PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI NIM: 11160480000098 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2020 M
83
Embed
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI
NIM: 11160480000098
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI
NIM: 11160480000098
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI
NIM: 11160480000098
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
NIP. 19670203 201411 1 101
Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H.
NUPN. 9920112862
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM
PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016” telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 November 2020.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Januari 2021
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 101
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (…………….)
NIP. 19670203 201411 1 101
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (…………….)
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (…………….)
NIP. 19670203 201411 1 101
4. Pembimbing II : Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H. (…………….)
NUPN. 9920112862
5. Penguji I : Dr. Abdul Halim, M.Ag. (…………….)
NIP. 19670608 199403 1 005
6. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (…………….)
NIDN. 2021088601
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Muhamad Guntar Hariyudi
NIM : 11160480000098
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. Batu I/34, RT.007/RW.001, Kelurahan Pejaten Timur,
atau kebebasan untuk membuat pertimbangan, penilaian, dan perkiraan.
Tentunya pertimbangan, penilaian, dan perkiraan tersebut dibuat oleh seseorang
atau suatu jabatan dalam hubungan dengan suatu keadaan, situasi, hal atau
masalah tertentu.3 Diskresi dapat menjadi sebuah sarana untuk mengisi
kekosongan aturan dalam sebuah mekanisme terntentu, namun disisi lain juga
dapat menjadi biang malapetaka jika digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai.
Hakim dalam menafirkan asas ketertiban umum haruslah melihat pada
hukum yang berlaku seiring dengan perkembangan jaman. Hal ini sejalan dengan
faham hukum progresif sebagaimana yang digagas oleh Satjipto Raharjo, bahwa
hukum hendaknya mengikuti perkembangan jaman dengan segala dasar di
dalamnya. Maka tidaklah haram bagi hakim untuk menyimpangi undang-
undang, jika keadilan dapat diperoleh dengan jalan menyimpangi tersebut dan
justru keadilan akan muncul jika aturan undang-undang diterapkan.4 Maka
menurut peneliti penting untuk menggali bagaimana asas ketertiban umum yang
berlaku dan hidup di Indonesia.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 asas
ketertiban umum menjadi alasan hakim untuk menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional/asing tersebut. Terlihat bahwa hakim memperkuat Judex
Juris dan Judex Factie pada Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 01
K/Pdt.Sus/2010 dan Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:
Putusan Arbitrase Internasional berdasaran Nomor : 32 Tahun 2009 bahwa Astro
Group tidak memenuhi persyaratan pada Pasal 66 huruf c Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
3 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Pemerintah, Asas-Asas Hukum
Pemerintah yang Baik, (Jakarta: Erlangga,2010), h. 70. 4 Darmoko Yuti Witanto, Arya Putra, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substatif dalam Perkara-Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2013), h. 123.
45
Keputusan tersebut mempertegas bahwa putusan arbitrase tersebut untuk
menghentikan proses peradilan di Indonesia adalah melanggar asas Souvereignty
dari Negara Republik Indonesia, karena tidak ada sesuatu kekuatan asing pun
yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini
jelas melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia.5
Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai dengan asas hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia sesuatu pemeriksaan perkara yang sedang
berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang
berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain.6 Hal tersebut
sebagaiman telah diatur pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pada putusan ini peneliti menemukan bahwa yang dimaksud dengan
bertentangan dengan asas ketertiban umum apabila bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia, serta telah melanggar kedaulatan
negara dan kedaulatan hukum Negara Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan
ruang lingkup ketertiban umum yang diklasifikasikan menjadi dua oleh M.
Yahya Harahap; a.) Penafsiran sempit yang berarti ketertiban umum hanya
terbatas pada ketentuan hukum positif yang ada; dan b.) Penafsiran luas dimana
ketertiban umum adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan
tumbuh dalam kesadaran masyarakat.
Maka dalam menggali definisi asas ketertiban umum lebih lanjut, peneliti
juga akan melihat putusan-putusan hakim yang menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional/asing di Indonesia yang dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum. Dalam hal ini diantaranya adalah sengketa bisnis antara
5 Salinana Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 37. 6 Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, h. 16.
46
Bankers Trust dan Mayora Indah/Jakarta Internasional Hotels & Development
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, dan
sengketa bisnis antara E.D. & F Man Sugar Ltd dan Yani Haryanto dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91.
Sengketa bisnis antara E.D. & F Man Sugar Ltd melawan Yani Haryanto
pada intinya terjadi karena perjanjian (irrevocable letter of credit) yang
disepakati kedua belah pihak pada tahun 1982, dalam perjanjian ini Yani
Haryanto sepakat untuk membeli 300.000 ton gula dari E.D. & F Man Sugar Ltd
dimana keseluruhan gula akan diterima Yani pada tahun 1983/1984. Para pihak
sepakat untuk menggunakan lembaga arbitrase di London dan mendasarkan
kepada hukum Inggris jika suatu saat terjadi sengketa.
Namun harga gula pasir di Indonesia mengalami penurunan harga pada
tahun 1982/1983 yang membuat yani membatalkan perjanjian yang telah
disepakati di awal secara sepihak. Sayangnya F Man telah membeli gula pasir
dari pihak ketiga demi memenuhi prestasi yang timbul karena perjanjian tersebut.
Pada bulan Juni 1984 karena merasa dirugikan maka F Man mengajukan gugatan
Arbitrase ke London Court of Arbitration untuk menuntut kerugian sebesar US$
146,300,000 karena wanprestasi yang dilakukan oleh Yani yang tuntutan tersebut
dikabulkan oleh pengadilan London, kemudian Yani melakukan banding dengan
alasan tidak paham dengan Bahasa yang digunakan yang kemudian ditolak oleh
Pengadilan Tinggi Inggris.
Pada tanggal 7 Juli 1986, para pihak akhirnya mengadakan negosiasi yang
disepakati dengan pembayaran US$ 27,000,000 oleh Yani kepada F Man, namun
sayangnya hingga 31 Juli 1987 Yani hanya dapat membayar total sebesar US$
5,000,000 kepada F Man. Yani kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk meminta pembatalan perjanjian dengan alasan
perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1971 dan Nomor 39 Tahun 1978 yang mengatur bahwa hanya Badan Urusan
47
Logistik (BULOG) yang dapat melakukan kegiatan impor gula di Indonesia.
Gugatan tersebut dikabulkan dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.
Sementara itu F Man mengajukan permohonan eksekuatur atas putusan
arbitrase asing yang dikeluarkan oleh London Court of Arbitration, dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91
mengabulkan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, namun Pegadilan Negeri
Jakarta Pusat memutuskan untuk menunda terlebih dahulu pelaksanaan tersebut
dengan alasan masih berlanjutnya proses kasasi di Mahkamah Agung Republik
Indonesia tentang pembatalan perjanjian oleh Yani.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pdt/1990 dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1203 K/Pdt/1990 memberikan putusan yang
sama dengan menyatakan bahwa perjanjian antara F Man dan Yani batal demi
hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan ini kemudian
memberikan dampak pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.
Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 yang dikoreksi dan menjatuhkan putusan menolak eksekusi
putusan arbitrase London tersebut dengan pertimbangan hukum bahwa
mengingat perjanjian tersebut telah batal demi hukum yang menjadikan putusan
ini yang telah mengabulkan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebelumnnya
menjadi tidak relevan lagi.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 dapat
kita lihat hakim menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing
dengan alasan bertentangan dengan asas ketertiban umum. Hal ini didasarkan
pada Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan dasar perjanjian arbitrase
tersebut batal demi hukum karena mengandung sebab yang tidak halal. Dimana
isi perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1971 dan Nomor 39 Tahun 1978. Maka perjanjian ini telah melanggar Pasal 1320
KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Pertama,
adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua, kecakapan
48
para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, suatu hal tertentu; Keempat,
suatu sebab (causa) yang halal. Dengan demikian pada kasus ini yang dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum adalah pelanggaran hukum dan peraturan
yang berlaku di Indonesia.7
Selanjutnya pada sengketa bisnis antara Bankers Trust dan Mayora
Indah/Jakarta Internasional Hotels & Development dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000. Perkara ini diawali dari
ditandatanganinya Perjanjian International Swaps and Derivatives Association
(ISDA) Master Agreement pada tanggal 25 April 1997 antara PT. Mayora dan
PT. BTI. Seiring dengan berjalannya waktu PT. Mayora tidak dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan perjanjian, maka PT. BTI kemudian menggugat PT.
Mayora ke hadapan lebaga The London Court of International Arbitration di
London Inggris. Lembaga arbitrase ini akhirnya memutuskan berdasarkan
Putusan Nomor 8119 tertanggal 8 Agustus 1999 dan 19 Agustus 1999,
menyatakan bahwa pihak PT. Mayora bersalah karena lalai dalam melakukan
pembayaran kepada PT. BTI dan oleh karena itu PT. BTI berhak atas ganti rugi
berdasarkan Pasal 11 Master Agreement dan terhadap biaya-biaya yang telah
dikeluarkan.
Disaat yang sama, PT. Mayora mengajukan gugatan yang berisi
permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar perjanjian ISDA
Master Agreement yang telah dibuat kedua belah pihak dapat dibatalkan dengan
alasan karena menurut pihak Penggugat (PT. Mayora), penggugat tidak
menandatangani ISDA Master Agreement tanpa schedule pada tanggal 25 April
1997 sebagaimana yang tertera dalam perjanjian, melainkan ditandatangani pada
18 Agustus 1997 sehingga perjanjian tersebut dianggap cacat secara hukum.8
7 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003), h. 330. 8 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan
Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 67.
49
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menolak eksepsi yang
diberikan oleh PT. BTI dengan menimbang, bahwa para pihak harus
menundukkan diri pada English Court di London atau pada yurisdiksi
noneksklusif dari Pengadilan Negara bagian New York, tetapi di bagian akhir
dari Pasal 13 (b) (iii) itu terdapat pula klausul yang disepakati oleh masing-
masing pihak di dalam perjanjian tersebut, yang bunyinya sebagai berikut.
“Perjanjian ini tidak akan merintangi salah satu pihak untuk mengajukan gugatan
pada yurisdiksi lain (bagian luar, jika perjanjian ini dinyatakan tunduk pada
Hukum Inggris, Negara dari pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 1 (3) Civil Jurisdiction dan Act of 1982 atau pada
perubahan-perubahannya yang dibuat terhadapnya) juga pengajuan pada satu
atau lebih yurisdiksi tidak akan merintangi pengajuan gugatan pada yurisdiksi
lain.”
Akhirnya, pada tanggal 5 Oktober 1999 hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan telah memutuskan perkara ini dengan memenangkan pihak PT. Mayora
dan membatalkan perjanjian antara PT. Mayora dan PT. BTI. Akibatnya
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarakan penetapan yang menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase London yang bersangkutan
di Indonesia. Pihak BTI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 04
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh
pihak PT BTI dengan pertimbangan hukum “Bahwa oleh karena itu maka
permohonan exequatur harus ditolak, karena bertentangan dengan tertib hukum
yang berlaku, khususnya tertib beracara. Pemohon exequatur seharusnya
mengetahui bahwa hubungan hukum yang menjadi dasar putusan arbitrase
internasional tidak dapat dibenarkan karena pemohon sendiri sebagai pihak
dalam perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.”
Putusan Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 pun menolak pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase internasional/asing dikarenakan adanya hubungan
50
hukum yang masih menjadi sengketa dalam perkara yang diputus Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor: 489/Pdt.G/1998. Hal ini dianggap melanggar
sistem hukum di Indonesia, yakni tertib hukum beracara di Indonesia.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 1990
“Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata
bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh sistem hukum dan
masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).
Dari beberapa putusan yang menolak eksekusi putusan arbitrase
internasional dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum, peniliti
menarik kesimpulan bahwa sesuatu hal dianggap bertentangan dengan ketertiban
umum apabila bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum
dan masyarakat di Indonesia, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, dan telah melanggar kedaulatan negara dan
kedaualatan hukum Negara Republik Indonesia. Maka Negara Republik
Indonesia adalah negara yang menganut paham ketertiban umum secara sempit.
Dr. Tineke Louise Tuegeh Longdong menyatakan bahwa terdapat negara yang
lebih mementingkan ketertiban umum intern, yang beranggapan bahwa
perjanjian luar negeri yang mengandung klausula arbitrase tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum intern negara tersebut.9
Beberapa putusan diatas juga menandakan bahwa asas ketertiban umum
dapat berbeda pemahaman dan artinya dalam rentang dimensi waktu, ruang,
tempat, dan subjek yang berbeda.10 Kesimpulan peneliti ini dipertegas oleh Frans
Winarta di dalam Report on the Public Policy Exeption in the New York
Convention dengan mengatakan Pengadilan cenderung mengklasifikasikan
pelanggaran ketertiban umum ke dalam tiga kategori: 1) pelanggaran hukum dan
9 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung: PT. Karya Kita, 2003), h. 234. 10 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya,
(Jakarta: Kencana, 2015), h. 420.
51
peraturan yang berlaku di Indonesia; 2) bahaya bagi kepentingan Indonesia,
termasuk ekonominya; dan 3) pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia.11
2. Tidak adanya Itikad Baik Para Pihak
Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada
dasarnya memiliki banyak kelebihan sebagai sarana penyelesaian sengketa,
namun dalam hal ini ternyata arbitrase masih memiliki kekurangan seperti, para
pihak yang tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase internnasional
tersebut yang mengharuskan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri, serta
permasalahan pelaksanaan dan pengakuan keputusan arbitrase
internasional/asing.
Maka apabila para pihak tidak beritikad baik untuk melaksanakan putusan
arbitrase tersebut dibutuhkan penetapan eksekusi sebuah putusan arbitrase
internasional/asing melalui Pengadilan Negeri di Indonesia. Dalam hal ini Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberikan kewenangan untuk menolak dan
menerima pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Hal ini telah jelas
dinyatakan di dalam Pasal 65 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni, “Yang berwenang menangani
masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.
Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diketahui prosedur eksekusi
putusan arbitrase internasional di Indonesia, diantaranya melalui tahap:12
a. Tahap penyerahan dan pendaftaran putusan
Permohonan pelaksanaan putusan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Pasal 67 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999).
11 IBA Subcommittee on Recognition and Enforcement of Arbitral Awards: Report on the
Public Policy Exception in the New York Convention, October 2015, h. 9. 12 Prasetyo Budi Sunarso, Sugijono, Emi Zulaika, Pelaksanaan Arbitrase Internasional di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, h. 9.
52
b. Tahap permohonan pelaksanaan putusan, berkas permohonan meliputi:
1) Permohonan pelaksanaan eksekusi oleh arbiter atau kuasanya;
2) Lembar asli atau Salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai
kekuatan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam Bahasa Indonesia;
3) Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan
Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
4) Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. (Pasal 67
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
c. Tahap perintah pelaksanaan oleh Ketua Pengadilan Negeri (eksekuatur),
dengan tahapan sebagai berikut:
1) Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengirimkan berkas permohonan
eksekusi kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk
memperoleh eksekuatur (Pasal 5 Ayat (2) Perma 1/1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing);
2) Putusan Eksekuatur diberikan oleh Mahkamah Agung dan pelaksanaan
selanjutnya diserahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi.
d. Tahap pelaksanaan putusan arbitrase:
1) Tata cara peyitaan dan pelaksanaan putusan mengikuti tata cara
sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 69 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
53
2) Pelaksanaan eksekusi selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang secara relative berwenang melaksanakannya. (Pasal 69 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
pihak pemohon yaitu Astro Group telah memenuhi berkas-berkas sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 67 ayat (2) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun Putusan Arbitrase yang
didaftarkan tidak mendapatkan perintah eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat karena dinilai tidak sesuai dengan salah satu persyaratan pengakuan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Peneliti dalam melihat bahwa penolakan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional/asing dalam putusan ini tidak terlepas dari tidak adanya itikad baik
dari pihak termohon. Hal ini dapat dilihat Ketika termohon melakukan gugatan
perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan
para pihak telah menyetujui Subscription and Shareholders Agreement (SSA)
yang di dalamnya mengatur klausul arbitrase.
Padahal sudah sangat jelas dijelaskan pada Pasal 3 jo. Pasal 11 Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase maka hal ini telah menghapus
kewenangan pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Selanjutnya pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.
Ex’r/Arb.Int/Pdt/91. Pihak termohon Yani Haryanto setelah dinyatakan kalah
pada putusan arbitrase internasional/asing, justru melakukan upaya pembatalan
perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional/asing.
Pada tanggal 7 Juli 1986, para pihak akhirnya mengadakan negosiasi yang
disepakati dengan pembayaran US$ 27,000,000 oleh Yani kepada F Man, namun
sayangnya hingga 31 Juli 1987 Yani hanya dapat membayar total sebesar US$
54
5,000,000 kepada F Man. Yani kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk meminta pembatalan perjanjian dengan alasan
perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1971 dan Nomor 39 Tahun 1978 yang mengatur bahwa hanya Badan Urusan
Logistik (BULOG) yang dapat melakukan kegiatan impor gula di Indonesia.
Gugatan tersebut dikabulkan dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.
Tidak adanya itikad baik pihak termohon terlihat jelas pada penggalan
kronologi di atas. Dimana para pihak setuju untuk menandatangani perjanjian
(irrevocable letter of credit) yang disepakati kedua belah pihak pada tahun 1982,
namun ketika termohon dinyatakan bersalah dan harus mengganti sejumlah uang
pada putusan London Court of Arbitration. Termohon justru meminta
pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian tersebut bertentangan dengan
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 dan Nomor 39 Tahun 1978.
Dari beberapa kasus di atas dapat dilihat bahwa tidak adanya itikad baik
para pihak dalam menjalankan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase
merupakan ikatan dan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para
pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan
peradilan.13 Namun salah satu pihak justru mengajukan penyelesaian ke badan
peradilan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nili Cohen mengenai
itikad baik sebagai pembatasan kebebasan berkontrak yang setidaknya didasari
oleh dua hal, yaitu: a) semakin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana itikad
baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat
13 M. Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari : Reglement Acara Perdata (Rv), Peraturan
Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNICITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan
PERMA No. 1 Tahun 1990, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 62.
55
dibuatnya kontrak; b) semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden atau undue influenze).14
Jika memang pihak termohon memiliki itikad baik, terdapat beberapa
upaya yang dapat dilakukan oleh termohon dalam membatalkan putusan arbitrase
internasional/asing, maupun membatalkan perjanjian yang menjadi dasar
putusan itu sendiri.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase berkaitan dengan hukum dari
negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan atau disebut lex arbitri sebagaimana
diatur dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 yang pada
pokoknya menegaskan bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional hanya
dapat diajukan di pengadilan di negara mana dan berdasarkan hukum negara
mana putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan.15 Sebagai contoh lex
arbitri untuk membatalkan sebuah putusan arbitrase internasional/asing di
Indonesia terdapat pada Pasal 70 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal ini kemudian banyak
dijadikan landasan dalam pengajuan pembatalan putusan arbitrase internasional
di Indonesia.
Lex arbitri adalah hukum yang berkaitan dengan arbitrase, dari negara
mana tempat arbitrase diselenggarakan. Lex arbitri ini menentukan beberapa hal,
seperti apakah perjanjian arbitrase sah; apakah sengketa tertentu dapat
diselesaikan melelui arbitrase; apakah pengadilan akan memberikan upaya
hukum provisional/sementara; apakah harus ada putusan yang berdasarkan
pertimbangan yang beralasan; apakah keputusan arbitrase dapat ditinjau kembali
mengenai materi atau dasar-dasar lainnya.16 Dari penjelasan di atas peneliti
14 Luh Nila Winarni, Prinsip Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Kontrak,
(Bali: Udayana University Press, 2016), h. 41. 15 Yuanita Permatasari, Kewenangan Pengadilan Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional Di Indonesia, Jurnal Privat Law, Juli-Desember 2017, Vol. V, No. 2, h. 29. 16 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h. 51-52.
56
berpendapat bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional bukanlah
wewenang dari pengadilan negeri di Indonesia selama dasar hukum yang
digunakan dalam pembuatan perjanjiannya adalah hukum yang berada di luar
wilayah negara Republik Indonesia. Berbeda halnya dengan kewenangan
pengadilan negeri untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional
sebagai bentuk dari kedaulatan sebuah negara yang diatur secara khusus di
bagian arbitrase internasional pada Pasal 65 Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
Berangkat dari serangkaian pemahaman sebagaimana yang telah peneliti
paparkan di atas, maka dapat peneliti jabarkan hal substansial dalam analisis
penelitian ini, yaitu:
Analisis Pertimbangan Hukum Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor 67
PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 Juncto Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomot 01
K/Pdt.Sus/2010 dan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) Tanggal 07 Mei 2009
1. Analisis Pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Guna keperluan penelitian agar lebih menyeluruh maka kiranya dalam hal
ini peneliti akan menganalisis hal-hal yang menjadi pertimbangan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penetapan permohonan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase internasional oleh Astro Grup sebagai pemohon.
a. Menimbang permohonan yang diajukan pada intinya berisi:
1) Karena di dalam Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan
yang sudah ditetapkan yaitu menginterfensi pelaksanaan proses peradilan
di Indonesia untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus No.
1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL) dan tidak mengambil langkah lebih lanjut
dalam proses peradilan di Indonesia.
57
Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang pada intinya,
yakni:
1) Perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa akan dan timbul dalam perjanjian ke Pengadilan
Negeri;
2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak mencampuri dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah diperjanjikan untuk diselesaikan
melalui arbitrase.
Adapun pihak pemohon Astro Group dan termohon PT. Ayunda
Prima Mitra, PT. First Media, Tbk, dan PT. Direct Vision telah terikat pada
Perjanjian Subscription and Shareholders Agreement (SSA) yang memiliki
klausula arbitrase pada Pasal 17.4 mengenai prosedur penyelesaian
sengketa berbunyi sebagai berikut:
If the Parties in dispute are unable to resolve the subject matter of dispute
amicably within thirty (30) days, then any Party in dispute may commence
binding arbitration through the Singapore International Arbitration
Centre (SIAC) and in accordance except as herein stated, with all the rules
of SIAC. The arbitration shall take place at the Singapore International
Arbitration Centre and the award of the arbitrators shall be final and
binding upon the Parties.
(Terjemahan bebas dari penulis: Jika para pihak yang berperkara tidak
dapat menyelesaikan perkara mereka secara mufakat dalam waktu tiga
puluh hari, maka semua pihak yang berperkara dapat memulai proses
arbitrase pada SIAC sesuai dengan Rules of SIAC, kecuali ditentukan lain
pada Perjanjian ini. Pemeriksaan Arbitrase, termasuk pengambilan pada
putusan, dilaksanakan di SIAC, dan putusan arbitrase adalah final dan
mengikat terhadap para Pihak.)
Peneliti menilai bahwa pertimbangan yang dilakukan Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keliru, disamping karena para pihak telah
sepakat untuk menyelesaikan perkara yang akan timbul di arbitrase, para
58
pihak juga diperkuat asas pacta sunt servanda yang tercermin dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata. Dengan asas ini hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.17
2) Karena Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC
No.062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) bukan merupakan putusan
akhir/final.
Berdasarkan Pasal V ayat (1) huruf (e) New York Convention: “The
award has not yet become binding on the parties or has been set aside or
suspended by a competent authority of the country in which, or under the
law of which, that award was made.” Suatu putusan yang belum
mengikat/binding di bidang arbitrase, pada dasarnya merujuk kepada
ketentuan rules yang menjadi sumber proses penyelesaian yang disepakati.
Dimana dalam putusan ini adalah peraturan SIAC, maka Putusan Arbitrase
ini dinyatakan bersifat akhir dan mengikat (final and binding) bagi para
pihak yang mengikatkan diri di dalamnya.
Karena para Pemohon telah melampirkan dokumen-dokumen
pendukung yang diajukan oleh Pemohon Eksekuatur seperti:
1) Klarifikasi dari tribunal arbitrase bahwa Putusan SIAC Arbitration
No.062/08 bukan putusan sela (interim) namun merupakan putusan
akhir.
2) Bahwa Putusan SIAC Arbitration No. 062/08 masuk dalam lingkup
sengketa dagang karena berisi hukuman atas pelanggaran klausula non
17 Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Praktik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), h. 10.
59
litigation (larangan membawa perselisihan ke Pengadilan) yang diatur
dalam Pasal 17.4 SSA, suatu perjanjian yang mengatur mengenai usaha
patungan (Joint Venture).
3) Kemudian juga diklarifikasikan bahwa Putusan SIAC Arbitration No.
062/08 tersebut tidak memerintahkan Pengadilan Indonesia untuk
menghentikan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun
memerintahkan agar termohon di dalam arbitrase yaitu PT Ayunda
Prima Mitra untuk menghentikan gugatannya terhadap Pemohon yang
mana hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 jo. Pasal 11
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa jo. Pasal 134 HIR sehingga tidak bertentangan
dengan tertib hukum di Indonesia.
Dari dokumen-dokumen pendukung di atas maka dapat dikatakan
bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan SIAC merupakan putusan
akhir/final karena telah sesuai dengan Keppres No. 34 Tahun 1981 yang
telah diatur dalam Pasal 2 PERMA Nomor 1 Tahun 1990 yang
menjelaskan: “Yang dimaksud dengan Putusan Arbitrase Asing adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan
suatu Badan Arbitrase ataupun Arbitre perorangan yang menurut ketentuan
hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase
Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34
Tahun 1981 Lembaran Negara Tahun 1981 No. 40 tanggal 5 Agustus
1981.”
2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi adalah:
Adapun pertimbangannya sebagai berikut:18
18 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 36-37.
60
1) Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung
berpendapat sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat diterima oleh karena:
1. Judex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum:
1. Dari segi hukum acara:
- Walaupun Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase tidak mengatur pihak
III boleh memberikan bantahan selama proses pendaftaran untuk
memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,
namun asas hukum acara yang berlaku di Indonesia memberi hak
kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mempertahankan
hak-haknya yang dilanggar atau terancam dalam Azas “Poin’t de
Interest Poin’t de action” memberikan hak kepada pihak yang
bersangkutan dengan putusan arbitrase tersebut untuk memberikan
sanggahan atas kemungkinan eksekusi yang akan merugikan dirinya.
- Tindakan eksekuator oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 66 huruf d Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 adalah langkah awal untuk dilaksanakannya (eksekusi)
putusan arbitrase internasional sehingga pihak Termohon eksekusi
putusan arbitrase SIAC mempunyai kepentingan atas Permohonan
eksekuator oleh Pemohon;
Adapun peneliti setuju dengan alasan pemohon bahwa judex facti (Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) telah keliru dengan mempertimbangkan surat
dan permohonan yang diajukan oleh pihak lain selain pihak pemohon eksekuatur
dalam mengeluarkan penetapan non eksekuatur. Proses pemeriksaan dalam
sebuah permohonan pada dasarnya dilakukan secara ex-parte yang berarti
bersifat, hanya mendengat keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan
dengan permohonan, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon,
dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Dalam prosesnya permohonan
61
tidak ditegakkan asas mendengar jawaban atau bantahan pihak lawan/asas audi
et alteram partem.
Proses tersebut nyatanya juga diterangkan di dalam Pasal 59 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Namun walaupun Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur tentang
penolakan oleh pihak termohon namun penolakan dari pihak termohon dapat
dilakukan berdasarkan Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958 dengan
membuktikan alasan-alasan pernolakan tersebut. Alasan penolakan pelaksanaan
suatu keputusan arbitrase internasional, yang antara lain:19
1) Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut
hukum nasionalnya tidak mampu, atau menurut hukum yang mengatur
perjanjian tersebut dibuat, apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang
berlaku;
2) Pihak terhadap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang
sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak
dapat mengajukan kasusnya;
3) Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk
diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang
berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan; atau
4) Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat
arbitrase berlangsung; atau
19 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,
(Jakarta: Kencana, 2015), h. 394-395.
62
5) Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan
atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan
dibuat.
Namun jika dilihat dari alasan penolakan termohon sebagaimana yang
dijelaskan oleh pemohon yang antara lain:
- Bahwa sengketa dalam perkara arbitrase tersebut di atas oleh para
pemohon/penggugat baru didaftarkan pada SIAC tanggal 6 Oktober 2008
sedangkan sebelumnya termohon PT Ayunda Prima Mitras sudah
mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap para
pemohon/penggugat di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
tanggal 2 september 2008 Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL.
- Bahwa sengketa dalam Putusan Arbitrase SIAC No. 062 (ARB062/08/JL),
bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 66 ayat b Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Bahwa sengketa dalam Putusan Arbitrase SIAC No. 062 (ARB062/08/JL),
adalah intervensi terhadap berlakunya tertib hukum acara Perdata di
Indonesia, yaitu dapat dilihat dalam amarnya yang berbunyi “Segera
menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus
No.1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL) sepanjang berkaitan dengan C6, C7, C8
dan Mr Ralp Marshall.
Dari alasan para termohon diatas dapat disimpulkan bahwa pemohon
tidak berhak untuk melakukan penolakan atas putusan arbitrase internasional di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini dikarenakan, alasan termohon untuk
menolak putusan arbitrase internasional tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
yang ada dalam Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958.
2. Dari segi hukum materil:
- Bahwa penolakan pemberian eksekuator oleh Judex Facti adalah
sudah benar dan tepat karena:
63
- Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk mengehentikan
proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas Souvereignty
dari Negara Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun
yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di
Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum;
- Materi yang termuat dalam putusan arbitrase SIAC tersebut bukan
termasuk bidang perdagangan tetapi termasuk dalam hukum acara;
Pada kasus perdata yang digugat oleh termohon dalam gugatannya pada
dasarnya merupakan gugatan wansprestasi bukan perbuatan melawan hukum,
karena isi dari gugatannya adalah permasalahan pemberian modal dari Astro
Grup yang ada di dalam perjanjian SSA. Menurut subekti, wanprestasi (kealpaan
atau kelalaian) seorang debitur dapat berupa empat macam:20
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
2) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Maka yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa adalah SIAC
sebagaimaa telah tertuang pada klausula arbitrase di Pasal 17.4 SSA yang
disepakati oleh kedua pihak. Menurut Jerzy Jakubowski, yang menjadi dasar
arbitrase adalah authority (kewenangan, bukan kekuasaan). Kewenangan
arbitrase tersebut lahir karena adanya penerimaan, kepercayaan dan apresiasi
para pihak terhadap arbitrase.21
Maka jelaslah menurut peniliti bahwa apa yang dilakukan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mempertimbangkan permohonan
penolakan putusan arbitrase internasional tersebut merupakan kekeliruan dan
tidak dapat dibenarkan.
20 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), h. 45. 21 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,
2000), h. 52.
64
3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali
adalah:
Menimbang, bahwa salah satu amar Putusan Arbitrase Internasional
berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 62 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputus
tanggal 7 Mei 2009 adalah segera menghentikan proses peradilan di Indonesia
(kasus Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel) sepanjang berkaitan dengan c.6,
C.7, C.8 dan Mr Marshall;
Bahwa sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia suatu pemeriksaan perkara yang sedang berjalan hanya dapat
dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara, tidak dapat
dihentikan secara paksa oleh pihak lain;
Hakim dalam menimbang putusan diatas melihat kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dimana syarat ketertiban umum
diatur dalam Pasal 66 huruf (c), yang mengatur bahwa “Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum”. Hal ini dikarenakan Negara Indonesia lebih mementingkan ketertiban
umum intern. Negara seperti ini berpendapat bahwa perjanjian dengan luar negeri
yang mengandung klausula arbitrase tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum intern yang berlaku.22
Definisi ketertiban umum yang ditafsirkan oleh hakim terletak dalam
Putusan Penetapan Arbitrase Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang merujuk pada
definisi ketertiban umum dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
yang menyatakan exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase
22 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung; PT. Karya Kita, 2003), h. 234.
65
Asing itu ternyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem
hukum dan masyarakat di Indonesia.23
Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai dengan asas hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia sesuatu pemeriksaan perkara yang sedang
berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang
berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain. Hal tersebut
sebagaiman telah diatur pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Jika berkaca dari putusan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus antara
Scherk (Jerman) melawan Alberto-Culver (Amerika Serikat). Pada perjanjian
dagang internasional menyangkut saham-saham yang disepakati, kedua pihak
akan menyelesaikan sengketa di International Chamber of Commerce di Paris.
Akan tetapi Alberto justru membawa sengketa tersebut ke Pengadilan District
Illionis, dengan dalil sales of securities tidak termasuk dalam ruang lingkup
arbitrase (securities exchange Act 1933). Pihak Scherk keberatan karena proses
arbitrase sedang berjalan di Paris-Perancis.
Alberto dikuatkan oleh putusan pengadilan banding, namun Mahkamah
Agung Amerika Serikat berpendapat lain dengan berpendapat bahwa perjanjian
tersebut merupakan perjanjian internasional dan penolakan untuk
memberlakukan arbitrase internasional adalah perbuatan picik pengadilan suatu
negara, yang membuat frustrasi tujuan-tujuan internasional. Mahkamah Agung
Amerika Serikat juga menegaskan bahwa tujuan Konvensi New York 1958
adalah untuk mendorong pengakuan dan pelaksanaan perjanjian arbitrase
internasional, dengan menjalankan perjanjian arbitrase dan keputusan arbitrase
di negara-negara penandatangan.
23 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990
66
Dari kasus diatas dapat dilihat walaupun asas ketertiban umum di
Amerika Serikat tidak memperbolehkan penyelesaian arbitrase terhadap
sengketa penjualan saham-saham. Namun Mahkamah Agung Amerika Serikat
mengenyampingkan hal tersebut dengan pertimbangan untuk kepentingan
perdangan internasional dan mengatakan “… we can not trade and commerce in
world markets and in international markets exclusively on our terms, governed
by our laws and resolved in our courts.”24
Karena apabila penolakan terus dilakukan dengan dasar asas ketertiban
umum yang belum memiliki definisi yang pasti di Indonesia, maka negara
Indonesia tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang
terikat dalam putusan arbitrase internasional. Menurut Apeldoorn, kepastian
hukum mempunyai dua segi:25
1) Mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal
yang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui
apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai
perkara.
2) Kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para
pihak terhadap kesewenangan hakim.
Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa ketertiban umum berbeda dari satu
negara dengan negara lainnya sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal V
ayat (2) Konvensi New York 1958. Karena ketertiban umum (public policy) itu
berbeda-beda dari negara yang satu ke negara yang lain dan juga dari waktu ke
waktu.26
24 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,
2000), h. 61 dan 88. 25 L.J van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, (Bandung: PT. Revika Aditama, 2006), h. 82-83. 26 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung; PT. Karya Kita), h. 233.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti kaji pada
setiap sub bab pembahasan, maka kemudian peneliti dapat memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Asas ketertiban umum sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional/Asing di Indonesia telah dilaksanakan sebagaimana
mestinya, hal ini terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67
PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 04
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.
Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 yang menggunakan asas ketertiban umum sebagai alasan
penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing di Indonesia.
Bahwa putusan arbitrase yang dianggap melanggar ketertiban umum
dikategorikan pelanggaran hukum dan pelanggaran peraturan yang berlaku di
Indonesia yang dapat membahayakan kepentingan Indonesia dan melanggar
kedaulatan Indonesia.
2. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 hakim
menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing karena bertentangan
dengan asas ketertiban umum. Dengan pertimbangan hukum melihat kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni Pasal 66 huruf
c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Maka Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) yang memerintahkan
termohon untuk menghentikan proses hukum yang berlangsung di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dianggap telah melebihi kewenangannya dalam memutus
perkara dan telah melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia.
68
B. Rekomendasi
Berdasar pada permasalahan yang telah peneliti paparkan di atas, maka
peneliti mencoba memberi beberapa rekomendasi berupa:
1. Mengenai syarat penolakan pelaksanaan eksekusi yang dalam hal ini adalah asas
ketertiban umum harus diberikan definisi yang jelas dan spesifik dalam sebuah
peraturan perundang-undangan, agar Pengadilan Negeri sebagai otoritas yang
memiliki wewenang dapat memberikan kepastian hukum terhadap para pihak
yang mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase.
2. Diharapkan adanya pemisahan peraturan perundang-undangan berupa Undang-
Undang antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase Internasional. Hal ini ditujukan
untuk memperjelas kewenangan pengadilan di Indonesia dalam menetapkan dan
membatalkan sebuah putusan arbitrase di Indonesia.
69
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adolf, Huala. 2002. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Amiruddin dan Zainal Arifin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 1989. Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku IV. Bandung:
Penerbit Alumni.
Gautama, Sudargo. 1989. Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di
Indonesia. Bandung: PT Eresco.
Halim, A. Ridwan. 1987. Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase ditinjau dari : Reglement Acara Perdata (Rv),
Peraturan Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment
Disputes, UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan PERMA No. 1 Tahun 1990.
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2006. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika.
Manullang, E. Fernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Kompas.
70
Margono, Suyud. 2004. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.
Bogor: Ghalias Indonesia.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.
Memi, Cut. 2017. Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam