Top Banner
Lampiran - 1 Lampiran A Survey dan Kajian Sisi Sediaan 1. Survey Umum Terhadap Karakteristik Daerah Survey umum terhadap karakteristik daerah meliputi aspek kebijaksanaan, geografi, kependudukan, dan lainnya. Karakteristik geografi secara Umum mengenai Kabupaten atau Kota perlu disurvey untuk memberi gambaran secara utuh mengenai daerah studi, sehingga dapat dijadikan landasan untuk proses penditian dan analisis terhadap aspek-aspek terkait. Pada dasarnya satu dokumen rencana komprehensif akan mengandung suatu gambaran Umum dari informasi daerah sebagai salah satu landasan perencanaan. Komponen karakteristik daerah yang disurvey adalah: a. Lokasi. b. Lingkungan alam. c. Sejarah daerah. d. Pola sosial budaya dan ekonomi. e. Pola tata guna lahan. f. Kualitas lingkungan. Pengkajian tertiadap peta daerah dan kunjungan lapangan ke lokasi objek dan daya tarik wisata merupakan tahapan yang perlu dilakukan untuk mem- peroleh gambaran terhadap kondisi eksisting lapangan. Sementara untuk data-data dasar sebagian besar sudah tersedia pada pihak pemerintah, Universitas dan berbagai lembaga lainnya dalam bentuk laporan atau peta. Namun, demikian ketersedlaan data ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi, kekurangan data merupakan salah satu faktor penghambat pelaksanaan studi. Salah satu cara untuk menutupi kekurangan data tersebut dapat dilakukan estimasi berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan atau dengan membaca berbagai literatur geografi dan sejarah mengenai daerah studi. a. Lokasi Lokasi daerah studi harus dipetakan terhadap negara secara keselu- ruhan maupun terhadap provinsi. Lokasi daerah merupakan pertim- bangan penting untuk pengembangan parMsata, dengan lokasi dapat diketahui jarak derah tertiadap pasar potensial utama atau daerah yang telah memiliki pariwisata yang berkembang dengan baik, seperti Bali. Hal ini merupakan salah satu masukan bagi analisis pasar, karena peluang pasar dapat diidentifikasi dengan Jelas. Selain itu, lokasi juga merupakan bahan pertimbangan bagi penentuan jalur wisata dari produk wisata yang akan dikembangkan baik jalur wisata internal dalam kabupaten atau kota maupun Jalur wisata untuk daerah yang lebih luas (misalnya : antar kabupaten atau provinsi).
175

Pedoman RIPPDA - Lampiran

May 28, 2015

Download

Travel

Lampiran 'asli' dan beberapa tambahan yang masih terkait dengan kepariwisataan.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 1

Lampiran A

Survey dan Kajian Sisi Sediaan

1. Survey Umum Terhadap Karakteristik Daerah

Survey umum terhadap karakteristik daerah meliputi aspek kebijaksanaan, geografi, kependudukan, dan lainnya. Karakteristik geografi secara Umum mengenai Kabupaten atau Kota perlu disurvey untuk memberi gambaran secara utuh mengenai daerah studi, sehingga dapat dijadikan landasan untuk proses penditian dan analisis terhadap aspek-aspek terkait. Pada dasarnya satu dokumen rencana komprehensif akan mengandung suatu gambaran Umum dari informasi daerah sebagai salah satu landasan perencanaan. Komponen karakteristik daerah yang disurvey adalah: a. Lokasi. b. Lingkungan alam. c. Sejarah daerah. d. Pola sosial budaya dan ekonomi. e. Pola tata guna lahan. f. Kualitas lingkungan.

Pengkajian tertiadap peta daerah dan kunjungan lapangan ke lokasi objek dan daya tarik wisata merupakan tahapan yang perlu dilakukan untuk mem-peroleh gambaran terhadap kondisi eksisting lapangan. Sementara untuk data-data dasar sebagian besar sudah tersedia pada pihak pemerintah, Universitas dan berbagai lembaga lainnya dalam bentuk laporan atau peta. Namun, demikian ketersedlaan data ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi, kekurangan data merupakan salah satu faktor penghambat pelaksanaan studi. Salah satu cara untuk menutupi kekurangan data tersebut dapat dilakukan estimasi berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan atau dengan membaca berbagai literatur geografi dan sejarah mengenai daerah studi.

a. Lokasi

Lokasi daerah studi harus dipetakan terhadap negara secara keselu-ruhan maupun terhadap provinsi. Lokasi daerah merupakan pertim-bangan penting untuk pengembangan parMsata, dengan lokasi dapat diketahui jarak derah tertiadap pasar potensial utama atau daerah yang telah memiliki pariwisata yang berkembang dengan baik, seperti Bali. Hal ini merupakan salah satu masukan bagi analisis pasar, karena peluang pasar dapat diidentifikasi dengan Jelas. Selain itu, lokasi juga merupakan bahan pertimbangan bagi penentuan jalur wisata dari produk wisata yang akan dikembangkan baik jalur wisata internal dalam kabupaten atau kota maupun Jalur wisata untuk daerah yang lebih luas (misalnya : antar kabupaten atau provinsi).

Page 2: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 2

b. Lingkungan Alam

1- Iklim

Pola iklim daerah meliputi : curah hujan, temperatur, kelembaban, pencahayaan sinar matahari, kabut, kecepatan dan arah angin, dan variasi musim. Iklim dapat mempengaruhi pengembangan pa-riwisata yang akan dilakukan, misalnya saja dengan jumlah hari hujan yang tinggi menyebabkan tidak memungkinkan untuk pe-ngembangan lapangan golf. Iklim ini perlu dipetakan dengan jelas dalam dokumen RIPPDA untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.

Topografi yang merupakan karaktenstik permukaan bumi meliputi konfigurasi tanah, kemiringan, ketinggian dan jenis permukaan (misal : danau, rawa dan sungai) perlu dipetakan. Pada RIPPDA Kabupaten/Kota, perencanaan yang dilakukan sudah bersifat mendetail, sehingga aspek penentuan lokasi merupakan pertim-bangan penting dalam pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata tidak mungkin dilakukan pada daerah yang sering mengalami longsor atau banjir, sehingga dengan acuan ini dapat diketahui mana daerah-daerah yang memang memiliki kelayakan untuk pengembangan kawasan wisata di daerah bersangkutan.

Kehidupan satwa liar dan vegetasi hutan berdasarkan jenis, dan lokasinya perlu diindikasikan. Jarak dari habitat satwa liar maupun kawasan lindung perlu dipertimbangkan untuk pengembangan pa-riwisata, sehingga pengembangan pariwisata yang akan dilakukan tidak mengganggu atau merusak proses konservasi yang sedang dilakukan. Namun, juga sebaliknya kehidupan satwa liar dan ve-getasi ini dapat juga menjadi daya tarik wisata yang dapat dijual, dengan syarat dikelola dengan baik memperhatikan prinsip-prinsip periindungan.

2- Pantai dan Laut

Karakteristik pantai dan laut yang perlu disurvey meliputi lokasi dan karakteristik pantai, terumbu karang, kehidupan bawah laut, kandungan sumber daya alam, pasang surut, formasi karang dan perikanan. Permasalahan konservasi laut perlu diinvestigasi dan diungkapkan dengan jelas, sehingga pengembangan pariwisata tidak merusak proses konservasi yang dilakukan. Bila hal tersebut terjadi maka pengembangan pariwisata di kawasan pantai dan laut yang akan menimbulkan kerusakan tingkungan akan dimini-malkan.

Page 3: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 3

3- Geologi

Karakteristik geologi merupakan pertimbangan penting dalam pe-ngembangan pariwisata. Kesesuaian antara pengembangan pari-wisata dengan jenis batuan atau kandungan mineral yang dimiliki merupakan satah satu pertimbangan penting. Namun, di lain pihak terdapat sungai-sungai bawah tanah dan gua Juga memberi peluang untuk mengembangkan produk wisata, seperti caving yang saat ini memiliki pasar yang sedang berkembang.

4- Sumber Daya Alam

Beberapa daerah memiliki potensi sumber daya alam yang cukup balk, misalnya saja suatu daerah memiliki potensi pengembangan peitanian atau perkebunan, atau minyak bumi. Potensi tersebut perlu dlpertimbangkan karena apabila manfaat yang dihasilkan lebih tinggj dan pengembangan pariwisata, maka daerah tersebut tidak dikembangkan pariwisata.

c. Sejarah Daerah

Pengetahuan mengenai sejarah daerah penting, karena dalam peren-canaan pariwisata banyak sekali aspek sejarah yang merupakan daya tarik wisata, seperti bangunan-bangunan bersejarah, candi, bentuk arsi-tektur rumah penduduk, dan kerajinan tangan. Sejarah suatu daerah mempengaruhi sistem sosial budaya dari penduduk setempat dan sikap terhadap pengembangan pariwisata itu sendiri. Sejarah mengenai daerah studi perlu diungkapkan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam analisis perencanaan pariwisata dan formulasi rencana.

d. Pola Sosial Budaya dan Ekonomi

1- Karakteristik Populasi/Penduduk

Distribusi populasi penduduk merupakan pertimbangan penting dalam setiap pembangunan. Hal ini dapat disajikan dalam bentuk gambar atau tabel mengenai populasi penduduk masa lalu dan eksisting. Selain itu proyeksi penduduk juga perlu dikaji. Kelompok umur penduduk dapat menunjukkan angkatan kerja yang ada di daerah disertai dengan jenis kelaminnya dan pendidikan.Sehingga dapat diketahui berapa besar potensi tenaga kerja yang dimitiki.

2- Kebudayan dan Adat Istiadat

Pola budaya masyarakat perlu diidentifikasi dengan jelas, hal ini meliputi : struktur sosial, sistem nilai, gaya hidup dan sikap. Pada daerah Kabupaten/Kota baik itu Kabupaten maupun Kota karakteristik pola budaya daerah. Umumnya dapat dikategorikan seragam, namun pada daerah-daerah yang luas atau perkotaan polanya dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya.

Page 4: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 4

Selain itu nilai-nilai religius yang berlaku juga perlu diperhatikan, Umumnya di sebagian besar wilayah Indonesia yang didominasi deh penduduk beragama Islam terdapat pantangan terhadap minuman beralkohol atau daging babi. Hal ini perlu diperhatikan agar benturan-benturan yang akan terjadi dengan adanya pe-ngembangan pariwisata dapat diantisipasi sedini mungkin. Tarian, musik, drama, upacara adat, kerajinan, pakaian daerah dan hasil seni merupakan bagian dari pola budaya masyarakat yang dapat merupakan daya tarik wisata yang dapat dikembangkan

3- Profil Ekonomi

Profil ekonomi daerah perlu diidentifikasi dengan jelas. Hal ini me-liputi produk domestik bruto, tingkat pendapatan, jenis dan nilai ekspor dan impor dan pendapatan asli daerah. Keterkaitan antara pariwisata dengan ekonomi. daerah secara keseluruhan perlu di-ungkapkan, sehingga besarnya sumbangan sektor pariwisata dan sektor-sektor lain terhadap pendapatan asli daerah dapat diketahui.

Pertumbuhan ekonomi daerah perlu diungkapkan disertai dengan proyeksi pertumbuhan masa mendatang. Daerah-daerah yang be-lum memililki perkembangan ekonomi dengan baik dapat diketahui untuk memungkinkan pengembangan sektor pariwisata di daerah yang tidak memiliki sektor altematif penghasil pendapatan daerah.

e. Pola Tata Guna Lahan

Dalam penyusunan RIPPDA Kabupaten, pola tata guna lahan daerah secara umum perlu diidentifikasi, lahan pertanian, industri, perkebunan, hutan lindung, pernukiman dan jalur transportasi dipetakan dengan baik. Pada perencanaan RIPPDA Kota, pemetaan yang dilakukan dapat bersifat lebih detail, sehingga dalam pengembangan pariwisata peruntukan pengembangan yang akan dilakukan dapat dengan jelas ditentukan dan dipilih.

Kepemilikan lahan juga dapat merupakan pertimbangan untuk pemi-likan kawasan pengembangan pariwisata daerah. Lahan yang ada da-pat dimiliki oleh perorangan, adat, institusi atau pemerintah. Informasi ini dapat menentukan pengembangan yang akan dilakukan.

f. Kualitas Lingkungan

Kualitas lingkungan dari daerah studi terutama pada kawasan wisata eksisting dan yang akan dikembangkan merupakan pertimbangan pen-ting sebagai daya tarik bagi wiisatawan maupun bagi penduduk lokaL Komponen dari kualitas lingkungan yang perlu dikaji cukup banyak, namun dalam pelaksanaan studi komponen yang dikaji tersebut dapat bervariasi sesuai dengan kondisi daerah atau sudah tercakup dalam

Page 5: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 5

pembahasan lain. Komponen kualitas lingkungan yang perlu dipertim-bangkan, secara tengkap adalah sebagai berikut : 1- Kualitas udara, 2- Kualitas air bersih (air minum), 3- Kualitas air permukaan, 4- Kualitas air bawah tanah, 5- Tingkat kebisingan, 6- Tingkat Kebersihan lingkungan umum, 7- Kualitas lansekap, 8- Desain bangunan dan pemeliharaannya, 9- Desain perkotaan, 10- Rambu-rambu, 11- Pola tata guna lahan dan jaringan transportasi, 12- Tingkat kemacetan, 13- Ruang terbuka, 14- Taman dan kawasan lindung, 15- Pemandangan alam, 16- Penyakit.

g. Survey Kelembagaan

Survey elemen kelembagaan dalam proses perencanaan meliputi pengkajian terhadap kebijakan dan rencana pengembangan, kebijakan investasi daerah, ketersediaan modal, peraturan daerah yang berkaitan dengan pariwisata dan kebijakan pembangunan daerah lainnya. Peneli-tian pada tahapan ini merupakan input dalam analisis perencanaan, for-mulasi kebijakan dan rencana, dar rekomendasi. Survey kelembagaan ini dapat meliputi kajian terhadap dokumen-dekumen yang ada dan dis-kusi dengan pihak pemerintah dan swasta sebagai pelaku di lapangan.

h. Kebijakan Pembangunan dan Rencana Eksisting

Hampir seluruh Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia telah memiliki do-kumen-dokumen mengenai perencanaan daerahnya masing-masing. Bentuk dokumen ini dapat bersifat perencanaan jangka panjang mau-pun jangka pendek, daerah secara keseluruhan maupun kawasan-ka-wasan terpilih, dan terkadang dalam dokumen tersebut juga tercakup sektor pariwisata. Selain di daerah bersangkutan, pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti tingkat Provinsi atau Nasional juga terdapat doku-men-dokumen yang berkaitan dengan daerah studi. Oleh karena itu informasi ini perlu dikaji dengan baik karena hal ini akan mempengaruhi formulasi kebijakan pariwisata yang akan diambil. Selain itu pada kondisi sebaliknya ternuan yang diperoleh di lapangan dapat menjadi masukan terhadap kebijakan yang sudah ada.

Sangat dimungkinkan pemerintah daerah ataupun pemerintah yang berada di atasnya telah memiliki program pembangunan dalam sektor pariwisata yang akan dilaksanakan daerah studi, hal ini merupakan bahan masukan penting dalam perencanaan pariwisata yang dilakukan.

Page 6: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 6

Pembangunan jaringan jalan, bandar udara, perluasan industri dan ren-cana-rencana lainnya akan turut mempengaruhi pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil.

i. Kebijakan Investasi

Kebijakan investasi dalam proyek pembangunan di daerah merupakan salah satu pertimbangan penting dalam perencanaan pariwisata. Pe-ngembangan pariwisata akan berhasil bila tercipta iklim investasi yang baik di daerah. Jenis penanaman modal dan adanya insentif meru-pakan informasi penting untuk mendorong investor menanamkan mo-dalnya di daerah.

Dalam proses selanjutnya, RIPPDA Kabupaten/Kota ini juga memberi-kan rekomendasi penting mengenai kebijakan investasi yang perlu di-ambil oleh Pemda untuk lebih mendorong investasi, sehingga pengem-bangan pariwisata dapat terlaksana dengan baik. Ketersediaan sumber dana di daerah untuk pengembangan pariwisata juga merupakan hal penting yang perlu dipertimbangkan, karena pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah yang perlu diberikan jika pariwisata daerah ingin berhasil. Sebagai contoh untuk pembangunan kawasan wisata atau hotel diperlukan ketersediaan infrastruktur jalan, listrik, dan air bersih yang seluruhnya perlu disediakan oleh pemerintah.

j. Peraturan yang Berkaitan dengan Pariwisata

Jika pariwisata telah ada dan berkembang di suatu daerah, kemung-kinan besar daerah tersebut telah memiliki peraturan-peraturan pariwi-sata. Peraturan ini perlu dikaji untuk melihat kesesuaiannya dengan pe-ngembangan yang akan dilaksanakan. Peraturan mengenai hotel, biro perjalanan, pemandu wisata merupakan aspek-aspek penting yang perlu dipertimbangkan. Dan tidak hanya itu peraturan-peraturan daerah yang berkaitan secara tidak langsung pun perlu dipertimbangkan de-ngan baik, misalnya : pola guna lahan, pengaturan tinggi bangunan dan arsitekturnya, merupakan masukan untuk menentukan pengembangan pariwisata selanjutnya. Bila terdapat ketidaksesuaian dengan pengem-bangan yang akan dilakukan, akan sangat mungkin diberikan rekomen-dasi untuk melakukan modifikasi terhadap peraturan-peraturan terse-but.

k. Pendidikan Pariwisata dan Program Pelatihan

Daerah yang memiliki sektor pariwisata yang tetah berkembang biasa-nya memiliki lembaga pendidikan dan pelatihan pariwisata. Lembaga atau badan, seperti ini perlu disurvey dan dievaluasi sebagai bahan pertimbangan perencanaan sumber daya manusia daerah yang me-rupakan salah satu komponen perencanaan pariwisata. Pendidikan dan pelatihan ini dapat mencakup bidang perhotelan dan, restoran, peman-du wisata, perencanaan, pemasaran dan penelitian.

Page 7: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 7

2. Survey dan Kajian Aspek-Aspek Sediaan / Produk Wisata

a. Survey Objek dan Daya Tarik Wisata

Daya tarik wisata merupakan dasar dari pengembangan pariwisata, hal ini merupakan elemen penting dalam produk pariwisata. Tanpa adanya faktor daya tarik yang substansial, pariwisata yang berorientasi untuk kesenangan atau untuk berlibur tidak memungkinkan dikembangkan. Meskipun demikian masih ada peluang-peluang lain, misalnya saja per-jalanan bisnis, dinas pemerintah, tonferensi, keagamaan dan berbagai maksud perjalanan wisata lainnya.

Umumnya dalam menganalisis dan memilih objek dan daya tarik wisata yang akan dikembangkan perlu melihat potensi pasar wisata eksisting. Objek dan daya tarik wisata yang akan dikembangkan harus sesuai de-ngan target pasar yang dimiliki. Kesesuaian antara kedua faktor akan menghasilkan keberhasilan dalam pengembangan pariwisata. Jenis daya tarik yang dimiliki oleh suatu daerah akan menentukan jenis pasar sasaran dan promosi pariwisata yang akan dilakukan. Permintaan pa-sar yang ada akan menentukan jenis daya tarik yang akan dikembang-kan.

Pendekatan penting yang dapat dilakukan adalah mengkaitkan kompo-nen daya tarik yang dimliki dengan kegiatan wisata yang mungkin dilakukan. Komponen tersebut secara tersendiri dapat saja merupakan sebuah daya tarik yang dapat dijual dan dikembangkan, sehingga daya tarik wisata perlu dievaluasi dan diidentifikasi untuk mempertimbangkan peluang kegiatan wisata yang dapat dikembangkan di daerah.

Untuk melakukan survey dan evaluasi dari daya tarik wisata, maka akan sangat penting untuk memahami jenis objek dan daya tarik yang perlu dipertimbangkan dalam pariwisata. Hal ini terutama dilakukan dalam fungsi analisis. Konsep umum dari jenis daya tarik yang telah lama dikenal adalah daya tarik alam yang biasanya berbentuk, pantai, danau, laut, iklim, hutan, lansekap alam, pemandangan dan bentuk-bentuk lainnya.

Objek dan daya tarik wisata dapat dikelompokkan dengan berbagai cara. Sistem umum dari pengelompokkan yang sering dipakai adalah : 1- Objek dan daya tarik alam, yang berbasiskan segala pada ling-

kungan alam. 2- Objek dan daya tarik budaya, yang berbasiskan pada kegiatan

manusia. 3- Objek dan daya tarik khusus, yang biasanya dibuat secara khusus

oleh manusia untuk menarik kunjungan wisatawan.

Page 8: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 8

1- Objek dan Daya Tarik Alam

a- lklim

Suhu udara yang hangat, cahaya matahari, dan iklim kering, seringkali dipertimbangkan sebai kondisi yang disukai oleh wisatawan terutama wisatawan yang berasal dari daerah musim dingin. Kondisi ini seringkali dikaitkan dengan daya tarik pantai, laut dan gunung yang memberi peluang kepada wisatawan untuk melakukan rekreasi. Iklim sebagai daya ta-rik menyebabkan perlu dilakukannya konservasi terhadap ik-lim tersebut dengan melakukan pengendalian terhadap polu-si udara.

Perubahan iklim di suatu daerah perlu dipertimbangkan da-lam mengevaluasi iklim sebagai daya tarik. Iklim yang di-inginkan (misalnya : iklim kering) yang panjang merupakan keunggulan suatu hal yang patut untuk dipertimbangkan, se-hingga investasi yang ditanarnkan dalam bentuk fasilitas pe-layanan dan infrastruktur dapat dimaksimalkan. Evaluasi mu-sim merupakan dasar pertimbangan bagi peluang sumber daya wisata yang dimiliki dan target pasar untuk memper-panjang musim kunjungan ke daerah bersangkutan. Pada musim panas memungkinkan kunjungan wisatawan yang le-bih banyak dibandingkan musim hujan.

b- Pemandangan Alam

Pemandangan alam yang indah dapat menjadi motivasi uta-ma bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat, khu-susnya bila daerah tersebut telah memiliki konservasi terha-dap tempat tersebut. Konservasi yang dilakukan menyebab-kan kebersihan dan karakter alam dari lingkungan tersebut dapat dijaga dan dipertahankan. Daya tarik lansekap perke-bunan teh di Puncak, Jawa Barat atau hamparan persawah-an merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung.

Dengan pemandangan alam yang indah, dapat dikembang-kan berbagai jenis aktivitas wisata, misalnya saja piknik, ber-kemah, pendakian gunung atau sebagai tempat peristirahat-an selama perjalanan. Sementara pemandangan alam yang indah yang memiliki jarak cukup jauh dapat dikembangkan wisata adventure dengan aktivitas, seperti panjat tebing, arung jeram dan penjelajahan alam. Pemandangan alam yang memiliki daya tarik cukup tinggj perlu dilindungi dengan pengembangan taman-taman nasional, sehingga pemba-ngunan yang terjadi di kawasan tersebut dapat dikendalikan

Page 9: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 9

c- Pantai dan Laut

Pantai dan laut umumnya diasosiasikan dengan aktivitas re-nang, selancar, berjemur, perahu, ski air, penyelaman, man-cing dan berbagai aktivitas air lainnya. Komponen ini meru-pakan daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan rekreasi atau relaksasi atau bahkan minat khusus, seperti olah raga selam. Potensi, seperti ini banyak sekali dimiliki daerah-daerah di Indonesia. Dengan kombinasi suhu dan iklim yang mendukung potensi ini sangat layak untuk dikembangkan. Namun, tidak lupa yang perlu diperhatikan adalah proses pertindungan tertiadap kawasan tersebut, sehingga daya tarik yang dimilikj dapat tetap dijaga kelestariannya dan dapat dipertahankan secara jangka panjang.

d- Flora dan Fauna

Flora dan fauna yang tidak dimiliki oleh daerah lain dapat merupakan daya tarik penting bagi suatu daerah, terutama bila dipadukan dengan pemandangan alam yang indah. Bu-nga Raflesia, Anggrek Hutan, Komodo, Anoa dan jenis lain-nya merupakan daya tarik yang kuat, yang dapat dijual kepa-da wisatawan. Setiap daerah dapat mengidentiffkasi potena flora dan fauna yang dimiliki. Pada beberapa kondia jumlah fauna yang berlebihan di suatu tempat memungkinkan dae-rah untuk niengembangkan wisata buru dengan pengen-dalian yang ketat dari pemerintah.

Pada beberapa kasus, pariwisata sebagai salah satu faktor pendukung dilakukannya periindungan terhadap flora dan fauna dapat dijadikan suatu justifikasi. Kepunahan hewan-hewan langka akibat ulah manusia, menjadikan pariwisata sebagai alasan rasional untuk melakukan pertindungan. Ke-bun binatang, akuarium dan taman tumbuh-tumbuhan yang memiliki spesies khusus bila dikelola dan dikembangkan de-ngan baik dapat merupakan daya tarik kuat untuk pengem-bangan pariwisata.

e- Lingkungan Alam Khusus

Lingkungan alam khusus, seperti pegunungan, formasi geo-logi khusus, gua, geysers, mata air panas dan aktivitas gu-nung berapi medium merupakan daya tarik bagi wisatawan minat khusus atau wisatawan Umum lainnya. Pengembang-an spa dengan adanya mata air panas dengan mempertim-bangkan aspek pasar merupakan peluang pengembangan pariwisata, seperti yang sudah dilakukan di beberapa Kabu-paten/Kota. Pegunungan Jayawijaya di Irian Jaya merupa-kan daya tarik tersendiri bagi wisatawan minat khusus yang

Page 10: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 10

ingin menaklukan pegunungan tersebut, dan bagi beberapa daerah potensi-potensi ini dapat menjadi sumber penda-patan daerah.

f- Taman Nasional dan Kawasan Lindung

Seperti telah diungkapkan sebelumnya dalam flora dan fau-na, beberapa jenis spesies yang ada perlu mendapat perlin-dungan khusus karena jumlahnya yang semakin terba-tas. Biasanya untuk melakukan periindungan, dibentuk atau di-tetapkanlah kawasan lindung di mana habitat berada. Ada-nya taman nasional dan kawasan lindung ini perlu untuk di-survey dan dievaluasi sebagai salah satu daya tarik wisata.

Bila dampak pengembangan pariwisata tidak mengganggu proses perlindungan yang dilaksanakan maka pertimbangan kawasan tersebut sebagai daya tarik dapat dilakukan. Na-mun, sebaliknya RIPPDA juga perlu untuk merekomenda-sikan untuk metindungi suatu kawasan dan berbagai jenis kegiatan bila didalamnya terdapat spesies hewan atau tum-buhan yang dilindungi meskipun sebelumnya bdum terdapat dokumen yang mengaturnya.

Tim perencana perlu mengkaji kriteria dan standar yang dite-tapkan pada taman atau kawasan lindung yang sudah ada. Hal ini selanjutnya diaplikasikan dalam proses perencanaan. Evaluasi fasilitas taman nasional dan kawasan lindung seba-gai daya tarik perlu menekankan konsep bahwa wisatawan yang datang perlu diberi pendidikan tentang konsep perlin-dungan alam, sehingga diharapkan secara sadar mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

g- Pariwisata Kesehatan

Umumnya lingkungan alam juga banyak dimanfaatkan untuk pariwisata kesehatan. Mata air panas, kebersihan udara atau daya tarik alam lainnya memiliki fungsi kesehatan yang dapat dijual kepada wisatawan. Spa merupakan salah satu bentuk produk wisata yang ditawarkan kepada pasar.

2- Objek dan Daya Tarik Budaya

a- Kawasan Budaya, Sejarah dan Arkeologis

Kawasan budaya, sejarah dan arkeologis termasuk di dalam-nya monumen-monumen nasional, gedung-gedung berseja-rah, gereja, candi, mesjid dan tempat berlangsungnya peris-tiwa sejarah merupakan daya tarik utama di sebagian besar daerah di Indonesia. Daya tarik ini diperuntukan untuk dilin-

Page 11: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 11

dungi, sehingga pariwisata yang dikembangkan harus sesuai dengan peran yang diemban oleh kawasan ini.

b- Budaya Daerah

Budaya daerah, tradis dan gaya hidup yang berbeda di se-tiap daerah merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung. Budaya daerah ini termasuk di dalamnya kepercayaan, pakaian adat, upacara adat, gaya hidup, dan kepercayaan agama biasanya dikaitkan; dengan kehidupan pedesaan atau pedalaman. Meskipun hal ini merupakan daya tarik bagi wisatawan namun perlindungan terhadapnya perlu dilakukan, sehingga kebudayaan yang ada dapat dilestarikan dan tetap terjaga. Selain itu permasalahan akibat kontak sosial penduduk setempat dengan wisatawan dapat diantisipasi dengan baik.

c- Aktivitas Ekonomi

Bentuk daya tarik budaya lainnya adalah aktivitas ekonomi masyarakat, seperti : proses pemetik teh, pembuatan batik, proses pengolahan lahan, nelayan tradisional dan teknik agribisnis. Selain itu pasar tradisional yang ada di berbagai daerah di Indonesia juga merupakan daya tarik yang dapat dijual kepada wisatawan. Hal ini tidak memeriukan investasi agar dapat dinikmati oleh wisatawan.

d- Kawasan Perkotaan

Variasi arsitektur yang dimiliki oleh kawasan perkotaan me-rupakan daya tarik budaya yang ditawarkan. Bangunan ber-sejarah, pusat kota, fasilitas perdagangan, restoran, taman dan kehidupan malam merupakan daya tarik bagi banyak wisatawan. Bentuk pengelolaan potensi pariwisata ini adalah dengan mengembangkan wisata kota dengan mengajak wi-satawan untuk berkunjung ke tempat-tempat menank di ka-wasan perkotaan. Eksplorasi oleh wisatawan terhadap ber-bagai daerah tanpa pemandu merupakan altematif menarik yang ditawarkan. Biasanya hal ini dilakukan dengan menye-diakan fasiiitas transportasi khusus dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut atau dengan menjual buku-buku petunjuk wisata perkotaan kepada wisatawan.

e- Museum dan Fasilitas Budaya Lainnya

Biasanya di suatu daerah terdapat berbagai jenis museum. Arkeologi, sejarah, alam, kerajinan dan seni, ilmu penge-tahuan, tekndogi dan industri, dan subjek-subjek lainnya me-rupakan jenis-jenis museum yang ada. Pendirian museum ini

Page 12: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 12

pada awalnya adalah untuk konsumsi masyarakat lokal, na-mun kemudian berkembang untuk wisatawan pada umum-nya. Selain itu pusat-pusat budaya, seperti galeri dan toko antik, merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

f- Festival Budaya

Festival budaya yang biasanya dimasukkan ke dalam calendar of event, merupakan daya tarik yang bemilai tinggi bila dikelola dengan baik. Tradisi lokal dan kesenian dapat merupakan daya tarik utama.

g- Kesukuan, Agama dan Nostalgia

Pada beberapa daerah khusus, faktor suku, agama dan nostalgia perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alasan mengapa wisatawan melakukan suatu perjalanan, sehingga suatu daya tarik tertentu dapat diasosiasikan untuk dapat menarik segmen pasar tertentu. Sebagai contoh perjalanan Lebaran yang sering dilakukan oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Ini merupakan potensi wisatawan nusantara bagi daerah untuk dapat dimanfaatkan.

Sementara untuk wisman banyak perjalanan nostalgia yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang ingin mengenang perang dunia baik yang dilakukan oleh orang-orang veteran atau pun keluarga yang ingin mengunjungi kuburan atau bekas tempat tinggal orang tua mereka.

3- Objek Dan Daya Tarik Khusus

Jenis objek dan daya tarik khusus, secara khusus tidak berkaitan langsung dengan daya tarik alam maupun budaya. Jenis daya tarik ini sengaja dibuat untuk menarik wisatawan.

a- Taman Ria dan Sirkus

Taman ria umumnya bertemakan sejarah, petualangan, fan-tasi, orientasi masa depan atau kombinasi aspek-aspek ter-sebut ditawarkan kepada wisatawan dalam bentuk penga-laman, tontonan, belanja atau tunggangan. Taman ria yang sudah dikenal di Indonesia ini adalah Dunia Fantasi di Ancol Jakarta. Pengembangan taman-taman, seperti ini telah menjadi salah satu trend untuk menarik wisatawan datang ke suatu tempat.

Dalam menarik pasar dan penghasilan, suatu taman ria da-pat berhasil, seperti apa yang terjadi di Disneyland Amerika, namun seringkali mengalami kegagalan, sehingga dalam proses perencanaan, perlu melakukan analisis kelayakan

Page 13: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 13

ekonomi dengan baik dan mendalam. Selain taman ria yang bersifat permanen dimungkinkan pula pengembangan taman atau event-event yang bersifat temporer, misalnya : pameran perdagangan atau pun sirkus yang berkeliling. Namun, di In-donesia, khususnya kabupaten/kota hal ini belum berkem-bang dengan baik, sehingga belum mampu untuk menarik kunjungan wisatawan ke daerah. Hanya kota-kota besar saja yang mampu untuk mengembangkan objek dan daya tarik wisata ini.

b- Belanja

Belanja merupakan aktivitas signifikan bagi wisatawan untuk mengeluarkan uang yang dimilikinya. Hal ini perlu dipertim-bangkan dalam perencanaan pariwisata baik sebagai daya tarik maupun sebagai bagian dari pelayanan. Wisatawan Je-pang terkenal sebagai wisatawan yang memiliki tingkat be-lanja cukup tinggi terhadap barang-barang yang ditawarkan untuk kemudian di bawa kembali ke negaranya.

Pada beberapa kota, pengembangan pusat-pusat perbelan-jaan dapat menarik kunjungan wisatawan ke kota tersebut. Berbagai jenis barang ditawarkan dengan harga kompetitif dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Selain di per-kotaan, hasil kerajinan dan seni di daerah juga dapat diper-timbangkan sebagai daya tarik. Hal ini dapat merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat setempat.

c- Pertemuan, Konferensi dan Konvensi

Konferensi, kursus, seminar, pertemuan dan pelatihan dapat merupakan salah satu daya tarik yang ditawarkan kepada wisatawan. Saat ini telah banyak kota maupun daerah yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan hal tersebut. Hal ini didukung dengan fasilitas pertemuanyang disediakan oleh hotel di suatu daerah. Hampir semua daerah memiliki poten-si ini dan dapat dikembangkan.

Pengembangan potensi ini tentu saja disertai berbagai per-timbangan. Salah satu pertimbangan yang umumnya diambil adalah adanya objek dan daya tarik lain yang bersifat kom-plementaritas bagi peserta pertemuan yang akan diadakan. Kunjungan mereka ke suatu tempat biasanya disertai de-ngan kunjungan ke objek dan daya tarik wisata, berekreasi, belanja dan hiburan. Selain itu aksesibilitas ke daerah ter-sebut haruslah memadai, terutama untuk pertemuan skala besar, karena dengan aksesibilitas yang baik dari semua daerah pertemuan yang diadakan dapat dilakukan lebih

Page 14: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 14

efisien bila dibandingkan daerah yang kurang memiliki aksesibilitas yang baik.

Peluang ini patut diperhatikan oleh setiap daerah dengan melakukan evaluasi untuk menentukan kelayakan ekonomi dan pasar yang akan dipilih serta fasilitas yang akan dikem-bangkan. Standar-standar fasilitas pertemuan perlu dikaji un-tuk menghasilkan kesesuaian dengan permintaan yang ada.

d- Hiburan

Hiburan di suatu daerah merupakan daya tarik untuk dikem-bangkan. Hiburan malam, seperti diskotik, pub dan restoran di suatu kawasan wisata merupakan pelengkap dari daya tarik wisata di suatu daerah. Pengembangan fasilitas ini ten-tu harus mengacu pada norma-norma yang berlaku di dae-rah, sehingga dalam pengembangannya nanti tidak terjadi benturan-benturan yang tidak diharapkan.

Dalam perencanaan perlu ditentukan hiburan apa yang sesual untuk dikembangkan dan di mana tempat yang sesuai perlu ditentukan. Pada beberapa daerah, budaya daerah dapat turut mendukung keberadaan daya tarik ini. Tarian daerah disertai dengan nyanyiannya mungkin sesuai untuk diadakan dalam sebuah pub. Hal ini akan banyak membe-rikan wama terhadap pariwisata di daerah tersebut.

e- Fasilitas Rekreasi dan Olah Raga

Fasilitas rekreasi dan olah raga umumnya merupakan kon-sumsi bagi masyarakat lokal. Namun, pada beberapa kondisi fasilitas rekreasi dapat merupakan suatu daya tarik utama bagi setiap daerah. Pelaksanaan even-even olah raga baik itu lokal, nasional dan terutama intemasional dapat mendo-rong perlumbuhan kunjungan wisatawan ke suatu daerah. Even selancar, terjun payung, golf dan even-even lainnya merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Potensi alam dapat merupakan suatu ke-unggulan bagi daerah untuk mengembangkan everven olah raga. Dengan ombak yang baik di suatu daerah dapat men-dukung pelaksanaan even olah raga intemasional selancar. Kondisi kandungan perikanan di lautan dapat menarik even olah raga memancing. Tebing yang terjal dapat menarik even olah raga memanjat tebing. Dan masih banyak potensi-potensi lainnya yang dapat dikembangkan oleh daerah.

Dalam RIPPDA, potensi-potensi tersebut diungkapkan de-ngan jelas, sehingga dapat dianalisis kegiatan olah raga apa yang sesuai untuk dikembangkan di daerah. Hal ini disertai

Page 15: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 15

dengan target pasar yang dapat diraih dengan adanya pengembangan pariwisata yang dilakukan.

f- Hotel dan Kawasan Wisata

Pada beberapa kasus hotel maupun suatu kawasan wisata secara independen dapat berperan sebagai daya tarik wi-sata. Hotel-hotel bersejarah dan aktivitas yang dapat dila-kukan selama wisatawan tinggal dapat merupakan suatu daya tarik tersendiri.

g- Moda Transportasi Spesifik

Fasilitas transportasi dapat merupakan daya tarik bagi wisa-tawan untuk berkunjung ke suatu daerah. Perjalanan dengan kereta api tua di Ambarawa atau di perkebunan saat ini merupakan objek wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Ataupun penyusuran sungai dengan kapal-kapal tradisional juga merupakan daya tarik suatu daerah. Pemandangan dan pengalaman selama perjalanan merupakan daya tarik uta-ma. Dalam perencanaan kondisi ini perlu dievaluasi, se-hingga dapat dijadikan suatu daya tarik yang cukup tinggi un-tuk dapat ditawarkan kepada wisatawan.

b. Teknik Evaluasi Survey Daya Tarik Wisata

Daya tarik eksisting dan potensial dan suatu daerah harus secara sistematis dan objektif diidentifikasi dan dievaluasi sebagai bagian dari tahapan survey dan analisis dari proses perencanaan. Sementara pe-milihan daya tarik yang akan dikembangkan dan konsep perencanaan yang akan dilaksanakan untuk proses tersebut pada daya tarik tertentu akan dilaksanakan pada tahapan formulasi.

1- Identifikasi dan Deskripsi Daya Tarik Wisata

Langkah pertama yang dilakukan dalam survey daya tarik wisata adalah dengan melakukan penelitian secara seksama, wawancara dengan pihak pemerintah, dan wawancara dengan narasumber yang mengetahui seluk beluk objek dan daya tarik wisata yang dimiliki oleh suatu daerah. Dari hasil langkah pertama ini maka ka-tegori dari objek dan daya tarik wisata disertai dengan karak-teristiknya merupakan informasi yang diperlukan untuk melakukan evaluasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.

Selanjutnya survey terhadap objek dan daya tarik wisata dilaku-kan, kemungkinan pada beberapa kasus kunjungan ini perlu dilakukan beberapa kali karena adanya perbedaan karakteristik berdasarkan waktu yang berbeda. Misalnya saja kunjungan di hari libur dengan kunjungan di hari kerja akan menimbulkan fenomena yang berbeda.

Page 16: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 16

Identifikasi dari dayatarik harus dilakukan secara sistematis de-ngan mengindikasikan faktor-faktor pendukung dari suatu daya tarik. Faktor-faktor tersebut antara lain : a- Nama objek wisata. b- Jenis daya tarik. c- Lokasi. d- Aksesibilitas. e- Karakteristik khusus. f- Pengembangan yang sudah dilakukan. g- Keunggutan yang dimiliki. h- Permasalahan yang dihadapi.

Umumnya informasi ini disertai dengan foto-foto objek dan daya tarik wisata sebagai pelengkap.

Dengan informasi di atas, dalam RIPPDA Kabupaten/Kota objek dan daya tarik tersebut diplot dalam peta rencana, sehingga se-lanjutnya dapat dianalisis peluang maupun kendala yang dimiliki.

Sistem transportasi dan potensi pengembangan daya tarik dapat diketahui dengan baik bila disajikan dalam peta secara bersa-maan. Selain itu daya tarik yang ada di daerah perlu dibandingkan kemampuannya untuk menarik kunjungan wisatawan. Ada objek dan daya tarik wisata yang memiliki skala intemasional, nasional, provinsi atau bahkan lokal. Evaluasi ini dilakukan untuk meng-identifikasi potensi pasar yang dimiliki, aksesibilitas, daya dukung dan dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan yang akan dilakukan. Aksesibilitas dapat merupakan pertimbangan penting.

Sebagai alat bantu dalam proses evaluasi biasanya digunakan matriks penilaian terhadap objek dan daya tarik wisata yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya. Hasil evaluasi akan menen-tukan daya tarik mana yang akan diprioritaskan untuk dikembang-kan sehingga dapat mendorong kunjungan wisatawan ke daerah. Kemudian objek dan daya tarik mana yang akan dikembangkan selanjutnya. Selain untuk meningkatkan. kunjungan wisatawan pertimbangan lain yang perlu diambil adalah meningkatkan lama tinggal atau bahkan pengeluaran wisatawan.

Jika di akhir evaluasi objek dan daya tarik wisata tidak cukup mampu untuk menank kunjungan wisata, maka pengembangan daya tarik tambahan perlu dipertimbangkan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan tereebut umumnya banyak berbentuk pengembangan objek dan daya tarik buatan seperti fasilitas rekreasi, olah raga, belanja dan hiburan.

Page 17: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 17

2- Teknik Matriks Evaluasi

Matriks evaluasi adalah teknik yang banyak dilakukan dalam anali-sis perencanaan. Hal ini dilakukan agar pendekatan evaluasi pengambilan keputusan yang ditakukan dapat bersifat sistematis dan objektif. Meskipun demikian teknik ini akan efektif bila input informasi dalam bentuk kuantitatif maupun kualitatif dikaji berda-sarkan pengembangan dan justifikasi tim perencanaan secara ke-seluruhan. Justifikasi yang dilakukan bukan merupakan justifikasi perorangan melainkan kelompok secsra keseturuhan atau bahkan bila memungkinkan melibatkan steering committee. Pada Tabel A.1 disajikan contoh dan matriks evaluasi yang dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi kepentingan pengembangan relatif dan kelayakan pengembangan. Sekali lagi tabel tersebut hanya merupakan contoh, kriteria lain dapat ditambahkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perencanaan yang akan dilakukan.

Dalam matriks di atas proses penilaian dapat dilakukan dalam skala 1-5 atau 1-10 bergantung kesepakatan tim. Skala tersebut menunjukkan tingkat positif dan setiap item evaluasi. Semakin tinggi nilai dari setiap item, menunjukkan bahwa item yang dievaluasi potensi yang dimiliki semakin baik. Misalnya saja aksesibilitas, dengan nilai yang semakin tinggi maka aksesibilitas ke objek dan daya tarik wisata tersebut semakin mudah. Begitu pula dengan kriteria-kriteria yang lainnya.

3- Survey Fasilitas dan Pelayanan Wisata

Sebagai bagian dari tahapan survey dan evaluasi dari proses perencanaan, setiap fasilitas dan pelayanan wisata perlu disurvey dan dievaluasi dengan mempertimbangkan jenis, kesesuaian de-ngan kondisi saat ini maupun masa mendatang dan jenis pemba-ngunan pariwisata yang dilakukan. Survey dan evaluasi ini meru-pakan dasar untuk rekomendasi perbaikan atau peningkatan yang diperlukan dari fasilitas dan pelayanan yang ada. Pola lokasi fasi-litas dan pelayanan wisata ini juga akan mempengaruhi formulasi dari rencana fisik.

Standar untuk melakukan survey dan evaluasi harus ditetapkan berdasarkan standar-standar intemasional atau yang telah ditetap-kan oleh pemerintah. Salah satu pertimbangan utama dalam eva-luasi adalah pertimbangan "reasonable" atau kesesuaian antara nilai uang yang dibelanjakan pada fasilitas dan pelayanan wisata dengan tingkat kualitas pelayanan yang diberikan.

Page 18: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 18

Tabel A.1 : Contoh Matriks Evaluasi Objek dan Daya Tarik Wisata

ODTW

Faktor Evaluasi

Nilai Total Keterangan

AksesibilItas Kelayakan

Ekonomi untuk Pengembangan

Dampak Lingkungan

Akibat Pengembangan

Dampak Sosial Budaya Akibat Pengembangan

Daya Tarik Bagi

Pasar Lokal

Daya Tarik Bagi

Pasar Provinsi/ Nasional

Alam

Objek A Objek B

Dst.

Budaya Objek F Objek G

Dst.

Khusus Objek P Objek Q

Dst.

Page 19: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 19

Inventarisasi dan evaluasi dari fasilitas dan pelayanan perlu disurvey, kadang-kadang survey sikap dari wisatawan terhadap fasilitas dan pelayanan perlu dilakukan. Survey ini termasuk wawancara dari hotel, agen perjalanan, restoran dan pihak-pihak terkait lainnya. Wawancara ini memberikan informasi dari pasar wisatawan eksisting yang merupakan masukan bagi survey pasar. Rencana pengembangan jangka pendek perlu dipertimbangkan sebagai bahan masukan bagi perencanaan jangka pendek.

a- Akomodasi

Pada kenyataannya banyak sekali jenis akomodasi yang terdapat di suatu daerah. Meskipun terminologi dari berbagai jenis fasilitas akomodasi muncul Namun batasan pasti sulit sekali untuk diidentifikasi. Untuk kepentingan survey, analisis dan perencanaan terminologi yang umumnya digunakan di Indonesia adalah berdasarkan klasifikasi hotel berbintang dan melati. Namun demikian jenis-jenisnya secara umum dengan fungsinya adalah sebagai berikut: 1- Hotel kota, biasanya dimanfaatkan untuk wisatawan

bisnis, dinas maupun untuk berlibur. 2- Hotel konvensi, biasanya hotel ini diperuntukan sebagai

tempat penyelenggaraan pertemuan, konferensi dan pelatihan, Namun tidak jarang juga dimanfaatkan oleh wisatawan yang berlibur.

3- Hotel bandara, biasanya hotel diperuntukan sebagai tempat transit sementara bagi pelaku perjalanan sebelum mereka melanjutkan perjalanannya. Hotel Ini berada di sekitar bandara.

4- Hotel yang berorientasi untuk menampung pelaku per-jalanan yang memanfaatkan jalan raya untuk penga-laman mereka. Hotel seperti ini biasanya berada di kota-hota kecil sebagai tempat istirahat bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan jarak jauh.

5- Resort, jenis akomodasi ini memberikan fasilitas rekrea-si yang beraneka ragam bagi tamunya. Akomodasi se-perti ini biasanya terletak di daerah-daerah yang memi-liki daya tarik wisata. Wisatawan yang berkunjung umumnya adalah wisatawan yang berlibur.

Survey akomodasi ini dapat meliputi : 1- fasilitas yang dimiliki, 2- lokasi, 3- jumlah kamar, 4- kualitas pelayanan, 5- karakteristik khusus, 6- harga, 7- tingkat pengisian kamar, 8- lama tinggal dan variasi musim.

Page 20: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 20

Evaluasi yang dilakukan harus termasuk kondisi fisik, jenis fasilitas dan pelayanan, kualitas pelayanan yang ditawarkan kepada wisatawan. Pada beberapa kasus hotel-hotel yang memiliki bentuk dan kualitas fisik yang baik memberikan pe-layanan yang buruk kepada wisatawan, hal ini patut diper-hatikan sebagai masukan dalam perencanaan pariwisata.

b- Agen Perjalanan Wisata

Agen perjalanan wisata termasuk di dalamnya agen yang menawarkan program wisata lokal dan penanganan pelayan-an kepada wisatawan merupakan sumber-sumber informasi yang perlu dipertimbangkan. Pelayanan penjualan tiket pe-nerbangan, kereta api, kapal laut dan bus, penyewaan ken-daraan, reservasi hotel dan pelayanan wisata dalam maupun luar negeri merupakan faktor-faktor yang perlu untuk dikaji.

Pada beberapa daerah kompetensi pemandu wisata dalam menjelaskan objek dan daya tarik wisata, bahasa dan peng-alaman merupakan masukan bagi dokumen perencanaan. Paket wisata yang ditawarkan perlu dievaluasi untuk melihat faktor tingkatan harga, program yang ditawarkan, kualitas pelayanan, kehandalan pelayanan dan keamanan perja-lanan. Hal ini berguna bagi tim perencana untuk pendekatan yang dilakukan oleh pihak operator dalam melaksanakan usahanya. Peraturan mengenai agen perjalanan wisata dan pemandu wisata telah ditetapkan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

c- Makanan dan Minuman

Fasilitas restoran, rumah makan, bar, penjualan makanan dan minuman memberi pola kepada pengembangan pari-wisata daerah. Hal ini perlu dievaluasi dengan kriteria-kriteria sebagai berikut: 1) Jenis dan variasi makanan yang ditawarkan, 2) Kualitas pelayanan, 3) Value for money, 4) Tingkat kebersihan, 5) Daya tarik fisik dan kenyamanan yang diberikan, 6) Lokasi.

Untuk mernuaskan permintaan wisatawan secara normal, maka daerah seharusnya memiliki kualitas makanan yang baik yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Makanan khas daerah yang menarik dapat merupakan daya tarik pen-dukung bagi wisatawan. Wisatawan yang berkunjung ke dae-rah akan memiliki pengalaman yang semakin baik bila ma-kanan yang tersedia di daerah dapat memenuhi selera mere-

Page 21: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 21

ka. Makanan dan minuman khas daerah perlu dievaluasi ka-rena memberikan dampak ekonomi bersifat langsung terha-dap masyarakat setempat. Umumnya makanan dan minum-an tersebut memiliki kandungan lokal yang cukup tinggi, sehingga menimbulkan dampak ekonomik yang lebih besar

Survey yang dilakukan perlu mempertimbangkan ketersedia-an makanan dan minuman khas daerah untuk mendukung pengembangan pariwisata daerah. Bila perlu makanan-makanan daerah lain diadopsi di daerah dengan tetap memberikan ciri khas utama daerah bersangkutan.

d- Pusat Informasi Pariwisata

Informasi pariwisata umumnya disediakan oleh pemerintah daerah, hotel maupun agen perjalanan. Lokasi dari pusat informasi dan kandungan informasi yang dimiliki perlu disur-vey dan dievaluasi untuk melihat kesesuaian lokasi, aksesi-bilitas, kompetensi informasi, bahasa dan informasi pendu-kung lainnya. Selain itu buku-buku petunjuk wisata yang membahas daerah studi perlu dikaji untuk melihat kesesuai-an antara informasi yang diberikan dengan kondisi di la-pangan.

e- Fasilitas Belanja

Fasilitas belanja baik sebagai daya tarik utama maupun pendukung perlu untuk disurvey dan dikaji secara menda-lam. Umumnya wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah mencari cenderamata untuk dibawa pulang ke tempat asal-nya. Cenderamata ini bisa berbentuk kerajinan, hasil seni, pakaian, dan perhiasan. Di lain pihak di beberapa tempat wi-satawan juga mencari barang-barang umum terutama ba-rang-barang yang memiliki harga murah, barang yang me-reka beli antara lain tembakau, minyak wangi, elektronik dan barang-barang lainnya. Selain barang-barang yang bersifat cinderamata atau barang-barang umum yang dibawa pulang, dalam survey juga perlu diperhatikan penyediaan barang-ba-rang sehari-hari kebutuhan wisatawan sdama mereka mela-kukan kunjungan. Film, koran, majalah, air minum, obat-obat ringan merupakan fasilitas yang perlu disediakan di suatu daerah. Evaluasi untuk fasilitas ini dilakukan berdasarkan je-nis dari fasilitas, barang dan pelayanan yang diberikan. Se-lain itu lokasi, aksesibilitas dan harga juga merupakan faktor-faktor yang perlu dikaji.

Page 22: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 22

f- Penukaran Uang dan Bank

Fasilitas penukaran uang untuk pariwisata intemasional mutlak diperlukan. Umumnya mereka membawa jumlah mata uang Rupiah yang terbatas, sementara pembayaran yang mereka lakukan adalahdalam rupiah, sehingga fasilitas ini menjadi penting bagi pengembangan pariwisata, dan ini perlu dikaji berdasarkan lokasi, jenis dan kualitas pelayan-annya. Umumnya fasilitas seperti ini berada pada daerah-daerah umum seperti bandara, setasiun kereta api, terminal, dan pertokoan. Kemampuan fasilitas ini untuk dapat mene-rima berbagai mata uang dan kartu kredit juga harus dikaji dan dievaluasi. Umumnya wisatawan yang berkunjung eng-gan membawa uang dalam bentuk cash, mereka lebih me-nyenangi membawa kartu kredit yang lebih aman. Tuntutan seperti perlu disediakan oleh Daerah dengan melihat kesesuaiannya dengan pasar wisatawan yang ada. Fasilitas perbankan juga fasilitas penting untuk keperluan mereka melakukan transfer uang maupun cek perjalanan mereka, sehingga faktor ini juga patut untuk dipertimbangkan.

g- Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan

Sebagian wisatawan dalam waktu perjulanannya mengalami gangguan kesehatan, kecelakaan atau permasalahan kese-hatan mendadak yang perlu ditangani dengan cepat. Dalam pengembangan pariwisata, hal tersebut tidak dapat diabai-kan. Ketersediaan fasilitas kesehatan yang lengkap maupun dokter-dokter yang handal akan sangat membantu pengem-bangan pariwisata daerah, sehingga perlu untuk dikaji dan dievaluasi sesuai dengan kebutuhan yang ada. Bila fasilitas yang diperlukan tidak dapat memenuhj kebutuhan yang ada atau akan ada, maka perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pengembangan. Hal ini tentu saja bukan hanya untuk ke-perluan pariwisata itu sendiri, Namun juga bagi masyarakat di daerah tersebut.

h- Keamanan Umum

Keamanan umum merupakan syarat mutlak pengembangan pariwisata di suatu daerah. Daerah yang memiliki tingkat ke-jahatan yang tinggi cenderung tidak dikunjungi oleh wisa-tawan. Oleh karena itu kondisi dan fasilitas keamanan di Daerah merupakan faktor yang perlu dievaluasi untuk peren-canaan pariwisata. Kehandalan dan efektivitas pelayanan dari polisi, pemadam kebakaran, penyelamat pantal, dan SAR, memberikan dukungan yang signifikan terhadap pari-wisata di suatu daerah. Informasi mengenai penyelamatan diri terhadap wisatawan selama kunjungan pun perlu diinfor-

Page 23: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 23

masikan dengan baik. Informasi ini akan sangat membantu wisatawan dalam melakukan kunjungan mereka di daerah, sehingga mereka dapat mengantisipasi terhadap perubahan kondisi yang terjadi.

Selain itu kondisi politik di daerah juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhl pengembangan pariwisata, sehingga hal ini juga merupakan faktor yang perlu dikaji dan dievaluasi untuk dicarikan solusi penanggulangannya.

i- Pelayanan Pos dan Internet

Selama melakukan kunjungan wisatawan umumnya tidak mau putus hubungan dengan kerabatnya di tempat tinggat asalnya. Mereka umumnya ingin memberi kabar tentang kondisi mereka selama perjalanan. Fasilitas umum yang ba-nyak dimanfaatkan adalah fasilitas pos dengan mengirim berbagai jenis surat atau kartu pos, sehingga pelayanannya perlu dievaluasi dengan melihat faktor-faktor lokasi, kehan-dalan, jaminan kehilangan, efisiensi dan keramah tamahan dari pegawai.

Selain fasilitas pos, fasilitas lain yang perlu disediakan saat ini jasa internet Umumnya sebagian besar wisatawan, me-manfaatkan fasilitas ini untuk memberi informasi kepada kerabatnya dengan cepat dan akurat, sehingga fasilitas ini menjadi pendukung dari pengembangan pariwisata yang ada. Evaluasi fasilitas ini meliputi faktor : lokasi, harga, kecepatan akses dan kenyamanan pelayanan.

3. Survey Transportasi dan Infrastruktur

Ketersediaan sarana dan prasarana, merupakan syarat mutlak pengem-bangan pariwisata yang berhasil. Namun pada kenyataannya kondisi di la-pangan sarana dan prasarana sangat terbatas dan merupakan salah satu kendala pengembangan pariwisata. Fasilitas dan pelayanan transportasi, air bersih, listrik, pembuangan dan pengdahan limbah, dan telekomunikasi merupakan komponen infrastruktur yang diperlukan dalam pengembangan pariwsata di suatu daerah.

Prasarana dasar dari suatu daerah umumnya diperuntukan masyarakat secara umum dan diperlukan untuk pengembangan dan pembangunan dae-rah. Pariwisata yang dikembangkan di daerah akan turut memanfaatkan pra-sarana tersebut. Pengembangan prasarana secara khusus untuk pariwisata diperlukan pada daerah-daerah yang dipitih untuk pengembangan pariwisata dan ini pun dimanfaatkan oleh masyarakat daerah tersebut. Pariwisata yang berhasil akan turut menyumbangkan pendapatan bagi daerah menutupi biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk pembangunan prasarana. Namun meskipun demikian pada pengembangan pariwisata kawasan-

Page 24: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 24

kawasan terpencil di mana belum ada pembangunan prasarana, pariwisata akan membutuhkan prasarana tersebut secara khusus. Di sinilah perlu adanya evaluasi terhadap kemungkinan manfaat yang diperoleh dengan adanya pengembangan pariwisata dengan biaya yang dikeluarkan.

Seluruh jenis prasarana dan sarana yang adadi suatu daerah perlu disurvey dan dievaluasi sebagai bagian proses perencanaan dengan tujuan untuk memberikan dasar bagi rekomendasi untuk melakukan pengembangan. Selain itu rencana pengembangan prasarana dan sarana yang sudah ada perlu dikaji untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih pembangunan yang akan dilaksanakan. Diharapkan dengan evaluasi dan kajian yang dilakukan kebutuhan untuk pengembangan pariwisata dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat terpenuhi.

a. Fasilitas dan Pelayanan Transportasi

Transportasi berperan untuk memberikan akses kepada wisatawan untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata maupun melakukan perjalan-an di dalam daerah. Kajian dilakukan terhadap seluruh jenis moda transportasi yang ada di suatu kabupaten/kota, baik moda transportasi udara, laut, jalan raya maupun kereta api. Selain mengkaji moda trans-portasi yang berada di Kabupaten atau Kota, pengkajian juga perlu dilakukan dengan melihat daerah yang lebih luas. Sangat mungkin terjadi pada beberapa daerah Kabupaten/Kota yang tidak memiliki pintu gerbang sendiri, bergantung pada daerah tetangganya yang memiliki pintu gerbang ke daerah tersebut.

Evaluasi dan survey untuk moda transportasi udara meliputi : 1- Kapasitas bandara yang meliputi kapasitas penumpang, kemam-

puan, kelengkapan dan pemeliharaan yang dilakukan. 2- Landasan pacu yang meliputi kemampuan untuk didarati pesawat

terbang, panjang, lebar dan jumlah landasan pacu. 3- Jaringan pelayanan yang meliputi asaf dan tujuan, frekuensi, ka-

pasitas penumpang, tingkat pelayanan, biaya perjalanan dan kehandalannya. Seringkali terjadi pembatalan penerbangan akibat berbagai kendala, kendala ini perlu diidentitikasi untuk kemudian dikaji dan menjadi bahan masukan pada proses perencanaan selanjutnya.

4- Rencana pengembangan fasilitas maupun jaringan transportasi udara.

Evaluasi dan survey untuk moda transportasi jalan raya, kereta api dan laut juga hams di survey baik internal Kabupaten maupun Kota dan ekstemal. Beberapa daerah di Indonesia sangat bergantung pada moda transportasi sungai, karena belum tersedianya alternatif lain yang dapat dimanfaatkan. Survey dan evaluasi yang dilakukan meliputi : 1- Kapasitas. 2- Jaringan pelayanan. 3- Frekuensi pelayanan.

Page 25: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 25

4- Kehandalan. 5- Jadwal pelayanan. 6- Lokasi dan tingkat pelayanan terminal bus, laut, air dan setasiun. 7- Kenyamanan dan pelayanan selama perjalanan. 8- Biaya.

Pada daerah yang telah memiliki perkembangan pariwisata yang baik, biasanya diperlukan angkutan khusus untuk pariwisata. Angkutan khusus tersebut dapat berupa mobil. bus, pesawat terbang, bahkan kapat laut. Komponen ini perlu dikaji dan disurvey untuk melengkapi bahan analisis dan sintesis yang akan dilakukan pada tahap berikutnya.

Integrasi jaringan transportasi di dalam dan di luar daerah perlu dipe-takan untuk melihat karakteristik pelayanan transport yang dimiliki oleh daerah. Informasi ini disertakan pada peta lokasi objek dan daya tarik, sehingga dapat diketahui sejauh mana kesesuaian antara pengem-bangan pariwisata yang akan dilakukan dengan dukungan jaringan transportasi yang ada.

b. Air Bersih

Setelah transportasi, air bersih merupakan komponen prasarana penting yang perlu untuk diperhatikan. Ketefsediaan air bersih meru-pakan faktor kritis untuk mengembangkan pariwisata di suatu daerah. Fasilitas pariwsata akan membutuhkan air bersih baik sebagai kebutuh-an dasar maupun sebagai bentuk pelayanan. Oleh karena itu kualitas dan ketersediaan air bersih di suatu daerah perlu dipertimbangkan se-cara khusus terutama untuk daerah-daerah yang akan dipilih untuk pe-ngembangan pariwisata.

Jika ketersediaan air yang ada di suatu daerah tidak dapat memenuhi kebutuhan air bersih untuk kebutuhan pariwisata yang direncanakan, maka rencana tersebut perlu dievaluasi. Sumber-sumber air bersih alternatif perlu dikaji untuk menghadapi permasalahan pengembangan tersebut, sumber-sumber tersebut dapat berbentuk air permukaan maupun air bawah tanah. Bila menggunakan air bawah tanah maka perlu ditentukan area tangkapan air yang perlu disediakan dan dijaga, sehingga sumber air tersebut tidak kering.

Sebagai tambahan dari ketersediaan air bersih, kualitas air pun perlu dikaji sesuai dengan standar kesehatan yang telah djtetapkan. Bila di-perlukan untuk pengolahan agar air yang ada sesuai standar, maka pengolahan tersebut patut dipertimbangkan sebagai masukan. Proses konservasi pun perlu dipertimbangkan, sehingga keberlanjutan pariwisata di suatu daerah dapat dipertahankan.

Page 26: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 26

c. Tenaga Listrik

Tenaga listrik bagi sebagian besar pengembangan pariwisata mutlak diperlukan. Namun, komponen ini dapat lebih fleksibel dibandingkan dengan air bersih karena bila tidak ada fasilitas listrik umum dapat disediakan dengan pembangkit alternatif. Meskipun demiMan sisteni te-naga listrik ini untuk pengembangan pariwisata perlu ditinjau dan dia-nalisis dengan baik. Ketersediaan dan kehandalan pelayanan kepada pengguna perlu ditinjau, karena pada beberapa daerah tenaga listrik ini masih terbatas, sehingga menyulitkan untuk melakukan penambahan daya bila tajadi pengembangan pariwisata.

Selain sumber tenaga listrik konvensional, pemanfaatan tenaga-tenaga listrik altematif pun perlu untuk dikaji. Pemanfaatan sinar surya atau angin sebagai sumber tenaga listrik di suatu kawasan wisata terpendi dapat dijadikan pertimbangan.

d. Pembuangan dan Pengolahan Limbah Cair

Pembuangan dan pengolahan limbah cair merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan pariwisata. Pertim-bangan ini diperlukan untuk pengembangan kawasan wisata untuk menghindari polusi terhadap lingkungan. Umumnya fasilitas ini tidak dipikirkap pada saat rencana pengembangan, Namun bila telah terjadi kerusakan lingkungan barulah hal ini dilakukan. Survey dan kajian yang diperlukan adalah meninjau kapasitas dan kualitas dari pengolah lim-bah dan proses pembuangannya. Kebutuhan fasilitas ini akan sangat bergantung skala pembangunan yang ada dan akan dilaksanakan. Bila kapasitas dan kemampuan yang dimiliki tidak memadai maka rekomendasi untuk peningkatannya akan diperlukan. Pembangunan fasilitas ini perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen biaya yang diperlukan untuk pengembangan pariwisata.

e. Pembuangan Limbah Padat

Selain pembuangan dan pengolahan limbah cair, pembuangan dan pe-ngolahan limbah padat juga perlu disurvey dan dievaluasi. Survey perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pemerintah daerah melakukan pe-ngumpulan limbah ini dan mengolahnya di suatu tempat. Proses pengumpulan dan efektivitas pembuangan perlu dikaji sebagai bahan pertimbangan. Jika tidak ada proses pengumpulan oleh pemerintah daerah maka hal ini patut dipertimbangkan pengelolaannya dalam perencanaan yang dilakukan. Teknik-teknik pembuangan yang arnan secara individual perlu dikernukakan dengan jelas, proses daur ulang merupakan salah satu altematif yang dapat ditawarkan.

Page 27: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 27

f. Telekomunikasi

Telekomunikasi saat ini merupakan elemen penting pengembangan pariwisata. Bagi wisatawan telekomunikasi dibutuhkan untuk selama perjalanan mereka. Bahkan untuk perjalanan bisnis, fasilitas ini memiliki tingkat kepentingan yang cukup tinggi. Setiap daerah wisata memer-lukan telekomunikasi untuk fungsi operasional maupun kondisi darurat. Komponen yang dikaji meliputi telepon, faks, radio dan telegram. Bah-kan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau perlu adanya fasilitas radio komunikasi.

g. Drainase

Drainase merupakan komponen prasarana yang penting, meskipun pertimbangan pengembangan prasarana ini adalah untuk kepentingan umum bukan hanya pariwisata. Drainase yang efektif akan sangat membantu dalam menghindari banjir terutama untuk kawasan-kawasan pariwisata yang berada di pinggiran sungai ataupun danau.

4. Penentuan Kebutuhan Fasilitas dan Infrastruktur

Berdasarkan analisis pasar yang telah menentukan proyeksi atau target kunjungan wisatawan dengan karakteristiknya seperti jenis wisatawan, lama tinggal maka jumlah dan jenis akomodasi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan dapat dihitung.

a. Akomodasi dan Kebutuhan Lahan

Berikut ini disajikan rumus untuk proyeksi menghitung kebutuhan ako-modasi berdasarkan rata-rata tahunan dan musim liburan wisatawan. Contoh ini hanyalah merupakan satu jenis pasar wiatawan dan ako-modasi, rumus ini idealnya harus diaplikasikan sesuai dengan segmen pasar yang ada dengan jenis akomodasi yang dibutuhkan.

1- Rumus Permintaan Tempat Tidur

Jumlah wisatawan (per periode waktu) x Rata-rata lama tinggal

(malam) Jumlah malam

(per periode waktu) x Tingkat isian akomodasi

Contoh untuk permintaan tahunan:

Diketahui: Jumlah kunjungan per tahun = 100.000 wisatawan Rata-rata lama tinggal = 5 hari Jumlah hari per tahun = 365 hari Tingkat isian rata-rata =75%

Page 28: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 28

Maka kebutuhan tempat tidur adalah :

100.000 x 5 = 1.826 tempat tidur 365 x 75 %

Contoh untuk pennintaan pada musim liburan (high season)

Diketahui: Jumlah kunjungan musim liburan = 50.000 wisatawan Rata-rata lama tinggai = 5 hari Jumlah hari musim liburan (4 bulan) = 120 hari Tingkat isian rata-rata = 90%

Maka kebutuhan tempat tidur adalah :

50.000 x 5 = 2.315 tempat tidur 120 x 90 %

2- Rumus Permintaan Kamar

Jumlah permintaan tempat tidur Tingkat isian kamar (orang per kamar)

Contoh untuk permintaan kamar tahunan

Diketahui: Jumlah permintaan tempat tidur tahunan = 1.816 tempat

tidur. Tingkat isian kamar rata-rata = 1,7 orang/kamar.

Maka kebutuhan kamar adalah :

1.816 = 1.068 kamar/tahun 1,7

Contoh untuk permintaan kamar pada musim liburan

Diketahui: Jumlah permintaan tempat tidur musim libur = 2.315

tempat tidur. Tingkat isian kamar rata-rata = 1,7 orang/kamar.

2.315 = 1.362 kamar/musim liburan 1,7

Umumnya prediksi kebutuhan kamar dan tempat tidur ini sudah mempertimbangkan seluruh maksud perjalanan dari wisatawan, Namun bila prediksi ini hanya menangkap satu maksud perjalanan misalnya bertibur, maka prediksi tersebut perlu ditambah dengan kemungkinan

Page 29: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 29

kunjungan wisatawan dengan maksud-maksud lain, misalnya bisnis, mengunjungi teman dan sebagainya. Kebutuhan kapasitas akomodasi tersebut diproyeksikan berdasarkan selang waktu tertentu, berdasarkan proyeksi atau target pasar wisatawan tertentu sebagai dasar bagi program pengembangan yang akan dilakukan.

Faktor-faktor yang diasumsikan dalam kebutuhan akomodasi rata-rata tahunan dan musim liburan di atas untuk setiap tempat akan mengha-silkan kebutuhan yang berbeda-beda. Pertimbangan yang dapat mem-pengaruhi hal ini antara lain adalah perbedaan tingkat tembalinya mo-dal (break even) berdasarkan tempat maupun tipe akomodasi. Akomo-dasi yang diperuntukan untuk wisatawan bertibur memiliki tingkat isian yang lebih tinggi dibandingkan dengan akomodasi yang diperuntukan untuk bisnis.

Sebagaimana digambarkan pada contoh di atas, faktor musim perlu di-pertimbangkan dalam menghitung permintaan tempat tidur dan kamar. Mungkin ini secara ekonomi tidak menguntungkan, untuk membangun kamar berlebih akibat adanya pertimbangan jangka pendek. Namun bila ditinjau dari tingkat isian total rata-rata pertahun dari hotel mungkin hal ini cukup beralasan. Sebagai contoh pada musim liburan tingkat isian hotel dapat mencapai 90% sementara pada musim bukan liburan tingkat isian hanya mencapai 60%, sehingga rata-rata .tahunan tingkat isian hold adalah 70%. Nilai tingkat isian tersebut bagi pengusaha hotel cukup memberikan keuntungan bagi perusahaannya, bahkan pada beberapa tempat tingkat isian hotel rata-rata yang dijadikan patokan bagi pengusaha akomodasi jauh lebih rendah berkisar antara 40-50%.

Proyeksi akomodasi digunakan sebagai dasar untuk memproyeksikan kebutuhan lahan secara umum meskipun secara proporsi dibandingkan dengan kebutuhan lahan sektor lain jauh lebih kecil. Namun untuk dae-rah-daerah yang memiliki skala pengembangan pariwisata cukup tinggi, kebutuhan lahan ini menjadi faktor penting dalam perencanaan hal ini erat kaitannya untuk melakukan analisis daya dukung lingkungan. Selain itu standar-standar pemanfaatan lahan bagi pengembangan fasilitas akomodasi pun perlu ditetapkan sesuai dengan peraturan yang ada. Jumlah kamar per luasan lahan untuk fasilitas akomodasi resort akan berbeda dengan fasilitas akomodasi di perkotaan.

Pada tahapan ini proyeksi kunjungan wisatawan, kebutuhan akomodasi dan lahan dilakukan dengan asumsi pasar secara umum. Hal ini akan mengalami revisi bila temyata terdapat kendala-kendala di lapangan, misalnya kemampuan daya dukung, evaluasi ekonomi, lingkungan, dampak sosial dan berbagai faktor lainnya, sehingga pada tahapan ini umpan balik secara berkelanjutan merupakan suatu keharusan yang perlu dipertimbangkan dalam proyeksi hingga mencapai keseimbangan optimum antara pengembangan dan pola pasar.

Page 30: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 30

b. Kebutuhan Transportasi

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya aspek fasilitas dan pelayanan transportasi yang harus direncanakan adalah akses dan luar daerah menuju daerah bersangkutan, dan astem jaringan transportasi di dalam daerah. yang menghubungkan kawasan-kawasan wisata dengan daya tarik wisata yang ada. Berdasarkan analisis pasar dan proyeksi atau target kunjungan wisatawan, lama tinggal dan distribusi musiman maka sangat dimungkinkan untuk perencana transportasi memperhitungkan lalu lintas perjalanan yang terjadi pada daerah perencanaan. Walaupun untuk daerah Kabupaten di mana posisinya bukanlah sebagai pintu gerbang utama ke propinsi di mana wilayah perencanaan berada, Namun penjelasan di bawah ini juga dapat niemberikan wawasan hal-hal apa yang perlu diperhatikan di dalam menghitung kebutuhan transportasi udara.

Analisis pasar memberikan indikasi volume perjalanan wisatawan saat ini maupun masa mendatang dari berbagai daerah asal menuju daerah studi. Dalam analisis ini sangat dimungkinkan, analisis perjalanan dari daerah-daerah potensial asal wisatawan seperti Bali, Jakarta atau kota-kota lainnya. Jumlah kunjungan wisatawan yang melakukan wisata ke beberapa daerah yang berbeda dengan asal yang berbeda-beda juga perlu dipertimbangkan. Jika daerah hanya memiliki satu jenis moda angkutan dari luar daerah misalnya transportasi udara, maka peren-cana perlu mempertimbangkan kapasitas dan frekuensi penerbangan dari berbagai daerah asal wisatawan. Pada beberapa daerah, akan terdapat proses transfer pada kota-kota antara yang juga perlu untuk dipertimbangkan dengan prinsip minimum.

Frekuensi penerbangan pun perlu diperhatikan untuk memberikan kenyamanan maksimum pada saat kedatangan maupun keberangkatan mereka menuju daerah tujuan wisata. Faktor musim pun tidak ketinggalan perlu diperhatikan, karena ada kemungkinan perlunya penambahan frekuensi penerbangan atau penerbangan carter untuk mengantisipasi peningkatan kunjungan wisatawan.

Dengan berdasarkan pada proses perhitungan permintaan wisatawan dan pertimbangan lalu lintas penunpang normal, maka permintaan kapasitas transportasi masa mendatang dapat diproyeksikan. Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam transportasi udara ini adalah: 1- Kebijakan transportasi udara. 2- Jenis pesawat disertai kapasitas penumpang. 3- Perkembangan teknologi penerbangan masa mendatang. 4- Rute jaringan. 5- Tingkat kehandalan pelayanan. 6- Kapasitas bandara.

Page 31: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 31

Pertimbangan-pertimbangan di atas diperlukan sebagai masukan untuk rekomendasi pengembangan bandara dan fasilitas yang diperlukan. Selain itu perencana juga dapat mempertimbangkan altematif penggu-naan moda angkutan lain untuk pariwisats. Jika daerah memiliki lebih dari satu akses masuk, maka analisis asal-tujuan wisatawan akan memberikan dasar untuk menentukan aliran wisatawan dengan pola musim kunjungan melalui akses masuk. Kemudian proses analisis yang dilakukan adalah sama dengan analisis daerah yang hanya memiliki akses masuk tunggal, yaitu dengan mempertimbangkan : 1- Kapasitas penumpang pada setiap jenis moda. 2- Frekuensi pelayanan. 3- Rute jaringan. 4- Variasi klinjungan berdasarkan musim. 5- Kehandalan pelayanan.

Dalam proses tersebut, penumpang non wisatawan juga harus diper-timbangkan, karena retomendasi pengembangan angkutan tidak hanya didasarkan pada wisatawan. Namun penumpang secara umum.

Sementara untuk analisis transportasi internal, meliputi jaringan sistem transportasi di daerah dan sistem kapasitas transport dan moda yang ada. Pengkajian jaringan dilakukan untuk melihat keterhubungan antara akses masuk dengan jaringan transportasi di dalam daerah yang menghubungkan objek dan daya tarik, atomodasi dan fasilitas pariwisata lainnya. Dalam proses ini perencana transport juga perlu mempertimbangkan pergerakan wisatawan masa mendatang

Untuk menentukan kapasitas yang dibutuhkan di masa mendatang. Untuk seluruh aspek sistem transportasi, pertimbangan juga perlu dilakukan terhadap kualitas fasilitas transportasi dan pelayanannya sebagaimana faktor kuantitatif yang tdah dibahas di atas. Analisis yang perlu dipertimbangkan adalah : 1- Standar keamanan. 2- Kehandalan jadwal pelayanan. 3- Kenyamanan. 4- Efisiensi. 5- Pelayanan kepada pelanggan.

Seperti telah diindikasikan sebelumnya, beberapa daerah tetah memiliki perencanaan transportasi daerah yang di dalamnya terdapat proyeksi permintaan lalu lintas penumpang. Studi ini perlu dikaji untuk mem-pertimbangkan lalu lintas wisatawan di masa datang.

c. Kebutuhan Prasarana

Prasarana pariwisata meliputi air bersih, listrik, pembuangan limbah cair, pembuangan limbah padat, drainase dan telekomunikasi. Pada level RIPPDA seharusnya dilakukan perhitungan keperluan pasti, Na-mun karena skala pembiayaan yang terbatas sering kali hal ini tidak

Page 32: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 32

dapat dilakukan. Oleh karena itu untuk mengatasi hal ini dapat dilaku-kan dengan mempelajari rencana-rencana pengembangan dari setiap prasarana untuk kemudian dipertimbangkan untuk pengembangan pari-wisata. Meskipun demikian berikut akan disampaikan proses analisis yang harus dilakukan oleh perencana dalam proses perencanaan.

Air bersih merupakan komponen penting yang diperlukan untuk pe-ngembangan pariwisata di suatu daerah. Pada daerah-daerah yang sudah berkembang biasanya prasarena air bersih sudah terseda, pembangunan pariwisata kemudian hanya menyambungkan dengan jaringan yang sudah ada. Kebutuhan air bersih ini sangat bergantung pada jenis pengembangan dan kualitas lingkungan. Kawasan wisata yang besar dengan kolam renang dan lapangan golf memeriukan jumlah air yang cukup besar, sehingga diperlukan analisis ketersedia-annya. Standar kebutuhan pun bervariasi, mutai kawasan perkemahan hingga hotel berbintang memiliki standar yang berbeda-beda.

Dalam proses pengembangan pariwisata, jumlah fasilitas akomodasi dan tipenya menentukan keperluan air. Analisis yang dilakukan adalah kesesuaian ketersediaan air bersih yang dimiliki oleh perusahaan air minum pemerintah dan altematif yang perlu diambil bila jumlah debit air tersebut tidak memadai. Altematif pengambilan air dalam tanah mau-pun air permukaan merupakan suatu hal yang dapat dipertimbangkan.

Sementara untuk prasarana yang lain, analisis permintaan ini dilakukan dengan cara yang sama dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan. Analisis menernukenali sistem yang ada kemudian mencari altematif-alternatif prasarana lain yang dapat menggantikan-nya. Bila pada pembangunan pariwisata sumber-sumber altematif digu-nakan, maka biaya pembangunan prasarana tersebut perlu untuk diper-hatikan dan masuk menjadi komponen biaya investasi.

Analisis biaya ini meliputi investasi awal dan biaya operasional. Analisis manfaat dan biaya untuk menghitung manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan patut untuk dihitung. Sementara prasarana lain yang sifatnya lebih besar seperti pengembangan jaringan jalan, bandara pertimbangan hal ini perlu dipertimbangkan manfaat secara kesduruhan terhadap masyarakat, karena prasarana tersebut memberikan manfaat yang besar terhadap komponen-komponen daerah secara keseluruhan.

Analisis juga harus melakukan investigasi terhadap konservasi dari prasarana dan sumber daya yang ada, contoh: 1- Altematif sumber energi seperti matahari, angin, gelombang laut

dan sebagainya. 2- Daur ulang dari proses pembuangan limbah cair hotel untuk

dimanfaatlan untuk menyiram taman atau lapangan golf. 3- Penetapan daerah resapan air, untuk menjaga kualitas dan

kuantitas air tanah yang diambil. 4- Daur ulang limbah padat.

Page 33: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 33

d. Kebutuhan Fasilitas dan Pelayanan Wisata yang Lain

Proyeksi dari fasilitas dan pelayanan wisata seperti agen perjalanan, restoran, fasilitas kesehatan, kantor pos, telekomunikasi dan kompo-nen-komponen lainnya dihitung tidak secara langsung seperti proyeksi kebutuhan atomodasi. Untuk menentukan kebutuhan fasilitas dan pela-yanan wisata lainnya ini sangat bergantung pada jenis pariwisata yang akan dikembangkan. Pengembangan kawasan wisata tepi pantai akan membutuhkan fasilitas yang berbeda dengan pengembangan wisata perkotaan. Untuk memproyeksi kebutuhan dari komponen-komponen fasilitas dan pelayanan lain ini akan sangat bergantung pada perenca-na, standar proyeksi kebutuhan dapat diambil dari kasus-kasus pada daerah-daerah lain yang memiliki tipe pariwisata yang sama. Meskipun demikian proyeksi yang dilakukan harus fleksibel untuk mengantisipasi perubahan kondisi yang akan teljadi.

Pada kondisi daerah yang sudah terbangun dengan baik, maka kebu-tuhan kasilitas dan pelayanan lain untuk pengembangan pariwisata hanya diperlukan tambahai-tambahan kecil. Sementara untuk kondisi daerah yang belum terbangun maka kebutuhan ini merupakan kebutuhan besar yang perlu dipertimbangkan.

Page 34: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 34

Lampiran B

Survey dan Kajian Aspek-Aspek Permintaan

Survey kondisi masa lalu dan saat ini dari kunjungan wisatawan merupakan input penting dalam analisis pasar. Dengan survey pasar persepsi wisatawan tentang daerah dapat diketahui. Survey ini harus dibuat baik bagi wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus) dan juga wisatawan lokal.

Data lengkap tentang kunjungan wisatawan ke suatu daerah jarang sekali dite-mukan secara lengkap, sehingga dalam proses RIPPDA Kabupaten ini diperlukan survey lapangan secara langsung. Pelaksanaan survey pasar ini meliputi penye-baran kuesioner, wawancara baik dengan wisatawan maupun dengan operator perjalanan wisata, baik yang terdapat di dalam daerah bahkan bila memungkinkan juga dengan di luar daerah yang memiliki program wisata ke daerah bersang-kutan. Tinjauan mengenai pola perjalanan dalam konteks intemasional, nasional maupun per wilayah patut untuk dikaji sebagai kerangka dalam proses analisis pa-sar

1. Karakteristik Kedatangan Wisatawan

Jumlah kedatangan atau kunjungan wisatawan masa lalu dan saat ini harus ditentukan sebagai indikator dari perlumbuhan umum dan tingkat perkem-bangan pariwisata di suatu daerah. Gambaran kunjungan wisatawan bulanan dapat menunjukkan fluktuasi musiman. Karakteristik dan sikap dari wisata-wan yang berkunjung perlu diidentifikasi dengan seksama. Karakteristik yang perllu dikaji dalam rangka RIPPDA Kabupaten adalah sebagai berikut :

a. Daerah asal - Kebangsaan dan negara tempat tinggal bagi wisman, dan provinsi asal dan kota tempat tinggal bagi wisnus menipakan data penting dalam rangka fungsi pemasaran. Negara tempat tinggal patut dipertimbangkan, karena pada saat ini banyak sekali wisman yang tinggal menetap di suatu negara yang berbeda dengan kewargane-garaannya. Begitu pula dengan tenaga-tenaga ahli asing yang tinggal di Indonesia, sangat mungkin sekaK mereka melakukan perjalanan seca-ra ekstensif untuk melakuksn kunjungan ke daerah-daerah di Indone-sia.

b. Maksud perjalanan - Maksud perjalanan meliputi kategori beriibur, bisnis, studi, dinas, berkunJuflg ke teman atau keluarga dan mungkin beberapa jenis maksud lain bergantung dengan daerah (misal : ziarah) Maksud pefjalanan menunjukkan karakteristik dari perencanaan pemasaran dan fasilitas yang akan dihembangkan di suatu daerah.

c. Lama tinggal - Lama tinggal wisatawan bergantung pada jumlah malam wisatawan tinggal di suatu daerah. Informasi ini merupakan masukan untuk mengetahui penggunaan fasilitas dan belanja wisatawan.

Page 35: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 35

d. Umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga/teman yang ikut perja-lanan - Hal ini merupakan karakteristik penting untuk mengetahui dalam penentuan profit pemasaran dan fasilitas pariwisata dalam rangka pro-ses perencanaan. Umur sendiri dapat dikelompokkan menjadi kelom-pok tertentu karena sering kali wisatawan tidak mau diketahui urnur me-reka secara pasti.

e. Jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan - Jenis pekerjaan dapat dika-tegorikan menjadi : manajer, profesional, tensga ahli, ibu rumah tangga, pelajar dan mahasiswe, dan pensiunan. Tingkat pendapatan juga dapat dikelompokkan menjadi kelompok tertentu.

f. Tempat yang dikunjungi dan tempat tinggal selama perjalanan – Tem-pat-tempat yang dikunjungi selama melakukan kunjungan di Indonesia (Nasional) maupun di kabupaten/kota sendiri merupakan informasi penting untuk proses perencanaan.

g. Jumlah kali kunjungan ke daerah - Jen/s kunjungan ke suatu daerah dapat merupakan yang pertama kali atau kunjungan ulang. Dengan tingginya kunjungan ulang maka hal ini menunjukkan bahwa daerah tertentu memiliki daya tarik yang "berkelanjutan", sehingga orang ingin melakukan kunjungan ulang.

h. Individual atau kelompok - Sebagian wisatawan melakukan kunjungan wisata ke suatu daerah secara mandiri (independen), sementara yang lainnya datang dalam kelompok wisata. Informasi ini dimanfaatkan un-tuk fungsi pemasaran dan perencanaan.

i. Pola belanja wisatawan - Jumlah total belanja dan wisatawan dan dis-tribusi belanja mereka (akomodasi, makanan dan minuman, belanja, transport lokal, tour dan lainnya) merupakan informasi penting untuk menentukan dampak ekonomi dan pariwisata dan merupakan masukan untuk merekomendasikan cara untuk meningkatkan belanja wisatawan di suatu daerah. Uang yang dibelanjakan oleh wisatawan akan sangat baik bila ditentukan dengan survey khusus atau dengan mengidenti-fikasi dan hotel, restoran, agen perjalanan, pertokoan dan tempat-tempat penukaran mata uang asing.

j. Sikap dan tingkat kepuasan wisatawan - Menentukan sikap dan tingkat kepuasan wisatawan tentang daerah, objek dan daya tarik wisata, fasi-litas dan pelayanan merupakan informasi yang berharga bagi proses peningkatan pariwisata, setidaknya merupakan dasar dan keinginan pasar eksisting. Infonnasi ini akan sangat baik bila menggunakan sur-vey secara khusus dengan juga memperhatikan pola belanja dan ka-rakteristik wisatawan, sehingga seluruh faktor dapat diidentifikasi kore-lasinya. Survey ini dapat meliputi pertanyaan fasilitas atau pelayanan apa yang perfu ditingkatkan bila mereka melakukan kunjungan ulang ke daerah ini.

Page 36: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 36

Informasi dasar dan wisman sebetulnya dapat diketahui dengan melakukan penelitian terhadap proses embarkasi dan disembarkasi imigrasi. Namun demikian, belanja, sikap dan tingkat kepuasan tidak terdapat dalam informasi di atas, sehingga memerlukan survey khusus. Survey ini umumnya dilakukan pada pintu gerbang kedatangan wisatawan seperti bandara dan dilakukan berdasarkan sampling yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempeftimbangkan karakteristik musim setiap tahun. Sementara itu untuk informasi wisnus diperlukan survey khusus karena mereka tidak melakukan proses imigrasi seperti wisman. Survey untuk wisnus ini dapat dilakukan di tempat-tempat akomodasi dan objek dan daya tarik wisata.

2. Agen Perjalanan/Tour Operator

Dalam proses perencanaan pariwisata, akan sangat berguna untuk mela-kukan proses wawancara dengan pihak agen perjalanan baik yang terdapat di daerah maupun yang terdapat di luar daerah. Wawancara ini dilakukan terutama pada operator yang memiliki program atau paket wisata di daerah studi baik yang sekarang telah memiliki atau mereka yang tertarik ingin mengembangkan paket wisata ke daerah studi. Umumnya mereka paham terhadap berbagai permasalahan pasar dan permasalahan di lapangan da-lam memasarkan paket-paket wisatanya. Struktur harga dan kompetisi dae-rah tujuan wisata merupakan informasi yang dapat diperoleh dan mereka. Operator perjalanan ini memberikan informasi berdasarkan pandangan per-dagangan intemasional maupun perdagangan secara umum. Wawancara secara khusus, merupakan langkah efektif yang dapat dilakukan untuk menggali informasi yang diinginkan. Sementara untuk pemilihan agen perja-lanan yang akan diwawancara bila banyak dapat dilakukan berdasarkan sampling.

3. Pola Perjalanan Umum dan Kecenderungan Yang Terjadi

Pada tingkat perencanaan RIPPDA Kabupaten/Kota, pola perjalanan internasional maupun regional bagi wisman tidak diperlukan kajian secara mendetail. Penekanan yang diperlukan adalah kajian pola perjalanan di dalam daerah studi dan antar daerah dengan mempertimbangkan jumlah, asal dan tujuan, jenis wisatawan, lokasi dan jenis daerah tujuan wisata favorit. Pola perjalanan secara umum ini penting untuk proses analisis pasar wisata jangka panjang yang berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia. Pola perjalanan yang dikaji tidak hanya yang eksisting tapi yang potensial juga. Kecenderungan pariwisata harus diperhatikan sebagai contoh munculnya pasar baru, segmen baru, jenis objek dan daya tarik wisata baru dan munculnya sarana transportasi modern yang akan mengubah pola peijalanan wisatawan. Untuk menghasilkan proses perencanaan yang lebih baik maka proses ini dapat mengikutsertakan pihak hotel maupun agen atau operator perjalanan vang kompeten.

Page 37: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 37

Lampiran C

Penentuan Daya Dukung Lingkungan

Analisis daya dukung lingkungan merupakan teknik dasar yang sekarang banyak digunakan dalam penyusunan rencana pengembangan pariwisata dan rekreasi. Analias ini dilakukan untuk menentukan secara sistematis batasan dan pengembangan pariwisata yang akan dilakukan, jumlah kunjungan optimal yang dapat ditampung. Batasan utama dan daya dukung lingkungan ini adalah:

Jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan atau memanfaatkan suatu kawasan yang tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik atau sosial budaya atau apa yang dirasakan oleh wisatawan itu sendi ri da/am menikmati kunjungan yang mereka lakukan.

Dengan tidak mengabaikan tingkat kesulitan yang muncul untuk menentukan kapasitas dan daya dukung lingkungan secara pasti, sehingga sifatnya masih merupakan perkiraan. Analisis ini akan memberikan petunjuk yang jelas bagi perumusan rencana pariwisata pada setiap tingkatan. Analisis daya dukung lingkungan merupakan umpan balik untuk analisis pasar sehingga hat ini dapat merupakan pertimbangan dalam melakukan proyeksi pasar atau target kunjungan wisatawan.

Analisis daya dukung lingkungan ini dapat dilakukan untuk kawasan wisata yang belum terbangun dan untuk kawasan yang sudah terbangun bahkan untuk kawasan yang sebenarnya bila dihitung kemampuan daya dukung tingkungannya sudah mencapai ambang batas kemampuan kawasan. Seringkali penerapan analisis ini terjadi pada tahapan kawasan wisata yang sudah melebihi kapasitas daya dukung, sehingga terjadi kekacauan pembangunan. Dengan kondisi ini sebaiknya analisis ini diaplikasilkan pada tahap awal pembangunan.

1. Kriteria Pengukuran Kapasitas Daya Dukung Lingkungan

Kriteria yang diungkapkan di sini merupakan kriteria untuk menentukan ka-pasitas daya dukung dari suatu kawasan wisata. Dalam menentukan kapa-sitas daya dukung lingkungan terdapat 2 (dua) aspek yang periu dipertim-bangkan, yaitu:

a. Keaslian Dari Lingkungan Fisik Dan Sosial Ekonomi

Hal ini mengacu pada kapasitas yang dapat dicapai tanpa menimbulkan kerusakan fisik, permasalahan sosial ekonomi dari masyarakat, dan menjaga keseimbangan antara proses pembangunan dan konservasi. Dengan melewati ambang batas yang telah ditentukan akan menimbul-kan kerusakan fisik, sosial ekonomi atau budaya.

Page 38: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 38

1- Lingkungan Fisik

a- Tingkat penerimaan dan dari dampak visual dan kemacetan/ kepadatan

b- Nilai sistem ekologis yang dijaga sebdum terjadi kerusakan c- Konservasi kehidupan satwa liar dan vegetasi dari lingkung-

an darat dan lingkungan taut. d- Tingkat yang dapat diterima dari polusi air, udara dan kebi-

singan.

2- Ekonomi

a- Tingkat keberadaan pariwisata dalam memberikan manfaat ekonomi secara optimum terhadap daerah perencanaan secara keseluruhan

b- Tingkat kesesuaian kesempatan kerja pariwisata yang dapat diisi oleh tenaga kerja lokal.

3- Sosial Budaya

a- Keberadaan pembangunan pariwisata yang dapat menyerap dengan tanpa mengabaikan gaya hidup sosial budaya dan aktivitas dari masyarakat.

b- Tingkat kesesuaian sektor pariwisata untuk dapat menjaga monumen-monumen budaya, kesenian, kerajinan, sistem kepercayaan, dan tradisidari dampak yang merusak.

4- Prasarana

a- Kesesuaian ketersediaan fasilitas transportasi dan pelayan-an.

b- Kesesuaian ketersediaan pelayanan utilitas seperti air ber-sih, tenaga listrik, pengolahan limbah padat, pengolahan lim-bah cair dan telekomunikasi.

c- Kesesuian ketersediaan dari fasilitas yang dimanfaatkan oleh seperti fasilitas kesehatan dan keamanan.

b. Citra Pariwisata dan Produk Wisata

Hal ini mengacu terhadap kapasitas atau jumlah pengunjung yang da-pat merusak citra kawasan wisata, jenis lingkungan dan pengalaman budaya yang wisatawan inginkan. Jika pengembangan pariwisata me-lewati ambang batas, maka daya tarik yang dijadikan tujuan wisata akan mengalami penurunan atau bahkan hancur. Hal ini akan meng-akibatkan kualitas dan popularitas daerah kawasan tujuan wisata ter-sebut akan menurun.

Page 39: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 39

1- Lingkungan Fisik

a- Tingkat Kebersihan secara keseluruhan dan minimnya tingkat polusi dari lingkungan daerah/kawasan tujuan wisata.

b- Tidak adanya kesemerawutan dari lingkungan daerh tujuan wisata, termasuk di dalamnya komponen daya tarik.

c- Tingkat daya tarik dari lansekap yang ada, termasuk di dalamnya kualitas dan karakter dari disain arsitektur.

d- Pemeliharaan dari sistem ekologi, flora, fauna dan daya tarik alam lainnya.

2- Ekonomi

Biaya untuk liburan dan value for money.

3- Sosial Budaya

a- Daya tarik dari masyarakat asli dan budaya masyarakat setempat.

b- Kualitas seni, kerajinan, makanan, dan penampilan budaya yang dimiliki oleh daerah.

c- Keramahtamahan masyarakat lokat

4- Prasarana

a- Tingkat penerimaan standar dari fasititas transportasi dan pelayanannya.

b- Tingkat penerimaan standar dari pelayanan utilitas

Setiap daerah dan setiap jenis pariwisata yang dikembangkan bersifat unik, sehingga kriteria untuk mengukur kapasitas daya dukung harus didefinisikan secara baik. Umumnya evaluasi dari kapasitas daya dukung lingkungan ini terukur secara kuantitatif, namun sebagian lainnya hanya dapat dievaluasi secara kualitatif.

Analisis kapasitas daya dukung lingkungan ini harus dapat menye-imbangkan antara faktor positif dan faktor negatif. Pariwisata harus da-pat memberikan manfaat optimal terhadap daerah dan masyarakat lo-kal, sementara wisatswan sendiri terjaga tingkat kepuasannya. Cleh ka-rena itu dalam analisis ini akan terjadi proses tawar-menawar antara berbagai biaya dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Semen-tara itu dilakukan pula proses pembobotan dari kriteria evaluasi, di mana sebagian daerah/kawasan wisata akan lebih mempertimbangkan lingkungan fisik, sementara daerah lainnya lebih mempertimbangkan faktor sosial-budaya.

Perlu pula dipertimbangkan dampak musim liburan yang berlaku dalam konsep kapasitas daya dukung. Ambang batas dari kapasitas daya du-kung lingkungan di suatu daerah terlampau pada saat-saat rarnai.

Page 40: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 40

Sehingga periode ini perlu untuk dipertimbangkan untuk menghitung kapasitas daya dukung.

Dalam analisis kapasitas daya dukung, seperti telah ditentukan dalam kriteria di atas, pengukuran dampak terhadap aspek sosial budaya te-tap dilakukan seoagai pelengkap dalam analisa kapasitas daya dukung lingkungan.

2. Standar Kapasitas

Beberapa standar dari kapasitas daya dukung ditampilkan secara statistik seperti dalam jumlah wisatawan yang terdapat datam suatu kawasan/atraksi wisata, dan kemampuan fasilitas datam memberikan pelayanannya pada periode tertentu. Standar ini dari satu daerah ke daerah lain bert)eda, hal ini bergantung pada faktor-faktor berikut: Jenis pariwisata yang dikembangkan. Karakteristik lingkungan lokal. Jenis wisatawan yang dijadikan target. Persepsi masyarakat lokal terhadap kesemerawutan suatu daerah.

Kapasitas daya dukung pantai merupakan analisis yang banyak dilakukan di berbagai daerah, mengingat bahwa keberadaab pantai merupakan aset penting bagi daerah sebagai salah satu sumber daya pariwisata yang ditawarkan.

Untuk pengukuran kapasitas daya dukung pantai ini faktor yang diukur adalah : lebar pantai. tingkat ke dalaman. kualitas pantai. aksesibilitas. komponen-komponen bawah laut. topografi daerah belakang. dan lainnya.

Berbagai jenis standar diterapkan untuk menentukan kapasitas daya dukung pantai bergantung pada situasi lokat. Sebagai contoh untuk suaut fasititas kawasan wisata (resort) yang berkualltas standarnya adalah: 10 m2 perorang untuk kawasan pantai 1 m2 untuk penggunaan pantai untuk berenang, dengan jumlah pengun-

jung yang berenang adalah 25% dari seluruh total pengunjung.

Beberapa standar yang telah ditetapkan oleh WTO pada tahun 1983 untuk aktivitas rekreasi dan pariwisata pedesaan dinyatakan dalam pengunjung perhari perhektar adalah sebagai berikut:

1. Kawasan hutan 15 pengunjung/hari/hektar 2. Taman hutan di kawasan 15 - 70 pengunjung/hari/hektar

Page 41: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 41

pedesaan/pinggiran kota 3. Area piknik padat 300 - 600 pengunjung/hari/hektar 4. Area piknik lenggang 60 - 200 pengunjung/hari/hektar 5. Pertandingan olah raga 100 - 200 pengunjung/hari/hektar 6. Golf 10-15 pengunjung/hari/hektar 7. Aktivitas air : Memancing 5 - 30 pengunjung/hari/hektar Speed boat 5 - 10 pengunjung/hari/hektar Ski air 5-15 pengunjung/hari/hektar

8. Jalansetfepak untuk Hiking (orang perhari per kilometer)

Hiking 40 orang/hari/km Berkuda 25 - 80 orang/hari/km.

Page 42: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 42

Lampiran D

Bentuk-Bentuk Pengembangan Pariwisata Daerah

1. Pengembangan dengan Pendekatan Kawasan Wisata (Resort)

Salah satu bentuk umum dari pariwisata yang berorientasi liburan adalah pengembangan suatu kawasan wisata (resort). Kawasan wisata ini dapat didefinisikan sebagai daerah tujuan wisata yang memberikan hampir seluruh kebutuhan fasilitas dan pelayanan wisatawan, termasuk di antaranya fasilitas rekreasi dan peristirahatan. Kecenderungan perubahan yang terjadi saat ini telah menyebabkan peningkatan tuntutan wisatawan terhadap fasilitas dan pelayanan di kawasan wisata. Tuntutan ini adalah tuntutan untuk melakukan kegiatan rekreasi, olah raga, dan aktivitas budaya lainnya, sehingga kawasan wisata kemudian berkembang menjadi suatu kawasan wisata yang serba lengkap untuk dapat memenuhi keinginan tersebut.

Pengembangan kawasan wisata biasanya ditujukan untuk mengembangan yang bersifat masal untuk jumlah wisatawan yang cukup besar.

Kawasan wisata terintegrasi direncanakan untuk dikembangkan secara eks-klusif bagi wisatawan yang berlibur. Umumnya kawasan wisata ini ber-orientasi pantai, danau, rekreasi air, pemandangan alam (pegunungan), ta-man nasional, lapangan golf, fasilitas olah raga lainnya, peninggalan budaya, peninggalan sejarah dan kadang-kadang merupakan gabungan dari komp-onen-komponen di atas. Kawasan wisata dapat bervariasi baik dalam bentuk ukuran maupun fasilitas akomodasi yang ada. Umumnya suatu kawasan besar terdiri dari berbagai jenis hotel, memiliki fasilitas perbelanjaan, fasilitas rekreasi, fasilitas olah raga, fasilitas budaya, dan bahkan fasilitas ruang per-ternuan.

Kawasan wisata yang terintegrasi memiliki berbagai jenis hotel dari mulai hotel berbintang, cottage, vila dan bahkan apartemen. Konfigurasinya pun dapat bervariasi, bisa merupakan kawasan wisata dengan bangunan-bangunan tinggi dan padat atau dengan bangunan rumah-rumah dengan tingkat kepadatan yang rendah. Ruang terbuka yang luas dan taman-taman merupakan elemen penting dalam perencanaan pariwisata ini.

Meskipun demikian, pembangunan fisik dari suatu kawasan wisata dilakukan secara bertahap bergantung pada kondisi pasar dan investasi. Ball sebagai salah satu contoh, di mana di daerah ini terdapat berbagai kawasan wisata dan sebagian besar masih melakukan pembangunan fasititas-fasilitas yang dibutuhkan meskipur) perkembangan pariwisata di Bali telah ada sejak lama.

2. Pengembangan Pariwisata Perkotaan

Pariwisata perkotaan adalah pariwisata yang dilakukan di suatu kota di mana pariwisata dapat merupakan komponen penting bagi aktivitas perkotaan

Page 43: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 43

tersebut tapi bukanlah kegiatan yang utama. Hotel dan fasilitas wisata lainnya merupakan bagian integral dari kegiatan perkotaan yang melayani wisatawan yang memang datang untuk berwisata atau petaku-pelaku bisnis.

Meskipun demikian lokasi hotel dan fasilitas wisata tetap mepJpakan faktor penting yang periu dipertimbangkan terutama keterkaitannya dengan sistem transportasi dan daya tarik yang dimiliki oleh kota tersebut. Objek dan daya tarik wisata yang dikunjungi oleh wisatawan umumnya dimanfaatkan juga oleh masyarakat lokaL

Pengembangan kembali kawasan-kawasan lama perkotaan yang memiliki nilai sejarah tinggi merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh pe-merintah daerah setempat untuk meningkatkan daya tarik kota. Selain itu fa-silitas konferensi dan pertemuan yang dimiliki oleh suatu kota periu diper-timbangkan untuk dikembangkan untuk mengantisipasi perkembangan pasar bisnis.

3. Pariwisata Minat Khusus dan Petualangan

Pariwisata minat khusus umuninya adaiah wisatawan yang umumnya dalam kelompok kecil yang ingin melakukan perjalanan untuk mempelajari dan memperoleh pengalaman dari komponen-komponen daya tarik spesifik yang dimiliki oleh suatu daerah. Minat dari wisatawan ini dapat berupa minat untuk mempelajari kebudayaan suatu daerah seperti tarian, musik, seni, kerajinan, arsitektur, gaya hidup, kegiatan ekonomi khusus, arkeologi dan sejarah daerah. Selain itu minat dalam aspek lingkungan seperti terhadap flora, fauna, geologi, taman nasional, dan taman laut. Umumnya minat-minat yang ada merupakan minat-minat profesional sesuai dengan profesi mereka sehari-hari.

Berkaitan dengan pariwisata minat khusus, pariwisata petualangan juga me-rupakan salah satu altematif yang dikembangkan oleh daerah-daerah yang relatif belum memiliki perkembangan pariwisata dengan baik dan memiliki daya tarik spesifik. Wisatawan seperti ini secara individual umumnya menan-tang bahaya seperti melakukan kegiatan safari di daerah-daerah terpencil, pendakian gunung, panjat tebing, arung jeram, berbuiti dan memandng.

Pengembangan pariwisata seperti ini tidak memerlukan pengembangan fa-silitas skala besar atau investasi yang mahal untuk pengembangan fasilitas dan prasarana. Narnun, suatu organisasi yang baik, pengetahuan pemandu wisata yang memadai, sistem transportasi yang terintegrasi disertai fasilitas dan pelayanan yang baik, dan ketersediaan akomodasi sederhana tetap di-perlukan. Pariwisata minat khusus dan petualangan ini merupakan salah satu pariwisata yang saat ini berkembang dengan pesat baik dalam hal pasar maupun pengembangan, namun tetap dengan jumlah yang relatif kecil untuk setiap daerah.

Page 44: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 44

4. Pengembangan Pariwisata Altematif

Pariwisata altematif adalah pariwisata berkelanjutan yang berskala kecil, tidak konvesional, dan tidak bersifat masal mengunjungi tempat-tempat yang secara sosial dan lingkungan sensitif. Meskipun pariwisata tersebut bernama altematif, dalam proses perencanaan pariwisata secara umum pertu untuk dipertimbangkan.

Secara umum pengembangan pariwisata harus peka terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik untuk mencapai suatu pembangunan yang berke-lanjutan. Sementara pariwisata altematif ini adaiah pariwisata yang dilakukan dan dikembangkan pada daerah yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan fisik, sosial dan budaya, sehingga untuk pengembarigannya pertu dianalisis.

Dampak yang akan ditimbulkan dengan adanya pariwisata ini periu dikaji se-cara mendalam terutama pada daerah-daerah yang secara budaya maupun lingkungan ekologis sensitif terhadap perubahan. Salah satu keunggulan yang dimiliki dengan adanya pengembangan pariwisata ini adaiah dampak ekonomi yang ditimbulkan langsung diterima oleh masyarakat setempat dalam bentuk pendapatan atau tenaga kerja. Keunggulan tainnya adaiah pariwisata seperti ini tidak memerlukan investasi yang besar dalam fasilitas maupun infrastruktur.

a. Pengembangan Pariwisata Pedesaan

Pariwisata desa/pedesaan, di mana sekelompok wisatawan tinggaldi suatu desa tradisional atau bahkan desa terpencil untuk kemudian mempelajari kehidupan dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Pariwi-sata pedesaan ini dapat dilakukan pada daerah-daerah di mana terda-pat dominasi atau karakteristik menonjol dari kehidupan sehari-hari ma-syarakat yang ada di wilayah pedesaan tersebut. Misalnya di daerah Pertanian, perkebunan, nelayan, desa kerajinan dan lain-lain. Di sam-ping itu wilayah pedesaan tersebut menunjukkan ciri kehidupan/suasa-na pedesaan yang unik dan dapat pula ditunjang oleh kondisi alam/ lingkungan yang indah dan alami, sehingga menunjukkan perbedaan dengan wilayah-wilayah perkotaan dan daerah terbangun lainnya.

b. Pengembangan Ekowisata

Di dalam pengembangan ekowisata alam, wisatawan melakukan kun-jungan ke suatu obyek wisata dan melakukan pengamatan, dan perja-lanan seperti melakukan pendakian gunung, berperahu di sungai-sungai dengan pemandu-pemandu lokal yang menjelaskan karakteristik lingkungan setempat. Hal khusus dari pengembangan ekowisata alam ini adalah bahwa obyek yang dikunjungi keaslian alamnya masih sangat terjaga. Dengan demikian bentuk perjalanan wisata di daerah ini seminimal mungkin menghindari terjadinya kerusakan dan perubahan

Page 45: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 45

lingkungan alami yang ada. Penekanan pada jenis wisata ini adalah pada experience/pengalaman perjalanannya.

c. Pengembangan Agrowisata

Pengembangan Agrowisata dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki areal perkebunan yang cukup luas serta terkelola dengan baik oleh suatu lembaga tertentu, baik yang bersifat perorangan, atau perusahaan. Di dalam pengembangan agrowisata ini, yang periu diperhatikan bahwa kawasan yang dikembangkan tersebut memiliki hasil produksi yang kontinyu sepanjang tahun, sehingga dapat dikunjungi setiap saat. Di samping menampilkan atraksi hasil dari perkebunan itu sendiri, daya tarik dari pengembangan agrowisata adalah bila proses penanaman, pemetikan, serta pengolahan dari hasil perkebunan itu juga dapat ditampilkan menjadi suatu paket khusus. Dalam hal ini wisatawan dapat menikmati seluruh rangkaian kegiatan yang berlangsung di suatu perkebunan.

Page 46: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 46

Lampiran E

Anatomi Unsur-Unsur Kepariwisataan

1. Hakekat Kepariwisataan

Jika berbicara tentang pariwisata, yang umumnya segera diingat biasanya hanyalah 4 hal, yakni : ► Obyek wisata, ► Hotel, ► Wisatawan, ► Biro perjalanan.

Dengan demikian, jika ada usaha pengembangan pariwisata, maka yang ter-bayangkan adalah membangun hotel, khususnya hotel berbintang. Umum-nya orang berangapan, dengan membangun hotel, otomatis wisatawan akan datang, kemudian menghubungi biro perjalanan, lalu mendatangi obyek wi-sata. Dengan orang yang demikian, jika kita berbicara mengenai pengem-bangan pariwisata, yang dibayangkannya adalah mencari penanam modal, yang akan menanamkan modalnya untuk membangun hotel. Cukup sampai di situ. Benarkah demikian ?

Gambar E.1 : Demand Side, Supply Side, dan Contextual Side dalam Kepariwisataan

SupplySide

DemandSide

Contex tualSide

Kepariwisataan

Di luar golongan awam, para pakar berusaha membedah kepariwisataan de-ngan cara yang beda. Mereka telah melangkah lebih jauh, membedah dunia pariwisata lebih dari sekedar atas 4 hal di atas. Ada yang membedahnya atas 3 hal, yakni : ► Demand side, ► Supply side, ► Contextual side.

Sementara itu ada pula yang menyebutkan bahwa kepariwisataan meliputi 3 A, yakni : ► Attraction, ► Accessibility.

Page 47: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 47

► Amenity.

Sementara itu, istilah produk pariwisata sangat sering digunakan jika kita berbicara tentang kepariwisataan. Di mana letak hal terakhir ini di antara ke-3 hal di atas, baik di antara demand side, supply side, dan contextual side, maupun di antara 3 A di atas ? Apakah produk pariwisata sama dengan supply side. Apakah produk pariwisata merupakan sebutan lain dari attraction. Sebagai suatu istilah, apakah produk pariwisata masih dapat digunakan, khususnya di Indonesia ?

Gambar E.2 : 3 A dalam Kepariwisataan

Amenit y

Accesibil it y

At t ract ion3 A3 A

Ada pula istilah obyek wisata. Apa beda antara obyek wisata dengan atraksi wisata ? Apa beda obyek wisata dengan kawasan pariwisata ? Apa hubung-an antara objek wisata dengan produk pariwisata ? Bagaimana semua ini terstruktur membentuk fenomena yang kita kenal sebagai kepariwisataan ?

Jika kita berbicara mengenai dunia produksi, kita mengenal adanya upaya pemrosesan. Suatu bahan mentah, sebelum mencapai tahap layak jual, ter-lebih dahulu harus menjalani serangkaian kegiatan pemrosesan. Pemroses-an tersebut dapat berupa pemrosesan secara kimiawi, penggergajian, pema-hatan, pengemasan, dan lain sebagainya, tergantung jenis bahan mentah dan produk yang dituju. Melalui upaya tersebut bahan mentah tersebut men-dapatkan nilai tambah tertentu. Setelah menjalani semua itu, maka bahan mentah tersebut berubah menjadi suatu produk, untuk kemudian siap dipa-sarkan. Setelah menjalani tahap pemasaran tertentu, maka akan timbul pe-minat atas produk tersebut. Peminat tersebut akan berdatangan ke tempat beradanya produk tersebut. Oleh peminatnya, produk tersebut kemudian dibeli. Dengan dibelinya produk tersebut, maka produk tersebut dibawa me-nuju ke tempat si pembeli, meninggalkan tempat asal produk tersebut.

Page 48: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 48

Gambaran di atas, dengan penyesuaian tertentu dapat diterapkan pada bidang kepariwisataan. Sebagai bahan mentah adalah objek dan daya tarik wisata (ODTW). Beberapa pakar tertentu, menyebut ODTW yang merupakan bahan mentah kepariwisataan tersebut sebagai aset (asset). Ada pula yang menyebutnya sumber daya (resources).

Gambar E.3 : Proses Produksi

ODTW tersebut, selanjutnya menjalani pula serangkaian kegiatan pemro-sesan, sehingga menjadi bagian dari sekumpulan hal yang bersama-sama disebut sebagai produk pariwisata. Pemrosesan tersebut dapat berupa peningkatan kualitas ODTW itu sendiri, dapat pula melengkapinya dengan berbagai unsur produk pariwisata lain, seperti sarana pariwisata, dukungan sistem angkutan, dan sebagainya. Hal apa sajakah yang terkandung dalam istilah produk pariwisata tersebut, kelak akan kita telaah tersendiri secara lebih seksama.

Untuk dapat dijual dengan memuaskan, produk pariwisata tersebut perlu pu-la mendapat bentuk penanganan yang memadai. Penanganan ini dapat diis-tilahkan sebagai pengelolaan pariwisata. Dalam upaya penanganan ini akan ditentukan pihak mana saja yang mengelola unsur produk apa, dengan menggunakan sumber daya manusia yang bagaimana, menggunakan du-kungan peralatan apa, dan sebagainya. Dalam upaya pengelolaan tersebut, juga dibutuhkan adanya pembiayaan pariwisata. Tak lain adalah untuk mendanai upaya pengelolaan produk pariwisata yang telah siap jual tersebut, agar nilai jualnya tidak turun kembali. Sampai di sini, produk pariwisata ini te-lah memiliki nilai layak jual. Walaupun telah dikelola, namun sebelum terjual, produk terlebih dahulu perlu melalui proses pemasaran pariwisata. Kepada produk pariwisata tersebut selanjutnya dilakukanlah serangkaian kegiatan pemasaran. Melalui upaya pemasaran pariwisata, maka produk pariwisata tersebut dipasarkan kepada calon pembeli. Jika calon pembeli tersebut ber-minat dan membelinya, maka ia telah menjadi pasar pariwisata, yang disebut pula wisatawan. Sebagaimana kita ketahui, wisatawan itu sendiri dapat dibe-dakan atas wisatawan manacenagara dan wisatawan nusantara. Perbedaan dengan contoh di atas, dalam kepariwisataan, pembeli/wisatawan yang men-datangi produk pariwisata yang ditawarkan, di lingkungan tempat asal produk tersebut, sedangkan dalam bidang ekonomi produksi, produk yang di bawa pembeli ke tempat asal sang pembeli.

Page 49: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 49

Dari uraian di atas nyatalah bahwa untuk sampai para wisatawan datang untuk menikmati ODTW tersebut di lingkungan tempat ODTW tersebut berada, diperlukan adanya empat aspek pariwisata, yaitu : ► Produk pariwisata, ► Pengelolaan pariwisata, ► Pembiayaan pariwisata, ► Pemasaran pariwisata.

Karena keempat aspek pada hakekatnya lebih sering berada pada ling-kungan di sekitar ODTW, tepatnya di kawasan yang menjadi tujuan keda-tangan pasar pariwisata, maka keempatnya disebut sebagai Sisi Sediaan Pa-riwisata. Sedangkan pasar pariwisata itu sendiri merupakan Sisi Permintaan Pariwisata. Istilah ini dapat dikembalikan kepada pengertian dasar bidang ekonomi, yakni terbaginya kegiatan ekonomi atas demand dan supply. Secara diagramatis, apa yang dipaparkan di atas adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar E.4.

Hal-hal inilah yang menjadi titik perhatian utama dalam upaya pengem-bangan pariwisata, di suatu wilayah. Dalam pengembangan pariwisata di Pulau Bali misalnya, maka pertama-tama perhatian diberikan pada pe-ngembangan produk pariwisata, Guna memikat pasar pariwisata datang. Untuk mengelola produk yang sudah dikembangkan, maka dikembangkan pula bentuk pengelolaan pariwisata tertentu, yang ditopang oleh pembiayaan pariwisata. Semua itu bermuara pada rumusan rencana pemasaran pariwisata bagi kepariwisataan di Pulau Bali tersebut. Namun, pada uraian mendatang akan diuraikan bahwa di luar hal utama tersebut, adapula hal-hal lain yang juga perlu mendapat perhatian. Pengembangan pariwisata, tidak terbatas hanya pada unsur-unsur kepariwisataan di atas.

Mengenai istilah Produk Pariwisata, sesungguhnya Undang-Undang Kepari-wisataan tidak menggunakannya lagi. UU Kepariwisataan menukarnya de-ngan Usaha Pariwisata. Menurut Pasal 7 UU Kepariwisataan, Usaha Pari-wisata lebih lanjut dapat diuraikan atas : ► Usaha Jasa Pariwisata, ► Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata, ► Usaha Sarana Pariwisata.

Usaha Jasa Pariwisata, menurut Pasal 9 UU Kepariwisataan meliputi : ► Jasa biro perjalanan wisata. ► Jasa agen perjalanan wisata. ► Jasa pramuwisata. ► Jasa konvensi, perjalanan insentif dan pameran. ► Jasa impresariat. ► Jasa konsultan pariwisata. ► Jasa informasi pariwisata.

Sedangkan Usaha Sarana Pariwisata, menurut Pasal 23 UU Kepariwisataan, meliputi : ► Penyediaan akomodasi.

Page 50: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 50

► Penyediaan makan dan minum. ► Penyediaan angkutan wisata. ► Penyediaan sarana wisata tirta. ► Kawasan pariwisata.

Gambar E.4 : Aspek-Aspek Kepariwisataan

Wisatawan Mancanegara

Wisatawan Nusantara

Sisi Permintaan

Kepariwisataan

Produk Pariwisata

Pengelolaan Pariwisata

Pemasaran Pariwisata

Pembiayaan Pariwisata

Sisi Sediaan

Page 51: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 51

a. Faktor-Faktor Utama dan Lingkup Kajian Dalam Upaya Pengembangan Pariwisata

Setelah kita pahami unsur dasar kepariwisataan sebagaimana diurai-kan di atas, maka dalam upaya pengembangan pariwisata bagi suatu wilayah, perhatian tidak dapat dibatasi hanya pada hal-hal yang bersifat kepariwisataan belaka, yakni pada pembenahan unsur sediaan sarana jasa pariwisata, unsur pemasaran pariwisata, dan lain-lain. Demikian pula dengan upaya penyusunan rencana pengembangan pariwisata, ti-dak dapat hanya menyusun rencana-rencana pengembangan yang ter-batas pada berbagai unsur dari sisi kepariwisataan belaka, misalnya rencana sasaran pasar pariwisata, rencana pengembangan ODTW, rencana pemasaran pariwisata, dan seterusnya. Perhatian juga harus diberikan pada berbagai hal lain di luar hal-hal yang bersifat kepariwi-sataan tersebut.

Berarti, dalam upaya pengembangan pariwisata suatu wilayah, ada sejumlah hal lain yang harus pula diperhatikan, di luar hal-hal yang memang berbau kepariwisataan. Sebetulnya tak ada nama khusus untuk itu. Namun, untuk memudahkan, dapat dinamakan faktor-faktor ini sebagai Faktor Berpengaruh. Penulis lain ada yang menamakannya sebagai Contextual.

Jika demikian, apakah nama yang cocok untuk diberikan pada ke-4 unsur di atas ? Ada yang menyarankan nama Faktor Kepariwisataan untuk unsur-unsur yang telah diutarakan di atas. Dengan demikian, apa yang telah dipaparkan pada Gambar E.4 perlu penyesuaian lebih lanjut. Kepariwisataan tidak hanya terbagi atas Sisi Permintaan dan Sisi Sediaan. Sebelum itu, kepariwisataan harus terbagi dahulu atas Faktor Berpengaruh dan Faktor Kepariwisataan. Faktor Kepariwisataan inilah yang kemudian terbagi atas Sisi Permintaan dan Sisi Sediaan. Dengan demikian, Gambar E.4 perlu disesuaikan menjadi Gambar E.6.

Gambar E.5 : Faktor-Faktor Utama dalam Upaya Pengembangan Pariwisata

Fak torBerpengaruh

FaktorBerpengaruh

KepariwisataanKepariwisataan

Fak torKepariwisataan

FaktorKepariwisataan

Page 52: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 52

Dari hal-hal di atas, terlihat perlunya menelaah wilayah-wilayah lain yang lebih luas dari wilayah perencanaan itu sendiri, dalam upaya pengembangan pariwisata suatu wilayah. Dengan demikian, jika kita mengembangkan kepariwisataan pada suatu wilayah perencanaan, dengan luas wilayah yang lebih kecil dari suatu kabupaten, seluruhnya ada enam jenis wilayah yang harus dikaji, yaitu : 1- Kajian lingkup internasional, 2- Kajian lingkup nasional, 3- Kajian lingkup propinsi sekitar, 4- Kajian lingkup propinsi, 5- Kajian lingkup kabupaten. 6- Kajian lingkup kawasan / wilayah perencanaan.

Gambar E.6 : Rincian Lebih Lanjut Faktor Kepariwisataan atas Sejumlah Aspek

FaktorBerpengaruh

Wisatawan Mancanegara

Wisatawan Nusantara

Sisi Permintaan

Kepariwisataan

Produk Pariwisata

Pengelolaan Pariwisata

Pemasaran Pariwisata

Pembiayaan Pariwisata

Sisi Sediaan

Kepariwisataan

Page 53: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 53

Cakupan kajian pada keenam jenis wilayah kajian tersebut, secara umum meliputi Faktor Berpengaruh dan Faktor Kepariwisataan. Dari keenam jenis wilayah kajian tersebut, tidak seluruh unsur Faktor Ber-pengaruh dan Faktor Kepariwisataan perlu dikaji. Hal ini bergantung pada perwatakan tiap jenis wilayah serta tingkat kepentingan untuk itu.

b. Faktor Kepariwisataan

Sejauh ini sudah kita sepakati bahwa terdapat 2 faktor yang perlu di-perhatikan dalam upaya pengembangan pariwisata bagi suatu wilayah, yaki Faktor Kepariwisataan dan Faktor Berpengaruh. Faktor Kepariwi-sataan merupakan berbagai hal yang berhubungan langsung perkem-bangan kegiatan kepariwisataan di suatu wilayah. Sedangkan Faktor Berpengaruh merupakan berbagai hal di luar Faktor Kepariwisataan, yang secara tak langsung turut menentukan keberhasilan pengembang-an pariwisata. Pada bagian ini, pembahasan akan diarahkan untuk menggali lebih lanjut unsur-unsur dari Faktor Kepariwisataan.

1- Aspek Sisi Permintaan

Aspek Sisi Permintaan merupakan perwatakan mengenai wisata-wan bagi sediaan pariwisata di suatu wilayah. Dengan demikian, aspek ini merupakan wisatawan. Di Indonesia, wisatawan dapat dibedakan atas : a- Wisatawan mancanegara, b- Wisatawan nusantara.

Untuk dapat mengenali perwatakan wisatawan tersebut, maka ha-rus diperoleh informasi yang lengkap. Secara garis besar, informa-si yang hendaknya dapat diperoleh mengenai wisatawan, adalah informasi yang terinci atas : a- Demografis, b- Psikografis, c- Ekonomis, d- Geografis.

Informasi yang diharapkan dapat diperoleh untuk keempat hal tersebut, hendaknya bersifat time series, khususnya dengan sa-tuan waktu bulan. Dengan informasi yang demikian, maka perwa-takan seasonality dari kedatangan wisatawan dapat diketahui.

Dalam upaya memetik informasi mengenai keempat aspek di atas, maka salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan merumus-kan sejumlah variabel yang diusahakan sejauh mungkin dapat mewakili perwatakan informasi yang diinginkan. Untuk itu, disusun daftar pendataan yang meliputi 10 variabel sebagai berikut : a- Tempat asal. b- Maksud kunjungan (jenis kegiatan wisata yang dilakukan). c- Lama tinggal.

Page 54: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 54

d- Profil wisatawan. e- Jenis/tingkat pekerjaan dan tingkat pendapatan. f- Tempat-tempat yang dikunjungi dan ditinggali selama berwi-

sata. g- Perulangan kunjungan. h- Cara bepergian. i- Pola pengeluaran. j- Pandangan dan tingkat kepuasan wisatawan.

2- Aspek Sisi Sediaan

a- Usaha Pariwisata

Melanjutkan uraian yang lalu mengenai unsur dasar kepari-wisataan untuk Sisi Sediaan, maka titik tolak bagian ini akan dimulai dari pengertian Produk Pariwisata, atau yang menu-rut UU Kepariwisataan disebut sebagai Usaha Pariwisata. Secara definisi, Produk Pariwisata adalah kumpulan berba-gai hal yang dinikmati wisatawan dalam perjalanan wisata-nya, sejak meninggalkan tempat asalnya, hingga kembali. Usaha Pariwisata, menurut Bab IV, Pasal 7, UU Kepariwisa-taan, meliputi : 1) Usaha Jasa Pariwisata. 2) Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata. 3) Usaha Sarana Pariwisata.

Ketiga hal tersebut di atas, satu demi satu akan ditelaah dan dirinci lebih lanjut atas anasir masing-masing satu demi satu, dalam uraian di bawah ini.

1) Usaha Jasa Pariwisata

Usaha Jasa Pariwisata, menurut Bab IV, Pasal 9, UU Kepariwisataan, adalah meliputi : a) Jasa biro perjalanan wisata. b) Jasa agen perjalanan wisata. c) Jasa pramuwisata. d) Jasa konvensi, perjalanan insentif, dan pameran. e) Jasa impresariat. f) Jasa konsultan pariwisata. g) Jasa informasi pariwisata.

Aspek sisi sediaan untuk unsur jasa pariwisata, utama-nya ditelaah pada tingkat wilayah perencanaan. Na-mun, pada tingkat di luar wilayah perencanaan perlu pula ditelaah, sebagai landasan penyusunan rencana pengembangan yang terkait dengan wilayah yang lebih luas, serta sebagai landasan analisis daya saing antara Usaha Pariwisata di wilayah perencanaan dengan Usa-

Page 55: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 55

ha Pariwisata di sekitarnya. Umumnya, penelaahan di-lakukan pada tingkat propinsi sekitar, propinsi, kabupa-ten dan wilayah perencanaan.

Kajian mengenai unsur-unsur sarana jasa pariwisata, umumnya diarahkan pada data : a) Jumlah, pertambahan dan persebaran tiap jenis

jasa biro perjalanan wisata. b) Kualitas layanan jasa biro perjalanan wisata. c) Tingkat pemanfaatan jasa biro perjalanan wisata.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, penelaahan atas jasa pariwisata secara garis besar terbagi dua, yaitu penelaahan atas jasa pariwisata pariwisata di luar wilayah perencanaan dan penelaahan jasa pariwisata pariwisata di dalam wilayah perencanaan. Dari penela-ahan ini, hasil yang diharapkan adalah : a) Penelaahan jasa pariwisata pariwisata di luar wila-

yah perencanaan dilakukan dalam rangka melaku-kan analisis daya saing, antara jasa pariwisata pa-riwisata di wilayah perencanaan terhadap jasa pa-riwisata pariwisata lain di luar wilayah perencana-an.

b) Penelaahan jasa pariwisata pariwisata dalam ling-kup wilayah perencanaan, dilakukan sebagai lan-dasan pengembangan kepariwisataan di wilayah perencanaan itu sendiri. Dari penelaahan ini hen-daknya dapat diperoleh kinerja pengembangan berbagai jasa pariwisata pariwisata di wilayah pe-rencanaan.

2) Pengusahaan ODTW

Dalam upaya penelaahan atas ODTW, lingkup pene-laahan secara garis besar terbagi dua, yaitu : a) Penelaahan atas ODTW di luar wilayah peren-

canaan, b) Penelaahan ODTW di dalam wilayah perencana-

an.

Penelaahan ODTW di luar wilayah perencanaan dilaku-kan dalam rangka melakukan analisis daya saing, an-tara ODTW di wilayah perencanaan terhadap ODTW lain di luar wilayah perencanaan.

Penelaahan ODTW dalam lingkup wilayah perenca-naan, dilakukan sebagai landasan pengembangan ke-pariwisataan di wilayah perencanaan itu sendiri. Dari

Page 56: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 56

penelaahan ini hendaknya dapat diperoleh kinerja pe-ngembangan berbagai ODTW di wilayah perencanaan.

Untuk ODTW yang akan diteliti, hendaknya dapat di-himpun informasi yang meliputi : a) Letak/persebaran ODTW. b) Jenis ODTW. c) Daya tarik, yang penilaiannya tergantung pada

jenis ODTW tersebut. d) Teknis dan resiko dampak lingkungan yang berpe-

luang timbul, jika ODTW dikembangkan. e) Pencapaian ke ODTW. f) Sediaan dan kualitas sarana pariwisata di sekitar

ODTW, yang menunjukkan tingkat pengembang-an yang sudah dilakukan pada ODTW.

g) Tingkat pemanfaatan oleh wisatawan. h) Maksud kunjungan wisatawan yang berpeluang

dipenuhi pada ODTW. i) Kegiatan wisata yang berpeluang dikembangkan

di ODTW.

3) Usaha Sarana Pariwisata

Sebagaimana telah disebutkan di atas, penelaahan atas sarana pariwisata secara garis besar terbagi dua, yaitu penelaahan atas sarana pariwisata di luar wilayah perencanaan dan penelaahan sarana pariwisata di da-lam wilayah perencanaan. Dari dua jenis penelaahan ini, hasil yang diharapkan adalah : a) Penelaahan sarana pariwisata di luar wilayah pe-

rencanaan dilakukan dalam rangka melakukan analisis daya saing, antara sarana pariwisata di wilayah perencanaan terhadap sarana pariwisata sarana pariwisata lain di luar wilayah perenca-naan.

b) Penelaahan sarana pariwisata dalam lingkup wila-yah perencanaan, dilakukan sebagai landasan pe-ngembangan kepariwisataan di wilayah perenca-naan itu sendiri. Dari penelaahan ini hendaknya dapat diperoleh kinerja pengem-bangan berbagai sarana pariwisata di wilayah perencanaan.

Usaha Sarana Pariwisata, menurut Pasal 23, UU Kepa-riwisataan, meliputi : a) Penyediaan akomodasi, b) Penyediaan makan dan minum, c) Penyediaan angkutan wisata, d) Penyediaan sarana wisata tirta, e) Kawasan pariwisata.

Page 57: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 57

Untuk unsur : a) Akomodasi, b) Makan dan minum, umumnya ditelaah pada tingkat wilayah perencanaan. Namun, pada tingkat di luar wilayah perencanaan perlu pula ditelaah, sebagai landasan penyusunan rencana pengembangan yang terkait dengan wilayah yang lebih luas, serta sebagai landasan analisis daya saing antara Usaha Pariwisata di wilayah perencanaan dengan Usa-ha Pariwisata di sekitarnya.

b- Pengelolaan Pariwisata

Kajian bagian ini dapat dibedakan atas kajian atas keadaan yang ada saat ini, dan kajian untuk perumusan rencana pe-ngembangan. Untuk kajian pertama, perlu diperhatikan bah-wa pada umumnya, upaya pengaturan pengelolaan dan ke-lembagaan pariwisata dilakukan oleh pemerintah, baik pe-merintah pusat, propinsi, ataupun kabupaten. Untuk keadaan yang demikian, kajian atas aspek pengelolaan dan kelemba-gaan pariwisata, dilakukan pada kajian faktor berpengaruh, aspek kebijaksanaan pembangunan pemerintah.

Pada umumnya jika kegiatan kepariwisataan pada suatu wilayah belum berkembang, maka belum ada pengaturan pengelolaan dan kelembagaan tertentu. Dengan demikian, kajian bagian ini terpusat pada wilayah perencanaan.

Untuk kajian perumusan rencana pengembangan, maka di sini dapat dihasilkan beberapa usulan yang dapat dipertim-bangkan untuk menjadi masukan bagi kebijaksanaan peme-rintah mendatang. Usulan ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang belum diatur kebijaksanaan pemerintah saja. Na-mun, dapat pula mengusulkan bentuk pengelolaan dan ke-lembagaan lain.

Suatu kegiatan pengembangan atas suatu unsur kepariwi-sataan, khususnya unsur Usaha Pariwisata dari aspek sisi sediaan yang merupakan bagian dari faktor kepariwisataan, pada hakekatnya bermula sejak hal tersebut belum ada, sampai hal tersebut beroperasi. Secara lengkap, tahapan tersebut meliputi : 1) Studi dan perencanaan. 2) Pembangunan. 3) Pengoperasian. 4) Evaluasi operasi.

Page 58: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 58

Setelah mencapai tahap terakhir tersebut, tahapan akan bergulir kembali ke tahap, awal, studi dan perencanaan. Dengan demikian terbentuk siklus.

Dengan demikian, bagi suatu unsur Usaha Pariwisata ter-tentu, untuk melaksanakan seluruh tahapan pengembangan di atas, dibutuhkan adanya pengaturan pengelolaan dan ke-lembagaan. Berarti, yang dibutuhkan tersebut berupa peng-aturan pengelolaan dan kelembagaan seluruh unsur Usaha Pariwisata, sejak dari studi dan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, sampai tahap evaluasi operasi unsur terse-but. Hal-hal inilah yang harus ditemu-kenali dan dikaji keber-adaannya di wilayah perencanaan. Penelitian atas hal-hal tersebut, tidak terbatas hanya pada instansi pemerintah saja, namun juga untuk hal-hal yang diperansertai lembaga swasta. Secara lebih khusus, hal-hal yang ditelaah pada kajian pengelolaan dan kelembagaan, antara lain meninjau : 1) Perwilayahan kepariwisataan nasional :

a) Status kepariwisataan propinsi tempat beradanya wilayah perencanaan, yakni apakah sudah meru-pakan DTW atau belum.

b) Kedudukan propinsi tempat beradanya wilayah perencanaan, yaitu dalam kanwil mana.

2) Keberadaan organisasi kepariwisataan, serta lingkup tugasnya : a) Keberadaan dinas pariwisata pada tingkat pro-

pinsi dan kabupaten/kota. b) Keberadaan organisasi-organisasi yang meman-

tau pengoperasian unsur Usaha Pariwisata, se-perti ASITA, PHRI, dan sebagainya.

c) Keberadaan lembaga yang mengurus kawasan pariwisata di wilayah perencanaan, misalnya PT Biak TDC.

d) Keberadaan lembaga swasta yang mengelola pe-ngembangan ODTW atas dasar swadaya, seperti koperasi desa wisata, yayasan tertentu, dan seba-gainya.

3) Proses yang harus ditempuh dalam investasi. 4) Keberadaan peraturan dan perundangan kepariwisata-

an. 5) Keberadaan peraturan dan perundangan penggunaan

lahan dan pembangunan. 6) Hal-ikhwal pembiayaan perbankan :

a) Capital cost. b) Pengagunan. c) Grace period. d) Loan periode.

7) Pelaksanaan koordinasi antar :

Page 59: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 59

a) Pemerintah propinsi/kabupaten. b) Instansi dalam lingkup propinsi/kabupaten.

c- Pemasaran Pariwisata

Pada umumnya, upaya pemasaran pariwisata dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah pusat dalam bentuk pe-masaran di luar negeri. Upaya pemasaran yang dilakukan oleh pemerintah propinsi terkadang juga dilakukan, misalnya dalam bentuk keikutsertaan pada pameran-pameran kepari-wisataan di propinsi lain, khususnya propinsi-propinsi yang banyak dikunjungi wisatawan. Untuk kondisi yang demikian, kajian atas aspek pemasaran pariwisata, dilakukan pada ka-jian faktor berpengaruh, aspek kebijaksanaan pembangunan pemerintah. Hal yang perlu dilakukan pada bagian ini adalah menelaah upaya pemasaran pariwisata yang tidak merupa-kan kebijaksanaan pemerintah, namun telah dilakukan untuk wilayah perencanaan. Sedangkan untuk perumusan keluar-an perencanaan, usulan yang dihasilkan tidak terbatas pada hal-hal yang tidak akan menjadi kebijaksanaan pemerintah. Dapat pula dituangkan usulan yang dapat dipertimbangkan untuk menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah.

Pada Pasal 7, UU Kepariwisataan, disebutkan bentuk-bentuk usaha pariwisata, yaitu meliputi : 1) Usaha jasa pariwisata. 2) Pengusahaan objek dan daya tarik wisata. 3) Usaha sarana pariwisata.

Bagi tiap unsur usaha pariwisata di atas, masing-masing ter-dapat pengusahanya. Para pengusaha ini terkadang melaku-kan upaya pemasarannya sendiri. Hal-hal seperti inilah, khu-susnya yang ditujukan bagi wilayah perencanaan, yang perlu ditemukenali.

Dalam mengkaji aspek pemasaran pariwisata yang bukan merupakan kebijaksanaan pemerintah, aspek-aspek yang ditelaah meliputi : 1) Arahan pengembangan produk, 2) Arahan pengembangan penentuan harga, 3) Arahan pengembangan distribusi, 4) Arahan pengembangan promosi dan publisitas, 5) Arahan bidang penjualan, 6) Arahan pelayanan untuk pelanggan.

Page 60: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 60

2. Aspek Wisatawan

Aspek Sisi Permintaan merupakan perwatakan mengenai wisatawan bagi se-diaan pariwisata di suatu wilayah. Dengan demikian, aspek ini merupakan wisatawan. Di Indonesia, wisatawan dapat dibedakan atas : a. Wisatawan mancanegara, b. Wisatawan nusantara.

Untuk dapat mengenali perwatakan wisatawan tersebut, maka harus diper-oleh informasi yang lengkap. Secara garis besar, informasi yang hendaknya dapat diperoleh mengenai wisatawan, adalah informasi yang terinci atas : a. Demografis, b. Psikografis, c. Ekonomis, d. Geografis.

Informasi yang diharapkan dapat diperoleh untuk keempat hal tersebut, hen-daknya bersifat time series, khususnya dengan satuan waktu bulan. Dengan informasi yang demikian, maka perwatakan seasonality dari kedatangan wi-satawan dapat diketahui.

Dalam upaya memetik informasi mengenai keempat aspek di atas, maka sa-lah satu upaya yang ditempuh adalah dengan merumuskan sejumlah varia-bel yang diusahakan sejauh mungkin dapat mewakili perwatakan informasi yang diinginkan. Untuk itu, disusun daftar pendataan yang meliputi 10 va-riabel sebagai berikut : a. Tempat asal. b. Maksud kunjungan (jenis kegiatan wisata yang dilakukan). c. Lama tinggal. d. Profil wisatawan. e. Jenis/tingkat pekerjaan dan tingkat pendapatan. f. Tempat-tempat yang dikunjungi dan ditinggali selama berwisata. g. Perulangan kunjungan. h. Cara bepergian. i. Pola pengeluaran. j. Pandangan dan tingkat kepuasan wisatawan.

3. ODTW

Objek dan daya tarik wisata (ODTW) pada hakekatnya merupakan unsur uta-ma Usaha Pariwisata (Pasal 7, UU Kepariwisataan), sebagaimana telah diuraikan di atas. Ada yang menyebut ODTW sebagai atraksi wisata atau sumber daya pariwisata. Pada masa-masa yang lalu, ODTW dibedakan an-tara objek wisata dan atraksi wisata. Dengan adanya UU Kepariwisataan, maka kedua istilah tersebut disatukan menjadi objek dan daya tarik wisata (ODTW).

Page 61: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 61

Dengan merujuk kepada UU Kepariwisataan (Bab III, Pasal 4) dan Penje-lasan Atas UU Kepariwisataan tersebut, khususnya penjelasan atas Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20, ODTW diuraikan atas : a. ODTW ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud :

1- Keadaan alam : a- Taman laut, b- Pantai, c- Danau, d- Gua, e- Kawah, f- Air terjun,Karang, g- Air panas, h- Gunung.

2- Flora. 3- Fauna.

b. ODTW hasil karya manusia yang berwujud : 1- Museum. 2- Peninggalan purbakala. 3- Peninggalan sejarah :

a- Candi. b- Keraton. c- Prasasti. d- Monumen :

1) Monumen perjuangan, 2) Monumen perolehan Adipura, 3) Patung.

4- Seni budaya : a- Pusat-pusat kesenian dan budaya :

1) Sanggar tari, 2) Sanggar seni pentas, 3) Sanggar seni lukis.

b- Pusat-pusat dan tempat-tempat budaya, industri dan kera-jinan : 1) Desa industri, 2) Padepokan seni tari.

c- Lokasi wisata wisata kesehatan : 1) Sumber air panas mineral, 2) Tempat pembuatan jamu.

5- Wisata agro : a- Perkebunan teh, b- Perkebunan coklat, c- Perkebunan kopi, d- Perkebunan bunga.

6- Wisata tirta : a- Hotel apung, b- Dermaga marina, c- Olahraga air.

Page 62: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 62

7- Wisata buru : a- Berburu babi, b- Berburu rusa.

8- Wisata petualangan alam, a- Kebun binatang, b- Tempat penangkaran buaya, c- Taman safari.

9- Taman rekreasi, 10- Tempat hiburan.

Dalam UU Kepariwisataan (Bab IV, Pasal 16), disebutkan bahwa dalam pe-ngusahaannya, ODTW dapat dikelompokkan ke dalam : a. Pengusahaan ODTW alam. b. Pengusahaan ODTW budaya. c. Pengusahaan ODTW minat khusus.

Dengan merujuk pada Penjelasan Atas UU Kepariwisataan tersebut, khusus-nya penjelasan atas Pasal 18, 19 dan 20, maka ketiga jenis pengelompokan tersebut dapat dirinci lebih lanjut, yakni sebagai berikut : a. ODTW fisik (site attraction), dapat dirinci lebih lanjut. Salah satu bentuk

rincian tersebut adalah sebagai berikut : 1- Peninggalan sejaran dan purbakala. 2- Museum. 3- Art gallery. 4- Taman budaya. 5- Kampung tradisional.

b. Sedangkan ODTW seni budaya (attraction), dapat dirinci, antara lain atas : 1- Kesenian. 2- Adat dan upacara tradisional. 3- Kerajinan. 4- Festival. 5- Tempat ziarah.

4. Kegiatan Wisata

Kegiatan wisata, pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan de-ngan memanfaatkan keberadaan ODTW/atraksi pariwisata, yang selengkap-nya telah diuraikan di atas. Studi Tourism Sector Programming and Policy Development tahun 1992, membagi kegiatan wisata atas :

a. Business Centres

1- Kegiatan wisata yang motivasi utamanya terkait dengan kegiatan usaha guna lahan tertentu, misalnya perdagangan, investasi, eksplorasi, produksi, eksploitasi dan ekshibisi.

Page 63: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 63

2- Wisatawan selain melakukan kegiatan wisata di atas, dapat saja melakukan kegiatan wisata lain yang termasuk dalam kategori wisata lainnya.

3- Sebagai ODTW (pembangkit kegiatan wisata) : a- Keberadaan fasilitas usaha/niaga, b- Sumber daya alam, c- Peluang investasi/usaha.

b. Leisure Activities

1- Perjalanan yang tujuan utamanya adalah memanfaatkan waktu luang untuk : a- Berjemur, b- Berjalan-jalan, c- Makan, d- Sightseeing, e- Bermain, f- Renang pantai.

2-. Tak ada sasaran khusus, sekedar mencari suasana yang : a- Relaxing, b- Recreational.

3- Sebagai ODTW (pembangkit kegiatan wisata) dapat dibedakan atas :

a- Urban : 1) Fasilitas rekreasi, 2) Shopping centre, 3) Taman, 4) Restoran.

b- Non-urban : 1) Pantai, 2) Camping ground, 3) Second homes area, 4) Iklim, 5) Pemandangan, 6) Kebun teh, 7) Kebun nanas, 8) Dan lain-lain.

c. Meeting and Convention (MICE)

1- Perjalanan dengan tujuan : a- Meeting, b- Convention, disertai :

Page 64: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 64

a- Fore conference tour, b- Post conference tour, c- Ladies night.

2- Syarat : a- Lokasi strategis terhadap lingkungan wisata, b- Dekat dengan pintu gerbang.

3- Sebagai ODTW (pembangkit kegiatan wisata) dapat dibedakan atas : a- Fasilitas convention centre. b- Lingkungan yang mendukung, seperti kantor-kantor perwa-

kilan internasional, lembaga pendidikan tinggi, lembaga pe-nelitian, dan lain-lain.

d. Marine (Taman Laut)

1- Kegiatan yang terutamanya berkaitan dengan adanya taman laut.

2- Merupakan kegiatan yang menjelajahi alam bawah air/laut yang dilakukan untuk tujuan : a- Olahraga, b- Rekreasi, c- Penelitian, d- Profesi.

3- Pembagian kegiatan penyelaman : a- Selam rekrasi, b- Selam olahraga, c- Selam industri, d- Selam komersial, e- Selam militer, f- Selam sain.

e. Adventure

1- Perjalanan wisata yang sasarannya untuk mendapatkan penga-laman istimewa.

2- Jenis perjalanan dengan ODTW yang dituju :

a- Alam : 1) Hutan, 2) Gunung, 3) Suaka alam, 4) Suaka marga satwa.

b- Kehidupan masyarakat : 1) Kasino/judi, 2) Kota besar.

Page 65: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 65

3- Contoh ODTW : a- Gunung Krakatau, b- Cagar Alam Ujung Kulon, c- Sungai Mamberamo, d- Kota metropolitan (yang sangat menarik bagi penduduk kota

kecil/desa), e- Suku Dani di Lembah Wamena.

f. Social/Cultural Heritage

1- Perjalanan wisata yang motivasi utamanya terkait dengan : a- Budaya suatu tempat/negara, b- Physical establishment, c- Events, d- Kegiatan-kegiatan kehidupan masyarakat.

2- Contoh : a- Bali dengan upacara Ngaben, b- Borobudur dengan upacara Waisak, c- Wamena (Suku Dani) dengan upacara bakar batu, d- Agats (suku Asmat) dengan upacara memakan ulat sagu, e- Mesjid Agung Al Azhar dengan Sholat Idul Fitri di lapangan

mesjid,

3- ODTW pembangkit wisata : a- Kehidupan masyarakat yang unik, b- Pusat kerajinan/cenderamata, c- Sistem kemasyarakatan, d- Upacara-upacara, e- Candi, f- Pura, g- Gereja, h- Museum, i- Hari-hari besar keagamaan di tempat tertentu, j- Hari-hari besar adat di tempat tertentu

g. Sport

1- Olahraga prestasi.

2- ODTW pembangkit wisata :

a- Fasilitas olahraga : 1) Senayan, 2) Ancol, 3) Sirkuit balap mobil, 4) Jalur jalan antara Paris - Dakar.

b- Lingkungan alam yang cocok untuk olahraga tertentu :

Page 66: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 66

1) Kebun the di Puncak untuk olahraga layang gantung, 2) Pantai Banyuwangi untuk selancar, 3) Sungai citarum untuk arum jeram, 4) Puncak Jayawijaya yang bersalju untuk ski di kawasan

tropis.

h. Religious Tourism

1- Perjalanan wisata dengan tujuan ziarah.

2- Pembangkit wisata : a- Makam, b- Mesjid, c- Gereja, d- Kelenteng.

3- Contoh ODTW : a- Mesjid Banten Lama, b- Gunung Kawi, c- Makam Bung Karno do Blitar, d- Makam Sunan Gunung Jati, e- Makam Si Pitung, f- Ka’bah di Mekah.

a. Education

1- Perjalanan yang tujuan utamanya untuk memperoleh pelajaran di berbagai bidang : a- Ilmu pengetahuan, b- Teknologi, c- Arkeologi.

2- Contoh ODTW : a- IPTN, b- Museum Wayang, c- ITB, d- Situs arkeologi, e- Industri tekstil, f- Industri timah di Pulau Bangka, g- Taman makam pahlawan, h- Kebun Binatang Ragunan, i- Planetarium, j- Agricultural estate, k- Fishery, l- Peternakan buaya, m- Sekolah gajah.

Page 67: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 67

b. Shopping

1- Perjalanan wisata dengan tujuan utama berbelanja.

2- Contoh ODTW pembangkit kegiatan wisata : a- Shopping centre/arcade/mall, b- Jalan Cihampelas, c- Industri sepatu di Cibaduyut,

c. Health

1- Perjalanan wisata dengan tujuan utama membugarkan tubuh.

2- Contoh ODTW pembangkit kegiatan wisata : a- Sumber air panas di Ciseeng, Bogor, b- Health clinic centre, c- Spa.

Page 68: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 68

Lampiran F

Perencanaan Kepariwisataan Alam1

Ir. Chafid Fandeli, M.S.

1. Pendahuluan

a. Deskripsi Umum

Perencanaan wisata alam mempunyai hirarkhi secara makro, meso dan mikro. Perencanaan wisata alam dapat berada pada dimensi wilayah, atau resort. Sementara perencanaan meso merupakan perencanaan kawasan dan perencanaan mikro pada tapak atau objek dan daya tarik wisata.

Di dalam perencanaan pengembangan wilayah/resort/kawasan/ODT wisata alam, harus memperhatikan beberapa prinsip (Douglass, 1978) : 1- Pengembangan wisata alam harus sesuai dengan perencanaan

tata ruang. 2- Menyesuaikan antara potensi alam dengan tujuan pengem-

bangan. 3- Sedapat mungkin diusahakan agar pengembangan yang dilaku-

kan mempunyai fungsi ganda. 4- Sejauh mungkin mengalokasikan tetap adanya areal alami yang

tidak dikembangkan.

Adanya empat prinsip ini maka pengembangan yang direncanakan memanfaatkan sarana prasarana transportasi yang ada dan untuk fasilitas, utilitas, pola pengembangannya menggunakan model se-tempat. Adanya intervensi bentuk dan pola pengembangan dan luar akan kehilangan keaslian alamnya.

Perencanaan kepariwisataan alam mempunyai aspek yang cukup komplek. Pengembangan tidak hanya pada sisi produk wisata tetapi juga pasar wisata. Oleh, karena sifat dan perilaku ekosistem alami sering rentan dan terbatas daya dukungnya maka pengembangan yang dilakukan menggunakan pendekatan product driven. Pengem-bangan pasar disesuaikan dengan potensi, sifat dan karakter objek dan daya tarik wisata yang tersedia. Sifat dan karakter wisata alam agak berbeda dengan kepariwisataan yang lain terutama terletak pada aspek insitu, perishable, sustainable dan non recoverable.

1 Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata - Universitas Gajah Mada, 16 – 21 Oktober 2000.

Page 69: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 69

Pola pengembangan yang lain yang harus diperhatikan adalah per-kembangan wisata Model Sigmoid. Model Sigmoid ini terbentuk oleh hu-bungan antara waktu dan jumlah wisatawan. Dari Model Sigmoid dapat diindikasikan bahwa pada saat wisatawan telah terlalu banyak, menim-bulkan kejenuhan, maka upaya pengembangan harus dilaksanakan.

b. Maksud Bimbingan Pada Modul

Maksud bimbingan dari modul ini adalah untuk memperkenalkan berbagai konsep dalam perencanaan pengembangan wisata alam.

c. Tujuan Bimbingan Pada Modul

Tujuan bimbingan modul ini adalah : 1- Mengaplikasikan konsep yang ada ke dalam perencanaan wisata

alam. 2- Memberikan arahan dan pedoman dalam membuat perenca-naan

wisata alam.

d. Pendahuluan

Pada awal dekade delapan puluhan, bersamaan dengan adanya Rio Summit, mulai terjadi pergeseran pada pariwisata global. Pergeseran ini terjadi seiring dengan adanya kekhawatiran penduduk planet bumi ini akan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Keingintahuan penduduk di negara-negara industri terhadap bangsa-bangsa di selatan yang kaya akan bahan baku industri mendorong mereka melakukan perjalanan ke benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Indonesia yang merupakan satu di antara banyak negara yang memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sebagai daerah tujuan wisata utama di Asia Tenggara dan Asia Pasifik.

Kekayaan dan keragaman hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaat-kan secara arif dan bijaksana. Pemanfaatan yang konservasif pada keragaman hayati dan ekosistemnya dapat dilaksanakan dengan pe-ngembangan sebagai objek dan daya tarik wisata. Pariwisata sebagai green industry akan dapat mengerem taju pengrusakan sumber daya alam dan lingkungan. Namun demikian apabila tidak direncanakan dengan konsep pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan, kerusakan lingkungan akan terjadi.

Kebijakan, strategi, dan program pembangunan pariwisata alam dite-tapkan dengan rambu-rambu konservasi. Sementara itu kegagalan dalam pengembangan kepariwisataan alam dapat terjadi bila tidak memperhatikan daya dukung dan adanya pergeseran paradigma. Pa-radigma baru di bidang pariwisata akan dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Paradigma yang didefinisikan oleh Dunlape dan Van Liere (Jackson,

Page 70: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 70

1989) sebagai nilai-nilai dasar yang terdapat dalam masyarakat, menjadi hal yang sangat penting dalam perencanaan pariwisata.

Sementara itu dalam perencanaan pengembangan kepariwisataan alam di daerah tujuan wisata, resort, kawasan, dan ODTW harus memperhatikan berbagai faktor. Kepariwisataan alam mempunyai sifat dan perilaku yang spesifik. Setiap lokasi objek dan daya tarik wisata mempunyai ciri dan sifat yang spesifik. Justru daya tariknya ada pada sifat yang khas ini. Kerentanan ekosistem menjadi bagian yang kadang kadang justru merupakan atraksi wisata alam. Daya dukung menjadi tolok ukur penting keberhasilan dalam pengelolaan suatu ODTW, kawasan atau resort wisata.

e. Prinsip Dasar Pengembangan Kepariwisataan

Apabila suatu destinasi berupa daerah, resort, kawasan, atau objek dikembangkan, maka kedatangan wisatawan akan meningkat. Pe-ningkatan dari waktu ke waktu terjadi sangat nyata. Pada umumnya perkembangan ini mengalami 4 (empat) tahap. Tahap pertama me-rupakan awal dan perkembangan, ditandai dengan jumlah wisatawan, tetapi kurang signifikan. Pada tahap kedua, jumlah wisatawan meningkat tajam. Perkembangan jumlah wisatawan ini kemudian melambat atau boleh dikatakan berhenti pada tahap ketiga. Pertum-buhan yang melambat ini seiring dengan terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Terjadinya perlumbuhan jumlah wisatawan yang menurun, karena mulai terrjadi kejenuhan pasar wisata sebagai akibat ketidakpuasan wisatawan terhadap pelayanan dan kualitas ODTW alam. Hal ini bersamaan dengan mulai terjadinya kerusakan sumber daya alam. Kondisi seperti ini disebut daya dukung lingkungan pariwisata telah terlampaui. Pada saat demikian ini, upaya pembinaan pariwisata sangat diperlukan. Hal ini merupakan tahap keempat. Proses ini akan berulang terus.

Adanya upaya pengembangan pariwisata maka waktu tercapainya daya dukung akan dapat diperpanjang. Di samping itu manfaat wisata dari suatu ODTW, kawasan, resort, atau daerah tujuan wisata akan dapat ditingkatkan.

Pada hakekatnya daya dukung pariwisata ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor yang signifikan pempengaruhi daya dukung lingkungan ODTW atau kawasan adalah jumlah wisatawan, aktivitas wisatawan, intensitas, pengaruh wisatawan, kualitas dan daya pulih secara alami ODTW, serta tingkat pengelolaan.

Untuk dapat mempertahankan keaslian. keutuhan, dan kelestarian alam dan lingkungan, pola pengembangan kepariwisataan alam didasarkan pada product driven. Semakin rentan suatu kawasan, seperti cagar alam, suaka margasatwa, atau taman nasional. maka pengem-bangnnya harus berdasar product driven. Secara berangsur semakin

Page 71: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 71

longgar atau bahkan ODTW buatan, maka pengembangan dapat diarahkan ke market driven.

Pengembangan product driven memang tidak dapat menghasilkan jumlah kunjungan wisatawan yang banyak dan meningkat tajam. Tetapi wisatawan berkunjung jumlahnya relatif sedikit dengan segmen yang kecil. Wisatawan yang berkunjung ke ODTW alam tersegmentasi, yaitu pada wisatawan minat khusus. Perjalanan wisatawan yang demikian menginginkan suatu perjalanan yang berkualitas. Wisatawan akan dapat secara langsung kontak secara mendalam dengan objek alam atau masyarakat setempat. Sebagai konsekuensi pola perjalanan yang demikian adalah perjalanan yang lama, sehingga secara tidak langsung meningkatkan length of stay. Barangkali perjalanan yang demikian menimbulkan belanja harian wisatawan (tourist expenditure) yang rendah, namun mempunyai manfaat meningkatkan peluang kerja dan peningkatan penyebaran pembangunan yang lebih luas dan merata, sebab in route benefit dari erjalanan wisatawan ke objek dan atraksi alam lebih banyak dan beragam.

Di dalam perencanaan pengembangan kepariwisatawan berpedoman pada visi dan misi kepariwisataan. Visi dan misi kepariwisalaan di daerah diturunkan dan dijabarkan dari visi dan misi kepariwisataan nasional. Adanya identitas, kondisi yang spesifik, dan berbagai pa-radigma yang berkembang di daerah menjadi bahan dasar dalam menjabarkan visi dan misi nasional. Adanya kondisi yang berkembang di daerah ini dapat menonjolkan aan pengembangan identitas dan jati din daerah. Hal ini sekaligus dapat dipergunakan sebagai keunggulan komparatif dan keunggulann kompetitif kepariwisataan daerah.

2. Perencanaan Pengembangan Kepariwisataan Alam

"It's recognized that tourism may be one of several development options open to a location. Although tourism can bring economic advantages to a destination country, 'it can also bring economic advantages to destination country, it can also bring social change and environmental deterioration (Mill and Morrison, 1985)."

a. Karakter Atraksi Wisata Alam

Kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh keberadaan perilaku dan sifat dan objek dan daya tarik alam. Atraksi alam berupa gunung, pan-tai, sungai, hutan, lembah, ngarai, goa, dan hutan mempunyai kondisi, sifat, dan perilaku yang harus diperhatikan dalam perencanaan pe-ngembangan objek dan daya tarik wisata alam. Menurut Pandeli (1999), sifat dan karakter kepariwisataan alam adalah :

Page 72: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 72

1- In Situ

Objek dan daya tarik wisata alam hanya dapat dinikmati secara utuh dan sempuma di ekosistemnya. Pemindahan objek ke ex situ akan menyebabkan terjadinya perubahan objek dan atraksinya. Pada umumnya wisatawan kurang puas apabila tidak mendapat-kan sesuatu secara utuh dan apa adanya.

2- Perishable

Suatu gejala atau proses ekosistem hanya terjadi pada waktu ter-tentu. Gejala atau proses alam ini berutang dalam kurun waktu tertentu. Kadang sikiusnya beberapa tahun, bahkan ada yang puluhan atau ratusan tahun. Objek dan daya tarik wisata alam yang demikian membutuhkan pengkajian dan pencermatan secara mendalam untuk dipasarkan.

3- Non Recoverable

Suatu ekosistem alam mempunyai sifat dan perilaku pemutihan yang tidak sama. Pemulihan secara alami sangat tergantung dari faktor dalam (genotype) dan faktor luar (phenotype). Pada umum-nya pemulihan secara alami terjadi dalam waktu yang panjang. Bahkan, ada sesuatu objek yang hampir tak terpulihkan bila ada perubahan. Untuk mempercepat pemulihan biasanya dibutuhkan tenaga dan dana yang sangat besar. Apabila upaya ini berhasil, tetapi tidak akan sama dengan kondisi semula.

4- Non Substitutable

Di dalam suatu daerah atau mungkin kawasan terdapat banyak objok alam. Objek alam ini, jarang sekali yang memiliki kemiripan yang sama. Objek dan daya tarik wisata, misalnya pantai antara satu tempat dengan tempat yang lain akan berbeda.

Objek dan daya tarik wsata alam Indonesia tertetak di berbagai tipe ekosistem, baik di darat maupun laut. Secara alami ODTW alam ini tedapat di Taman Nasional, Cagar alam, suaka mar-gasatwa, hutan wisata, dan Taman Buru. Di samping itu terdapat ODTW alam yang dibina dan dikelola oleh manusia sebagai man made environment dan terdapat di berbagai penggunaan lahan. Hutan produksi, hutan lindung, lahan pertanian, perkebunan, serta ruang terbuka hijau menambah kekayaan ODTW alam.

Untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kekayaan ekofak dan artefak maka diperlukan perencanaan. Perencanaan ini dilakukan dengan membuat pemintakatan atau zonation. Pada umumnya di dalam kawasan konservasi dilakukan zonasi mulai dan yang ketat dilindungi hingga yang intensik pemanfaatannya, yaitu : a- sanctuary zone,

Page 73: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 73

b- wilderness zone, c- outdoor recreation zone yang terdiri atas :

1) extensive used zone, 2) intensive used zone.

Sementara di daerah paling luar yang mengelilingi kawsan petestarian alam konservasi, yaitu zone penyangga atau buffer zone. Pada zone terakhir ini dimaksudkan agar pengembangan dan semua pengaruh dari tuar dapat diakomodasikan pada zone. Secara garis besar kriteria pengembangan berbagai kawasan wisata alam (Douglass, 1978) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel F.1 : Kriteria Pemanfaatan Kawasan Wisata Alam

No. Pengembangan Kawasan Wisata Alam Jumlah Hari Orang

Kunjung (Acre/Tahun)

1 Intensif Area Wisata Rombongan (tidak rentan)

2.000

2 Ekstensif Area Ekosistemnya (agak rentan)

75

3 Dilindungi a. Area alam : cagar alam, taman nasional, suaka marga satwa.

2

b. Area alam : masyarakat primitif.

2

c. Area alam yang rentan.

7

4 Zonasi (Intensif – Dilindungi)

Artefak/heritage 2 – 2.000 (tergantung pada zona)

Sumber : Douglas 1978.

b. Kriteria Amenitas

Pada hakekatnya, wisatawan yang berkunjung ke ODTW alam telah tersegmentasi. Pada umumnya wisatawan berkunjung ke ODTW alam terdiri atas wisatawan remaja, suka bertualang dan tantangan dan memiliki motivasi fisik, kesehatan, pendidikan, dan penelitian. Ukuran kepuasan yang diperoleh wisatawan yang melakukan perjalanan berwisata alam sangat berbeda dengan wisata lain.

Kepuasan akan diperoleh justru bila wisatawan dalam berwisata ke alam memperoleh tantangan dan resiko tinggi. Kegiatan wisata alam terdiri atas 2 (dua) grade, yaitu kegiatan berat dan ringan.

Kebutuhan akan fasilitas dan utilitas bagi wisata alam sangat berbeda dengan wisata budaya, rekreatif, wisata belanja dan MICE. Wisatawan

Page 74: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 74

sangat puas dan merasa nyaman apabila memperoleh pelayanan, fasilitas dan utilitas apa adanya di alam atau seperti yang dilakukan oleh penduduk setempat. Hal yang patut mendapat perhatian adalah pelayanan yang balk, makanan bergizi sehat dan akomodasi yang aman dan sanitasi yang baik. Aspek penunjang dan amenitas adalah kemudahan dalam mendapatkan telpon, kantor pos, dan penukaran uang. Sistem informasi kepariwisataan alam seringkali menjadi faktor kendala dan penghambat, karena keterbatasan informasi, ketersediaan peta, leaflet, booklet yang kadang akan menurunkan kenyamanan dan kepuasan wisatawan.

c. Kriteria Aksesibilitas

Wisatawan yang berkunjung ke ODTW alam dapat dibedakan antara wisatawan harian (daily used tourist), wisatawan akhir pekan (weekend tourist) dan wisatawan hari libur (holiday tourisf). Pada umumnya : wisatawan harian berjarak tidak lebih dan 40 mil, wisatawan akhir pekan berjarak 60 mil, dan wisatawan liburan berjarak lebih dari 90 mil.

Pada umumnya, pengembangan kepariwisataan ada hubungan linear dengan aksesibilitas. Aksesibilitas atau keterjangkauan yang tinggi akan meningkatkan perkembangan suatu ODTW. Namun untuk kepari-wisataan alam hubungan ini tidak signifikan. Bahkan untuk kepariwisa-taan alam tertentu keterjangkauan yang terialu tinggi dapat mengancm kelestarian suatu ODTW.

Aspek tingkat pengalaman atau experience level menjadi sangat penting dalam pengembangan pariwisata alam. Perjalanan berwisata alam ke wilayah terpencil dengan aksesibilitas rendah, menghasilkan perjalanan dengan tingkat pengalaman dan kepuasan yang tinggi.

Sementara itu, aksesibilitas ini berkaitan pula dengan sarana trans-portasi. Tersedianya alat transportasi yang beragam sangat membantu kelancaran perjalanan wisatawan. Hal yang sangat penting dalam alat transportasi ini adalah aspek keselamatan. Wisatawan sangat peduli akan keamanan dan keselamatan dalam perjalanan beriwisatanya. Hal ini terutama untuk wisatawan mancanegara.

d. Pola Kegiatan Wisata

Seperti telah diuraikan di depan, bahwa pariwisata alam memiliki wisatawan dengan segmen tertentu. Wisatawan mempunyai motivasi berwisata yang beraneka ragam. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 75: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 75

Tabel F.2 : Motivasi Wisatawan

No. Kategori Motivasi Wisatawan 1 Motivasi Fisik Menyegarkan kembali badan dan jiwa.

Istirahat karena kesehatan. Olahraga. Rekreasi : bersenang-senang, pacaran, bercinta,

berbelanja, melihat pertunjukan kesenian. 2 Motivasi

Kebudayaan Ingin mengetahui budaya, seni, musik, arsitektur,

sejarah negara lain. Perintiwa penting (olahraga, pekan perdagangan,

peristiwa lain bertaraf nasional/internasional). 3 Motivasi

Individu Mengunjungi keluarga, teman, atau mencari

teman baru. Perjalanan bersenang-senang. Kunjungan spiritual, misalnya berziarah. Mencari pengalaman baru pada lingkungan baru

(fisik dan sosial). 4 Motivasi

Prestasi dan status

Penyaluran hobi. Melanjutkan belajar. Konferensi, seminar. Pertemuan untuk menjalin hubungan personal. Menghadliri konferensi dan seminar.

Wisatawan melakukan perjalanan berwisata ke alam menimbulkan pola kegiatan yang berbeda. Pola kegiatan ini dapat sangat beraneka ragam mulai dari yang beresiko tinggi, yaitu adventuring ke yang beresiko paling kecil (leisure). Secara rinci pola kegiatan wisata alam dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel F.3 : Rincian Aktivitas Wisatawan Alam

No. Aktivitas Uraian 1 Berkendaraan Untuk bersenang-senang, bersantai 2 Jalan-jalan Untuk bersenang-senang. 3 Hiking Berjalan yang sifatnya lebih serius. 4 Bermain di alam Ada yang membutuhkan peralatan, tetapi

ada pula yang tanpa peralatan. 5 Berenang Di pantai, danau, dan sungai, tanpa atau

dengan peralatan. 6 Bersepeda Ada dua jenis : sepeda santai dan sepeda

gunung. 7 Memancing, menangkap

ikan Di perairan sungat, laut atau danau.

8 Studi arkeologi di alam - 9 Berjalan-jalan di alam Dapat menggunakan guide atau tidak.

Page 76: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 76

No. Aktivitas Uraian 10 Berperahu atau berlayar Biasanya mengunakan motor boat di

perairan pedalaman atau di pantai. 11 Berkano Berperahu tanpa motor, untuk satu / dua

orang. 12 Berlayar di laut/samudra Biasanya berkapal mewah. 13 Sightseeing Perjalanan ke pedesaan dengan lebih

menitik beratkan pada tujuan untuk melihat budaya/sosial-budaya.

14 Caving Penelusuran goa di daerah kapur. 15 Berburu Hewan buruan tertentu di alam. 16 Berkuda Termasuk berkuda di gunung. 17 Berkemah Agak sulit dibedakan dengan kegiatan

berkemah untuk piknik. 18 Piknik Berwisata yang tidak dengan menginap. 19 Mendaki gunung Termasuk mendaki gunung batu. 20 Berselancar Dilakukan pada pantai dengan ombak yang

tertentu. 21 Layang gantung Dilakukan dari puncak bukit. 22 Terbang dengan pesawat

kecil Dilakukan dengan menggunakan pesawat ringan bermesin atau tanpa mesin.

23 Motor sport/trail Dilakukan dengan menggunakan jenis sepeda motor khusus untuk off road.

e. Kelembagaan

Di dalam pengembangan kepariwisataan alam, diperlukan kordinasi dan integrasi yang bagus bagi seluruh stakeholder. Adanya keterkaitan banyak lembaga, mulai dari pengelola fasilitas, prasarana dan sarana transportasi, pengelola kawasan, dan seterusnya, perlu mempunyai visi yang sama. Demikian pula lembaga pengambil kebijakan dan pelaksa-na kebijakan harus sejalan dengan seluruh pelaku pariwisata. Pada saat ini telah ada tembaga kerja sama untuk Dephutbun dan Deparse-nibud yang disebut KKPO (Komisi Kerja Sama Pengelolaan Objek). Kerja sama ini terutama dimaksudkan agar pengembangan kepariwisa-taan dapat dilaksanakan secara terpadu.

Pada umumnya dalam kepariwisataan alam, lembaga yang paling le-mah justru para pengelola kawasan atau ODTW dan pengelola wisatawan, yaitu para pemandu. Apabila kedua pihak ini maju, maka kepariwisataan alam akan berkembang.

Sementara itu ada satu lembaga yang sangat penting, yaitu pembina keamanan dan ketenteraman bagi wisatawan. Polisi wisata perlu di-berdayakan agar peranannya lebih besar, sehingga mampu menjaga keamanan dan keteraman ekosistem. Lembaga yang berperan dalam promosi dan pemasaran pariwisata, dapat berperan sebagai agen pemasaran yang baik. Lembaga ini tidak hanya memasarkan ODTW di

Page 77: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 77

daerahnya tetapi juga daerah lain. Apabila seluruh personal yang memasarkan pariwisata berlaku yang sama maka seluruh kawasan atau ODTW akan dapat dikunjungi oleh wisatawan.

f. Kriteria Lingkungan

Setiap kawasan atau ODTW yang akan dikembangkan terlebih dahulu, disusun dokumen AMDAL. Pada hakikatnya AMDAL merupakan do-kumen yang di dalamnya terdapat analisis tentang kemungkinan timbulnya dampak besar dan penting yang harus dimitigasi (ditangani). AMDAL merupakan studi kelayakan lingkungan sebagai pelengkap dari studi kelayakan teknis dan ekonomi finansial. Adanya AMDAL akan dapat dicegah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan.

3. Perspektif Ekonomi Dalam Wisata Alam

Di dalam pengembangan suatu ODTW alam. direncanakan suatu pengelo-laan yang meninggatkan monopoli sektor swasta. Tetapi harus ada keseimbangan antara sektor swasta yuang mengejar profit dan pemerintah. Perspektif ekonomi dalam pengelolaan suatu kawasan atau ODTW alam tergantung dari tujuan pengelolaan (Lindberg and Huber, 1993). Pada dasarnya dalam perencanaan pengembangan suatu kawasan atau ODTW alam mempunyai tujuan :

a. Pengelolaan bertujuan untuk pemulihan. Biaya pemulihan atau reco-very cost merupakan biaya yang diprioritaskan dalam pengelolan. Biaya untuk pembangunan fasilitas biaya operasi dan lainnya, tidak sebesar biaya untuk pemulihan kerusakan ekologi dan dampak negatifterhadap masyarakat lokal.

b. Pengelolaan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Keun-tungan yang ditetapkan besarnya bukan sepenuhnya dinikmati oleh perusahaan pengelola. Tetapi sebagian dialokasikan untuk membiayai konservasi masyarakat tradisional dan alam dan tunjangan/subsidi berwisata bagi penduduk sekitar.

c. Pengelolaan bertujuan lainnya. Di dalam pengelolaan kawasan wisata alam dikelola dan dipergunakan untuk wsata bila tidak ada altematif lain. Satu hal yang dipertimbangkan adalah apabila pendapatan dan pengunjung dapat menutup seluruh biaya yang dikeluarkan. Pada umumnya kawasan yang dikelola seperti ini mempunyai manfaat lain, sehingga tarip masuk ke kawasan ditetapkan sangat rendah.

Agar tujuan pengelolaan suatu kawasan wisata alam dapat tercapai. Dapat didekati dengan beberapa metoda (Undberg and Hubec, 1993) :

a. Metoda 1 - Evaluasi Pasar

Latar belakang dan metoda ini adalah bahwa tingkat kunjungan dan kesanggupan wisatawan untuk membayar suatu atraksi wisata sama

Page 78: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 78

dengan atraksi wisata serupa lainnya. Yang dimaksud serupa dalam hal ini faktor menarik konsumen, biaya transportasi, dan faktor permintaan lainnya.

b. Metoda 2 - Survei Permintaan Wisatawan

Wisatawan mengetahui permintaan mereka sendiri terhadap suatu objek wisata. Permintaan diam hal ini adalah berkait dengan perspektif biaya dan nilai terhadap suatu kawasan atau ODTW.

c. Metoda 3 - Analisis Kurva Permintaan

1- Strategi yang paling tepat adalah dengan menggunakan Kurva Permintaan Edward, Tobias dan Mendelson (Lindberg and Huber, 1993).

2- Untuk taman nasional dipergunakan Metoda Biaya Hedonic dan Biaya Perjalanan.

d. Metoda 4 - Reaksi Terhadap Pasar dan Leiang

Metoda ini menggunakan strategi yang paling fleksibel, yaitu menye-suaikan permintaan pasar menyesuaikan dengan biaya atau tarip masuk.

4. Penutup

Perencanaan pengembangan kepariwisataan alam mempunyai konsep yang spesifik, sebab pengembangannya tidak hanya harus mempertimbangkan pasar tetapi utamanya pertimbangan objek dan daya tarik wisatanya. Per-timbangan ODTW terutama didasarkan pada kondisi, sifat dan perilaku alamnya.

5. Daftar Pustaka

a. Douglass, R. W, 1978. Forest Recreation, Perganion Press Inc. New York.

b. Fandeli, C, 1999, Pengembangan Kepariwi'sataan Alam Prospek clan ProblemaUkanya, Seminar dalam memperingati Hari Bumi, Jurusan Konsen/asi Sumber Daya Hutan, Pakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta.

c. Jackson, E.. 1989. Perceptions and Decisions Outdoor Recreation in Canada, Editor by Geoffrey Wall, John Wiley & Sons. Toronto.

d. Mill, R. C. and A. M. Morrison, 1985, The Tourism System and Introductory Text, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Page 79: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 79

Lampiran G

Perencanaan Wisata Budaya2

Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra

1. Deskripsi Umum

Modul ini terdiri dan delapan bab, dengan bagian pokok ada dalam enam bagian (Bagian II s/d Bagian VII). Bagian-bagian yang merupakan isi modul dimulai dan Bagian II yang menguraikan tentang konsep budaya, kebu-dayaan, dan pariwisata budaya. Konsep-konsep pokok ini perlu didefinisikan terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memanfaatkan modul ini, serta mempraktekkan apa yang ada di dalamnya. Bagian III berisi tentang langkah dan cara yang dapat ditempuh dalam mengidentifikasi obyek wisata budaya, yang tentunya berbeda dengan langkah dan cara dalam mengidentiftkasi obyek wisata lainnya. Selain itu, bagian ini juga berisi uraian tentang daya tarik obyek wisata budaya, yang memang perlu mendapat perhatian dan paparan yang agak khusus, mengingat sifatnya yang khas. Bagian IV mernuat uraian tentang pengembangan wisaya bu-daya, serta dampak sosial-budayanya. Dampak yang terdiri dan dua macam ini, yaitu dampak positif dan negatif, memang perlu selalu diperhatikan, se-bab dampak inilah yang sangat menentukan penilaian berhasiltidaknya pe-ngembangan pariwisata budaya yang telah diupayakan. Dampak positif dari pariwisata akan memungkinkan munculnya suatu pengembangan pariwisata yang berkesinambungan, yang merupakan salah satu tujuan dari diusaha-kannya perencanaan kepariwi-sataan yang tepat dan baik. Uraian mengenai pengembangan pariwisata yang berkesinambungan ini terdapat dalam Ba-gian V.

Pengembangan pariwisata yang berkesinambungan tidak cukup dilakukan hanya dengan dukungan pemerintah atau masyarakat setempat, tetapi juga memerlukan dukungan pasar, atau dukungan wisatawan itu sendiri. Oleh, ka-rena wisata budaya merupakan wisata yang agak khas, maka untuk menjaga keberlangsungannya perlu diciptakan dan diperhatikan segmen-segmen pasar wisata semacam ini. Hal semacam ini dipaparkan dalam Bagian VI. Selanjutnya, segmen pasar wisata budaya ini juga hanya akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bilamana manajemen, serta paket wisata yang didptakan, serta dipromosikan memang memiliki kualitas yang bagus. Oleh, karena itu persoalan manajemen, serta penyusunan paket menjadi salah satu butir persoalan penting yang harus ditangani dengan baik. Pembahasan tentang manajemen dan penyusunan paket wisata budaya ini diberikan

2 Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata - Universitas Gajah Mada, 16 – 21 Oktober 2000.

Page 80: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 80

dalam Bagian VII, yang merupakan bagian terakhir dari isi pokok modul ini. Bagian terakhir dari modul ini, yakni Bagian VIII, berisi penutup yang mema-parkan secara ringkas berbagai hal yang telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya.

Wisata budaya sebenarnya bukan merupakan hal yang baru sama sekali, namun demikian, wisata semacam ini tidak selalu dinyatakan secara eks-plisit, karena umumnya menjadi bagian dari wisata alam, yang merupakan bentuk wisata yang paling umum dan paling banyak ditemui. Akibatnya, wisata semacam ini biasanya tidak direncanakan secara khusus, kecuali oleh biro-biro perjalanan tertentu. Oleh, karena itu pula, potensi kepariwisalaan yang tersimpan dalam budaya suatu masyarakat tidak selalu dapat diman-faatkan dengan baik dan secara optimal.

Seiring dengan perkembangan zaman dan pemikiran manusia, wisata budaya kini merupakan salah satu jenis wisata yang sangat mungkin untuk dikembangkan sendiri, yang akan memberikan dampak positif tidak hanya pada wisatawan saJa tetapi juga pada masyarakat penerimanya, dan dam-pak ini bukan hanya berupa dampak ekonomi, tetapi juga dampak budaya. Sayang sekali, meskipun wisata budaya telah cukup lama muncul di Indo-nesia, dan mungkin bersamaan dengan wisata alam, namun penanganan wisata semacam ini belum seperti yang diharapkan, dan sedikit banyak hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang wisata budaya itu sendiri, beserta segala seluk-beluknya.

2. Maksud dan Tujuan

Sehubungan dengan masalah tersebut, maka modul ini disusun dengan maksud antara lain adalah : a. Meletakkan dasar-dasar konseptual dan praktis bagi upaya pengem-

bangan pariwisata budaya. b. Menjadi salah satu bahan acuan dan pegangan untuk memberikan

penyuluhan, pelatihan dan bimbingan bagi upaya-upaya pengem-bangan pariwisata budaya.

Bimbingan pengembangan wisata budaya memang diperlukan mengingat beberapa sifat yang berbeda dan obyek wisata budaya itu sendiri. Oleh, karena itu, bimbingan untuk pengembangan dan perencanaan wisata budaya ini seyogyanya ditujukan untuk beberapa hal berikut : a. Memberikan bekal pengetahuan konseptual dan praktis tentang wisata

budaya. b. Memberi kemampuan pada peserta pelatihan membuat perencanaan

wisata budaya. c. Memberi kemampuan pada peserta pelatihan mengembangkan wisata

budaya.

Modul ini diharapkan dapat memenuhi kegiatan-kegiatan bimbingan kepari-wisataan dengan tujuan-tujuan tersebut.

Page 81: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 81

3. Pengantar

Pariwisata umumnya diasosiasikan sebagai aktivitas perjalanan, pelancong-an yang bertujuan untuk menghibur din dan menghilangkan kelelahan mental atau kejiwaan dengan cara menikmati keindahan alam atau memperoleh hal-hal yang menyenangkan yang akan menghilangkan kelelahan dan beban mental yang ada pada diri si pelancong. Oleh, karena itu, di masa-masa yang lalu, kegiatan pariwisata hampir selalu terteit dengan tiga S : Sun, Sand and Sex. Ini berlaku terutama di kalangan orang Barat. yang umumnya ber-asal dan daerah dingin, yang hanya memperoleh hangatnya sinar matahari selama kira-kira empat bulan sepanjang tahun, yang air lautnya hampir selalu dingin, sehingga mereka tidak dapat menikmati pantai berpasir untuk berjemur.

Dengan semakin berkembangnya sistem transportasi dan peradaban ma-nusia, kegiatan pariwisata yang semula banyak ditujukan untuk memperoleh tiga S tersebut kini telah mengalami pembahan. Bahaya penyakit kelamin, pantai pasir yang tidak selalu indah, telah turut mempengaruhi pembahan yang terjadi pada tujuan dari kegiatan pariwisata itu sendiri. Sementara itu, dalam kegiatan pelancongan ke negeri-negeri tertentu, atau ke tempat-tempat tertentu orang tidak selamanya hanya melihat alam. Mereka juga bertemu dengan manusia, dengan masyarakat lain yang seringkali sangat berbeda adat kebiasaannya, keseniannya, peribadatannya, dan sebagainya yang temyata juga tidak kalah menariknya dengan pemandangan alam yang ada di situ, dan bahkan seringkali juga jauh lebih menarik. Oleh, karena itu, kebudayaan suatu masyarakat pada dasarnya juga menyimpan potensi untuk dijadikan obyek yang dapat menarik para wisatawan datang ke suatu daerah dan membelanjakan uangnya di situ.

Bagi negeri seperti Indonesia yang memiliki ratusan sukubangsa dengan adat-istiadat atau kebudayaan yang sangat bervariasi, maka potensi kepa-riwisataan yang ada dalam budaya masyarakat Indonesia ini sebenarnya sangat besar. Sayangnya, belum seluruh potensi ini tergali dan diman-faatkan. Mengingat sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan untuk memperoleh devisa, maka wisata budaya ini menjadi semakin penting artinya di masa kini, dan, karena itu pula sangat perlu dikembangkan.

4. Budaya, Kebudayaan, dan Pariwisata Budaya

Kata 'budaya' dan 'kebudayaan' sangat sering digunakan dan didengar da-lam berbagai diskusi dan forum ilmiah, namun demikian makna yang dibe-rikan pada kata ini tidak selalu jelas dan sama. Sebagian orang menganggap kebudayaan adalah segala sesuatu yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, sebagian lain menganggap kebudayaan sebagai adat-is-tiadat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan la-ma; sebagian tagi menganggap kebudayaan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pemaknaan, maka di sini dikernukakan definisi dari kata kebudayaan menurut perspektif tertentu, yang dipandang lebih strategis daripada perspektif yang lain.

Page 82: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 82

a. Budaya dan Kebudayaan

Kata 'budaya' dan 'kebudayaan' pada dasarnya memiliki makna yang sama, sehingga penggunaannya kadang-kadang bisa berganti-ganti. Baik kata budaya ataupun kebudayaan dapat menjadi kata sifat dan kata benda. Namun teriepas dari persoalan ini, di sini kata 'budaya' dan 'kebudayaan diberi arti yang sama, yakni simbol-simbol yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan beradptasi dengan lingkung-annya yang dipelajarinya dalam kehidupannya sebagai warga suatu m-asyarakat. Sebagai simbol-simbol, kebudayaan ini mempunyai wujud yang kongkrit, setengah kongkrit dan abstrak. Wujud kongkrit kebuda-yaan adalah keseluruhan hasil perilaku manusia, seperti gedung, rumah, buku, gelas, meja dan sebagainya.

b. Pariwisata Budaya

Pariwisata budaya perlu dibedakan dengan wisata budaya. Pengertian pariwisata mencakup hal-hal yang lebih banyak daripada wisata budaya. Kalau wisata budaya adalah perjalanan dan suatu tempat tertentu ke tempat lain dengan tuiuan untuk dapat menyaksikan dan menikmati obyek-obyek dan aktivitas budaya, dan kegiatan menyak-sikan, serta menikmati obyek-obyek tersebut, maka pariwisata budaya mencakup bukan hanya perjalanan dan aktivitas menikmati saja, tetapi juga aktivitas lain yang dilakukan oleh pihak lain untuk para wisatawan tersebut. Pariwisata budaya berbeda dengan pariwisata yang lain terutama pada obyek yang ingin dilihat dan dinikmati. Perbedaan obyek ini akhirnya juga turnt menentukan cara penanganannya, promosinya, serta pengembangannya.

Dalam pariwisata, salah satu unsur terpentingnya adalah obyek wisata itu sendiri, dan seperti halnya. obyek wisata alam, maka obyek wisata budaya sebaiknya merupakan obyek yang bersifat empiris; yang dapat dicerap atau dinikmati melalui pancaindera. terutama indera penglihat-an. Oleh, karena itu obyek wisata budaya umumnya berupa benda atau aktivitas.

1- Benda

Obyek wisata budaya berupa benda adalah benda-benda yang merupakan hasil dari aktivitas manusia, seperti misalnya rumah tradisional, tempat peribadatan, hasil kerajinan tangan, dan sebagainya. Selain itu, bisa juga obyek ini berupa bagian-bagian dari lingkungan alam yang telah diubah oleh manusia sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah obyek yang unik dan menarik, seperti misalnya gua alami yang kemudian diubah sedemikian rupa menjadi tempat tinggal manusia atau tempat bersembunyi, sawah yang bersusun-susun dan tampak indah dari kejauhan, sungai yang dibendung atau dialirkan dengan teknologi tertentu yang mengagurnkan, dan sebagainya.

Page 83: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 83

2- Aktiviktas

Obyek wisata budaya berupa aktivitas dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut : a- aktivitas sehari-hari, yakni aktivitas yang dapat dijumpai

setiap hari dalam masyarakat yang dikunjungi seperti masak-memasak, aktivitas dalam mata penca-harian;

b- aktivitas khusus, yang muncul hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti misalnya slametan, rituil sedekah bumi, upacara perkawinan, dan sebagainya.

Aktivitas ini tidak harus selalu merupakan aktivitas orang dewasa, sebab hal-hal yang menarik wisatawan tidak selalu melibatkan orang dewasa. Berbagai kegiatan yang dilakukan anak-anak, yang menarik, juga dapat menjadi atraksi wisata sendiri.

5. Identifikasi Daya Tarik Obyek Wisata Budaya

Strategi pertama dalam pengembangan wisata budaya adalah melakukan identifikasi hal-hal apa saja yang dapat menjadi obyek wisata budaya, yang dalam hal ini tidak bisa dilepaskan dan soal 'daya tarik' dari obyek tersebut. Di lain pihak, jika kita berbicara tentang 'daya tarik' hal itu tidak dapat dile-paskan dari soal siapa yang melihat obyek tersebut. Dengan kata lain, daya tarik ini bersifat relatif dan tergantung pada wisatawannya. Artinya, menarik dan tidak menariknya suatu obyek wisata berkaitan erat dengan latar-belakang budaya wisatawannya, dan ini sangat perlu diperhatikan ketika identifikasi dan pengembangan obyek wisata dilakukan.

a. Identifikasi

Dalam mengidentifikasi obyek wisata budaya ada beberap hal yang perlu diperhatikan, yakni : (1) kriteria atau patokan dalam melakukan identifikasi; (2) metode identifikasi : (3) dokumentasi hasil identifikasi.

1- Kriteria Identifikasi

Kriteria identifikasi yang pertama adalah sifat obyek yang diiden-tifikasi. Atas dasar sifatnya ini obyek wisata budaya dapat dibe-dakan yang menjadi obyek material dan obyek non-material, atau berupa aktivitas, baik yang rutin maupun yang insidentil.

a- Obyek Budaya Material

Obyek budaya yang material ini tentunya merupakan hasil perilaku manusia, seperti rumah-rumah tradisional, barang-barang kerajinan, rumah-rumah yang bersejarah atau berni-lai, karena kekhasannya, baik kekhasan arsitektural maupun kekhasan historis. Bisa juga obyek wisata budaya ini berupa obyek alam, namun telah diubah oleh manusia untuk meme-nuhi kebutuhan tertentu dalam hidupnya. Sebuah gua misal-

Page 84: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 84

nya, dapat merupakan obyek budaya bilamana gua tersebut -yang pada mulanya merupakan gua alami-, kemudian diu-bah oleh manusia atau dikembangkan lagi menjadi tempat perlindungan dari serangan musuh, atau gua tersebut meru-pakan tempat bersejarah, yaitu tempat yang penting bagi kehidupan manusia di masa lalu, yang sangat menentukan corak kehidupan manusia di masa sekarang.

b- Obyek Budaya Non-Material

Obyek budaya non-material untuk wisata budaya adalah obyek yang berupa aktivitas manusia, baik itu : aktivitas yang 'biasa', rutin, sehari-hari, ataupun aktivitas yang 'tidak biasa', tidak rutin, dan berlangsung, karena adanya sesuatu yang khusus atau waktu-waktu yang khusus. Aktivitas yang biasa ini misalnya saja orang ber-sawah, memetik kelapa, membuat gula dan sebagainya, se-dang aktivitas yang agak khusus misalnya upacara bersih desa, perkawinan, permainan anak-anak di bulan purnama, dan sebagainya.

2- Metode Identifikasi

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk dalam meng-identifikasi obyek wisata budaya ini, yakni : Pengamatan dan survei lapangan. Pengamatan dengan partisipasi observasi. Wawancara dengan para informan. Dalam melakukan identitikasi ini perlu selalu diperhatikan keha-diran dua sudut pandang yang berbeda, yang bersifat implisit, namun demikian sangat menentukan hasil identifikasi tersebut, yakni sudut pandang peneliti dan sudut pandang tineliti atau masyarakat yang didatangi. Perbedaan ini umumnya tidak diketahui, sehingga hasil survei dan wawancara yang diperoleh belum mengungkap keseluruhan potensi wisata budaya yang ada. Bagaimanapun juga definisi tentang apa yang dapat menjadi dan apa itu obyek wisata budaya itu sendiri harus dirumuskan dengan memperhatikan pandangan masyarakat setempat, dan hal ini akan turut menentukan strategi identifikasi yang ditempuh.

a- Pengamatan dan Survei Lapangan

Ini dilakukan dengan cara mengunjungi secara langsung suatu kawasan tertentu untuk menernukan hal-hal apa saja yang ada di daerah tersebut yang diperkirakan akan diminati oleh wisatawan jika dipromosikan, dan bagaimana kemung-kinan pengembangannya. Dengan cara ini akan dapat dike-tahui dengan cepat potensi kepariwisataan yang ada di suatu

Page 85: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 85

daerah, dan gambaran yang agak umum dapat diperoleh. Namun, karena pengamatan semacam ini hanya sebentar saja dilakukan, maka ada beberapa kelemahannya, yakni : tidak banyak informasi yang dapat diperoleh tentang hal-hal yang akan dapat dijadikan obyek wisata tersebut : tidak ba-nyak aktivitas masyarakat yang terkait dengan hal-hal terse-but yang dapat diketahui; dan tidak banyak diketahui kenda-la-kendala yang mungkin ada, yang dapat menghambat pengembangan hal-hal tersebut untuk menladi obyek pariwi-sata. Oleh, karena cara ini harus dilengkapi dengan cara yang lain.

b- Pengamatan dengan Partisipasi Observasi

Cara ini dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama, kare-na pengamat tidak hanya mendatangi daerah yang ingin di-ketahui dan kemudian pergi setelah melihat daerah tersebut, tetapi dia akan tinggal lebih lama dalam masyarakat terse-but. Makin lama si pengamat ini berada di lapangan akan se-makin banyak hal yang dapat dilihat dan didengarnya. Mela-lui partisipasi observasi si pengamat akan dapat mengem-bangkan pertanyaan-pertanyaan tertentu yang akan sangat membantunya mengorek informasi yang diperlukan sehu-bungan dengan hal-hal yang dilihalnya, yang dianggapnya memiliki potensi menjadi obyek wisata budaya. Meskipun cara ini sudah lebih baik daripada survei lapangan, namun ji-ka pengamat hanya melakukan pengamatan saja. maka hal-hal yang diketahuinya akan sangat terbatas pada hal-hal yang dapat dilihatnya saja. Dia tidak akan dapat mengetahui berbagai macam hal lain, seperti misalnya aktivitas-aktivitas tertentu yang penting bagi masyarakat bersangkutan, yang berlangsung hanya dalam waktu-waktu tertentu saja. Selain itu, si pengamat juga tidak akan dapat mengetahui bagaima-na pandangan warga masyarakat setempat terhadap hal-hal yang oleh si pengamat dianggap menarik dan memiliki po-tensi kepanwisataan. Untuk mengatasi kelemahan ini perlu digunakan cara yang lain lagi, yakni wawancara.

c- Wawancara Dengan Para Informan

Wawancara dengan para informan ini perlu dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak tentang hal-hal yang dapat dijadikan obyek wisata, namun tidak ditemukan melalui pengamatan. Dari wawancara ini sekaligus juga akan dapat diketahui bagaimana pandangan masyarakat setempat mengenai obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang telah dilihat dan diamati, serta potensinya untuk dikembangkan menjadi obyek wisata budaya. Pandangan masyarakat ini juga sangat penting nantinya bagi upaya untuk memperki-

Page 86: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 86

rakan dampak dan keberhasilan wisata budaya yang akan direncanakan. Wawancara ini sebaiknya dilakukan dengan informan yang terpilih dengan baik.

3- Dokumentasi Hasil Identifikasi

Dalam proses identifikasi ini sebaiknya sekaligus juga dilakukan pendokumentasian, baik dengan menggunakan video atau de-ngan kamera biasa, atau berupa tulisan.

a- Dokumentasi Video

Salah satu kelebihan dari dokumentasi dengan mengguna-kan kamera video adalah kemampuannya menyimpan gerak dan suara sekaligus, dan kemudian diputar ulang untuk dili-hat kembali. Dengan dokumentasi semacam ini dapat diper-oleh gambaran yang lebih nyata tentang obyek wisata yang diamati. Namun ada juga kelemahan dari dokumentasi se-macam ini, karena dia hanya dapat dilihat dengan meng-gunakan peralatan tertentu, dan tidak dapat disimpan dalam buku. Oleh, karena itu diperlukan pendokumentasian dengan cara yang lain, yakni dengan menggunakan kamera foto.

b- Dokumentasi Foto

Dokumentasi foto memang hanya dapat menyajikan gambar yang beku, tidak bergerak, akan tetapi dokumentasi ini dapat dilihat kembali tanpa memerlukan peralatan canggih seperti halnya hasit rekaman kamera video. Selain itu, dokumentasi berupa foto juga dapat hadir bersama dengan dokumentasi dalam bentuk tulisan.

c- Dokumentasi Tulisan

Dokumentasi obyek wisata budaya juga dapat berupa tulisan, yang melukiskan, menggambarkan, memaparkan ob-yek yang telah diamati dan diteliti. Dokumentasi dalam ben-tuk tertulis, berupa deskripsi yang cukup rina tentang obyek wisatanya, juga perlu diberikan, mengingat hasil re-kaman kamera atau video tidak selalu dapat menyampaikan berba-gai informasi yang bersifat ideologis dan tidak empiris.

Hasil dokumentasi lewat kamera dan video sebaiknya ke-mudian diedit agar dapat dinikmati dan diteliti oleh orang lain yang berminat, sedang dokumen tertulis sebaiknya kemu-dian diedit dan disusun kembali dengan sistematis. Doku-mentasi semacam ini penting, dan nantinya perlu diolah kembali bersama hasil dokumentasi yang lain untuk menjadi bahan promosi, serta perencanaan pengembangan pariwi-sata atau penyusunan paket wisata budaya yang diinginkan.

Page 87: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 87

b. Daya Tarik

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkenaan dengan daya tarik dan suatu obyek wisata budaya. Aspek-aspek ini mempakan sisi-sisi dan suatu obyek yang membuatnya dikatakan menarik. Beberapa di antaranya adalah : Keunikan, estetika, keagamaan, ilmiah.

1- Aspek Keunikan

Suatu obyek wisata budaya biasanya menjadi menarik antara lain, karena keunikannya. kekhasannya, keanehannya. Artinya obyek ini sulit didapatkan kesamaannya atau tidak ada dalam masya-rakat-masyarakat yang lain. Aspek keunikan ini seringkali terkait dengan sejarah dan obyek itu sendiri, baik itu sejarah dalam arti yang sebenarnya maupun sejarah dalam arti yang lebih mitologis. Oleh, karena itu dalam mengidentifikasi obyek-obyek wisata buda-ya aspek keunikan ini perlu diperhatikan, karena ini dapat menjadi daya tarik yang kuat bagi wisatawan. Manusia pada dasarnya ingin melihat atau menemukan hal-hal yang tidak biasa, dan dia akan bangga bilamana dia memperoleh kesempatan tersebut

2- Aspek Estetis

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah aspek keindahan, dan ini merupakan unsur yang paling penting dan suatu obyek wisata budaya untuk dapat menarik wisatawan. Aspek keindahan ini sa-ngat perlu diperhatikan dalam proses pengembangan suatu obyek wisata budaya. Suatu obyek yang tidak unik dapat saja menarik banyak wisatawan, karena keindahan yang dimilikinya. Bilamana keindahan ini menjadi sangat menonjol, maka keindahan tersebut kemudian menyatu dengan keunikan. dan membuat obyek ter-sebut semakin menarik.

3- Aspek Keagamaan

Suatu obyek wisata budaya bisa saja tidak unik, tidak menarik, namun mempunyai nilai keagamaan yang tinggi. Artinya, obyek tersebut dipercaya sebagai obyek yang bersifat suci, wingit, atau mempunyai kekuatan supernatural tertentu, yang dapat mempe-ngaruhi kehidupan manusia. Aspek keagamaan ini perlu diperha-tikan ketika identifikasi dan promosi dilakukan, karena wisatawan tertentu seringkali tertarik oleh hal-hal semacam ini.

Page 88: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 88

4- Aspek llmiah

Suatu obyek wisata budaya juga dapat menarik banyak wisa-tawan, karena nilai ilmiah atau nilai pengetahuan yang tinggi, yang dimilikinya, walaupun unsur unik, estetis, dan keagamaannya kurang. Namun demikian, nilai ilmiah yang tinggi dan obyek wisata tersebut pada dasarnya juga merupakan bagian dari keunikannya. Aspek ilmiah ini juga perlu dipeitiatikan dalam proses identifikasi, pengembangan dan promosi obyek wisata tersebut, karena ini merupakan salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menarik lebih banyak wisatawan.

Daya tarik sebuah obyek wisata budaya akan semakin kuat bila-mana berbagai elemen penarik tersebut hadir bersama-sama. Jika tidak, maka dalam proses pengembangan dan promosi elemen-elemen yang masih kurang menonjol hendaknya diperkuat lagi agar obyek tersebut mampu menarik wisatawan lebih banyak lagi.

c. Segmen Pasar

Sehubungan dengan daya tarik tersebut, sebenarnya daya tarik ini tidak melekat pada obyek wisata itu sendiri, tetapi merupakan hasil ‘interaksi' antara wisatawan dengan obyek itu tersebut. Menarik-tidaknya suatu obyek wisata budaya terkait erat dengan latar-belakang budaya dan pengetahuan wisatawan yang melihatnya. Oleh, karena itu berkenaan dengan segmen pasar ini perlu diperhatikan latarbelakang sosial-budaya wisatawan yang datang. Secara kasar wisatawan yang datang di Indonesia biasanya dikiasifikasikan menjadi wisatawan nusantara (wisnu) dan wisatawan mancanegara (wisman).

1- Wisatawan Nusantara

Wisatawan Nusantara adalah para pelancong yang berasal dari Indonesia sendiri. Apa yang menarik pada suatu obyek wisata budaya bagi para wisatawan domestik (wisdom) ini akan berbeda dengan apa yang menarik menurut penglihatan wisman. Perbe-daan ini sangat perlu diperhatikan dalam proses promosi, pe-ngembangan, serta perencanaan paket wisata budaya. Apa yang laku keras ketika dijual pada wisatawan nusantara belum tentu berhasil ketika dijual ke pada wisatawan dari mancanegara, kare-na masing-masing memiliki definisi, serta pandangan yang ber-lainan mengenai 'keindahan', keunikan, dan unsur keagamaan se-buah obyek wisata budaya.

2- Wisatawan Mancanegara

Wisatawan ini adalah para pelancong yang berasat dari negara-negara yang bukan Indonesia. Kategori ini tentu saja masih sangat kasar, karena di situ tidak tercermin negeri asal wisatawan

Page 89: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 89

yang bersangkutan, padahal ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam promosi dan penyusunan paket wisata. Secara garis besar, dengan memperhatikan latarbelakang budayanya, pa-ra wisatawan asing yang datang ke Indonesia dapat kita bedakan menjadi wisatawan dan Asia, yang bisa dipisah-pisahkan atas dasar negara asalnya, seperti : Jepang. Korea, Taiwan dan Singa-pura, kemudian wisatawan dan Australia, terus wisatawan dan ne-gara-negara di Eropa Barat, seperti Belanda. Inggris, Prancis, Jer-man dan sebagainya, dan akhirnya wisatawan dan Amerika Seri-kat. Kini mulai banyak juga wisatawan dari benua Afrika, namun jumlah mereka relatif kecil dibandingkan dengan wisatawan-wisa-tawan dan negara-negara maju tersebut.

Pengetahuan tentang negara asal para wisatawan ini sangat penting, karena masing-miasing negara memiliki budaya yang berlainan, yang akan turut menentukan apa yang disukai dan apa yang tidak disukai, berkenaan dengan obyek wisata tertentu. De-ngan mengetahui negara asal, serta latar belakang sosial-budaya para wisatawan ini, yang berarti juga pengetahuan tentang seg-men pasar itu sendiri, akan dapat disusun strategi yang lebih tepat dalam memasarkan obyek-obyek wisata yang dikembangkan.

6. Pengembangan Wisata Budaya dan Dampak Sosial-Budayanya

Pengembangan wisata budaya pada dasarnya tidak hanya mencakup obyek wisata ataupun paket wisata itu sendiri, tetapi juga unsur-unsur lain yang terkait di dalamnya, yang juga tidak dapat diabaikan, jika pengembangan tersebut diinginkan keberhasilannya.

a. Pengembangan Wisata Budaya

Paling tidak ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pengem-bangan wisata budaya, yakni : pengembangan obyek wisata itu sendiri; pengembangan paket wisata budaya; pengembangan pelayanan wisata budaya; pengembangan promosi wisata budaya tersebut.

Empat hal ini terkait erat satu sama lain. Kegagalan yang satu akan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pada keseluruhan. Artinya, tidak berhasilnya pengembangan salah satu unsur di situ akan mem-buat rencana pengembangan wisata budaya secara keseluruhan tidak akan berhasil dengan baik, sebab obyek wisata budaya yang bagus dan menarik belum tentu akan membuat wisata budayanya berhasil jika tidak didukung dengan paket wisata yang tepat, serta pelayanan yang memuaskan wisatawan. Oleh, karena itu ke-4 hal ini perlu diperhatikan sernuanya.

Page 90: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 90

1- Pengembangan Obyek

Pengembangan obyek berarti meningkatkan kualitas obyek wisata tersebut agar dapat menjadi obyek yang pantas dan dapat dinik-mati oleh para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Meski-pun para wisatawan ini berbeda latar-belakang sosial-budayanya, namun sebagai manusia mereka akan menyukai obyek wisata bu-daya berupa benda jika obyek tersebut bersih, terpelihara, tera-wat, dapat mereka nikmati dengan mudah, memiliki nilai sejarah penting, yang relevan dengan kehidupan mereka.

Jika obyek wisata budaya tersebut berupa aktivitas, mereka akan menyukainya jika mereka dapat melihatnya dengan mudah, me-ngetahui makna-maknanya bagi masyarakat setempat, dan bagi mereka sendiri.

Jika obyek tersebut berupa kesenian, maka mereka dapat me-nyukainya jika kesenian tersebut menarik, unik, bermutu, mereka pahami maknanya, dan dapat dinjkmati dengan mudah. Oleh, karena itu, pengembangan obyek wisata budaya perlu dilakukan dengan memperhatikan berbagai macam hal tersebut.

2- Pengembangan Paket

Pengembangan paket ini memang diperlukan, karena wisatawan umumnya tidak mempunyai banyak waktu untuk dapat melihat banyak hal. Oleh, karena itu, penyusunan paket yang pas, yang tidak membuat wisatawan capek, namun juga tidak membuat me-reka hanya dapat melihat sedikit hal-hal yang menarik dan unik. perlu dilakukan. Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman yang mendalam tentang berbagai obyek wisata budaya yang akan dija-dikan satu paket. Harus diperhatikan di sini jarak obyek satu de-ngan yang lain, jangka waktu yang diperlukan untuk menikmati ob-yek-obyek tersebut, keadaan sekeliling obyek, yang mungkin akan memberikan kesan tertentu pada wisatawan, dan sebagainya. Pengembangan paket ini juga perlu dilakukan dengan memper-hatikan latar-belakang sosial-budaya wisatawan yang akan menik-mati paket wisata tersebut. Oleh, karena itu diperfukan penelitian yang mendalam tentang berbagai hal, jika memang diinginkan paket tersebut menarik para wisatawan.

3- Pengembangan Pelayanan

Bilamana obyek wisata budaya dan paketnya telah dapat disusun dan dikembangkan, bidang lain yang kemudian sangat perlu men-dapatkan perhatian adalah bidang pelayanan. Bidang ini penting peranannya, karena langsung bersentuhan dengan wisatawan dan waktu ke waktu. Untuk wisatawan asing misalnya, unsur-unsur seperti pelayanan yang tepat waktu, terorganisir dengan

Page 91: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 91

balk, lancar, serta sesuai dengan yang dijanjikan, merupakan unsur-unsur yang sangat diperhatikan. Juga berbagai fasilitas yang sangat diperlukan, seperti telepon, fax, internet, dan seba-gainya merupakan fasilitas yang tidak dapat dilepaskan dan ke-giatan pelayanan. Di sinilah kesiapan sumber daya manusia, serta kesiapan fasilitas di tempat wisata menjadi hai yang penting.

4- Pengembangan Promosi

Promosi obyek dan paket wisata budaya merupakan salah satu hal yang tidak dapat diabaikan, karena promosi ini sangat menen-tukan citra tentang obyek dan paket yang ada, yang kemudian akan sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan wisatawan, apakah akan mendatangi obyek dan mengambil paket yang ditawarkan, atau tidak. Dalam hal ini kelompok yang menjadi target promosi tersebut juga perlu menjadi perhatian. Strategi pro-mosi sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan latar belakang sosial-budaya kelompok yang menjadi target tersebut. Butir-butir apa yang ingin dikemukakan, ditonjolkan dalam promosi tersebut sebaiknya dipilih dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, se-hingga akan dapat dicapai hasil yang maksimal. Setiap upaya pe-ngembangan wisata budaya, yang akan bersentuhan dengan ma syarakat lokal, masyarakat yang dikunjungi, tentu akan menimbul-kan dampak pada masyarakat tersebut. Berdasarkan aspeknya, dampak ini dapat dibedakan menjadi dampak sosial dan dampak budaya, sedang atas dasar sifatnya dapat dibedakan menjadi dampak positif dan negatif.

b. Dampak Sosial

Dampak sosial adalah perubahan yang terjadi pada pola-pola perilaku, pola interaksi sosial, relasi sosial, serta pranatagranata sosial dalam suatu masyarakat sebagai akibat dan terjadinya kontak antara warga masyarakat tersebut dengan orang-orang baru, baik wisatawan mau-pun bukan, karena berkembangnya kegiatan pariwisata di tempat atau di sekitar masyarakat tersebut berada. Dampak ini bisa bersifat positif maupun negatif.

1- Dampak Sosial Positif

Dampak sosial positif dapat dikatakan muncul bilamana dalam suatu masyarakat muncul pola-pola perlaku, pola interaksi sosial dan relasi-relasi sosial yang memperkuat integrasi sosial masya-rakat itu sendiri, yang mencegah terjadinya, serta memudahkan penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat terse-but, yang memudahkan warga masyarakat tersebut mencapai ber-bagai tujuan dan mewujudkan berbagai macam cita-cita mereka, sebagai akibat dan berkembangnya kegiatan pariwisata dalam masyarakat tersebut, atau sebagai akibat dan kontak mereka

Page 92: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 92

dengan para wisatawan. Selain itu, dampak positif tersebut juga dapat berupa semakin berkurangnya polapola perilaku, pola inter-aksi sosial yang dianggap dapat memperlemah integrasi sosial yang ada.

2- Dampak Sosial Negatif

Dampak sosial negatif yang muncul berupa antara lain pola-pola perilaku, interaksi sosial, relasi sosial, atau pranata-pranata sosial baru yang memperlemah integrasi sosial masyarakat itu sendiri, yang mempersulit masyarakat tersebut mencapai tujuan-tujuan-nya, mewujudkan cita-citanya, sebagai akibat dari tumbuhnya ke-giatan pariwisata dalam masyarakat tersebut, atau sebagai akibat dari makin intensifnya kontak mereka dengan para wisatawan. Dampak sosial negatif juga dapat berupa berkurangnya pola-pola perilaku, interaksi sosial, relasi sosial, serta pranata-pranata sosial, yang selama ini dapat mencegah terjadinya konflik-konflik antar warga masyarakat.

c. Dampak Budaya

Dampak budaya di sini adalah munculnya simbol-simbol dan pemak-naan baru dalam suatu masyarakat sebagai akibat dari kontak masya-rakat tersebut dengan para wisatawan atau semakin berkembangnya kegiatan pariwisata dalam masyarakat tersebut Simbol-simbol ini dapat berupa ide-ide, pengetahuan dan nilai-nilai baru, pola-pola perilaku, serta hasil perilaku. Dampak dapat bersifat positif maupun negatif.

1- Dampak Budaya Positif

Dampak budaya yang positif dapat dikatakan muncul dalam suatu masyarakat apabila simbol-simbol dan pemaknaan baru yang lahir sebagai akibat kontak warga masyarakat dengan para wisatawan, merupakan simbol dan pemaknaan yang memperkaya pemaham-an warga masyarakat tentang kehidupan mereka, memungkinkan mereka meningkatkan taraf hidup mereka, serta dapat mening-katkan iniegrasi sosial di antara mereka.

2- Dampak Negatif

Dampak budaya negatif muncul bilamana dalam suatu masyara-kat simbol-simbol dan pemaknaan baru yang muncul sebagai akibat kontak warga masyarakat tersebut dengan para wisatawan, atau sebagai akibat dan meningkatnya kegiatan pariwisata dalam masyarakat tersebut, merupakan simbol-simbol dan pemaknaan yang tidak dapat memperkaya pemahaman warga masyarakat tentang kehidupan mereka, mempersempit kemungkinan mfereka untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas kehidupan mereka,

Page 93: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 93

serta menimbulkan berbagai macam gesekan dan konflik sosial yang membuat kehidupan mereka tidak tenteram.

Berbagai macam dampak ini perlu diperhatikan, terutama yang negatif, karena dan segi inilah penilaian tentang berhasil tidaknya pariwisata memberikan sumbangan yang positif pada masyarakat biasanya dinilai atau dipemitungkan. Meskipun meningkatnya pari-wisata secara jelas dapat menjngkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan pendapatan mereka, namun apabila peningkatan taraf ekonomi ini disertai dengan makin merosatnya kehidupan sosial-budaya masyarakat tersebut, maka dampak positif di bi-dang ekonomi tersebut biasanya tidak lagi dianggap begitu berni-lai. Oleh, karena itu, langkah-langkah untuk mencegah munculnya dampak negatif tanpa harus dengan mengorbankan kegiatan pari-wisata dan pengembangannya, perlu diperhatikan dan dirumus-kan.

7. Pengembangan Pariwisata Budaya Yang Berkesinambungan

Pariwisata budaya yang dikembangkan sebaiknya memang merupakan pariwisata budaya yang berkesinambungan. demi kelestarian pariwisata itu sendiri. Berkesinambungan di sini dapat diartikan dua macam. Pertama, berkesinambungan secara diakronis, yang berarti kegiatan pariwisata budaya tersebut dapat berlangsung terus dan waktu ke waktu. Kegiatan ini tidak menurun, tetapi tetap atau semakin meningkat. Jika kegiatan tersebut semakin menurun hal itu tidak dapat dikatakan sebagai berkesinambungan, sebab dengan semakin menurunnya kegiatan tersebut hal itu berarti ada kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak lagi berlangsung atau terputus.

Kedua, berkesinambungan juga dapat diartikan bahwa kegiatan pariwisata tersebut mempunyai keterkaitan secara sosial-budaya dengan kehidupan masyarakat setempat. Kesinambungan dalam arti kedua ini seringkali sa-ngat penting bagi terciptanya kesinambungan yang pertama, sebab tanpa adanya keterkaitan dengan kehidupan masyarakat, suatu kegiatan pariwi-sata mungkin tidak akan memperoleh dukungan, jika bukan perlawanan, yang akan mengakibatkan berhentinya kegiatan pariwisata tersebut. Oleh, karena itu, kesinambungan sosial-budaya ini juga sangat perlu untuk diperhatikan berkenaan dengan perencanaan dan pengembangan pariwi-sata budaya.

a. Pariwisata Budaya Yang Berkesinambungan

Dengan pengertian 'berkesinambungan' seperti di atas, maka pari-wisata budaya yang berkesinambungan di sini dapat diartikan sebagai kegiatan pariwisata budaya yang mempunyai keterkaitan positif dengan kehidupan sosiai-budaya masyarakat setempat, sehingga kegiatan tersebut dapat tetap terus bertangsung dari waktu ke waktu atau se-makin berkembang dan semakin meningkat mutunya. Ini berarti bahwa pariwisata budaya tersebut mendapat dukungan dari masyarakat-se-

Page 94: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 94

tempat, karena sumbangannya yang positif kepada kehidupan masya-rakat tersebut. Dukungan ini muncul baik secara sadar maupun tidak. Dukungan yang baik tentunya adalah dukungan yang disadari, karena hal ini berarti masyarakat juga menyadari, mengetahui, serta merasa-kan manfaat dari pariwisata itu sendiri, sehingga mereka tidak ingin ke-hilangan pariwisata tersebut.

Sumbangan dan kesinambungan yang positif dari pariwisata terhadap masyafakat dapat berupa antara lain : meningkatnya mutu obyek wisata budaya yang dimiliki masyarakat

setempat, meningkatnya pendapatan masyarakat setempat, menguatnya identitas dan citra daerah setempat yang dapat di-

banggakan, membaiknya kehidupan sosial-budaya masyarakat.

b. Pengembangan

Pengembangan pariwisata budaya yang berkesinambungan, yang berbasis pada masyarakat tokal, akan membuat kegiatan pariwisata budaya tersebut lebih terjaga kelestariannya, kesinambungannya dari waktu ke waktu, karena warga masyarakat di situ akan turut menjaga kelestarian parwisata tersebut. Pengembangan ini dapat dilakukan pada beberapa bidang.

1- Meningkatkan sumbangan pariwisata bagi pe-ningkatan mutu obyek wisata budaya setempat. Pengembangan obyek ini dapat berupa memperbaiki kualitas obyek yang telah ada, menciptakan hasil-hasil seni dan kerajinan bafu untuk mem-perbanyak obyek wisata budaya yang dapat dinikmati, mengidentifikasi obyek obyek barn dan berupaya meningkatkan kualitasnya. Ini dapat dilakukan melalui berbagai cara. Mulai dan membantu warga masyarakat membuat perencanaan pengembangan, memberikan dukungan keuangan untuk melakukan pengembangan, memberikan bantuan berupa sumber daya manusia yang diperlukan, dsb.

2- Meningkatkan sumbangan pariwisata bagi peningkatan pendapat-an masyarakat setempat. Ini dapat dilakukan dengan membantu warga masyarakat menjalankan manajemen yang baik dalam me-nangani obyek wisata budaya, memberikan penyuluhan dan pe-latihan untuk menjalankan usaha yang terkait dengan pari wisata yang dapat menjngkatkan pendapatan, seperti misalnya membuka usaha rumah-makan, penginapan, agen perjalanan, jasa komu-nikasi dan sebagainya.

3- Meningkatkan sumbangan pariwisata bagi menguatnya citra dan identitas daerah setempat yang dapat dibanggakan. Ini dapat dila-kukan dengan mempromosikan hal-hal yang menarik dan positif

Page 95: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 95

mengenai obyek wisata budaya setempat, baik pada tingkat nasional ataupun intemasional. Promosi ini dapat dilakukan melalui televisi, film-film iklan, radio, berbagai artikel dengan foto-foto, atau metalui penyebaran poster-poster yang menarik tentang daerah yang bersangkutan.

4- Meningkatkan sumbangan pariwisata untuk membaiknya kehidup-an sosial-budaya masyarakat. Ini dapat dilakukan dengan mem-bantu masyarakat mengorganisir perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam berbagai bidang yang terkait dengan kegiatan pariwisata, yang dapat meredam persaingan dan konflik dalam masyarakat, karena perebutan lahan usaha dan wisatawan, mengadakan penyuluhan, pelatihan, kursus, dalam bidang-bidang usaha yang terkait dengan kegiatan pariwisata.

8. Pengembangan Segmen Pasar Wisata Budaya

Dalam mengembangkan segmen pasar untuk wisata budaya ini perlu dibedakan dua jenis pasar, yakni : (a) pasar dalam negeri dan (b) pasar luar negeri. Dua jenis pasar ini perlu dibedakan, karena masing-masing pasar mempunyai selera wisata budaya yang berbeda. Bahkan segmen luar negeri seringkali perlu dibedakan berdasarkan atas negaranya, karena selera wisatawan ini dapat berbeda-beda menurut latar-belakang sosiat-budayanya, yang dapat diointut pada negaranya.

a. Segmen Dalam Negeri

Segmen pasar dalam negeri untuk wisata budaya mungkin lebih tepat dibedakan atas dasar usia dan agama, mengingat dua hal ini biasanya terkait dengan pengambilan keputusan untuk menikmati atau mengam-bil wisata budaya tertentu. Untuk pemeluk agama Islam misalnya, mungkin akan tertarik untuk mengunjungi peristiwa budaya seperti Se-katen, Ongkowiyu. dan sebagainya, sedang pemeluk agama Buddha akan lebih tertarik menyaksikan upacara Waisak. Sedang mereka yang masih menganut beberapa unsur kepercayaan lama mungkin akan lebih suka menyaksikan upacara Labuhan di Parangtritis atau acara si-raman pusaka di Kraton Yogyakarta. Segmen-segmen pasar yang ber-beda ini dapat digarap dengan agak khusus melalui strategi promosi yang berbeda-beda, serta pengembangan paket wi sata yang berbeda pula.

b. Segmen Luar Negeri

Berbeda dengan segmen dalam negeri, segmen luar negeri mungkin lebih tepat diperhitungkan berdasarkan kawasan benua dari mana mereka berasal, dan kemudian negara-negara asal mereka. Atas dasar benua asalnya wisatawan asing yang masuk ke Indonesia pada umum-nya dapat dibedakan menjadi wisatawan dari Asia, Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Australia. Dari Asia wisatawan asing yang banyak

Page 96: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 96

datang ke Indonesia berasal antara lain dari Singapore, Jepang, dan Korea Selatan, sedang dari Eropa Barat dikenat wisatawan dari Prands, Belanda, Jerman dan sebagainya. Wisatawan dari berbagai negara ini biasanya memiliki pola-pola perilaku dan minat yang berbeda. Hal se-macam ini ada baiknya diketahui dan diperhatikan, agar promosi paket wisata yang telah disusun dapat memanfaatkan strategi yang tepat untuk menciptakan segmen pasar ini di berbagai negara yang berbeda.

9. Pengelolaan dan Penyusunan Paket Wisata Budaya

Sebagai suatu jenis pariwisata yang belum begitu lama dikembangkan se-cara sistematis, walaupun telah lama disadari pentingnya, wisata budaya merupakan suatu jenis wisata yang perlu dikemas dalam bentuk suatu paket, sebab wisata budaya ini seringkali melibatkan kegiatakkegiatan budaya yang tidak selalu hadir atau dapat disajikan setiap saat, jika tidak ingin kehilangan keasliannya. Kegiatan budaya yang hanya muncul dalam waktu-waktu tertentu perlu diketahui dengan baik terlebih dulu, agar ketika menyusun paket wisata tersebut kegiatan tersebut dapat dimasukkan di dalamnya. Oleh, karena itu diperiukan manajemen dan penyusunan yang lebih baik lagi agar tidak terjadi kegagalan-kegagalan dalam penyelenggaraannya.

a. Pengelolaan Wisata Budaya

Dalam wisata budaya minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk ditangani dan dikelola dengan baik, yakni : obyek wisata budaya itu sendiri, waktu penyelenggaraan paket-paket wisata budaya yang ada. paket wisata budaya itu sendiri.

Masing-masing hal saling terkait satu sama lain, namun demikian menunlut manajernen yang berbeda. Sebuah paket wisata budaya tidak akan banyak artinya jika obyek wi'satanya sendiri tidak menarik hanya karena tidak dikelola dengan balk atau secara profesional. Di lain pihak, paket wisata budaya tersebut juga tidak akan menarik jika tidak diselenggarakan pada waktu yang cepat, serta tidak dikelola secara profesional.

1- Pengelolaan Obyek

Obyek wisata budaya minimal harus selalu dipelihara jika tidak dikembangkan. Oleh, karena obyek ini dapat berupa benda dan aktivitas, maka manajemennya juga tidak dapat sama. Untuk obyek yang berupa benda-benda maka pengelolaan tersebut be-rupa antara lain : pemeliharaan obyek dan peningkatan mutu ob-yek tersebut. Untuk obyek wisata yang berupa aktivitas, maka kelestarian aktivitas tersebut harus dijaga, mutu aktivitas dan peralatan yang tertibat di dalamnya harus selalu dijaga atau ditingkatkan. Jika obyek tersebut berupa aktivitas kesenian maka

Page 97: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 97

kesejahteraan para pemain dan kualitas pertunjukan tersebut perlu terus dipertahankan atau ditingkatkan.

2- Pengelolaan Waktu

Dalam paket wisata budaya, unsur waktu juga perlu diperhatikan, sehingga wisatawan dapat menikmati hal-hal yang ingin dinikmati-nya dalam waktu yang cukup tanpa harus kehilangan hal-hal ter-tentu dalam paket tersebut. Semua juga perlu dilaksanakan de-ngan perhitungan waktu yang tepat. Hal-hal seperti keterlambatan atau berlangsungnya sebuah acara melebihi batas waktunya sebaiknya dihindari agar tidak. mengganggu acara-acara lain yang juga telah disusun sebagai satu kesatuan dalam sebuah paket.

3- Pengelolaan Paket Wisata

Pengelolaan paket wisata di sini adalah segala upaya untuk mem-buat paket-paket wisata yang telah disusun dapat berjalan dengan balk, sesuai dengan yang telah direncanakan. Pengelolaan ini meliputi : pengelolaan atas sumber daya manusia yang terlibat di

dalamnya, susunan acara dalam paket, serta berbagai sarana, serta fasilitas yang diperlukan terseleng-

garanya paket wisata tersebut.

Dalam hal ini soal administrasi, keuangan, serta bagi hasil ke-untungan yang adil merupakan hal-hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tanpa pengelolaan yang baik atas hal-hal ini, suatu paket wisata yang telah direncanakan dengan teliti dapat gagal di tengah jalan.

Demikian juga halnya dengan sumber daya manusianya. Di sini tour-guide sebaiknya adalah orang yang mengetahui segi-segi sosial-budaya masyarakat dan obyek wisata yang djkunjungi, dan kemudian dapat menerangkan hal-hal tersebut ke pada wisatawan dengan bahasa yang lancar, baik bahasa asing ataupun bukan. Selain itu tour-guide seyogyanya juga mengetahui beberapa hal tentang latar-belakang sosial-budaya wisatawan yang datang me-ngunjungi agar dalam menerangkan tentang obyek wisata ter-sebut dapat mengaitkan obyek wisata ini dengan latar-belakang budaya para wisatawan. Dengan begitu obyek wisata ini akan da-pat lebih bermakna bagi para wisatawan, dan, karena itu lantas lebih menarik.

Kelanggengan dan wisata budaya ini juga perlu diperhatikan, jika hasilnya tamyata memang memuaskan. Apabila mungkin kualitas-nya terus ditingkatkan dan waktu ke waktu, dengan memperhati-kan berbagai kritik dan saran yang diberikan oleh para wisatawan.

Page 98: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 98

Jika tidak memusakan maka berbagai perubahan dalam paket itu sendiri, serta perubahan dalam strategi promosi perlu disusun.

b. Penyusunan Paket Wisata Budaya

Untuk dapat menyusun paket wisata budaya yang dapat menarik ba-nyak wisatawan perlu kiranya dipertiatikan beberapa aspek berikut : aspek wisatawan; aspek obyek wisata; aspek waktu; aspek masyarakat lokal; aspek promosi.

1- Aspek Wisatawan

Bagi kalangan wisatawan tertentu suatu obyek wisata budaya be-rupa aktivitas warga masyarakat sehari-hari mungkin sangat me-narik, namun bagi wisatawan yang lain hal semacam itu mungkin merupakan hal yang sangat biasa dan sudah tidak menarik lagi. Oleh, karena wisata budaya merupakan suatu wi-sata dengan peminat yang agak khusus, maka dalam menyusun paket tertentu sangat perlu diperhatikan aspek wisatawan yang diinginkan mengikuti paket tersebut. Dalam hal ini pengetahuan tentang latar-belakang sosial-budaya wisatawan itu sendiri ada baiknya dimiliki oleh penysusun paket wisata ini.

2- Aspek Obyek Wisata

Aspek wisatawan di atas terkait dengan aspek obyek wisata yang dipamerkan. Dalam penyusunan paket ini perlu diperhatikan ob-yek-obyek wisata budaya yang akan menarik untuk kalangan wisatawan tertentu dan obyek apa pula yang akan dianggap tidak begitu menarik. Variasi antara obyek wisata budaya berupa benda dan aktivitas manusia juga perlu diperhatikan dalam paket-paket yang disusun, sehingga para wistawan tidak merasa bosan dengan apa yang mereka temui dan saksikan. Jika mungkin surprise-surprise kecil yang natural, perlu diciptakan untuk selalu membangkitkan minat para wisatawan.

3- Aspek Waktu

Mengingat obyek wisata budaya yang berupa aktivitas manusia tidak selalu ada, atau hanya diselenggarakan dalam waktu-waktu tertentu, maka aspek waktu merupakan hal yang harus diper-hatikan dalam penyusunan paket wisata budaya ini. Agar wisata budaya ini dapat diselenggarakan sepanjang waktu, entah setiap minggu atau setiap bulan, maka perlu disusun paket-paket wisata budaya yang bervariasi dari waktu ke waktu, disesuaikan dengan hadirnya aktivitas-aktivitas tertentu yang menarik dalam kehidupan

Page 99: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 99

masyarakat yang akan dikunjungi. Paket wisata budaya yang ber-langsung di musim kemarau tentunya tidak akan sama dengan pa-ket wisata budaya yang ditawarkan di musim penghujan. Dengan memperhatikan aspek waktu ini maka berbagai kendala yang mungkin muncul dalam waktu-waktu tertentu, yang terkait erat de-ngan pergantian musim akan dapat lebih dipertlitungkan dan dihin-dari.

4- Aspek Masyarakat Lokal

Agar paket wisata budaya yang telah diselenggarakan dapat memberikan sumbangan yang positif ke pada masyarakat setem-pat, serta mernperoleh dukungan mereka, maka aspek keterkaitan masyarakat lokal ini dengan paket wisata yang disusun perlu diperhatikan. Paling tidak paket-paket wisata ini hendaknya dapat membuat kehidupan seni-budaya dalam masyarakat lokal tumbuh dan berkembang dengan baik dan pesat, dan kemudian dapat membuka kesempatan kerja dan usaha yang baru, yang dapat menaikkan tingkat pendapatan mereka. Dengan sumbangan se-macam ini, maka masyarakat lokal akan merasa turut memiliki obyek wisata, serta paket wisata yang diselenggarakan, dan de-ngan begitu mereka akan dengan senang hati mendukung kegiat-an wisata yang ada.

5- Aspek Promosi

Aspek promosi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilu-pakan dalam menyelenggarakan wisata budaya. Dalam promosi ini sebaiknya kelompok atau segmen pasar yang menjadi target diketahui dengan baik, agar dapat ditentukan secara tepat aspek-aspek mana dari wisata budaya tersebut yang dapat ditonjolkan dan dapat menarik perhatian calon wisatawan. Promosi untuk wisatawan nusantara. yang memiliki latar-belakang budaya yang relatif sama denagn penyusun paket wisata dan penyusun strategi promosi, tentunya perlu dibedakan dengan promosi untuk wisa-tawan mancanegara. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa latar-belakang sosial-budaya wisatawan akan sangat menentukan apa yang ingin mereka lihat dan nikmati, dan bagaimana mereka dapat menikmati hal-hal tersebut.

Page 100: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 100

Lampiran H

Wisata Buatan3

Oleh : Adi Utomo Hatmoko

1. Wisata Buatan

Di dalam sistem kepariwisataan, terdapat 4 komponen tujuan wisata yang saling mendukung (Cooper eLal.. 1993), yang meliputi :

a. Attractions, atau daya tarik wisata, yang secara umum dapat dipilah dalam daya tarik alam, daya tarik budaya, dan daya tarik buatan

b. Amenities, atau fasilitas dan layanan pendukung wisata, yang antara lain meliputi akomodasi dan jasa boga, serta aneka jasa lain, termasuk retail dan jasa rekreasional lainnya

c. Access, atau pencapaian, baik menuju ke maupun di dalam daerah tujuan

d. Ancillary services, yang meliputi kegiatan pemasaran, pengembangan, koordinasi.

Jika ditilik lebih lanjut dalam, aspek daya tarik wisata, maka Edward Inskeep (1991) membagi daya tarik dan kegiatan wisata dalam 3 kategori, yaitu :

a. Daya tarik alam, yang meliputi : iklim, keindahan alam, pantai, flora dan fauna, karakter khas lingkungan, taman dan kawasan konservasi, serta wisata kesehatan.

b. Daya tarik budaya, yang meliputi : tapak arkeologis, kesejarahan dan kebudayaan, pola-pola kebudayaan yang khas, kesenian dan kerajinan,

3 Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata - Universitas Gajah Mada, 16 – 21 Oktober 2000.

Page 101: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 101

kegiatan ekonomi khas, kawasan perkotaan khas, fasilitas budaya dan museum, festival budaya, serta keramahtamahan masyarakat penghuni

c. Daya tarik khusus, atau dalam pembicaraan ini akan disebut dengan daya tarik buatan, yang meliputi : theme parks, amusement parks dan sirkus, wisata belanja, MICE (meetings, incentive conventions, and exhibitions), events khusus, perjudian, hiburan, serta rekreasi dan olahraga,

Di samping itu, Inskeep juga menunjukkan bahwa hotel dan resor, transportasi, serta boga juga dapat menjadi daya tarik, meskipun secara umum 'hanya' berperan sebagai fasilitas dan layanan wisata.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa :

wisata buatan adalah aneka daya tarik wisata yang dapat berakar pada alam atau budaya, namun dikembangkan lebih jauh sebagai suatu pengembangan yang kreatif dengan interpretasi mendalam pada aspek-aspek yang dapat dieksploitasi lebih lanjut.

Objeknya dapat sangat ekstensif seperti Disneyland di Orlando ataupun kecil seperti Kid's Fun di Yogyakarta. Dapat terkait dengan budaya seperti Kawasan Garuda Wisnu Kencana di Bali atau terkait dengan alam seperti Riverwalk di Chattanooga, ataupun dengan fauna seperti Taman Safari di Bogor. Dapat bersifat khusus seperti Literature Museum di Himeji, ataupun umum seperti Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta. Yang jelas, berbagai pe-ngembangan tersebut lazimnya memanfaatkan berbagai sumberdaya alam dan budaya, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada perlu dijaga. Na-mun di sisi lain, juga perlu dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal.

2. Proses Perencanaan

Proses perencanaan pada dasarnya adalah suatu tindakan rasional untuk menuju visi yang telah ditetapkan. Dalam proses perepcanaan dan peran-cangan, pada dasarnya terdapat 5 komponen utama yang perlu didefinisikan secara jelas, yang meliputi : a. Profil : kondisi eksisting yang ada. b. Visi : Kondisi ideal yang diinginkan. c. Masalah : jarak antara kondisi ideal dan kondisi eksisting.

Page 102: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 102

d. Strategi : cara untuk mencapai visi. e. Aksi : tindak nyata yang merupakan jabaran dari strategi.

a. Profil

Kondisi eksisting perlu ditinjau dan setidaknya beberapa aspek, yaitu meliputi : sosio-ekonomis, sosio-kultural, natural-ekologis, teknis-kerekayasaan, serta estetika-desain.

Kondisi tersebut perlu dinilai. Salah satu alatnya adalah Analisis SWOT (SWOT analysis), yang meliputi : Strengths (kekuatan), yaitu faktor positif internal. Weaknesses (kelemahan), yaitu faktor negatif internal. Opportunities (peluang), yaitu faktor positif eksternal. Threats (ancaman), yaitu faktor negatif eksternal.

b. Visi

Visi dapat dirind dalam waktu di mana visi tersebut diharapkan terjadi, dapat berupa : Jangka panjang, dengan durasi sekitar 25 tahun. Jangka menengah, dengan durasi sekitar 5 tahun. Jangka pendek, dengan durasi sekitar 1 tahun.

Visi ini dapat juga terkait dengan tujuan atau sasaran pembangunan, atau developmental goals dan developmental objectives.

c. Masalah

Masalah adalah jarak (discrepancy) antara kondisi ideal yang diha-rapkan dengan kondisi eksisting sekarang ini. Perumusan problem statement membutuhkan langkah-langkah sebagaimana berikut : mempelajari secara mendalam masalah yang dihadapi. membatasi daerah masalah secara lokasional, temporal, serta

melihat kaitan dan pengaruhnya terhadap masalah yang lain. menyiapkan data-data/informasi pendukung masalah. menyiapkan daftar goals dan objectives. mengenali kisaran variabel-variabe) yang perlu diperhitungkan. mengkaji ulang problem statement.

Page 103: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 103

d. Strategi

Strategi adalah cara untuk mencapai visi, yang dijabarkan dalam rencana atau rancangan. Perumusan strategi terkait erat dengan pe-rumusan tujuan dan sasaran bagi strategi tersebut. Jika tujuan (goals) lebih bersifat ultimate, serta tidak langsung, maka sasaran (objectives) lebih bersifat langsung, serta konkret. Tujuan pada dasarnya dapat be-rupa pemecahan masalah, permenlihan kebutuhan, atau pemanfaatan peluang.

Dari sisi proses, dapat ditunjukkan dalam diagram alir sebagai berikut :

Pengumpulan data, survey kondisi eksisting : alam, buatan, dan sosial-ekonomi-budaya.

Analisis kondisi dan kecondongan. Penemukenalan peluang dan kendala.

Formulasi tujuan dan sasaran.

Penyusunan konsep-konsep alternatif.

Elaborasi masing-masing konsep menjadi solkusi yang dapat diterapkan.

Evaluasi solusi-solusi alternatif.

Penerjemahan solusi-solusi menjadi kebijakan, rencana, arahan

dan program.

3. lsu-Isu Spesifik Tipologi Wisata Buatan

a. Theme parks

Suatu theme park adalah taman rekreasi komersial yang biasanya sangat luas, hingga puluhan atau bahkan ratusan hektar, dan meliputi sejumlah kawasan tematik presentasi, display, kegiatan, dan hiburan indoor dan outdoor, dilengkapi dengan layanan wisatawan, retail, dan jasa boga. Tema yang diangkat dapat historik, geografis atau lingkung-an, sosial, teknologi, atau futuristik, dan macam-macam lain yang dapat

Page 104: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 104

merangsang, mendidik, ataupun menghibur pengunjung. Infrastruktur yang lengkap beserta akomodasi ataupun fasilitas wisata lain juga sering dibutuhkan. Suatu perencanaan perlu pertama-tama melakukan identifikasi apakah suatu theme park diperiukan untuk suatu wilayah tertentu, dan dengan tipe, serta skala seperti apa. Analisis ini perlu dilengkapi dengan potensi pasar, jenis dan skala yang relevan, dan lokasi, di samping biaya, pemasukan, dan kelayakan finansial. Lahan yang luas dan memiliki akses yang baik akan dibutuhkan, dan tahan bersebelahan yang belum berkembang juga laa'ninya diperiukan untuk pengembangan lebih lanjut. Infrastruktur yang menyangkut transportasi (darat, udara, dan rel) perlu direncanakan pertama kali, dan disusul dengan penyediaan air bersih, elektrik, drainase, pembuangan limbah, serta sistem telekornunikasi. Setelah dibangun, maka pemasaran, manajemen, dan perawatan yang prima akan selalu dibutuhkan. Perencanaan suatu theme park kerap kali harus saling menyesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah yang melingkupinya.

b. Wisata Kota dan Resor Kota

Suatu kota kerap memiliki banyak asset yang dapat ditampilkan : Pertama yang berkaitan dengan lingkungan fisiknya. Dapat meliputi

aneka bangunan bersejarah, trail bersejarah, ataupun features yang menarik yang dimiliki suatu kota.

Kedua adalah yang berkaitan dengan kegiatan yang terjadi di kota tersebut. Hal ini meliputi kegiatan belanja dan kegiatan komersial lainnya, maupun aneka kegiatan sosial-budaya hingga sosial-ekonomi yang dapat menjadi daya tarik wisata. Fasilitas belanja dengan berbagai manifestasinya (formal dan informal, siang dan malam, komoditas umum dan khusus) kerap menjadi daya tarik yang penting artinya. Meskipun unsur alam menjadi kurang dominan dalam suatu kota, namun berbagai asset alam yang dikembangkan lebih jauh akan dapat menjadi daya tarik wisata buatan juga. Contoh yang paling menarik adalah yang terjadi pada lokasi-lokasi di mana daratan bertemu dengan air. Baik yang berupa riverwalks (dengan blueways dan greenways-nya), maupun tepian air pada kota-kota pantai.

c. Fasilitas Pertemuan

Wisata yang terkait dengan MICE sudah sangat berkembang dewasa ini, dan berbagai hotel, serta resor kerap menyediakan aneka fasilitas untuk mengakomodasi jenis wisata ini. Meskipun fasititas-fasilitas perte-muan itu sendiri tidak banyak memberi tambahan tapangan pekerjaan dan penghasilan secara langsung, namun dampaknya secara tidak langsung akan sangat meluas. Di sisi lain, keberadaan fasilitas-fasilitas ini juga dapat digunakan untuk mengantisipasi saat-saat di mana pasar wisata sedang sepi. Meski di sisi lain, sifatnya yang kurang dapat diramalkan juga perlu mendapat perhatian. Analisis kelayakan pasar dan finansial menjadi hal utama yang patut dipertimbangkan pertama

Page 105: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 105

kali. Adanya akses dengan sistem, transportasi yang handal merupa-kan kunci utama, dan disesuaikan dengan kelas fasilitas pertemuan yang direncanakan. Ketersediaan berbagai fasilitas, termasuk parkir, fasilitas rekreasj, serta perbelanjaan dan hiburan di sekitar juga menjadi unsur penunjang yang penting. Hal ini terutama terkait dengan berba-gai kegiatan pra dan pasca konferensi, serta program untuk pasangan.

d. Fasilitas Lainnya

Fasilitas lain yang dapat dikembangkan antara lain meliputi fasilitas olahraga, yang kerap kali direncanakan dan dibangun dikaitkan dengan suatu event olahraga tertentu. Seperti misalnya Atlanta dengan Olim-piade 1996-nya. Lazimnya direncanakan sebagai fasilitas terpadu de-ngan akomodasi atlet dan terkait dengan sarana transportasi yang prima. Masalah dalam operasi dan perawatan lebih lanjut perlu diper-timbangkan dengan adanya kegiatan-kegiatan olahraga yang memiliki skala cukup besar. Pameran juga dapat dilakukan baik secara temporer maupun secara permanen. Membutuhkan lahan yang luas, keterse-diaan transportasi dan akses yang baik, serta fasilitas pendukung yang lengkap di dekatnya. Pada beberapa kawasan metropolitan, area pa-meran akan menjadi peluang untuk menghidupkan kawasan-kawasan yang mati. Di beberapa negara juga dikaitkan dengan festival yang membuat lebih hidup (Janadriya di Arab Saudi, ataupun Ching San di Taipei, misalnya).

Hal-hal lain yang juga temiasuk daya tarik wisata buatan adalah fasilitas perjudian, seperti di Las Vegas ataupun Genting Highlands. Juga ber-bagai resor dan fasilitas golf, tenis, ataupun fasilitas rekreasi lain. Ane-ka museum ilmu dan teknologi ataupun alam (oseanarium, misalnya) juga merupakan pengembangan yang memiliki prospek.

4. lsu-isu Manajemen Daya Tarik Wisata Buatan

Ada beberapa hal yang menjadi isu utama manajemen daya tarik wisata buatan, yang meliputi : asosiasi etnis, religi, atau nostalgis tertentu, stabilitas politis, kesehatan dan keselamatan umum, serta biaya perjalanan.

Di sisi lain, Wiendu Nuryanti (1999) telah mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan wisata buatan untuk menjamin keber-hasilannya, yang meliputi :

a. Aspek manajemen pengelolaan, yang meliputi : kompetensi manajer, kelembagaan, sumber pendanaan,

Page 106: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 106

investasi, pembaruan atraksi, biaya operasi dan pemeliharaan, serta pemasaran.

b. Aspek produk wisata, yang meliputi : keunikan, lokasi, keragaman, adanya even khusus, kualitas lingkungan, pelayanan wisatawan sebagai customer kelengkapan fasilitas, dan harga.

c. Aspek pasar, yaitu jenis pasar yang perlu ditangkap, dengan mengu-tamakan yang sedang berkembang

d. Aspek manajemen atraksi, yang meliputi : adanya manajer profesional pemasaran, faktor ekstemal sebagai lingkungan bisnis, kompetitor, monitoring kinerja, serta adanya masterplan.

5. Daftar Pustaka

a. Cooper. Chns. John Fletcher. David Gilbert, dan Stephen Wanhill, 1993, Tourism.

b. Principles and Practice, London : Pitman Publishing. c. Gunn, Clare A, 1988,. Tourism Planning, Second Edition. New York :

Taylor and Frands. d. Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning : An Integrated and

Sustainable Development. e. Approach, New York : Van Nostrand Reinhold. f. Nuryanti, Wiendu, 1999, Perencanaan Wisata MICE dan Wisata

Buatan, Bahan Kegiatan Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan Yogyakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata.

g. Pearce. Douglas. 1989, Tourist Development, Second Edition, London : Longmar Scientific and Technical.

Page 107: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 107

Lampiran I Analisis Produk Pariwisata4

Oleh : Ir. Djoko Wijono, M. Arch.

1. Produk Pariwisata

"Produk" pariwisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat "dijual" sebagai barang komoditas pariwisata. Termasuk di dalam kategori produk pariwisata adalah penunjang terjualnya barang komoditas. Pada umumnya, terutama dalam hukum ekonomi, produk adalah barang yang diproduksi, dijual, dan diperdagangkan, sedangkan hal-hal yang menunjang terproduksi dan terjualnya barang hasil produksi disebut infrastruktur.

Komponen utama dalam produk pariwisata adalah Atraksi, Amenitas, dan Aksesibilitas (biasa disebut dengan Tripple A).

Atraksi adalah objek/daya tarik wisata; artinya suatu objek yang memiliki daya tarik wisata yang layak "dijual" ke pasar wisata, baik wisata nusantara maupun wisata mancanegara. Dalam beberapa hal, khususnya berkaitan dengan penerjemahan/interpretasi UU Kepariwisataan, arti atraksi dibagi dalam dua komponen, yaitu objek wisata yang artinya adalah objek "tidak bergerak" yang memiliki daya tarik wisata, dan daya tarik wisata yang berarti objek "bergerak" yang memiliki daya tarik wisata. Pengertian atraksi dalam bimbingan teknis ini lebih ditekankan pada pengertian objek (baik bergerak maupun tidak bergerak) yang memiliki daya tarik wisata. Oleh karena itu penulisan istilah tersebut menjadi "objek/daya tarik wisata" dan bukan "objek dan daya tarik wisata".

Dengan demikian atraksi atau objek/daya tarik wisata (ODTW) adalah segala macam objek bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki daya tarik wisata dan layak ditawarkan dan "dijual" kepada pasar wisata mancanegara maupun nusantara. Seperti tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS), atraksi atau ODTW dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu : ODTW buatan (manmade), ODTW alam (nature), ODTW budaya.

Batas antar ke tiga jenis kategori sering tidak jelas, dan bahkan tumpang tindih; namun demikian sebenarnya di dalam pariwisata yang penting bukan kategorisasinya, melainkan kualitas ODTW-nya Sebagai contoh adalah ba-

4 Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata - Universitas Gajah Mada, 16 – 21 Oktober 2000.

Page 108: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 108

ngunan gedung, lukisan, dan kerajinan merupakan ODTW buatan manusia, demikian pula alam pegunungan, sungai, dan hutan merupakan contoh ODTW alam; selain itu upacara adat, tarian tradisionil, adat-istiadat masya-rakat tertentu merupakan ODTW budaya. Beberapa contoh yang menunjuk-kan batas yang tidak jelas antara satu kategori dengan kategori ODTW yang lain adalah hutan/taman anggrek yang ditanam oleh manusia sering disebut sebagai ODTW alam, tetapi juga lebih cocok jika disebut sebagai ODTW buatan, karena semuanya dipersiapkan dan direkayasa oleh manusia.

Salah satu perkembangan jenis atraksi adalah rekayasa manusia yang me-madukan objek-objek wisata ke dalam satu bentuk wisata, yang umumnya disebut paket wisata. Sebagai contoh bentuk paket wisata adalah : paket wisata budaya yang menyajikan objek-objek wisata seperti Kraton

Yogyakarta, Candi Prambanan dan Borobudur, dan balet Ramayana; paket wisata pedesaan yang menyajikan objek wisata desa pantai, desa

kota, dan desa pegunungan; dan paket wisata volkano yang menyajikan perjalanan ke puncak Merapi,

penelusuran tebing gunung Merapi, sekaligus perjalanan ke desa volka-no Kinahrejo;

dan sebagainya.

Dengan demikian sebenarnya banyak objek dan daya tarik wisata yang "di-ciptakan" atau dikembangkan berdasarkan atas ODTW yang sudah ada dan diramu menjadi satu paket wisata yang eksklusive, menarik, serta layak jual.

Amenitas adalah segala macam fasilitas yang menunjang perkembangan pariwisata. Hotel dan restoran (atau dengan rumus umum disebut fasilitas penginapan dan makanan) merupakan fasilitas pokok dalam pariwisata, di samping fasilitas komunikasi seperti telepon, pos, faksimili, jaringan komputer, fasilitas keamanan seperti polisi dan penjaga keamanan serta pemandu; fasilitas keuangan seperti bank, dan penukaran uang. Termasuk dalam jenis fasilitas yang lain adalah pramuwisata, operator perjalanan wisata, biro perjalanan wisata, toko cenderamata dan kerajinan.

Hal yang sering dilupakan orang adalah fasilitas asuransi, khususnya bagi wisata petualangan, atau wisata yang memiliki resiko kecelakaan seperti berperahu. Atau perjalanan melalui tebing yang terjal. Khusus untuk obyek wisata, seperti museum ataupun taman rekreasi, toilet/lavatori/restroom me-rupakan syarat pokok baik ketersediaan, kebersihan maupun kesehatannya.

Tanpa dilengkapi oleh jenis-jenis fasilitas ini tentu saja pariwisata menjadi tidak lengkap, sehingga perkembangan pariwisata akan terganggu. Bagi wisatawan mancanegara, ketersediaan dan kualitas amenitas sangat penting dan menjadi tolok ukur berhasilnya pariwisata. Meskipun ODTW bagus tetapi jika fasilitas ini tidak tersedia, atau kurang berkualitas terutama fasilitas wisata resor maka mustahil wisatawan mancanegara akan mengunjungi, ka-rena perjalanan mereka tidak memiliki jaminan fasilitas yang baik. Sebaliknya bagi wisatawan nusantara. masalah fasilitas masih belum - menjadi tolok

Page 109: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 109

ukur pokok. Hal ini barangkali akibat keterbatasan pengetahuan mengenai jenis dan persyaratan fasilitas wisata yang memadai.

Amenitas akan menyebabkan wisatawan kerasan (nyaman) tinggal berlama-lama di suatu objek kawasan/distrik wisata, sehingga mampu membantu memperpanjang lama tinggal wisatawan.

Aksesibilitas, adalah sarana dan prasarana yang menyebabkan wisatawan dapat mengunjungi ODTW. Suatu hal yang berbeda jika dibandingkan de-ngan pengertian produk dalam domain ekonomi. Dalam domain ekonomi, sarana dan prasarana disediakan agar barang (produk) yang dijual dapat didistnbusi, sehingga konsumen (pasar) dapat dijangkau yang menyebabkan konsumen dapat membeli ataupun memiliki. Dalam domain pariwisata, sa-rana dan prasarana dibangun agar konsumen (wisatawan/pasar) dapat me-ngunjungi ODTW, sehingga mereka akan mampu membeli ODTW tersebut. Dengan demikian dalam domain ekonomi sebagaian besar konsumen dida-tangi oleh barang yang diperdagangkan, sedangkan dalam domain pariwi-sata seluruh konsumen harus mendatangi barang yang "diperdagangkan".

Jalan, rel kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara, stasiun bus, dan sta-siun kereta api merupakan prasarana transportasi pariwisata. Sementara itu kereta api, bus, taksi, jenis kendaraan angkutan umum darat dan terutama angkutan wisata, kapal laut, feri dan kapal terbang merupakan sarana transportasi pariwisata. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi untuk pariwisata tidak hanya diukur dari sisi kuantitatif saja, melainkan juga dari sisi kualitatif. Di samping itu agar terdapat kesinambungan kualitas pelayanan, maka perusahaan angkutan wisata merupakan bagian dari jenis prasarana transportasi wisata.

Aksesibilitas akan menyebabkan wisatawan mampu mencapai objek dan daya tank wisata yang dituju dengan aman dan nyaman, serta layak.

Salah salu pemahaman mengenai akesibilitas pariwisata adalah adanya ta-tanan yang mampu mengatur dan menjelaskan kepada wisatawan batas-batas wisatawan dapat menikmati dan mengembangkan pengalaman wisata-nya pada suatu objek wisata. Sebagai contoh adalah : wisatawan tidak diperkenankan masuk pura di Bali jika sedang haid; wisatawan tidak diperkenankan masuk ke dalam masjid jika tidak sedang

mengikuti/melaksanakan ibadah sholat, kecuali di serambi masjid; wisatawan tidak diperkenankan masuk gua lebih dalam lagi jika tidak

dilengkap peralatan dan pemandu yang memadai; wisatawan tidak diperkenankan mengikuti tur wisata Merapi jika

menggunakan pakaian yang berwarna sangat "menyala"; dan sebagainya.

2. Pendekatan Perencanaan Pengembangan

Proses pembangunan pariwisata berkaitan erat dengan berbagai aspek dan komponen pembangunan, baik pembangunan masyarakat maupun pemba-

Page 110: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 110

ngunan negara dan bangsa. Agar semua komponen tersebut dapat mem-peroleh manfaat dan pengembangan pariwisata secara proporsional dan da-pat memberikan kontribusi yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan pariwisata, maka pada umumnya pengembangan pariwisata diarahkan melalui melalui dua pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pengembangan pariwisata tidak bertujuan mengeksploatasi sumber daya wisata namun lebih diupayakan untuk memberdayakan sumber daya tersebut, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebaik-baik-nya bagi masyarakat yang ada/tinggal di lokasi pengembangan pariwi-sata; dan tidak hanya kepada segelintir orang atau orang yang ada di luar lokasi pengembangan pariwisata. Pertimbangan-pertimbangan agar sumber daya wisata tidak "sirna", hilang, ataupun rusak, dan pada gilirannya pariwisata kehilangan kualitas serta ditinggalkan oleh wisata-wan, merupakan dasar-dasar menuju pembangunan pariwisata berke-lanjutan. Dengan mengupayakan kualitas sumber daya wisata tetap ter-jaga, maka manfaat (ekonomi, sosial, budaya, fisik, lingkungan kehi-dupan, dan secara keseluruhan adalah manfaat pembangunan) yang diperoleh dan pengupayaan pengembangan pariwisata akan semakin baik dan berkualitas serta berkesinambungan. Demikian pula analisis pengembangan produk pariwisata sebagai komponen utama pariwisata berasaskan prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu komponen pokok, di samping ODTW, yang perlu mendapatkan pengupayaan pe-ngembangan yang berkelanjutan (dan bahkan berkembang dengan ter-kontrol) dalam konteks kepariwisataan adalah kesejahteraan masyara-kat setempat (bukan masyarakat pendatang), karena ODTW dipahami sebagai salah satu kekayaan yang "dimiliki" oleh masyarakat setempat, di mana ODTW berada.

b. Pendekatan Pasar (Market)

Pasar merupakan komponen penting dalam pengembangan pariwisata, karena jika tidak ada pasar yang bersedia "membeli" wisata maka pem-bangunan pariwisata tidak akan mendatangkan marfaat apapun, se-hingga yang terjadi hanya pemborosan. Identifikasi pasar potensial dan pemahaman terhadap karakteristik permintaan mereka akan menentu-kan strategi pengembangan yang sesuai dengan permintaan dan se-suai dengan potensi dan keterbatasan yang dimiliki. Dengan demikian target pasar yang dituju akan jelas terumuskan dan layak dilaksanakan. Hal ini berarti pengembangan produk pariwisata didasarkan atas hasil analisis karakterstik permintaan pasar, dan analisis pengembangan "target" kunjungan wisatawan. Kedua analisis yang mendasari analisis pengembangan produk terutama analisis pengembangan ODTW dinamakan sebagai prinsip pengembangan pariwisata yang berorientasi pada keseimbangan antara permintaan pasar dengan potensi dan "keterbatasan" yang dimiliki oleh suatu daerah.

Page 111: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 111

Hal tersebut sangat berbeda dengan pendekatan yang pada umumnya digunakan oleh beberapa pejabat pemerintah yang berorientasi pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat struktural yang berada di atasnya melalui pemahaman subjektifitas yang terbatas, dengan tanpa/ kurang melibatkan permintaan pasar. Di lain pihak, terdapat pemaham-an bahwa permintaan pasar merupakan faktor yang sangat penting, sehingga segala permintaan akan dipenuhi/disediakan, meskipun suatu daerah tidak/kurang memiliki potensi kepariwisataan terutama ODTW, yang berakibat pada banyak ODTW yang direkayasa, tidak sesuai dengan sifat dan budaya masyarakat setempat, yang pada gilirannya justru pariwisata akan merusak dirinya melalui perekayasaan yang tidak semestinya.

3. Analisis Objek/Daya Tarik Wisata (ODTW)

Tolok ukur utama yang digunakan untuk melihat potensi/kekuatan suatu ob-jek tergantung pada pasar mana objek tersebut dapat ditawarkan. Di lain pi-hak tolok ukur untuk melihat kelemahan, atau lebih tepat disebut keterbatas-an suatu objek adalah tingkat "kerawanan" (fragileness) yang ada pada objek tersebut akibat dari sifat asli yang dimilikinya. Dengan kombinasi atas kedua tolok ukur tersebut akan dapat mengidentifikasi objek wisata yang memiliki tingkat kesinambungan (sustainability) yang baik. Sebagai contoh situs Ta-mansari merupakan objek wisata yang kemungkinan dapat dijual ke pasar Eropa, namun karena situs ini sangat rapuh (meskipun telah dikonservasi de-ngan beberapa perkuatan struktural), maka sudah barang tentu situs ini me-miliki keterbatasan khususnya jumlah wisatawan yang berkunjung. Demikian pula Kraton Yogyakarta; objek ini dapat dijual ke pasar mana saja termasuk pasar nusantara golongan I, namun agar kesinambung-an kualitas objek, baik suasana maupun kekuatan fisiknya, maka diperlukan pembatasan jum-lah pengunjung pada satu saat, serta pemilihan daerah tertentu yang dapat dikunjungi oleh wisatawan.

Beberapa komponen yang harus dicatat dalam identifikasi kekuatan dan kelemahan/keterbatasan suatu objek wisata meliputi : a. nama objek (kalau ada namanya), b. klasifikasi objek (alam, buatan, budaya), c. lokasi dan jarak tempuh dari kota distribusi (dalam jam), d. diskripsi objek (meliputi sejarah, kekuatan yang dimiliki, kelemahan,

dan keterbatasan yang dimiliki), e. jenis wisata yang dapat dikembangkan (perkiraan) f. pasar wisatawan yang diperkirakan dapat membeli g. fasilitas dan infrastruktur yang tersedia (kuantitas dan kualitas), baik di

dalam lokasi maupun menuju lokasi objek h. kondisi manajemen/pengelolaan objek (kalau sudah ada)

Agar identifikasi objek dapat menentukan pilihan prioritas objek maka perlu dilakukan penilain (scoring). Tolok ukur yang digunakan untuk menilai adalah komponen nomor 2 sampai dengan nomor 8, seperti tertera dalam tabel beri-kut. Penentuan bobot dan penilaian masing-masing komponen dapat didis-

Page 112: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 112

kusikan bersama di antara "stakeholdes", yang didahului dengan usulan yang disampaikan oleh penyusun rencana pengembangan, sedangkan peng-hitungan score merupakan perkalian antara bobot dengan nilai pada masing-masing komponen. Score total merupakan jumlah score pada setiap kompo-nen pada satu jenis/nama ODTW. Setelah scoring selesai tidak berarti hasil-nya langsung dapat ditetapkan, meskipun proses penilai telah melibatkan stakeholders, melainkan harus dilakukan evaluasi kualitatif yang disebut sebagai "trade off", yaitu mengkaji secara kualitatif apakah hasil yang dite-mukan melalui proses penilaian dengan angka dapat dinyatakan logis dan layak untuk diterima/disetujui. Untuk jelasnya lihat Tabel I.1.

Selanjutnya, hasil identifikasi objek yang dinyatakan layak ditawarkan/dijual perlu digambarkan pada peta dengan skala yang tepat agar dapat dilihat di-stribusi/penyebaran dalam satuan wilayah pengembangan. Analisis ODTW khususnya mengenai penyebaran lokasi sangat penting untuk dilakukan, karena dengan mengetahui tingkat penyebaran lokasi ODTV\/, maka akan dapat dirancang paket-paket wisata yang efisien namun memiliki "nilai jual" tinggi. Di lain pihak jika perencanaan pariwisata ditujukan untuk suatu Kabu-paten/Kota, analisis penyebaran lokasi ODTW dapat menghasilkan strategi menghindari menumpuknya kegiatan pada satu bagian kota, yang berakibat pada menurunnya tingkat daya tarik ODTW ataupun kota sebagai ODTW.

Analisis kualitatif pada ODTW sangat diperlukan. dan harus diupayakan seobjektif mungkin. Hal ini untuk menghindari adanya kecenderungan memilih ODTW tertentu pada para penilai, khususnya perencana dan instansi terkait. Data objektif yang dapat diperoleh untuk analisis kualitatif adalah dengan menyebarkan questionaire (daftar pertanyaan) kepada para wisatawan pengunjung atau kepada mereka yang pernah berkunjung ke objek wisata. Data kualitatif yang perlu diperoleh antara lain kualitas objek, ketersediaan sarana prasarana, kelebihan dan kekurangan yang ditemui. Data diukur secara kualitatif subjektif dengan Skala "Lickert" lima kategori, seperti baik sekali-baik-sedang-buruk-buruk sekali. Data yang diperoleh dia-nalaisis dengan menggunakan statistik yang paling sederhana; tabulasi frek-wensi, yaitu dengan mencari nilai rata-rata (mean)-nya.

Sebagai contoh adalah data mentah mengenai kualitas atratifitas (keme-narikannya) suatu ODTW sebagaimana pada Tabel I.2. Dengan contoh data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa atraktifitas ODTW masih dalam skala sedang, demikian pula ketersediaan informasi, sedangkan tingkat kebersihan lingkungan ODTW masih sangat rendah.

Data seperti ini hanya dapat diperoleh pada ODTW yang telah "dikem-bangkan", dalam arti telah dikunjungi wisatawan. ODTW yang belum pemah dikunjungi akan sangat sukar mendapatkan data seperti ini. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan adalah dengan melibatkan berbagai kalangan seprti para ahli, pejabat, peneliti, masyarakat umum, dan kalau bisa wisatawan potensial.

Page 113: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 113

Tabel I.1 : Contoh Matrik Penilaian ODTW

No. Nama Faktor Penilaian Klasifikasi

Lokasi dan

Jarak Tempuh

Deskripsi Objek

Jenis Wisata

Pasar Wisatawan

Fasilitas dan

Prasarana Lingkungan

Pengelolaan Skor Total

1 Bobot Nilai Skor

2 Bobot Nilai Skor

Page 114: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 114

Tabel I.2 : Contoh Data Kualitatif Pada Penilaian ODTW

No. Kualitas Objek Baik Sekali Baik Sedang Buruk Buruk Sekali 1 Atraktifitas 2 Ketersediaan

Informasi

3 Kebersihan

Secara umum analisis kualitatif lebih banyak dilakukan terhadap ODTW dari pada analisis kuantitatif. Ananlisis kuantitafif yang dilakukan terhadap ODTW lebih banyak pada jumlah ODTW dan sebaran lokasi ODTW. Analisis se-baran lokasi ODTW merupakan analisis yang lebih bersifat keruangan.

4. Volume Kunjungan Wisatawan dan Segmen Pasar Wisatawan

Pada dasarnya analisis ini merupakan bagian dan analisis pasar wisata. Oleh karena itu dalam bagian ini tidak akan diuraikan cara-cara melakukan forecasting kunjungan wisatawan, namun akan diuraikan fungsi utama analisis kunjungan wisata dalam pengembangan pariwisata.

Volume/jumlah kunjungan wisatawan merupakan strategi utama dalam pe-ngembangan pariwisata. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, jumlah kun-jungan wisatawan serta segmentasi pasar wisatawan yang dituju akan dapat memberikan gambaran untuk perhitungan ekonomis, khususnya devisa yang dapat diraih. Di lain pihak analisis segmen pasar wisata akan menciptakan kesinambungan pasar dan ODTW, ketika pasar yang diraih cocok/sesuai dengan karakteristik ODTW.

Perhitungan perkiraan volume kunjungan wisatawan dapat dibedakan dalam dua kategori : perkiraan optimis, dan perkiraan pesimis.

Perkiraan optimis adalah jumlah maksimal wisatawan yang diperkirakan akan datang, sedangkan perkiraan pesismis adalah jumlah minimal wisata-wan yang diperkirakan akan datang.

Perhitungan perkiraan (forecasting) volume kunjungan wisatawan merupa-kan dasar dari semua perhitungan kebutuhan pengembangan amenitas dan aksesibilitas. Dengan mengetahui jumlah wisatawan yang (diperkirakan) akan datang, maka akan dapat dihitung : jumlah kebutuhan hotel dan kamar hotel beserta kelas hotel, jumlah rumah makan dan tempat duduknya, jumlah sarana dan prasarana transportasi yang pertu disediakan serta

sistem transportasi yang perlu dikembangkan, jenis dan jumlah paket perjalanan wisata yang ditawarkan, jumlah fasilitas penukaran uang dan telekomunikasi, sistem informasi yang diperlukan,

Page 115: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 115

manajemen yang diperlukan. institusi/kelembagaan yang diperlukan untuk menangani pengembangan dan operasional harian pariwisata,

jumlah dan kualitas sumberdaya manusia yang diperlukan, serta strategi penanganan lingkungan untuk meminimalisasi dampak

pariwisata yang diperkirakan akan timbul.

Perlu dijelaskan juga di sini, bahwa perencanaan pembangunan pariwisata merupakan sumber dirumuskan dan ditetapkannya kebijakan mengenai pe-ngembangan pariwisata. Segala hal yang ada dalam dokumen perencanaan, seperti : visi, misi, konsep dan arah pengembangan pariwisata, rencana (strategis) pengembangan pariwisata, serta rencana operasional (program pengembangan/pembangunan) perlu ditindak lanjuti dengan peraturan perundangan, agar dapat dilaksa-nakan dengan baik, terkontrol, dan terkoordinasi.

5. Analisis Kebutuhan Kamar Hotel/Penginapan

a. Analisis Kuantitatif

Analisis kebutuhan kamar hotel dan penginapan didasarkan atas kon-sep pengembangan pariwisata yang ditetapkan pada satu wilayah pe-ngembangan, karena setiap jenis konsep pengembangan akan menun-tut perbedaan kebutuhan kamar hotel/penginapan. Sebagai contoh adalah : jika suatu daerah dinyatakan sebagai daerah wisata resor ma-ka kebutuhan kamar hotel/penginapan akan berbeda jika daerah yang lain ditetapkan sebagai wisata petualangan. Dasar yang lain adalah ke-tentuan rencana target kunjungan wisatawan pada akhir tahun peren-canaan. Target kunjungan wisatawan ini ditetapkan juga berdasarkan atas konsep pengembangan pariwisata, sehingga masing-masing dae-rah akan memiliki target jumlah kunjungan wisatawan berbeda : seperti misalnya suatu daerah ditetapkan sebagai pusat distribusi wisatawan ke Kabupaten/Kota yang lain, sementara Kabupaten/Kota yang lain di-tetapkan sebagai daerah tujuan wisata yang menyediakan ODTW. Su-dah barang tentu Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebagai pusat dis-tribusi wisatawan akan dan harus menampung wisatawan lebih banyak daripada daerah yang terkena distribusi, sehingga jumlah kamar ho-tel/penginapan menjadi lebih banyak.

Selain konsep pengembangan pariwisata dan rencana target jumlah kunjungan wisatawan, komponen lain yang digunakan untuk menghi-tung kebutuhan jumlah kamar hotel/penginapan adalah : lama tinggal wisatawan (length of stay/LoS), kondisi dan perkiraan jumlah wisatawan yang menginap di hotel, kondisi dan ideal rata-rata hunian hotel (hotel occupancy rate),

Page 116: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 116

kondisi dan ideal rata-rata hunian kamar hotel (hotel double occu-pancy rate).

Perlu dijelaskan di sini bahwa ideal rata-rata hunian hotel ditetapkan stas dasar target rata-rata jumlah kamar dan jumlah hari terjual agar hotel tetap dapat beroperasi. ada umumnya target ideal rata-rata hunian hotel adalah 0,6 atau 60 %. Sementara itu rata-rata ideal hunian kamar hotel umumnya ditetapkan sebesar : 1,7 untuk wisatawan nusantara, dan 1,3 untuk wisatawan mancanegara. Namun demikian, target-target ideal ini dapat bervariasi, tergantung kondisi dan strategi pengembangan yang ditetapkan/disepakati oleh stakeholders setempat.

Diketahui bahwa sampai dengan saat ini hotel telah dikategorisasikan ke dalam kelompok/tingkat : hotel bintang, melati, homestay, guesthouse, dan penginapan.

Pada umumnya data yang lebih akurat adalah data mengenai hotel bintang dan melati, sedangkan homestay, guesthouse, dan pengi-napan pada umumnya tidak akurat dan bahkan tidak ada. Hal ini yang sering menimbulkan kemelesetan dalam perencanaan, karena pada kenyataan homestay, guesthouse dan penginapan (seperti terjadi di ka-wasan Bromo, dan "perkampungan Intemasional" Sosrowijayan di Yog-yakarta, merupakan pilihan para wisatawan, namun data yang tersedia tidak lengkap, kecuali diadakan pendataan langsung (primer).

Dengan menggunakan rumus seperti di bawah ini, maka jumlah kamar hotel yang dibutuhkan baik pada tahun tertentu ataupun pada akhir tahun perencanaan dapat dihitung.

Rumus Perhitungan Kebutuhan Jumlah Kamar Hotel

LoS x JW x % WMH = Jumlah Kamar Hotel 365 x HH x HKM

Dengan : LoS = lama tinggal wisatawan (length of stay). JW = jumlah wisatawan. 365 = jumlah hari dalam satu tahun. WMH = persentase jumlah wisatawan menginap di hotel. HH = koefisien hunian hotel (occupancy rate). HKM = koefisien hunian kamar hotel (double occupancy rate).

Page 117: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 117

Perhitungan jumlah kamar hotel bintang dan melati dapat dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu : menggunakan proporsi jumlah kamar hotel bintang dan melati yang

ada dalam beberapa tahun sebelumnya, menggunakan proporsi jumlah wisatawan/tamu mancanegara dan

nusantara yang menginap di hotel bintang dan melati, serta gabungan antara proporsi jumlah wisatawan nusantara dan manca-

negara yang menginap di hotel bintang dan melati dengan target jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara yang diperkirakan akan berkunjung.

Cara pertama yang mendasarkan pada proporsi jumlah kamar hotel bintang dan melati merupakan cara yang konvensional. Proporsi yang ada dipertimbangkan terhgadap adanya perubahan proporsi pada akhir tahun perencanaan. Dengan menetapkan proporsi jumlah kamar hotel bintang dan melati pada akhir perencanaan, maka dengan perkalian antara proporsi dan hasil perhitungan jumlah kamar hotel yang dibu-tuhkan, akan dihasil jumlah kamar hotel bintang dan melati yang di-perlukan.

Cara yang kedua dapat memberikan tingkat akurasi yang lebih baik, karena dasar perihitungan adalah proporsi wisatawan yang diperki-rakan akan menginap di hotel bintang dan melati khususnya proporsi wisatawan nusantara dan mancanegara. Dengan cara perhitungan yang sama dengan cara satu, dapat dihasilkan jumlah kamar hotel binatang dan melati seperti contoh pada tabel berikut jika hasil perhi-tungan dirasakan masih belum memadai, maka proporsi dapat diper-baiki.

Cara yang ketiga dirasakan jauh lebih akurat, meskipun harus dilaku-kan dengan cara lebih rumit. Proporsi yang dibangun dan proporsi jumlah wisatawan mancanagera dan nusantara yang menginap di hotel bintang dan melati, harus dikoreksi dengan proporsi jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang diperkirakan akan berkunjung ke daerah tujuan wisata. Cara ini karena dirasakan agak rumit, dan mes-kipun dirasakan lebih akurat, tetapi amat jarang digunakan.

Seperti pada analisis ODTW, dalam analisis perkembangan kamar hotel juga diperlukan analisis penyebaran tokasi. Hal ini dimaksudkan agar tercapai keseimbangan kegiatan pariwisata, sekaligus ditujukan untuk mencari optimasi tingkat "adjacency" antara hotel sebagai salah satu komponen pariwisata dengan komponen ODTW dan restoran.

b. Analisis Kualitatif

Kategorisasi hotel pada dasarnya harus mencerminkan kualitas yang dimilikinya. Namun kenyataan sering menunjukkan bahwa kualitas tidak tercermin pada kelas hotel; seperti misalnya terdapat dua hotel kelas bintang 3, namun tidak memiliki kualitas pelayanan dan kebersihan

Page 118: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 118

yang berbeda. Analisis kualitatif paca hotel pada dasarnya dapat dila-kukan oleh manajemen hotel yang bersangkutan dengan menyebarkan daftar pertanyaan (questionaire) kepada para tamu hotel dalam kurun waktu tertentu melalui penggunaan skala subjektif "Lickert". Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik sederhana, tabulasi frekwensi, seperti dilakukan dalam analisis kualitatif pada ODTW.

6. Analisis Perkembangan Restoran dan Rumah Makan

a. Analisis Kuantitatif

Sebagai upaya pembinaan kualitas, rumah makan dan restoran telah dikategorisasikan ke dalam beberapa kelas, seperti : Talam Selaka, Ta-lam Gangsa, kelas A, B,C, dan kelas di luar kualifikasi. Seperti halnya pada hotel, data mengenai kelas restoran sering tidak akurat. Sebagai contoh warung makan di kaki lima pada malam hari seperti lesehan di Jalan Malioboro, tidak pernah ada data yang akurat, sementara banyak wisatawan terutama nusantara yang menggunakan fasilitas makan semacam ini. Jika suatu kota terdapat jenis warung makan sepeerti itu dan memiliki potensi yang cukup bagi pariwisata, maka diperlukan pendataan langsung di lapangan (primer).

Dasar perhitungan rumah makan dan restoran (termasuk kafe yang akhir-akhir ini berkembang sangat pesat) adalah jumlah kursi : sedang-kan jumlah rumah makan/restoran tidak begitu penting. Seperti pada perhitungan jumlah kamar hotel, perhitungan jumlah kursi/tempat duduk restoran/rumah makan didasarkan beberapa data sebagai berikut : perkiraan jumlah wisatawan yang akan datang, perkiraan frekwensi kunjungan ke rumah makan/restoran, perkiraan persentase jumlah wisatawan yang mengunjungi

restoran, dan rata-rata ideal hunian rumah makan (occupancy rate). Untuk menghitung jumlah tempat duduk restoran yang diperlukan, ru-mus berikut dapat digunakan.

Rumus Perhitungan Jumlah Tempat Duduk Rumah Makan/Restoran

FK x JW x % WMR x 1 = Jumlah Kursi Rumah Makan 365 HRM

Dengan : FK = frekuensi kunjungan wisatawan. JW = jumlah wisatawan. 365 = jumlah hari dalam satu tahun. WMR = persentase jumlah wisatawan mengunjungi restoran. HRM = koefisien hunian rumah makan (occupancy rate).

Page 119: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 119

Hasil perhitungan ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai pe-doman untuk menentukan arah pengembangan rumah makan dan res-toran. Dengan demikian perencana masih memiliki kemungkinan mela-kukan koreksi terhadap hasil tersebut, diseusaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, misal peningkatan jumlah kursi pada kelas Talam, pe-ningkatan kualitas pelayanan pada kelas non Talam, dan sebagainya.

Seperti pada analisis ODTW dan Hotel, dalam analisis perkembangan rumah makan dan restoran juga diperlukan analisis penyebaran lokasi. Hal ini dimaksudkan agar tercapai keseimbangan kegiatan pariwisata, sekaligus ditujukan untuk mencari optimasi tingkat 'adjacency" antara rumah makan sebagai salah satu komponen pariwisata dengan kompo-nen ODTW dan Hotel.

b. Analisis Kualitatif

Selain itu perlu juga diadakan analisis kualitatif terhadap "pelayanan" rumah makan dan restoran, seperti : kualitas makanan; kesehatan makanan dan lingkungan; kualitas penyajian makanan dan pelayan; profesionalisme pelayanan secara umum; kualitas lingkungan seperti kebersihan ruang dan perabot, dapur,

dan sanitasi lingkungan. Termasuk dalam tolok ukur kualitatif ini adalah kewajaran harga jika dibandingkan dengan kualitas pelayanan yang disediakan. Tolok ukur ini sebenarnya telah ada dalam penilaian dalam rangka seleksi pe-ringkat dan kualitas Talam dan non Talam : namun karena penilaian pa-da umumnya dilakukan oleh juri dan bukan wisatawan, maka objek-tivitas penilaian masih belum setinggi jika yang wisatawan yang menilai. Data hasil penilaian ini tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat, ka-rena data yang mendasarkan pada wisatawan akan sangat tergantung pada musim wisatawan, maka langkah yang baik untuk mengembang-kan rumah makan adalah dengan menyebarkan daftar pertanyaan (questionaire) kepada para pengujung setaip saat dalam kurun waktu yang lama, seperti juga pada analisis kualitatif pada hotel dan restoran, skala kualitatif yang digunakan untuk adalah skala Lickert, dan data dia-nalisis dengan menggunakan stastatistik sederhana, tabulasi frekwensi.

7. Analisis Perkembangan BPW/BPU

a. Analisis Kuantitatif

Data yang ada dalam analisis pengembangan BPU/BPW adalah : jumlah BPW/BPU, jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara yang menggunakan

jasa BPU/BPW,

Page 120: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 120

serta jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata.

Kategori kualitas BPW/BPU yang ada di Indonesia telah ditatapkan me-nurut kelas Cakra 1, 2, dan non kelas. Bisnis perjalanan wisata adalah bisnis kepercayaan untuk sebuah pelayanan yang nyaman, aman, tepat, menyenangkan, dengan harga yang pasti dan logis. Profesiona-lisme dalam arti luas dituntut dalam bisnis ini, namun pelayanan mere-ka tidak dapat berdiri sendiri karena mereka hanya menawarkan per-jalanan, sedangkan ODTW, infrastruktur dan fasilitas yang lain ter-masuk hotel dan restoran bukan bagian dan bisnis mereka, sehingga kerjasama dengan komponen pariwisata yang lain merupakan persya-ratan utama. Di lain fihak, BPU/BPW di Indonesia tidak dapat bekerja sendiri untuk menembus pasar mancanegara; mereka wajib bekerja-sama dengan BPW/BPU mancanegara agar memperoleh kesempatan membawa wisatawan ke daerah tujuan wisata setempat.

Perhitungan jumlah kebutuhan BPW sangat ditentukan oleh jumlah wi-satawan yang menggunakan atau memilih menggunakan jasa BPW/ BPU. Selama ini tidak ada rumus baku yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah BPW/BPU yang diperlukan. Rumus yang biasa di-gunakan adalah menggunakan perbandingan rata-rata dalam beberapa tahun jumlah BPW/BPU yang ada dalam suatu daerah tujuan wisata dengan jumlah wisatawan (nusantara maupun mancanegara) yang menggunakan jasa BPW/BPU. Untuk jelasnya dapat diambil contoh de-ngan data fiktif sebagai berikut :

Jumlah wisatawan mancanegara 200.000 Jumlah wisatawan nusantara 1.000.000 Jumlah wisatawan mancanegara yang menggunakan jasa BPW/BPU

150.000

Jumlan wisatawan nusantara yang menggunakan jasa BPW/BPU

100.000

Jumlah BPW yang ada di daerah tujuan wisata adalah

50

Dengan data tersebut perbandingan/proporsi yang terjadi adalah :

BPW dengan wisatawan mancanegara 1 : 3.000 BPW dengan wisatawan nusantara 1 : 2.000 Wisnus yang menggunakan BPW dengan jumlah total Wisnus

0,10 (10%)

Wisman yang menggunakan BPW dengan jumlah total Wisman

0,75 (75%)

Page 121: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 121

Untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik, proporsi di atas dapat diperbaiki seperti misalnya :

BPW dengan wisatawan mancanegara 1 : 4.000 BPW dengan wisatawan nusantara 1 : 3.000 Wisnus yang menggunakan BPW dengan jumlah total Wisnus

0.30(10%)

Wisman yang menggunakan BPW dengan jumlah total Wisman

0,75 (75%)

Perbaikan atas proporsi tersebut sangat tergantung pada pertim-bangan kualitatif yang disepakati oleh perencana dengan stakeholders. Selanjutnya jika diprediksikan jumlah wisatawan yang akan datang ke daerah tujuan wisata sebesar 2.000.000 dengan perincian wisnus 1.500.000 dan wisman 500.000, maka hasil perhitungan yang diperoleh adalah sebagai berikut.

b. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif terhadap BPW/BPU tetap harus dilakukan dalam ana-lisis perkembangan pariwisata. Tolok ukur utama untuk menganalisis/ mengevaluasi BPW/BPU yang telah ada diturunkan dari misi pengem-bangan pariwisata yang telah ditetapkan, di samping target jumlah wi-satawan yang berkunjung yang telah digunakan sebagai tolok ukur un-tuk menghitung kebutuhan jumlah BPW/BPU. Di samping itu harus da-pat dikembangkan tolok ukur yang diturunkan dan permintaan yang umumnya datang dan wisatawan, seperti keamanan, kenyamanan, ke-sesuaian harga, kesesuaian informasi dengan kenyataan yang diberi-kan. Tolok ukur ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas BPW/ BPU yang langsung ditanyakan kepada para wisatawan yang telah dan sedang menggunakan jasa BPW/BPU. Seperti pada komponen yang lain, data dikumpulkan dengan menggunakan skala "Lickert" dan selan-jutnya dianalisis dengan menggunakan statistik sederhana; tabulasi frekwensi.

Seperti pada analisis hotel dan restoran, pada analisis sebaran lokasi (keruangan) BPW dan BPU perlu dilakukan. Tujuan analisis keruangan ini adalah untuk melihat distribusi lokasi BPW/BPU agar dapat diketahui tingkat kepadatan kegiatan pariwisata, tingkat adjacency antara BPW/BPU dengan komponen pariwisata yang lain, sehingga jika terjadi distribusi yang tidak/kurang baik, maka diperlukan sebaran yang lebih baik dan menguntungkan berbagai pihak seperti : wisatawan, pengusaha BPW/BPU, transportasi, dan masyarakat setempat.

Page 122: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 122

8. Analisis Perkembangan Sarana dan Prasarana Komunikasi

a. Analisis Kuantitatif

Sarana dan prasarana telepon, internet, wartel, telepon umum, teleks, pelayanan postal merupakan komponen-komponen yang ada dalam kelompok sarana dan prasaran komunikasi.

Sarana dan prasarana komunikasi pada dasarnya tidak hanya ditu-jukan untuk melayani pariwisata, melainkan juga untuk melayani kegiatan umum tain seperti perdagangan, pemerintahan, pendidikan, dan kegiatan/kehidupan masyarakat umum. Oleh karena itu analisis perkembangan sarana dan prasarana komunikasi pariwisata seha-rusnya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus dianalisis bersama-sama dengan kebutuhan bidang lain seperti perdagangan, peme-rintahan, pendidikan, dan kegiatan umum masyarakat. Namun demi-kian data mengenai frekwensi penggunaan komunikasi secara umum masih belum akurat, demikian pula data yang berkaitan dengan komunikasi di bidang pariwisata.

Jika data tidak lengkap, maka perhitungan kebutuban jumlahsarana dan prasarana komunikasi di bidang pariwisata perlu beberapa asumsi, seperti jumlah wisatawan yang melakukan komunikasi (yang pada dasarnya tidak cukup signifikan pada saat ini), frekwensi melakukan komunikasi setiap hari selama kunjungan, dan daya tampung satu sarana komunikasi. Apabila asumsi-asumsi tersebut dapat ditetapkan melalui kesepakatan, maka dengan menggunakan rumus di bawah ini kebutuhan Jumlah sara komunikasi untuk pariwisata dapat dihitung.

Rumus Perhitungan Kebutuhan Sarana Komunikasi

KW x JW x LoS x % WK x 1 = Jumlah Sarana Komunikasi 365 ES

Dengan : KW = asumsi frekwensi komunikasi yang dilakukan per hari. JW = jumlah wisatawan yang diperkirakan datang LoS = lama tinggal 365 = jumlah hari dalam satu tahun WK = asumsi persentase jumlah wisatawan yang melakukan

komunikasi ES = frekwensi pelayanan komunikasi setiap hari yang dapat

dilakukan oleh satu sarana komunikasi (tingkat efisienai penggunaan sarana)

Dengan rumus yang sama dan dengan cara asumsi yang mirip, maka kebutuhan sarana dan prasarana komunikasi untuk keperluan perda-gangan, pemerintahan, pendidikan, dan masyarakat umum dapat di-hitung.

Page 123: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 123

b. Analisis Kualitatif

Kualitas dan profesionalisme pelayanan komunikasi, seperti : sopan santun, perhatian, kemampuan meberi infomiasi, kecepatan dan ketepatan, serta harga yang wajar, merupakan tuntutan utama para wisatawan dalam menggunakan sa-rana dan prasarana komunikasi. Evaluasi terhadap kualitas pelayanan komunikasi dapat dilakukan dengan mendata frekwensi terjadi "complain" (protes/ketidak puasan) dari para pemakai. Namun demikian pada umumnya data seperti itu tidak dapat diperoleh, walaupun harus dicari ke penyelenggara jasa komunikasi, sehingga cara yang baik adalah dengan melakukan survai langsung untuk mendapatkan data primair. Survai ini sudah barang tentu memerlukan waktu cukup lama, karena harus mencakup sejumlah responden dengan sebaran variasi yang mencukupi.

Seperti pada analisis kualitatif hotel, restoran, dan BPW/BPU, maka metoda yang digunakan adalah analisis dengan menggunakan statistik sederhana (tabulasi frekewensi) data kualitatif dengan menggunakan skala "Lickert" dirasakan cukup memadai untuk kebutuhan praktis analisis kualitafif sarana dan prasarana komunikasi.

Jenis sarana dan prasarana komunikasi yang dipertukan sangat ter-gantung pada jenis wisata yang ditawarkan dan segment wisatawan yang datang dan diraih. Sebagai contoh adalah sarana dan prasarana komunikasi untuk wisata resor dan rekreasi keluarga akan berbeda dengan wisata minat khusus seperti arung jeram, naik gunung, eksplorasi goa, dan menembus hutan, demikian puia komunikasi untuk wisata pedesaan. Meskipun demikian kebutuhan sarana dan prasarana komunikasi untuk berbagai jenis wisata memiliki kebutuhan yang relatif sama seperti telepon.

Pada beberapa segmen wisatawan lebih senang berkomunikasi de-ngan handphone mereka sendiri ataupun dengan perekaman melalui video, sementara itu segmen wisatawan yang lain lebih senang meng-gunakan sarana komunikasi melalui pos ataupu telepon umum seperti wartel dan telepon umum.

9. Analisis Galeri Seni dan Toko Cenderamata

a. Analisis Kuantitatif

Art shop, toko souveneer, toko kerajinan, dan bahkan pengasong ba-rang cenderamata termasuk dalam kategori ini. Data yang umumnya tersedia adalah mereka yang bergerak di bidang formal, sedangkan mereka yang bergerak di bidang in formal, seperti pengasong dan pe-

Page 124: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 124

dagang kaki lima sangat sukar didapatkan datanya, padahal kelompok ini sering berfungsi sebagai salah satu sektor yang berada pada "ba-risan" paling depan dan berhubungan langsung dengan para wisata-wan. Kedua kelompok sangat diperlukan oleh wisatawan, tetapi juga paling tidak disukai oleh para wisatawan.

Kelompok pertama disukai oleh wisatawan, khususnya wisatawan man-canegara karena dapat menyajikan barang yang lebih baik, dengan pe-layanan relatif lebih baik dan dapat membeli dalam jumlah yang besar; namun tidak disukai karena selalu menaikkan harga barang untuk me-nutup komisi yang diminta oleh para pramuwisata/operator perjalanan wisata. Kelompok kedua disenangi karena menawarkan harga yang murah, khususnya untuk wisatawan dengan uang yang sedikit, seperti wisatawan nusantara golongan ke 1; namun tidak disukai karena cara menawarkan barang sangat mengganggu wisatawan, dan harus de-ngan cara tawar-menawar yang "alot", sehingga sering menghabiskan waktu dan mendapatkan barang yang tidak memiliki kualitas sama sekali.

Perhitungan kebutuhan jumlah toko cenderamata dan galeri seni hanya dapat dilakukan untuk kelompok pertama (formal) dengan membuat beberapa asumsi/perkiraan, seperti : persentase jumlah wisatawan yang mengunjungi toko sindera mata

dan galeri seni, asumsi frekwensi kunjungan dalam satu hari, serta kapasitas toko.

Dengan memnggunakan rumus di bawah ini, kebutuhan jumlah toko condera mata dan galeri seni dapat dihitung.

Rumus Perhitungan Kebutuhan Galeri Seni dan Toko Cenderamata

JW x LoS x % WK x FK X 1

= Jumlah Galeri Seni

dan Toko Cenderamata 365 KK

Dengan : JW = jumlah wisatawan. LoS = lama tinggal wisatawan. 365 = jumlah hari dalam satu tahun. WK = dalah asumsi persentase jumlah wisatawan yang

mengunjungi toko cenderamata/galeri seni. FK = asumsi frekwensi kunjungan dalam satu hari. KK = asumsi kapasitas toko.

Jika hasil perhitungan dirasakan masih terlalu sedikit atau terlalu banyak, maka asumsi-asumsi yang telah ditetapkan sebelumnya perlu dikoreksi, hingga mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati kebenaran.

Page 125: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 125

b. Analisis Kualitatif

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa analisis terhadap ke-lompok informal pengasong dan kaki lima barang kerajinan dan cen-deramata dirasakan sangat sukar, karena akan menyangkut berbagai aspek terutama sosial ekonomi masyarakat/pedagang asongan dan kaki lima.

Pada umumnya para pedagang ini menawarkan dagangannya lang-sung ke wisatawan yang ada di ODTW ataupun restoran. Jumlah pe-dagang yang diperlukan sangat tergantung pada "daya dukung" (carrying capacity) ODTW dalam menampung kegiatan informal ini. Perhitungan daya dukung tersebut pada umumnya tidak dapat dila-kukan secara kuantitatif; oleh karena itu untuk melihat daya dukung suatu ODTW khususnya berkaitan dengan jumlah pedagang sektor informal ini mencukupi, perlu dilakukan survai langsung tertiadap para wisatawan yang sedang berkunjung untuk mendapatkan data kualitatif. Masalah yang perlu ditanyakan kepada para wisatawan berkaitan de-ngan keberadaan pedagang sektor informal, khususnya mengenai jum-lah, macam, dan tingkat "gangguan" yang ditimbulkan oleh para peda-gang.

Jika hasil survai menyatakan pada umumnya merasa terganggu de-ngan kehadiran para pedagang sektor informal ini, maka pada da-sarnya daya dukung lingkungan telah dilampaui, sehingga perlu dila-kukan upaya mereduksi jumlah, dan meningkatkan kualitas pelayanan yang di tawarkan oleh para pedagang.

Analisis kualitastis juga diperlukan terhadap toko cenderamata dan galeri seni, khsuusnya berkaitan dengan kualitas dan profesionalisme pelayanan dan penyediaan barang. jaminan terhadap kualitas barang merupakan tolok ukur utama di samping harga yang pasti dan pantas. Demikian pula kemampuan memberi pelayanan puma jual seperti pengepakan/pembungkusan, pengiriman, dan jaminan selama dalam pengiriman. Penataan barang yang dijual serta sirkulasi pembeli nam-paknya salah satu tolok ukur yang pantas untuk diterapkan mengingat barang kerajinan, cenderamata, dan tentu saja barang seni memerlu-kan penataan yang menarik dan artistik agar meningkatkan nilai es-tetika dan pada akhirnya mampu meningkatkan nilai jual.

Hasil survai kualitatif melalui penerapan skala "Lickert" dan analisis statistik sederhana (tabulasi frekwensi) dapat membantu dalam meng-ambil keputusan atas penilaian terhadap kualitas pelayanan dan profe-sionalisme toko cenderamata dan galeri seni. Jika hasilnya cenderung negatif/rendati, maka perlu ada tindak lanjut segera agar dapat mempertahankan kesinambungan kualitas pariwisata.

Page 126: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 126

10. Analisis Perkembangan Bank dan Penukaran Uang

Fasilitas ini bukan hanya untuk melayani kegiatan pariwisata, tetapi juga terutama perdagangan dan industri, khususnya perbankan. Bahkan terdapat dalam beberapa kota fasilitas bank sangat diperlukan oleh para pelajar dan mahasiswa. Oleh karena itu analisis pariwisata terhadap fasilitas bank dan penukaran uang hanya terbatas pada tingkat distribusi ketersediaan bank, kepercayaan yang dimiliki oleh bank, dan profesionalisme dalam arti kete-patan dan kecepatan pelayanan baik bank maupun tempat penukaran uang.

Dengan demikian jumlah penduduk, frekwensi kegiatan perdagangan, in-dustri dan pendidikan yang memerlukan jasa pelayanan bank merupakan variabel yang harus diketahui untuk menghitung jumlah dan kapasitas transaksi fasilitas bank.

Dalam dunia pariwisata, tempat penukaran uang barang kali lebih penting dari pada bank, karena mereka tidak memerlukan penyimpanan uang atau-pun pengambilan dan pengiriman meiatui bank, tetapi lebih pada kebutuhan penukaran uang asing dan traveler check.

11. Analisis Aksesibilitas

Analisis aksesibilitas dibagi dalam dua kelompok/area, yaitu aksesibilitas menuju dan ke luar dari daerah tujuan wisata, seperti transportasi udara, darat dan laut/feri. Area yang kedua adalah aksesibilitas perpindahan/per-gerakan wisatawan dari satu ODTW ke ODTW yang lain di dalam daerah tujuan wisata, yang pada umumnya berupa transportasi darat seperti bus, angkutan kota, taksi, dan angkutan tradisional (andong, becak, becak motor, kuda); transportasi air seperti perahu motor, perahu dayung, getek, ho-vercraft. Transportasi udara dalam area yang kedua barangkali akan terjadi jika antara satu ODTW dengan ODTW yang lain dipisahkan oleh area yang luas, sehingga jika ditempuh dengan angkutan darat akan memerlukan wak-tu yang lama, sehingga tidak layak ditawarkan kepada wisatawan, sementara itu ODTW yang ditawarkan memiliki kualitas yang sangat mudah "dijual".

a. Sarana dan Prasarana Transportasi Udara

Analisis kuantitatif kebutuhan angkutan udara didasarkan pada kebu-tuhan jumlah tempat duduk (seats), jalur dan frekwensi penerbangan, yang dihitung berdasar jumlah wisatawan yang membutuhkan jasa ang-kutan udara. Rumus berikut dapat digunakan untuk menghitung jumlah tempat duduk yang harus disediakan oleh angkutan udara.

Rumus Perhitungan Jumlah Tempat Duduk Angkutan Udara

JW x % WU = Jumlah Tempat Duduk Angkutan Udara per Hari 365

Dengan : JW = jumlah wisatawan.

Page 127: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 127

365 = jumlah hari dalam satu tahun. WU = asumsi persentase jumlah wisatawan yang

menggunakan jasa angkutan udara.

Kapasitas bandar udara tergantung pada pertimbangan lingkungan dan lokasi bandar udara. Kapasitas bandar udara dapat dihitung berdasar-kan atas jumlah tempat duduk yang harus disediakan dalam pener-bangan dan jumlah/frekwensi penerbangan yang dapat disediakan. Khusus mengenai frekwensi penerbangan, pertimbangan lingkungan menjadi salah satu persyratan utama. Sebagai contoh jika bandar uda-ra "berdekatan" dengan lingkungan permukiman dan fasilitas pendi-dikan, yang pada umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan peredam suara/noise, sementara itu frekwensi penerbangan mencapai 24 kali datang dan pergi dalam satu hari dengan periode operasi bandara selama 15 jam dari jam 06:00 pagi sampai dengan 21:00 malam hari, maka akan terjadi kegiatan penerbang-an/pendaratan setiap 37 menit. Hal ini berarti terjadi gangguan pen-dengaran sebanyak 10 kali dalam waktu periode sekolah setiap hari, dengan rata-rata setiap gangguan selama 60 ssmpai dengan 120 detik, atau selama kurang lebih 20 menit dalam satu hari (periode sekolah per hari). Hal ini akan sangat terasa jika pesawat yang digunakan bermesin jet.

Dengan demikian untuk mengurangi gangguan ini, maka harus diku-rangi jumlah frekwensi penerbangan; tetapi karena jumlah tempat duduk yang harus disediakan banyak, maka diperlukan pesawat yang dapat mengangkut banyak penumpang, yang berarti kapasitas landasan menjadi syarat berikutnya.

Analisis kualitatif yang terutama harus dilakukan adalah berkaitan de-ngan keselamatan penerbangan, yang berarti keselamatan penum-pang, meskipun lapangan terbang dan penerbangannya masih perintis. Peralatan pengatur lalu lintas udara, komunikasi udara, pendeteksi cua-ca, kapasitas landasan, asuransi penerbangan, penanganan keadaan darurat di dalam pesawat, di bandara, dan selama perjalanan menjadi persyaratan pokok penerbangan. Selain itu bagi para penumpang khu-susnya wisatawan. ketepatan jadwal keberangkatan dan kedatangan, kepastian perolehan tempat duduk, kemudahan mendapat informasi dan tiket pesawat, serta kelancaran dan kenyamanan pelayanan sela-ma penerbangan dan ketika berada di bandara merupakan persyaratan selanjutnya.

Jika suatu bandar udara tidak dapat memenuhi persyaratan kualitatif tersebut, maka kulaitas dan kinerja bandara tidak dapat diandalkan un-tuk melayani penumpang, khususnys para wisatawan, dan lebih khusus lagi bagi wisatawan asing yang sangat menuntut adanya kepastian dan keselamatan; kecuali mereka (wisatawan) yang menyenangi tantangan dan petualangan berbahaya seperti para wisatawan minat khusus ter-tentu.

Page 128: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 128

b. Sarana dan Prasarana Angutan Darat Kereta Api

Pada prinsipnya analisis terhadap sarana dan prasarana angkutan da-rat kereta api tidak berbeda dengan angkutan udara, baik kualitatif maupun kuantitatif. Penyediaan angkutan darat kereta api dengan va-riasi kelas pelayanan nampaknya perlu dipertimbangkan cukup masak, karena kereta api telah dikenai sebagai angkutan darat yang relatif lebih murah, dan bahkan paling murah. Kesesuaian antara harga tiket dan kualitas pelayanan merupakan tolok ukur kualitatif yang mampu membedakan kelas pelayanan tersebut. Salah satu hal yang perlu dikembangkan adalah pembedaan pelayanan ketika masih distasiun kereta api. Sampai dengan saat ini masih dirasakan kurang kelihatan adanya pembedaan kelas pelayanan. Barangkali hal ini disebabkan oleh rancangan stasiun kereta api pada umumnya peninggalan jaman kolonial Belanda, kecuali stasiun kereta api Gambir di Jakarta, yang sudah barang tentu belum ada konsep pembedaan pelayanan seperti yang dituntut pada saat ini.

c. Sarana dan Prasarana Angutan Jalan Raya

Analisis kuantitatif sarana dan prasarana angkutan jalan raya khu-susnya bis tidak berbeda dengan analisis pada sarana dan prasarana angkutan udara maupun angkutan darat kereta api. Perhitungan kebu-tuhan jumlah tempat duduk yang diperlukan dapat menggunakan rumus yang sama dan asumsi terhadap komponen yang sama. Persyaratan kualitatif pada sarana dan prasarana angkutan darat bis lebih banyak berorientasi pada jaminan keselamatan selama perjalanan, karena menyangkut sistem lalu lintas, kondisi dan perilaku angkutan umum yang lain dan angkutan pribadi, dan sistem/kualitas jaringan jalan.

Jaminan asuransi dirasakan tidak cukup, karena jaminan ini hanya mengatur penggantian kerugian ketika terjadi kecelakaan, dalam arti ketika keselamatan penumpang telah direnggut; sementara itu jaminan selama perjalanan terhadap rasa takut, was-was, kawatir, dan bahkan tertekan/stress tidak pemah ada asuransi yang menjamin, kecuali sistem lalu lintas jalan raya telah sempurna. Perusahaan angkutan bis kemungkinan telah berusaha meningkatkan pelayanan untuk mengu-rangi resiko kecelakaan, meningkatkan kenyamanan selama dalam per-jalanan dengan memberi fasilitas AC dan hiburan musik ataupun video; namun demikian situasi di luar kapasitas mereka tetap tidak dapat dijamin oleh perusahaan angkutan bis.

Dengan demikian, jika angkutan darat kereta api lebih banyak berha-rap pada perusahaan kereta api dalam hal ini PT KAI; maka angkutan darat bis tidak dapat berharap hanya pada para pengusaha angkutan bis, tetapi juga kepada DLLAJ, ORGANDA, Polisi lalulintas, Ditjen Prasarana Wilayah - Departemen PU, dan perilaku masyarakat dalam menggunakan kendaraan. Oleh karena itu koordinasi yang konsisten di antara instansi dan institusi tersebut merupakan faktor yang perlu

Page 129: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 129

dibahas dalam analisis kualitatif sarana dan prasarana angkutan jalan raya, termasuk didalamnya pendidikan berlalulintas yang baik dan benar.

d. Angkutan Laut, Sungai dan Feri

Analisis terhadap ketiga jenis sarana dan prasarana ini, laut. sungai, dan feri pada dasarnya tidak berbeda dari kedua sarana dan prasarana yang telah diuraikan sebelumnya. Perhitungan kebutuhan jumlah tem-pat duduk yang harus disediakan dapat menggunakan rumus yang sa-ma dan dengan asumsi terhadap kompone yang sama. Mirip dengan analisis kualitatif terhadap sarana dan prasarana angkutan udara, kebu-tuhan akan keselamatan perjalanan perlu dilengkapi alat komunikasi, alat deteksi cuaca, navigasi, pengatasan keadaan darurat, dan jaminan asuransi. Kebersihan lingkungan, kesehatan lingkungan, kelancaran menurunkan dan menaikkan penumpang dengan aman, serta jumlah penumpang yang sesuai kapasitas maksimal yang disyaratkan me-rupakan jaminan yang perlu diterapkan oleh pengusaha sarana ang-kutan laut.

e. Sarana Angkutan Wisata

Sarana ini dapat berupa bis angkutan darat baik bis besar maupun bis kecil, bis air, motor boat, taksi, kendaraan tradisionil seperti andong, be-cak, motor becak, dan sepeda motor seita mobil yang disewakan. Ter-masuk dalam jenis angkutan wisata ini adalah pesawat terbang khusus yang digunakan untuk "tour wisata". Jumlah tempat duduk yang dise-diakan sangat tergantung pada jumlah wisatawan yang mengambil pa-ket perjalanan wisata ataupun perjalanan individu, sehingga perhitung-an yang dapat dilakukan sangat kasar. Oleh karena itu penghitungan kebutuhan tempat duduk sarana angkutan wisata diserahkan kepada kepekaan para pengusaha angkutan wisata, khususnya berkaitan de-ngan jenis kendaraan dan kapasitas yang akan disediakan.

Dengan beberapa asumsi seperti : LoS, jumlah wisatawan yang meng-gunakan angkutan wisata, maka rumus yang sama dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan tempat duduk bagi kendaraan wisata.

Rumus Penghitungan Kebutuhan Tempat Duduk Kendaraan Angkutan Wisata

JW x % WU x LoS = Jumlah Tempat Duduk Angkutan Wisata per Hari 365

Dengan : JW = jumlah wisatawan. 365 = jumlah hari dalam satu tahun. WU = asumsi persentase jumlah wisatawan yang menggu-

nakan jasa angkutan wisata.

Page 130: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 130

LoS = lama tinggal wisatawan.

Pendayagunaan kendaraan tradisionil dapat mengembangkan keter-libatan masyarakat umum dalam kegiatan kepariwisataan, dan dengan sendirinya dapat memberdayakan masyarakat sekaligus meningkatkan dan meratakan pendapatan masyarakat. Jenis wisatawan yang ke-mungkinan banyak menggunakan jenis kendaraan ini tentu saja bukan wisatawan dalam rombongan yang terprogram dan jumlah yang besar (mass tourism), malainkan wisatawan individu atau wisatawan inde-penden, yaitu wisatawan yang tidak membeli paket perjalanan wisata dan negara asal.

12. Analisis Paket Perjalanan Wisata

Paket perjalanan wisata tidak dirasakan secara langsung berkaitan dengan komponen produk wisata, khususnya berkaitan dengan definisi mengenai produk pariwisata. Paket perjalanan wisata merupakan turunan/derivasi/pe-ngembangan dan ODTW; artinya dengan teridentifikasinya ODTW, maka para industriawan pariwisata diharap memeiliki kemampuan untuk mengem-bangkan paket wisata, sehingga ODTW dapat lebih aksesibel. Bagi ODTW yang kurang menarik akan dapat tertarik karena berada/dimasukkan ke dalam paket wisata yang didalamnya terdapat ODTW yang potensial. Paket wisata dapat disusun dalam beberapa tema yang dapat menggambarkan adanya "selling point" yang mampu menarik wisatawan untuk mengambil paket tersebut. Beberapa contoh mengenai tema paket wisata misalnya : old city tour, river banks tour, traditional "kampong" tour, lava volcano tour, fascinating handicraft tour, kraton and the family tour, tropical farm village tour, dan sebagainya. Jika jarak antara satu ODTW dengan ODTW lain cukup jauh, maka paket wisata harus mempertimbangkan lama perjalanan dari satu ODTW ke ODTW berikutnya. Tidak ada rumus yang baku, tetapi 2 jam dirasakan sebagai lama perjalanan maksimal di antara ODTW, sehingga wisatawan dapat : beristirahat di ODTW, pergi ke toilet, mencari makanan kecil, dan sebagainya.

Di samping itu rute perjalanan wisata dalam paket wisata diharapkan tidak menimbulkan kebosanan, misalnya antara satu ODTW dengan ODTW yang lain ditemukan "pemandangan" yang selalu sama. Setiap langkah perjalanan wisatawan diharapkan menciptakan kekayaan pengalaman, dan bukan sebaliknya, baik berupa : pemandangan,

Page 131: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 131

atmosfir, bau, cahaya, suara, maupun nuansa.

13. Analisis Kebutuhan Pengembangan Informasi dan Sistem Informasi

Informasi dan sistem Informasi pariwisata merupakan bagian dari komponen produk pariwisata karena komponen ini justru marupakan alat terdepan yang dapat ditangkap, diterima, dan ditindak lanjuti oleh para wisatawan. Informasi yang menyesatkan seperti misalnya tidak lengkap, tidak sesuai dengan ke-nyataan, susah diperoleh akan menimbulkan akibat yang kurang menye-nangkan bagi perkembangan pariwisata. Perlu dipahami di sini bahwa infor-masi tidak sama dengan iklan, melainkan keterangan dan data yang terkait dengan pariwisata. Oleh karena itu informasi akan menceritakan sesuatu se-cara jujur dan apa adanya, artinya sesuatu yang baik akan dikatakan baik se-dangkan yang jelek dikatakan jelek, sementara iklan selalu menceritakan hal-hal yang baik-baik saja. Hal ini perlu dipahami, karena wisatawan memerlu-kan informasi yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya agar mereka da-pat merencanakan perjalanan sebaik-baiknya dengan perhitungan yang se-cermat-cermatnya.

Sebagai contoh adalah ODTW puncak Gunung Merapi di Yogyakarta/Jawa Tengah. Gunung ini sangat berbahaya karena termasuk gunung yang aktif, sehingga para wisatawan yang menaiki puncak gunung harus selalu memperhatikan rambu-rambu larangan dan peringatan yang ada dalam buku informasi, di samping mencari hal hal yang menarik dan unik. Contoh lain adalah perjalanan menuju ke suatu ODTW yang barangkali kurang nyaman karena sarana dan prasarana transportasi belum baik, sementara ODTW menjanjikan aktivitas yang baik. Informasi semacam itu perlu disampaikan secara jujur kapada para calon wisatawan. agar mereka tidak terjebak masalah yang tidak diperkirakan dalam rencana perjalanan.

Sistem informasi merupakan suatu rangkaian informasi dari berbagai ma-cam sumber dan komponen informasi yang dapat diakses dari berbagai media secara mudah. Substansi informasi yang ada di dalam sistem infor-masi merupakan suatu rangkaian yang dapat saling berkait atau tidak.

Di dalam pariwisata dikenal dua jenis sistem informasi, yaitu : Sistem Informasi Pariwisata (SIP), dan Sistem Informasi Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata (SIPS).

Sistem Informasi Pariwisata (SIP) adalah sistem informasi yang ditujukan kepada para wisatawan. Dengan demikian konsumen yang dapat dan akan mengakses adalah wisatawan. Syarat SIP adalah sederhana, "singkat", jelas, jujur dan up to date. Materi yang tercantum di dalam SIP antara lain ke-

Page 132: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 132

terangan mengenai semua komponen produk pariwisata berikut penjelasan mengenai : tarif/harga, cara memperoleh, dan keterangan kualitas.

Sistem yang kedua adalah Sistem Informasi Perencanaan dan Pengembang-an Pariwisata (SIPS), yaitu sistem informasi yang ditujukan kepada para pe-rencana, pengelola dan manajer pariwisata. Syarat SIPS adalah komprehen-sif, aksesible, interaktif, jelas, tidak direkayasa, dan up to date. Materi yang ada di dalam SIPS antara lain berupa semua komponen pariwisata baik : produk, SDM, manajemen, lingkungan hidup, hukum, dan perundang-undangan, maupun pemasaran, pendapatan, dan investasi yang dilakukan dalam pariwisata. Media informasi dapat meliputi media cetak seperti koran, majalah, buku panduan, liflet, dan brosur, sedangkan media elektronik meliputi televisi, radio, video, laser disc, internet, dan telepon. Jenis media informasi yang tidak kalah populernya adalah media "mulut" manusia secara langsung. Dalam beberapa hal media ini sangat efektif karena informasi yang dimiliki oleh seorang wisatawan yang pemah berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata ditangkap secara sangat jujur (apa adanya) dan terpercaya oleh orang lain/wisatawan lain. Dengan demikian tidak terdapat manipulasi informasi, kecuali sejumlah deviasi informasi, karena adanya kesenjangan antara satu wisatawan dengan wisatawan yang lain.

Page 133: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 133

Lampiran J Studi Kelayakan Untuk Proyek Pariwisata5

lr. Arif Wismadi

1. Pendahuluan

a. Kebutuhan Informasi Kelayakan Proyek

Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kegiatan dengan mempergunakan sumberdaya yang ada untuk mendapatkan suatu manfaat (benefit).

Dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, pe-merintah memiliki peranan yang besar dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan di bidang kepariwisataan. Keterlibatan peme-rintah secara langsung atau tidak langsung dalam pelaksanaan pro-yek-proyek pembangunan kepariwisataan menuntut dilakukannya analisis, evaluasi, dan perhitungan yang cermat bagi setiap rencana proyek, sehingga proyek-proyek tersebut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Dalam hubungan ini informasi kelayakan proyek berfungsi untuk : 1- Mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui

investasi suatu proyek. 2- Menghindari pelaksanaan proyek yang tidak menguntungkan. 3- Mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada,

sehingga kita dapat memilih altematif proyek yang paling meng-untungkan.

4- Menentukan prioritas investasi.

Untuk menentukan kelayakan proyek dibutuhkan informasi dan alat analisa yang mampu memberikan suatu gambaran dalam pencapaian fungsi-fungsi di atas Analisa dilakukan dengan menerapkan suatu metode penilaian proyek yang dikenal sebagai : Penaksiran Proyek (Appraisal Project), atau Analisis Biaya-Manfaat (Cost-Benefit Analysis).

Penggunaan analisis biaya-manfaat ini akan dapat memberikan kinerja yang baik dalam penyusunan, penulisan dan penentuan proyek-proyek yang diusulkan, sehingga menghindarkan kemungkinan terjadinya sa-lah penilaian pada proyek-proyek yang sekilas terlihat layak namun se-

5 Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata - Universitas Gajah Mada, 16 – 21 Oktober 2000.

Page 134: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 134

benarnya bila dianalisis lebih jauh menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan keuntungan bersih yang bisa didapatkan.

b. Jenis-jenis Analisia Biaya-Manfaat

Analisis biaya manfaat telah diterapkan secara luas pada banyak ne-gara. Proses dalam analisis ini dilakukan dengan identifikasi, spesifikasi dan penilaian/penafsiran seiuruh dampak yang mungkin terjadi ataupun yang diharapkan dan suatu proyek. Dalam hal ini tidak semua dampak dari suatu proyek dapat dikualifikasikan secara tepat kaitannya dengan besarnya manfaat atau biaya yang diperlukan, seperti misalnya mengenai peningkatan kualitas produk atau pelayanan.

Proyek dapat dikualifikasikan dengan tepat kaitannya dengan besar-nya manfaat atau biaya yang diperlukan. Metode analisis yang digu-nakan akan lebih menekankan pada pencapaian tujuan-tujuan yang di-inginkan dengan menggunakan biaya yang minimal atau sering disebut dengan Analisis Efektifitas Biaya atau Cost Effectiveness Analysis.

Berdasarkan atas investasi proyek, analisis biaya-manfaat dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : 1- Investasi pribadi/swasta menggunakan analisis finansial. 2- Investasi pemerintah menggunakan analisis ekonomi.

Dalam analisis finansial, bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah individu atau swasta. Dalam hal ini yang dihitung benefit adalah apa yang diperoteh oleh individu atau swasta yang menanarnkan investasinya dalam proyek tersebut.

Analisis ekonomi adalah apabila yang berkepentingan langsung adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini yang dihitung adalah seiuruh benefit yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya yang terpakai, terlepas dari siapa saja yang menikmati benefit dan siapa saja yang mengorbankan sumber-sumber tersebut.

c. Pemanfaatan Analisis Biaya-Manfaat

Penerapan analisis biaya-manfaat pada suatu perencanaan proyek yang dilakukan secara sistematis akan memberikan beberapa manfaat, di antaranya : 1- Analisis biaya-manfaat mendorong pelaksana proyek untuk be-

kerja secara sistematis dalam mempersiapkan dan merencana-kan proyek, sehingga semua faktor yang terkait dengan perhi-tungan biaya dan manfaat dapat diperhitungkan.

2- Sebagai dasar analisis biaya-manfaat, analisis finansial dapat memberikan dampak gambaran pelaksanaan proyek dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada.

Page 135: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 135

3- Dapat dipakai untuk mengestimasi tingkat keuntungan dan biaya suatu proyek dengan menetapkan nilai-nilai berlaku.

4- Analisis biaya-manfaat dapat digunakan sebagai alat prediksi dan identinkasi permasalahan yang mungkin akan timbul saat pelaksanaan proyek.

5- Tanpa perencanaan analisis biaya-manfaat secara detail, tidak dapat diketahu : dengan pasti kapan pinjaman harus diperpan-jang atau bahkan diberhentikan.

6- Analisis biaya-manfaat dapat memberikan gambaran yang jelas apakah suatu proyek mampu mengalokasikan pinjaman secara efisien.

d. Struktur Penulisan Modul

Agar dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang studi kelayakan proyek untuk proyek pariwisata modul ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : 1- Pendahuluan. 2- Kedudukan studi kelayakan dalam proses perencanaan. 3- Analisis finansial. 4- Analisis ekonomi. 5- Ekstemalitas.

2. Kedudukan Studi Kelayakan dalam Proses Perencanaan

Suatu proyek dimulai dengan munculnya gagasan pengusulan, yang ke-mudian ditelaah lebih jauh motivasi dari gagasan pengusulan itu. Motivasi gagasan pengusulan suatu proyek dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu : a. Gagasan yang motivasinya untuk mendapatkan keuntungan dari suatu

investasi bagi si investor, dan b. Gagasan yang motivasinya untuk manfaat atau kegunaan bagi ma-

syarakat banyak seperti tersedianya lapangan kerja, perbaikan kese-hatan, peningkatan kecerdasan, dan lain-lain.

Gambar J.1 menunjukkan enam tahapan dari suatu proyek.

a. Tahap Identifikasi

Tahap ini beberapa hal yang harus dilakukan adalah mempertim-bangkan gagasan yang ada untuk diidentifikasi lebih lanjut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan pertimbangan di antaranya : 1- Skala prioritas gagasan proyek. 2- Gambaran umum manfaat proyek. 3- Ada tidaknya bantuan pemerintah bagi jenis proyek tersebut.

b. Tahap Formulasi

Tahap ini menitikberatkan pada prastudi kelayakan dengan meneliti sejauh mana calon-calon proyek tersebut dapat dilaksanakan menurut kriteria teknis, insti :usional, sosial dan ekstemalitas.

Page 136: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 136

Gambar J.1 : Siklus Suatu Proyek

Gagasan suatu proyek Identifikasi I Evakluasi

VI Formulasi

II

Operasi

V Analisis

III

Implementasi IV

Dengan pertimbangan keempat kriteria diatas, disusun studi kelayakan proyek yang secara ideal akan berisi : 1- Ringkasan proyek. 2- Studi teknis. 3- Studi pemasaran. 4- Studi manajemen/organisasi. 5- Studi finansial. 6- Studi sosial ekonomi.

c. Tahap Analisis

Tahap ini dilakukan dengan menyusun atau mengevaluasi laporan-laporan studi keiayakan yang ada, guna memilih yang terbaik di antara berbagai altematif yang ada dengan suatu kriteria tertentu. Bagian yang cukup penting dalan tahap ini adaiah proses project selection, khusus-nya apabila proyek yang diusulkan jumlahnya cukup banyak sementara dana yang tersedia terbatas. Pada akhirnya melalui project selection hanya akan ada satu atau beberapa proyek yang diimplementasikan.

d. Tahap Implementasi

Tahap ini lebih menekankan pada pengawasan pelaksanaan proyek agar sesuai dengan final designnya.

e. Tahap Operasi

Pada tahap ini dipertimbangkan metode-metode pembuatan laporan atas pelaksanaan operasi proyek. Laporan diperlukan untuk pelaksana-an tahap berikutnya.

Page 137: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 137

f. Tahap Evaluasi Hasil

Tahap ini merupakan evaluasi dari hasil-hasil pelaksanaan dan operasi proyek, berdasarkan laporan yang masuk pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini dievaluasi antara rencana dan hasil yang dicapai.

Hasil evaluasi digunakan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan bagi proyek-proyek berikutnya atau untuk mengembangkan gagasan baru dalam memilih proyek-proyek baru.

3. Analisis Finansial

Dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar dalam pe-nerimaan/penolakan atau penjadwalan ulang suatu proyek, telah dikem-bangkan berbagai cara pengukuran yang dinamakan kriteria investasi.

Tiap kriteria investasi didasarkan pada asumsi bahwa tingkat kepuasan yang dinikmati saat ini jauh lebih besar nilainya dibandingkan dengan tingkat kepuasan yang akan dinikmati waktu kemudian.

Perhitungan keiayakan proyek dilakukan dengan menerapkan beberapa metoda untuk mendapatkan kriteria investasi sebagai berikut, yaitu : a. Metode Benefit Cost Ratio (BCR). b. Metode Net Present Value (NPV). c. Metode Internal Rate of Return (IRR).

Perhitungan keiayakan dapat mengacu pada perbandingan antara kegiatan do nothing dan kegiatan do something, sehingga diketahui keuntungan yang timbul karena adanya pembangunan. Selain itu perhitungan yang dilakukan atas dasar penyesuaian nilai Rupiah pada tahun dasar.

Tiga atau beberapa skenario tingkat bunga dapat disusun yang masing-masing merefleksikan kondisi ekonomi makro. Hal tersebut adaiah tingkat bunga, misalnya adalah sebesar 10%, 12% dan 15% per tahun. Jika wa-wasan perencanaannya yang digunakan adalah 20 tahun maka selama umur tersebut, keuntungan yang dihasilkan diharapkan dapat menutup biaya yang dikeluarkan.

a. Metode Benefit Cost Ratio (SCR)

Metode BCR secara ringkas membandingkan besarnya keuntungan de-ngan biaya yang dikeluarkan pada akhir umur rencana. BCR dengan nilai lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa proyek/program pemba-ngunan akan menguntungkan, sebaliknya BCR kurang dari 1 menun-jukkan bahwa proyek tersebut tidak feasible. Perhitungan. biaya dan keuntungan dilakukan dengan memberikan faktor diskon sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku.

Page 138: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 138

b. Metode Net Present Value (NPV)

Net Present Value adalah selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan.

Rumus :

o

n

tt

t IK

CFNPV

1 )1(

Di mana : CFt = aliran kas pertahun pada periode t lo = investasi awal pada tahun 0 K = suku bunga (discount rate)

Kriteria penilaian; Jika NPV > 0, usulan proyek diterima Jika NPV < 0, usulan proyek ditolak Jika NPV = 0, nilai perusahaan tetap walau usulan proyek

diterima ataupun ditolak.

c. Metode Internal Rate of Return (IRR)

Metode ini digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dan cash flow yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal.

Rumus :

n

tt

to IRR

CFI1 )1(

di mana : t = tahun ke t. n = jumlah tahun. lo = nitai investasi awal. CF = arus kas bersih. IRR = tingkat bunga yang dicari harganya.

Nilai IRR dapat dicari dengan cara coba-coba (trial and error). Caranya adalah hitung nilai sekarang dan arus kas dan suatu investasi dengan menggunakan suki bunga yang wajar, misalnya 10%, lalu bandingkan dengan biaya investasi, jika nilai investasi lebih kecil, maka dicoba lagi dengan suku bunga yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai biaya investasi menjadi sama besar. Sebaliknya, dengan suku bunga wajar tadi nilai investasi lebih besar, maka dicoba lagi dengan suku

Page 139: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 139

bunga yang lebih rendah sampai mendapatkan nilai investasi yang sama besar dengan nilai sekarang.

Kriteria Penilaian : jika IRR yang didapat ternyata lebih besar daripada rate of return yang ditentukan maka investasi dapat diterima.

Rumus lain dari IRR dengan interpolasi adalah :

21

1211 CC

PPCPIRR

di mana : P1 = tingkat bunga ke I P2 = tingkat bunga ke 2 C1 = NPV ke 1 C2 = NPV ke 2

4. Analisis Ekonomi

a. Perbedaan Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi

Perhitungan manfaat dan biaya proyek pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, tergantung pada pihak yang berkepentingan tangsung dalam proyek.

Suatu perhitungan dikategorikan pada analisis finansial, bila yang berkepentingai langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah indi-vidu atau swasta. Dalam hal ini yang dihitung benefit adalah apa yang diperoleh oleh individu atau swasta yang menanarnkan investasinya dalam proyek tersebut.

Sebaliknya suatu perhitungan dikategorikan pada analisis ekonomi, bila yang berkepentingan langsung adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini yang dihitung adalah seluruh benefit yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya yang terpakai, terlepas dan siapa saja yang menikmati benefit dan siapa saja yang mengorbankan sumber-sumber tersebut.

Analisa finansial dan analisa ekonomi dibedakan atas lima hal, yaitu : harga, perhitungan pajak, subsidi, biaya investasi dan pelunasan pinjaman serta bunga

1- Harga

Dalam analisis finansial, dipergunakan harga-harga pasar baik untuk sumber-sumber yang digunakan dalam proyek maupun un-tuk output yang diharapkan. Analisis ekonomi menggunakan har-ga-harga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk memberi-kan

Page 140: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 140

nilai yang sebenarnya dan barang dan jasa tersebut (shadow prices atau accounting prices).

2- Pajak

Dalam analisis finansial, pajak adalah biaya yang dibayarkan pada pemerintah, dengan kata lain pajak harus dikurangkan dari be-nefit. Sebaliknya dalam analisis ekonomi, pajak merupakan trans-fer, yaitu bagian dari benefit proyek yang diserahkan kepada pe-merintah, jadi tidak dikurangi dari benefit.

3- Subsidi

Subsidi adalah transfer kebalikan dari pajak. Dalam analisis finan-sial, penerimaan subsidi merupakan pengurangan biaya yang ha-rus ditanggung oleh pemilik proyek. Oleh karenanya subsidi me-ngurangi biaya.

Dalam analisis ekonomi, subsidi dianggap sebagai sumber-sum-ber yang dialihkan dari masyarakat untuk digunakan dalam pro-yek. Oleh karena itu subsidi yang diterima proyek merupakan be-ban masyarakat, sehingga dari segi perhitungan ekonomi tidak mengurangi biaya.

4- Biaya Investasi dan Pelunasan Pinjaman

Dalam analisis finansial, yang tergolong biaya investasi pada ta-hap permulaan proyek hanyalah yang dibiayai oleh modal sa-ham si penanam modal itu sendiri. Bagian investasi yang dibiayai dengan modal pinjaman, baik dari dalam maupun luar negeri, ti-dak dianggap biaya pada saat dikeluarkannya, sebab pengeluaran modal milik pihak lain tidak merupakan beban dari segi penanam moda swasta. Di lain pihak, yang menjadi beban penanam modal adalah arus pelunasan pinjaman tersebut beserta bunganya pada tahap produksi nanti.

Dalam analisis ekonomi, dengan satu pengecualian, seluruh biaya investasi, apakah dibiayai dengan modal yang dihimpun dari da-lam maupun luar negeri, dengan modal saham maupun pinjaman, dianggap sebagai biaya proyek pada saat dikeluar-kannya. Jadi, pelunasan pinjaman yang digunakan untuk mem-biayai sebagian investasi itu diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi, demi menghindar perhitungan ganda (double counting). Pengecualian hanya terdapat bila bagian investasi dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang boleh dipakai untuk proyek lain andaikata proyek ter-sebut tidak jadi dilaksanakan. Sama halnya dalam perhitungan analisis finansiat, biaya pinjaman luar negeri yang diperuntukkan hanya untuk proyek termaksud diperhitungkan berupa arus pelu-nasan pinjaman tersebut.

Page 141: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 141

5- Bunga

Seperti halnya dalam biaya investasi, dalam analisis finansial bu-nga atas pinjaman dan dalam dan luar negeri merupakan biaya proyek. (Bunga atas modal sendiri, berarti modal bukan pinjaman, yang ditanamkan dalam proyek dianggap bagian dan benefit yang diterima oleh si penanam modal atau investor modal tersebut).

Dalam analisis ekonomi, bunga atas pinjaman dalam negeri tidak dimasukkan dalam biaya, modal sudah dianggap sebagai modal masyarakat dan oleh sebab itu, bunganyapun dianggap bagian dan benefit. Dalam analisis ekonomi, biaya yang dihitung adalah biaya investasi pada waktu investasi itu dilaksanakan. Pembayar-an bunga dari pendapatan yang timbul karena adanya kegiatan hanyalah tranfer payments dari satu pihak ke pihak lain.

b. Mengenali Pengambil Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting dalam proses studi kelayakan. Keputusan untuk diterima atau ditolaknya suatu proyek menjadi bagian yang penting dalam proses pembangunan. Akibat keterbasan sumber daya sejumlah proyek mungkin tidak dapat diimplementasikan meskipun dari segi kelayakan finansial maupun ekonomi dinyatakan layak.

1- Pengertian dan Tujuan Pengambilan Keputusan

Gagasan pokok dari keputusan adalah bahwa keputusan meru-pakan hasil proses pemikiran yang berupa pemilihan satu dari be-berapa altematif yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah.

Pada hakikatnya pengambilan keputusan merupakan suatu pen-dekatan sistematis terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan penentuan yang matang dari alternatif yang diha-dapi, dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan meru-pakan tindakan yang tepat.

Tujuan dari pengambilan keputusan adalah memastikan agar tu-juan pembangunan dicapai dengan efektif dan efisien tanpa ham-batan yang berarti.

2- Faktor-faktor Pengambilan Keputusan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seorang pengambil keputusan dalam pengambilan keputusan. Tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi pengambil keputusan yang masing-masing dengan penjelasannya adalah sebagai berikut :

Page 142: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 142

a- Kondisi Internal dan Ekstemal

Kondisi internal antara lain meliputi ketersediaan dana, kua-litas SDM, peralatan yang dimiliki, struktur organisasi, sistem informasi dan lain-lain. Faktor-faktor ini dapat menjadi ke-kuatan atau bahkan dapat menjadi faktor penghambat yang cukup besar.

Lingkungan ekstemal yang sangat mempengaruhi pengam-bilan keputusan di antaranya adalah faktor sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya masyarakat dan lain-lain. Faktor-fak-tor internal dan ekstemal saling terkait dan saling mempe-ngaruhl ini harus menjadi bohan dasar acuan dalam peng-ambilan keputusan.

b- Ketersediaan Informasi

Kualitas dan kuantitas masalah-masalah yang harus dica-rikan jalan ke luar atau pemecahannya sangat bervariasi, namun harus diselesaikan dengan urutan prioritasnya untuk mencapai hasil yang maksimal. Minimnya informasi dan tingkat akurasinya, menyebabkan makin tingginya resiko ke-salahan dalam pengambilan keputusan.

c- Ketrampilan Pengambilan Keputusan

Ketrampilan pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia dan pengambil keputusan itu sendiri, tingkat intelegensi, kapasitas, kapabititas, rasa tanggung jawab merupakan faktor utama dalam hal ini.

3- Dasar Pengambilan Keputusan

Tahapan proses serta hasil pengambilan keputusan memiliki rela-tivitas yang sangat subyektif. Namun secara umum langkah-lang-kah pengambilan keputusan dapat diketompokkan dalam 7 (tujuh) faktor utama, yaitu :

a- Pemahaman Masalah dan Latar Belakang Timbulnya Masalah

Suatu kondisi telah dinyatakan suatu masalah, namun ber-dasar latar belakang dan hasil amatan hal tersebut bukan merupakan suatu masalah apabila dapat diidentifikasi latar belakang masalahnya. Berikut adalah suatu contoh dan gambaran di atas :

Telah terjadi pembengkakan dalam biaya promosi dari suatu obyek wisata, namun tingkat kunjungan wisata menunjukkan kencenderungan yang menurun. Timbul suatu masalah yang cukup serius dalam hal ini, namun

Page 143: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 143

apabila dipahami latar belakangnya, dalam teori pema-saran dikenal adanya siklus hidup pemasaran atau pro-duct life cycle di mana suatu produk, baik barang atau jasa jika telah sampai pada sikius menurun menuju titik kematian atau deadline berapapun besar dana promosi dan usaha yang dikeluarkan untuk meningkatkan kun-jungan wisata akan sia-sia.

Dalam hal ini pengambit keputusan dapat melakukan im-provisasi terhadap masalah yang timbul, misalnya menga-lihkan dana promosi untuk dialokasikan dalam kegiatan dan bentuk yang lain.

b- Resiko Masalah

Resiko yang harus diterima dapat diperhitungan dan dia-nalisa secara lebih dalam jika dalam suatu pengambilan keputusan terhadap suatu masalah tidak ditangani secara benar. Dalam suatu kondisi pengambilan keputusan dapat timbul resiko apabila altemafif pemecahan masalah meru-pakan altematif terbaik di antara altematif-alternatif lain yang sangat buruk.

c- Rumusan Masalah

Permasalahan yang timbul dalam pengambilan keputus-annya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, membatasi, menspesialisasi dan mengklasifikasikan masalah, sehingga keputusan yang diambil dapat dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana keputusan.

d- Penerapan Metode Ilmiah Dalam Pengambilan Keputusan

Penerapan metode pengambilan keputusan dilakukan ta-hapan-tahapan yang runut dan dengan dibantu alat-alat ilmiah pengambil keputusan seperti cara pengumpulan data dengan metode statistika dan analisis memakai teori yang relevan, dan lain-lain.

e- Keterlibatan Positif Pelaksana

Keterlibatan pelaksana dalam pengambilan keputusan, akan menimbulkan nilai-nilai positif dalam kualitas dan bobot keputusan. Pelaksanaan keputusan akan lebih tepat sasaran karena pelaksana juga dilibatkan dalam pengambilan kepu-tusan.

Page 144: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 144

f- Kepercayaan Terhadap Keputusan

Kepercayaan terhadap keputusan yang telah diambil mutlak diperlukan agar keputusan dapat dilaksanakan dengan sung-guh-sungguh. Kepercayaan terhadap keputusan didasari de-ngan hal-hal yang terkait dalam proses pengambilan kepu-tusan.

g- Penilaian Keputusan

Keputusan yang telah dibuat dan dilaksanakan bukan meru-pakan hal mutlak dalam penyelesaian suatu masalah. Kepu-tusan harus dinilai, dianalisa, bahkan diubah jika diperlukan guna mencapai target sasaran dan hasil yang lebih maksi-mal.

4- Model Keputusan

Model keputusan diterapkan untuk memberikan gambaran tentang kemungkinan yang timbul serta informasi dan asumsi-asumsinya, sehingga dengan model keputusan dapat diketahui secara lebih jelas keadaan, kondisi, dan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul.

Model dalam analisis dimanfaatkan untuk : a- Mengetahui hubungan antara masalah yang dipecahkan dan

unsur-unsur terkait. b- Mengetahui hubungan antar unsur. c- Merumuskan hipotesis mengenai hakikat hubungan antar

unsur.

Model yang banyak dipakai dalam proses pengambilan, dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a- Model Matematika

Model ini banyak dipakai dalam pengambilan keputusan, aplikasi yang banyak digunakan misalnya adalah linear programming.

b- Model Simulasi Komputer

Model ini merupakan simulasi atau tiruan dan kasus yang sesungguhnya, dengan input dan berbagai kondisi yang ada, pemecahan masalah yang dihasilkan oleh model simulasi komputer kemudian dapat diterapkan pada wahana yang sesungguhnya.

Page 145: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 145

c- Model Permainan Operasional

Pada model ini manusia berperan sebagai unsur pengambil keputusan, sedangkan wahananya dapat berupa komputer yang menjikan masalahnya.

d- Model Verbal

Adalah model keputusan berdasarkan analogi. dan analogi ini dibuat dalil yang kemudian diterapkan untuk pengambilan keputusan non-kuantitafrf.

e- Modek Fisik

Model ini merupakan serangkain keputusan dalam program pembangunan dan pengembangan, baik fisik maupun jasa yang cukup kompleks. Dengan dukungan beberapa metode seperti misalnya PERT (Program Evaluation Review Tech-nique) dan CPM (Critical Path Method) para pengambil kepu-tusan banyak terbantu.

c. Manfaat Langsung dan Tidak Langsung

Pariwisata termasuk ke dalam sektor yang produktif di mana kegiatan pariwisata akan menciptakan suatu proses produksi yang selanjutnya akan menghasilkan suatu produk dalam bentuk barang atau jasa. Hal ini akan mendatangkan penghasilan berupa uang dalam masyarakat.

Pengaruh ekonomi atas pebangunan kepariwisataan dikelompokkan atas pengaruh langsung serta pengaruh tak langsung, yaitu lewat efek pengganda seperti dari pengeluaran wisatawan atau lingkaran penda-patan konsumsi (the income consumption circle). Kegiatan pa-riwisata selain menciptakan kegiatan lain juga menghasilkan penda-patan bagi pemerintah lewat pajak, retribusi dan devisa.

1- Manfaat Terukur

Manfaat yang bersifat tangible terdiri atas manfaat langsung yang berupa pendapatan negara seperti pajak, retribusi dan lain-lain serta manfaat yang diperoleh masyarakat lewat pengeluaran wisa-tawan.

Pembangunan kepariwisataan akan mampu menciptakan berba-gai aktivitas ekonomi dalam bentuk kewirausahaan, seperti mun-culnya para penyewa perahu baik tradisional maupun speed boat, penyewa sepeda motor, munculnya para pedagang Cenderamata, munculnya para pengelola penginapan, restoran, tempat hiburan dan sebagainya. Manfaat terukur lain adalah peningkatan penda-patan dan berbagai retribusi seperti retribusi masuk kawasan wi-sata, retribusi parkir dan kebersihan.

Page 146: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 146

2- Manfaat Tidak Terukur (Intangible)

Manfaat intangible merupakan manfaat yang timbul dari pem-bangunan kepariwisataan, namun sukar dihitung dengan uang atau satuan moneter. Manfaat intangible, misalnya perasaan bangga masyarakat setempat, kesempatan kerja masyarakat sekitar, peningkatan keindahan lingkungan dan lain-lain.

d. Penetapan Biaya dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Dalam analisis finansial penetapan biaya didasarkan pada harga-harga pasar sedangkan daiam analisis ekonomi dan sosial digunakan shadow prices yang didasarkan pada opportunity cost.

Sebagai contoh, pemerintah mempunyai 10 rencana proyek yang di-sebabkan karena keterbatasan sumber daya harus dilaksanakan da-lam beberapa tahap sesuai dengan tingkat keuntungan yang diha-silkan. Opportunity cost daiam investasi proyek tersebut adalah benefit yang dikorbankan dari proyek terakhir yang diimplementasikan, yang apabila tersedia sumberdaya cukup sebenarnya pada tahun pertama sudah menghasilkan keuntungan. Beberapa opportunity cost dapat berupa : modal, tanah bahan mentah, tenaga kerja, pelunasan utang dan bunga, penyusutan, sunk cost, salvage value dan negative externalities.

5. Eksternalitas

Hasil-hasil tidak langsung dan akibat sampingan proyek dinamakan eks-ternalitas. Eksternalitas dapat bersifat positif (memberikan tambahan man-faat) dan dapat bersifat negatif (mengakibatkan kerugian masyarakat). Ke-duanya sukar dihitung dan dimasukkan dalam perhitungan manfaat dan biaya proyek, akan tetapi perlu dipertimbangkan dalam penentuan/pemilihan proyek.

a. Dampak Lingkungan

Analisis Dampak Lingkungan sudah dikembangkan oleh beberapa ne-gara maju sejak tahun 1970 (Environmental Impact Analysis atau Envi-ronmental Impact Assesment disingkat EIA). Analisis dampak lingkung-an (ANDAL) adalah kajian secara cermat dan mendalam tentang dam-pak penting suatu kegiatan yang direncanakan, sedangkan analisis me-ngenai mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi me-ngenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan putusan.

Di Indonesia penerapan AMDAL telah diatur dalam perundangan yang dapat dijumpai pada tingkat nasional, sektoral maupun regional/daerah. Peraturan Pemerintah Rl nomor 51 tahun 19S3 tentang Analisis Me-ngenai Dampak Lingkungan yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor KEP-10/IVIENLH/3/1994 dalam salah

Page 147: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 147

satu butirnya adalah mengenai jenis usaha atau kegiatan yang wajib di-lengkapi dengan AMDAL.

AMDAL adalah suatu proyek bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian proses AMDAL yang lebih besar dan lebih penting, menyeluruh dan utuh dan proyek dan lingkungannya, se-hingga AMDAL dapat dipakai datam rangka pengelolaan dan peman-tauan proyek dan lingkungannya dengan menggunakan dokumen yang benar.

Beberapa peran AMDAL adalah :

1- Peran AMDAL Dalam Pengelolaan Lingkungan

Aktivitas pengelolaan lingkungan baru dapat dilakukan apabila telah disusun rencana pengelolaan lingkungan, yang sebelumnya telah diketahui dahulu dampak lingkungan yang akan timbul akibat proyek.

2- Peran AMDAL Dalam Pengelolaan Proyek

AMDAL merupakan salah satu studi kelayakan tingkungan yang disyaratkan untuk mendapatkan perizinan. Selain aspek-aspek studi kelayakan yang lain, seperti aspek teknis dan ekonomi, se-harusnya AMDAL dilakukan bersama-sama di mana masing-ma-sing aspek dapat memberikan masukan untuk aspek-aspek lain, sehingga akan dihasilkan suatu penilaian yang optimal terhadap proyek.

Bagian dan AMDAL yang diharapkan oleh aspek teknis dan eko-nomis biasanya adalah sejauh mana keadaan lingkungan dapat menunjang perwujudan proyek, terutama sumber daya yang diper-lukan oleh proyek tersebut seperti air, energi, manusia dan an-caman terhadap lingkungan sekitar proyek.

Laporan AMDAL merupakan dokumen penting sebagai sumber informasi yang rinci mengenai keadaan lingkungan pada waktu penelitian proyeknya, dan gambaran keadaan lingkungan di masa yang akan datang. Dokumen ini juga penting untuk melakukan evaluasi, untuk membangun proyek yang lokasinya berdekatan dan dapat digunakan sebagai alat tegalitas bagi berlangsungnya suatu proyek.

b. Nilai Waktu

Sebagaimana telah dikernukan sebelumnya, aspek paling rumit dalam mengembangkan patokan ini adalah membandingkan pengeluaran sumber-sumber yang terjadi pada waktu sekarang atau selama tahun-tahun permulaan proyek, dengan benefit yang baru akan diperoleh setelah melewati periode tertentu sampai dengan akhir umur proyek.

Page 148: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 148

Secara intuitif, kita mengetahui bahwa sejumlah sumberdaya/dana yang tersedia untuk dinikmati pada saat sekarang lebih disenangi daripada jumlah yang sama jika tersedia setelah satu tahun yang akan datang. Seseorangpun biasanya bersedia untuk tidak menikmati sum-ber yang tersedia pada saat sekarang dan menunda menikmatinya se-tahun kemudian, dengan ketentuan bahwa sumber yang akan dinikmati itu tersedia dalam jumlah yang lebih besar. Inilah yang dinamakan time preference, dan berlaku untuk setiap orang ataupun masyarakat secara keseluruhan. Yang perlu dipertanyakan sekarang adalah : berapa be-sarnya efek time preference dari sudut pandang masyarakat, dan se-berapa besar penyesuaian yang perlu dilakukan terhadap nilai benefit di masa datang sebelum membandingkannya dengan nilai investasi proyek ? Tugas penilai proyek menjadi jauh lebih sulit apabila perlu di-bandingkan alternatif-altematif investasi yang menimbulkan arus biaya dan manfaat yang terjadi dalam waktu yang berbeda sepanjang umur proyek. Misalnya, walaupun tiga alternatif untuk suatu proyek menca-kup volume investasi yang sama, kemungkinan umur ekonomis mau-pun benefit nettonya sangat berbeda.

Page 149: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 149

Lampiran K

Petunjuk Umum Pembinaan dan Pengembangan Wisata Agro

1. Dasar Hukum

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehtan Hewan;

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah;

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;

d. Undang-Undang nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; e. Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan

Organisasi Departemen; f. Keputusan Presiden RI nomor 64/M Tahun 1988 tentang Pembentukan

Kabinet Pembangunan V; g. Intruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1969 tentang Pengembangan

Pariwisata Nasional; h. Surat Keputusan Bersama Mentri Pertanian dan Mentri Pariwisata. Pos

dan Telekomunikasi Nomor 204/KPTS/HK.050/4/1980 dan Nomor : KM. 47/PW.004/MPPT-89 tanggal 6 April 1989 tentang Koordinasi Pengembangan Wisata Agro.

2. Masalah

Wisata agro belum berkembang secara baik sebagaimana diharapkan. Hal ini disebabkandalam pelaksanaannya masih mengalamai masalah secara hambatan, antara lain : a. Belum adanya pedoman sebagai acuan yang dapat digunakan oleh se-

mua pihak yang berkepentingan di dalam membina dan mengembang-kan wisata agro;

b. Masih terbatasnya informasi mengenai potensi wisata agro di Indone-sia;

c. Masih banyak pemilik / pengelola perkebunan atau usaha pertanian yang belum membuka pintu dan menerima kunjungan wisatawan, ka-rena adanya kekhawatiran kemungkinan terjadi masuknya bibit penya-kit yang dibawa wisatawan ;

d. Masih belum terjalinnya koordinasi yang baik antara inatansi yang ber-kait di dalam penanganan wisata agro ;

e. Pemahaman dan penghayatan masyarakat terhadap manfaat dan pengaruhnya kegiatan wisata agro bagi pertanian atau perkebunan di suatu segi dan pariwisata di segi lainnya masih belum merata ;

f. Belum dimanfaatkannya obyek wisata agro di dalam rangka mening-katkan diversifikasi produk wisata Indonesia.

Page 150: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 150

3. Maksud dan Tujuan

Petunjuk umum Pembinaan dan Pengembangan Wisata Agro ini dimaksud-kan untuk dipergunakan sebagai pedoman oleh semua pihak yang berke-pentingan. Dengan tujuan agar di dalam melakukan pembinaan dan pe-ngembangan wisata agro dilaksanakan atas dasar kesatuan pengertian, bahasa, dan langkah serta koordinasi yang mantap.

4. Pengertian

a. Obyek Wisata

Tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan, sehingga mempunyai daya tarik dan diu-sahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan ;

b. Sumber Daya Wisata

Unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sum-ber daya hutan dan sumber daya alam yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obyek wisata ;

c. Daya Tarik Wisata

Sifat yang dimiliki oleh suatu obyek berupa keunikan, keaslian, kelang-kaan lain dari pada yang lain. Memiliki sifat yang menumbuhkan sema-ngat dan nilai bagi wisatawan;

d. Prodok Wisata

Seluruh unsur kepariwisatan baik berupa Jasa maupun atraksi wisata, yang dinikmati wisatawan selama dia berwisata, sejak mulai mening-galkan tempat tinggalnya sampai ia kembali lagi;

e. Wisata Agro

Bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan penga-laman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro ;

f. Pembinaan Dan Pengembangan Wisata Agro

Segala upaya untuk memperkenalkan, menumbuhkan, memperluas dan mengendalikan kegiatan wisata agro yang dilakukan secara terus menerus.

Page 151: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 151

5. Ruang Lingkup Dan Potensi Wisata Agro

a. Perkebunan

Daya tarik perkebunan sebagai sumber daya wisata antara lain sebagai berikut : 1- Daya tarik historis bagi wisatawan ; 2- Lokasi perkebunan, yaitu pada umumnya terletak di daerah pe-

gunungan dan banyak mempunyai pemandangan alam yang ber-hawa segar ;

3- Cara-cara tradisional dalam pola bertanam, pemeliharaan, penge-lolaan dan prosesnya ;

4- Tingkat teknik pengelolaan yang ada dan sebagainya

Kegiatan bidang usaha perkebunan meliputi perkebunan tanaman ke-ras dan tanaman lainnya yang dilakukan oleh perkebunan besar swasta nasional ataupun asing atau BUMN serta perkebunan rakyat. Berbagai kegiatan obyek wisata perkebunan dapat berupa pra produksi (pem-bibitan), produksi dan pasca prosduksi (pengelolaan dan pemasaran).

b. Tanaman Pangan

Daya tarik pertanian tanaman pangan sebagai sumber daya wisata antara lain sebagai berikut :

1- Bunga-Bungaan

a- Bunga yang mempunyai kekhasan sebagai bunga Indonesia; b- Cara-cara tradisional pemeliharaan; c- Bunga yang dikaitkan dengan seni / keindahan antara lain

seni merangkai bunga, tanaman bunga dan sebagainya.

2- Buah-Buahan :

a- Kebun bauh-buahan pada umumnya di desa atau di pegu-nungan yang mempunyai pemandangan alam disekitar yang indah;

b- Memperkenalkan buah-buahan Indonesia sekaligus mem-perkenalkan kota-kota di Indonesia berdasarkan daerah asal buah tersebut;

c- Budidaya bunga.

3- Sayur-Sayuran

a- Kebun sayuran pada umumnya di desa atau pegunungan dan mempunyai pemandangan alam sekitarnya yang indah;

b- Cara-cara tradisional pemeliharaan dan pemetikan sayuran; c- Tingkat teknik pengelolaan dan sebagainya; d- Budi daya sayuran dan lain-lain.

Page 152: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 152

4- Jamu-Jamuan

a- Pemeliharaan dan pengadaan bahan; b- Pengelolaan bahan dan lain-lain, c- Demontrasi, d- Berbagai khasiat dari jamu-jamuan; e- Jamu sebagai kosmetika tradisional dan modern.

c. Peternakan

Daya tarik peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain sebagai berikut : 1- Adanya pola peternakan yang ditetapkan oleh pemerintah ; 2- Cara-cara tradisional dalam peternakan ; 3- Tingkat tehnik pengelolaan dan sebagainya ; 4- Budidaya hawan ternak dan lain-lain.

Ruang lingkup obyek wisata peternakan : 1- Pra Produksi : yaitu pembibitan ternak pabrik makanan ternak, pa-

brik obat-obatan dan lain-lain : 2- Kegiatan produksi : yaitu usaha peternakan unggas, ternak perah,

ternak potong dan aneka ternak; 3- Pasca produksi : yaitu pasca panen susu, daging, telur, kulit dan

lain-lain. 4- Kegiatan lain : yaitu penggemukan ternak (fattening), karapan sa-

pi, adu domba, pacu itik, balap luda dan lain-lain.

d. Perikanan

Daya tarik perikanan sebagai sumber daya wisata antara lain sebagai berikut : 1- Adanya pola perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah; 2- Cara-cara tradisional dalam perikanan; 3- Tingkat tehnik pengelolaan dan sebagainya; 4- Budidaya perikanan (untuk konsumsi dan ikan hias); 5- Game fishing (olah raga memancing ikan; 6- Prasarana perikanan (tempat pelelangan ikan, pusat pendaratan

ikan dan pelabuhan perikanan).

Ruang lingkup kegiatan perikanan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut :

1- Kegiatan Perikanan Tangkap

Ini merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil melalui usaha/upaya penangkapan pada suatu kawasan perairan tertentu di laut atau perairan umum, danau, sungai, rawa,waduk atau ge-nangan air lainnya. Kegiatan perikanan tangkap ini, ditunjung oleh penyediaan prasarana di darat berupa Pusat Pendaratan Ikan dan Pelabuhan Perikanan.

Page 153: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 153

Menurut skala fasilitas yang tersedia, pelabuhan perikanan dibagi menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nu-santara dan Pelabuhan Perikanan Samudra.

2- Kegiatan Perikanan Budidaya

Ini merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh hasli perikanan melalui usaha/upaya budidya perikanan yaitu untuk mencakup usaha pebenihan dan pembesaran. a- Kegiatan budidaya air payau (yaitu usaha budidaya perikan-

an yang dilakukan perairan payau atau kawasan pantai pa-sang surut dan biasa dikenal dengan tambak),

b- Kegiatan budidaya air tawar (yaitu usaha budidaya perikanan yang dilakukana perairan tawar, baik di waduk, kolam mau-pun perairan umum),

c- Kegiatan budidaya laut (yaitu usaha budidaya perikanan yang dilakukan diperairan laut).

3- Kegiatan Pasca Panen

Ini merupakan suatu kegiatan penanganan hasil perikanan yang dilakukan pada periode setelah ditangkap dan sebelum dikonsum-si. Kegiatan ini merupakan upaya penanganan (handling) penge-lolahan (processing) dan pemasaran hasil perikanan marketing.

Sesuai dengan ruang lingkup kegiatan perikanan seperti uraian terdahulu, maka beberapa di antaranya merupakan sumber daya yang dapat dibina dan dikembangan menjadi obyek wisata agro. Beberapa kegiatan perikanan dan sumber daya perikanan seperti tersebut di atas, merupakan potensi wisata agro yang dapat dibina dan dikembangkan dikemudian hari.

6. Tujuan, Azas Dan Arah

a. Tujuan

1- Umum

Meningkatkan penerimaan devisa negara dari sektor sektor non migas menciptakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, melalui pemanfaatan yang optimal potensi agro sebagai obyek kunjungan wisatawan.

Akhir-akhir ini penerimaan devisa negara dari sektor migas agak melemah karena tidak menentunya menentukan pasaran migas dunia. Sehungan dengan hal tersebut pemerintah telah bertekad untuk mengalakkan pembangunan di bidang industri,pertanian, dan juga dari pariwisata yang bisa menghasilkan devisa di bidang non migas. Dengan menperhatikan akan potensi yang ada di bidang agro dan peluang-peluang yang di bidang pariwisata.

Page 154: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 154

Bukan suatu hal mustahil apabila potensi agra ini dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi konsumsi bagi wisatawan baik nusantara maupun mancanegara, dengan menciptakan paket-paket special interest tour ke obyek perkebunan, pertanian, peternakan, maupu perikanan. Tinggalah masalahnya bagaimana instansti terlibat yaitu pertanian dan Pariwisata akan memanfaatkan potensi pe-luang ada ini, sehingga tujuan yang ingin diciptakan sebagaimana diuraikan di atas dapat diwujudkan.

2- Khusus

a- Menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata agro;

b- Menciptakan iklim berusaha yang baik kepada para pengu-saha/pemilik di bidang agro dan periwista di dalam menye-lengaraan dan pelayanan wisata agro;

c- Menciptakan pola pemasaran terpadu wisata agro; d- Mengamankan dan melestarikan keberadaan dan mencipta-

kan produk pertanian sebagai salah satu diversifikasi produk wisata Indonesia.

b. Azas

1- Pengembangan wisata agro berdasarkan kepada azas menfaat dan pelestarian :

a- Azas Manfaat :

Pengemabangan wisata agro didasarka kepada azas man-faat dalam arti bahwa penyelengaraan program wisata agro diarahkan dapat dapat memberikan manfaat dan dampak positif baik politik, ekonomi, sosial, budaya maupun lingkung-an

b- Azas Pelestarian

Pengembangan wisata agro didasarkan pada azas pelesta-rian arti bahwa penyelengaraan program wisata agro, diarah-kan agar akan berperan dalam peningkatan pelestarian plas-ma nuftah sebagai sumber daya utama bagi kelestarian alam lingkungan.

2- Penggunaan azas manfaat dan pelestarian, dimaksud untuk dapat lebih menjamin program wisata agro bermanfaat bagi perkem-bangan dan pertumbuhan di bidang pertanian dan pariwasata di satu segi dan di lain segi kelestarian dan pengamanan produk per-tanian tetap terjaga. Azas manfaat akan menjamin bahwa program wisatawan agro yang diselengarakan tidak mengabaikan manfaat yang diperoleh dari kunjungan ini baik untuk wisataan maupun bagi pengusaha/pemilik dan masyarakat sekitarnya. Sedangkan

Page 155: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 155

azas pelestarian, akan dapat mengarahkan program wisata agro berperan sekaligus untuj tujuan pentingnya menjaga pelestarian budidaya produk pertanian.

3- Yang perlu mendapat perhatian di dalam penyelengaraan program wisata agro adalah agar menfaat yang berupa : a- Memberi nilai tambah dari pengelola/pemilik usaha penye-

lenggaraan jasa pelayanan akomodasi, makanan/minum-an dan lain-lain kawasan usaha agro.

b- Kunjungan wisatawan ke lokasi usaha agro diharapkan me-rupakan promosi langsung untuk produksi yang dihasilkan dalam rangka meningkatkan pemasaran produk baik di da-lam maupu ke luar negeri.

c- Menigkatkan rasa citra kepada alam dan kesadaran pengun-jung akan besar dan beraneka ragamnya potensi agro yang dimiliki oleh negara kita, sehingga penyelenggaraan wisata agro terutama untuk generasi muda akan menambah penge-tahuan mereka di bidang wisata agro.

d- Penduduk sekitar lokasi sekitar agro tergerak untuk berparti-sipasi dan menyediakan jasa pelayanan serta barang-barang hasil kerajinan setempat untuk dijadikan cinderamata bagi wisata agro.

e- Membuka pandangan generasi muda bahwa usaha agro yang lokasinya di pedesaan dapat memberikan kehidupan yang tidak kalah baiknya dengan kehidupan di kota.

Tidak mengabaikan upaya untuk mendorong usaha pada kelestarian plasma nuftah, sehingga terbentuknya bibit-bibit unggul.

c. Arah

Pengembangan wisata agro diarahkan pada terciptanya penyelengga-raan dan pelayanan wisata agro yang baik sehingga wisata agro seba-gai salah satu produk wisata Indonesia dapat dilestarikan dalam rangka menunjang usaha pertanian dan pariwisata.

Di dalam pelaksanaannya, maka arah di atas dapat ditempuh dengan upaya : 1- Peningkatan prasarana dan sarana yang ada pada obyek wisata

agro ; 2- Peningkatan kesediaan berperan serta dalam melestarikan po-

tensi agro dan lingkungan hidup serta manfaat yang diperoleh ; 3- Peningkatan sikap, daya kreasi dan inovasi para pengusaha/

pemilik usaha di bidang agro dan pariwisata. 4- Peningkatan kemudahan-kemudahan dan bahan-bahan infor-masi

untuk mendorong wisata agro.

Page 156: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 156

7. Pembinaan dan Pengembangan

a. Kebijaksahaan Program

1- Sesuai dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi dan De-partemen Pertanian, pembinaan dan pengembangan wisata agro menjadi kewenangan kedua instansi tersebut. Namun demikian oleh karena wisata agro merupakan kegiatan dan upaya yang ti-dak berdiri sendiri karena mempunyai lingkup luas dan mempu-nyai kaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang berbagai Instanai pemerintah lainnya, kalangan usaha dan masyarakat pada umum-nya, di dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pendekatan de-ngan berbagai pihak yang terkait secara koordinatif.

2- Di dalam penyelengaraan koordinasi ini, apabila dipandang perlu agar diselenagarakan melalui pembentukansuatu wadah kerjasa-ma antara jajaran Pariwisata dan Pertanian, baik di tingat Pusat maupun di tingkat Daerah.

3- Lingkup kegiatan dan upaya yang perlu mendapat koordinasi meliputi : a- Perumusan saran dan pertimbangan yang perlu dijukan

untuk ditetapkan sebagai kabijaksanaan ; b- Pemantauan dan evaluasi kegiatan wisata agro ; c- Penyusunan hahan-bahan informaai dan materi dasar bagi

petunjuk pelaksanaan wisata agro : d- Lain-lain yang dipandang perlu sesuai dengan tingakt

perkembangan.

4- Pada dasarnya koordinasi yane dilakukan bersifat fungsional, di tingkat Pusat dititik beratkan kepada hal-hal yang, bersifat umum dan kebijakaanaan,sedangkan di tingkat daerah dititik beratkan kepada penyusunan rincian dan pelaksanaan sesuai denaan keadaan masing-masing daerah.

5- Pembinaan dan pengembangan wisata agro dilakukan meialui program-program sebagai berikut : a- Pengaturan dan pengadaan sarana serta bahan-bahan

informasi separti : 1) Penyusunan Peraturan atau Petunjuk Pelaksanaan

Kegiatan wisata Agro ; 2) Pengadaan tempat istirahat, parkir, fasilitas makan dan

komunikasi dan lain-lain ; 3) Pengadaan bahan-bahan informasi kegiatan wisata

agro. b- Penelitian potenai bidang agro yang dapat dikembangkan

sebagai obyekwisata agro dan penelitian profil wigata :

Page 157: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 157

c- Pemantauan, evaluasi dan pengendalian kegiatan wisata agro.

b. Prosedur

1- Prosedur atau tata cara untuk dapat mengunjungi obyek wisata agro ditetapkan secara bersama oleh Departemen Pertanian dan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, sedangkan pemilihan dan penentuan lokasi obyek wisata agro ditetapkan oleh Departemen Pertanian mengingat status dan kewenangan bidang tersebut. menjadi tanggung jawabnya.

2- Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam tata cara antara lain :

a- Pemilihan/penentuan obyek wisata agro

1) Memiliki Daya Tarik

Obyek wisata agro memiliki daya tarik kuat bagi kun-jungan wisatawan, karena telah telah dikunjungi sampai saat, ini masih dikunjungi, di masa yang akan datang diharapkan akan dikunjungi wisatawan Daya tarik bisa karena mempunyai ciri khas unik, langka, tradiaional, asli Indonesia ditinjau dari sepi proses bertanam/pe-meliharaan, proses produksi dan lain-lain.

2) Sarana dan Prasarana (Fasilitas)

Sarana dan prasarana yanp dikaitkan baik untuk kepen-tingan agro business maupun kepentingan pariwisata seperti perlu tersedianya fasilitas tertentu di dalam lokasi/areal obyek wisata agro di antaranya tempat istirahat/shelter. rumah pandang, tempat parkir, MCK dan fasilitas komunikasi, ruangan show room dan lain-lain.

3) Pelayanan

Penyediaan tenaga manusia yang terlatih, terdidik de-ngan cukup terampil dan siap pakai bila dibutuhkan di dalam melayani wisatawan.

4) Keamanan

Keamanan dan pennamanan sumber daya pertanian yang dgunakan sebagai daya tarik wisata dari kemung-kinan pengrusakan atau penularan penyakit olah wisa-tawan, ataupun sebaiknya keamanan dan peneamanan

Page 158: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 158

wisatawan/pengunjung dari kemungkinan perusakan dan penularan penyakit dari sumber daya pertanian.

Hal ini bisa ini juga tinjau dari keadaan lingkungan loka-si ataupun lahan, segi keamanan dan pengamanan ba-gi pengunjung.

b- Pedoman penyelengaraan : 1) Penetapan obyek wisata agro yang boleh dikunjunngi

wisatawan; 2) Tata cara mangunjungi obyek wisata agro ; 3) Hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh

wisatawan selama berada pada obyek wisata agro ; 4) Waktu yang baik untuk mengunjungi obyek wisata agro; 5) Perizinan.

c. Pelaksanaan

1- Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan obyek wisata dilaku-kan secara bersama dan terkoordinir antara Departemen Perta-nian dan departemen Pariwisata. Pos dan Telekomunikasi dalam suatu wadah kerjasama pemanfaatan obyek wisata agro;

2- Kerjasama tersebut kemungkinan untuk ditingkatkan dengan instansi lain yang mempunyai kaitan dengan aspek wisata agro;

3- Dasar hukum yang perlu ditetapkan untuk dasar kerjasama terse-but adalah Surat Keputusan Bersama Mentri Pertanian dan Mentri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi;

4- Adapun pelaksanaan dari program kegiatan wisata agronya sen-diri dilakukan oleh dunia usaha baik di bidang pertanian maupun wisata pariwisata berdasarkan suatu petunjuk tehnis yang disusun secara bersama olh pihak-[ihak yang terlibat.

8. Penutup

Dengan adanya petunjuk umum pembinaan dan pengembangan wisata Agro inin, di harapkan dapat menjadi pegangan bagi yang berkepentingan di dalam melaksanakan pembinaan wisata juga peraturan sebagai tindak lanjutnya akan diterbitkan juga peraturan pelaksanaannya bagi semua pihak yang terkait di dalam pengusaha obyek wisata agro, sehingga pelaksanaan program wisata agro akan terarah dengan tujuan yang ingin dicapai.

Page 159: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 159

Lampiran L

Antara Objek dan Daya Tarik Wisata serta Atraksi Wisata

1. Pendahuluan

a. Pengertian

1- Latar Belakang

Sesuai dengan isi dan jiwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 tentang bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya, maka sektor pariwisata harus dapat memanfaatkan alam dan isinya untuk kemakmuran rakyat sebanyak mungkin dengan menjadikan potensi keindahan alan dan hasil budaya bangsa sebagai atraksl wisata yang menarik untuk disajikan serta dinikmati oleh para wisatawan.

Indonesia sangat potensial dan mempunyai aktraksi wisata yang dapat disajikan seluas-luasnya kepada wisatawan, baik yang berupa atraksi wisata alam maupun aktrasi wisata budaya.

Seperti kita ketahui, bahwa Indonesia terdapat ± 300 suku bang-sa yang tersebar diseluruh Kepulauan Indonesia dan mempunyai bermacam ragam hasil budaya bangsa, merupakan daya tarik serta mempunyai nilai-nilai tertentu bagi wisatawan untuk menyaksikan dan menikmatinya

Begitu juga keadaan alamnya yang indah merupakan perpaduan daripada gunung-gungung, bukit-bukit, lembah-lembah, danau-danau, sungai-sungai serta tumbuh-tumbuhan yang menghijau serta dipengaruhi oleh iklim tropis, sehingga membentuk pemandangan alam yang sangat indah dan sesuai untuk tempat peristirahatan dan rekreasi.

Dengan demikian atraksi wisata Indonesia, merupakan perpaduan antara atraksi wisata alam dan atraksi wisata budaya yang meru-pakan citra pariwisata Indonesia, sehingga perlu diadakan pembi-naan dan pengembangan yang terarah untuk menghasilkan pro-duk wisata Indonesia yang mempunyai daya saing.

2- Masalah

a- Sampai saat ini belum ada kesatuan bahasa dalam penggu-naan definisi atau pengertian tentang atraksi wisata yang mana kadang-kadang identik dengan pengertian obyek wisa-ta, sehingga menyulitkan upaya pembinaan dan pengem-bangannya.

Page 160: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 160

b- Belum adanya pengklasifikasian atraksi wisata yang bersifat alam maupun budaya, sesuai dengan corak dan jenisnya, dikarenakan belum adanya pengertian atau definisi atraksi wisata yang baku atau ditetapkan dengan peraturan Peme-rintah seperti halnya dengan pengertian atau definisi obyek wisata.

c- Dengan bermacam-macam definisi atraksi wisata akan me-nyulitkan dalam penyusunan buku petunjuk/penuntun atraksi wisata wisata serta penyusunan pedoman pembakuan atrak-si wisata yang dapat dipertunjukkan kepada wisatawan.

3- Tujuan

a- Untuk dapat memadukan, menyeragamkan dan adanya ke-satuan hahasa dalam mcnggunkan pengertian atau definisi atraksi wisata, sehingga tidak terjadi interprestasi yang ber-beda-beda di kalangan instansi-instansi atau pejabat-pejabat yang menangani masalah atraksi wisata baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.

b- Untuk memudahkan dalam pengkIasifikasian atraksi wisata baik yang bersifat alam maupun budaya berdasarkan corak dan jenisnya.

c- Mempermudah dalam penyusunan buku Petunjuk/Penuntun atraksi wisata serta penyusunan Pedoman Pembakuan Atraksi Wisata yang dapat dipertunjukkan kepada wisa-tawan.

4- Pengertian-Pengertian Objek dan Daya Tarik Wisata serta Atraksi Wisata

Sebagai bahan pembanding dalam pembahasan, di sini dikemu-kakan batasan atau pengertian-pengertian tentang atraksi wisata dan obyek wisata dari berbagai ahli di bidang pariwisata.

a- Batasan Pengertian Atraksi Wisata

1) EUGENE J. HALL, Tourism English

Anything that may cause a tourist to visit an area. it may be a beach, a mountain, a historical landmark, and so forth.

2) CLARK A. GUNN, Tourism

It may be site attractions (for example, climate, scenic, etc) or event attractions (for example, congress, exhibition, sporting event, etc).

Page 161: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 161

3) NYOMAN S. PENDIT, Pengantar Ilmu Pariwisata

Segala sesuatu yang menarik dan berharga untuk dilihat dan di kunjungi wisatawan.

4) R.S. DAMARDJATI, Istilah-Istilah Dunia Pariwisata

Biasanya berwujud peristiwa, kejadian, baik yang terjadi secara periodik ataupun sekali saja, baik bersifat tra-disional maupun yang telah dilembagakan dalam kehi-dupan masyarakat modern, kesemuanya itu mempu-nyai daya tarik yang positip bagi wisatawan untuk me-ngunjungi, menyaksikan dan menikmati, sehingga diha-rapkan dapat memberikan kepuasan maksimal terha-dap para wisatawan yang telah tergerak.

5) Drs.OKA A. YOETI, Pengantar llmu Pariwisata

Biasanya merupakan fasilitas untuk entertaiment, beru-pa tari-tarian atau kesenian daerah yang sifatnya untuk hiburan.

b- Batasan Pengertian Obyek Wisata

1) R.S. DAMARDJATI, Istilah-lstilah Dunia Pariwisata

Pada garis besarnya berwujud obyek, barang-barang mati atau statis, baik yang diciptakan manuasia sebagai hasil seni budaya, ataupun yang berupa gejala-gejala alam yang memiliki daya tarik para wisatawan untuk mengunjungi agar dapat menyaksikan, menikmati dan mengagumi, sehingga terpenuhilah kepuasan wisata-wan-wisatawan itu sesuai dengan motif-motif kunjung-an.

2) Drs. OKA A.YOETI, Pengantar llmu Pariwisata

Segala sesuatu yang dapat dilihat atau disaksikan se-demikian rupa, sehingga sesuatu itu menjadi daya tarik bagi orang-orang yang berkunjung ke suatu tempat atau daerah.

3) Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1979

Perwujudan dari pada ciptaan manuasia, tata hidup, seni budaya, serta sejarah bangsa, dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.

Page 162: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 162

2. Pembahasan Peristilahan Objek dan Daya Tarik Wisata serta Atraksi Wisata

a. Tinjauan Secara Etimologis

Atraksi wisata apabila ditinjau secara asal usul katanya, berasal dari kata tourist attraction, yang terdiri dari dua kata, yaitu : kata "tourist" yang berarti pariwisata, berwisata, visata atau perjalanan. Dan kata "attraction" yang berarti segala sajian yang menarik dan segala sesuatu yang memiliki daya tarik. Jadi atraksi wisata itu kurang lebih adalah segala sesuatu yang menarik, yang memiliki daya tarik bagi setiap wisatawan, sehingga memberikan motivasi kepada wisatawan untuk mengunjungi, menyaksikan dan menikmatinya.

Demikian pula halnya dengan istilah obyek wisata yang berasal dari kata tourist objects yang juga terdiri dari dua kata, yaitu : kata ''tourist" yang berarti pariwisata, berwisata, wisata atau perjalanan wisata. Dan kata "objects" yang berarti segala benda, baik berupa barang-barang mati atau statis. Dengan pengertian tersebut di atas, maka obyek wisata dapat diartikan sebagai segala perwujudan benda, barang mati atau statis/segala hal yang terdapat di sepanjang perjalanan wisata.

Dari kedua ungkapan tersebut di atas, yang diterjemahkan secara terpisah menurut kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, telah terlihat adanya hai yang cukup menonjol yang membedakan istilah atraksi wisata dengan obyek wisata, yaitu nilai-nilai yang dikandungnya, sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut : 1- Bahwa istilah kata atau sebutan kata obyek wisata dan atraksi

wisata masing-masing memiliki pola struktur kata yang berbeda-beda satu sama yang lain.

2- Di dalam obyek wisata terdapat obyek, sebagai unsur yang tidak atau belum mengandung hal-hal (nilai) yang dapat menarik perhatian, sehingga tidak selalu/belum dapat disebut sebagai atraksi wisata.

3- Sedangkan di dalam atraksi wisata terdapat obyek sebagai unsur yang sudah mengandung hal-hal (nilai) yang dapat menarik perhatian, sehingga tidak lagi disebut hanya sebagai obyek wisata.

Pengertian daya tarik yang dikandung oleh setiap atraksi wisata, me-nyatakan hahwa obyek wisata tersebut telah mengalami persiapan se-bagai salah satu "atraksi wisata".

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa : 1- Di dalam atraksi wisata terdapat obyek wisata, adalah benar. 2- Di mana ada obyek wisata, maka akan menjadi atraksi wisata,

mungkin.

Page 163: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 163

b. Tinjauan Secara Akademis

Untuk mendekati pengertian yang lebih jelas, maka perlu diperhatikan hal-hal yang ada di sekitar atraksi wisata atau obyek wisata, sehingga dapat diketahui di mana dan bagaimana kedudukan kedua istilah ter-sebut. Maka sebagai alat pendekatan akan dipergunakan pengertian/is-tilah daerah tujuan wisata atau tourist destination areas, dan wilayah, daerah pariwisata.

1- Menurut Drs. Oka A. Yoeti (Fengantar llmu Pariwisata), yang dimaksud daerah, wilayah pariwisata adalah :

Suatu daerah yang merupakan suatu wilayah, di mana terdapat selain obyek wisata, juga tersedia macam-macam fasilitas bagi para wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut.

2- Kemudian menurut Clark A. Gunn (Tourism), bahwa yang dimak-sud dengan tourist destination atau daerah tujuan wisata, adalah :

......... how to important any geographical unit is a tourist destination, or how important it is potentially Is determined by three prime factors; attractions, accesibility, and amenities, which man be termed the tourist qualities of a destination.

3- Sedangkan menurut Drs. Wing Haryono, M.Ed. (bahan kuliah Pembinaan Daerah Wisata) persyaratan minimal yang harus ter-sedia di suatu daerah tujuan wisata atau wilayah pariwisata, anta-ra lain: a- Tersedlanya atraksi wisata (alam atau dan budaya). b- Tersedianya prasarana yang memadai, serta c- Tersedianya sarana-sarana yang baik dan memadai.

Atraksi wisata sebagai salah satu unsur yang harus tersedia di suatu daerah tujuan wisata juga memiliki tiga persyaratan untuk dapat disebut sebagai suatu atraksi wisata yang ideal, yakni : a- Adanya sesuatu yang dapat dikunjungi dan disaksikan,

(Something to see). b- Adanya sesuatu yang daput melibatkan wisatawan atas

kegiatan rekreasinya, (something to do). c- Tersedianya sesuatu yang dapat dibeli di tempat tersebut,

(something to buy).

Dengan memandang atraksi wisata sebagai salah satu unsur dari suatu produk wisata, maka cukup jelas kiranya, bahwa cakupan atau ruang lingkup atraksi wisata lebih luas dari pada obyek wisata. Karenanya dapatlah kita mengambil satu kesimpulan, yang juga dapat membe-dakan pengertiannya.

Page 164: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 164

Adapun kesimpulan tersebut, sebagai berikut : 1- Bahwa atraksi wisata merupakan segala perwujudan obyek wisata

yang nyata dipersiapkan sebagai salah satu produk wisata untuk dapat menarik wisatawan.

2- Sedangkan obyek wisata, belum/tidak selalu dipersiapkan sebagai salah satu produk wisata.

Maka, untuk kepentingan usaha pembinaan dan pembangunan, serta pengembangan pariwisata, khususnya sebagai salah satu produk wisata, lebih tepat apabila istilah yang sering dipergunakan adalah "atraksi wisata".

3. Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

1- Sampai saat ini belum ada kesatuan bahasa dalam penggunaan definisi atau pengertian tentang atraksi wisatra.

2- Belum adanya pengklasifikasian atraksi wisata secara jelas dikarenkan belum adanya definisi atau pengertian yang baku atau ditentapkan dengan peraturan Pemerintah, seperti halnya dengan obyek-wisata.

3- Bila ditinjau secara etimologie dan akademis, maka perbedaan atraksi wisata dengan obyek wisata adalah sebagai berikut : a- Bahwa istilah kata atau sebutan kata obyek wisata dan atrak-

si wisata masing-masing memiliki pola struktur kata yang berbeda-beda satu sama lainnya.

b- Di dalam obyek wisata terdapat obyek sebagai unsur yang tidak atau belum mengandung hal-hal (nilai) yang dapat me-narik perhatian, sehingga tidak selalu dapat disebut sebagai atraksi wisata.

c- Sedangkan dalam atraksi wisata terdapat obyek sebagai un-sur yang sudah mengandung hal-hal (nilai) yang dapat me-narik perhatian, sehingga tidak lagi disebut sebagai obyek wisata.

4- Atraksi wisata pada dasarnya dapat dikelompokkan kedua kelom-pok besar, baik yang diam/statis maupun yang berubah-ubah/dinamis, yaitu :

a- Atraksi wisata budaya, terdiri dari : 1) Peninggalan sejarah adab kepurbakalaan 2) Upacara keagamaan/kepercayaan. 3) Upacara adat atau adat istiadat. 4) Seni Tari. 5) Seni Musik. 6) Seni Lukis.

Page 165: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 165

7) Seni Ukir. 8) Seni Kerajinan. 9) Seni Arsitektur. 10) Seni Sastra.

b- Atraksi wisata alam, terdiri dari : 1) Air/Tirta. 2) Flora dan Fauna. 3) Keindahan/Keajaiban Alam.

b. Saran - Saran

1- Perlu adanya kesatuan bahasa dalam penggunaan definisi atau pengertian atraksi wisata dan disertai dengan adanya landasan hukum yang jelas seperti halnya dengan obyek wisata.

2- Perlu tersusunnya pengklasifikasian atraksi wisata secara jelas dan terperinci untuk meinudahkan penyusunan Pedoman Pemba-ruan Atraksi Wisata dan pembuatan Buku Petunjuk Atraksi Wisata.

3- Disarankan untuk definisi atau pengertian atraksi wisata sebagai berikut :

Atraksi wisata adalah perwujudan sajian alam dan budaya yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan.

4- Untuk dapat mempejelas, sampai sejauh mana ruang lingkup dan macam ragam yang perlu ada di bidang atraksi wisata, maka pada lampiran mendatang disajikan suatu ikhtisar klasifikasi atraksi wisata dengan ditinjau dari unsur-unsur yang membentuknya.

Page 166: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 166

Lampiran M

Ikhtisar Klasifikasi Atraksi Wisata

1. Atraksi Wisata Alam

1. Air : a. Alami : Laut, pantai, Danau, telaga, Air hujan, Sungai, kali, dsb.

b. Buatan : Waduk, kolam Air mancur, dsb.

2. Flora dan Fauna

: a. Alami Suaka marga satwa, Cagar alam, Taman laut, Hutan wisata, dsb.

b. Buatan : Kebun binatang, Taman wisata, Taman kota, dsb.

3. Keindahan dan Keajaiban Alam

: Kawah-kawah, Kaldera, goa-goa, Gerhana matahari, dsb.

2. Atraksi Wisata Budaya

1. Adat istiadat dan Sejarah Bangsa:

: Upacara-Upacara Keagamaan/ritus Upacara-Upacara Kenegaraan, Adat Istiadat masyarakat tradisional. Cagar buday, peninggalan bersejarah, Monomen perjuangan dan bangunan

bersejarah, dsb. 2. Kesenian : Seni bangunan

Seni tari dan seni suara, Seni ukir, seni lukis, dsb.

3. Taman Rekrasi : Taman rekreasi Taman fantasy Taman ria, dsb.

4. Rekreasi Tertutup : Amusement Bioskop, night club Steambath, dsb.

5. Insidental/Komersial : Pameran-pameran Pesta-pesta olah raga Pusat-pusat perbelanjaan, dsb.

Page 167: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 167

Lampiran N

Pola Pembakuan Atraksi Wisata

1. Definisi

Atraksi wisata adalah segala perwujudan sajian alam dan atau kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, dimiliki, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata atau daerah tujuan wisata.

2. Batasan

Ada tiga aspek/komponen utama yang dapat digunakan sebagai titik tolak pembakuan dan sekaligus penilaian/evaluasi terhadap atraksi wisata, yakni sebagai berikut: a. Aspek Daya Tarik, yaitu sebagai segala wujud nilai yang berfungsi

sebagai magnet bagi wisatawan atau yang memiliki sifat menarik atau merangsang wisatawan, sehingga menimbulkan minat dan keinginan untuk mengunjungi, memperoleh dan menikmati suatu sajian.

b. Aspek Lingkungan, yaitu sebagai segala situasi/suasana dan kondisi yang dapat mendukung menambah daya tarik sajiam wisata, baik yang bersifat fisik maupun bersifat spychis.

c. Aspek Pengunjung, yaitu setaip orang yang secara nyata tengah mengunjungi, melakukan pemilikan dan menikmati atraksi wisata dan berbagai fasilitsnya di suatu kawasan wisata atau daerah tujuan wisata.

3. Unsur Penilaian

Unsur-unsur dari tiga komponen utama yang dipergunakan sebagai unsur penilaian, adalah:

a. Nama Atraksi Utama

b. Aspek Daya Tarik

1- Jenis Atraksi

a- Alam

1) Alam 2) Buatan

b- Kebudayaan

1) Tradisional 2) Semi tradisional 3) Moderen.

Page 168: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 168

2- Fungsi Atraksi

a- Rekreasi/hiburan b- Apresiasi/pemahaman, penghayatan. c- Konservasi dan praservasi

3- Bentuk Atraksi

a- Alam

1) Flora dan Fauna

a) Laut/Pantai b) Danau/Telaga c) Waduk/Kolam d) Air Terjun e) Air Mancur f) Sungai g) dll.

2) Air

a) Laut/Pantai b) Danau/Telaga c) Waduk/Kolam d) air Terjun e) Air Mancur f) Sungai g) dll.

3) Keunikan Alam

h) Goa Stalagtit i) Goa Stalagnit j) Kawah-kawah k) Kaldera l) Gerhana Matahari m) Gerhana Bulan n) dll.

b- Kebudayaan

1) Adat lstiadat, Sejarah Bangsa

a) Upacara ritual b) Tata kehidupan c) Cagar budaya d) Monumen dan bangunan sejarah e) Dll.

Page 169: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 169

2) Kesenian

a) Seni pentas (musik) teater b) Seni rupa (seni karya seni rias, seni arsitektur, dll). c) Seni sastra (lisan, tertulis).

3) Taman Kreasi

a) Taman rekreasi b) Taman impian c) Taman fantasy d) Taman ria, dll.

4) Amusement and Night Life

a) Billyard b) Casino c) Gaming d) Theatre e) Night club f) Stembath, dll.

5) Insidental/Komersial

a) Pameran b) Pekan raya c) Pesta olah raga d) Pusat pertokoan, dll.

4- Sifat Atraksi

a- Untuk kalangan umum b- Untuk kalangan tertentu.

5- Aktivitas Rekreasi

a- Alam

1) Perairan

a) Berenang b) Menyelam c) Memancing d) Surfing e) Berperahu f) Berlayar g) Ski air, h) Dll.

Page 170: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 170

2) Daratan

a) Berkemah b) Berburu c) Hiking d) Climbing e) Berkuda f) Dll.

3) Udara

a) Bermain layangan. b) Terbang layang. c) Dll.

b- Budaya

1) Menikmati dan menghayati. 2) Menonton pertunjukan/pameran. 3) Menari dan menyanyi. 4) Bermain amusement. 5) Membeli hasll kerajinan. 6) Window shopping.

c. Aspek Lingkungan

1- lklim

a- Udara

1) Panas. 2) Cukup panas. 3) Kurang panas. 4) Dingin. 5) Bersih. 6) Cukup bersih. 7) Kurang bersih. 8) Kotor.

b- Curah Hujan

1) Sering. 2) Cukup sering. 3) Agak jarang. 4) Jarang.

c- Cahaya

1) Terang. 2) Cukup terang.

Page 171: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 171

3) Gelap. 4) Banyak. 5) Cukup banyak. 6) Kurang banyak. 7) Sedikit.

2- Lokasi

a- Kebersihan

1) Bersih. 2) Cukup bersih. 3) Kurang bersih. 4) Kotor.

b- Kebersihan/Kelayakan

1) Serasi. 2) Cukup serasi. 3) Tidak serasi. 4) Layak. 5) Kurang layak. 6) Tidak layak.

c- Keamanan

1) Cukup aman. 2) Berbahaya.

3- Fasilitas

a- Prasarana

1) Jalan-jalan. 2) Jembatan. 3) Jarigan air bersih. 4) Instalasi listrik. 5) Instalasi telekomunikasi. 6) Pelabuhan laut/udara. 7) Station/teminal. 8) Tempat parkir.

b- Sarana Pokok

1) Alat angkut. 2) Penginapan. 3) Restauran/warung. 4) Gedung-gedung pertunjukan.

Page 172: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 172

c- Sarana Penunjang

1) Toko/kedai kerajinan. 2) Entertainment, dll.

d- Sarana Pelengkapan

1) Amusement. 2) Pusat perbelanjaan, dll.

e- Waktu

1) Waktu Kunjungan

a) Sehari sekali. b) Dua hari sekali. c) Tiga hari sekali. d) Empat hari sekali. e) Lima hari sekali. f) Enam hari sekali. g) Tujuh hari sekali. h) Seminggu sekali.

2) Waktu Pertunjukkan

a) Lebih kurang 3 jam b) Kurang 2 jam.

f- Pelayanan Petugas

1) Keterampilan

a) Tinggi. b) Cukup tinggi. c) Kurang tinggi. d) Rendah.

2) Kesopanan

a) Cukup ramah. b) Kurang ramah. c) Tidak ramah.

3) Kejujuran

a) Jujur. b) Cukup jujur. c) Kurang jujur. d) Tidak jujur.

Page 173: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 173

d. Aspek Pengunjung

1- Kunjungan ke Atraksi

a- Belum ada. b- Pernah ada. c- Sudah banyak.

2- Jenis Wisatawan

a- Asing. b- Domestik.

3- Jenis Kelamin

a- Laki-laki. b- Perempuan.

4- Kelas Wisatawan

a- Anak-anak. b- Remaja. c- Dewasa. d- Orang tua.

e. Aspek Penilaian

1- Alam

a- Aspek Daya Tarik

1) Topografl/landscaping. 2) Iklim :

a) Cahaya. b) Curah hujan. c) Temperatur suhu.

3) Flora. 4) Fauna. 5) Sumber air.

b- Aspek Lokasi

1) Geografi. 2) Land zoning. 3) Luas lahan. 4) Kapasitas lahan.

c- Aspek Fasilitas

1) Prasarana. 2) Sarana pokok.

Page 174: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 174

3) Sarana penunjang. 4) Waktu. 5) Pelayanan/sikap petugas.

2- Budaya

a- Aspek Daya Tarik

1) Keagamaan/kepercayaan. 2) Adat istiadat/tata kehidupan. 3) Sejarah bangsa. 4) Peninggalan prasejarah. 5) Kesenian. 6) Taman kreasi. 7) Entertainment. 8) Amusement. 9) Commercial events. 10) Special/lnsidental events.

b- Aspek Lokasi

1) Geografi. 2) Tata guna ruang. 3) Luas lokasi. 4) Kapasitas lokasi.

c- Aspek Fasilitas

1) Prasarana. 2) Sarana pokok. 3) Sarana penunjang. 4) Saranapelengkap. 5) Waktu. 6) Pelayanan/sikap petugas.

f. Nilai- Nilai Baku.

1- Keunikan. 2- Keindahan. 3- Kemudahan. 4- Kenyamanan. 5- Kesegaran. 6- Keseraalan. 7- Kelayakan. 8- Keamanan. 9- Keagungan. 10- Kesederhanaan.

Page 175: Pedoman RIPPDA - Lampiran

Lampiran - 175

g. Model Nilai Baku

1- Angka = 1

Bila aspek/unsur penilaian mempengaruhi nilai baku.

2- Angka = 0

Bila aspek/unsur penilaian tidak mempengaruhi nilai baku.