PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: RINNY DHITA UTARI NIM. 11140460000008 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG
BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RINNY DHITA UTARI
NIM. 11140460000008
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
PELAKSANAAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG
BINGKUDU KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Guna Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rinny Dhita Utari
NIM. 11140460000008
Pembimbing:
Dr. Isnawati Rais, M.A.
NIP. 19571027 198503 2 001
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul “Pelaksanaan Gadai Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu
Kecamatan Candung Kabupaten Agam dalam Perspektif Hukum Islam”, yang ditulis
oleh Rinny Dhita Utari, NIM. 11140460000008, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah pada Jumat, 05 Oktober 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Oktober 2018
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 19691216 199603 1 001
Panitia Sidang:
Ketua : AM. Hasan Ali, M.A. (………………….)
NIP. 19751201 200501 1 005
Sekretaris : Dr. Abdurrauf, M.A. (………………….)
NIP. 19731215 200501 1 002
Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, M.A. (………………….)
NIP. 19571027 198503 2 001
Penguji I : Hidayatulloh, M.H. (………………….)
NIP. 19870830 201801 1 002
Penguji II : Nurul Handayani, M.Pd. (………………….)
NIP. 19710113 199903 2 001
l.
LEMBAR PER}TYATAAIT
Denganini saya bahwa:
Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Jika di kemudian hari terbukti bahwa ka.ya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lafui, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta-
Jakart4 05 Oktober20lS
aJ.
ffiB=ffRinny DhitaUtari
)
ABSTRAK
Rinny Dhita Utari. NIM 11140460000008. Pelaksanaan Gadai Sawah Pada
Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam dalam
Perspektif Hukum Islam. Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
(Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M. Isi: x + 65 halaman 20 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan gadai sawah
pada masyarakat Jorong Bingkudu, dan untuk mengetahui bagaimana perspektif
hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai pada masyarakat Jorong
Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan
kualitatif. Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan sekunder. Mengenai
data penelitian penulis memperoleh data dengan metode wawancara, studi
dokumentasi, dan studi kepustakaan. Dan teknik penulisannya berdasarkan pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jika dilihat dari segi rukun gadai maka
pelaksanaan gadai sawah yang dilakukan masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan
Candung Kabupaten Agam telah sesuai dengan aturan gadai dalam hukum Islam,
tetapi jika dilihat dari segi syarat gadai maka pelaksanaan gadai yang dilakukan di
Jorong Bingkudu terdapat beberapa aspek yang tidak sesuai dengan aturan syarat
gadai dalam hukum Islam, yaitu mengenai syarat barang yang digadaikan (marhun),
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah KK ................ 37
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ...................................... 38
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama ...................................... 38
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi
dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar
dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.1 Secara umum, tugas
kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
dalam hidup dan kehidupan (al-An’aam: 165) serta tugas pengabdian atau
ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat: 56).2
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW merupakan sumber tuntunan hidup
bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan fana di dunia ini dalam rangka
menuju kehidupan kekal di akhirat nanti. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW sebagai penuntun memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal.
Artinya, meliputi segenap aspek kehidupan umat manusia dan selalu ideal untuk
masa lalu, kini, dan yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an dan
Sunnah tersebut mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal dapat
dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan di dalam
kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya di dalam bidang
perekonomian umat.3
Untuk bidang kegiatan perekonomian, Islam memberikan aturan hukum
yang dapat dijadikan sebagai pedoman, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an
maupun Sunnah Rasulullah SAW. Hal-hal yang tidak diatur secara jelas dalam
kedua sumber tersebut diperoleh ketentuannya dengan cara ijtihad.4
1 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,
2001), Cet. Kesatu, h.3. 2 Ibid, h.7. 3 Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), Cet. Kedua, h.1. 4 Ibid, h.5.
2
Ekonomi meliputi semua aspek kehidupan manusia, sehingga dalam
penerapannya, ekonomi digolongkan ke dalam bidang-bidang tertentu dengan
disesuaikan pada tugas dan fungsinya. Salah satu bidang yang erat hubungannya
dengan tingkah laku manusia dan benda-benda yang ada di sekitarnya adalah
tentang gadai.
Gadai adalah menahan salah satu harta milik penggadai (rahin) sebagai
barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.5
Dengan demikian, pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan
(marhun) untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.6
Para Ulama Fiqh telah sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam Islam berdasarkan
pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:7
.... وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة
Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang….”
(QS. Al-Baqarah (2): 283)
Menurut hukum Islam, jaminan berfungsi untuk memberi kepercayaan
kepada pihak yang berpiutang dan barang jaminan itu dapat dijual untuk
melunasi sebagian atau seluruh utang, jika yang berutang tidak dapat melunasi
utangnya pada waktu yang telah ditentukan.8
Barang jaminan (marhun) berada ditangan murtahin hanya berfungsi
sebagai jaminan utang dari rahin, namun kenyataan dalam masyarakat barang
jaminan itu sering dimanfaatkan atau hasilnya diambil oleh murtahin. Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan Ulama Fiqh terhadap pemanfaatan barang
5 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, h.128. 6 Fadllan, “Gadai Syariah; Perspektif Fikih Muamalah dan Aplikasinya dalam Perbankan”,
Iqtishadia, 1, 1, (Juni, 2014), h.31. 7 Ibid, h.32. 8 Hasneni, “Tradisi Lokal Pagang Gadai Masyarakat Minangkabau Dalam Perspektif Hukum
Islam”, Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, 1, 1, (Januari-Juni, 2015), h.70.
3
jaminan gadai (marhun). Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh mengambil manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin
mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.9 Rasul bersabda:10
فعة وعن علي رضي الله عنه ق ال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل ق رض جر من
ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط(
Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra., berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Setiap utang yang menarik manfaat/keuntungan adalah riba”.
(HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah)
Dalam pandangan Imam Syafi’i, akad gadai yang mensyaratkan bagi
murtahin untuk mengambil manfaat dari barang gadai tersebut, maka syarat
tersebut tidak sah. Karena menurutnya apabila barang gadai itu dimanfaatkan
maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’ sekalipun
diijinkan dan diridai pemilik barang.11 Sebagian Ulama Hanafiyah membolehkan
secara mutlak apabila rahin memberi izin kepada murtahin untuk memanfaatkan
barang jaminan selama di tangannya, karena dengan ada izin, maka tidak ada
halangan bagi murtahin untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian
Ulama Hanafiyah, dan Ulama Malikiyah berpendapat, sekalipun rahin
mengizinkannya, murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.12
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila barang jaminan itu bukan hewan
atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka
murtahin tidak boleh memanfaatkannya. Apabila barang jaminan dimanfaatkan
XI, 2, (Juli-Desember, 2012), h.329-330. 15 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.192. 16 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjol, (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2011), h.97. 17 Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan
dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Citra
Umbara, 2007), h.263.
5
apabila memenuhi salah satu syarat, yaitu mayat tabujua di tangah rumah,
rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, mambangkik batang
tarandam.18 Jika bukan karena salah satu dari 4 (empat) alasan tersebut, tanah
harta pusaka tinggi tidak boleh dijual atau digadaikan. Keempat alasan
menggadai tersebut mulai bertambah sesuai dengan berkembangnya zaman dan
semakin beragamnya kebutuhan yang harus dipenuhi.19
Gadai sawah dalam hukum adat Minangkabau adalah penyerahan tanah
kepada pihak lain dengan menerima sejumlah uang secara kontan, di mana yang
menyerahkan tanah berhak menebus kembali tanah tersebut dengan jalan
mengembalikan uang sejumlah yang diterimanya. Penebusan kembali uang
gadai itu tergantung kehendak si penggadai/pemilik sawah. Ia dapat menebus
gadai itu kapan pun.20 Waktu minimum untuk menebus adalah pada saat sesudah
dua kali panen.21 Apabila penggadai meninggal dunia, hak menebus ini beralih
kepada ahli waris dari pihak penggadai. Selama itu penerima gadai menguasai
sawah tersebut selaku pemegang gadai.22
Sebagian besar masyarakat di Jorong Bingkudu Kecamatan Candung
Kabupaten Agam bekerja sebagai petani, dengan demikian harta yang paling
berharga bagi masyarakat Jorong Bingkudu adalah sawah. Jika dalam keadaan
terdesak dan sawah yang menjadi mata pencaharian utama belum memasuki
masa panen, hal ini mengakibatkan tidak sedikit petani di Jorong Bingkudu
melakukan sebuah kegiatan pinjam meminjam uang dengan meminjamkan
18 Kikky Febriasi, “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam
Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak”, (T.th: Artikel), h.2. 19 Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum
Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), h.313-314. 20 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan
Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1975), h.123. 21 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjol, h.115. 22 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan
Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, h.123
6
sawahnya agar mendapatkan pinjaman sejumlah uang. Kegiatan yang sudah
menjadi tradisi di Jorong Bingkudu itu dinamakan pagang gadai/gadai sawah.23
Pagang gadai/gadai sawah dalam masyarakat Jorong Bingkudu adalah akad
pinjam-meminjam uang, di mana rahin meminjam uang kepada murtahin dan
murtahin dipinjami sawah oleh rahin, yang merupakan alternatif peminjaman
uang dengan cara cepat, mudah, aman, dan hemat sehingga tidak memberatkan
bagi masyarakat yang melakukan pinjaman. Pagang gadai ini hanya dilakukan
antar masyarakat saja, tidak dilaporkan kepada pihak pemerintahan. Pelaksanaan
gadai sawah di Jorong Bingkudu ini dilakukan ketika masyarakat Jorong
Bingkudu membutuhkan pinjaman uang, baik dalam jumlah yang besar maupun
kecil. Dilakukan semata-mata karena kebutuhan yang sangat mendesak dan
memerlukan dana secepatnya.24
Gadai sawah ini dilakukan dengan cara seseorang yang akan meminjam
uang tetapi hanya memiliki sebuah sawah, mendatangi kerabat atau tetangganya
yang bersedia meminjamkan uang. Ketika pemilik uang (murtahin) bersedia
meminjamkan uangnya kepada pemilik sawah (rahin), maka dilakukanlah
sebuah kesepakatan dengan membuat surat, yang dinamakan dengan surat
keterangan pagang gadai. Uang yang dipinjamkan diserahkan langsung oleh
murtahin kepada rahin dalam bentuk uang rupiah emas Amerika atau murtahin
menyerahkan kepada rahin sejumlah uang yang sudah ditakar sesuai dengan
harga uang rupiah emas Amerika pada saat gadai itu dilakukan. Penyerahan
bentuk uang yang akan dipinjam tersebut tergantung pada permintaan rahin,
begitu juga jumlah uang yang akan dipinjamkan tergantung pada permintaan
rahin.25
Pembuatan surat keterangan pagang gadai ini disaksikan oleh para pihak
(penggadai dan penerima gadai), ahli waris perempuan dari pihak penggadai,
23 Masrizal, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 11 Februari 2018. 24 Ibid. 25 Ibid.
7
para pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang dijaminkan (batas utara,
timur, selatan, dan barat). Surat keterangan pagang gadai ini disimpan hanya
oleh satu pihak, yaitu pihak penerima gadai, dan tidak dilaporkan kepada pihak
pemerintahan jorong, nagari, maupun kecamatan. Surat keterangan tersebut
berisi nama kedua belah pihak (penggadai dan penerima gadai), nama para
pemilik sawah yang berbatasan dengan sawah yang dijaminkan, jumlah uang
yang dipinjamkan, dan batas waktu penebusan kembali. Tidak ada batas waktu
penebusan kembali sawah yang dijaminkan, hanya ada batas waktu minimum
pelunasan utang yaitu minimal 3 tahun atau sampai rahin telah memiliki uang
untuk menebus sawahnya kembali, bahkan sampai puluhan tahun, dengan
harapan di kemudian hari nanti sawah itu dapat ditebus, walaupun oleh anak
cucu mereka di kemudian hari.26
Sawah yang menjadi jaminan tersebut berada ditangan murtahin. Selama
berada ditangan murtahin, hak penggarapan, penanaman, dan hasil panen sawah
berada ditangan murtahin tanpa dikurangi dengan utang yang ada. Hasil panen
yang melimpah dari sawah pun menjadi hak murtahin. Terkadang apabila
penebusan sawah belum dilakukan mencapai waktu bertahun-tahun sehingga
hasil keuntungan menggarap itu sudah lebih besar dari nilai uang yang
dipinjamkan.27
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan pelaksanaan gadai sawah
yang dilakukan masyarakat menjadi perbincangan yang menarik untuk dibahas
mengingat terjadi ketidakseragaman antara pelaksanaannya dan hukum Islam.
Oleh karena itu penulis mencoba meneliti dengan judul “Pelaksanaan Gadai
Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten
Agam dalam Perspektif Hukum Islam”.
26 Ibid. 27 Ibid.
8
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas yang dapat di identifikasi oleh
penulis, sebagai berikut:
a. Pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu
Kecamatan Candung Kabupaten Agam;
b. Pemanfaatan barang gadai sawah oleh pihak penerima gadai di Jorong
Bingkudu;
c. Pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu dalam perspektif hukum
positif;
d. Pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu dalam perspektif hukum
Islam;
e. Tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaan
gadai sawah yang dilakukan oleh masyarakat Jorong Bingkudu
Kecamatan Candung Kabupaten Agam.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan
ketidakjelasan dalam pembahasan masalah, maka Penulis memfokuskan dan
membatasi pembahasan tersebut pada:
a. Pelaksanaan gadai dibatasi pada kegiatan pelaksanaan gadai yang sering
dilakukan oleh masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung
Kabupaten Agam;
b. Materi dibatasi pada perspektif hukum Islam atau hukum-hukum yang
hanya berkaitan dengan pelaksanaan gadai.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
9
a. Bagaimana pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu
Kecamatan Candung Kabupaten Agam?
b. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai sawah
pada masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten
Agam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan gadai sawah pada
masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam;
b. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam terhadap
pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan
Candung Kabupaten Agam.
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
Manfaat Teoritis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu
muamalat (hukum ekonomi syariah) di masyarakat dalam masalah
gadai (rahn);
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan
dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
c. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam
rangka mengembangkan pemikiran hukum Islam khususnya dalam ilmu
muamalat (hukum ekonomi syariah).
Manfaat Praktis:
Untuk dijadikan bahan bacaan, bahan pertimbangan, dan
diimplementasikan oleh masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung
10
Kabupaten Agam, sehingga masyarakat dapat mengetahui, memahami, dan
melaksanakan aturan-aturan gadai dalam hukum Islam.
D. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian
hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh
langsung dari masyarakat.28
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan
kualitatif, merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan
perilaku nyata.29
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan ada 2 macam, sebagai
berikut:
a. Data Primer
Data primer merupakan data-data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat30, yakni para pihak yang menjadi objek dari penelitian
ini.
28 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
h.32. 30 Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Cet. Pertama, h.28.
11
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.31 Data
sekunder merupakan data-data pelengkap, meliputi buku-buku dan
jurnal-jurnal yang menjadi referensi terhadap tema yang dibahas, yaitu
mengenai gadai (rahn).
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
a. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu alat pengumpulan data yang
dilakukan melalui data tertulis.32 Dokumentasi yang dimaksud penulis
adalah usaha pengumpulan data yang didapat dengan cara
mengumpulkan dokumen-dokumen terkait penelitian yang sedang
dilakukan, seperti buku, arsip, monografi desa, dan lain sebagainya.
b. Wawancara
Wawancara adalah salah satu dari alat pengumpulan data yang
menggali dengan pertanyaan baik dengan menggunakan panduan
(pedoman) wawancara maupun kuesioner (daftar pertanyaan).33 Dalam
penelitian ini, wawancara dilakukan dengan masyarakat Jorong
Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam.
5. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai komponen-
komponennya dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen
31 Ibid. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.21. 33 Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, h.50.
12
dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaahan
dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.34
Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis
menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan atau
memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data yang telah
terkumpul dan menganalisa semua aspek yang berkaitan dengan masalah
penelitian guna menilai benar tidaknya menurut hukum Islam.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan dalam penulisan ini
adalah buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.35
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, Penulis akan
menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan
kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat
Minangkabau dalam Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian, oleh Aermadepa
dalam Jurnal Konstitusi tahun 2016. Penelitian ini membahas tentang bagaimana
jaminan hak konstitusional dalam pelaksanaan gadai tanah secara adat di
Minangkabau.36
Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat
Minangkabau Di Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah
Berlakunya Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960, oleh Aliasman dalam Tesis S-2
tahun 2005. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan gadai
34 Ibid, h.67. 35 Fakultas Syariah dan Hukum, “Pedoman Penulisan Skripsi”, 2017. 36 Aermadepa, “Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Minangkabau
dalam Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian”, Jurnal Konstitusi, 13, 3 (September, 2016).
13
tanah di Nagari Campago setelah berlakunya pasal 7 UU No. 56/Prp/1960 dan
faktor apa saja yang bisa menghambat penerapan pasal 7 UU No. 56/Prp/1960.37
Pelaksanaan Gadai Tanah Pusaka di Sumatera Barat (Studi Kasus di
Kanagarian Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan),
oleh Dian Lyonanda Putri dalam JOM Fakultas Hukum tahun 2015. Penelitian
ini membahas tentang pelaksanaan gadai tanah pusaka di Kanagarian Koto
Berapak yang masyarakatnya tidak melaksanakan pengembalian gadai tanah
berdasarkan pasal 7 UU No. 56/Prp/1960.38
Dalam kajian terdahulu di atas, para penulis tidak memfokuskan pada
pelaksanaan gadai tanah di Jorong Bingkudu dalam perspektif hukum Islam,
sebagaimana yang penulis lakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
khusus yang membahas tentang permasalahan tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Rancangan sistematika penulisan dimaksudkan untuk memberi gambaran
besar mengenai tiap-tiap bab, sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, tinjauan kajian terdahulu, dan
sistematika penulisan.
BAB II Teori Umum Tentang Gadai Dalam Hukum Islam, membahas
tentang pengertian gadai, rukun dan syarat gadai, hukum gadai
dan dasar hukum gadai, hak dan kewajiban dalam gadai,
pemanfaatan barang gadai, dan berakhir dan selesainya akad
37 Aliasman, “Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di
Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960”,
(Tesis S-2 Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2005). 38 Dian Lyonanda Putri, “Pelaksanaan Gadai Tanah Pusaka di Sumatera Barat (Studi Kasus
di Kanagarian Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan)”, JOM Fakultas
Hukum, II, II (Oktober, 2015).
14
gadai.
BAB III Praktik Gadai Sawah Pada Masyarakat Jorong Bingkudu
Kecamatan Candung Kabupaten Agam, membahas mengenai
mekanisme pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu
Kecamatan Candung Kabupaten Agam, dan deskripsi wilayah
penelitian.
BAB IV Tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai sawah pada
masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten
Agam berdasarkan rukun dan syarat gadai, dan tinjauan hukum
Islam terhadap pemanfaatan barang gadai di masyarakat Jorong
Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam.
BAB V Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
15
BAB II
TEORI UMUM TENTANG GADAI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Gadai
Rahn secara etimologi adalah tetap, kekal, dan jaminan.1 Sebagian ulama
mengartikan rahn dengan penahanan atau pertanggungjawaban sebagaimana
firman Allah swt.:2
كل ن فس بما كسبت رهينة .
Artinya: “Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatstsir (74): 38)
Sementara itu gadai menurut istilah, para ahli hukum Islam mengartikan
gadai sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyah
ين كلها أ قة بدين بحيث يمكن أخذ الد رع وثي و جعل عين لها قيمة مالية فى نظر الش
ب عضها من تلك العين .3
Ulama Hanafiyah mendefinisikan rahn dengan menjadikan suatu
barang sebagai jaminan terhadap piutang yang mungkin dijadikan
pembayaran piutang itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.4
2015), Ed. 1 Cet. 1, h.509. 3 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.252. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.107.
16
2. Ulama Malikiyah
ل ي ؤخذ من مالكه ، ت وث قا به ، في دين الزم ، أو صار إلى اللزوم .5 بأنه شيئ متمو
Rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminanutang
yang bersifat mengikat.6
3. Ulama Syafi’iyah
ر وفائه .7 ها عند ت عذ قة بدين يست وفى من جعل عين وثي
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan akad rahn adalah menjadikan suatu
barang sebagai jaminan utang, di mana barang itu dapat digunakan untuk
membayar utang tersebut ketika rahin (pihak yang berutang) tidak bisa
membayar utangnya.8
4. Ulama Hanabilah
فاؤه مم ر استي ين ليست وفى من ثمنه إن ت عذ قة بالد ن هو عليه بأنه : المال الذي يجعل وثي
9.
Rahn adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan utang, di mana
ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang
tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan dari harta yang
dijadikan jaminan utang tersebut.10
5 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h.181. 6 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.107. 7 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, h.180. 8 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.107. 9 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, h.180. 10 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.107.
17
5. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan
utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang
itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.11
6. Muhammad Syafi’i Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah
(rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih)
yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya.12
7. Nasrun Haroen
Rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu,
baik keseluruhannya ataupun sebagiannya.13
8. Imam Ibnu Qudhamah
Rahn adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang
untuk dipenuhi harganya, apabila yang berutang tidak sanggup
membayarnya dari orang yang berpiutang.14
11 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Ed. 1. Cet. 1, h.2. 12 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,
Berdasarkan beberapa pengertian gadai yang telah dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat mengenai pengertian gadai, yaitu
perjanjian utang-piutang dengan menjadikan suatu benda yang bernilai sebagai
jaminan atas suatu pinjaman utang, di mana benda tersebut bisa di jual jika yang
berutang tidak sanggup membayar kembali utangnya.
B. Rukun dan Syarat Gadai
Agar sahnya akad gadai, maka ada rukun dan syarat gadai yang harus
terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Rukun Gadai
Adapun rukun-rukun gadai adalah sebagai berikut:15
a. Rahin (pihak yang menggadaikan) dan Murtahin (pihak yang menerima
gadai);
b. Marhun (barang yang digadaikan atau objek);
c. Marhun bihi (utang);
d. Ijab Qabul.
2. Syarat Gadai
Masing-masing dari rukun yang telah disebutkan diatas, harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Para Pihak, yaitu rahin (penggadai), dan murtahin (penerima gadai)
Kedua belah pihak yang melakukan akad rahn harus memenuhi
syarat-syarat orang yang sah melakukan transaksi jual beli. Maka
disyaratkan kedua belah pihak yang mengadakan akad rahn harus
mumayyiz dan berakal. Berdasarkan hal ini, maka orang gila dan anak
14Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi, dan
Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), Cetakan Kedua, h.112. 15 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.111.
19
kecil yang belum mumayyiz tidak boleh mengadakan akad rahn atau
dengan kata lain tidak boleh menggadaikan dan menerima gadai.16
b. Objek (marhun)
Keberadaan marhun berfungsi sebagai jaminan untuk mendapatkan
pinjaman/utang (marhun bih).17 Fuqaha sepakat bahwa syarat-syarat
marhun sama dengan syarat-syarat barang yang dijual (al-Mabii’),
dengan tujuan nantinya marhun bisa dijual untuk membayar utang.18
Seperti yang telah ditetapkan dalam kaidah fiqh:19
عه جاز رهنه كل ماجاز ب ي
Artinya: “Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh pula
dijadikan sebagai jaminan.”
Syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku
pada barang yang dapat diperjualbelikan, yaitu:
1) Marhun harus bisa dijual, yaitu marhun harus ada ketika akad dan
bisa diserahkan. Syarat ini disepakati oleh ulama Hanafiyah, ulama
Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan ulama Hanabilah. Menurut
mereka tidak sah menggadaikan sesuatu yang mungkin ada dan
mungkin tidak ada (spekulatif). Seperti seseorang menggadaikan
buah yang akan dihasilkan oleh pohonnya tahun ini, atau
menggadaikan seekor burung yang terbang dan lain sebagainya
16 Ibid, h.113. 17 Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), h.172-173. 18 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.133. 19 Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, h.172-173.
20
berupa hal-hal yang tidak bisa untuk digunakan membayar utang
yang ada dan tidak memungkinkan untuk dijual;20
2) Marhun harus berupa harta dan memiliki nilai. Tidak sah
menggadaikan sesuatu yang tidak berupa harta dan tidak memiliki
nilai, seperti bangkai;21
3) Marhun harus diketahui dengan jelas dan pasti. Sebagaimana
halnya barang yang dijual juga disyaratkan harus diketahui dengan
jelas dan pasti;22
4) Marhun milik rahin. Menurut ulama Hanafiyah syarat ini bukan
merupakan syarat sah akad rahn, akan tetapi syarat berlaku
efektifnya akad rahn, oleh karena itu sah seseorang menggadaikan
harta orang lain tanpa izin atas dasar kewenangan yang sah, seperti
seorang ayah menggadaikan harta anak yang berada di bawah
perwaliannya, baik marhun bih adalah tanggungan utang si anak
maupun tanggungan utang si ayah sendiri. Menurut ulama
Syafi’iyah dan ulama Hanabilah tidak sah menggadaikan harta
orang lain tanpa seizinnya, karena menjual harta orang lain tanpa
seizin pemiliknya adalah tidak sah.23
c. Utang (marhun bihi)
Utang (Marhun bih) adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk
membayar kepada pihak yang memberi piutang. Marhun bih harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:24
20 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.
bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang
menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi
tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)52
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama yang telah dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa barang gadai selain hewan tidak boleh
51 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul
Maram, h.500. 52 Ibid, h.501.
32
dimanfaatkan oleh murtahin. Jumhur ulama (ulama Hanabilah, ulama
Malikiyah, sebagian ulama Hanafiyah, dan ulama Syafi’iyah) berpendapat
bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan, baik
itu dalam bentuk menggunakan, menaiki, menanami, mengenakan,
menempati, dan lain sebagainya, karena barang tersebut bukan miliknya
secara penuh walaupun diizinkan oleh rahin. Hak murtahin terhadap barang
itu hanya sebatas sebagai jaminan piutang yang ia berikan kepada rahin.
Apabila murtahin memanfaatkan barang jaminan itu, maka hasil yang ia
manfaatkan dari barang jaminan itu termasuk ke dalam kategori riba yang
diharamkan, sesuai dengan hadits:
وسلم : كل ق رض جر وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه
فعة ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط( من
Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw.
bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah
riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah)53
F. Berakhir dan Selesainya Akad Gadai
Akad gadai dipandang telah berakhir dan selesai dengan beberapa keadaan,
sebagai berikut:
1. Rahin melunasi semua utangnya kepada murtahin;
2. Pembebasan utang. Pembebasan utang dalam bentuk apa saja yang
menandakan selesainya gadai, meskipun utang tersebut dipindahkan kepada
orang lain;54
3. Diserahkannya barang gadai kepada rahin;
53 Ibid, h.502. 54 Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid
Wanihatul Muqtashid, h.203.
33
4. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah
hakim atau yang dilakukan oleh hakim ketika rahin menolak untuk menjual
barang gadai;
5. Hancurnya barang gadai, karena dengan hancurnya barang gadai berarti
objek akad tidak ada;
6. Para pihak melakukan pentasharufan terhadap barang gadai dengan
meminjamkannya, menghibahkannya, atau mensedekahkannya;
7. Murtahin membatalkan akad gadai yang ada, walaupun tanpa seizin rahin.
Sebaliknya, gadai dipandang tidak batal jika rahin yang membatalkannya.55
Demikian uraian mengenai gadai (rahn) dalam hukum Islam, yang meliputi
pengertian gadai, rukun dan syarat gadai, hukum gadai dan dasar hukum gadai,
hak dan kewajiban dalam gadai, pemanfaatan barang gadai, dan berakhir dan
selesainya akad gadai.
55 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, h.229.
34
BAB III
PRAKTIK GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT JORONG BINGKUDU
KECAMATAN CANDUNG KABUPATEN AGAM
A. Gambaran Umum Wilayah Nagari Candung Koto Laweh Kecamatan
Candung Kabupaten Agam1
Karena data di Nagari Candung Koto Laweh hanya ada data umum se-
Nagari, tidak ada data terperinci masing-masing Jorong, dan Jorong juga tidak
memiliki data, maka pada bagian ini yang akan dijabarkan lebih lanjut adalah
tentang Nagari Canduang Koto Laweh.
Jorong adalah sekumpulan pemukiman yang berdekatan dan tidak dibatasi
oleh suatu lahan bukan pemukiman. Jorong merupakan pembagian wilayah
administratif di Indonesia yang berkedudukan di bawah Nagari.2 Nagari adalah
kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri
dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu.3
1. Profil4
Nagari Candung Koto Laweh merupakan salah satu dari 3 (tiga) Nagari
yang berada di wilayah Kecamatan Candung Kabupaten Agam yang
memiliki 11 (sebelas) Jorong dengan jumlah penduduk 9.579 jiwa dengan
luas wilayah Nagari 36,88 km² atau 67,74% dari luas Kecamatan Candung
yaitu 53,44 km² dan berbatasan dengan beberapa wilayah, antara lain:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Bonjo Nagari Panampuang dan
Jorong Koto Hilalang Nagari Lambah Kecamatan Ampek Angkek;
1 Gambaran Umum Wilayah Nagari Candung Koto Laweh yang mencakup profil, keadaan
topografi, dan jumlah penduduk diperoleh dari Monografi Candung Koto Laweh Kecamatan Candung
Kabupaten Agam 2017. 2 Jorong/Korong, Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Jorong/Korong, diakses pada
tanggal 06 Oktober 2018. 3 Pasal 1, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah
Ulayat dan Pemanfaatannya, Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 Nomor: 6. 4 Monografi Candung Koto Laweh Kecamatan Candung Kabupaten Agama 2017, h.4-5.
35
b. Sebelah selatan berbatas dengan Labuah Pancang/Suaka Gunung
Merapi;
c. Sebelah timur berbatas dengan Jorong Baso Nagari Tabek Panjang,
Jorong Batu Taba dan Jorong Koto Gadang Nagari Koto Tinggi
Kecamatan Baso, juga dengan Rimbo Bayua Nagari Koto Laweh
Kecamatan Tanjuang Baru Kabupaten Tanah Datar;
d. Sebelah barat berbatas dengan Jorong Lasi Tuo Nagari Lasi Kecamatan
Candung, dan Jorong Balai Gurah Nagari Balai Gurah Kecamatan
Ampek Angkek.
Nagari Candung Koto Laweh mempunyai jarak yang cukup jauh dari
pusat pemerintahan.
a. Jarak ke Ibu Kota Provinsi 90 km;
b. Jarak ke Ibu Kota Kabupaten 86 km;
c. Jarak ke Ibu Kota Kecamatan 3 km.
Sebelas Jorong yang telah disebutkan di atas, antara lain:
a. Jorong Candung Guguak Katiak;
b. Jorong XII Kampuang;
c. Jorong Labuang;
d. Jorong Puti Ramuih;
e. Jorong Bingkudu;
f. Jorong 100 Janjang;
g. Jorong Gantiang Koto Tuo;
h. Jorong Lubuak Aua;
i. Jorong Batu Balantai;
j. Jorong III Suku;
k. Jorong III Kampuang.
36
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
yang aplikasinya tahun 1982, 11 (sebelas) Jorong di Nagari Candung Koto
Laweh merupakan sistem pemerintahan terendah, yakni Pemerintahan Desa.
Sedangkan Nagari Candung Koto Laweh merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang dikelola oleh kaum adat.
Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, yang memberi peluang kepada daerah untuk
mengatur pemerintahan terdepan sesuai dengan kreatifitas masing-masing.
Di Provinsi Sumatera Barat ditetapkan sistem Pemerintahan terdepan yaitu
Pemerintahan Nagari yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi
Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000, sehingga pemerintahan tersebut
dinamakan dengan Nagari, dan dalam pelaksanaannya bernuansa filosofi
“Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah”.
Dalam melaksanakan berbagai tugas, Pemerintahan Nagari (Wali
Nagari dan BAMUS) terus memacu Perangkat Nagari dan masyarakat serta
lembaga yang ada di Nagari seperti, Kerapatan Adat Nagari, Majelis Ulama
Nagari, Bundo Kanduang Nagari, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Nagari, Tim Penggerak PKK Nagari, Parik Paga Nagari, Karang Taruna,
beserta para tokoh Agama, Adat, dan Masyarakat dalam melaksanakan
otonomi daerah.
2. Keadaan Topografi5
Keadaan topografi Nagari Candung Koto Laweh terdiri dari dataran
tinggi dengan suhu 15°-25° C. Nagari Candung Koto Laweh terletak di
lereng Gunung Marapi sehingga tanah di Nagari Candung Koto Laweh
sangat subur yang banyak dipergunakan untuk pertanian, seperti sawah.
Karena Nagari Candung Koto Laweh terletak di lereng Gunung Marapi, jadi
5 Ibid, h.6.
37
transportasi yang bisa ditempuh hanya melalui jalur darat. Sedangkan
menurut kondisi fisiografinya, ketinggian atau elevasi wilayah Nagari
Candung Koto Laweh berada pada ketinggian 1.100 mdpl.
3. Jumlah Penduduk6
Jumlah penduduk Nagari Candung Koto Laweh pada tahun 2017 adalah
9.579 jiwa dengan 2.848 Kepala Keluarga (KK), sebagaimana terlihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah KK
No Jorong
Jumlah Penduduk
(Jiwa) Jumlah Jumlah
KK Laki-laki Perempuan
1 Putiramuh 187 178 365 113
2 100 Janjang 304 310 622 179
3 Labuang 472 508 983 287
4 Bingkudu 656 690 1.344 396
5 Candung
Guguak Katiak 527 545 1.072 328
6 XII Kampuang 410 442 852 267
7 III Suku 253 253 507 148
8 III Kampuang 227 254 481 136
9 Gantiang Koto
Tuo 623 645 1.269 383
10 Lubuak Aua 499 537 1.039 296
11 Batu Balantai 511 530 1.045 315
6 Ibid, h.7-9.
38
Jumlah 4.669 4.892 9.579 2.848
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
No Kelompok Umur Jumlah
1 1 – 5 tahun 563 orang
2 6 – 12 tahun 1.074 orang
3 13 – 15 tahun 481 orang
4 21 – 25 tahun 933 orang
5 26 – 30 tahun 554 orang
6 31 – 50 tahun 2.524 orang
7 51 – 60 tahun 1.903 orang
8 61 – 70 tahun 833 orang
9 >70 tahun 714 orang
Jumlah 9.579 orang
Keseluruhan masyarakat Nagari Candung Koto Laweh adalah suku
minang dan beragama Islam. Meskipun ada penduduk pendatang, tapi
jumlahnya masih sangat sedikit. Berikut jumlah penduduk berdasarkan
agama:
Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama
No Agama Laki-laki Perempuan
1 Islam 4.679 4.900
2 Kristen 0 0
39
B. Gadai Dalam Adat Minangkabau
Adat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti aturan (perbuatan
dan sebagainya) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dulu kala. Arti lain dari
adat adalah cara yang sudah menjadi kebiasaan. Arti dari “adat Minangkabau”
adalah aturan yang mengatur tata nilai kehidupan mulai dari hal yang sekecil-
kecilnya sampai kepada perihal kehidupan yang lebih luas, seperti kehidupan
politik, ekonomi, hukum, persoalan harta, dan sebagainya.7
Karena harta merupakan ciri khas keberadaan suku di Minangkabau, maka
persoalan harta ini menjadi kajian yang serius dalam masyarakat Minangkabau.
Menurut adat Minangkabau, harta dibedakan atas empat bagian, yaitu: Harta
Pusaka Tinggi, Harta Pusaka Rendah, Harta Pencaharian, dan Harta Surang.8
Masing-masing dari 4 (empat) bagian harta ini mempunyai ketentuan yang
berbeda-beda.
Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun
temurun dari orang-orang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi siapa yang
pertama memperoleh atau mendapatkan harta tersebut, seperti sawah ladang,
kebun, dan lain-lain.9 Harta pusaka tinggi mempunyai ciri-ciri:10
1. Tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya;
2. Harta tersebut dimiliki secara bersama oleh kaum dan digunakan untuk
kepentingan bersama;
3. Tidak dapat berpindah tangan keluar dari kaum, kecuali memenuhi syarat-
syarat tertentu yang dsetujui oleh seluruh anggota kaum.
Harta pusaka rendah adalah segala harta hasil pencaharian dari orang tua
kita selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak/paman
7 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjol, (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2011), h.57-58. 8 Ibid, h.97. 9 Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan
dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Citra
Umbara, 2007), h.263. 10 Ibid, h.269.
40
kepada kemenakan/keponakannya dari hasil pencaharian mamak/paman itu
sendiri.11 Harta pusaka rendah mempunyai ciri berupa warisan yang baru
diturunkan dari satu generasi saja (dari orang tua, atau mamak/pamannnya),
sebagai hasil pencaharian orang tuanya yang diwariskan untuk anak-anaknya
dan kemenakan/keponakan.12
Harta pencaharian merupakan harta yang didapat oleh seseorang sebagai
hasil usahanya sendiri. Pada dasarnya harta pencaharian ini dimaksudkan untuk
menambah harta pusaka. Dengan demikian, apabila yang mengusahakannya
meninggal dunia, maka harta pencaharian ini ikut tergabung ke dalam harta
pusaka, yang nantinya akan diwariskan kepada generasi setelahnya.13
Terakhir, harta surang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh
suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan, status harta ini masih milik
masing-masing.14
Dari 4 (empat) bagian harta yang telah disebutkan di atas, yang dijadikan
fokus pembahasan adalah harta pusaka tinggi yang memiliki aturan lebih ketat,
salah satunya yaitu aturan mengenai pemindahan hak milik atas tanah pada harta
pusaka tinggi.
Tanah harta pusaka tinggi pada dasarnya tidak dibolehkan untuk dijual
dalam adat Minangkabau, yang dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa hanya
dengan menggadai, yang bisa dilakukan apabila memenuhi salah satu dari 4
(empat) syarat, yaitu:15
1. Mayat tabujua di tangah rumah artinya tanah pusaka tinggi dapat
digadaikan apabila untuk biaya pemakaman;
2. Rumah gadang katirisan artinya apabila rumah kaum (rumah gadang) perlu
diperbaiki (renovasi);
11 Ibid, h.268. 12 Ibid, h.269-270. 13 Ibid, h.270. 14 Ibid, h.97-100. 15 Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam Dalam Upaya Mewariskan
dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, h.113.
41
3. Gadih gadang alun balaki artinya untuk mengawinkan perempuan yang
telah cukup dewasa yang kalau tidak dikawinkan dapat membuat malu
kaumnya atau kepala suku;
4. Mambangkik batang tarandam artinya untuk mengangkat penghulu karena
penghulu sebelumnya telah meninggal.
Kemungkinan menggadai tidak hanya karena 4 (empat) hal yang telah
disebutkan di atas, tetapi gadai juga dapat dilakukan karena beberapa hal
berikut:16
1. Pembayar utang kehormatan;
2. Pembayar ongkos irigasi persawahan kaum;
3. Pembayaran iuran yang dibebankan kepada kaum oleh nagari;
4. Penutup kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan;
5. Untuk membayar utang yang dibuat bersama (kaum);
6. Untuk ongkos (tambahan) naik haji;
7. Untuk tambahan biaya pendidikan anggota kaum;
8. Biaya pernikahan, dan lain-lain.
Dengan kemajuan dan perkembangan zaman yang semakin pesat, semakin
banyak pula alasan-alasan boleh digadaikannya tanah harta pusaka tinggi seperti
yang sudah disebutkan di atas, walaupun pada awalnya tanah harta pusaka tinggi
boleh digadaikan jika memenuhi salah satu dari 4 (empat) alasan menggadai.
Istilah gadai sawah ini di Minangkabau disebut manggadai/pagang gadai.
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai gadai di Minangkabau:
1. Pengertian dan Mekanisme Gadai
Gadai sawah dalam hukum adat Minangkabau adalah penyerahan tanah
sawah kepada pihak lain dengan menerima sejumlah uang secara kontan, di
16 Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum
Adat di Minangkabau, h.316.
42
mana yang menyerahkan tanah berhak menebus kembali tanah tersebut
dengan jalan mengembalikan uang sejumlah yang diterimanya.17
Sebelum gadai sawah dilakukan, maka dilakukan musyawarah terlebih
dahulu untuk membicarakan gadai tersebut. Jika masih ada anggota kaum
yang dapat membantu pihak yang berencana menggadai, maka gadai harta
pusaka tinggi gagal dilakukan. Jika tidak ada satupun anggota kaum yang
bisa membantu, maka gadai dapat dilakukan. Untuk mencari pihak yang
menerima gadai, penggadai melakukan secara diam-diam. Sebab, secara
moral perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan yang sangat
memalukan, yang menunjukkan ketidakmampuan dalam menjaga harta
pusaka tinggi yang dipercayakan kepadanya.18
Surat gadai merupakan pernyataan gadai dari pihak penggadai dan
ditandatangani oleh penggadai, dengan diketahui oleh mamak kepala waris
dan saksi-saksi batas sepadan dari harta pusaka tinggi yang digadaikan
tersebut. Setiap surat gadai yang dituliskan, penerima gadai tidak
menandatangani surat tersebut. Di surat gadai hanya terdapat tanda tangan si
penggadai, mamak kepala waris, dan saksi-saksi batas sepadan. Hal ini,
menurut hukum adat Minangkabau, perbuatan hukum pengalihan hak atas
benda tetap, sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diketahui oleh
mamak kepala waris dan saksi batas sepadan. Saksi batas sepadan adalah
posisi kunci dan sangat vital atas sahnya perbuatan gadai tersebut, jika saksi
batas sepadan tidak mengetahui pengalihan hak tersebut, maka gadai tanah
harta pusaka tinggi tersebut batal.19
Penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan
luas harta yang digadaikan, dan penafsirannya sesuai kesepakatan kedua
17 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan
Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1975), h.123. 18 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjol, h.114-115. 19 Ibid, h.115.
43
belah pihak. Sawah yang menjadi jaminan boleh ditebus oleh penggadai
paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali panen belum
ditebus oleh penggadai, maka hasil panen tersebut tetap diambil oleh
penerima gadai.20
Akad yang digunakan dalam pagang gadai ini adalah pinjam-meminjam
atau salang-bapasalang, maksudnya adalah seseorang meminjamkan uang
sedangkan yang seorang lagi meminjamkan tanahnya kepada yang
meminjamkan uangnya tadi.21
Berdasarkan pengertian dan mekanisme gadai di atas, gadai dalam adat
Minangkabau pada dasarnya timbul dari suatu perjanjian yang mempunyai
fungsi tolong-menolong, tidak mempunyai unsur pemerasan.22
2. Pemanfaatan Barang Gadai
Selama sawah milik penggadai digadaikan, maka pemanfaatan terhadap
sawah tersebut berada di tangan penerima gadai. Jika uang yang
dipinjamkan kepada penggadai belum dikembalikan, maka penerima gadai
bebas menggarap dan mengambil hasil dari sawah tersebut tanpa dikurangi
dengan jumlah utang yang ada.23
Berdasarkan hal di atas, di dalam adat Minangkabau pemanfaatan
barang gadai hanya dilakukan oleh satu pihak, yaitu penerima gadai.
Pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai ini berdasarkan atas
persetujuan penggadai, karena telah meminjamkan sejumlah uang kepada
penggadai, walaupun penggadai terpaksa mengizinkan penerima gadai
memanfaatkan barang gadai tersebut.
20 Ibid. 21 Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Center
for Minangkabau Studies, 1968), h.140. 22 Ibid, h.91. 23 Hasneni, “Tradisi Lokal Pagang Gadai Masyarakat Minangkabau Dalam Perspektif Hukum
Islam”, Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, 1, 1, (Januari-Juni, 2015), h.76.
44
3. Jangka Waktu dan Berakhirnya Gadai
Pada prinsipnya dalam gadai sawah waktu penebusan kembali uang
gadai itu tergantung kepada penggadai sebagai pemilik sawah. Ia dapat
menebus gadai itu kapan pun, paling kurang sudah dua kali panen.24 Apabila
pemilik sawah meninggal dunia, hak menebus ini beralih kepada ahli waris
dari pihak pemilik sawah. Selama itu penerima gadai menguasai sawah
tersebut selaku pemegang gadai.25
Gadai sawah tidak berakhir karena jangka waktu, karena perjanjian, dan
tidak pula berakhir karena penggadai meninggal dunia. Gadai sawah hanya
berakhir jika penggadai telah melunasi seluruh utangnya kepada penerima
gadai. Jika penggadai telah meninggal dunia dan ia belum melunasi
utangnya, maka pelunasan dilakukan oleh ahli warisnya.
C. Gadai Sawah di Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam
Jorong Bingkudu terletak di daerah pegunungan dan dataran tinggi, oleh
karena itu mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, di mana sawah yang
menjadi mata pencaharian utama sering dijadikan sebagai barang gadai ketika
seseorang membutuhkan uang dalam keadaan terdesak dan sawah belum
memasuki masa panen.
Pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu sudah berlangsung sejak
lama, dan tidak dapat disebutkan secara pasti awal mulanya praktik gadai ini.26
Masyarakat Jorong Bingkudu menyebut gadai sawah dengan istilah pagang
gadai. Orang yang melakukan gadai disebut “manggadai” (penggadai/rahin),
24 Amir Sjarifoedin, Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam
Bonjol, h.115. 25 Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan
Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, h.123. 26 Masrizal, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Jorong Bingkudu, 11 Februari 2018.
45
sedangkan yang menerima gadai disebut “mamagang” (penerima
gadai/murtahin).27
Pada dasarnya pelaksanaan gadai sawah di Jorong Bingkudu sesuai dengan
pelaksanaan gadai menurut adat Minangkabau, tetapi ada hal-hal yang berbeda
dengan gadai menurut adat Minangkabau, yaitu jangka waktu gadai, dan uang
yang digunakan dalam pelaksanaan gadai.
Pagang gadai/gadai sawah dalam masyarakat Jorong Bingkudu adalah akad
pinjam meminjam uang, di mana rahin meminjam uang kepada murtahin dan
murtahin dipinjami sawah oleh rahin, yang merupakan alternatif peminjaman
uang dengan cara cepat, mudah, aman, dan hemat sehingga tidak memberatkan
bagi masyarakat yang melakukan pinjaman. Pagang gadai ini hanya dilakukan
antar masyarakat saja, tidak dilaporkan kepada pihak pemerintahan. Pelaksanaan
gadai sawah di Jorong Bingkudu ini dilakukan ketika masyarakat Jorong
Bingkudu membutuhkan pinjaman uang, baik dalam jumlah yang besar maupun
kecil. Dilakukan semata-mata karena kebutuhan yang sangat mendesak dan
memerlukan dana secepatnya.28
Mengenai jangka waktu pelunasan barang gadai, hanya ditentukan jangka
waktu minimal pelunasan yaitu minimal 3 (tiga) tahun. Penebusan barang gadai
ini tergantung kepada kemampuan penggadai, sehingga banyak gadai yang
berlangsung selama bertahun-tahun karena penggadai belum memiliki uang
untuk menebus sawahnya kembali. Seperti yang diungkapkan oleh murtahin
(Ibu Arnis dan Ibu Yuliar) dan tokoh adat (Bapak Umar) sebagai berikut:
Ibu Arnis mengatakan, “ndak ado bateh wakatu no, bilo nan manggadai lah
ado pitih siang ditaua sawah no tapi minimal tigo taun (tidak ada batas
waktunya, ketika penggadai sudah punya uang untuk menebus sawahnya
disebutkan juga ada di dalam praktik gadai sawah di Jorong bingkudu, yaitu
dengan adanya penggadai, penerima gadai, barang yang digadaikan, utang yang
dipinjamkan, dan pernyataan kesepakatan.
Namun, jika diteliti lebih jauh syarat-syarat gadai yang ada di Jorong
Bingkudu terdapat beberapa ketidaksesuaian dengan syarat-syarat gadai yang
berlaku di dalam hukum Islam, yaitu syarat mengenai marhun (barang yang
digadaikan), marhun bihi (utang), dan shighat ijab qabul (pernyataan
kesepakatan), berikut penjelasan lebih lanjut:
1. Para Pihak (rahin dan murtahin)
Dalam praktik gadai sawah yang terjadi pada masyarakat Jorong
Bingkudu, para pihak (penggadai dan penerima gadai) yang melakukan
gadai sawah adalah orang-orang yang sudah berumur 30 tahun ke atas, atau
bisa dikatakan sudah baligh dan berakal sehat.
Praktik yang terjadi pada masyarakat Jorong Bingkudu itu telah sesuai
dengan aturan dalam hukum Islam, karena dalam hukum Islam setiap orang
yang sah dan boleh melakukan transaksi jual beli, maka sah dan boleh untuk
melakukan akad rahn. Karena rahn adalah sebuah kegiatan yang berkaitan
dengan harta seperti jual beli. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan
akad rahn harus memenuhi syarat-syarat orang yang sah melakukan
transaksi jual beli.3 Disyaratkan kedua belah pihak yang mengadakan akad
rahn (rahin dan murtahin) adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan
bertindak hukum menurut Jumhur Ulama (ulama Syafi’iyah, ulama
Malikiyah, dan ulama Hanabilah) adalah orang yang telah baligh dan
berakal. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang
berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja, oleh sebab itu
3 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.113.
50
anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn dengan syarat harus
mendapat persetujuan dari walinya.4
Yang dimaksud berakal adalah seseorang yang bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Apabila salah satu pihak,
baik rahin maupun murtahin tidak berakal, maka transaksi gadai tersebut
tidak sah, berdasarkan firman Allah swt.:
فهاء أموالكم التي جعل الله لكم قياما وارزقوهم في ها واكسوهم وقولوا وال ت ؤتوا الس
.لهم ق وال معروفا
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.”
2. Marhun (barang yang digadaikan) dan Marhun bihi (utang)
Pada bagian ini akan dibahas mengenai barang yang digadaikan
(marhun) dan utang (marhun bihi). Dalam hal barang yang digadaikan,
hanya akan dibahas mengenai kebolehan barang gadai tersebut dijual atau
tidak untuk melunasi utang. Sedangkan mengenai pemanfaatan terhadap
barang yang digadaikan akan dibahas secara khusus pada bagian B.
Dalam praktik gadai sawah yang terjadi pada masyarakat Jorong
Bingkudu, barang yang digadaikan (marhun) tidak boleh dijual untuk
melunasi utang, karena pada praktiknya utang tersebut tidak memiliki
jangka waktu pelunasan, hanya ada jangka waktu minimum pelunasan utang
yaitu 3 (tiga) tahun. Utang hanya boleh dilunasi dengan cara rahin
mengembalikan uang yang telah dipinjamnya dari murtahin, walaupun
pelunasan utang tersebut bisa memakan waktu yang cukup lama bahkan bisa
mencapai bertahun-tahun. Jika rahin belum bisa melunasi utangnya, maka
4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.254.
51
barang yang digadaikan berupa sawah itu tidak boleh dijual dan akan terus
berada di tangan murtahin hingga rahin bisa melunasi utangnya, karena
kepemilikan terhadap barang yang digadaikan tersebut tetap berada pada
rahin walaupun pemanfaatannya berada pada murtahin. Murtahin hanya
diperbolehkan untuk memanfaatkan barang yang digadaikan itu secara
terus-menerus tanpa batas waktu hingga rahin melunasi utangnya. Apabila
rahin telah meninggal dunia dan utangnya belum dilunasi, maka kewajiban
pelunasan utang tersebut berada di tangan ahli warisnya, dan seterusnya
hingga utang benar-benar telah dilunasi oleh rahin dengan cara
mengembalikan uang yang telah dipinjam. Hal ini terkait dengan aturan
gadai sawah/pagang gadai dalam adat Minangkabau, di mana sawah yang
merupakan harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan jika dalam keadaan
terdesak harta pusaka tinggi tersebut hanya boleh digadai saja.
Praktik pagang gadai/gadai sawah yang dilakukan masyarakat Jorong
Bingkudu ini tidak sesuai dengan syarat barang yang digadaikan (marhun)
dan syarat utang (marhun bihi) yang ditetapkan dalam hukum Islam. Dalam
hukum Islam, barang yang digadaikan pada dasarnya hanya berfungsi
sebagai barang jaminan saja, di mana ketika rahin tidak bisa melunasi
utangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka barang jaminan itu boleh
dijual untuk melunasi utang. Apabila hasil penjualan barang gadai tersebut
kurang dari jumlah utang yang ada, maka rahin wajib menambah
pembayaran sisa utangnya kepada murtahin, tetapi apabila hasil penjualan
barang yang digadaikan tersebut melebihi dari jumlah utang yang ada, maka
murtahin wajib mengembalikan kepada rahin sisa dari kelebihan hasil
penjualan tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa barang yang
digadaikan (marhun) di dalam syariat Islam adalah sebagai jaminan utang,
di mana jika rahin belum bisa melunasi utangnya maka barang yang
digadaikan tersebut bisa dijual untuk melunasi utang. Hal ini berbeda
52
dengan apa yang terjadi di Jorong Bingkudu, bahwa barang yang digadaikan
itu bukan berfungsi sebagai jaminan utang yang nantinya bisa dijual untuk
melunasi utang, karena utang tersebut tidak memiliki batas waktu maksimal,
sehingga utang tersebut bisa bertahun-tahun kemudian dilunasi oleh rahin.
3. Shighat Ijab Qabul (pernyataan kesepakatan)
Shighat yang dilakukan oleh rahin dan murtahin dalam praktik gadai
sawah di Jorong Bingkudu ialah berupa ucapan si penggadai yang berbunyi
“pinjamkan saya sejumlah uang dan saya pinjamkan sawah” yang kemudian
dijawab si penerima gadai yang berbunyi “saya pinjami uang dan saya
manfaatkan sawahnya sampai pinjaman tersebut dilunasi dengan jangka
waktu pelunasan paling cepat adalah 3 (tiga) tahun”.
Praktik yang terjadi pada masyarakat Jorong Bingkudu ini tidak sesuai
dengan syarat shighat dalam hukum Islam. Ulama Hanafiyah, ulama
Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan ulama Hanabilah sepakat mengatakan
dalam akad itu rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau
dikaitkan dengan masa yang akan datang. Apabila akad rahn itu dikaitkan
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka
syaratnya tidak sah sekaligus menjadikan akad rahn yang ada ikut menjadi
tidak sah. Misalnya, penggadai mensyaratkan apabila tenggang waktu utang
telah habis dan utang belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang satu
bulan, atau penerima gadai mensyaratkan barang yang digadaikan itu boleh
ia manfaatkan.5
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, jika dilihat dari segi rukun gadai
maka pelaksanaan gadai sawah pada masyarakat Jorong Bingkudu telah sesuai
dengan aturan rukun gadai dalam hukum Islam, tetapi jika dilihat dari segi syarat
5 Ibid, h.254.
53
gadai maka pelaksanaan gadai sawah yang dilakukan di Jorong Bingkudu,
terdapat beberapa aspek yang tidak sesuai dengan aturan syarat gadai dalam
hukum Islam, yaitu mengenai syarat barang yang digadaikan (marhun), syarat
utang (marhun bihi), dan pernyataan kesepakatan (shighat ijab qabul), di mana
ketidaksesuaian ini menyebabkan akad gadai yang ada menjadi batal atau tidak
sah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat gadai yang berlaku dalam hukum
Islam.
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemanfaatan Barang Gadai di
Masyarakat Jorong Bingkudu Kecamatan Candung Kabupaten Agam
Pada bagian ini akan dibahas secara khusus tentang tinjauan hukum Islam
terhadap pemanfaatan barang gadai oleh murtahin (penerima gadai) yang terjadi
di Jorong Bingkudu.
Dalam praktik gadai yang terjadi pada masyarakat Jorong Bingkudu,
pemanfaatan/penggarapan sawah dilakukan sepenuhnya oleh murtahin
(penerima gadai) atas izin rahin (penggadai), di mana pemberian izin untuk
pemanfaatan/penggarapan sawah tersebut oleh penggadai kepada penerima gadai
dilakukan dengan terpaksa agar penggadai mendapatkan pinjaman uang, karena
penggadai sedang dalam kondisi terdesak membutuhkan pinjaman sejumlah
uang dan pemanfaatan/penggarapan sawah tersebut disyaratkan di awal akad.
Pemanfaatan terhadap barang gadai di Jorong Bingkudu tidak memiliki jangka
waktu, karena pada praktiknya di Jorong Bingkudu tidak ada waktu maksimum
untuk pelunasan utang, hanya ada waktu minimum untuk pelunasan utang, yaitu
minimal 3 (tiga) tahun.
Gadai merupakan salah satu sarana tolong-menolong di antara sesama
manusia tanpa mengharapkan adanya imbalan jasa.6 Akad yang digunakan
dalam gadai adalah akad tabarru’, yang dilakukan dalam rangka berbuat
6 Ibid, h.251.
54
kebaikan bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan komersil. Dalam akad
tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan imbalan
apapun kepada pihak lainnya,7 termasuk pemanfaatan terhadap barang yang
digadaikan.
Dalam hal pemanfaatan barang gadai oleh murtahin, ulama Malikiyah dan
sebagian ulama Hanafiyah sepakat mengatakan bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan barang yang digadaikan, baik itu dalam bentuk menggunakan,
menaiki, menanami, mengenakan, menempati, dan lain sebagainya, karena
barang yang digadaikan tersebut bukan miliknya secara penuh walaupun
diizinkan oleh rahin. Hak murtahin terhadap barang yang digadaikan itu hanya
sebatas sebagai jaminan piutang yang ia berikan kepada rahin. Apabila murtahin
memanfaatkan barang gadai, maka hasil pemanfaatan dari barang gadai
termasuk ke dalam kategori riba yang diharamkan, karena pemanfaatan barang
gadai berupa sawah ini menghasilkan suatu keuntungan bagi murtahin, sehingga
keuntungan dari sebuah utang pinjaman adalah riba, hal ini berdasarkan hadits:
ف عة وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل ق رض جر من
ف هو ربا . )رواه الحارث بن أبي أسامة وإسناده ساقط(
Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw.
bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah
riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat
lemah)8
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja
dalam gadai ada barang yang dijaminkan, riba akan terjadi dalam memberikan
tambahan kepada gadai yang ditentukan. Misalnya, rahin harus memberikan
tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai
7 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.66. 8 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul