan aturan syarat

gadai dalam hukum Islam, yaitu mengenai syarat barang yang digadaikan (marhun),

syarat utang (marhun bihi), dan syarat pernyataan kesepakatan (shighat ijab qabul),

di mana ketidaksesuaian ini menyebabkan akad gadai yang ada menjadi batal atau

tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat gadai yang berlaku dalam hukum

Islam. Dan dilihat dari segi pemanfaatan barang gadai berupa sawah yang dilakukan

oleh penerima gadai (murtahin), maka pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu

menjadi tidak sah dikarenakan pemanfaatan barang gadai tersebut terjadi atas adanya

utang pinjaman, sehingga hasil dari pemanfaatan sawah tersebut mengandung unsur

riba.

Kata Kunci : Gadai Sawah, Minangkabau, Hukum Islam.

Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, M.A.

Daftar Pustaka : Tahun 1968 s.d. Tahun 2018.

Page 6: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الره بسم للاه الره

Alhamdulillahirabbil ‘alamin segala puji bagi Allah SWT, Tuhan pencipta

alam beserta isinya, yang berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu yang berjudul “Pelaksanaan

Gadai Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten

Agam dalam Perspektif Hukum Islam” untuk memenuhi salah satu syarat

menyelesaikan pendidikan strata satu dengan gelar Sarjana Hukum pada Program

Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan

lancar tanpa arahan, bimbingan, dorongan, serta doa dari berbagai pihak, sehingga

dapat terselesaikan atas izin Allah swt.. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril

maupun materil, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah;

2. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi

Syariah, dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi

Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah;

3. Ibu Dr. Isnawati Rais, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang sudah memberikan

arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Prof. Fathurrahman Djamil, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah memberi saran selama masa perkuliahan dan Bapak Arip Furqon,

S.H., M.A., selaku Asisten Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi

saran terhadap perumusan judul skripsi ini;

Page 7: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

vii

5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah

yang senantiasa memberikan ilmunya selama masa perkuliahan;

6. Para narasumber yang telah bersedia memberikan informasi dan data yang

berkenaan dengan materi skripsi ini;

7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penulisan skripsi ini;

8. Seluruh pihak di luar sana yang selalu bertanya: “kapan skripsimu selesai?”.

Terlambat lulus atau lulus tidak tepat waktu bukan sebuah kejahatan, bukan

sebuah aib. Alangkah kerdilnya jika mengukur kepintaran seseorang hanya dari

siapa yang paling cepat lulus. Bukankah sebaik-baik skripsi adalah skripsi yang

selesai? Baik itu selesai tepat waktu maupun tidak tepat waktu;

9. Terakhir namun paling utama, Papa, Mama, Uni Tia, Dinni yang tak pernah

bosan memberikan dukungan serta doa selama masa perkuliahan hingga

penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Jakarta, 05 Oktober 2018

Penulis

Page 8: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

viii

DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ........................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9

D. Metode Penelitian............................................................................. 10

E. Tinjauan Kajian Terdahulu .............................................................. 12

F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13

BAB II TEORI UMUM TENTANG GADAI DALAM HUKUM ISLAM ......... 15

A. Pengertian Gadai .............................................................................. 15

B. Rukun dan Syarat Gadai................................................................... 18

C. Hukum Gadai dan Dasar Hukum Gadai........................................... 22

D. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai .................................................... 24

E. Pemanfaatan Barang Gadai .............................................................. 25

F. Berakhir dan Selesainya Akad Gadai ............................................... 32

Page 9: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

ix

BAB III PRAKTIK GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG

BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM .. 34

A. Gambaran Umum Wilayah Nagari Candung Koto Laweh Kecamatan

Candung Kabupaten Agam .............................................................. 34

B. Gadai Dalam Adat Minangkabau ..................................................... 39

C. Gadai Sawah di Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten

Agam ................................................................................................ 44

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI

SAWAH DI JORONG BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG

KABUPATEN AGAM .......................................................................... 48

A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Gadai Sawah di Jorong

Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam Berdasarkan

Rukun dan Syarat Gadai................................................................... 48

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemanfaatan Barang Gadai di

Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam

.......................................................................................................... 53

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 59

A. Kesimpulan ...................................................................................... 59

B. Saran ................................................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 66

Page 10: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah KK ................ 37

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ...................................... 38

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama ...................................... 38

Page 11: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi

dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar

dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.1 Secara umum, tugas

kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan

dalam hidup dan kehidupan (al-An’aam: 165) serta tugas pengabdian atau

ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat: 56).2

Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW merupakan sumber tuntunan hidup

bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan fana di dunia ini dalam rangka

menuju kehidupan kekal di akhirat nanti. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

SAW sebagai penuntun memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal.

Artinya, meliputi segenap aspek kehidupan umat manusia dan selalu ideal untuk

masa lalu, kini, dan yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an dan

Sunnah tersebut mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal dapat

dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan di dalam

kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya di dalam bidang

perekonomian umat.3

Untuk bidang kegiatan perekonomian, Islam memberikan aturan hukum

yang dapat dijadikan sebagai pedoman, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an

maupun Sunnah Rasulullah SAW. Hal-hal yang tidak diatur secara jelas dalam

kedua sumber tersebut diperoleh ketentuannya dengan cara ijtihad.4

1 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,

2001), Cet. Kesatu, h.3. 2 Ibid, h.7. 3 Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,

2014), Cet. Kedua, h.1. 4 Ibid, h.5.

Page 12: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

2

Ekonomi meliputi semua aspek kehidupan manusia, sehingga dalam

penerapannya, ekonomi digolongkan ke dalam bidang-bidang tertentu dengan

disesuaikan pada tugas dan fungsinya. Salah satu bidang yang erat hubungannya

dengan tingkah laku manusia dan benda-benda yang ada di sekitarnya adalah

tentang gadai.

Gadai adalah menahan salah satu harta milik penggadai (rahin) sebagai

barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.5

Dengan demikian, pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan

(marhun) untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.6

Para Ulama Fiqh telah sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam Islam berdasarkan

pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:7

.... وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة

Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan

seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang….”

(QS. Al-Baqarah (2): 283)

Menurut hukum Islam, jaminan berfungsi untuk memberi kepercayaan

kepada pihak yang berpiutang dan barang jaminan itu dapat dijual untuk

melunasi sebagian atau seluruh utang, jika yang berutang tidak dapat melunasi

utangnya pada waktu yang telah ditentukan.8

Barang jaminan (marhun) berada ditangan murtahin hanya berfungsi

sebagai jaminan utang dari rahin, namun kenyataan dalam masyarakat barang

jaminan itu sering dimanfaatkan atau hasilnya diambil oleh murtahin. Terdapat

perbedaan pendapat di kalangan Ulama Fiqh terhadap pemanfaatan barang

5 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, h.128. 6 Fadllan, “Gadai Syariah; Perspektif Fikih Muamalah dan Aplikasinya dalam Perbankan”,

Iqtishadia, 1, 1, (Juni, 2014), h.31. 7 Ibid, h.32. 8 Hasneni, “Tradisi Lokal Pagang Gadai Masyarakat Minangkabau Dalam Perspektif Hukum

Islam”, Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, 1, 1, (Januari-Juni, 2015), h.70.

Page 13: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

3

jaminan gadai (marhun). Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak

boleh mengambil manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin

mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik

manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.9 Rasul bersabda:10

فعة وعن علي رضي الله عنه ق ال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل ق رض جر من

ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط(

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra., berkata: Rasulullah saw.

bersabda: Setiap utang yang menarik manfaat/keuntungan adalah riba”.

(HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah)

Dalam pandangan Imam Syafi’i, akad gadai yang mensyaratkan bagi

murtahin untuk mengambil manfaat dari barang gadai tersebut, maka syarat

tersebut tidak sah. Karena menurutnya apabila barang gadai itu dimanfaatkan

maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’ sekalipun

diijinkan dan diridai pemilik barang.11 Sebagian Ulama Hanafiyah membolehkan

secara mutlak apabila rahin memberi izin kepada murtahin untuk memanfaatkan

barang jaminan selama di tangannya, karena dengan ada izin, maka tidak ada

halangan bagi murtahin untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian

Ulama Hanafiyah, dan Ulama Malikiyah berpendapat, sekalipun rahin

mengizinkannya, murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.12

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila barang jaminan itu bukan hewan

atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka

murtahin tidak boleh memanfaatkannya. Apabila barang jaminan dimanfaatkan

9 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Ed. 1 Cet. 9, h.108. 10 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), Cet. 1, h.502. 11 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.195. 12 Ibid, h.193-194.

Page 14: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

4

oleh murtahin, maka hasil pemanfaatan merupakan riba yang dilarang syara’.13

Bahkan, menurut mereka ridha dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam

keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan

dipinjaminya.14

Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan adalah

binatang ternak. Menurut sebagian Ulama Hanafiyah, murtahin boleh

memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. Ulama

Malikiyah, Ulama Syafiiyah, dan sebagian Ulama Hanafiyah berpendirian

bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka

murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak. Ulama

Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu hewan,

maka murtahin berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya,

sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan oleh murtahin.15

Menurut adat Minangkabau, harta dibedakan atas empat bagian: Harta

Pusaka Tinggi, Harta Pusaka Rendah, Harta Pencaharian, dan Harta Surang.16

Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun

temurun dari orang-orang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi siapa yang

pertama memperoleh atau mendapatkan harta tersebut, seperti sawah ladang,

kebun, dan lain-lain.17 Tanah sawah dalam masyarakat hukum adat

Minangkabau merupakan harta kekayaan yang selalu dipertahankan. Bagi

masyarakat adat Minangkabau, tanah harta pusaka tinggi tidak boleh

diperjualbelikan atau digadaikan. Tanah pusaka tinggi ini boleh digadaikan

13 Ibid, h.196. 14 Elimartati, “Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’: Tinjauan Furuq Fiqiyah”, Innovatio,

XI, 2, (Juli-Desember, 2012), h.329-330. 15 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.192. 16 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam

Bonjol, (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2011), h.97. 17 Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan

dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Citra

Umbara, 2007), h.263.

Page 15: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

5

apabila memenuhi salah satu syarat, yaitu mayat tabujua di tangah rumah,

rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, mambangkik batang

tarandam.18 Jika bukan karena salah satu dari 4 (empat) alasan tersebut, tanah

harta pusaka tinggi tidak boleh dijual atau digadaikan. Keempat alasan

menggadai tersebut mulai bertambah sesuai dengan berkembangnya zaman dan

semakin beragamnya kebutuhan yang harus dipenuhi.19

Gadai sawah dalam hukum adat Minangkabau adalah penyerahan tanah

kepada pihak lain dengan menerima sejumlah uang secara kontan, di mana yang

menyerahkan tanah berhak menebus kembali tanah tersebut dengan jalan

mengembalikan uang sejumlah yang diterimanya. Penebusan kembali uang

gadai itu tergantung kehendak si penggadai/pemilik sawah. Ia dapat menebus

gadai itu kapan pun.20 Waktu minimum untuk menebus adalah pada saat sesudah

dua kali panen.21 Apabila penggadai meninggal dunia, hak menebus ini beralih

kepada ahli waris dari pihak penggadai. Selama itu penerima gadai menguasai

sawah tersebut selaku pemegang gadai.22

Sebagian besar masyarakat di Jorong Bingkudu Kecamatan Candung

Kabupaten Agam bekerja sebagai petani, dengan demikian harta yang paling

berharga bagi masyarakat Jorong Bingkudu adalah sawah. Jika dalam keadaan

terdesak dan sawah yang menjadi mata pencaharian utama belum memasuki

masa panen, hal ini mengakibatkan tidak sedikit petani di Jorong Bingkudu

melakukan sebuah kegiatan pinjam meminjam uang dengan meminjamkan

18 Kikky Febriasi, “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam

Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak”, (T.th: Artikel), h.2. 19 Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum

Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), h.313-314. 20 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan

Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1975), h.123. 21 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam

Bonjol, h.115. 22 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan

Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, h.123

Page 16: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

6

sawahnya agar mendapatkan pinjaman sejumlah uang. Kegiatan yang sudah

menjadi tradisi di Jorong Bingkudu itu dinamakan pagang gadai/gadai sawah.23

Pagang gadai/gadai sawah dalam masyarakat Jorong Bingkudu adalah akad

pinjam-meminjam uang, di mana rahin meminjam uang kepada murtahin dan

murtahin dipinjami sawah oleh rahin, yang merupakan alternatif peminjaman

uang dengan cara cepat, mudah, aman, dan hemat sehingga tidak memberatkan

bagi masyarakat yang melakukan pinjaman. Pagang gadai ini hanya dilakukan

antar masyarakat saja, tidak dilaporkan kepada pihak pemerintahan. Pelaksanaan

gadai sawah di Jorong Bingkudu ini dilakukan ketika masyarakat Jorong

Bingkudu membutuhkan pinjaman uang, baik dalam jumlah yang besar maupun

kecil. Dilakukan semata-mata karena kebutuhan yang sangat mendesak dan

memerlukan dana secepatnya.24

Gadai sawah ini dilakukan dengan cara seseorang yang akan meminjam

uang tetapi hanya memiliki sebuah sawah, mendatangi kerabat atau tetangganya

yang bersedia meminjamkan uang. Ketika pemilik uang (murtahin) bersedia

meminjamkan uangnya kepada pemilik sawah (rahin), maka dilakukanlah

sebuah kesepakatan dengan membuat surat, yang dinamakan dengan surat

keterangan pagang gadai. Uang yang dipinjamkan diserahkan langsung oleh

murtahin kepada rahin dalam bentuk uang rupiah emas Amerika atau murtahin

menyerahkan kepada rahin sejumlah uang yang sudah ditakar sesuai dengan

harga uang rupiah emas Amerika pada saat gadai itu dilakukan. Penyerahan

bentuk uang yang akan dipinjam tersebut tergantung pada permintaan rahin,

begitu juga jumlah uang yang akan dipinjamkan tergantung pada permintaan

rahin.25

Pembuatan surat keterangan pagang gadai ini disaksikan oleh para pihak

(penggadai dan penerima gadai), ahli waris perempuan dari pihak penggadai,

23 Masrizal, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 11 Februari 2018. 24 Ibid. 25 Ibid.

Page 17: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

7

para pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang dijaminkan (batas utara,

timur, selatan, dan barat). Surat keterangan pagang gadai ini disimpan hanya

oleh satu pihak, yaitu pihak penerima gadai, dan tidak dilaporkan kepada pihak

pemerintahan jorong, nagari, maupun kecamatan. Surat keterangan tersebut

berisi nama kedua belah pihak (penggadai dan penerima gadai), nama para

pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang dijaminkan, jumlah uang

yang dipinjamkan, dan batas waktu penebusan kembali. Tidak ada batas waktu

penebusan kembali sawah yang dijaminkan, hanya ada batas waktu minimum

pelunasan utang yaitu minimal 3 tahun atau sampai rahin telah memiliki uang

untuk menebus sawahnya kembali, bahkan sampai puluhan tahun, dengan

harapan di kemudian hari nanti sawah itu dapat ditebus, walaupun oleh anak

cucu mereka di kemudian hari.26

Sawah yang menjadi jaminan tersebut berada ditangan murtahin. Selama

berada ditangan murtahin, hak penggarapan, penanaman, dan hasil panen sawah

berada ditangan murtahin tanpa dikurangi dengan utang yang ada. Hasil panen

yang melimpah dari sawah pun menjadi hak murtahin. Terkadang apabila

penebusan sawah belum dilakukan mencapai waktu bertahun-tahun sehingga

hasil keuntungan menggarap itu sudah lebih besar dari nilai uang yang

dipinjamkan.27

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan pelaksanaan gadai sawah

yang dilakukan masyarakat menjadi perbincangan yang menarik untuk dibahas

mengingat terjadi ketidakseragaman antara pelaksanaannya dan hukum Islam.

Oleh karena itu penulis mencoba meneliti dengan judul “Pelaksanaan Gadai

Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten

Agam dalam Perspektif Hukum Islam”.

26 Ibid. 27 Ibid.

Page 18: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

8

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan dari latar belakang diatas yang dapat di identifikasi oleh

penulis, sebagai berikut:

a. Pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu

Kecamatan Candung Kabupaten Agam;

b. Pemanfaatan barang gadai sawah oleh pihak penerima gadai di Jorong

Bingkudu;

c. Pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu dalam perspektif hukum

positif;

d. Pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu dalam perspektif hukum

Islam;

e. Tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaan

gadai sawah yang dilakukan oleh masyarakat Jorong Bingkudu

Kecamatan Candung Kabupaten Agam.

2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan

ketidakjelasan dalam pembahasan masalah, maka Penulis memfokuskan dan

membatasi pembahasan tersebut pada:

a. Pelaksanaan gadai dibatasi pada kegiatan pelaksanaan gadai yang sering

dilakukan oleh masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung

Kabupaten Agam;

b. Materi dibatasi pada perspektif hukum Islam atau hukum-hukum yang

hanya berkaitan dengan pelaksanaan gadai.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

Page 19: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

9

a. Bagaimana pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu

Kecamatan Candung Kabupaten Agam?

b. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai sawah

pada masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten

Agam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan gadai sawah pada

masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam;

b. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam terhadap

pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan

Candung Kabupaten Agam.

2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

Manfaat Teoritis:

a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu

muamalat (hukum ekonomi syariah) di masyarakat dalam masalah

gadai (rahn);

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan

dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

c. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam

rangka mengembangkan pemikiran hukum Islam khususnya dalam ilmu

muamalat (hukum ekonomi syariah).

Manfaat Praktis:

Untuk dijadikan bahan bacaan, bahan pertimbangan, dan

diimplementasikan oleh masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung

Page 20: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

10

Kabupaten Agam, sehingga masyarakat dapat mengetahui, memahami, dan

melaksanakan aturan-aturan gadai dalam hukum Islam.

D. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian

hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh

langsung dari masyarakat.28

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan

kualitatif, merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,

yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan

perilaku nyata.29

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan ada 2 macam, sebagai

berikut:

a. Data Primer

Data primer merupakan data-data yang diperoleh secara langsung

dari masyarakat30, yakni para pihak yang menjadi objek dari penelitian

ini.

28 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cetakan I, h.154. 29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015), Cet. Ketiga,

h.32. 30 Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Cet. Pertama, h.28.

Page 21: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

11

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.31 Data

sekunder merupakan data-data pelengkap, meliputi buku-buku dan

jurnal-jurnal yang menjadi referensi terhadap tema yang dibahas, yaitu

mengenai gadai (rahn).

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:

a. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu alat pengumpulan data yang

dilakukan melalui data tertulis.32 Dokumentasi yang dimaksud penulis

adalah usaha pengumpulan data yang didapat dengan cara

mengumpulkan dokumen-dokumen terkait penelitian yang sedang

dilakukan, seperti buku, arsip, monografi desa, dan lain sebagainya.

b. Wawancara

Wawancara adalah salah satu dari alat pengumpulan data yang

menggali dengan pertanyaan baik dengan menggunakan panduan

(pedoman) wawancara maupun kuesioner (daftar pertanyaan).33 Dalam

penelitian ini, wawancara dilakukan dengan masyarakat Jorong

Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam.

5. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai komponen-

komponennya dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen

31 Ibid. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.21. 33 Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, h.50.

Page 22: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

12

dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaahan

dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.34

Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis

menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan atau

memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data yang telah

terkumpul dan menganalisa semua aspek yang berkaitan dengan masalah

penelitian guna menilai benar tidaknya menurut hukum Islam.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan dalam penulisan ini

adalah buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.35

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, Penulis akan

menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan

kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat

Minangkabau dalam Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian, oleh Aermadepa

dalam Jurnal Konstitusi tahun 2016. Penelitian ini membahas tentang bagaimana

jaminan hak konstitusional dalam pelaksanaan gadai tanah secara adat di

Minangkabau.36

Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat

Minangkabau Di Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah

Berlakunya Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960, oleh Aliasman dalam Tesis S-2

tahun 2005. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan gadai

34 Ibid, h.67. 35 Fakultas Syariah dan Hukum, “Pedoman Penulisan Skripsi”, 2017. 36 Aermadepa, “Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Minangkabau

dalam Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian”, Jurnal Konstitusi, 13, 3 (September, 2016).

Page 23: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

13

tanah di Nagari Campago setelah berlakunya pasal 7 UU No. 56/Prp/1960 dan

faktor apa saja yang bisa menghambat penerapan pasal 7 UU No. 56/Prp/1960.37

Pelaksanaan Gadai Tanah Pusaka di Sumatera Barat (Studi Kasus di

Kanagarian Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan),

oleh Dian Lyonanda Putri dalam JOM Fakultas Hukum tahun 2015. Penelitian

ini membahas tentang pelaksanaan gadai tanah pusaka di Kanagarian Koto

Berapak yang masyarakatnya tidak melaksanakan pengembalian gadai tanah

berdasarkan pasal 7 UU No. 56/Prp/1960.38

Dalam kajian terdahulu di atas, para penulis tidak memfokuskan pada

pelaksanaan gadai tanah di Jorong Bingkudu dalam perspektif hukum Islam,

sebagaimana yang penulis lakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian

khusus yang membahas tentang permasalahan tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Rancangan sistematika penulisan dimaksudkan untuk memberi gambaran

besar mengenai tiap-tiap bab, sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, identifikasi,

pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, tinjauan kajian terdahulu, dan

sistematika penulisan.

BAB II Teori Umum Tentang Gadai Dalam Hukum Islam, membahas

tentang pengertian gadai, rukun dan syarat gadai, hukum gadai

dan dasar hukum gadai, hak dan kewajiban dalam gadai,

pemanfaatan barang gadai, dan berakhir dan selesainya akad

37 Aliasman, “Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di

Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960”,

(Tesis S-2 Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2005). 38 Dian Lyonanda Putri, “Pelaksanaan Gadai Tanah Pusaka di Sumatera Barat (Studi Kasus

di Kanagarian Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan)”, JOM Fakultas

Hukum, II, II (Oktober, 2015).

Page 24: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

14

gadai.

BAB III Praktik Gadai Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu

Kecamatan Candung Kabupaten Agam, membahas mengenai

mekanisme pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu

Kecamatan Candung Kabupaten Agam, dan deskripsi wilayah

penelitian.

BAB IV Tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai sawah pada

masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten

Agam berdasarkan rukun dan syarat gadai, dan tinjauan hukum

Islam terhadap pemanfaatan barang gadai di masyarakat Jorong

Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam.

BAB V Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

Page 25: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

15

BAB II

TEORI UMUM TENTANG GADAI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Gadai

Rahn secara etimologi adalah tetap, kekal, dan jaminan.1 Sebagian ulama

mengartikan rahn dengan penahanan atau pertanggungjawaban sebagaimana

firman Allah swt.:2

كل ن فس بما كسبت رهينة .

Artinya: “Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah

diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatstsir (74): 38)

Sementara itu gadai menurut istilah, para ahli hukum Islam mengartikan

gadai sebagai berikut:

1. Ulama Hanafiyah

ين كلها أ قة بدين بحيث يمكن أخذ الد رع وثي و جعل عين لها قيمة مالية فى نظر الش

ب عضها من تلك العين .3

Ulama Hanafiyah mendefinisikan rahn dengan menjadikan suatu

barang sebagai jaminan terhadap piutang yang mungkin dijadikan

pembayaran piutang itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.4

1 S. Askar, Kamus Arab-Indonesia Al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2010), Cetakan

Kedua, h.275. 2 Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab: Fiqh Ibadah dan Muamalah, (Jakarta: Amzah,

2015), Ed. 1 Cet. 1, h.509. 3 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.252. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.107.

Page 26: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

16

2. Ulama Malikiyah

ل ي ؤخذ من مالكه ، ت وث قا به ، في دين الزم ، أو صار إلى اللزوم .5 بأنه شيئ متمو

Rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminanutang

yang bersifat mengikat.6

3. Ulama Syafi’iyah

ر وفائه .7 ها عند ت عذ قة بدين يست وفى من جعل عين وثي

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan akad rahn adalah menjadikan suatu

barang sebagai jaminan utang, di mana barang itu dapat digunakan untuk

membayar utang tersebut ketika rahin (pihak yang berutang) tidak bisa

membayar utangnya.8

4. Ulama Hanabilah

فاؤه مم ر استي ين ليست وفى من ثمنه إن ت عذ قة بالد ن هو عليه بأنه : المال الذي يجعل وثي

9.

Rahn adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan utang, di mana

ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang

tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan dari harta yang

dijadikan jaminan utang tersebut.10

5 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h.181. 6 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.107. 7 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, h.180. 8 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.107. 9 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, h.180. 10 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.107.

Page 27: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

17

5. Ahmad Azhar Basyir

Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan

utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’

sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang

itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.11

6. Muhammad Syafi’i Antonio

Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah

(rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih)

yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan

demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh

jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian

piutangnya.12

7. Nasrun Haroen

Rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak

(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu,

baik keseluruhannya ataupun sebagiannya.13

8. Imam Ibnu Qudhamah

Rahn adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang

untuk dipenuhi harganya, apabila yang berutang tidak sanggup

membayarnya dari orang yang berpiutang.14

11 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Ed. 1. Cet. 1, h.2. 12 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,

2001), Cet. Kesatu, h.128. 13 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h.252.

Page 28: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

18

Berdasarkan beberapa pengertian gadai yang telah dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat mengenai pengertian gadai, yaitu

perjanjian utang-piutang dengan menjadikan suatu benda yang bernilai sebagai

jaminan atas suatu pinjaman utang, di mana benda tersebut bisa di jual jika yang

berutang tidak sanggup membayar kembali utangnya.

B. Rukun dan Syarat Gadai

Agar sahnya akad gadai, maka ada rukun dan syarat gadai yang harus

terpenuhi, yaitu sebagai berikut:

1. Rukun Gadai

Adapun rukun-rukun gadai adalah sebagai berikut:15

a. Rahin (pihak yang menggadaikan) dan Murtahin (pihak yang menerima

gadai);

b. Marhun (barang yang digadaikan atau objek);

c. Marhun bihi (utang);

d. Ijab Qabul.

2. Syarat Gadai

Masing-masing dari rukun yang telah disebutkan diatas, harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Para Pihak, yaitu rahin (penggadai), dan murtahin (penerima gadai)

Kedua belah pihak yang melakukan akad rahn harus memenuhi

syarat-syarat orang yang sah melakukan transaksi jual beli. Maka

disyaratkan kedua belah pihak yang mengadakan akad rahn harus

mumayyiz dan berakal. Berdasarkan hal ini, maka orang gila dan anak

14Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi, dan

Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), Cetakan Kedua, h.112. 15 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.111.

Page 29: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

19

kecil yang belum mumayyiz tidak boleh mengadakan akad rahn atau

dengan kata lain tidak boleh menggadaikan dan menerima gadai.16

b. Objek (marhun)

Keberadaan marhun berfungsi sebagai jaminan untuk mendapatkan

pinjaman/utang (marhun bih).17 Fuqaha sepakat bahwa syarat-syarat

marhun sama dengan syarat-syarat barang yang dijual (al-Mabii’),

dengan tujuan nantinya marhun bisa dijual untuk membayar utang.18

Seperti yang telah ditetapkan dalam kaidah fiqh:19

عه جاز رهنه كل ماجاز ب ي

Artinya: “Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh pula

dijadikan sebagai jaminan.”

Syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku

pada barang yang dapat diperjualbelikan, yaitu:

1) Marhun harus bisa dijual, yaitu marhun harus ada ketika akad dan

bisa diserahkan. Syarat ini disepakati oleh ulama Hanafiyah, ulama

Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan ulama Hanabilah. Menurut

mereka tidak sah menggadaikan sesuatu yang mungkin ada dan

mungkin tidak ada (spekulatif). Seperti seseorang menggadaikan

buah yang akan dihasilkan oleh pohonnya tahun ini, atau

menggadaikan seekor burung yang terbang dan lain sebagainya

16 Ibid, h.113. 17 Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2010), h.172-173. 18 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.133. 19 Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, h.172-173.

Page 30: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

20

berupa hal-hal yang tidak bisa untuk digunakan membayar utang

yang ada dan tidak memungkinkan untuk dijual;20

2) Marhun harus berupa harta dan memiliki nilai. Tidak sah

menggadaikan sesuatu yang tidak berupa harta dan tidak memiliki

nilai, seperti bangkai;21

3) Marhun harus diketahui dengan jelas dan pasti. Sebagaimana

halnya barang yang dijual juga disyaratkan harus diketahui dengan

jelas dan pasti;22

4) Marhun milik rahin. Menurut ulama Hanafiyah syarat ini bukan

merupakan syarat sah akad rahn, akan tetapi syarat berlaku

efektifnya akad rahn, oleh karena itu sah seseorang menggadaikan

harta orang lain tanpa izin atas dasar kewenangan yang sah, seperti

seorang ayah menggadaikan harta anak yang berada di bawah

perwaliannya, baik marhun bih adalah tanggungan utang si anak

maupun tanggungan utang si ayah sendiri. Menurut ulama

Syafi’iyah dan ulama Hanabilah tidak sah menggadaikan harta

orang lain tanpa seizinnya, karena menjual harta orang lain tanpa

seizin pemiliknya adalah tidak sah.23

c. Utang (marhun bihi)

Utang (Marhun bih) adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk

membayar kepada pihak yang memberi piutang. Marhun bih harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:24

20 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.134. 21 Ibid, h.134-135. 22 Ibid, h.136. 23 Ibid, h.137.

24 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.236.

Page 31: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

21

1) Utang (marhun bih) wajib dibayar kembali oleh rahin kepada

murtahin;

2) Utang boleh dilunasi dengan jaminan;

3) Utang harus jelas dan tertentu (dapat dikuantifikasikan atau

dihitung jumlahnya).

d. Pernyataan Kesepakatan (shighat ijab qabul)

Ulama Hanafiyyah mensyaratkan dalam akad itu bahwa rahn tidak

boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang

akan datang, karena kesepakatan atau ijab qabul dalam akad rahn sama

dengan dalam akad jual beli. Apabila rahn dikaitkan dengan syarat

tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka rahn

tersebut tidak sah, sebagaimana akad jual beli.25

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat yang disyaratkan di

dalam akad rahn ada tiga macam. Pertama syarat yang sah, yaitu

mensyaratkan di dalam akad rahn dengan sesuatu yang sesuai dengan

tuntutan akad rahn itu sendiri. Kedua syarat yang tidak sah dan tidak

berlaku, yaitu mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung

kemaslahatan dan tujuan, seperti mensyaratkan hewan yang digadaikan

tidak makan makanan ini dan itu, maka syarat seperti ini tidak sah dan

tidak berlaku namun akad rahn yang ada tetap sah. Ketiga syarat yang

tidak sah sekaligus menjadikan akad rahn yang ada ikut menjadi tidak

sah, yaitu seperti mensyaratkan murtahin tidak boleh menjual barang

yang digadaikan ketika utang telah jatuh tempo sedangkan rahin belum

juga membayar utang yang ada.26

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa setiap syarat yang tidak

bertentangan dengan tujuan akad dan tidak membawa kepada sesuatu

25 Ibid, h.118. 26 Ibid, 119-120.

Page 32: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

22

yang haram, maka syarat tersebut sah. Adapun syarat yang bertentangan

dengan tujuan akad, maka syarat tersebut fasid (batal, tidak sah) dan

akad rahn menjadi batal dan tidak sah. Contoh, rahin mensyaratkan

agar barang jaminan tetap di tangan rahin dan tidak dipegang oleh

murtahin.27

Ulama Hanabilah berpendapat sama dengan ulama Malikiyah, yaitu

syarat ada dua macam, sah dan fasid. Syarat yang sah adalah syarat

yang tidak bertentangan dengan tujuan akad dan tidak membawa

kepada sesuatu yang dibenci oleh syara’, sedangkan syarat yang fasid

adalah syarat yang bertentangan dengan tujuan akad, seperti

mensyaratkan barang yang digadaikan tidak boleh dijual kecuali dengan

harga yang sesuai dengan keinginan rahin.28

C. Hukum Gadai dan Dasar Hukum Gadai

Hukum gadai adalah mubah, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

.... وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة

Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak

mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan

yang dipegang….” (QS. Al-Baqarah (2): 283)

Makna Mufradat (Kosakata)29

“Wa in kuntum ‘ala safari” yakni Jika kamu dalam perjalanan (dan

bermuamalah secara tidak tunai) tidak memperoleh seorang penulis yang

27 Ibid, h.121. 28 Ibid. 29 Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari, Penerjemah Abdurrahman Kasdi, Tafsir Ayat-ayat

Ahkam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), Cet. 1, h.186.

Page 33: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

23

menulis utang, maka yang dijadikan pegangan adalah barang yang

digadaikan, disebutkan pada waktu berpergian karena biasanya pada waktu

berpergian tidak ada tulisan dan kesaksian. Hal ini bukan merupakan

pedoman tetapi untuk menerangkan kebiasaan ketika dalam perjalanan sulit

untuk mendapatkan seorang penulis dan orang yang menjadi saksi.

“Rihanum maqbudhah” yakni Jika kamu tidak menemukan pegangan

dengan tulisan dan kesaksian, maka yang digunakan untuk bukti adalah

barang yang digadaikan, karena jika tidak menerima gadai, maka tidak akan

jelas bukti tentang transaksi tersebut.

2. As-Sunnah

Hadits dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang

berbunyi:

ث نا هشام بن ق تادة عن أنس , قال : ثني أبي , حد ث نا نصر بن علي الجحضمي حد حد

را .لقد رهن رسول الله درعا عند ي هودي بالمدي نة فأخذ لهله منه سعي

Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdhami,

ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami

Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah SAW.

menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan

menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.” (HR. Ibnu Majah)

3. Pendapat Ulama

Jumhur Ulama (ulama Syafi’iyah, ulama Hanabilah, ulama Malikiyah,

dan ulama Hambali) sepakat membolehkan rahn, berdasarkan pada kisah

Nabi Muhammad Saw. yang menggadaikan baju besinya untuk

mendapatkan makanan dari seorang Yahudi.30

30 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.110.

Page 34: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

24

Dari dasar hukum gadai yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan

bahwa gadai hukumnya mubah atau boleh. Gadai tidak terbatas hanya ketika

dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang menetap, dan juga gadai

boleh dilaksanakan dengan orang muslim dan juga orang non-muslim.

D. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai

Para pihak (penggadai dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak

dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

1. Hak Rahin31

a. Rahin berhak menerima sejumlah uang dari murtahin setelah

menyerahkan barang gadaian;

b. Rahin berhak mendapatkan kembali marhun setelah ia melunasi

utangnya kepada murtahin;

c. Rahin berhak mendapatkan sisa dari kelebihan hasil penjualan marhun,

apabila harga penjualan marhun lebih besar dari utang rahin;

d. Rahin berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/atau hilangnya

marhun, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin.

2. Kewajiban Rahin32

a. Rahin harus menyerahkan barang gadaian kepada murtahin;

b. Rahin berkewajiban melunasi utang yang telah diterimanya dalam

tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang

ditentukan oleh murtahin;

c. Rahin berkewajiban merelakan penjualan marhun, apabila dalam jangka

waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi utangnya.

31 Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid

Wanihatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet. II, h.197. 32 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, h.41.

Page 35: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

25

3. Hak Murtahin

a. Murtahin berhak menahan barang yang digadaikan, sehingga rahin

melunasi kewajibannya;33

b. Murtahin berhak menjual marhun, apabila rahin tidak dapat memenuhi

kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan marhun dapat

digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya

dikembalikan kepada rahin;

c. Murtahin berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah

dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.34

4. Kewajiban Murtahin35

a. Murtahin berkewajiban menyerahkan sejumlah uang kepada rahin pada

saat gadai berlangsung;

b. Murtahin berkewajiban untuk menjaga marhun dengan sebaik-baiknya;

c. Murtahin berkewajiban mengembalikan marhun apabila rahin telah

melunasi utangnya;

d. Murtahin berkewajiban memberitahukan kepada rahin bahwa marhun

akan dijual apabila rahin tidak mampu untuk melunasi utangnya pada

waktu yang telah ditentukan.

E. Pemanfaatan Barang Gadai

Akad gadai adalah akad yang tujuannya bukan untuk mencari keuntungan

tapi untuk berbuat kebajikan (akad tabarru’), dengan demikian orang yang

memberi utang tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari barang yang

33 Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid

Wanihatul Muqtashid, h.311. 34 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, h.40. 35 Ibid.

Page 36: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

26

digadaikan, meskipun orang yang berutang mengizinkannya.36 Dalam

pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan ini, para ulama berbeda

pendapat mengenai siapa yang diperbolehkan mengambil manfaat atas barang

yang digadaikan, sebagai berikut:

1. Pemanfaatan oleh rahin

a. Ulama Hanafiyah37

Ulama Hanafiyah mengatakan rahin tidak boleh memanfaatkan

barang gadai dalam bentuk menggunakan, menaiki, mengenakan,

menempati, atau lain sebagainya kecuali dengan izin murtahin.

Larangan pemanfaatan terhadap barang gadai ini karena murtahin

mempunyai hak untuk menahan barang gadai sampai akad gadai itu

berakhir.

Oleh karena itu, ketika rahin memanfaatkan barang gadai tanpa

seizin murtahin, maka ia telah melakukan perbuatan yang melawan

hukum. Apabila kemudian terjadi kerusakan pada barang gadai, maka

rahin yang harus bertanggung jawab atas kerusakannya, sementara

kewajiban membayar uang pinjaman tetap berada pada rahin walaupun

barang gadai rusak atau hilang. Hal ini berdasarkan hadits:

يه وسلم: ال ي غلق الرهن من صاحبه الذي وعنه قال: قال رسول الله صلى الله عل

رهنه ، له غنمه ، وعليه غرمه . )رواه الدارقطني والحاكم(

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang

menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi

tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)38

36 Sayyid Sabiq, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Fikih Sunnah 5, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2009), Cet. 1, h.244. 37 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.190. 38 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), Cet. 1, h.501.

Page 37: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

27

b. Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyah menetapkan bahwa tidak boleh bagi rahin

memanfaatkan barang gadai. Mereka juga menetapkan bahwa izin

murtahin kepada rahin untuk memanfaatkan barang gadai

menyebabkan akad gadai menjadi batal. Karena pemberian izin oleh

murtahin tersebut di anggap sebagai bentuk pelepasan hak murtahin

terhadap barang gadai.39

c. Ulama Syafiiyah

Ulama Syafi’iyah memiliki pendapat yang berbeda, yaitu rahin

boleh memanfaatkan barang gadai dengan semua bentuk pemanfaatan

yang tidak menyebabkan berkurangnya barang gadai, seperti

menaikinya, menggunakannya, menempatinya, mengenakannya, dan

menggunakannya jika barang gadai adalah hewan kendaraan atau

kendaraan. Karena kemanfaatan barang gadai, perkembangan, dan apa-

apa yang dihasilkan barang gadai adalah milik rahin dan statusnya tidak

ikut terikat dengan utang yang ada.40 Hal ini berdasarkan hadits

Rasulullah saw.:

وعنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ال ي غلق الرهن من صاحبه الذي

ني والحاكم(رهنه ، له غنمه ، وعليه غرمه . )رواه الدارقط

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang

menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi

tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)41

39 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.191. 40 Ibid. 41 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, h.501.

Page 38: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

28

d. Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Hanafiyah,

yaitu rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin

atau persetujuan murtahin. Kemanfaatan barang gadai tidak bisa

diambil apabila rahin dan murtahin tidak bisa bersepakat atas

pemanfaatan barang gadai tersebut, walaupun menyia-nyiakan itu

adalah sesuatu yang dibenci oleh agama. Pendapat ini didasarkan atas

prinsip bahwa semua kemanfaatan, perkembangan dan hal-hal yang

dihasilkan oleh barang gadai ikut tergadaikan bersama barang

tersebut.42

Berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas kecuali ulama Syafi’iyah,

dapat disimpulkan bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai

dalam bentuk apapun, baik dalam bentuk menggunakan, menaiki,

menanami, mengenakan, menempati, dan lain sebagainya, kecuali seizin

murtahin, karena barang tersebut adalah sesuatu yang ditahan dan hanya

sebagai jaminan utang, sehingga rahin sebagai pemiliknya tidak boleh

memanfaatkannya.

2. Pemanfaatan oleh murtahin

a. Ulama Hanafiyah43

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh

memanfaatkan barang gadai, baik itu dalam bentuk penggunaan,

menaiki, menempati, mengenakan atau membaca, kecuali dengan izin

rahin. Dan apabila rahin memberi izin kepada murtahin untuk

memanfaatkan barang gadai, maka menurut sebagian ulama Hanafiyah,

42 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.190-191. 43Ibid, h.193.

Page 39: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

29

murtahin boleh memanfaatkannya secara mutlak, karena bentuk seperti

itu merupakan bentuk tabarru’ (derma) dari rahin untuk murtahin.

Namun ada sebagian lagi yang melarangnya secara mutlak, karena

itu adalah riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau

persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan tidak pula sesuatu yang

mengandung syubhat riba, hal ini berdasarkan hadits:

وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل ق رض

فعة ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط(ج ر من

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw.

bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah

riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat

lemah)44

b. Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyah mengatakan apabila utang yang ada dikarenakan

dalam bentuk pinjaman, maka pemanfaatan barang gadai tersebut tidak

diperbolehkan karena masuk ke dalam kategori pinjaman utang yang

menarik kemanfaatan,45 sesuai dengan hadits:

وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل ق رض

فعة ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط( جر من

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw.

bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah

riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat

lemah)46

44 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, h.502. 45 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.194. 46 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, h.502

Page 40: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

30

Namun, apabila utang yang ada dikarenakan jual beli yang tidak secara

tunai, seperti jual beli kredit dengan menjaminkan suatu barang, dan

pemanfaatan tersebut harus ditentukan batas waktunya dengan jelas,

maka bentuk yang seperti itu diperbolehkan.47

c. Ulama Syafi’iyah48

Dalam pemanfaatan barang gadai oleh murtahin ini, ulama

Syafi’iyah memiliki pendapat apabila utang dalam bentuk pinjaman,

murtahin mensyaratkan sesuatu yang merugikan rahin, seperti

pemanfaatan barang gadai adalah untuk murtahin, maka syarat tersebut

tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat, akad gadai tersebut

juga menjadi tidak sah, sesuai dengan hadits:

وعنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ال ي غلق الرهن من صاحبه الذي

ني والحاكم(رهنه ، له غنمه ، وعليه غرمه . )رواه الدارقط

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang

menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi

tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)49

d. Ulama Hanabilah50

Ulama Hanabilah mengklasifikasi apabila barang gadai selain

hewan, yaitu barang gadai adalah sesuatu yang tidak butuh pembiayaan

47 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.194. 48 Ibid, h.195. 49 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, h.501. 50 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.196.

Page 41: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

31

untuk memberi makan, seperti rumah, barang dan lain sebagainya,

maka murtahin sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai itu.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw.:

وعن أبي هري رة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الظهر

ر يشرب بن فقته ي ركب بن فقته إذا كان مرهونا ولبن ا كان مرهونا وعلى الذي إذ الد

فقة . )رواه البخاري(ي ركب ويشرب الن

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullah saw.

bersabda: hewan boleh dinaiki berdasarkan nafkah dan

pemeliharaannya ketika hewan tersebut digadaikan, susu hewan

boleh di minum berdasarkan nafkah dan pemeliharaannya ketika

hewan tersebut digadaikan, pihak yang menaiki dan meminum susu

hewan yang digadaikan adalah yang berkewajiban memberikan

nafkah dan pemeliharaan terhadap hewan yang digadaikan

tersebut.” (HR. Al-Bukhari)51

Karena barang gadai, kemanfaatan-kemanfaatannya, dan apa yang

dihasilkannya adalah milik rahin. Hal ini berdasarkan hadits:

ي وعنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ال ي غلق الرهن من صاحبه الذ

رهنه ، له غنمه ، وعليه غرمه . )رواه الدارقطني والحاكم(

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang

menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi

tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)52

Berdasarkan pendapat-pendapat ulama yang telah dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan bahwa barang gadai selain hewan tidak boleh

51 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, h.500. 52 Ibid, h.501.

Page 42: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

32

dimanfaatkan oleh murtahin. Jumhur ulama (ulama Hanabilah, ulama

Malikiyah, sebagian ulama Hanafiyah, dan ulama Syafi’iyah) berpendapat

bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan, baik

itu dalam bentuk menggunakan, menaiki, menanami, mengenakan,

menempati, dan lain sebagainya, karena barang tersebut bukan miliknya

secara penuh walaupun diizinkan oleh rahin. Hak murtahin terhadap barang

itu hanya sebatas sebagai jaminan piutang yang ia berikan kepada rahin.

Apabila murtahin memanfaatkan barang jaminan itu, maka hasil yang ia

manfaatkan dari barang jaminan itu termasuk ke dalam kategori riba yang

diharamkan, sesuai dengan hadits:

وسلم : كل ق رض جر وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه

فعة ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط( من

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw.

bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah

riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah)53

F. Berakhir dan Selesainya Akad Gadai

Akad gadai dipandang telah berakhir dan selesai dengan beberapa keadaan,

sebagai berikut:

1. Rahin melunasi semua utangnya kepada murtahin;

2. Pembebasan utang. Pembebasan utang dalam bentuk apa saja yang

menandakan selesainya gadai, meskipun utang tersebut dipindahkan kepada

orang lain;54

3. Diserahkannya barang gadai kepada rahin;

53 Ibid, h.502. 54 Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid

Wanihatul Muqtashid, h.203.

Page 43: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

33

4. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah

hakim atau yang dilakukan oleh hakim ketika rahin menolak untuk menjual

barang gadai;

5. Hancurnya barang gadai, karena dengan hancurnya barang gadai berarti

objek akad tidak ada;

6. Para pihak melakukan pentasharufan terhadap barang gadai dengan

meminjamkannya, menghibahkannya, atau mensedekahkannya;

7. Murtahin membatalkan akad gadai yang ada, walaupun tanpa seizin rahin.

Sebaliknya, gadai dipandang tidak batal jika rahin yang membatalkannya.55

Demikian uraian mengenai gadai (rahn) dalam hukum Islam, yang meliputi

pengertian gadai, rukun dan syarat gadai, hukum gadai dan dasar hukum gadai,

hak dan kewajiban dalam gadai, pemanfaatan barang gadai, dan berakhir dan

selesainya akad gadai.

55 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, h.229.

Page 44: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

34

BAB III

PRAKTIK GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG BINGKUDU

KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM

A. Gambaran Umum Wilayah Nagari Candung Koto Laweh Kecamatan

Candung Kabupaten Agam1

Karena data di Nagari Candung Koto Laweh hanya ada data umum se-

Nagari, tidak ada data terperinci masing-masing Jorong, dan Jorong juga tidak

memiliki data, maka pada bagian ini yang akan dijabarkan lebih lanjut adalah

tentang Nagari Canduang Koto Laweh.

Jorong adalah sekumpulan pemukiman yang berdekatan dan tidak dibatasi

oleh suatu lahan bukan pemukiman. Jorong merupakan pembagian wilayah

administratif di Indonesia yang berkedudukan di bawah Nagari.2 Nagari adalah

kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri

dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu.3

1. Profil4

Nagari Candung Koto Laweh merupakan salah satu dari 3 (tiga) Nagari

yang berada di wilayah Kecamatan Candung Kabupaten Agam yang

memiliki 11 (sebelas) Jorong dengan jumlah penduduk 9.579 jiwa dengan

luas wilayah Nagari 36,88 km² atau 67,74% dari luas Kecamatan Candung

yaitu 53,44 km² dan berbatasan dengan beberapa wilayah, antara lain:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Bonjo Nagari Panampuang dan

Jorong Koto Hilalang Nagari Lambah Kecamatan Ampek Angkek;

1 Gambaran Umum Wilayah Nagari Candung Koto Laweh yang mencakup profil, keadaan

topografi, dan jumlah penduduk diperoleh dari Monografi Candung Koto Laweh Kecamatan Candung

Kabupaten Agam 2017. 2 Jorong/Korong, Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Jorong/Korong, diakses pada

tanggal 06 Oktober 2018. 3 Pasal 1, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah

Ulayat dan Pemanfaatannya, Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 Nomor: 6. 4 Monografi Candung Koto Laweh Kecamatan Candung Kabupaten Agama 2017, h.4-5.

Page 45: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

35

b. Sebelah selatan berbatas dengan Labuah Pancang/Suaka Gunung

Merapi;

c. Sebelah timur berbatas dengan Jorong Baso Nagari Tabek Panjang,

Jorong Batu Taba dan Jorong Koto Gadang Nagari Koto Tinggi

Kecamatan Baso, juga dengan Rimbo Bayua Nagari Koto Laweh

Kecamatan Tanjuang Baru Kabupaten Tanah Datar;

d. Sebelah barat berbatas dengan Jorong Lasi Tuo Nagari Lasi Kecamatan

Candung, dan Jorong Balai Gurah Nagari Balai Gurah Kecamatan

Ampek Angkek.

Nagari Candung Koto Laweh mempunyai jarak yang cukup jauh dari

pusat pemerintahan.

a. Jarak ke Ibu Kota Provinsi 90 km;

b. Jarak ke Ibu Kota Kabupaten 86 km;

c. Jarak ke Ibu Kota Kecamatan 3 km.

Sebelas Jorong yang telah disebutkan di atas, antara lain:

a. Jorong Candung Guguak Katiak;

b. Jorong XII Kampuang;

c. Jorong Labuang;

d. Jorong Puti Ramuih;

e. Jorong Bingkudu;

f. Jorong 100 Janjang;

g. Jorong Gantiang Koto Tuo;

h. Jorong Lubuak Aua;

i. Jorong Batu Balantai;

j. Jorong III Suku;

k. Jorong III Kampuang.

Page 46: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

36

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,

yang aplikasinya tahun 1982, 11 (sebelas) Jorong di Nagari Candung Koto

Laweh merupakan sistem pemerintahan terendah, yakni Pemerintahan Desa.

Sedangkan Nagari Candung Koto Laweh merupakan kesatuan masyarakat

hukum adat yang dikelola oleh kaum adat.

Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, yang memberi peluang kepada daerah untuk

mengatur pemerintahan terdepan sesuai dengan kreatifitas masing-masing.

Di Provinsi Sumatera Barat ditetapkan sistem Pemerintahan terdepan yaitu

Pemerintahan Nagari yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi

Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000, sehingga pemerintahan tersebut

dinamakan dengan Nagari, dan dalam pelaksanaannya bernuansa filosofi

“Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah”.

Dalam melaksanakan berbagai tugas, Pemerintahan Nagari (Wali

Nagari dan BAMUS) terus memacu Perangkat Nagari dan masyarakat serta

lembaga yang ada di Nagari seperti, Kerapatan Adat Nagari, Majelis Ulama

Nagari, Bundo Kanduang Nagari, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat

Nagari, Tim Penggerak PKK Nagari, Parik Paga Nagari, Karang Taruna,

beserta para tokoh Agama, Adat, dan Masyarakat dalam melaksanakan

otonomi daerah.

2. Keadaan Topografi5

Keadaan topografi Nagari Candung Koto Laweh terdiri dari dataran

tinggi dengan suhu 15°-25° C. Nagari Candung Koto Laweh terletak di

lereng Gunung Marapi sehingga tanah di Nagari Candung Koto Laweh

sangat subur yang banyak dipergunakan untuk pertanian, seperti sawah.

Karena Nagari Candung Koto Laweh terletak di lereng Gunung Marapi, jadi

5 Ibid, h.6.

Page 47: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

37

transportasi yang bisa ditempuh hanya melalui jalur darat. Sedangkan

menurut kondisi fisiografinya, ketinggian atau elevasi wilayah Nagari

Candung Koto Laweh berada pada ketinggian 1.100 mdpl.

3. Jumlah Penduduk6

Jumlah penduduk Nagari Candung Koto Laweh pada tahun 2017 adalah

9.579 jiwa dengan 2.848 Kepala Keluarga (KK), sebagaimana terlihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah KK

No Jorong

Jumlah Penduduk

(Jiwa) Jumlah Jumlah

KK Laki-laki Perempuan

1 Putiramuh 187 178 365 113

2 100 Janjang 304 310 622 179

3 Labuang 472 508 983 287

4 Bingkudu 656 690 1.344 396

5 Candung

Guguak Katiak 527 545 1.072 328

6 XII Kampuang 410 442 852 267

7 III Suku 253 253 507 148

8 III Kampuang 227 254 481 136

9 Gantiang Koto

Tuo 623 645 1.269 383

10 Lubuak Aua 499 537 1.039 296

11 Batu Balantai 511 530 1.045 315

6 Ibid, h.7-9.

Page 48: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

38

Jumlah 4.669 4.892 9.579 2.848

Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

No Kelompok Umur Jumlah

1 1 – 5 tahun 563 orang

2 6 – 12 tahun 1.074 orang

3 13 – 15 tahun 481 orang

4 21 – 25 tahun 933 orang

5 26 – 30 tahun 554 orang

6 31 – 50 tahun 2.524 orang

7 51 – 60 tahun 1.903 orang

8 61 – 70 tahun 833 orang

9 >70 tahun 714 orang

Jumlah 9.579 orang

Keseluruhan masyarakat Nagari Candung Koto Laweh adalah suku

minang dan beragama Islam. Meskipun ada penduduk pendatang, tapi

jumlahnya masih sangat sedikit. Berikut jumlah penduduk berdasarkan

agama:

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama

No Agama Laki-laki Perempuan

1 Islam 4.679 4.900

2 Kristen 0 0

Page 49: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

39

B. Gadai Dalam Adat Minangkabau

Adat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti aturan (perbuatan

dan sebagainya) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dulu kala. Arti lain dari

adat adalah cara yang sudah menjadi kebiasaan. Arti dari “adat Minangkabau”

adalah aturan yang mengatur tata nilai kehidupan mulai dari hal yang sekecil-

kecilnya sampai kepada perihal kehidupan yang lebih luas, seperti kehidupan

politik, ekonomi, hukum, persoalan harta, dan sebagainya.7

Karena harta merupakan ciri khas keberadaan suku di Minangkabau, maka

persoalan harta ini menjadi kajian yang serius dalam masyarakat Minangkabau.

Menurut adat Minangkabau, harta dibedakan atas empat bagian, yaitu: Harta

Pusaka Tinggi, Harta Pusaka Rendah, Harta Pencaharian, dan Harta Surang.8

Masing-masing dari 4 (empat) bagian harta ini mempunyai ketentuan yang

berbeda-beda.

Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun

temurun dari orang-orang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi siapa yang

pertama memperoleh atau mendapatkan harta tersebut, seperti sawah ladang,

kebun, dan lain-lain.9 Harta pusaka tinggi mempunyai ciri-ciri:10

1. Tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya;

2. Harta tersebut dimiliki secara bersama oleh kaum dan digunakan untuk

kepentingan bersama;

3. Tidak dapat berpindah tangan keluar dari kaum, kecuali memenuhi syarat-

syarat tertentu yang dsetujui oleh seluruh anggota kaum.

Harta pusaka rendah adalah segala harta hasil pencaharian dari orang tua

kita selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak/paman

7 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam

Bonjol, (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2011), h.57-58. 8 Ibid, h.97. 9 Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan

dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Citra

Umbara, 2007), h.263. 10 Ibid, h.269.

Page 50: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

40

kepada kemenakan/keponakannya dari hasil pencaharian mamak/paman itu

sendiri.11 Harta pusaka rendah mempunyai ciri berupa warisan yang baru

diturunkan dari satu generasi saja (dari orang tua, atau mamak/pamannnya),

sebagai hasil pencaharian orang tuanya yang diwariskan untuk anak-anaknya

dan kemenakan/keponakan.12

Harta pencaharian merupakan harta yang didapat oleh seseorang sebagai

hasil usahanya sendiri. Pada dasarnya harta pencaharian ini dimaksudkan untuk

menambah harta pusaka. Dengan demikian, apabila yang mengusahakannya

meninggal dunia, maka harta pencaharian ini ikut tergabung ke dalam harta

pusaka, yang nantinya akan diwariskan kepada generasi setelahnya.13

Terakhir, harta surang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh

suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan, status harta ini masih milik

masing-masing.14

Dari 4 (empat) bagian harta yang telah disebutkan di atas, yang dijadikan

fokus pembahasan adalah harta pusaka tinggi yang memiliki aturan lebih ketat,

salah satunya yaitu aturan mengenai pemindahan hak milik atas tanah pada harta

pusaka tinggi.

Tanah harta pusaka tinggi pada dasarnya tidak dibolehkan untuk dijual

dalam adat Minangkabau, yang dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa hanya

dengan menggadai, yang bisa dilakukan apabila memenuhi salah satu dari 4

(empat) syarat, yaitu:15

1. Mayat tabujua di tangah rumah artinya tanah pusaka tinggi dapat

digadaikan apabila untuk biaya pemakaman;

2. Rumah gadang katirisan artinya apabila rumah kaum (rumah gadang) perlu

diperbaiki (renovasi);

11 Ibid, h.268. 12 Ibid, h.269-270. 13 Ibid, h.270. 14 Ibid, h.97-100. 15 Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan

dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, h.113.

Page 51: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

41

3. Gadih gadang alun balaki artinya untuk mengawinkan perempuan yang

telah cukup dewasa yang kalau tidak dikawinkan dapat membuat malu

kaumnya atau kepala suku;

4. Mambangkik batang tarandam artinya untuk mengangkat penghulu karena

penghulu sebelumnya telah meninggal.

Kemungkinan menggadai tidak hanya karena 4 (empat) hal yang telah

disebutkan di atas, tetapi gadai juga dapat dilakukan karena beberapa hal

berikut:16

1. Pembayar utang kehormatan;

2. Pembayar ongkos irigasi persawahan kaum;

3. Pembayaran iuran yang dibebankan kepada kaum oleh nagari;

4. Penutup kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan;

5. Untuk membayar utang yang dibuat bersama (kaum);

6. Untuk ongkos (tambahan) naik haji;

7. Untuk tambahan biaya pendidikan anggota kaum;

8. Biaya pernikahan, dan lain-lain.

Dengan kemajuan dan perkembangan zaman yang semakin pesat, semakin

banyak pula alasan-alasan boleh digadaikannya tanah harta pusaka tinggi seperti

yang sudah disebutkan di atas, walaupun pada awalnya tanah harta pusaka tinggi

boleh digadaikan jika memenuhi salah satu dari 4 (empat) alasan menggadai.

Istilah gadai sawah ini di Minangkabau disebut manggadai/pagang gadai.

Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai gadai di Minangkabau:

1. Pengertian dan Mekanisme Gadai

Gadai sawah dalam hukum adat Minangkabau adalah penyerahan tanah

sawah kepada pihak lain dengan menerima sejumlah uang secara kontan, di

16 Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum

Adat di Minangkabau, h.316.

Page 52: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

42

mana yang menyerahkan tanah berhak menebus kembali tanah tersebut

dengan jalan mengembalikan uang sejumlah yang diterimanya.17

Sebelum gadai sawah dilakukan, maka dilakukan musyawarah terlebih

dahulu untuk membicarakan gadai tersebut. Jika masih ada anggota kaum

yang dapat membantu pihak yang berencana menggadai, maka gadai harta

pusaka tinggi gagal dilakukan. Jika tidak ada satupun anggota kaum yang

bisa membantu, maka gadai dapat dilakukan. Untuk mencari pihak yang

menerima gadai, penggadai melakukan secara diam-diam. Sebab, secara

moral perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan yang sangat

memalukan, yang menunjukkan ketidakmampuan dalam menjaga harta

pusaka tinggi yang dipercayakan kepadanya.18

Surat gadai merupakan pernyataan gadai dari pihak penggadai dan

ditandatangani oleh penggadai, dengan diketahui oleh mamak kepala waris

dan saksi-saksi batas sepadan dari harta pusaka tinggi yang digadaikan

tersebut. Setiap surat gadai yang dituliskan, penerima gadai tidak

menandatangani surat tersebut. Di surat gadai hanya terdapat tanda tangan si

penggadai, mamak kepala waris, dan saksi-saksi batas sepadan. Hal ini,

menurut hukum adat Minangkabau, perbuatan hukum pengalihan hak atas

benda tetap, sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diketahui oleh

mamak kepala waris dan saksi batas sepadan. Saksi batas sepadan adalah

posisi kunci dan sangat vital atas sahnya perbuatan gadai tersebut, jika saksi

batas sepadan tidak mengetahui pengalihan hak tersebut, maka gadai tanah

harta pusaka tinggi tersebut batal.19

Penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan

luas harta yang digadaikan, dan penafsirannya sesuai kesepakatan kedua

17 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan

Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1975), h.123. 18 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam

Bonjol, h.114-115. 19 Ibid, h.115.

Page 53: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

43

belah pihak. Sawah yang menjadi jaminan boleh ditebus oleh penggadai

paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali panen belum

ditebus oleh penggadai, maka hasil panen tersebut tetap diambil oleh

penerima gadai.20

Akad yang digunakan dalam pagang gadai ini adalah pinjam-meminjam

atau salang-bapasalang, maksudnya adalah seseorang meminjamkan uang

sedangkan yang seorang lagi meminjamkan tanahnya kepada yang

meminjamkan uangnya tadi.21

Berdasarkan pengertian dan mekanisme gadai di atas, gadai dalam adat

Minangkabau pada dasarnya timbul dari suatu perjanjian yang mempunyai

fungsi tolong-menolong, tidak mempunyai unsur pemerasan.22

2. Pemanfaatan Barang Gadai

Selama sawah milik penggadai digadaikan, maka pemanfaatan terhadap

sawah tersebut berada di tangan penerima gadai. Jika uang yang

dipinjamkan kepada penggadai belum dikembalikan, maka penerima gadai

bebas menggarap dan mengambil hasil dari sawah tersebut tanpa dikurangi

dengan jumlah utang yang ada.23

Berdasarkan hal di atas, di dalam adat Minangkabau pemanfaatan

barang gadai hanya dilakukan oleh satu pihak, yaitu penerima gadai.

Pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai ini berdasarkan atas

persetujuan penggadai, karena telah meminjamkan sejumlah uang kepada

penggadai, walaupun penggadai terpaksa mengizinkan penerima gadai

memanfaatkan barang gadai tersebut.

20 Ibid. 21 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Center

for Minangkabau Studies, 1968), h.140. 22 Ibid, h.91. 23 Hasneni, “Tradisi Lokal Pagang Gadai Masyarakat Minangkabau Dalam Perspektif Hukum

Islam”, Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, 1, 1, (Januari-Juni, 2015), h.76.

Page 54: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

44

3. Jangka Waktu dan Berakhirnya Gadai

Pada prinsipnya dalam gadai sawah waktu penebusan kembali uang

gadai itu tergantung kepada penggadai sebagai pemilik sawah. Ia dapat

menebus gadai itu kapan pun, paling kurang sudah dua kali panen.24 Apabila

pemilik sawah meninggal dunia, hak menebus ini beralih kepada ahli waris

dari pihak pemilik sawah. Selama itu penerima gadai menguasai sawah

tersebut selaku pemegang gadai.25

Gadai sawah tidak berakhir karena jangka waktu, karena perjanjian, dan

tidak pula berakhir karena penggadai meninggal dunia. Gadai sawah hanya

berakhir jika penggadai telah melunasi seluruh utangnya kepada penerima

gadai. Jika penggadai telah meninggal dunia dan ia belum melunasi

utangnya, maka pelunasan dilakukan oleh ahli warisnya.

C. Gadai Sawah di Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam

Jorong Bingkudu terletak di daerah pegunungan dan dataran tinggi, oleh

karena itu mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, di mana sawah yang

menjadi mata pencaharian utama sering dijadikan sebagai barang gadai ketika

seseorang membutuhkan uang dalam keadaan terdesak dan sawah belum

memasuki masa panen.

Pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu sudah berlangsung sejak

lama, dan tidak dapat disebutkan secara pasti awal mulanya praktik gadai ini.26

Masyarakat Jorong Bingkudu menyebut gadai sawah dengan istilah pagang

gadai. Orang yang melakukan gadai disebut “manggadai” (penggadai/rahin),

24 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam

Bonjol, h.115. 25 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan

Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, h.123. 26 Masrizal, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 11 Februari 2018.

Page 55: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

45

sedangkan yang menerima gadai disebut “mamagang” (penerima

gadai/murtahin).27

Pada dasarnya pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu sesuai dengan

pelaksanaan gadai menurut adat Minangkabau, tetapi ada hal-hal yang berbeda

dengan gadai menurut adat Minangkabau, yaitu jangka waktu gadai, dan uang

yang digunakan dalam pelaksanaan gadai.

Pagang gadai/gadai sawah dalam masyarakat Jorong Bingkudu adalah akad

pinjam meminjam uang, di mana rahin meminjam uang kepada murtahin dan

murtahin dipinjami sawah oleh rahin, yang merupakan alternatif peminjaman

uang dengan cara cepat, mudah, aman, dan hemat sehingga tidak memberatkan

bagi masyarakat yang melakukan pinjaman. Pagang gadai ini hanya dilakukan

antar masyarakat saja, tidak dilaporkan kepada pihak pemerintahan. Pelaksanaan

gadai sawah di Jorong Bingkudu ini dilakukan ketika masyarakat Jorong

Bingkudu membutuhkan pinjaman uang, baik dalam jumlah yang besar maupun

kecil. Dilakukan semata-mata karena kebutuhan yang sangat mendesak dan

memerlukan dana secepatnya.28

Mengenai jangka waktu pelunasan barang gadai, hanya ditentukan jangka

waktu minimal pelunasan yaitu minimal 3 (tiga) tahun. Penebusan barang gadai

ini tergantung kepada kemampuan penggadai, sehingga banyak gadai yang

berlangsung selama bertahun-tahun karena penggadai belum memiliki uang

untuk menebus sawahnya kembali. Seperti yang diungkapkan oleh murtahin

(Ibu Arnis dan Ibu Yuliar) dan tokoh adat (Bapak Umar) sebagai berikut:

Ibu Arnis mengatakan, “ndak ado bateh wakatu no, bilo nan manggadai lah

ado pitih siang ditaua sawah no tapi minimal tigo taun (tidak ada batas

waktunya, ketika penggadai sudah punya uang untuk menebus sawahnya

tetapi minimal tiga tahun)”.29

27 Ibid. 28 Ibid. 29 Arnis, Murtahin, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 8 Februari 2018.

Page 56: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

46

Ibu Yuliar mengatakan, “bateh wakatu buliah ditaua minimal tigo taun

(batas waktu boleh ditebus minimal tiga tahun)”.30

Bapak Umar mengatakan, “bateh wakatu manaua duo tahun nan katigo

makasuk no minimal tigo taun (batas waktu menebus dua tahun yang ketiga,

maksudnya adalah minimal tiga tahun)”.31

Uang yang dipinjamkan dalam gadai diserahkan dengan bentuk pemilik

uang langsung menyerahkan uang dalam bentuk uang rupiah emas Amerika

kepada pemilik sawah atau bisa juga pemilik uang menyerahkan sejumlah uang

yang sudah ditakar sesuai dengan harga uang rupiah emas Amerika pada saat

gadai itu dilakukan. Selain itu, harga padi juga bisa menjadi harga takaran dalam

perjanjian gadai sawah namun masih jarang masyarakat yang berpatokan dengan

harga padi ketika melakukan gadai sawah. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh

adat (Bapak Umar) dan rahin (Ibu Nelwatri) sebagai berikut:

Bapak Umar mengatakan, “Pitih nan di pinjam menggunakan patokan

harago ameh, yaitu rupiah emas Amerika (1 rupiah emas Amerika seharga

Rp11.000.000), uang suku (1 uang suku seharga Rp5.500.000), dan uang

tali (1 uang tali seharga Rp2.750.000). Ado juo nan mamakai harago padi,

yaitu sumpik padi (1 sumpik padi adalah 1 karung padi seharga Rp200.000)

tapi jarang (uang yang dipinjam menggunakan takaran harga emas, yaitu

rupiah emas Amerika, uang suku, dan uang tali. Ada juga yang

menggunakan harga padi, tapi jarang)”.32

30 Yuliar, Murtahin, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 11 Februari 2018. 31 Umar, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 10 Februari 2018. 32 Umar, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 10 Februari 2018.

Page 57: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

47

Ibu Nelwatri mengatakan, “Pitih nan dipakai tagantuang kesepakatan paro

pihak, tapi biaso no mamakai rupiah ameh Amerika, uang suku, jo uang tali

(uang yang dipake tergantung kesepakatan para pihak, tetapi biasanya

menggunakan uang rupiah emas Amerika, uang suku, dan uang tali).”33

33 Nelwatri, Rahin, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 14 Februari 2018.

Page 58: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

48

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI SAWAH DI

JORONG BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM

A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Gadai Sawah di Jorong

Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam Berdasarkan Rukun dan

Syarat Gadai

Pada bagian ini akan dibahas mengenai praktik gadai sawah yang terjadi di

Jorong Bingkudu ditinjau berdasarkan rukun dan syarat gadai dalam Islam

secara umum.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab II, bahwa yang

dimaksud dengan rahn (gadai) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan

atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kesulitan dalam pembayaran

utang, maka utang itu dapat dibayar dari hasil penjualan barang yang digadaikan

tersebut.1 Dengan demikian, pada hakikatnya kegiatan gadai itu merupakan akad

tabarru’ atau akad derma yang berfungsi sosial yang tidak mewajibkan

imbalan.2

Rukun dan syarat gadai yang terjadi di Jorong Bingkudu akan dihadap-

mukakan dengan aturan rukun dan syarat gadai dalam Islam seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya pada Bab II. Dalam gadai, ada rukun-rukun gadai yang

harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut:

1. Para pihak, yaitu rahin (pihak yang menggadaikan) dan murtahin (pihak

yang menerima gadai);

2. Marhun (barang yang digadaikan);

3. Marhun bihi (utang);

4. Shighat Ijab qabul (pernyataan kesepakatan).

Dilihat dari sisi rukun, praktik gadai sawah di Jorong Bingkudu sudah

sesuai dengan rukun gadai dalam Islam, di mana 4 (empat) rukun yang telah

1 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. 1, h.287-288. 2 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Ed. 1. Cet. 1, h.3-4.

Page 59: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

49

disebutkan juga ada di dalam praktik gadai sawah di Jorong bingkudu, yaitu

dengan adanya penggadai, penerima gadai, barang yang digadaikan, utang yang

dipinjamkan, dan pernyataan kesepakatan.

Namun, jika diteliti lebih jauh syarat-syarat gadai yang ada di Jorong

Bingkudu terdapat beberapa ketidaksesuaian dengan syarat-syarat gadai yang

berlaku di dalam hukum Islam, yaitu syarat mengenai marhun (barang yang

digadaikan), marhun bihi (utang), dan shighat ijab qabul (pernyataan

kesepakatan), berikut penjelasan lebih lanjut:

1. Para Pihak (rahin dan murtahin)

Dalam praktik gadai sawah yang terjadi pada masyarakat Jorong

Bingkudu, para pihak (penggadai dan penerima gadai) yang melakukan

gadai sawah adalah orang-orang yang sudah berumur 30 tahun ke atas, atau

bisa dikatakan sudah baligh dan berakal sehat.

Praktik yang terjadi pada masyarakat Jorong Bingkudu itu telah sesuai

dengan aturan dalam hukum Islam, karena dalam hukum Islam setiap orang

yang sah dan boleh melakukan transaksi jual beli, maka sah dan boleh untuk

melakukan akad rahn. Karena rahn adalah sebuah kegiatan yang berkaitan

dengan harta seperti jual beli. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan

akad rahn harus memenuhi syarat-syarat orang yang sah melakukan

transaksi jual beli.3 Disyaratkan kedua belah pihak yang mengadakan akad

rahn (rahin dan murtahin) adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan

bertindak hukum menurut Jumhur Ulama (ulama Syafi’iyah, ulama

Malikiyah, dan ulama Hanabilah) adalah orang yang telah baligh dan

berakal. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang

berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja, oleh sebab itu

3 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.113.

Page 60: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

50

anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn dengan syarat harus

mendapat persetujuan dari walinya.4

Yang dimaksud berakal adalah seseorang yang bisa membedakan mana

yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Apabila salah satu pihak,

baik rahin maupun murtahin tidak berakal, maka transaksi gadai tersebut

tidak sah, berdasarkan firman Allah swt.:

فهاء أموالكم التي جعل الله لكم قياما وارزقوهم في ها واكسوهم وقولوا وال ت ؤتوا الس

.لهم ق وال معروفا

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum

sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu

yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja

dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka

perkataan yang baik.”

2. Marhun (barang yang digadaikan) dan Marhun bihi (utang)

Pada bagian ini akan dibahas mengenai barang yang digadaikan

(marhun) dan utang (marhun bihi). Dalam hal barang yang digadaikan,

hanya akan dibahas mengenai kebolehan barang gadai tersebut dijual atau

tidak untuk melunasi utang. Sedangkan mengenai pemanfaatan terhadap

barang yang digadaikan akan dibahas secara khusus pada bagian B.

Dalam praktik gadai sawah yang terjadi pada masyarakat Jorong

Bingkudu, barang yang digadaikan (marhun) tidak boleh dijual untuk

melunasi utang, karena pada praktiknya utang tersebut tidak memiliki

jangka waktu pelunasan, hanya ada jangka waktu minimum pelunasan utang

yaitu 3 (tiga) tahun. Utang hanya boleh dilunasi dengan cara rahin

mengembalikan uang yang telah dipinjamnya dari murtahin, walaupun

pelunasan utang tersebut bisa memakan waktu yang cukup lama bahkan bisa

mencapai bertahun-tahun. Jika rahin belum bisa melunasi utangnya, maka

4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.254.

Page 61: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

51

barang yang digadaikan berupa sawah itu tidak boleh dijual dan akan terus

berada di tangan murtahin hingga rahin bisa melunasi utangnya, karena

kepemilikan terhadap barang yang digadaikan tersebut tetap berada pada

rahin walaupun pemanfaatannya berada pada murtahin. Murtahin hanya

diperbolehkan untuk memanfaatkan barang yang digadaikan itu secara

terus-menerus tanpa batas waktu hingga rahin melunasi utangnya. Apabila

rahin telah meninggal dunia dan utangnya belum dilunasi, maka kewajiban

pelunasan utang tersebut berada di tangan ahli warisnya, dan seterusnya

hingga utang benar-benar telah dilunasi oleh rahin dengan cara

mengembalikan uang yang telah dipinjam. Hal ini terkait dengan aturan

gadai sawah/pagang gadai dalam adat Minangkabau, di mana sawah yang

merupakan harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan jika dalam keadaan

terdesak harta pusaka tinggi tersebut hanya boleh digadai saja.

Praktik pagang gadai/gadai sawah yang dilakukan masyarakat Jorong

Bingkudu ini tidak sesuai dengan syarat barang yang digadaikan (marhun)

dan syarat utang (marhun bihi) yang ditetapkan dalam hukum Islam. Dalam

hukum Islam, barang yang digadaikan pada dasarnya hanya berfungsi

sebagai barang jaminan saja, di mana ketika rahin tidak bisa melunasi

utangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka barang jaminan itu boleh

dijual untuk melunasi utang. Apabila hasil penjualan barang gadai tersebut

kurang dari jumlah utang yang ada, maka rahin wajib menambah

pembayaran sisa utangnya kepada murtahin, tetapi apabila hasil penjualan

barang yang digadaikan tersebut melebihi dari jumlah utang yang ada, maka

murtahin wajib mengembalikan kepada rahin sisa dari kelebihan hasil

penjualan tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa barang yang

digadaikan (marhun) di dalam syariat Islam adalah sebagai jaminan utang,

di mana jika rahin belum bisa melunasi utangnya maka barang yang

digadaikan tersebut bisa dijual untuk melunasi utang. Hal ini berbeda

Page 62: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

52

dengan apa yang terjadi di Jorong Bingkudu, bahwa barang yang digadaikan

itu bukan berfungsi sebagai jaminan utang yang nantinya bisa dijual untuk

melunasi utang, karena utang tersebut tidak memiliki batas waktu maksimal,

sehingga utang tersebut bisa bertahun-tahun kemudian dilunasi oleh rahin.

3. Shighat Ijab Qabul (pernyataan kesepakatan)

Shighat yang dilakukan oleh rahin dan murtahin dalam praktik gadai

sawah di Jorong Bingkudu ialah berupa ucapan si penggadai yang berbunyi

“pinjamkan saya sejumlah uang dan saya pinjamkan sawah” yang kemudian

dijawab si penerima gadai yang berbunyi “saya pinjami uang dan saya

manfaatkan sawahnya sampai pinjaman tersebut dilunasi dengan jangka

waktu pelunasan paling cepat adalah 3 (tiga) tahun”.

Praktik yang terjadi pada masyarakat Jorong Bingkudu ini tidak sesuai

dengan syarat shighat dalam hukum Islam. Ulama Hanafiyah, ulama

Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan ulama Hanabilah sepakat mengatakan

dalam akad itu rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau

dikaitkan dengan masa yang akan datang. Apabila akad rahn itu dikaitkan

dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka

syaratnya tidak sah sekaligus menjadikan akad rahn yang ada ikut menjadi

tidak sah. Misalnya, penggadai mensyaratkan apabila tenggang waktu utang

telah habis dan utang belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang satu

bulan, atau penerima gadai mensyaratkan barang yang digadaikan itu boleh

ia manfaatkan.5

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, jika dilihat dari segi rukun gadai

maka pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu telah sesuai

dengan aturan rukun gadai dalam hukum Islam, tetapi jika dilihat dari segi syarat

5 Ibid, h.254.

Page 63: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

53

gadai maka pelaksanaan gadai sawah yang dilakukan di Jorong Bingkudu,

terdapat beberapa aspek yang tidak sesuai dengan aturan syarat gadai dalam

hukum Islam, yaitu mengenai syarat barang yang digadaikan (marhun), syarat

utang (marhun bihi), dan pernyataan kesepakatan (shighat ijab qabul), di mana

ketidaksesuaian ini menyebabkan akad gadai yang ada menjadi batal atau tidak

sah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat gadai yang berlaku dalam hukum

Islam.

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemanfaatan Barang Gadai di

Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam

Pada bagian ini akan dibahas secara khusus tentang tinjauan hukum Islam

terhadap pemanfaatan barang gadai oleh murtahin (penerima gadai) yang terjadi

di Jorong Bingkudu.

Dalam praktik gadai yang terjadi pada masyarakat Jorong Bingkudu,

pemanfaatan/penggarapan sawah dilakukan sepenuhnya oleh murtahin

(penerima gadai) atas izin rahin (penggadai), di mana pemberian izin untuk

pemanfaatan/penggarapan sawah tersebut oleh penggadai kepada penerima gadai

dilakukan dengan terpaksa agar penggadai mendapatkan pinjaman uang, karena

penggadai sedang dalam kondisi terdesak membutuhkan pinjaman sejumlah

uang dan pemanfaatan/penggarapan sawah tersebut disyaratkan di awal akad.

Pemanfaatan terhadap barang gadai di Jorong Bingkudu tidak memiliki jangka

waktu, karena pada praktiknya di Jorong Bingkudu tidak ada waktu maksimum

untuk pelunasan utang, hanya ada waktu minimum untuk pelunasan utang, yaitu

minimal 3 (tiga) tahun.

Gadai merupakan salah satu sarana tolong-menolong di antara sesama

manusia tanpa mengharapkan adanya imbalan jasa.6 Akad yang digunakan

dalam gadai adalah akad tabarru’, yang dilakukan dalam rangka berbuat

6 Ibid, h.251.

Page 64: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

54

kebaikan bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan komersil. Dalam akad

tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan imbalan

apapun kepada pihak lainnya,7 termasuk pemanfaatan terhadap barang yang

digadaikan.

Dalam hal pemanfaatan barang gadai oleh murtahin, ulama Malikiyah dan

sebagian ulama Hanafiyah sepakat mengatakan bahwa murtahin tidak boleh

memanfaatkan barang yang digadaikan, baik itu dalam bentuk menggunakan,

menaiki, menanami, mengenakan, menempati, dan lain sebagainya, karena

barang yang digadaikan tersebut bukan miliknya secara penuh walaupun

diizinkan oleh rahin. Hak murtahin terhadap barang yang digadaikan itu hanya

sebatas sebagai jaminan piutang yang ia berikan kepada rahin. Apabila murtahin

memanfaatkan barang gadai, maka hasil pemanfaatan dari barang gadai

termasuk ke dalam kategori riba yang diharamkan, karena pemanfaatan barang

gadai berupa sawah ini menghasilkan suatu keuntungan bagi murtahin, sehingga

keuntungan dari sebuah utang pinjaman adalah riba, hal ini berdasarkan hadits:

ف عة وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل ق رض جر من

ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط(

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw.

bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah

riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat

lemah)8

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja

dalam gadai ada barang yang dijaminkan, riba akan terjadi dalam memberikan

tambahan kepada gadai yang ditentukan. Misalnya, rahin harus memberikan

tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai

7 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.66. 8 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul

Maram, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), Cet. 1, h.502.

Page 65: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

55

ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. Bila rahin tidak

mampu membayar utangnya ketika telah jatuh tempo, kemudian rahin menjual

barang jaminan dengan tidak memberikan kelebihan harga barang jaminan

kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.9

Riba secara etimologi adalah bertambah, dan tumbuh.10 Secara terminologi

fiqh, riba adalah tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang

bertransaksi tanpa ada imbalan tertentu.11 Larangan riba dalam Islam ditegaskan

dalam firman Allah swt.:

يطان من المس لك بأن هم الذين يأكلون الربا ال ي قومون إال كما ي قوم الذي ي تخبطه الش ذ

ى ن جاءه موعظة من ربه فانت ه فم وأحل الله الب يع وحرم الربا قالوا إنما الب يع مثل الربا

.هم فيها خالدون ومن عاد فأولئك أصحاب النار ف له ما سلف وأمره إلى الله

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan

lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian

itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang

telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu berhenti

(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya

dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada

Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu

adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.

Para ulama membagi riba menjadi dua, yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl.

Riba nasi’ah adalah tambahan pokok pinjaman yang disyaratkan dan diambil

oleh pemberi pinjaman (murtahin/pemilik uang) dari yang berutang (rahin/orang

9 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,

2011), Cet. 1, h.163. 10 S. Askar, Kamus Arab-Indonesia Al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2010), Cetakan

Kedua, h.230. 11 Muhammad Tho’in, “Larangan Riba Dalam Teks dan Konteks (Studi Atas Hadits Riwayat

Muslim Tentang Pelaknatan Riba)”, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 02, 02, (Juli, 2016), h.65.

Page 66: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

56

yang meminjam uang) sebagai kompensasi atas tangguhan pinjaman yang

diberikannya tersebut.12 Allah melarang dan mengharamkan kegiatan ini,

sebagaimana firman Allah swt.:

ر لكم ة إلى ميسرة وإن كان ذو عسرة ف نظر قوا خي . إن كنتم ت علمون وأن تصد

Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) sedang dalam

kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.

Dan menyedekahkan (sebagian atau seluruh utang itu) lebih

baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang sejenis, tetapi

lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,

seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.13

Sedangkan ulama Hanabilah dan ulama Syafiiyah sepakat mengatakan

murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan itu, karena barang

yang digadaikan tersebut bukan milik murtahin secara penuh, sehingga

kemanfaatan-kemanfaatan dan apa yang dihasilkan barang gadai adalah milik

rahin, hal ini berdasarkan hadits:

، له وعنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ال ي غلق الرهن من صاحبه الذي رهنه

حاكم(غنمه ، وعليه غرمه . )رواه الدارقطني وال

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang

menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi

tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)14

Namun, ulama Hanabilah mengatakan apabila barang yang digadaikan

tersebut adalah hewan, maka murtahin boleh memanfaatkan barang gadai

12 Ibid. 13 Rahma Amir, “Gadai Tanah Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal Muamalah, V, 1, (Juni,

2015), h.84. 14 Ibid, h.501.

Page 67: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

57

tersebut, tetapi pemanfaatan itu hanya sebatas biaya nafkah dan pemeliharaan

terhadap hewan yang digadaikan tersebut, hal ini berdasarkan hadits:

وعن أبي هري رة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الظهر ي ركب

ر الذي ي ركب ويشرب إذا كان مرهونا وعلىيشرب بن فقته بن فقته إذا كان مرهونا ولبن الد

فقة . )رواه البخاري(الن

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullah saw.

bersabda: hewan boleh dinaiki berdasarkan nafkah dan

pemeliharaannya ketika hewan tersebut digadaikan, susu hewan

boleh di minum berdasarkan nafkah dan pemeliharaannya ketika

hewan tersebut digadaikan, pihak yang menaiki dan meminum susu

hewan yang digadaikan adalah yang berkewajiban memberikan

nafkah dan pemeliharaan terhadap hewan yang digadaikan tersebut.”

(HR. Al-Bukhari)15

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika

dilihat dari segi pemanfaatan barang gadai oleh murtahin, maka pelaksanaan

gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu tidak sesuai dengan hukum

Islam, karena pemanfaatan barang gadai tersebut masuk ke dalam kategori

pinjaman utang yang menarik keuntungan, di mana keuntungan dari utang

pinjaman adalah riba, dan barang yang digadaikan berupa sawah merupakan

barang yang tidak membutuhkan pembiayaan untuk diberi nafkah dan perawatan

seperti hewan. Karena menurut hukum Islam, dalam hal pemanfaatan barang

gadai para ulama (ulama Hanabilah, ulama Malikiyah, sebagian ulama

Hanafiyah, dan ulama Syafi’iyah) sepakat mengatakan bahwa murtahin tidak

boleh memanfaatkan barang yang digadaikan, baik itu dalam bentuk

menggunakan, menaiki, menanami, mengenakan, menempati, dan lain

sebagainya, walaupun menyia-nyiakan itu adalah sesuatu dibenci oleh agama,

15 Ibid, h.500.

Page 68: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

58

karena barang yang digadaikan tersebut bukan miliknya secara penuh walaupun

diizinkan oleh rahin. Hak murtahin terhadap barang itu hanya sebatas sebagai

jaminan piutang yang ia berikan kepada rahin. Apabila murtahin memanfaatkan

barang gadai itu, maka hasil yang ia manfaatkan dari barang gadai itu termasuk

ke dalam kategori riba yang diharamkan.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan pada bagian A dan

B dalam Bab 4 ini, dapat disimpulkan bahwa dari segi pemanfaatan terhadap barang

gadai dan dari segi syarat mengenai barang yang digadaikan (marhun), utang

(marhun bihi), dan pernyataan kesepakatan (shighat ijab qabul) dalam pelaksanaan

gadai sawah di Jorong Bingkudu ini tidak sesuai dengan aturan dalam hukum Islam,

di mana ketidaksesuaian ini menyebabkan akad gadai yang ada menjadi batal atau

tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat gadai yang berlaku dalam hukum

Islam. Namun, ada beberapa aspek yang sesuai dengan aturan gadai dalam hukum

Islam, yaitu dari segi rukun gadai dan syarat para pihak (rahin dan murtahin) yang

melakukan gadai.

Page 69: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis meneliti dan menganalisis pelaksanaan gadai sawah di

Jorong Bingkudu, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu sudah

dilakukan sejak dahulu dengan alasan persoalan ekonomi yang mendesak.

Gadai sawah/pagang gadai dalam masyarakat Jorong Bingkudu adalah akad

pinjam-meminjam uang, di mana rahin (penggadai) meminjam uang kepada

murtahin (penerima gadai) dan murtahin dipinjami sawah oleh rahin. Gadai

sawah ini hanya dilakukan antar pihak saja secara kekeluargaan, tidak

dilaporkan kepada pihak pemerintahan jorong, nagari, maupun kecamatan.

Uang yang dipinjamkan diserahkan langsung oleh murtahin kepada rahin

dalam bentuk uang rupiah emas Amerika atau murtahin menyerahkan

kepada rahin sejumlah uang yang sudah ditakar sesuai dengan harga uang

rupiah emas Amerika pada saat gadai itu dilakukan. Penyerahan bentuk

uang yang akan dipinjam tergantung pada permintaan rahin, begitu juga

jumlah uang yang akan dipinjamkan tergantung pada permintaan rahin.

Tidak ada batas waktu maksimum untuk melunasi utang, hanya ada batas

waktu minimal 3 tahun atau sampai rahin telah memiliki uang untuk

melunasi utangnya. Sawah tersebut tetap milik rahin walaupun berada di

tangan murtahin selama rahin belum melunasi utangnya. Selama berada di

tangan murtahin, hak penggarapan, penanaman, dan hasil panen sawah

menjadi milik murtahin tanpa dikurangi dengan jumlah utang yang ada.

Kesepakatan gadai sawah antara rahin dan murtahin tertulis dalam sebuah

surat, yang dinamakan dengan surat keterangan pagang gadai.

2. Jika dilihat dari segi rukun gadai maka pelaksanaan gadai sawah pada

masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam telah

Page 70: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

60

sesuai dengan aturan rukun gadai dalam hukum Islam, tetapi jika dilihat dari

segi syarat gadai maka pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong

Bingkudu terdapat beberapa aspek yang tidak sesuai dengan aturan syarat

gadai dalam hukum Islam, yaitu mengenai syarat barang yang digadaikan

(marhun), syarat utang (marhun bihi), dan pernyataan kesepakatan (shighat

ijab qabul), di mana ketidaksesuaian ini menyebabkan akad gadai yang ada

menjadi batal atau tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat gadai

yang berlaku dalam hukum Islam. Dan jika dilihat dari segi pemanfaatan

terhadap barang gadai berupa sawah yang dilakukan oleh murtahin serta

menikmati hasilnya secara penuh tanpa dikurangi dengan jumlah utang yang

ada, maka pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu tidak

sesuai dengan hukum Islam karena Jumhur ulama (ulama Hanabilah, ulama

Malikiyah, sebagian ulama Hanafiyah, dan ulama Syafi’iyah) sepakat

mengatakan bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang

digadaikan, baik itu dalam bentuk menggunakan, menaiki, menanami,

mengenakan, menempati, dan lain sebagainya, karena barang yang

digadaikan tersebut bukan miliknya secara penuh walaupun diizinkan oleh

rahin. Hak murtahin terhadap barang itu hanya sebatas sebagai jaminan

piutang yang ia berikan kepada rahin. Apabila murtahin memanfaatkan

barang gadai itu, maka hasil pemanfaatan dari barang gadai tersebut masuk

ke dalam kategori pinjaman utang yang menarik keuntungan, di mana

keuntungan dari utang pinjaman adalah riba yang diharamkan, dan barang

yang digadaikan oleh masyarakat di Jorong Bingkudu berupa sawah

merupakan barang yang tidak membutuhkan pembiayaan untuk diberi

nafkah dan perawatan seperti hewan.

Page 71: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

61

B. Saran

Setelah melihat bahwa pelaksanaan gadai sawah yang terjadi pada

masyarakat Jorong Bingkudu terdapat beberapa penyimpangan dari ketentuan

hukum Islam, maka:

1. Diharapkan para ulama setempat dapat melakukan pengkajian ulang agar

pelaksanaan gadai sawah yang terjadi di Jorong Bingkudu dapat disesuaikan

dengan aturan-aturan hukum Islam;

2. Diharapkan orang-orang yang berkecukupan dapat menolong secara

sukarela kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan, dengan

memberikan pinjaman tanpa harus menerima imbalan;

3. Diharapkan pihak aparat desa dilibatkan dalam proses pelaksanaan gadai

sawah;

4. Diharapkan adanya sosialisasi tentang dampak positif dan dampak negatif

terhadap gadai sawah kepada masyarakat;

5. Diharapkan pihak-pihak dari lembaga Pegadaian Syariah mensosialisasikan

mengenai pelaksanaan gadai yang sesuai dengan aturan hukum Islam;

6. Jika penerima gadai (murtahin) bermaksud mengambil keuntungan dari

hasil pemanfaatan/penggarapan sawah yang bukan miliknya, maka

sebaiknya akad yang digunakan adalah akad sewa.

Page 72: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

62

DAFTAR PUSTAKA

Aermadepa. “Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat

Minangkabau dalam Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian”. Jurnal Konstitusi:

Volume 13, Nomor 3, 2016.

Al-Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar. Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid.

Bulughul Maram. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

Al-Hushari, Syaikh Ahmad Muhammad. Penerjemah Abdurrahman Kasdi. Tafsir

Ayat-ayat Ahkam. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.

Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah. Edisi 1, Cetakan 1. Jakarta: Sinar Grafika,

2008.

Aliasman. “Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau

Di Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7

UU No. 56/Prp/1960”. Tesis S-2 Program Pascsarjana, Universitas Diponegoro

Semarang, 2005.

Amir, Rahma. “Gadai Tanah Perspektif Ekonomi Islam”. Jurnal Muamalah: Volume

V, No 1, 2015.

Anshori, Abdul Ghofur. Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi, dan

Institusionalisasi. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2011.

Antonio, Muhammad Syafii. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Cet. Kesatu.

Jakarta: Gema Insani, 2001.

Askar, S. Kamus Arab-Indonesia Al-Azhar. Cetakan Kedua. Jakarta: Senayan

Publishing, 2010.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5. Beirut: Dar al-Fikr, 1985.

Az-Zuhaili, Wahbah. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa

Adillatuhu Jilid 6. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum

Normatif & Empiris. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Page 73: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

63

Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Elimartati, “Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’: Tinjauan Furuq Fiqiyah”,

Innovatio, Vol. XI, No. 2, 2012.

Fadllan. “Gadai Syariah; Perspektif Fikih Muamalah dan Aplikasinya dalam

Perbankan”. Iqtishadia: Vol. 1, No. 1, 2014.

Fakultas Syariah dan Hukum. “Pedoman Penulisan Skripsi”. 2017.

Febriasi, Kikky. “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi

Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang

Mudiak”. Artikel.

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Hasneni. “Tradisi Lokal Pagang Gadai Masyarakat Minangkabau Dalam Perspektif

Hukum Islam”. Journal of Islamic & Social Studies: Volume I, Nomor I, 2015.

Karim, Adiwarman. Bank Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Lubis, Suhrawardi K., dan Farid Wajdi. Hukum Ekonomi Islam. Cet. Kedua. Jakarta:

Sinar Grafika, 2014.

Mamudji, Sri, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. Pertama. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Monografi Candung Koto Laweh Kecamatan Candung Kabupaten Agam Tahun

2017.

Muchtar, Asmaji. Dialog Lintas Mazhab: Fiqh Ibadah dan Muamalah. Ed. 1, Cet. 1.

Jakarta: Amzah, 2015.

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.

Naim, Mochtar. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang:

Center for Minangkabau Studies, 1968.

Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya.

Page 74: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

64

Piliang, Edison, dan Nasrun Dt. Marajo Sungut. Tambo Minangkabau: Budaya dan

Hukum Adat di Minangkabau. Cetakan Pertama. Bukittinggi: Kristal

Multimedia, 2010.

Putiah, Julius DT. Malako Nan. Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya

Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi

Kehidupan Bangsa. Bandung: Citra Umbara, 2007.

Putri, Dian Lyonanda. “Pelaksanaan Gadai Tanah Pusaka di Sumatera Barat (Studi

Kasus di Kanagarian Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir

Selatan”. JOM Fakultas Hukum: Volume II, Nomor II, 2015.

Rusyd, Ibnu. Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Bidayatul

Mujtahid Wanihatul Muqtashid. Cet. II. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

S, Burhanuddin. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Edisi Pertama.

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Sabiq, Sayyid. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin. Fikih Sunnah 5. Cet. 1.

Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.

Sahrani, Sohari, dan Ru’fah Abdullah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor: Penerbit

Ghalia Indonesia, 2011.

Sihombing, Herman, dan Mahjuddin Salim. Hukum Adat Minangkabau Dalam

Keputusan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat. Bandung: Penerbit Alumni,

1975.

Sjarifoedin, Amir. Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku

Imam Bonjol. Jakarta: PT Gria Media Prima, 2011.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ketiga. Jakarta: UI-Press,

2015.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Ed. 1 Cet. 9. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Tho’in, Muhammad. “Larangan Riba Dalam Teks dan Konteks (Studi Atas Hadits

Riwayat Muslim Tentang Pelaknatan Riba)”. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam:

Vol. 02, No. 02, 2016.

Wawancara Pribadi dengan Arnis, Murtahin, Jorong Bingkudu, 8 Februari 2018.

Page 75: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

65

Wawancara Pribadi dengan Masrizal, Tokoh Adat, Jorong Bingkudu, 11 Februari

2018.

Wawancara Pribadi dengan Nelwatri, Rahin, Jorong Bingkudu, 14 Februari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Umar, Tokoh Adat, Jorong Bingkudu, 10 Februari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Yuliar, Murtahin, Jorong Bingkudu, 11 Februari 2018.

https://id.wikipedia.org/wiki/Jorong/Korong.

Page 76: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

66

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 77: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT DI JORONG

BINGKUDU

Nama : Ibu Nelwatri

Pekerjaan : Guru

Hari / Tanggal : Jumat, 14 Februari 2017

1. Pertanyaan: Apakah Ibu pernah melakukan gadai sawah?

Jawaban: Ya pernah saya sebagai penggadai.

2. Pertanyaan: Apa yang Ibu gadaikan?

Jawaban: Sawah.

3. Pertanyaan: Berapa jumlah nominal uang yang Ibu terima ketika menggadaikan

sawah?

Jawaban: Nominal uang atas permintaan saya sebesar 6 rupiah emas amerika

polos dan 3 buah uang suku emas peniti.

4. Pertanyaan: Sampai kapan jatuh temponya?

Jawaban: Ketika saya sudah punya duit untuk menebusnya kembali tetapi

setelah 2 tahun.

5. Pertanyaan: Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan gadai sawah yang Ibu

lakukan?

Jawaban: Saya umumkan dahulu kepada kerabat atau tetangga bahwa saya

membutuhkan uang sejumlah 6 rupiah emas amerika polos dan 3 buah uang

suku emas peniti dengan jaminan sawah yang saya miliki. Lalu saya sebagai

Page 78: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

penggadai pergi ke rumah penerima gadai untuk mengambil uang bersama 1

(satu) orang tokoh adat yang satu suku dengan saya, ahli waris perempuan, dan

disaksikan 2 (dua) orang. Setelah itu saya dan penerima gadai membuat surat

yang berisi batas-batas (utara, selatan, timur, barat) terhadap sawah tersebut.

Lalu surat tersebut ditandatangani oleh pemilik-pemilik sawah yang berbatasan

dengan sawah saya yang akan digadaikan. Setelah itu surat tersebut diketahui

oleh tokoh adat. Bisa ditebus kapan saja ketika saya sudah memiliki uang untuk

menebusnya dengan jangka waktu minimal 2 tahun. Ketika saya ingin menebus,

saya pergi ke rumah penerima gadai tersebut bersama 1 (satu) orang tokoh adat

yang satu suku dengan saya sebagai saksi bahwa saya telah menebus.

6. Pertanyaan: Apa alasan Ibu melakukan gadai sawah?

Jawaban: Untuk merenovasi rumah adat.

7. Pertanyaan: Apakah barang gadai tersebut di simpan atau dimanfaatkan?

Jawaban: Dimanfaatkan oleh penerima gadai. Hak pakai berada di penerima

gadai.

8. Pertanyaan: Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan gadai

sawah? Jika ada, apa isi dari perjanjian tertulis tersebut?

Jawaban: Ada, surat dipegang oleh penerima gadai.

9. Pertanyaan: Adakah persyaratan ketika ingin melakukan gadai sawah? Jika

ada, apa saja persyaratannya?

Jawaban: Tidak ada persyaratan apa pun, hanya kemauan kedua belah pihak.

10. Pertanyaan: Apakah Ibu mengetahui pelaksanaan gadai dalam Islam?

Jawaban: Saya tidak tahu.

Page 79: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Nama : Ibu Arnis

Pekerjaan : Petani

Hari / Tanggal : Kamis, 8 Februari 2017

1. Pertanyaan: Apakah Ibu pernah melakukan gadai sawah?

Jawaban: Ya, pernah. Saya sebagai penerima gadai.

2. Pertanyaan: Apa jaminan yang Ibu terima?

Jawaban: Sawah.

3. Pertanyaan: Berapa jumlah nominal uang yang Ibu berikan ketika menerima

gadai?

Jawaban: 3 rupiah emas amerika.

4. Pertanyaan: Sampai kapan jatuh temponya?

Jawaban: Tidak ada jatuh temponya. Minimal 2 tahun.

5. Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pelaksanaan gadai sawah yang Ibu

lakukan?

Jawaban: Penggadai datang ke rumah saya mengatakan bahwa ia membutuhkan

uang seharga 3 rupiah emas amerika dengan jaminan sawah miliknya, lalu saya

menerimanya. Beberapa hari setelah itu penggadai datang lagi ke rumah bersama

1 (satu) tokoh adat, ahli waris perempuan, dan 2 (dua) saksi untuk mengambil

uang sekaligus membuat surat perjanjian yang berisi bahwa sawah tersebut

ditebus dengan jumlah nominal 3 rupiah emas amerika, sesuai dengan yang saya

berikan di awal perjanjian. Dan boleh ditebus kapan pun ketika penggadai sudah

memiliki uang untuk menebusnya minimal 2 tahun.

6. Pertanyaan: Apa alasan Ibu menerima gadai?

Page 80: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Jawaban: Membantu sesama saja.

7. Pertanyaan: Apakah barang gadai tersebut di simpan atau dimanfaatkan?

Jawaban: Dimanfaatkan. Saya garap sawah yang digadaikan itu.

8. Pertanyaan: Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan gadai

sawah? Jika ada, apa isi dari perjanjian tertulis tersebut?

Jawaban: Ada. Perjanjian tersebut berisi batas-batas sawah yang digadaikan itu,

jumlah uang yang akan ditebus, dan jangka waktu minimal penebusan sawah

tersebut.

9. Pertanyaan: Adakah persyaratan dalam melakukan gadai sawah? Jika ada, apa

saja persyaratannya?

Jawaban: Tidak ada.

10. Pertanyaan: Apakah Ibu mengetahui pelaksanaan gadai dalam Islam?

Jawaban: Tidak tahu.

Page 81: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Nama : Ibu Yuliar

Pekerjaan : Petani

Hari / Tanggal : Minggu, 11 Februari 2017

1. Pertanyaan: Apakah Ibu pernah melakukan gadai sawah?

Jawaban: Pernah sebagai penerima gadai.

2. Pertanyaan: Apa jaminan yang Ibu terima?

Jawaban: Sawah.

3. Pertanyaan: Berapa jumlah nominal uang yang Ibu berikan ketika menerima

gadai?

Jawaban: 1 (satu) uang suku dan 1 rupiah emas amerika.

4. Pertanyaan: Sampai kapan jatuh temponya?

Jawaban: Minimal 3 tahun.

5. Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pelaksanaan gadai sawah yang Ibu

lakukan?

Jawaban: Penggadai datang ke rumah saya untuk meminjam uang sebesar 1

uang suku dan 1 rupiah emas amerika dengan jaminan sawah yang penggadai

punya. Lalu keesokannya penggadai datang lagi ke rumah bersama saksi-saksi

yaitu pemilik-pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang dijaminkan itu

sekaligus membuat surat perjanjian dan penggadai menerima uang dari saya.

6. Pertanyaan: Apa alasan Ibu menerima gadai?

Jawaban: Menolong yang sedang kesusahan.

7. Pertanyaan: Apakah barang gadai tersebut di simpan atau dimanfaatkan?

Page 82: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Jawaban: Dimanfaatkan oleh saya.

8. Pertanyaan: Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan gadai

sawah? Jika ada, apa isi dari perjanjian tertulis tersebut?

Jawaban: Ada. Harus bermaterai 6000, Jangka waktu minimal 3 tahun, Jumlah

nominal yang harus ditebus sesuai dengan kesepakatan awal, ditandatangani

oleh penggadai, penerima gadai, pemilik-pemilik sawah yang berbatasan dengan

sawah yang digadaikan.

9. Pertanyaan: Adakah persyaratan dalam melakukan gadai sawah? Jika ada, apa

saja persyaratannya?

Jawaban: Ada. Syaratnya: Disaksikan oleh pemilik-pemilik sawah yang

berbatasan dengan sawah yang akan digadaikan, Minimal ditebus dengan jangka

waktu minimal 3 tahun.

10. Pertanyaan: Apakah Ibu mengetahui pelaksanaan gadai dalam Islam?

Jawaban: Tidak tahu.

Page 83: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT DI JORONG BINGKUDU

Nama : Masrizal

Hari / Tanggal : Minggu, 11 Februari 2018

1. Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pelaksanaan gadai sawah yang ada di

masyarakat?

Jawaban: Gadai sawah ini dikenal masyarakat dengan nama pagang gadai

sawah. Masyarakat melakukan pagang gadai ketika membutuhkan uang dan

hanya sawah yang dimiliki. Kenapa di gadai tidak dijual saja? Karena kalo dijual

hak milik lepas sedangkan kalo gadai hak milik masih berada di kita sebagai

pemilik sawah. Pagang gadai dilakukan hanya antar 2 pihak saja tidak

dilaporkan ke wali jorong. Pagang gadai harus diketahui/disaksikan oleh ahli

waris perempuan, ijab nan ampek (pemilik-pemilik sawah yang berbatasan

dengan sawah yang digadaikan), tokoh adat nan sasuku. Tidak ada batasan

waktu dalam melakukan pagang gadai, hanya minimal 3 tahun. Sawah dipegang

dan dimanfaatkan penerima gadai. Pinjaman uang menggunakan uang rupiah

emas amerika, uang suku, dan uang tali.

2. Pertanyaan: Apakah barang gadai di simpan atau dimanfaatkan?

Jawaban: Dimanfaatkan penerima gadai.

3. Pertanyaan: Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan gadai

sawah? Jika ada, apa isi dari perjanjian tertulis tersebut?

Jawaban: Ada. Berisi nama-nama kedua belah pihak, total pembayaran yang

harus ditebus, nama pemilik-pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang

akan digadaikan (ijab nan ampek), ditandatangani oleh penggadai, penerima

gadai, ahli waris.

Page 84: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

4. Pertanyaan: Adakah persyaratan dalam melakukan gadai sawah? Jika ada, apa

saja persyaratannya?

Jawaban: Disaksikan oleh ahli waris perempuan dari pihak penggadai dengan

tujuan ketika penggadai telah meninggal dan utangnya belum dilunasi maka ahli

waris perempuan yang menjadi saksi tersebut yang akan menebus, penggadai,

penerima gadai, pemilik-pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang

digadai (batas utara, timur, barat, dan selatan dari sawah yang digadaikan).

Page 85: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Nama : Umar

Hari / Tanggal : Sabtu, 10 Februari 2018

1. Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pelaksanaan gadai sawah yang ada di

masyarakat?

Jawaban: Penggadai datang ke rumah kerabat, tetangga, atau siapa saja yang

ingin menerima gadai. Keesokannya penggadai datang lagi ke rumah penerima

gadai bersama ahli waris perempuan, niniak mamak (tokoh adat), ijab nan

ampek (pemilik-pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang digadaikan.

Pagang gadai dilakukan dalam waktu duo tahun nan katigo yaitu maksudnya

minimal 3 tahun baru setelah itu boleh ditebus penggadai, jika kurang dari 3

tahun penggadai ingin menebus kembali maka tidak boleh. Jumlah nominal uang

yang diberikan ke penggadai tergantung dengan permintaan penggadai. Uang

yang ditebus harus sesuai dengan surat keterangan yang telah dibuat para pihak

diawal. Sawah boleh ditebus oleh orang lain dengan syarat sasuku yaitu satu

suku dengan yang menggadaikan diawal. Surat keterangan harus bermaterai.

Sekarang ini sudah agak jarang orang yang melakukan pagang gadai, yang

banyak dilakukan ialah pinjam-meminjam dengan jaminan sawah. Prakteknya

sama saja dengan pagang gadai hanya beda namanya saja.

2. Pertanyaan: Apakah barang gadai di simpan atau dimanfaatkan?

Jawaban: Dimanfaatkan penerima gadai, kalo penggadai tetap memanfaatkan

sawahnya sendiri maka penerima gadai rugi karena ia sudah memberi pinjaman

tetapi tidak bisa memanfaatkan sawah yang ia pegang.

3. Pertanyaan: Adakah perjanjian secara tertulis dalam melaksanakan gadai

sawah? Jika ada, apa isi dari perjanjian tertulis tersebut?

Jawaban: Perjanjian tidak ada, yang ada hanya surat keterangan yang berisikan

siapa yang menggadai, siapa yang menerima gadai, jumlah nominal yang harus

Page 86: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

ditebus, batas-batas sawah yang digadaikan beserta pemiliknya. Di dalam surat

keterangan juga dikatakan penebusan kembali dengan ketentuan minimal 3

tahun. Surat keterangan dipegang dan disimpan penerima gadai.

4. Pertanyaan: Adakah persyaratan dalam melakukan gadai sawah? Jika ada, apa

saja persyaratannya?

Jawaban: Ada. Syaratnya harus ada saksi yaitu pemilik-pemilik sawah yang

berbatasan dengan sawah yang digadaikan, kedua belah pihak penggadai dan

penerima gadai, penggadai harus makan dan minum dirumah penerima gadai

ketika pembuatan surat keterangan pagang gadai, dan yang terakhir suku para

pihak juga harus disebutkan.

Page 87: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Gambar uang rupiah emas Amerika

Gambar uang suku

Page 88: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...

Gambar uang tali

Gambar uang rupiah emas Amerika, uang suku, dan uang tali (dari kiri ke kanan)

Page 89: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 90: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 91: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 92: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 93: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 94: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 95: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 96: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...
Page 97: PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT ...