i LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur) Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA – 2019H A L A M A N P E N G E S A H A N
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS
REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL
(Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)
Pelaksana Tugas:
Aristiono Nugroho
Suharno
Nuraini Aisiyah
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA – 2019H A L A M A N P E N G E S A H A N
ii
LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS
REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL
(Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)
Pelaksana Tugas:
Aristiono Nugroho
Suharno
Nuraini Aisiyah
Laporan penelitian ini telah diseminarkan di hadapan
Steering Committee Penelitian STPN pada tanggal ...............................
Mengetahui
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
c. Reforma Akses 17 5. Kesejahteraan Sosial 17 6. Keadilan Sosial 18
C. Kerangka Konseptual 20
BAB III : METODE PENELITIAN 22 A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 22 B. Langkah Kerja Operasional 22
1. Subyek Penelitian 22 2. Penetapan Informan 22 3. Jumlah Informan 23 4. Pemilihan Informan 23 5. Data yang Diperoleh 23 6. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data 24 7. Teknik Analisis Data 24
iv
BAB IV : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA REGULASI 26
A. Threat Dalam Regulasi 27 B. Treatment Bagi Regulasi 29
BAB V : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA ASSET 32
A. Threat Dalam Reforma Asset 32 1. Threat Dalam Landreform 32 2. Threat Dalam Redistribusi Tanah 37 3. Threat Dalam Legalisasi Asset 41
B. Treatment Dalam Reforma Asset 43 1. Treatment Dalam Landreform 43 2. Treatment Dalam Redistribusi Tanah 50 3. Treatment Dalam Legalisasi Asset 56
BAB VI : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA AKSES 60
A. Threat Dalam Reforma Akses 60 B. Treatment Dalam Reforma Akses 64
BAB VII : KONSTRUKSI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL 69
A. Konstruksi Kesejahteraan Sosial 69 B. Konstruksi Keadilan Sosial 75
BAB VIII : PENUTUP 81
A. Kesimpulan 81 B. Rekomendasi 89
Daftar Pustaka 90 Lampiran: 92 Policy Brief 92 A. Ringkasan Eksekutif 92
1. Deskripsi Masalah 92 2. Cara Mengatasi Masalah 92 3. Urgensi Cara Terpilih 93
B. Urgensi Masalah 93 1. Issue Penting 93 2. Akar Masalah 93 3. Implikasi Penyelesaian Akar Masalah 94
C. Pilihan Kebijakan 94 1. Kendala Kebijakan Saat Ini 94 2. Pilihan Kebijakan Alternatif 94
D. Rekomendasi Kebijakan 94 1. Kebijakan Terpilih 94 2. Implementasi Kebijakan Terpilih 95
v
D A F T A R T A B E L
Tabel: Halaman:
1. Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat Ini 8
2. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Regulasi Reforma Agraria 31
3. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Landreform 49
4. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Redistribusi Tanah 55
5. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Legalisasi Asset 58
6. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Reforma Akses 65
7. Kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar Dalam Pelaksanaan
Redistribusi Tanah Tahun 2007 – 2017 75
8. Kinerja Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur Dalam
Pelaksanaan Redistribusi Tanah Tahun 2007 – 2017 76
1
B A B I
P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang
Rehman Sobhan dalam “Agrarian Reform and Social Transformation:
Preconditions for Development” (1993) menyatakan, bahwa bila suatu negara
ingin menghapuskan kemiskinan (meningkatkan kesejahteraan) di pedesaan, dan
ingin pula mengakselerasi pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif atau
pilihan lain selain melakukan reforma agraria yang radikal. Alternatif ini penting,
karena reforma agraria akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara adil,
bagi sebagian rakyat yang tidak memiliki tanah atau kekurangan pemilikan
tanah.
Pernyataan Rehman Sobhan ini relevan dengan pelaksanaan reforma
agraria di Kabupaten Blitar yang relatif radikal, karena selalu didahului dengan
reklaiming (reclaiming), kemudian dilanjutkan dengan konflik, perdamaian,
redistribusi tanah, dan akhirnya legalisasi asset. Hal ini antara lain terjadi pada
konflik antara masyarakat Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan
Doko, Kabupaten Blitar dengan PT. Sari Bumi Kawi pada tahun 1998.
Konflik diawali dengan upaya masyarakat melakukan reklaiming atas tanah
seluas 280 Ha, setelah eskalasi meningkat dan berlarut-larut akhirnya dilakukan
perdamaian, redistribusi tanah, dan legalisasi asset. Puncak penyelesaian di
bidang pertanahan ditandai dengan penyerahan sertipikat hak atas tanah kepada
masyarakat yang melakukan reklaiming pada tanggal 4 April 2012. Walaupun
sudah dilakukan penyerahan sertipikat hak atas tanah, reforma agraria di Dusun
Kulonbambang belumlah selesai, karena seperti dikatakan Rehman Sobhan,
masih diperlukan adanya tahapan lanjutan yang wajib memperlihatkan hadirnya
kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian reforma agraria di
Kabupaten Blitar cenderung diawali dengan konflik yang berlangsung antara
masyarakat dengan pihak lain.
2
Sementara itu, pada tahun 1974 di Perkebunan Nyunyur terjadi konflik
antara masyarakat Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar melawan
PT. Kismo Handayani (dahulu: PT. Nyunyur Baru). Konflik diawali tindakan
Pemerintah Kabupaten Blitar membatalkan redistribusi tanah yang diperoleh
masyarakat pada tahun 1963, seluas 100 Ha. Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten
Blitar menyerahkan tanah tersebut kepada PT. Nyunyur Baru, yang telah
menguasai tanah seluas 374 Ha, sehingga akhirnya PT. Nyunyur Baru berhasil
menguasai tanah seluas 474 Ha.
Sesungguhnya, sebagai bagian dari Provinsi Jawa Timur, maka pola konflik
pertanahan yang terjadi di Kabupaten Blitar merupakan bagian dari pola konflik
di Provinsi Jawa Timur. Sebagaimana diketahui ada lima pola konflik di Provinsi
Jawa Timur, yaitu: Pertama, konflik di area hutan, terutama yang terkait dengan
wilayah hutan dan akses pengelolaannya di wilayah Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Jember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabupaten
Bondowoso, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Banyuwangi. Kedua, konflik
yang terkait dengan ekspansi wilayah industri dan kawasan industri di
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Nganjuk. Ketiga, konflik yang
terkait dengan proyek infra struktur, seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga
Uap) di Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik,
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten
Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi,
serta PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Banyuwangi. Keempat, konflik yang
terkait dengan perampasan ruang kelola rakyat untuk industri ekstraktif di
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten
Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi.
Kelima, konflik di area perkebunan yang melibatkan masyarakat (petani) dengan
pihak perusahaan perkebunan di Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Jember
(sumber: Islambergerak.com, 2018 dan KPA, 2018).
3
Ida Nurlinda dalam disertasinya (2008) mengungkapkan, bahwa ada enam
fakta penyebab terjadinya konflik agraria, yang melibatkan PTPN (PT.
Perkebunan Nusantara), sebagai berikut: Pertama, masyarakat menyerobot
tanah PTPN, padahal tanah tersebut merupakan asset negara (BUMN). Kedua,
PTPN memperoleh tanah hasil nasionalisasi perkebunan milik asing, padahal
perkebunan asing tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas
tanah rakyat. Ketiga, PTPN memperoleh tanah hasil pelepasan kawasan hutan,
yang ternyata tumpang-tindih dengan tanah ulayat. Keempat, penguasaan tanah
oleh PTPN melampaui luas tanah yang mendapat hak guna usaha, sehingga
tumpang tindih dengan tanah rakyat. Kelima, tanah PTPN terlantar, karena telah
habis hak guna usahanya. Keenam, sengketa antara inti (PTPN) dengan plasma
(rakyat), yaitu ketika inti mengambil-alih tanah plasma.
Sementara itu, konflik pertanahan di Kabupaten Blitar pada umumnya
terjadi antara petani (masyarakat) dengan perusahaan perkebunan, yang
kemudian diselesaikan dengan menggunakan format reforma agraria. Format ini
menekankan pada berbagai upaya untuk mengkonstruksi kesejahteraan sosial
dan keadilan sosial di kalangan petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian dengan judul “Reforma Agraria: Threat Dan Treatment Untuk
Kesejahteraan dan Keadilan Sosial (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa
Timur).”
B. Rumusan Masalah
Pada 8 Oktober 2018, Aliansi Tani Jawa Timur dalam “Wujudkan Keadilan
Agraria dan Kedaulatan Petani di Jawa Timur” (www.api.or.id) menyatakan,
bahwa konflik agraria di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 mencapai 59
kasus, yang tersebar di berbagai kabupaten, dan meliputi areal seluas 9.421,37
Ha di luar kawasan hutan (perkebunan, pertambangan, property, dan
infrastruktur), serta areal seluas 18.521 Ha di dalam kawasan hutan. Selain itu,
Aliansi Tani Jawa Timur menjelaskan bahwa meskipun telah tertuang dalam
point ke-5 Nawacita, reforma agraria belum berhasil dilaksanakan di Jawa Timur.
Demikian pula keberadaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang ternyata juga belum mampu
mengatasi persoalan: penguasaan tanah, proses budidaya, pemasaran produk,
disparitas harga pangan di kalangan petani, dan permodalan.
Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Blitar, ketika terjadi konflik di
areal perkebunan antara petani (masyarakat) dengan perusahaan perkebunan.
Ada beberapa kasus konflik agraria yang berhasil diselesaikan melalui format
reforma agraria, tetapi ada pula beberapa kasus yang belum berhasil diselesaikan
hingga saat ini. Oleh karena itu, reforma agraria menjadi instrumen penting
dalam menyelesaikan konflik agraria, yang sekaligus juga berfungsi sebagai
instrumen dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial di
kalangan petani.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditetapkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di
Kabupaten Blitar?
2. Bagaimana threat dan treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di
Kabupaten Blitar?
3. Bagaimana threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil
redistribusi tanah di Kabupaten Blitar?
4. Bagaimana threat dan treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para
penerima redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi?
5. Bagaimana konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun melalui
reforma agraria di Kabupaten Blitar?
6. Bagaimana konstruksi keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma
agraria di Kabupaten Blitar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mendorong penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten
Blitar, serta mendorong pelaksanaan redistribusi tanah, legalisasi asset, dan
5
pemberian akses yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial
di Kabupaten Blitar.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi STPN, sebagai reservoir pengetahuan tentang reforma agraria.
b. Bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,
sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan agraria/pertanahan yang
berkaitan dengan reforma agraria.
6
B A B II
T I N J A U A N P U S T A K A D. Penelitian Terdahulu
Sesungguhnya reforma agraria bukanlah merupakan issue yang baru di
Indonesia, melainkan issue lama yang telah ada sejak tahun 1960-an. Para pakar
agraria di masa itu menyatakan bahwa reforma agraria merupakan landreform
dalam arti yang lebih luas. Reforma agraria meliputi reforma regulasi, reforma
asset (landreform/redistribusi tanah serta legalisasi asset), dan reforma akses
yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa penelitian yang membahas
reforma agraria dari berbagai perspektif yang diminati, seperti: Pertama,
penelitian Nobuhiko Fuwa berjudul “Politics And Economics Of Landreform In The
Philippines” (2000:73). Penelitian ini berhasil mengungkap fakta, bahwa
meskipun pembuat kebijakan terlibat dalam landreform, tetapi kontribusi
mereka relatif sedikit terhadap program ini. Hal ini disebabkan regulasi yang
mereka buat justru menjadikan landreform tidak efisien, bahkan memberi
konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.
Kedua, penelitian Jason Heit yang berjudul “Rural Development And
Agrarian Reform Process in Chile” (2005:81). Penelitian ini berhasil mengungkap
fakta, bahwa regulasi dapat mempercepat reforma agraria, terutama dalam
mendapatkan keuntungan komparatif, berupa penguatan sektor pertanian.
Ketiga, penelitian Ronaldo F. Frufonga, Vilma S. Sulleza, dan Roel A. Alli
yang berjudul “The Impact Of Comprehensive Agrarian Reform Program On
Farmer Beneficiaries In The 3rd Congressional District Of Iloilo, Philippines”
(2016:88). Penelitian ini berhasil mengungkap fakta, bahwa reforma agraria
memberi dampak positif bagi petani, melalui peningkatan pendapatan petani dan
penurunan angka kemiskinan di kalangan petani.
Pada tiga penelitian terdahulu tersebut terdapat simpul-simpul penting,
yang dapat digunakan sebagai sumber inspirasi bagi penelitian saat ini, dengan
7
tetap memperlihatkan perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian
saat ini. Pada penelitian pertama (tahun 2000), diperlihatkan tentang peran
pembuat kebijakan. Selanjutnya pada penelitian kedua (tahun 2005),
diperlihatkan tentang regulasi yang dapat mempercepat reforma agraria.
Kemudian pada penelitian ketiga (tahun 2016), diperlihatkan dampak positif
reforma agraria bagi para petani.
Penelitian yang telah dilakukan tersebut memperlihatkan perhatian para
pakar terhadap peran pembuat kebijakan, manfaat regulasi, dan dampak positif
reforma agraria bagi peningkatan pendapatan petani dan penurunan angka
kemiskinan di kalangan petani. Sementara itu, penelitian ini mengungkapkan
fakta-fakta yang berkaitan dengan: Pertama, threat dan treatment dalam
penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar. Kedua, threat dan
treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar. Ketiga,
threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah
di Kabupaten Blitar. Keempat, threat dan treatment dalam mewujudkan reforma
akses bagi para penerima redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah
dilegalisasi. Kelima, konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun
melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar. Keenam, konstruksi keadilan sosial
yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar.
Ketika enam hal yang ingin diungkapkan tersebut diringkas, maka dapat
dirumuskan dua hal yang ingin diungkap, yaitu: Pertama, threat dan treatment
dalam penerapan regulasi reforma agraria, redistribusi tanah, legalisasi asset
hasil redistribusi tanah, dan reforma akses terhadap tanah hasil redistribusi yang
telah dilegalisasi di Kabupaten Blitar. Kedua, konstruksi kesejahteraan dan
keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten
Blitar.
8
Tabel: 1 Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat Ini
P E N E L I T I A N S E B E L U M N Y A
NO. PENELITI (TAHUN) JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN 1. Nobuhiko Fuwa
(2000) Politics And Economics Of Landreform In The Philippines
Meskipun para pembuat kebijakan terlibat dalam landreform, tetapi kontribusi mereka hanya sedikit terhadap program ini. Hal ini disebabkan regulasi yang mereka buat justru menjadikan landreform tidak efisien, bahkan memberi konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.
2. Jason Heit (2005)
Rural Development And Agrarian Reform Process in Chile
Regulasi dapat mempercepat reforma agraria, terutama dalam mendapatkan keuntungan komparatif, berupa penguatan sektor pertanian.
3. Ronaldo F. Frufonga Vilma S. Sulleza Roel A. Alli (2016)
The Impact Of Comprehensive Agrarian Reform Program On Farmer Beneficiaries In The 3rd Congressional District Of Iloilo, Philippines.
Reforma agraria memberi dampak positif bagi petani, melalui peningkatan pendapatan petani dan penurunan angka kemiskinan di kalangan petani. (88)
P E N E L I T I A N S A A T I N I
PENELITI (TAHUN) JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN YANG DIHARAPKAN
Reforma Agraria: Threat Dan Treatment Untuk Kesejahteraan dan Keadilan Sosial (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)
1. Threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria, redistribusi tanah, legalisasi asset hasil redistribusi tanah, dan reforma akses terhadap tanah hasil redistribusi yang telah dilegalisasi di Kabupaten Blitar.
2. Konstruksi kesejahteraan dan keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar.
9
E. Kerangka Teoritis
1. Threat dan Treatment
a. Threat
Sondang P. Siagian dalam “Manajemen Strategik” (2000:173)
menjelaskan, bahwa threat dapat dimaknai sebagai ancaman, yang dihadapi
suatu program tertentu. Tepatnya, threat meliputi beberapa faktor yang
tidak menguntungkan bagi pelaksanaan suatu kegiatan atau program.
Oleh karena itu, Freddy Rangkuti (2004:20) menyatakan, bahwa
setiap kegiatan atau program harus mampu memanfaatkan berbagai
peluang dengan memperhatikan threat, dengan cara sebagai berikut:
Pertama, bila peluang akan digunakan untuk memanfaatkan adanya
kekuatan internal, maka kegiatan harus dilaksanakan secara agresif. Kedua,
bila kekuatan internal akan digunakan untuk menghadapi threat, maka
kegiatan harus dilaksanakan secara diversifikatif. Ketiga, bila peluang akan
digunakan untuk mengatasi kelemahan internal, maka kegiatan harus
dilaksanakan secara reduktif. Keempat, bila kegiatan memiliki kelemahan
internal, tetapi harus dilaksanakan dengan menghadapi threat, maka
kegiatan harus dilaksanakan secara defensif.
Sementara itu, Collins Dictionary (2019a) menjelaskan, bahwa threat
dimaknai sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan masalah (keburukan).
Selain itu, threat juga dapat dimaknai sebagai sesuatu (keburukan) yang
akan terjadi, bila tindakan suatu pihak tidak sesuai dengan yang seharusnya
dilakukan.
Berdasarkan berbagai pemahaman tersebut, maka dalam konteks
reforma agraria, threat dapat dimaknai sebagai ancaman, tantangan,
hambatan, gangguan, dan kendala yang dihadapi kantor pertanahan dalam
pelaksanaan reforma agraria. Threat perlu mendapat perhatian, karena ia
dapat menggagalkan pelaksanaan reforma agraria. Bila kantor pertanahan
ingin memanfaatkan kekuatan internal para pihak untuk menghadapi
threat, maka kegiatan reforma agraria harus dilaksanakan secara
10
diversifikatif, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan peran dan
fungsi para pihak. Selain itu, bila kegiatan reforma agraria memiliki
kelemahan internal, padahal kegiatan tersebut menghadapi threat, maka
reforma agraria harus dilaksanakan secara defensif, terutama dalam hal-hal
yang berkaitan dengan upaya berpegang atau berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Treatment
Treatment berkaitan dengan upaya pihak tertentu mengarahkan
tindakan atau perilaku pihak lain, agar sesuai dengan yang diharapkan
pihak tersebut. Selain itu, treatment juga berkaitan dengan pelibatan pihak
tertentu pada suatu kegiatan, yang dimaksudkan untuk memberi
perlindungan atau pelayanan tertentu pada pihak lain (Collins Dictionary,
2019b)
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam konteks reforma
agraria, treatment dapat dimaknai sebagai upaya kantor pertanahan dalam
mengarahkan tindakan para pihak, agar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, treatment juga dapat
dimaknai sebagai pelibatan kantor pertanahan pada kegiatan reforma
agraria, yang dimaksudkan untuk memberi pelayanan pada para pihak yang
terkait dengan kegiatan tersebut.
2. Hak Bangsa
Bangsa Indonesia beruntung, karena para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah mempersiapkan infrastruktur ideologi dan konstitusi
dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana diketahui, Bangsa Indonesia memiliki
ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia juga memiliki
konstitusi negara, yaitu UUD (Undang-Undang Dasar) Tahun 1945. Ideologi
dan konstitusi tersebut memberi ruang yang sangat memadai bagi Bangsa
Indonesia untuk menjalankan hak-haknya sebagai bangsa.
11
Ketika menjelaskan tentang UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Budi
Harsono (2003:267-270) menyatakan, bahwa Hak Bangsa merupakan Hak
Penguasaan Tanah tertinggi sebagaimana tersusun dalam hirarkhi, sebagai
berikut: Pertama, Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA). Kedua, Hak
Menguasai oleh Negara (Pasal 2 UUPA). Ketiga, Hak Ulayat masyarakat adat
(Pasal 3 UUPA). Keempat, hak perorangan (Pasal 4, 16, 37, 41, dan 53 UUPA).
Hak Bangsa mengandung unsur, sebagai berikut: Pertama, unsur
kepunyaan. Kedua, unsur tugas dan kewenangan, untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya,
yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara. Dengan demikian
kekuasaan negara atas sumberdaya alam bersumber pada hak yang dimiliki
oleh suatu bangsa (Hak Bangsa). Negara dalam hal ini dipandang sebagai
lembaga masyarakat umum, sehingga memiliki wewenang dan kekuasaan
untuk mengatur, mengurus, memelihara, dan mengawasi pemanfaatan seluruh
potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif
(Arisaputra, 2015:98).
Sementara itu, Muhammad Bakri (2011:17) menjelaskan, bahwa Hak
Bangsa Indonesia atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya bukanlah Hak Milik, melainkan hak bersama yang
diangkat pada tingkatan tertinggi pada seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena
itu, Hak Bangsa memiliki dua aspek, yaitu: Pertama, aspek keperdataan, yang
memiliki makna bahwa seluruh sumberdaya alam di wilayah Indonesia
merupakan kepunyaan Bangsa Indonesia secara bersama-sama. Kedua, aspek
publik, yang memiliki makna bahwa Bangsa Indonesia mempunyai kewajiban
untuk mengelola, mengatur, dan memimpin penguasaan, peruntukan, dan
penggunaan sumberdaya alam tersebut.
3. Hak Menguasai Negara
Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan Pasal 1 UUPA memberi arahan,
bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
12
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak untuk menjalankan kewenangan ini
disebut Hak Menguasai oleh Negara, atau biasa diringkas menjadi Hak
Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara memberi wewenang pada negara, untuk:
Pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. Kedua,
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Ketiga, menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (sumber: Pasal 2 ayat (2)
UUPA).
Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai Negara tersebut
digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Hak Menguasai
Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
(sumber: Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUPA).
4. Reforma Agraria
Ide reforma agraria telah dimuat dalam UUPA, khususnya pada Pasal 7,
10, dan 17. Meskipun cakupan ide tersebut hanyalah terbatas pada konsep
landreform (bagian dari reforma agraria). Bernhard Limbong (2012a:171)
menjelaskan, bahwa UUPA telah memuat program agrarian reform, sebagai
berikut: Pertama, pembaharuan hukum agraria nasional melalui unifikasi
hukum. Kedua, penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah.
Ketiga, mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. Keempat,
perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah untuk mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan. Kelima, perencanaan persediaan,
peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa, dan
13
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan daya dukung dan
kemampuannya.
Berbekal semangat agrarian reform tersebut dan sesuai dengan
perkembangan zaman, maka dilaksanakanlah reforma agraria, yang meliputi:
reforma regulasi, reforma asset, dan reforma akses, yang perinciannya sebagai
berikut:
a. Reforma Regulasi
Adakalanya regulasi tidak mendukung atau gagal mendukung reforma
agraria, atau menghambat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial.
Maria S.W. Soemardjono dalam “Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi
Kebijakan” yang dimuat Kompas.com pada 9 Oktober 2012 menyatakan,
bahwa ada lima karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral,
yaitu: Pertama, berorientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan
keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, serta hanya digunakan sebagai alat
pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan
devisa negara. Kedua, lebih berpihak pada pemodal besar. Ketiga, ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam terpusat pada negara
sehingga bercorak sentralistik. Keempat, pada saat koordinasi antar sektor
lemah, justru sumberdaya dikelola secara sektoral. Kelima, tidak memberi
perlindungan hak asasi manusia secara proporsional.
Sementara itu dalam konteks reforma agraria, Muhammad Ilham
Arisaputra (2015:18-19) menjelaskan, bahwa reforma agraria selalu
berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan politik, serta hubungan antara
keduanya. Oleh karena itu, reforma agraria harus mencakup: Pertama,
instrumen kebijakan agraria yang mengacu pada perubahan yang relatif
kecil, seperti: subsidi dan tarif pajak. Kedua, perubahan struktural yang
mampu mengubah struktur pertanian, seperti: program kredit, dan
investasi di bidang infrastruktur. Ketiga, reformasi kelembagaan yang
mampu mengubah dasar ekonomi pedesaan dan masyarakat, seperti:
redistribusi tanah dan perubahan sistem penyewaan tanah secara kolektif.
14
Untuk itu, reforma agraria wajib meliputi tiga konsep utama, yaitu:
Pertama, landreform, yang merupakan program penataan kembali struktur
pemilikan dan penguasaan tanah agar lebih adil. Kedua, accessreform, yang
merupakan program penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah agar
lebih produktif, melalui pemberian fasilitas kredit modal usaha tani, dan
bantuan pemasaran produk pertanian. Ketiga, regulation reform, yang
merupakan program penataan dan pengaturan kebijakan dan hukum yang
berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil (peasant).
Regulation reform atau reforma regulasi inilah yang menjadi unsur
penting dalam pelaksanaan reforma agraria. Penataan dan pengaturan
kebijakan dan hukum yang berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil,
perlu diimplementasikan melalui pelaksanaan reforma asset (assetreform)
dan reforma akses (accessreform).
b. Reforma Asset
Bagi petani dan sebagian besar masyarakat Indonesia, tanah
merupakan asset berharga yang akan dijaganya dengan sepenuh hati.
Sebagai asset, maka penguasaan dan pemilikan tanah serta tindakan
pengadministrasiannya merupakan sesuatu yang penting, serta perlu
direformasi. Reforma asset dapat menjadi dasar bagi pembangunan sosial
dan ekonomi, dalam kehidupan masyarakat yang semakin maju dan
demokratis. Sebagaimana diketahui reforma asset terdiri dari tiga konsepsi
utama, yang perlu dilaksanakan secara terpadu. Konsepsi utama tersebut
terdiri dari landreform, redistribusi tanah, dan legalisasi asset, yang
princiannya sebagai berikut:
(1) Landreform
Boedi Harsono (dalam Santoso, 2012:207) menjelaskan, bahwa
landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian
reform, yang meliputi perombakan struktur penguasaan dan pemilikan
tanah, serta hubungan hukum yang terkait dengan penguasaan tanah.
15
Oleh karena itu, menurut Lipton (dalam Limbong, 2012b:48)
dalam landreform perlu dilakukan pengambil-alihan tanah yang
sifatnya wajib oleh negara dari pemilik tanah luas, dengan memberi
kompensasi agar pengambil-alihan tersebut memberi manfaat optimal
bagi semua pihak.
Senada dengan pandangan Lipton, maka A.P. Parlindungan
(1983:4) mengungkapkan adanya aspek politik dalam landreform. Ia
menjelaskan, bahwa landreform memiliki adagium “land to the tiller”,
yang berguna untuk menyemangati para petani penggarap dalam
menghadapi landlord.
Pandangan Boedi Harsono, Lipton, dan A.P. Parlindungan
memperlihatkan relasi antara landreform dengan pengambil-alihan
tanah oleh negara dari pemilik tanah luas atau landlord, untuk
kemudian dibagikan kepada para pemilik tanah sempit atau petani
penggarap (tiller). Hal inilah yang mendasari kegiatan redistribusi
tanah dalam pelaksanaan landreform atau reforma asset (asset reform).
(2) Redistribusi Tanah
Russet King (dalam Hutagalung, 1985) menyatakan, bahwa
redistribusi tanah merupakan pengambil-alihan sebagian tanah, atau
seluruh tanah milik tuan tanah, yang kemudian diserahkan kepada
petani yang bertanah sempit atau petani yang tidak mempunyai tanah.
Untuk melengkapi keterangan Russet King, maka E. Jacoby (dalam
Hutagalung, 1985) menjelaskan bahwa landreform memiliki tiga
tahapan, yaitu: pengambil-alihan tanah, redistribusi tanah, dan
penyesuaian unit-unit pertanian baru.
Pandangan Russet King dan E. Jacoby selanjutnya dilengkapi oleh
Diyan Isnaeni (2017: 310) dengan mengungkapkan tujuan redistribusi
tanah, yaitu: Pertama, untuk mengadakan pembagian yang adil atas
sumber kehidupan rakyat, yang berupa tanah. Kedua, untuk
melaksanakan prinsip “tanah untuk petani”, agar tanah tidak lagi
16
dijadikan ajang spekulasi. Ketiga, untuk mengakhiri sistem tuan tanah
dan menghapuskan penguasaan dan pemilikan tanah secara besar-
besaran. Keempat, untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas
tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Kelima, untuk mempertinggi
produksi nasional, dan mendorong terselenggaranya yang intensif.
Keenam, untuk mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan
kerja bagi masyarakat miskin.
Dengan demikian ketika dalam rangka landreform, telah
dilakukan pengambil-alihan tanah oleh negara dari pemilik tanah luas
dengan memberi kompensasi, maka redistribusi tanah merupakan
tahapan selanjutnya yang sangat penting. Urgensi tahapan ini nampak,
ketika berupaya membumikan adagium “land to the tiller”.
(3) Legalisasi Asset
Legalisasi asset adalah proses administrasi pertanahan, yang
meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta penerbitan
sertipikat hak atas tanah (Mediatataruang.com, 2016). Sementara itu
diketahui, bahwa adjudikasi merupakan serangkaian kegiatan, yang
terdiri dari: Pertama, pengumpulan data fisik dan data yuridis. Kedua,
pengumuman data fisik dan data yuridis. Ketiga, penetapan dan/atau
penerbitan surat keputusan pengakuan atau pemberian hak atas tanah.
Pasca legalisasi asset, maka para peserta reforma agraria atau
penerima redistribusi tanah telah mempunyai bukti yang kuat atas
kepemilikan tanahnya. Oleh karena itu, beberapa pihak menyebut
kegiatan ini (legalisasi asset) sebagai “penguatan asset”. Tetapi ada pula
beberapa pihak tertentu yang memberi sebutan lebih teknis, yaitu
“pendaftaran tanah”. Bagi mereka sebutan ini lebih tepat secara yuridis,
karena sesuai dengan terminologi yang digunakan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
17
c. Reforma Akses
Bernhard Limbong (2012b:299) menjelaskan, bahwa access-reform
(reforma akses) merupakan penyediaan sarana bagi masyarakat (penerima
redistribusi tanah), untuk mengembangkan tanah pertanian sebagai
sumber kehidupan petani, yang meliputi partisipasi ekonomi politik, modal,
pasar, teknologi, pendampingan, serta peningkatan kapasitas dan
kemampuan.
Dalam konteks reforma akses, pemerintah memberikan fasilitasi
akses kepada masyarakat, baik akses masyarakat ke tanahnya itu sendiri,
maupun akses masyarakat ke instrumen penunjang agar mereka dapat
mengelola tanahnya dengan baik (optimal), seperti: akses permodalan.
Tepatnya, pemerintah terlibat dalam semua mekanisme reforma agraria,
dalam bingkai tanggungjawab dan pengawasan (Arisaputra, 2015:142).
Dengan demikian reforma akses merupakan suatu upaya untuk
memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, guna
mengelola tanahnya atas dukungan dari pemerintah, berupa sarana dan
prasarana produksi. Kondisi ini juga menunjukkan urgensi penataan dan
pemanfaatan tanah yang lebih produktif, agar petani semakin dekat dengan
sumber-sumber ekonomi.
5. Kesejahteraan Sosial
R. Krenenburg (Limbong 2012c:75) menyatakan, bahwa negara harus
secara aktif mengupayakan kesejahteraan dan bertindak adil, sehingga dapat
dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata dan seimbang. Negara
dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah
ekonomi yang dihadapi rakyatnya.
Pendapat yang senada dengan pandangan R. Krenenburg disampaikan
oleh Darmawan T. dan Sugeng B. (2006:21), yang menyatakan bahwa fungsi
dasar negara adalah mengatur untuk menciptakan law and order, serta
mengurusnya untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu menurut Joseph
Agassi (1990:2) ada empat tipe negara dalam konteks kesejahteraan, yaitu
18
negara tradisional, negara kolektif, negara individualis, dan negara
kesejahteraan.
Sementara itu, Bernhard Limbong (2012c:27) menyatakan, bahwa
kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya atau terjangkaunya
pelayanan kebutuhan masyarakat. Penjelasan Bernhard Limbong kemudian
dilengkapi oleh Muhammad Ilham Arisaputra (2015:36) dengan berkata,
bahwa kesejahteraan sosial merupakan fungsi terorganisir sekumpulan
kegiatan untuk memberi kemungkinan bagi individu-individu, keluarga-
keluarga, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas menanggulangi
masalah yang dihadapi.
Dalam konteks reforma agraria, kesejahteraan sosial dimaknai sebagai
kondisi terpenuhi atau terjangkaunya pelayanan kebutuhan masyarakat
reforma agraria. Selain itu, kesejahteraan sosial juga dimaknai sebagai fungsi
terorganisir kegiatan reforma agraria, untuk memberi kemungkinan bagi
masyarakat (penerima redistribusi tanah) menanggulangi masalah yang
dihadapi.
6. Keadilan Sosial
Michael Slote dalam “Justica as a Virtue” (2010) yang dimuat dalam The
Stanford Encyclopedia of Philosophy menyatakan tentang adanya tiga
pandangan filosofis tentang keadilan, yaitu: Pertama, pandangan Plato, bahwa
keadilan merupakan keutamaan (virtue), yang muncul dari upaya reflektif
individu mengenai cara hidup yang baik, dan sesuai dengan etika. Kedua,
pandangan Aristoteles, bahwa keadilan yang merupakan keutamaan tidak
hanya muncul dari individu, melainkan juga muncul dalam lingkup yang lebih
luas pada komunitas.
Sementara itu, John Rawls (2011:13) menyatakan, bahwa keadilan yang
baik adalah keadilan yang bersifat kontrak, yang menjamin kepentingan
semua pihak secara fair. Dalam keadilan sebagai fairness, terdapat dua prinsip
yang penting, yaitu: Pertama, prinsip kebebasan, yakni setiap orang harus
memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
19
kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, prinsip ketidak-samaan,
yakni ketidak-samaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, agar
dapat memberi keuntungan pada setiap orang, dan semua jabatan dan posisi
harus terbuka bagi semua orang.
Ketika keadilan disentuhkan dengan aspek sosial (kemasyarakatan),
maka muncul terminologi “keadilan sosial”. Sebagaimana diketahui, keadilan
sosial merupakan keadilan yang berkaitan dengan moral sosial atau moral
masyarakat. Friedrich von Hayek (dalam Swift, 2006:9) menjelaskan, bahwa
terdapat perbedaan istilah antara individu dengan masyarakat dalam konteks
keadilan sosial. Ia menyatakan, bahwa individu disebut “agent”, sedangkan
masyarakat disebut “society”.
Keadilan sosial berkaitan erat dengan hak-hak manusia terhadap segala
sesuatu yang dapat menunjang kehidupannya. Sumberdaya agraria
merupakan sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia, sehingga
pengelolaannya perlu memenuhi asas-asas keadilan sosial, yang ternyata
relevan dengan tujuan akhir reforma agraria.
BAGAN ALIR KERANGKA TEORITIK:
BANGSA INDONESIA
PANCASILA UUD 1945
HAK BANGSA
HAK
MENGUASAI
NEGARA
REFORMA AGRARIA
REFORMA REGULASI REFORMA AKSESREFORMA ASSET
KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL
20
F. Kerangka Konseptual
Bangsa Indonesia memiliki Pancasila dan UUD Tahun 1945, yang
selanjutnya melegitimasi penerapan Hak Bangsa. Hak Bangsa Indonesia atas
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
bukanlah Hak Milik, melainkan hak bersama yang diangkat pada tingkatan
tertinggi pada seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, UUD Tahun 1945 juga memberi dasar bagi diterapkannya Hak
Menguasai Negara, yang bersumber dari Hak Bangsa. Berdasarkan Hak Bangsa
dan Hak Menguasai Negara inilah, maka pemerintah sebagai personifikasi negara
melaksanakan reforma agraria. Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai
Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan
makmur.
Berdasarkan Hak Bangsa dan Hak Menguasai Negara, maka pemerintah
sebagai personifikasi negara berupaya melakukan kegiatan, yang dapat
mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Sementara itu,
kesejahteraan sosial dan keadilan sosial dapat tercapai bila anggota masyarakat
yang tidak memiliki tanah dapat memiliki tanah. Untuk itu, pemerintah
menetapkan pelaksanaan reforma agraria.
Reforma agraria dilaksanakan dengan melakukan reforma regulasi, yang
selanjutnya memberi dorongan bagi dilaksanakannya reforma asset dan reforma
akses. Penataan dan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada
rakyat, khususnya petani kecil, diimplementasikan melalui pelaksanaan reforma
asset dan reforma akses.
Pada reforma asset dilaksanakan redistribusi tanah (sebagai bagian dari
kegiatan landreform), yang kemudian dilanjutkan dengan legalisasi asset.
Redistribusi tanah merupakan tahapan lanjutan dari pengambil-alihan tanah oleh
negara. Tahapan ini merupakan penanda keberhasilan penerapan adagium “land
to the tiller”. Sementara itu, legalisasi asset adalah proses administrasi
21
pertanahan, yang meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta
penerbitan sertipikat hak atas tanah
Pasca legalisasi asset dilakukanlan reforma akses, agar mereka yang
menerima redistribusi tanah dapat memperoleh kesejahteraan sosial.
Sebagaimana diketahui kesejahteraan sosial dimaknai sebagai fungsi terorganisir
kegiatan reforma agraria, untuk memberi kemungkinan bagi masyarakat
(penerima redistribusi tanah) menanggulangi masalah yang dihadapi.
Akhirnya, seluruh kegiatan tersebut bermuara pada pencapaian keadilan
sosial, yang berkaitan erat dengan hak-hak manusia dan segala sesuatu yang
menunjang kehidupannya. Ada dua prinsip yang penting dalam konsep keadilan
(termasuk keadilan sosial), yaitu: Pertama, prinsip kebebasan, yakni setiap
orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, prinsip ketidak-samaan,
yakni ketidak-samaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, agar
dapat memberi keuntungan pada setiap orang, dan semua jabatan dan posisi
harus terbuka bagi semua orang.
BAGAN ALIR KERANGKA KONSEPTUAL:
R E F O R M A
A G R A R I A
REFORMA
ASSET
REFORMA
REGULASI
REFORMA
AKSES
REDISTRIBUSI
TANAH
LEGALISASI
ASSET
KESEJAHTERAAN
SOSIAL
KEADILAN
SOSIAL
22
B A B III
M E T O D E P E N E L I T I A N G. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini tergolong Jenis Penelitian Kualitatif, yang memusatkan
perhatian atau kajiannya pada keunikan fenomena yang ada, dengan
menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1998:5). Sementara itu, Pendekatan
Rasionalistik digunakan pada penelitian ini, karena merupakan pendekatan
penelitian yang dibangun berdasarkan Filsafat Rasional, yang menyatakan bahwa
ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang mampu dikonstruksi melalui
kemampuan berargumen secara logik (lihat Muhajir, 1998: 55). Jenis Penelitian
Kualitatif dengan Pendekatan Rasionalisitik yang digunakan pada penelitian ini
memberi kesempatan pada peneliti untuk memperoleh data kualitatif dari para
informan (Moleong, 2007:4).
H. Langkah Kerja Operasional
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini, terdiri dari: (1) Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar, (2) Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara beserta staf,
(3) Kepala Seksi Penataan Penguasaan Tanah dan staf, (4) Kepala Seksi
Infrastruktur Pertanahan dan staf, (5) Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan staf,
serta (6) tokoh masyarakat setempat.
2. Penetapan Informan
Pada penelitian ini informan ditetapkan dengan memperhatikan
pengertian, bahwa informan terdiri dari subyek penelitian yang
berkesempatan memberi informasi (Moleong, 2007:224). Oleh karena itu,
informan pada penelitian ini adalah individu yang mampu memberi informasi
tentang tantangan (threat) dan treatment pada pelaksanaan reforma agraria.
23
3. Jumlah Informan
Jumlah informan pada penelitian ini bersifat situasional dan kondisional.
Moleong (2007:224) telah menjelaskan, bahwa jumlah informan tidaklah
mengikat, sebab jumlah ini ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan
informasi yang diperlukan. Jika tidak ada lagi informasi yang diperlukan
penggalian informasi dari informan berikutnya dapat dihentikan. Secara real
pada penelitian ini telah dilakukan wawancara terhadap 9 orang informan.
4. Pemilihan Informan
Informan pada penelitian ini dipilih secara purposive, agar peneliti dapat
memperoleh informasi secara akumulatif dari orang yang tepat (Moleong,
2007:224). Selanjutnya, setelah memperhatikan situasi dan kondisi, serta
mempertimbangkan informasi yang diperlukan, maka secara purposive telah
dipilih informan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a. Masduki (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar);
b. Budi (Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara);
c. Fathoni (Kepala Seksi Infrastruktur Pertanahan);
d. Misbachu Surur (Kepala Sub Bagian Tata Usaha);
e. Ulyan Khalif (Staf Seksi Penataan Penguasaan Tanah);
f. Erza (Staf Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara);
g. Harsono (Staf Seksi Penataan Penguasaan Tanah);
h. Wira (Staf Sub Bagian Tata Usaha);
i. Kinan (Tokoh Paguyuban Warga Tani Kulonbambang).
5. Data Yang Diperoleh
Berdasarkan sumbernya, data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri
dari:
a. Data Primer, diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan, yang
substansinya tercantum dalam interview guide, seperti:
(1) Threat dan treatment pelaksanaan kebijakan reforma agraria.
24
(2) Threat dan treatment pelaksanaan reforma asset, yaitu landreform,
redistribusi tanah, dan legalisasi asset.
(3) Threat dan treatment pelaksanaan reforma akses
(4) Wujud kesejahteraan dan keadilan sosial di kalangan peserta reforma
agraria.
b. Data Sekunder, diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, seperti:
(1) Realisasi redistribusi tanah di Provinsi Jawa Timur, tahun 2007 – 2017.
(2) Realisasi redistribusi tanah di Kabupaten Blitar, tahun 2007 – 2017.
6. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data
a. Pengambilan data primer dari informan dilakukan dengan menggunakan
teknik wawancara, serta memanfaatkan instrumen panduan wawancara
(interview guide) dan alat pencatat.
b. Pengambilan data sekunder dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
dilakukan dengan teknik dokumentasi, serta menggunakan instrumen alat
pencatat.
7. Teknik Analisis Data
Pada penelitian kualitatif digunakan suatu teknik analisis data yang khas
kualitatif, yang tahapannya sebagai berikut:
a. Telaah Awal Seluruh Data
Tahap ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data secara cermat, yang
bersumber dari para informan, yang materinya relevan dengan pertanyaan
penelitian;
b. Reduksi dan Abstraksi Data
Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan penghapusan sebagian data
yang meskipun relevan tetapi tidak diperlukan dalam menyusun abstraksi;
c. Penyusunan Satuan Informasi Terkecil
Tahap ini dilakukan dengan cara menyusun abstraksi data dalam satuan-
satuan informasi terkecil yang mengandung makna, dan dapat berdiri
25
sendiri. Satuan-satuan informasi ini harus memiliki makna yang terkait
dengan pertanyaan penelitian, yang keberadaan maknanya tidak
tergantung pada keberadaan makna-makna lainnya. Tepatnya, saat makna
ini secara tunggal diungkapkan, maka makna ini dapat difahami;
d. Pengelompokan Satuan Informasi Terkecil
Tahap ini dilakukan dengan cara mengelompokan satuan-satuan informasi
terkecil yang berhasil diperoleh dari penelitian ke dalam kategori-kategori,
yang disusun berdasarkan substansi yang terkait dengan pertanyaan
penelitian;
e. Penyusunan Pernyataan Proposisional
Tahap ini dilakukan dengan menyusun pernyataan logis, yang diperoleh
dari masing-masing kategori. Pernyataan ini (pernyataan proposisional)
merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian, yang sekaligus merupakan
penjelasan atas fenomena yang sedang diteliti.
(Sumber: Moleong, 2007:248-277).
26
B A B IV
THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA REGULASI
Pelaksanaan reforma agraria di wilayah Kabupaten Blitar, dilakukan dengan
memperhatikan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan reforma agraria,
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan reforma agraria, antara
lain: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2)
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam; (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria; (4) Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan; (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; (7) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (8) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Tanah Pertanian Pangan Berkelanjutan; (9) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; (10)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (11) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (12) Peraturan Pemerintah Nomor
224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian; (13) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan
dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; (14) Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atas Tanah; (15) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (16) Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun
2018 tentang Reforma Agraria;
27
Peraturan terbaru, yang sekaligus merupakan kebijakan terbaru reforma
agraria adalah Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria,
yang memiliki sistematika sebagai berikut: Pertama, Ketentuan Umum (Bab I: Pasal
b. Keadilan sosial juga nampak pada penghormatan terhadap petani
penggarap oleh pihak pengelola perkebunan, terutama pada petani
penggarap yang melakukan reclaiming tanah. Kesediaan pihak pengelola
perkebunan untuk bernegosiasi dengan para petani penggarap melalui
mekanisme mediasi, yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar merupakan penanda penghormatan terhadap petani
penggarap. Situasi ini sekaligus menjadi bukti keberadaan elemen keadilan
sosial, seperti: proses sosial, demokratis, dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia.
89
c. Penghormatan ditunjukkan pula oleh adanya kesadaran dan kesediaan
pengelola perkebunan, untuk menyerahkan sebagian tanahnya kepada para
petani penggarap, yang untuk 7 lokasi konflik luasnya mencapai 882 Ha.
Situasi ini merupakan bukti adanya elemen-elemen keadilan sosial, seperti:
pembangunan yang berguna bagi masyarakat, kegiatan yang mereduksi
ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan peluang harmoni sosial.
R. Rekomendasi
Regulasi reforma agraria perlu terus dilaksanakan sebaik-baiknya dengan
memperhatikan situasi setempat, seraya terus menerus dilakukan perbaikan
terhadap substansi regulasi tersebut. Selain itu, pelaksanaan redistribusi tanah,
legalisasi asset, dan pemberian akses juga perlu terus menerus dilakukan dan
diperjuangkan pelaksanaannya, karena mampu mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan sosial.
Perlu memberi perhatian yang lebih besar pada landreform by leverage,
dengan menempatkan penyelesaian konflik dan sengketa penguasaan dan
pemilikan tanah sebagai bagian dari program nasional reforma agraria. Hal ini
penting dilakukan, karena akan berdampak pada adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang kompeten, dan pendanaan yang
memadai, sehingga lebih cepat diperoleh kesepakatan antara pihak pengelola
perkebunan dengan masyarakat. Hal ini akan mempercepat redistribusi tanah, untuk
kemudian dilanjutkan dengan legalisasi asset dan access reform.
90
DAFTAR PUSTAKA
Agassi, Joseph. 1990. “The Theory and Practice of The Welfare State.” Toronto, York University.
Aliansi Tani Jawa Timur. 2018. “Wujudkan Keadilan Agraria Dan Kedaulatan Petani di Jawa Timur.” www.api.or.id tanggal 8 Oktober 2018
Arisaputra, Muhammad Ilham. 2015. “Accessreform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.” (Disertasi). Surabaya, Universitas Airlangga.
Azwar, Saifuddin. 1998. “Metode Penelitian.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Bakri, Muhammad. 2011. “Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru
Untuk Reforma Agraria.” Malang, Universitas Brawijaya Press. Collins Dictionary. 2019a. “Threat.” www.collinsdictionary.com tanggal 25 Maret
2019. Collins Dictionary. 2019b. “Treatment.” www.collinsdictionary.com tanggal 25 Maret
2019. Darmawan T. dan Sugeng B. 2006. “Memahami Negara Kesejahteraan: Beberapa
Catatan Bagi Indonesia.” Jakarta, Jurnal Politika. Frufonga, Ronaldo F., Vilma S. Sulleza dan Roel A. Alli. 2016. “The Impact of
Comprehensive Agrarian Reform Program on Farmer Beneficiaries in The 3rd Congressional District of Iloilo, Philippines.” Asia Pacific Journal of Multidisciplinary Research, Vol.4, No,1, February 2016. Halaman 81-90.
Fuwa, Nobuhiko. 2000. “Politics And Economics Of Landreform In The Philippines.” Matsudo, Chiba University.
Harsono, Boedi. 2003. “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, Dan Pelaksanaannya.” Jakarta, Djambatan.
Heit, Jason. 2005. “Rural Development And The Agrarian Reform Process in Chile.” Saskatchewan Economics Journal. Halaman 71-82. Canada, University of Saskatchewan.
Hutagalung, Arie Sukanti. 1985. “Program Reditribusi Tanah di Indonesia.” Jakarta, Rajawali Press.
Islambergerak.com. 2018. “Pengantar Memahami Problem dan Konflik Agraria di Jawa Timur.” 24 November 2018.
Isnaeni, Diyan. 2017. “Kebijakan Program Redistribusi Tanah Bekas Perkebunan Dalam Menunjang Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat.” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, Nomor 4, Oktober 2017, halaman 308-317.
KPA. 2018. “KPA Jawa Timur Tindaklanjuti Konsolidasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria.” www.kpa.or.id tanggal 12 April 2018.
Limbong, Bernhard. 2012a. “Konflik Pertanahan.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Limbong, Bernhard. 2012b. “Reforma Agraria.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Limbong, Bernhard. 2012c. “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Regulasi,
Kompensasi, dan Penegakan Hukum.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Mediatataruang.com. 2016. “Program Legalisasi Asset BPN-RI.” www.mediatata
Moleong, Lexy J. 2007. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Bandung, Remaja Rosdakarya.
Muhajir, Noeng. 1998. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Yogyakarta, Rake Sarasin. Nurlinda, Ida. 2008. “Penerapan Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Menurut
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang ‘Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam’ Dalam Kebijakan Pertanahan Nasional.” (Disertasi). Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
Parlindungan, A.P. 1983. “Landreform di Indonesia.” Ujungpandang, STIKI. Rangkuti, Freddy. 2004. “Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.” Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama. Rawls, John. 2011. “A Theory of Justice.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Santoso, Urip. 2012. “Hukum Agraria: Kajian Komprehensif.” Jakarta, Kencana
Penada Media Group. Siagian, Sondang P. 2000. “Manajemen Strategik.” Jakarta, Bumi Aksara. Sitasdesablitar. 2019. “Kulonbambang.” http://sitasdesablitar.com 22 Maret 2019. Slote, Michael. 2010. “Justica as a Virtue”. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Sobhan, Rehman. 1993. “Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions
for Development.” Oxford University Press. Soemardjono, Maria S.W. 2012. “Penyempurnaan UUPA Dan Sinkronisasi
Kebijakan.” Kompas.com tanggal 9 Oktober 2012. Swift, Adam. 2006. “Political Philosophy: A Beginner’s Guide for Student and