-
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional
daerah
penelitian (gambar 2.1), yang meliputi fisiografi regional,
stratigrafi regional,
struktur geologi regional dan aktivitas volkanisme dan
magmatisme.
Gambar 2.1 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian skala
1:200.000 (Koesmono, Kusnama dan Suwarna, 1992)
-
5
2.1.1 Fisiografi Regional
Secara umum van Bemmelen (1949) telah membagi daerah Jawa
Barat
menjadi empat zona fisiografi berdasarkan morfologi dan sifat
tektoniknya
(Gambar 2.2), berturut-turut dari utara-selatan, adalah :
1. Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta, membentang mulai dari
Serang sampai
bagian timur Cirebon dengan lebar + 40 km. Terdiri atas endapan
alluvial
(sungai dan pantai) serta endapan gunungapi kuarter (lahar dan
piroklastik).
2. Zona Bogor, menyebar mulai dari Rangkasbitung, Bogor,
Purwakarta, Subang,
Sumedang sampai Bumiayu (Majenang) dengan lebar + 40 km. Zona
ini
merupakan jalur antiklinorium lapisan-lapisan berumur Neogen
yang terlipat
kuat serta terintrusi secara intensif. Zona ini banyak
dipengaruhi oleh aktifitas
tektonik dengan arah tegasan berarah utara-selatan dan sumbu
lipatan berarah
barat-timur. Zona ini memiliki banyak intrusi yang berbentuk
volcanic neck,
stock, dan boss.
3. Zona Bandung, terletak di sebelah Selatan Zona Bogor,
membentang dari
Pelabuhanratu sebelah barat melalui lembah Cimandiri ke arah
Sukabumi,
Cianjur, Bandung, Garut dan lembah Citanduy. Zona ini merupakan
puncak
dari Geantiklin Jawa yang telah hancur, setelah pengangkatan
pada Tersier
Akhir, zona ini meluas ke arah barat sampai ke Banten yang
disebut sebagai
Zona Bandung Bagian Barat.
-
6
: Daerah Penelitian
Gambar 2.2 Zona Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)
4. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat, merupakan dataran tinggi
dengan
puncak di sebelah selatan Bandung. Terletak memanjang dari
Pelabuhan Ratu
sampai Pulau Nusakambangan di sebelah selatan Segara Anakan
dengan lebar
+ 50 km menyempit hingga beberapa kilometer di sebelah timur.
Pegunungan
Selatan seluruhnya merupakan sisi selatan geantiklin Jawa yang
mengalami
masa pengerutan yang melandai ke selatan menuju Samudera
Hindia.
Berdasarkan pembagian zona fisiografi Jawa Barat di atas, maka
daerah
Gunung Patuha, termasuk ke dalam Zona Selatan Jawa Barat.
-
7
2.1.2 Stratigrafi Regional
Menurut Koesmono, Kusnama dan Suwarna (1992), formasi batuan
yang
menyusun daerah penelitian dari yang tertua hingga yang termuda
(Tabel 2.1), di
antaranya:
1. Endapan-endapan piroklastika yang tak terpisahkan (QTv)
Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah
penelitian, yaitu
berumur Pliosen-Plistosen yang menindih tidak selaras Formasi
Koleberes.
Endapan Piroklastik berupa breksi andesit, breksi tuf dan tuf
lapili.
Endapan ini tersingkap di bagian barat daya dan tenggara
daerah
penelitian, sekitar 3% dari daerah penelitian terutupi oleh
endapan ini.
2. Lahar dan Lava Gunung Kendeng (Ql (k,w))
Lahar dan Lava Gunung Kendeng berumur Plistosen menindih
tidak
selaras endapan piroklstik sebelumnya. Lahar dan Lava Gunung
Kendeng ini
berupa aliran lava yang berselingan dengan endapan lahar breksi
andesit dan
breksi tuf.
Lahar dan Lava Gunung Kendeng ini tersingkap di utara bagian
barat
sampai tenggara daerah penelitian, sekitar 47% dari daerah
penelitian
tersusun oleh lahar dan lava ini.
3. Lava dan Lahar Gunung Patuha (Qv (p,l))
Lava dan Lahar Gunung Patuha berumur Holosen menindih tidak
selaras
Lahar dan Lava Gunung Kendeng. Lava dan Lahar Gunung Patuha ini
berupa
lava dan lahar andesit piroksin yang pejal dan berongga serta
breksi lahar
matriks tuf pasiran berwarna abu-abu.
-
8
Lava dan Lahar Gunung Patuha ini tersingkap di barat daya
daerah
penelitian, sekitar 50% daerah penelitian tersusun oleh lava dan
lahar ini.
Tabel 2.1 Stratigrafi daerah penelitian (Koesmono, Kusnama dan
Suwarna, 1992)
-
9
2.1.3 Tektonik dan Struktur Geologi Regional
Struktur geologi di pulau jawa pada umumnya berarah baratlaut
-tenggara,
beberapa tempat berarah baratlaut-timurlaut bahkan sebagian
berarah barat-timur.
Menurut Sujamto dan Roskamil (1975), pola tektonik di pulau jawa
sangat
dipengaruhi oleh gejala tumbukan antara lempeng Samudra Hindia
ke bawah
lempeng Asia Tenggara. Sebagai akibatnya terbentuklah
rekahan-rekahan yang
berkembang menjadi sesar-sesar karena adanya gerak vertikal.
Menurut Van Bemmelen (1949), Jawa Barat telah mengalami 2
periode
tektonik, yaitu:
1. Periode Tektonik Intra Miosen. Pada periode ini,
berlangsung
pembentukan geantiklin Jawa dibagian selatan yang
menyebabkan
timbulnya gaya-gaya ke arah utara sehingga terbentuk struktur
lipatan dan
sesar yang berumur Miosen tengah dan terutama di bagian tengah
dan
utara pulau Jawa. Sejalan dengan itu berlangsung pula terobosan
intrusi
dasit dan andesit hornblende.
2. Periode Tektonik Plio-Plistosen. Pada periode ini, terjadi
proses
perlipatan dan pensesaran yang diakibatkan oleh gaya-gaya
yang
mengarah ke utara dikarenakan oleh turunnya bagian utara Zona
Bandung,
sehingga menekan Zona Bogor dengan kuat. Tekanan ini
menimbulkan
struktur perlipatan dan sesar naik di bagian utara Zona Bogor
yang
merupakan suatu zona memanjang antara Subang dan Guung
Ciremai,
Zona sesar naik ini dikenal dengan Anjak Baribis.
-
10
Menurut Baumman (1973), Jawa Barat bagian baratdaya dibagi
menjadi
empat fase tektonik, yaitu:
1. Fase Tektonik Oligo-Miosen. Pada fase ini terjadi proses
pengangkatan di
daerah gunung Selatan Jawa Barat, membentuk struktur yang
berarah
barat-timur. Hasil kegiatan tektonik ini ditandai dengan adanya
hubu ngan
tidak selaras antara Formasi Walad dan Formasi jampang yang
ada
diatasnya. Dalam fase tektonik ini aktivitas vulkanisme cukup
kuat, hal ini
ditandai dengan banyaknya endapan-endapan yang mengandung
material
vulkanik.
2. Fase Tektonik Miosen Tengah. Pada fase ini terjadi suatu
kegiatan
tektonik yang cukup besar .pada bagian baratdaya Pulau Jawa
mengalami
pengangkatan dan perlipatan yang selanjutnya diikuti oleh
pembentukan
sesar-sesar. Arah perlipatan dan sesarnya barat-timur. Struktur
yang terjadi
ini mempengaruhi seluruh endapan batuan berumur Miosen
Bawah.
3. Fase Tektonik Plio-Plistosen. Pada fase ini terjadi sutau
kegiatan tektonik
yang cukup besar, yang tejadi pada kala Pliosen Atas sampai
Plistosen
Bawah. Fase ini merupakan penyebab terjadinya beberapa wrench
faults
yang berarah timurlaut-baratdaya dan memotong struktur-struktur
yang
ada, namun tidak diketahui dengan pasti, apakah kegitan tektonik
ini
terjadi hingga zaman Kuarter.
4. Fase Tektonik Kuarter. Pada fase ini terjadi bersamaan dengan
kegiatan
vulkanisme kuarter dan hampir seluruh kepulauan indonesia
terpengaruh
oleh kegiatannya. Aktivitas tektonik ini membentuk struktur
-struktur yang
-
11
aktif, yang sekarang berada di Pegunungan Selatan Jawa Barat.
Gerak
tektonik pada fase ini diperkirakan jauh lebih aktif
dibandingkan fase
sebelumnya.
Situmorang (1976), menyatakan bahwa arah pergerakan relatif
menimbulkan
tekanan kompresi lateral berarah utara-selatan. Arah tekanan
kompresi utama
tersebut selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menganalisa
pola struktur di
Pulau Jawa (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Peta Konsep Tektonik Sesar Ulir (Situmorang, dkk,
1976)
2.1.4 Aktivitas Volkanisme dan Magmatisme
Tatanan tektonik daerah penelitian secara umum termasuk ke
dalam
tatanan tektonik regional Jawa Barat, dan jalur magmatik yang
menjadi bagian
dari satuan tektonik regional di Jawa Barat dibagi menjadi
beberapa tahap dalam
aktivitasnya (Gambar 2.4) (Soeria, Atmadja, dkk., 1994).
-
12
Gambar 2.4 Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria, Atmadja,
dkk., 1994)
Zaman Kapur
Peristiwa tektonik di Pulau Jawa pada Zaman Kapur ditandai
dengan
subduksi lempeng samudera Hindia-Australia yang menyusup ke
bawah lempeng
benua Eurasia. Jalur subduksi tersebut dicirikan oleh kehadiran
batuan ofiolit
berumur Kapur yang merupakan bagian dari jalur subduksi purba
berupa melange
dan sebagai Satuan Batuan Dasar Jawa. Berdasarkan pengukuran
struktur
kelurusan dan sesar yang banyak memotong komplek ofiolit,
menunjukkan arah
umum Timurlaut-Baratdaya atau sesuai dengan arah yang dinamakan
arah
Meratus. Sedangkan di Jawa Barat, batuan yang tersingkap
berhubungan dengan
jalur subduksi purba ini berumur Tersier (Eosen awal), berupa
olistostrom yang
terdapat di Ciletuh dan secara tektonik satuan ini berhubungan
dengan batuan
ofiolit yang terbreksikan dan mengalami serpentinisasi pada
jalur -jalur
persentuhannya.
-
13
Zaman Tersier
Satuan tektonik pada Zaman Tersier yang berupa jalur magmatik
menjadi dua
perioda kegiatan, yaitu Eosen Akhir-Miosen Awal dan Miosen
Akhir-Pliosen.
Hasil kegiatan magmatik Eosen Akhir-Miosen Awal di Jawa Barat,
tersingkap di
Pangandaran-Cikatomas berupa aliran lava dan breksi lahar yang
tergolong dalam
Fm. Jampang yang berumur Oligosen-Miosen Awal. Satuan hasil
kegiatan
magmatik ini terdiri dari kumpulan batuan volkanik yang
dinamakan Formasi
Andesit Tua berumur Oligosen-Miosen Awal dan tersingkap hampir
di
sepanjang pantai selatan P.Jawa, kecuali di Jawa Tengah.
Kegiatan magmatik
Tersier yang lebih muda (Miosen Akhir-Pliosen) di Jawa Barat
dapat diamati di
komplek Pegunungan Sanggabuana (Cianjur), sebelah Barat Laut
Kota Bandung.
Di daerah ini diperkirakan sedikitnya ada tiga komplek batuan
volkanik, yaitu
komplek volkanik Sanggabuana, kubah lava di Jatiluhur, serta
jenjang-jenjang
volkanik dan sumbat lava di sebelah Selatan Sanggabuana.
Petrografi batuannya
berkisar antara basalt hingga andesit piroksen, dan susunan
kimianya berkisar
antara kalk-alkalin dan kalk-alkalin kaya Kalium. Beberapa
singkapan batuan
volkanik Tersier akhir di Jawa Barat juga dapat diamati di
komplek Wayang
Windu berupa lava andesit piroksen, dengan susunan kimianya
berupa kalk-
alkalin, dan sejumlah aliran lava basalt di daerah Bayah
(sebelah Barat Cikotok)
dengan catatan umur Miosen Tengah, susunan kimiawinya
menunjukkan hasil
busur kepulauan toleitis. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
sebaran dan umur
batuan volkanik Tersier lainnya di Jawa Barat, diperoleh
gambaran bahwa jalur
magma Tersier ini tersebar hampir meliputi seluruh bagian tengah
Jawa Barat dan
-
14
mungkin sampai ke utara yang umurnya secara berangsur menjadi
bertambah
muda ke arah utara. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa
kegiatan
vulkanisme selama zaman Tersier ini diawali dari bagian selatan
Jawa (Miosen
Awal) dan secara berangsur bergeser ke arah utara. Mengingat
bahwa jalur
subduksinya sendiri bergeser secara berangsur ke Selatan dimulai
dari
kedudukannya pada awal Tersier pada punggungan bawah permukaan
laut di
Selatan Jawa dan sekarang berada di sebelah Selatannya, maka
dapat dipastikan
bahwa sudut penunjaman pada jalur subduksi menjadi semakin
landai.
Zaman Kuarter
Satuan tektonik lainnya berupa jalur magma yang membentuk
volkanik berumur
Kuarter, menempati bagian tengah Jawa-Barat atau dapat juga
dikatakan berimpit
dengan jalur magmatik Tersier muda. Jalur volkanik Kuarter
sebagai jalur
magmatik paling muda, memiliki potensi energi panasbumi yang
hingga saat ini
sebagian telah dimanfaatkan secara komersial.
2.2 Teori Dasar
Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam
bumi
yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan
secara
ekonomis. Energi panasbumi merupakan hasil interaksi batuan
panas dan air yang
mengalir di sekitar dan dapat diperbaharui.
-
15
2.2.1 Sistem Panasbumi
Terdapat beberapa persyaratan terbentuknya sistem panasbumi
yaitu:
1. Adanya sumber panasbumi berupa magma atau sisa panas dari
batuan
terobosan.
2. Persediaan air yang cukup dan terjadi sirkulasi dekat sumber
panasbumi
agar terbentuk uap air panas
3. Adanya batuan reservoir, berupa batuan porous yang dapat
menyimpan
uap air
4. Adanya batuan penudung (caprock) yang dapat menahan hilangnya
uap
air, berupa batuan kedap, biasanya batulempung teralterasi
5. Adanya rekahan sebagai media transport uap air panas
6. Adanya fluida panas dengan temperatur 45-240 C
Sistem panasbumi berdasarkan lokasi dan tatanan hidrologinya
dibagi
menjadi dua, yaitu (Browne, 1989):
1. Sistem panasbumi relief rendah
Sistem panasbumi ini dicirikan oleh topografi yang relatif
rendah yang
memungkinkan fluida panasbumi dari dalam mencapai permukaan,
dan
keluar sebagai manifestasi seperti kolam air alkali korida dan
endapan
sinter silika. Air panas ini berasal dari air meteorik yang
memiliki pH
mendekati netral dan biasanya memiliki salinitas rendah.
2. Sistem panasbumi relief tinggi
Sistem panasbumi ini sangat umum di Indonesia dimana tatanan
busur
kepulauan yang memungkinkan terbentuknya morfologi curam dan
-
16
volkanisme andesitik berpengaruh terhadap hidrologi yang
berasosiasi
dengan sistem panasbumi. Air alkali klorida dari dalam sangat
jarang
mencapai permukaan tanah, maka sebagai penggantinya, pada
sistem
panasbumi ini terdapat zona dua fasa dengan ketebalan beberapa
ribu
meter yang diekspresikan oleh manifestasi di permukaan seperti
fumarol,
steaming ground, dan solfatara. Air meteorik yang berasal dari
air hujan
yang jatuh pada lereng yang curam akan tercampur dan
mengalami
kondensasi dengan gas dan uap yang naik ke permukaan, membentuk
satu
atau lebih lapisan kondensat (condensate layer) pada level yang
lebih
tinggi daripada air alkali klorida yang berada di dalam. Fluida
kondensat
asam ini bisa juga bergerak secara lateral di bawah permukaan
dan keluar
sebagai mata air panas asam.
Sistem hidrothermal berdasarkan siklus pembentukannya dibagi
menjadi
dua tipe (Ellis dan Mahon,1977), yaitu sistem berputar (cyclic
system) dan sistem
tersimpan (storage system). Sistem berputar (cyclic system),
dimulai dari
masuknya air (permukaan) terpanaskan oleh sumber panas di dalam
berupa
magma lalu muncul kembali ke permukaan sebagai akibat gravitasi
sehingga
memungkinkan adanya gejala artesis. Pada sistem ini terdapat
lapisan batuan
dengan permeabilitas yang baik sehingga memungkinkan sistem ini
terus
berputar. Sedangkan pada sistem tersimpan (storage system), air
akan tersimpan
dalam akuifer dan terpanaskan di tempat dan tidak menunjukkan
gejala apapun di
permukaan. Pada sistem tertutup terdapat lapisan batuan yang
impermeabel
sebagai lapisan penutup.
-
17
Pembentukan sistem berputar antara lain membutuhkan:
1. formasi batuan yang memungkinkan air mengalami sirkulasi
2. sumber panas
3. ketersediaan air yang cukup
4. ketersediaan waktu dan area permukaan untuk pertukaran panas
sehingga
memungkinkan air terpanaskan,
5. terdapat jalur air untuk naik ke permukaan
Berdasarkan aktivitas volkanik, sistem berputar dibagi
menjadi:
1. sistem temperatur tinggi yang berasosiasi dengan volkanisme
resen
2. sistem temperatur tinggi zona non-volcanic pada aktivitas
tektonik
Kenozoik
3. sistem air hangat dekat zona aliranpanas normal
2.2.2 Alterasi Hidrothermal
Alterasi hidrothermal merupakan suatu proses interaksi fluida
dan batuan
yang berhubungan dengan respon mineral, tekstur, dan kimiawi
batuan sebagai
akibat dari perubahan temperatur dan kondisi kimiawi lingkungan
melalui
kehadiran air panas, uap, atau gas (Henley & Ellis, 1983,
op. cit., Wohletz &
Heiken, 1992). Proses alterasi hidrothermal meliputi proses
penggantian
(replacement) mineral, pelarutan (leaching), dan pengendapan
mineral secara
langsung yang mengisi urat ataupun rongga (vug). Pada proses
ini, tipe dan
intensitas alterasi hidrothermal yang sedang berlangsung dapat
merefleksikan
lingkungan baru bagi batuan reservoir.
-
18
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi alterasi hidrothermal
(Browne,
1989) yaitu:
1. Temperatur dan perbedaan temperatur antara host rock dan
fluida yang
hadir
2. Komposisi kimiawi fluida
3. Konsentrasi fluida hidrohermal
4. Komposisi host rock
5. Kinetika reaksi atau tingkat alterasi/ pengendapan
mineral
6. Lamanya (durasi) interaksi antara fluida dan batuan
7. Permeabilitas
Stabilitas mineral hidrothermal dinyatakan dalam fungsi
temperatur
terhadap pH fluida, dimana konsentrasi dan rasio unsur fluida
serta tekanan
dianggap konstan (Gambar 2.5). Corbett dan Leach (1998) membagi
kelompok
mineral berdasarkan tipe alterasinya menjadi enam grup mineral
sebagai berikut:
Grup Silika
Merupakan grup mineral yang paling stabil pada fluida dengan pH
rendah
(biasanya
-
19
Gambar 2.5 Mineral alterasi yang umumnya hadir pada sistem
hidrothermal
(Corbett dan Leach, 1998)
fasa silika dipengaruhi kinetika pengendapannya, contohnya
silika amorf yang
terbentuk pada temperatur >200 C pada lingkungan pengendapan
cepat.
-
20
Grup Alunit
Pada kondisi fluida dengan pH >2, mineral alunit akan
terbentuk bersama
mineral silika pada kisaran temperatur yang panjang (Stoffregen,
1987, op. cit.,
Leach, 1994). Kehadiran alunit berasosiasi dengan andalusit pada
temperatur
tinggi (biasanya >350-400 C). Lingkungan pembentukan mineral
alunit dibagi
berdasarkan bentuk kristalnya (Rye, et. al., 1992, op. cit.,
Leach, 1994), yaitu: 1.
steam-heated alunite, 2. supergene alunite, 3. magmatic alunite,
dan 4. magmatic
vein/ breccia alunite.
Grup Kaolin
Mineral pada grup kaolin akan terbentuk pada kondisi fluida
dengan pH
sekitar 4, dan akan hadir bersamaan dengan mineral grup alunit
pada kondisi
fluida transisi (pH sekitar 3-4). Berdasarkan penelitian pada
sistem geothermal di
Filipina (Leach,et. al., 1985), diperoleh zonasi pembentukan
mineal grup kaolin
yang terbentuk seiring dengan peningkatan kedalaman dan
temperatur. Kaolin
terbentuk pada kedalaman dangkal pada temperatur rendah (
-
21
150 C), illit-smektit hadir pada temperatur 100-200 C, illit
pada temperatur 200-
250 C, dan muskovit pada temperatur >250 C. Serisit yang
merupakan muskovit
halus (fine- grained muscovite) dapat berisi mineral illit, dan
bertemu pada level
transisi antara illit dan kristal muskovit yang lebih kasar.
Mineral smektit yang
hadir pada mineral lempung illit-smektit akan menurun secara
progresif seiring
dengan peningkatan temperatur sampai melebihi sekitar 100-200 C.
Kristalinitas
mineral illlit dan serisit akan meningkat seiring peningkatan
temperatur, dan dapat
diketahui dari hasil analisis X-RD.
Grup Klorit
Mineral klorit-karbonat dominan hadir pada kondisi fluida
mendekati
netral, dan akan hadir bersama mineal grup illit pada kondisi
fluida dengan pH 5 -
6. Interlayer klorit-smektit hadir pada temperatur rendah, dan
berubah menjadi
klorit pada temperatur lebih tinggi.
Grup Kalk-Silikat
Mineral grup kalk-silikat terbentuk pada kondisi fluida dengan
pH netral-
alkalin. Zeolit-klorit-karbonat terbentuk pada kondisi dingin,
dan pembentukan
epidot yang diikuti amfibol sekunder (aktinolit) terbentuk
secara progresif pada
temperatur lebih tinggi. Zeolit merupakan mineral yang sensitif
terhadap
temperatur, dan hydrous zeolite hadir mendominasi pada kondisi
dingin (
-
22
temperatur lebih tinggi (>220-250 C). Amfibol sekunder
(biasanya aktinolit)
hadir pada sistem hidrothermal aktif dan stabil pada temperatur
>280-300 C.
Biotit hadir mendominasi pada tubuh intrusi porfiri. Pada sistem
aktif, biotit
sekunder tumbuh pada temperatur >300-325 C.
Pembagian zona alterasi hidrothermal dilakukan untuk menentukan
tipe
alterasi pada tiap-tiap grup mineral. Corbett dan Leach (1998)
membagi zona
alterasi menjadi lima zona, yaitu: zona argilik lanjut (
advanced argillik), argilik
(argilic), filik (phyllic), propilitik (propylitic), dan potasik
(potassic).
Zona Argilik Lanjut
Terdiri dari mineral yang terbentuk pada kondisi pH rendah
(200-250 C). Zona ini dicirikan oleh kehadiran mineral
kaolin dan smektit yang melimpah, serta mineral illit/ illit
-smektit yang kadang
hadir, dan klorit yang kadang hadir.
Zona Filik
Mineral pada zona filik terbentuk pada kondisi pH sekitar 4-6
dan
temperatur lebih tinggi (>200-250 C). Zona ini dicirikan oleh
kehadiran mineral
serisit (atau muskovit), dan pada temperatur tinggi kadang hadir
pirofilit-
andalusit, dan kadang hadir mineral klorit.
-
23
Zona Propilitik
Mineral pada zona propilitik terbentuk pada kondisi fluida
dengan pH
netral- alkalin dan temperatur rendah-tinggi. Pada temperatur
rendah (280-300 C) disebut
sebagai zona propilitik dalam (inner proyllitic zone), dicirikan
oleh kehadiran
mineral amfibol sekunder (biasanya aktinolit). Sedangkan mineral
yang umumnya
hadir pada semua zona propilitik yaitu albit atau K-felspar
sekunder.
Zona Potasik
Mineral pada zona potasik terbentuk pada kondisi fluida dengan
pH netral-
alkalin dan temperatur tinggi (>300-350 C). Zona ini
dicirikan oleh kehadiran
mineral biotit, K-felspar, magnetit, aktinolit, klinopiroksen.
Pada kondisi
yang sama, mineralogi skarn dapat terbentuk jika batuan asal
(host rock) berupa
sedimen karbonatan yang akan membentuk zona mineral kalk-silikat
seperti
garnet, klinopiroksen, dan tremolit.
2.2.2.1 Intensitas Alterasi
Derajat alterasi (alteration rank) digunakan sebagai indikasi
empiris dari
temperatur dan permeabilitas di lapangan gunungapi yang dapat
ditunjukkan
melalui studi kehadiran mineral sekunder. Intensitas merupakan
istilah objektif
yang ditujukan bagi batuan yang telah mengalami alterasi (per
ubahan) dan dapat
diukur secara kuantitatif (Browne, 1989). Intensitas alterasi
dapat dilihat
berdasarkan perhitungan rasio persentase mineral sekunder (SM)
terhadap total
mineral (TM) pada tiap kedalaman (tabel 2.2).
-
24
Tabel 2.2 Intensitas alterasi (Browne, 1989)