HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI JAJAN DI SEKOLAH DAN STATUS GIZI SISWA
KELAS IV DAN V SD NEGERI WONOTINGAL 01-02 CANDISARI SEMARANG TAHUN
AJARAN 2004/2005
SKRIPSI
Oleh Nama NIM Jurusan Fakultas : Wahyu Nuryati : 6450401022 :
Ilmu Kesehatan Masyarakat : Ilmu Keolahragaan
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2005
i
SARI Wahyu Nuryati. 2005. Hubungan antara Frekuensi Jajan di
Sekolah dan Status Gizi Siswa Kelas IV dan V SD Negeri Wonotingal
01-02 Candisari Semarang Tahun Ajaran 2004/2005. Penelitian ini
berjudul Hubungan antara Frekuensi Jajan di Sekolah dan Status Gizi
Siswa Kelas IV dan V SD Negeri Wonotingal 01-02 Candisari Semarang
Tahun Ajaran 2004/2005. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
adakah hubungan antara frekuensi jajan di sekolah dan status gizi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan
antara frekuensi jajan di sekolah dan status gizi. Populasi dalam
penelitian ini adalah siswa kelas IV dan V SDN Wonotingal 01-02
Candisari Semarang tahun ajaran 2004/2005 sebanyak 128 anak. Sampel
sebanyak 91 anak diambil secara purposive sampling, dengan kriteria
tertentu yang telah ditetapkan. Variabel yang dikaji dalam
penelitian ini adalah frekuensi jajan di sekolah dan status gizi.
Metode pengumpulan data dengan kuesioner. Pengukuran Berat Badan
dan Tinggi Badan dilakukan untuk mengetahui status gizi. Analisis
data secara analitik dengan menggunakan korelasi Kendalls Tau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mempunyai
frekuensi jajan kategori rendah sebanyak 7 responden atau 7,7%,
kategori sedang 70 responden (76,9%), sedangkan yang termasuk
kategori tinggi sebanyak 14 responden atau 15,4%. Berdasarkan
indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) terdapat 67
responden (73,6%) mempunyai status gizi baik atau normal, 5
responden (5,5%) gemuk, 16 responden (17,6%) kurus, dan terdapat 3
responden (3,3%) sangat kurus atau mempunyai status gizi sangat
kurang. Berdasarkan hasil penelitian dengan indeks BB/TB didapatkan
=0,099 dan nilai z=0,320, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara frekuensi jajan di sekolah dan
status gizi. Makanan jajanan yang dikonsumsi di sekolah hanya
memberikan sumbangan energi sebesar 17,13% dan protein sebesar
11,14%. Berdasarkan hasil penelitian disarankan pada orang tua
untuk membiasakan anaknya sarapan sebelum ke sekolah, membawa bekal
makanan ke sekolah, memperhatikan makanan jajanan yang dikonsumsi
anak dan tetap menyediakan makanan anak-anaknya dalam jumlah cukup
dan memenuhi persyaratan gizi. Kata kunci : frekuensi jajan, status
gizi.
ii
PENGESAHAN
Telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Pada hari
Tanggal : Sabtu : 6 Agustus 2005
Panitia Ujian
Ketua Panitia,
Sekretaris,
Drs. Sutardji, MS M.Kes. NIP. 130523506
dr. Oktia Woro KH, NIP. 131695159
Dewan Penguji,
1. Drs. Sugiharto, M.Kes (Ketua) NIP 131571557
2. Drs. Herry Koesyanto, MS (Anggota) NIP 131571549
3. Drs. Bambang Wahyono (Anggota) NIP 131674366
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO You Are What You Eat (Ali Khomsan, 2003:155). PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada: 1. Ibu Pungut Riana
(Al-marhumah), semoga karya ini bisa menjadi doa yang tidak pernah
putus amalnya. 2. Bapak Sukarto, atas semua cinta dan pengorbanan
yang diberikan. 3. Yu Sri, Yu Ani, Mas Hari, dan Mas Wiji. 4. Ibu
Sumini, Mba Yiyi, dan Mba Lela. 5. Sahabat saya: Endah Tri Chahyo
Utami. 6. Rekan- rekan mahasiswa IKM angkatan 2001. 7. Almamater
Universitas Negeri Semarang.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini
berjudul Hubungan Antara Frekuensi Jajan di Sekolah dan Status Gizi
Siswa Kelas IV dan V SD Negeri Wonotingal 01-02 Candisari Semarang
tahun ajaran 2004/2005. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk
melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Keberhasilan penyelesaian
penelitian sampai dengan tersusunnya skripsi ini atas bantuan dari
berbagai pihak, dengan rendah hati disampaikan rasa terima kasih
yang sedalamnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang, Bapak Drs. Sutardji, M.S, atas ijin
penelitian. 2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ibu dr.
Oktia Woro KH, M.Kes, atas ijin penelitian. 3. Dosen pembimbing I,
Bapak Drs. Herry Koesyanto, M.S, atas bimbingan, kritik, dan saran
dalam penyelesaian skripsi. 4. Dosen pembimbing II, bapak Drs.
Bambang Wahyono, atas bimbingan, kritik, dan saran dalam
penyelesaian skripsi. 5. Bapak dan Ibu dosen Ilmu Kesehatan
Masyarakat, atas bekal pengetahuan yang diberikan. 6. Kepala
Sekolah SDN Wonotingal 01-02, atas ijin penelitian. 7. Bapak dan
Ibu guru kelas IV dan kelas V SDN Wonotingal 01-02, atas bantuan
pelaksanaan penelitian.
v
8. Siswa kelas IV dan V SDN Wonotingal 01-02 atas, bantuan
pelaksanaan penelitian. 9. Teman-temanku Lisa, Ulfa, Krissa, Yuni,
Arief B, Azinar, Bambang, Wildan, Cindar, Ian, Priyanto, Arief WH,
Dhian, Halim, Wiwin, Asih, Dunung, Atam, Bae, Mas Pur, Mas Eko, dan
Mas Kardi, atas motivasi dan bantuan dalam penelitian. 10. Semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan
dan kerjasama yang diberikan dalam penelitian. Semoga amal baik
yang diberikan mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Akhirnya disadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, diharapkan kritik dan saran demi sempurnanya skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semarang,
Agustus 2005
Penulis
vi
DAFTAR ISI
JUDUL
........................................................................................................
i SARI
.............................................................................................................
ii PENGESAHAN
...........................................................................................
iii MOTO DAN PERSEMBAHAN
..................................................................
iv KATA PENGANTAR
..................................................................................
v DAFTAR ISI
................................................................................................
vii DAFTAR TABEL
........................................................................................
ix DAFTAR GRAFIK
......................................................................................
x DAFTAR GAMBAR
....................................................................................
xi DAFTAR LAMPIRAN
................................................................................
xii BAB I PENDAHULUAN
.............................................................................
1 1. 1 1. 2 1. 3 1. 4 1. 5 Latar Belakang
..................................................................................
1 Permasalahan
....................................................................................
4 Tujuan Penelitian
..............................................................................
5 Batasan Operasional
..........................................................................
5 Manfaat Penelitian
............................................................................
5
BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
........................................ 6 2. 1 2.1.1 2.1.2 2.1.3
2.1.4 2.1.5 Landasan Teori
.................................................................................
6 Makanan Jajanan
...............................................................................
6 Kebutuhan Makanan pada Anak Sekolah
........................................... 10 Kebiasaan Jajan pada
Anak Sekolah .................................................. 12
Status Gizi
.........................................................................................
15 Penilaian Status Gizi
.........................................................................
15
vii
2.1.6 2.1.7 2.1.8 2.1.9
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
.................................. 18 Antropometri
.....................................................................................
21 Indeks Antropometri
..........................................................................
23 Klasifikasi Status Gizi
.......................................................................
26
2.1.10 Metode Food Recall 24 jam
............................................................... 27
2.1.11 Kerangka Berfikir
..............................................................................
29 2. 2 Hipotesis
...........................................................................................
29
BAB III METODE PENELITIAN
.............................................................. 30
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 Populasi Penelitian
...........................................................................
30 Sampel Penelitian
.............................................................................
30 Variabel Penelitian
............................................................................
31 Rancangan
Penelitian.........................................................................
31 Teknik Pengambilan Data
..................................................................
32 Prosedur Penelitian
...........................................................................
35 Instrumen Penelitian
.........................................................................
36 Pengolahan dan Analisis Data
........................................................... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
.............................. 42 4.1 4.2 4.3 Hasil
Penelitian...................................................................................
42 Pembahasan
.......................................................................................
53 Keterbatasan Penelitian
......................................................................
57
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
.............................................................. 58
5.1 5.2 Simpulan
...........................................................................................
58 Saran
.................................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................
60 LAMPIRAN
..................................................................................................
62
viii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang Per
Hari) Anak Umur 7-12 Tahun
.....................................................................11
2. Kandungan Gizi Berbagai Jenis Jajanan
......................................................14 3.
Klasifikasi Status Gizi menurut WHO
.........................................................26 4.
Distribusi Frekuensi Responden menurut Umur
..........................................42 5. Distribusi
Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu Responden
..........................43 6. Distribusi Frekuensi Jajan di
Sekolah Per Hari ............................................43 7.
Distribusi Frekuensi Jajan di Sekolah dalam Kategori
..................................44 8. Distribusi Frekuensi Jumlah
Jajanan selama di Sekolah ..............................45 9.
Distribusi Frekuensi Jumlah Uang Saku Per Hari
........................................46 10. Distribusi Frekuensi
Kebiasaan Membawa Bekal Makanan ke Sekolah .......46 11. Distribusi
Frekuensi Kebiasaan Sarapan Pagi sebelum ke Sekolah
..............47 12. Distribusi Frekuensi Waktu Jajan di Sekolah
...............................................48 13. Distribusi
Frekuensi Prosentase Sumbangan Energi dari Makanan Jajanan di
Sekolah terhadap Konsumsi Energi Anak
..................................49 14. Distribusi Frekuensi
Prosentase Sumbangan Protein dari Makanan Jajanan di Sekolah
terhadap Konsumsi Protein Anak ..................................50
15. Status Gizi Responden
................................................................................51
16. Hubungan antara Frekuensi Jajan di Sekolah dan Status Gizi
menurut Indeks
BB/TB..............................................................................................52
ix
DAFTAR GRAFIK
Grafik
Halaman
1. Distribusi Jajan di Sekolah
..........................................................................44
2. Distribusi Jumlah Jajanan yang Dibeli selama di Sekolah
............................ 45 3. Distribusi Kebiasaan Membawa
Bekal Makanan ke Sekolah ....................... 47 4. Distribusi
Kebiasaan Sarapan sebelum ke Sekolah
...................................... 48
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka Berfikir
........................................................................................29
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian 2. Hasil Pengolahan Data
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Makanan jajanan (street food) sudah menjadi
bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun
di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat diperkirakan
terus meningkat mengingat terbatasnya waktu anggota keluarga untuk
mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah
dan mudah didapat, serta cita rasa yang sesuai dengan masyarakat.
Data hasil survei Sosial Ekonomi yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik tahun 1999 menunjukkan bahwa prosentase pengeluaran
rata-rata per kapita per bulan penduduk perkotaan untuk makanan
xii
jajanan meningkat dari 9,19% pada tahun 1996 menjadi 11, 37%
pada tahun 1999. Kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi
remaja perkotaan memberikan 21% energi dan 16% protein. Sedangkan
kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi anak usia sekolah
memberikan 5,5% energi dan 4,2% protein (Eddy Setyo Mudjajanto,
2002:internet). Anak sekolah merupakan sasaran strategis dalam
perbaikan gizi masyarakat. Hal ini menjadi penting karena, anak
sekolah merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu
dipersiapkan dengan baik kualitasnya, anak sekolah sedang mengalami
pertumbuhan secara fisik dan mental yang
sangat diperlukan guna menunjang kehidupannya di masa datang,
guna mendukung keadaan tersebut di atas anak sekolah memerlukan
kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga memerlukan status
gizi yang baik, dan anak sekolah dapat dijadikan perantara dalam
penyuluhan gizi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya (Ditjen
Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001:1).
Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak-anak
sekolah baik di kota maupun pedesaan di Indonesia, didapatkan
kenyataan bahwa pada umumnya berat dan tinggi badan rata-rata anak
sekolah dasar berada di bawah ukuran normal. Tidak jarang pula pada
anak sekolah dasar ditemukan tandatanda penyakit gangguan gizi baik
dalam bentuk ringan, maupun dalam bentuk agak berat (Sjahmien
Moehji, 2003:58). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 1995 menunjukkan bahwa prevalensi anemia gizi pada anak
sekolah sebesar 47,3% dan hasil survei Tinggi Badan Anak Baru Masuk
Sekolah (TBABS) tahun 1998 menunjukkan bahwa gangguan
xiii
pertumbuhan pada anak sekolah sebesar 37,8% (Ditjen Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001:2). Adapun
faktor-faktor yang memperburuk keadaan gizi anak-anak sekolah,
antara lain: anak-anak dalam usia ini umumnya sudah dapat memilih
dan menentukan makanan apa yang dia sukai dan mana yang tidak, pada
usia ini anak-anak gemar sekali jajan. Kadang-kadang mereka menolak
untuk makan pagi di rumah dan sebagai ganti dimintanya uang untuk
jajan. Jajan yang mereka beli adalah bahan-bahan atau makanan yang
mereka senangi saja, misalnya es, gula-gula atau makanan lain yang
kurang nilai gizinya. Sering setelah di rumah karena terlalu lelah
bermain di sekolah, anak-anak tidak mau makan lagi (Sjahmien
Moehji, 2003:58). Kebiasaan jajan pada anak sekolah merupakan
fenomena yang menarik untuk ditelaah karena berbagai hal: merupakan
upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik di
sekolah yang tinggi (apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi),
pengenalan berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan
kebiasaan penganekaragaman pangan sejak kecil, memberikan perasaan
meningkatkan gengsi anak di mata teman-teman di sekolahnya. Jajan
yang terlalu sering dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah.
Selain itu banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan
sehingga justru mengancam kesehatan anak (Ali Khomsan, 2003:16).
Makanan jajanan masih berisiko terhadap kesehatan karena
penanganannya sering tidak higienis, yang memungkinkan makanan
jajanan terkontaminasi oleh mikroba beracun maupun penggunaan bahan
tambahan pangan (BTP) yang tidak diizinkan. Berdasarkan penelitian
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dari 163 sampel jajanan
xiv
anak yang diuji di 10 propinsi, sebanyak 80 sampel (>50%)
tidak memenuhi baku mutu keamanan. Sebagian besar jajanan tersebut
mengandung boraks, formalin, zat pengawet, zat pewarna, serta
mengandung garam yang tidak beryodium (BKKBN, 2005:internet).
Berdasarkan uji sampling jajanan sekolah tersebut ditemukan makanan
mengandung formalin dan boraks pada bakso dan mi untuk pengenyal
dan pengawet serta Rhodamin B pada sirup es mambo atau pewarna
merah pada es (Media Indonesia, 2004:internet). Saat ini beragam
jenis jajanan untuk anak-anak usia sekolah dasar banyak dijual di
lingkungan sekolah terutama di kantin. Dagangan yang ditawarkan
juga bermacam-macam, seperti bakso tusuk, siomay, minuman,
gorengan. Tetapi, makanan jajanan yang dibeli di sekolah, hampir
tidak mendapatkan perhatian dari orang tua. Sementara guru-guru
sibuk dengan kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan sekolah
lainnya sehingga kurang memperhatikan apa yang dimakan anak
didiknya. Hasil penjaringan kesehatan anak sekolah dasar tahun 2003
oleh Puskesmas se-kota Semarang didapatkan status gizi pada anak
laki-laki 2,60% gizi kurang dan pada anak perempuan 2,50% gizi
kurang, sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Kagok, di mana Sekolah
Dasar Negeri Wonotingal 01-02 merupakan salah satu dari sarana
pendidikan yang ada menunjukkan hasil
penjaringan kesehatan anak sekolah tahun 2003, untuk anak
laki-laki dari 274 anak yang diperiksa terdapat 50 anak kategori
gizi kurang (18,25%) sedangkan pada anak perempuan dari 262 anak
yang diperiksa terdapat 67 yang mengalami gizi kurang (25,57%) (Sub
Dinas PMKL, 2004:6). Anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah
karena warnanya yang menarik, rasanya yang menimbulkan selera, dan
harga yang terjangkau. Bahkan
xv
mereka tidak memperhitungkan lagi berapa uang saku yang mereka
gunakan untuk membeli makanan jajanan yang kurang memenuhi standar
gizi. Selain hal tersebut, kenyataan bahwa banyak makanan jajanan
yang disediakan atau dijual di kantin-kantin sekolah maupun
pedagang makanan sekitar sekolah, termasuk di sekitar kampus SD
Negeri Wonotingal 01-02 yang berjumlah lebih dari 5 orang pedagang
setiap harinya dengan berbagai jenis dagangan makanan jajanan, yang
seringkali dikonsumsi oleh anak-anak sekolah tersebut. Berdasarkan
latar belakang maka diadakan penelitian dengan judul Hubungan
antara Frekuensi Jajan di Sekolah dan Status Gizi Siswa Kelas IV
dan V SD Negeri Wonotingal 01-02 Candisari Semarang Tahun Ajaran
2004/2005.
1.2
Permasalahan Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan dalam
penelitian ini
adalah: adakah hubungan antara frekuensi jajan di sekolah dan
status gizi pada siswa kelas IV dan V SD Negeri Wonotingal 01-02
Candisari Semarang tahun ajaran 2004/2005? 1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
frekuensi jajan di sekolah dengan status gizi pada siswa sekolah
dasar.
1.4
Batasan Operasional
1.4.1 Frekuensi jajan di sekolah Menunjukkan berapa kali siswa
membeli dan mengkonsumsi makanan jajanan di sekolah (kantin sekolah
atau pedagang makanan di luar sekolah).
xvi
Frekuensi jajan dalam penelitian ini merupakan jumlah frekuensi
jajan selama 1 minggu. 1.4.2 Status gizi Status gizi dapat
diartikan sebagai keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan atas status gizi kurang, baik,
atau lebih (Sunita Almatsier, 2001:3). Status gizi siswa pada
penelitian ini diukur secara antropometri dengan indeks Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB). Indeks BB/TB lebih menggambarkan
status gizi saat ini atau sekarang (current nutritional
status).
1.5 1)
Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang hubungan
frekuensi jajan di sekolah dengan
status gizi. 2) Sebagai refrensi dalam penelitian lanjutan dan
keperluan menyempurnakan
penelitian yang ada. BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Makanan Jajanan 2.1.1.1 Definisi Makanan Jajanan Makanan
jajanan merupakan campuran dari berbagai bahan makanan yang
dianalisis secara bersamaan dalam bentuk olahan (I Dewa Nyoman
Supariasa,
xvii
dkk, 2001:108), sedangkan menurut FAO dalam Judhiastuty F dan
DN. Iswarawanti (2004:internet) makanan jajanan (street food)
didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan
atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat
keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa
pengolahan atau persiapan lebih lanjut. 2.1.1.2 Jenis Makanan
Jajanan Jenis makanan jajanan menurut Winarno dalam Mulyati
(2003:22) dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1) Makanan utama,
seperti rames, nasi pecel, bakso, mie ayam, dan sebagainya. 2)
Snack atau penganan seperti kue-kue, onde-onde, pisang goreng, dan
sebagainya. 3) Golongan minuman seperti cendol, es krim, es teler,
es buah, es teh, dawet dan sebagainya. 4) Buah-buahan segar.
2.1.1.3 Fungsi Makanan Jajanan Jajanan bagi anak sekolah dapat
berfungsi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena
aktivitas fisik di sekolah yang tinggi (apalagi bagi anak yang
tidak sarapan pagi). Pengenalan berbagai jenis makanan jajanan akan
menumbuhkan penganekaragaman pangan sejak kecil (Ali Khomsan,
2003:16). 2.1.1.4 Makanan Jajanan yang Baik Makanan jajanan yang
baik meliputi: makanan yang sehat adalah makanan yang memenuhi
triguna makanan; makanan yang bersih adalah makanan yang
xviii
bebas dari lalat, debu, dan serangga lainnya; makanan yang aman
adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya yang dilarang
untuk makanan, seperti zat pewarna dan zat pengawet yang
diperuntukkan bukan untuk makanan dan tidak tercemar oleh bahan
kimia yang membahayakan manusia; makanan yang halal adalah makanan
yang tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh siswa (Ditjen
Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001:10).
Adapun ciri makanan jajanan yang tidak layak dikonsumsi adalah
sebagai berikut: makanan bau basi, makanan yang rasanya sudah
berubah, makanan yang sudah lembek, berlendir, atau berbusa,
makanan berjamur, makanan mengeras atau mengering, makanan berulat
atau mengandung benda asing, makanan kadaluarsa, makanan yang
berubah warna, makanan kemasan yang rusak (misal kaleng
menggelembung) (Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi
Masyarakat, 2001:11). Hasil pengamatan BPOM terhadap 163 sampel
makanan jajanan anak di 10 propinsi, 80 sampel (>50 %) tidak
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk. Produk makanan
tersebut banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet dan pewarna
yang dapat mengganggu kesehatan anak. Selain hal tersebut, 30
prosen produk jajanan anak tersebut tidak memenuhi kandungan garam
beryodium (BKKBN, 2005:internet). Terkait dengan keamanan makanan
jajanan anak WHO mengeluarkan rekomendasi keamanan pangan jajanan
yang berisi lima aturan yang lebih dikenal sebagai lima golden
rules, yaitu: aturan tentang menghindari cara meletakkan makanan
mentah dan makanan matang dalam satu wadah, memasak makanan sampai
benar-benar matang, tidak menyimpan makanan yang telah diolah
dalam
xix
waktu lama, memilih bahan makanan yang aman, menjaga kebersihan
makanan (Republika, 2004:internet). Makanan jajanan masih beresiko
terhadap kesehatan karena penanganannya sering tidak higienis, yang
memungkinkan makanan jajanan terkontaminasi oleh mikroba beracun
maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak diijinkan
atau kandungan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan anak,
serta standar gizi yang rendah (Eddy Setyo M, 2005:internet).
2.1.1.5 Gangguan Akibat Jajanan Beberapa gangguan yang dapat
diakibatkan oleh jajanan: 1) Jajanan yang dijual di pinggir jalan
dapat tercemar oleh timbal (Pb) yang berasal dari sisa pembakaran
atau asap kendaraan bermotor. Keracunan Pb kronik ditandai dengan
depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, daya ingat terganggu,
dan sulit tidur. Gejala yang timbul mual, muntah, sakit perut
hebat, kelainan fungsi otak, anemia berat, kerusakan ginjal, bahkan
kematian dapat terjadi dalam waktu 1-2 hari. 2) Makanan yang tidak
bersih dapat tercemar bakteri E-coli. Gangguan yang disebabkan oleh
bakteri ini adalah sakit perut, diare, dan gangguan pencernaan
lainnya. 3) Jajanan yang menggunakan formalin dan boraks dapat
mengakibatkan gangguan pencernaan, seperti sakit perut akut,
muntah-muntah, depresi sistem syaraf, serta kegagalan peredaran
darah. Formalin dan boraks biasanya digunakan untuk pengawet mayat,
pembasmi kecoa, dan penghilang bau. Dalam dosis tinggi, formalin
menyebabkan kejang-kejang, tidak bisa kencing, muntah darah,
kerusakan ginjal, bahkan kematian.
xx
4) Jajanan dengan pewarna rhodamin dapat mengakibatkan gangguan
fungsi hati. 5) Jajanan yang mengandung vetsin (Mono sodium
glutamat/MSG) dapat menyebabkan sindrom restoran china (BKKBN,
2005:internet). 2.1.1.6 Kelebihan dan Kekurangan Makanan Jajanan
Jajanan bagi anak sekolah merupakan fenomena yang menarik untuk
ditelah karena beberapa kelebihan yaitu: 1) Merupakan upaya untuk
memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik di sekolah yang
tinggi (apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi). 2) Pengenalan
berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan
penganekaragaman pangan sejak kecil. 3) Meningkatkan perasaan
gengsi anak pada teman-temannya di sekolah. Adapun kekurangan atau
aspek negatif dari makanan jajanan yaitu bahwa jajan yang terlalu
sering dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah. Selain itu
banyak makanan jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan,
sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada anak (Ali
Khomsan, 2003:16). Sebagian besar makanan jajanan hanya mengandung
karbohidrat yang membuat anak cepat kenyang. Hal ini dapat
mengganggu nafsu makan, sehingga apabila dibiarkan akan mengganggu
pertumbuhan tubuh anak. Apabila keseimbangan gizi tidak dipenuhi,
dan ini berjalan terus-menerus menjadi kebiasaan, anak akan
kekurangan zat gizi seperti zat besi yang dapat mengakibatkan
anemia serta berbagai penyakit lain akibat kekurangan salah satu
atau lebih zat gizi. Selain hal tersebut di atas, makanan jajanan
juga masih berisiko terhadap kesehatan karena
xxi
penanganannya yang tidak higienis, yang mengakibatkan keracunan
karena terkontaminasinya makanan jajanan oleh mikroba beracun
maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak diizinkan.
2.1.2 Kebutuhan Makanan pada Anak Sekolah Awal usia 6 tahun anak
mulai masuk sekolah, dengan demikian anak-anak mulai masuk ke dalam
dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang
di luar keluarganya, dan dia berkenalan dengan suasana dan
lingkungan baru dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja banyak
mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman-pengalaman baru,
kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di sekolah,
menyebabkan anak-anak ini sering menyimpang dari kebiasaan waktu
makan yang sudah diberikan kepada mereka (Sjahmien Moehji,
2003:57). Adanya aktivitas yang tinggi mulai dari sekolah, kursus,
mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan mempersiapkan pekerjaan untuk
esok harinya, membuat stamina anak cepat menurun kalau tidak
ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas.
Agar stamina anak usia sekolah tetap fit selama mengikuti kegiatan
di sekolah maupun kegiatan ekstra kurikuler, maka saran utama dari
segi gizi adalah jangan meninggalkan sarapan pagi. Ada berbagai
alasan yang seringkali menyebabkan anak-anak tidak sarapan pagi.
Ada yang merasa waktu sangat terbatas karena jarak sekolah cukup
jauh, terlambat bangun pagi, atau tidak ada selera untuk sarapan
pagi (Ali Khomsan, 2003:15). Pentingnya mengkonsumsi makanan
selingan selama di sekolah adalah agar kadar gula tetap terkontrol
baik, sehingga konsentrasi terhadap pelajaran dan aktivitas lainnya
dapat tetap dilaksanakan. Kandungan zat gizi makanan selingan
xxii
ditinjau dari besarnya kandungan energi dan protein sebesar 300
kkal dan 5 gram protein. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun
relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena
pertumbuhan relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan. Mulai
umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak
perempuan. Adapun jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak umur 7-12 tahun
tertera pada tabel 1. Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang
Dianjurkan (Per Orang Per Hari) Anak Umur 7 12 Tahun Golongan umur
Berat Tinggi Energi Protein 7-9 tahun 24 kg 120 cm 1900 kkal 37
gram 10 12 tahun (pria) 30 kg 135 cm 2000 kkal 45 gram 10 12 tahun
(wanita) 35 kg 140 cm 1900 kkal 54 gram Sumber: Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi 1998 dalam I Dewa Nyoman Supariasa, dkk
(2001:312). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan makan
anak sekolah adalah berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin,
dan jenis aktivitas. Adapun anjuran makan sehari untuk anak sekolah
sebagai berikut: 1) Kelompok umur 7-9 tahun, terdiri dari: (1) 3
piring (p) nasi atau padanannya (1 p = 200 gram); (2) 2 potong (p)
lauk hewani (1 p = 50 gram); (3) 2 potong (p) lauk nabati (1 p = 50
gram); (4) 1,5 porsi (p) sayur (1 p = 100 gram tanpa kuah); (5) 2
potong (p) buah (1 p = 100 gram buah matang); (6) 1 gelas susu (1
gelas = 200 cc).
xxiii
2) Kelompok umur 1012 tahun, terdiri dari: (1) 3 piring (p) nasi
atau padanannya (1 p = 200 gram); (2) 3 piring (p) nasi atau
padanannya (1 p = 200 gram); (3) 3 potong (p) lauk nabati (1 p = 50
gram); (4) 1,5 porsi (p) sayur (1 p = 100 gram tanpa kuah); (5) 2
potong (p) buah (1 p = 100 gram buah matang) (Ditjen Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001:7). Ratarata anak kelas
IV dan V berumur antara 9-11 tahun. Anak kelas IV dan V memiliki
waktu yang cukup lama di sekolah dengan aktivitas yang cukup tinggi
sehingga kebutuhan makannya harus diperhatikan dan dianjurkan
sesuai dengan anjuran makan tersebut di atas. 2.1.3 Kebiasaan Jajan
pada Anak Sekolah Mengingat aktivitas fisik yang banyak dan tinggi
selama di sekolah, wajar kalau anak merasa lapar diantara dua waktu
makan (pagi dan siang). Sebagai pengganti sarapan pagi, anak jajan
di sekolah untuk mengurangi rasa lapar. Tetapi, mutu dan
keseimbangan gizi jadi tidak seimbang. Dengan jajan, anak bisa
mengenal beragam makanan yang dijual di sekolah. Oleh karena itu
jajan dapat membantu seorang anak untuk membentuk selera makan yang
beragam. Pada saat dewasa nanti dia dapat menikmati aneka ragam
makanan. Hal ini sangat baik dari segi gizi (Ali Khomsan, 2003:155)
. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari kebiasaan jajan.
Seringkali anak jadi beralasan tidak mau makan di rumah karena
masih kenyang akibat jajan di sekolah. Pada saat jajan, anak
umumnya membeli makanan berat atau makanan kecil padat energi
terbuat dari karbohidrat (tepung-tepungan), gorengan yang kaya
lemak dan murah harganya. Makanan jenis ini tidak cukup
menggantikan makan siang di rumah yang biasanya memperhatikan
konsep 4 sehat (nasi, lauk, sayur,
xxiv
dan buah). Anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena
warnanya yang menarik, rasanya yang menggugah selera, dan harganya
terjangkau. Makanan ringan, sirup, bakso, mi ayam dan sebagainya
menjadi makanan jajanan sehari-hari di sekolah (Ali Khomsan,
2003:155). Jajanan khususnya yang dijual di pinggir jalan, rentan
terhadap polusi debu maupun asap knalpot. Seringkali makanan
tersebut tidak disiapkan secara higienis atau juga mempergunakan
bahan-bahan yang berbahaya seperti zat pewarna karena alasan
harganya murah. Makanan jajanan yang demikian cepat atau lambat
akan mendatangkan gangguan kesehatan (Ali Khomsan, 2003:155). Salah
satu yang perlu diwaspadai adalah permen. Permen adalah kesukaan
setiap anak. Apalagi kini permen mempunyai aneka cita rasa maupun
bentuk sehingga orang tua pun suka. Permen tidak memberikan
kontribusi gizi yang berarti karena kandungan gizinya yang hampir
nol, kecuali energi. Oleh karena itu, mengkonsumsi permen secara
berlebihan dan menjadi pola makan hanya akan menambah masukan
energi ke dalam tubuh tanpa memberi zat gizi (Ali Khomsan, 2003:
154). Minuman ringan (soft drink) umumnya hanya kaya kalori tetapi
kandungan gizinya sangat rendah. Berbagai jenis keripik atau chips
yang termasuk kedalam junk food umumnya disukai oleh anakanak.
Chips terbuat dari umbiumbian (kentang) atau serealia (jagung)
digoreng minyak dan ditambah garam dan penyedap rasa. Junk food
yang kaya kalori dan rendah gizi ini biasa dimakan sebagai snack.
Karena kandungan kalori yang tinggi, maka sering anak-anak yang
baru makan chips menjadi tidak mau makan karena merasa masih
kenyang. Dalam hal ini perlu disadari bahwa berapa bungkus pun
chips yang dimakan tidak
xxv
bisa menggantikan makanan lengkap yang tersaji di meja makan
keluarga. Oleh karena itu orang tua harus mempunyai kiat kapan
anaknya diizinkan untuk makan chips, yaitu sebaiknya sesudah makan
(Ali Khomsan, 2003:108). Sebagian besar makanan jajanan terbuat
dari karbohidrat. Sehingga lebih tepat sebagai snack antar waktu
makan, bukan sebagai pengganti makanan utama. Pada tabel 2
disajikan berbagai jenis makanan jajanan dan kandungan gizinya.
Tabel 2 Kandungan Gizi Berbagai Jenis Jajanan Berat Energi No.
Jajanan Ukuran (g) (Kalori) 1. Bakwan 1 bh 40 100 2. Bakso 1 porsi
250 100 4. Chiki 1 bungkus 16 80 5. Coklat 1 bungkus 16 472 6. Es
mambo 1 bungkus 25 152 7. Gado-gado 1 porsi 150 203 9. Klepon 4
buah 50 107 11. Misro 1 buah 50 109 12. Pisang goreng 1 buah 60 132
13. Permen 1 buah 2 100 14. Risoles 1 buah 40 134 15. Siomai 1
porsi 170 95 Sumber: I Dewa Nyoman Supariasa, dkk (2001:308) 2.1.4
Status Gizi 2.1.4.1 Pengertian Status gizi (nutrition status)
adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel
tertentu (I Dewa Nyoman Supariasa, dkk, 2001:18). Status gizi dapat
diartikan juga sebagai keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan atas status gizi
kurang, baik, atau lebih (Sunita Almatsier, 2001:3).
Protein (g) 1,7 10,3 0,9 2,0 0,0 6,7 0,6 0,4 1,4 0,0 2,1 4,4
xxvi
2.1.4.2 Keadaan Gizi Anak Sekolah Berbagai penelitian yang
pernah dilakukan terhadap anak-anak sekolah baik di kota maupun di
pedesaan di Indonesia, didapatkan kenyataan bahwa pada umumnya
berat dan tinggi badan rata-rata anak-anak sekolah dasar berada di
bawah ukuran normal. Tidak jarang pula pada anak-anak ini ditemukan
tandatanda penyakit gangguan kurang gizi baik dalam bentuk ringan
maupun dalam bentuk agak berat (Sjahmien Moehji, 2003:58). Anak
sekolah dasar merupakan salah satu kelompok rentan gizi selain bayi
(0-1 tahun ), balita (1-5 tahun), remaja (14-20 tahun), dan
kelompok ibu hamil dan menyusui (Achmad Djaeni Sediaoetama,
2000:235). Anak sekolah dasar berumur antara 7-12 tahun. Jadi,
siswa kelas IV dan V juga termasuk kelompok rentan gizi, sehingga
perlu diperhatikan keadaan gizinya. 2.1.5 Penilaian Status Gizi
2.1.4.3 Penilaian Status Gizi secara Langsung Penilaian status gizi
secara langsung di bagi menjadi 4, yaitu: 1) Antropometri Secara
umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Ketidakseimbangan ini
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. 2) Klinis
xxvii
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat
pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti
kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Survei
dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum
dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu
digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom)
atau riwayat penyakit. 3) Biokimia Penilaian status gizi dengan
biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris
yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk
suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi
yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik,
maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk
menentukan kekurangan gizi yang lebih spesifik. 4) Biofisik Metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya
jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya
dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja
epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah
tes adaptasi gelap (I Dewa Nyoman Supariasa, dkk, 2001:18). 2.1.4.4
Penilaian Status Gizi secara tidak Langsung
xxviii
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi 3,
yaitu: survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor
ekologi. 1) Survei Konsumsi Makanan Survei konsumsi makanan adalah
metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat
gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada
masyarakat, keluarga, dan individu. 2) Statistik vital Menganalisis
data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. 3) Faktor
ekologi Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis,
dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat
tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan
lain- lain (I Dewa Nyoman Supariasa, dkk, 2001:20). 2.1.6 Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi 2.1.6.1 Pengetahuan Gizi Suatu
hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi, didasarkan
pada 3 kenyataan: 1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan.
xxix
2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang
dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan, dan energi. 3) Ilmu
gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat
belajar menggunakan pangan yang baik bagi kebutuhan gizi. Kurangnya
pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai
pangan adalah umum di setiap negara di dunia. Salah satu penyebab
munculnya gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi
atau kurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi tentang gizi
dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2003:25). Pengetahuan
tentang kandungan zat gizi dalam berbagai bahan makanan, kegunaan
makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan
makanan yang harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya
tinggi (Sjahmien Moehji, 2002:6). 2.1.6.2 Pendapatan dan Anggaran
Belanja Keluarga Penduduk kota dan penduduk pedesaan yang
berpendapatan rendah, selain memanfaatkan pendapatan itu untuk
keperluan makan keluarga, juga harus membagi-bagi untuk keperluan
lainnya (pendidikan, transportasi, dan lain-lain), sehingga tidak
jarang prosentase pendapatan untuk keperluan penyediaan makanan
hanya kecil saja. Mereka pada umumnya hidup dengan makanan yang
kurang bergizi. Berlainan dengan pengaruh faktor pendapatan yang
rendah bagi penyediaan makanan keluarga, kenyataan bahwa sebagian
penduduk yang berpendapatan cukup dan lebih dari cukup dalam
penyediaan makanan keluarga banyak yang tidak memanfaatkan bahan
makanan bergizi (Kartasapoetra dan
xxx
Marsetyo, 2002:11). Pendapatan keluarga akan turut menentukan
hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas
maupun jumlah makanan (Sjahmien Moehji, 2002:6) 2.1.6.3 Kesehatan
Antara gizi buruk dan penyakit infeksi sesungguhnya terdapat
hubungan timbal balik yang sangat erat, sehingga sulit untuk
mengidentifikasi mana dari kedua keadaan tersebut yang terjadi
lebih dahulu. Gizi buruk menyebabkan sistem pertahanan tubuh
terhadap infeksi menurun, karena terjadi perubahan morfologis pada
jaringan limphoid yang berperan dalam sistem kekebalan. Atropi pada
kelenjar thymus karena kurang gizi juga menyebabkan kekebalan
sekuler menurun. Atropi juga terjadi pada dinding usus sehingga
sekresi berbagai enzim berkurang. Keseluruhan gangguan pada sistem
kekebalan berlangsung bersamasama hingga menjadikan anak mudah
terserang penyakit infeksi (Sjahmien Moehji, 2003:29). Sebaliknya
penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi
buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi adalah
akibat beberapa hal, antara lain: 1) Turunnya nafsu makan anak
akibat rasa tidak nyaman yang dialaminya, sehingga masukan zat gizi
berkurang padahal anak memerlukan zat gizi yang lebih banyak
terutama untuk menggantikan jaringan tubuhnya yang rusak. 2)
Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang
menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi
seperti berbagai mineral dan sebagainya. Adanya diare menyebabkan
penyerapan zat gizi dari makanan juga terganggu, sehingga secara
keseluruhan mendorong terjadinya gizi buruk.
xxxi
3) Naiknya metabolisme basal akibat demam menyebabkan
termobilisasinya cadangan energi dalam tubuh. Penghancuran jaringan
tubuh oleh bibit penyakit juga akan semakin banyak dan untuk
menggantikannya diperlukan masukan protein yang lebih banyak
(Sjahmien Moehji, 2003:13). 2.1.6.4 Konsumsi Makanan Keadaan gizi
seseorang juga tergantung pada konsumsi makannya. Tingkat konsumsi
ditentukan oleh kualitas serta kuantitas makanan. Kualitas makanan
menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh dalam
susunan makanan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain.
Sedangkan kuantitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi
terhadap kebutuhan tubuh. Kritikan, guru, dan orang dewasa yang
signifikan bagi anak mulai mempengaruhi pilihan makanan anak selama
masa sekolah, dan pengaruh rumah mulai menurun. Semakin anak
bertambah besar dan mempunyai uang lebih banyak untuk dibelanjakan,
mereka akan mengkonsumsi lebih banyak snack dan makanan di luar
rumah. Semakin banyak juga jumlah anak yang dibiarkan di rumah
sendiri karena orang tuanya bekerja sehingga menghabiskan waktu
beberapa jam sehari tanpa pengawasan orang tua. Diantara berbagai
hal terhadap kesejahteraan anakanak adalah perhatian terhadap mutu
makanan yang mereka konsumsi (Mary Courtney Moore, 1997:65). 2.1.7
Antropometri Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros.
Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi
antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri sangat umum
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
xxxii
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini
biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan
tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (I Dewa
Nyoman Supariasa, dkk, 2001:36). Adapun keunggulan antropometri
gizi sebagai berikut: 1) Prosedurnya sederhana, aman dan dapat
dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. 2) Relatif tidak
membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang
sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran
antropometri. 3) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat
dipesan dan dibuat di daerah setempat. 4) Metode ini tepat dan
akurat, karena dapat dibakukan. 5) Dapat mendeteksi atau
menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. 6) Umumnya dapat
mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena
sudah ada ambang batas yang jelas. 7) Metode antropometri dapat
mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari
satu generasi ke generasi berikutnya. 8) Metode antropometri gizi
dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap
gizi.
Kelemahan penentuan status gizi secara antropometri adalah
sebagai berikut: 1) Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi
dalam waktu singkat. Disamping itu tidak dapat membedakan
kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.
xxxiii
2) Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan
penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas
pengukuran antropometri. 3) Kesalahan yang terjadi pada saat
pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas
pengukuran antropometri. 4) Kesalahan ini terjadi karena:
pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi
jaringan, analisis dan asumsi yang keliru. 5) Sumber kesalahan
biasanya berhubungan dengan: latihan petugas yang tidak cukup,
kesalahan alat atau alat tidak ditera, kesulitan pengukuran.
Beberapa hal yang mendasari penggunaan antropometri: 1) Alatnya
mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan
atas, dan mikrotoa. 2) Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang
dengan mudah dan objektif. 3) Pengukuran bukan hanya dilakukan
dengan tenaga khusus profesional, juga oleh tenaga lain yang telah
dilatih sebelumnya. 4) Biaya relatif murah, karena alat mudah
didapat. 5) Hasilnya mudah disimpulkan karena mempunyai ambang
batas (cut off points) dan baku rujukan yang sudah pasti. 6) Secara
ilmiah diakui kebenarannya. Hampir semua negara menggunakan
antropometri sebagai metode untuk mengukur status gizi masyarakat,
khususnya untuk penapisan (screening) status gizi (I Dewa Nyoman
Supariasa, dkk, 2001:37). 2.1.8 Indeks Antropometri Parameter
antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Parameter
adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur,
berat
xxxiv
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,
lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit.
Kombinasi dari beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.
Beberapa Indeks Antropometri yang sering digunakan yaitu Berat
Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan
indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi
yang berbeda (I Dewa Nyoman Supariasa, dkk, 2001:56). 2.1.8.1
Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah
satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh
sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,
misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan
atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
perkembangan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat
2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang
cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan
karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur
digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat
karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional
status). Indeks BB/U mempunyai beberapa kelebihan antara lain:
lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik
untuk mengukur status gizi
xxxv
akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, serta dapat mendeteksi
kegemukan. Adapun kekurangan indeks BB/U, antara lain: 1) Dapat
mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat
edema maupun asites. 2) Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan
tradisional, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena
pencatatan umur yang belum baik. 3) Memerlukan data umur yang
akurat, terutama untuk anak di bawah usia 5 tahun. 4) Sering
terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau
gerakan anak pada saat penimbangan. 5) Secara operasional sering
mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Misalnya
orang tua tidak mau menimbang anaknya, karena dianggap seperti
barang dagangan, dan sebagainya. 2.1.8.2 Indeks Tinggi Badan
Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan tumbuh
seiring dengan pertambahan umur pada keadaan normal. Pertumbuhan
tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka
indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa
(1973) dalam I Dewa
xxxvi
Nyoman Supariasa, dkk (2001:57) menyatakan bahwa indeks TB/U
disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih
erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Keuntungan dari indeks
TB/U, antara lain: baik untuk menilai status gizi masa lampau,
ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa,
sedangkan kelemahan dari indeks TB/U adalah: tinggi badan tidak
cepat naik, bahkan tidak mungkin turun, pengukuran relatif sulit
dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua
orang untuk melakukannya, ketepatan umur sulit didapat. 2.1.8.3
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki
hubungan yang linier dengan tinggi badan., perkembangan berat badan
dalam keadaan normal akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan
dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang
baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang). Indeks BB/TB
merupakan indeks yang independen terhadap umur. Berdasarkan
sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai beberapa keuntungan
yaitu tidak memerlukan data umur, dapat membedakan proporsi badan
(gemuk, normal dan kurus). Sedangkan kelemahan indeks BB/TB adalah:
1) Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek,
cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya,
karena faktor umur tidak dipertimbangkan. 2) Dalam praktek sering
mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang atau tinggi
badan pada kelompok balita. 3) Membutuhkan dua macam alat ukur.
xxxvii
4) Pengukuran relatif lebih lama. 5) Membutuhkan dua orang untuk
melakukannya. 6) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil
pengukuran, terutama bila dilakukan oleh kelompok non profesional.
2.1.9 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Semi Loka Antropometri,
Ciloto 1991 telah direkomendasikan bahwa baku antropometri yang
digunakan di Indonesia adalah WHO-NCHS (tabel 3). Indikator yang
digunakan meliputi Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), Berat
Badan menurut Umur (BB/U), dan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U).
Tabel 3 Klasifikasi Status Gizi menurut Cara WHO BB/TB BB/U TB/U
Rendah Normal Tinggi Tinggi Normal Tinggi Rendah Normal Rendah Baik
Jangkung, masih baik Buruk Buruk, kurang Kurang Lebih, Obesitas
Lebih, tidak obesitas Lebih, pernah kurang Status Gizi Baik, pernah
kurang
Normal Rendah Normal Normal Normal Tinggi Rendah Rendah Rendah
Rendah Rendah Normal Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Normal
Sumber: I Dewa Nyoman Supariasa, dkk (2001: 76) Cara menghitung
status gizi dengan Z score:
xxxviii
1) Bila nilai riel hasil pengukuran nilai median BB/U, TB/U,
atau BB/TB maka rumusnya: Z score =nilairiel nilaimedian
SDUpper
(Benny Soegianto dan Jawawi, 2002:1)
2) Bila nilai riel hasil pengukuran < nilai median BB/U,
TB/U, atau BB/TB maka rumusnya: Z score =nilairiel nilaimedian
SDLower
(Benny Soegianto dan Jawawi, 2002:1)
Adapun kategori status gizi dengan indeks BB/TB: 1) > + 2 SD
= gemuk 2) + 2 sampai dengan 2 SD = normal 3) 3 sampai dengan 2 SD
= kurus 4) < -3 SD = sangat kurus 2.1.10 Metode Food Recall 24
jam Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat
jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam
yang lalu. Dalam metode ini responden menceritakan semua yang
dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Recall 24
jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak
berturut-turut. Menurut Sanjur (1997) yang dikutip oleh I Dewa
Nyoman Supariasa, dkk (2001:94). Langkah-langkah pelaksanaan recall
24 jam adalah sebagai berikut: 1) Petugas atau pewawancara
menanyakan kembali dan mencatat semua makanan atau minuman yang
dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga
xxxix
(URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu, kemudian petugas
melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). 2)
Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan
Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). 3) Membandingkan dengan
Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan
Gizi (AKG) untuk Indonesia. Metode recall 24 jam ini mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah
sebagai berikut: 1) Mudah melaksanakannya serta tidak membebani
responden. 2) Biaya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan
khusus dan tempat yang luas. 3) Cepat, sehingga dapat mencakup
banyak responden. 4) Dapat digunakan untuk responden yang buta
huruf. 5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar
dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam antara lain: 1) Tidak dapat
menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan
recall satu hari. 2) Ketepatan sangat tergantung pada daya ingat
responden. 3) The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi
responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak
(over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan
lebih sedikit (under estimate). 4) Membutuhkan tenaga atau petugas
yang terlatih atau terampil dalam menggunakan alat bantu URT dan
ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.
xl
5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan
dari penelitian. Keberhasilan metode recall 24 jam ini sangat
ditentukan oleh daya ingat responden dan kesungguhan serta
kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat meningkatkan mutu data
recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda
(tidak berturut-turut). Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali
(1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif
menggambarkan kebiasaan makanan individu (I Dewa Nyoman Supariasa,
dkk, 2001:94). 2.1.11 Kerangka Berfikir Berdasarkan landasan teori
di atas, kerangka berfikir dalam penelitian ini dijelaskan bahwa
status gizi dapat dipengaruhi oleh konsumsi makan. Faktorfaktor
lain yang dapat mempengaruhi status gizi antara lain: kesehatan,
pengetahuan, pendidikan (ibu), dan pendapatan keluarga. Konsumsi
makan juga dapat didorong oleh frekuensi jajan di sekolah.
Faktor-faktor lain yang ikut mendorong frekuensi jajan di sekolah
antara lain jumlah uang saku, sarapan pagi, bekal sekolah,
aktivitas selama di sekolah, dan lamanya di sekolah. Frekuensi
jajan di sekolah Variabel bebas
Jumlah uang saku Sarapan pagi Bekal sekolah Aktivitas di sekolah
Lama di sekolah
Konsumsi makan
Status Gizi Variabel terikat Keterangan:
Kesehatan Pengetahuan Pendidikan ibu Pendapatan
xli
= Mempengaruhi dan diteliti = Mempengaruhi dan tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka Berfikir
2.2
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan
antara frekuensi jajan
di sekolah dan status gizi siswa kelas IV dan V SD Negeri
Wonotingal 01-02 Candisari Semarang tahun ajaran 2004/2005. BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Populasi Penelitian Menurut Eko Budiarto (2001:7) populasi
adalah kumpulan semua individu
dalam suatu batas tertentu. Keseluruhan objek penelitian atau
objek yang diteliti disebut juga sebagai populasi penelitian
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002:79). Populasi yang digunakan pada
penelitian ini adalah siswa kelas IV dan V SD negeri Wonotingal
01-02 Candisari Semarang tahun ajaran 2004/2005 yang berjumlah 128
anak. Pemilihan populasi berdasarkan pertimbangan bahwa sekolah
berbentuk kampus di mana lokasi menjadi satu dengan sekolah yang
lain, sekolah penelitian mempunyai kantin dan terdapat penjual
makanan jajanan di sekitar sekolah, dan sepengetahuan penulis belum
ada penelitian di sekolah dasar tersebut.
xlii
3.2
Sampel Penelitian Sebagian yang diambil dari keseluruhan objek
yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi disebut sampel penelitian (Soekidjo
Notoatmodjo, 2002:79). Sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah siswa kelas IV dan V SD Negeri Wonotingal 01-02 yang
berjumlah 91 anak. Pengambilan kelas IV dan V sebagai sampel
dilakukan dengan purposive sampling methods, dimana sampel diambil
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagai berikut: 1)
Sama-sama duduk di kelas IV dan V. 2) Usia relatif sama yaitu
antara 9 tahun sampai 11 tahun. 3) Siswa dalam keadaan sehat atau
tidak sedang sakit. 4) Siswa kelas IV dan V dianggap tinggi tingkat
pendidikannya, waktu di sekolah sama, panjang dan jadwal pelajaran
ketat dan padat. 5) Siswa kelas VI tidak dijadikan sampel karena
persiapan menghadapi ujian akhir. Sampel diambil kemudian
dipilah-pilah menurut umur dan jenis kelamin untuk memudahkan
penentuan status gizi.
3.3
Variabel Penelitian Variabel mengandung pengertian ukuran atau
ciri yang dimiliki oleh anggota anggota suatu kelompok yang berbeda
dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain (Soekidjo Notoatmodjo,
2002:70). Variabel tergantung atau terikat (variabel dependen)
dalam penelitian ini adalah status gizi siswa sekolah
xliii
dasar. Sedangkan variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi
(variabelindependen) adalah frekuensi jajan di sekolah.
3.4
Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode
explanatory study yaitu menjelaskan
hubungan kebiasaan jajan dan status gizi dengan pendekatan cross
sectional dimana pengumpulan data, baik variabel sebab (independent
variabel) maupun variabel akibat (dependent variabel) dilakukan
secara bersama-sama atau sekaligus.
3.5
Teknik Pengambilan Data Data merupakan faktor yang sangat
penting dalam setiap penelitian.
Pengambilan data pada penelitian ini disesuaikan dengan jenis
data sebagai berikut: 3.5.1 Data Primer, yaitu bila pengambilan
data dilakukan secara langsung oleh peneliti terhadap sasaran (Eko
Budiarto, 2001:5). Data primer diambil melalui cara sebagai
berikut: 3.5.1.1 Metode Kuesioner Kuesioner yang digunakan pada
penelitian ini terdiri dari: 1) Kuesioner A Kuesioner ini digunakan
untuk memperoleh informasi mengenai beberapa hal yaitu: identitas
responden, yang meliputi nama, umur, tinggi badan, berat badan dan
jenis kelamin, serta data-data yang terkait dengan frekuensi jajan
di
xliv
sekolah, meliputi jumlah uang saku, kebiasaan jajan di sekolah,
kebiasaan membawa bekal makanan, kebiasaan sarapan pagi. Kuesioner
ini bersifat tertutup dalam bentuk pilihan ganda dengan alternatif
jawaban yang disediakan untuk pertanyaan memiliki empat kategori
sebagai berikut: tidak pernah, jarang, sering, selalu. Kuesioner
ini terdiri dari 18 item. 2) Kuesioner B Digunakan untuk mengetahui
gambaran jajan responden selama 1 minggu. Kuesioner ini dibuat
terbuka yang terdiri dari 6 item, sehingga responden benarbenar
mengisi sesuai keadaanya pada saat itu.
3) Kuesioner C Kuesioner C berupa recall 2 X 24 jam, untuk
mengetahui konsumsi makanan siswa selama sehari. Recall dilakukan
dua kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut). 4)
Kuesioner D Digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu
responden tentang gizi. Kuesioner ini berisi 15 item, dengan
alternatif jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju
(TS), dan sangat tidak setuju (STS). 3.7.1.2 Pengukuran Pengukuran
yang dilakukan pada penelitian ini yaitu pengukuran Berat Badan
(BB) dan Tinggi Badan (TB) responden. Adapun macam dan prosedur
pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut: 3.7.1.2.1 Tinggi
Badan
xlv
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikrotoa (Microtoise)
yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan sebagai berikut: 1) Pasang mikrotoa pada dinding yang
lurus dan datar setinggi tepat 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai
yang datar dan rata. 2) Rentang mikrotoa dan pastikan angka nol
tepat berada pada permukaan lantai. Cara yang mudah adalah
merentangkan mikrotoa sampai angka nol jika nol tepat di lantai
baru dipaku di dinding. 3) Lepaskan alas kaki (sepatu atau sandal)
atau topi yang dipakai. 4) Anak harus berdiri tegak seperti sikap
siap sempurna dalam baris berbaris, kaki lurus, tumit, pantat,
punggung, dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding
dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan. 5) Turunkan
mikrotoa sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus
lurus menempel pada dinding. 6) Baca angka pada skala yang nampak
pada lubang dalam gulungan mikrotoa. Angka tersebut menunjukkan
tinggi anak yang diukur. 3.7.1.2.2 Berat Badan Penimbangan
dilakukan dengan menggunakan timbangan injak (Bathroomscale) dengan
langkah sebagai berikut:
1) Timbangan diletakkan di tempat yang datar (rata) sehingga
tidak goyang. 2) Anak memakai pakaian seminimal mungkin, sepatu
harus dilepas. 3) Pada saat ditimbang anak berdiri tepat ditengah
timbangan dan menghadap ke depan. 3.5.1.2 Pengamatan
(Observasi)
xlvi
Pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara
lain meliputi melihat dan mencatat jumlah dan taraf aktivitas
tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002:93). Pengamatan pada penelitian ini
yaitu untuk mengetahui berapa jumlah pedagang jajanan yang ada di
sekitar sekolah. 3.5.2 Data Sekunder, yaitu bila pengumpulan data
yang diinginkan diperoleh dari orang lain atau tempat lain dan
tidak dilakukan oleh peneliti sendiri (Eko Budiarto, 2001:5).
Adapun data sekunder yang dimaksud adalah daftar nama siswa kelas
IV dan V SD Negeri Wonotingal 01-02 tahun ajaran 2004/2005. Data
ini digunakan untuk mengetahui jumlah anggota dalam populasi.
3.6
Prosedur Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan melalui tahap-tahap:
3.6.1 Tahap Persiapan Pengumpulan data dimulai dengan
mempersiapkan atau menyusun angket atau kuesioner, kemudian
dilakukan uji coba kuesioner tersebut. Setelah diuji coba,
butir-butir pertanyaan yang tidak valid dibuang. Tahap selanjutnya
kuesioner tersebut diperbanyak untuk dibagikan kepada responden.
Sedangkan untuk pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan, sebelum
alat digunakan, ditera terlebih dahulu di Dinas Metrologi.
Pengumpulan data dimulai setelah dilakukan perijinan di Dinas
Kesbanglinmas, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Kesehatan Kota
Semarang, dan Puskesmas Kagok. 3.6.2 Tahap Pelaksanaan
xlvii
Pengumpulan data dilakukan selama 1 minggu. Tahap pelaksanaan
pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
3.6.2.1 Kuesioner A, Kuesioner B, dan Kuesioner C (lembar recall
2x24 jam) 1) Setelah mendapatkan ijin dari Kepala Sekolah,
dilakukan konfirmasi kepada guru kelas IV dan V. 2) Sebelum
penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tentang tujuan
penelitian dan tata cara pengisian kuesioner. 3) Responden
dibagikan kuesioner dan diminta mengisi sesuai petunjuk. 4) Pada
saat pengumpulan data peneliti dibantu oleh beberapa orang (satu
kelas dibantu oleh 3-4 orang). Hal ini dilakukan untuk membantu
responden apabila masih terdapat ketidakfahaman dalam mengisi
kuesioner, serta membantu responden mengingat (untuk recall).
3.6.2.2 Kuesioner D 1) Kuesioner diberikan kepada siswa untuk
diberikan kepada orang tua. 2) Orang tua mengisi sesuai petunjuk
yang ada. 3.6.2.3 Pengukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB)
Responden 1) Responden diminta untuk menuliskan nama pada kertas
yang telah tersedia. 2) Pengukuran dilakukan di ruang UKS. 3)
Peneliti mencatat hasil pengukuran.
3.7
Instrumen Penelitian
xlviii
Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:48). Adapun instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Alat timbang dengan
ketelitian 0,1 kg digunakan untuk menimbang berat badan (BB)
responden. 2) Mikrotoa (microtoice) dengan ketelitian 0,5 cm
digunakan untuk mengukur tinggi badan (TB) responden. 3) Kuesioner
merupakan daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah
matang, dimana responden (dalam hal angket) dan interviewer (dalam
hal wawancara) tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan
tanda-tanda tertentu (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:116). 4) Lembar
recall 2 X 24 jam untuk mengetahui jumlah atau tingkat konsumsi
energi dan protein responden.
3.8
Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1 Pengolahan data Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data
dalam penelitian selalu berhubungan. Alat pengumpul data atau
instrumen penelitian digunakan dalam pengumpulan data. Instrumen
ini disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang mudah
diolah. Langkah-langkah pengolahan data ini antara lain sebagai
berikut: 1) Editing, yaitu melengkapi isian dalam kuesioner yang
belum lengkap
xlix
2) Koding,
yaitu
memberi
kode
pada
masing-masing
jawaban
untuk
memudahkan pengolahan data 3) Tabulasi, yaitu mengelompokkan
data sesuai dengan tujuan penelitian kemudian dimasukkan dalam
tabel yang sudah disiapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pengumpulan data adalah: 1) Hanya memilih atau memasukkan
data yang penting dan benar-benar diperlukan. 2) Hanya memilih data
yang tidak bias. 3.8.2 Analisis data Data yang diperoleh dianalisa
secara manual dan komputerisasi. 3.8.2.1 Analisis Univariat
Analisis dilakukan dengan membuat tabel dan distribusi frekuensi
masingmasing variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Analisa ini digunakan untuk mengetahui gambaran frekuensi jajan di
sekolah dan status gizi. Frekuensi jajan dibagi menjadi 3 kategori
yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Adapun kriteria tersebut
diperoleh dengan perhitungan Standart Deviasi (SD) dari frekuensi
jajan di sekolah (Agus Irianto, 2004: 45), dari hasil tersebut
diperoleh kategori: 1) Rendah : jika frekuensi jajan < Mean (SD)
2) Sedang : jika frekuensi jajan antara Mean (SD) sampai Mean +
(SD) 3) Tinggi : jika frekuensi jajan > Mean + (SD) Analisa
status gizi yang digunakan dibagi menjadi 4 kategori yaitu sangat
kurus atau sangat kurang, kurus atau kurang, normal, dan gemuk
dengan menggunakan cara standart yang sudah baku yaitu dengan
menggunakan skor baku Z-score.
l
Rata-rata nilai atau mean dari beberapa hasil penelitian
dihitung dengan menggunakan rumus mean dari data bergolong sebagai
berikut: Me =fiXi fi
(Sugiyono, 2002:47)
Keterangan: Mefi Xi
= Mean untuk data bergolong = Jumlah data atau sampel = Nilai
data ke i
Rumus simpangan baku atau Standar Deviasi (SD) yang digunakan
adalah: s= ( i ) (n 1)2
(Sugiyono, 2002:50)
Keterangan: s Xi X n = Simpangan baku = Nilai ke i = Rata-rata
nilai = Jumlah sampel
3.8.2.2 Analisis BivariatAnalisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis bivariate yang dilakukan terhadap
dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Soekidjo
Notoatmodjo, 2002:188). Analisa ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat agar dapat
menentukan tingkat hubungan antara variabel tersebut. Dalam
penelitian ini dengan
li
menggunakan teknik korelasi Kendalls tau yang besarnya -1<
0< 1 (Sugiyono, 2002: 238). Adapun rumus dasar yang digunakan
adalah sebagai berikut:
=
( 1) 2
(Sugiyono, 2002:237)
= Koefisien korelasi Kendalls tau = Jumlah rangking atas =
Jumlah rangking bawah
N = Jumlah anggota sampel Kriteria batas penerimaan atau
penolakan hipotesis nol yang digukan dengan menentukan derajat
kemaknaan (significance level) 5%. Derajat kemaknaan merupakan
batas untuk menerima atau menolak hipotesis nol yang dinyatakan
dalam batas luas area dalam kurva distribusi normal.
3.8.3 Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner 3.8.3.1
ValiditasMenurut Soekidjo Notoatmodjo (2002:129), validitas adalah
suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur
apa yang diukur. Teknik korelasi yang dipakai adalah korelasi
product moment dengan rumus sebagai berikut:rxy = N ( XY ) (X Y ) (
NX 2 () 2 ( N 2 ( ) 2 ) (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:131)
keterangan: r xy X = korelasi korelasi = skor butir
pertanyaan
lii
Y N
= skor total = jumlah responden = jumlah X = jumlah Y = jumlah Y
kuadrat = jumlah X kuadrat
2 2
= jumlah perkalian X dengan Y
Berdasarkan hasil uji validitas kuesioner penelitian pada
lampiran menunjukkan bahwa dari 25 butir yang diuji cobakan
terdapat 18 butir yang valid karena memiliki nilai rxy > rtabel
= 0,632 pada = 5% dengan N = 10 dan terdapat 7 butir yang tidak
valid karena memiliki rxy < rtabel = 0,632 pada = 5% dengan N =
10. Selanjutnya butir yang valid tersebut diurutkan kembali dan
dapat digunakan untuk pengambilan data penelitian.
3.8.3.2 ReliabilitasReliabilitas ialah indeks yang menunjukkan
sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap
konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau
lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang
sama (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:133). Indeks reliabilitas soal
yang digunakan rumus alpha, yaitu:2 k b r11 = 1 t2 k 1
(Suharsimi Arikunto, 2002:171)
keterangan:
liii
r11k
= reliabilitas instrumen = banyaknya butir pertanyaan2
b
= jumlah varians butir = varians total
t2
Sedangkan untuk mencari varians butir dengan rumus:2
( )2
b2
=
(Suharsimi Arikunto, 2002:171)
keterangan:
b2
= varians butir = jumlah skor butir = jumlah responden
Berdasarkan hasil uji reliabilitas diperoleh harga r11 = 0,944 >
rtabel = 0,632
pada = 5% dengan N = 10 , dengan demikian kuesioner tersebut
reliabel dan dapat digunakan untuk pengambilan data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Responden
liv
Adapun responden yang digunakan pada penelitian ini memiliki
karakteristik sebagai berikut:
4.1.1.1 Umur RespondenResponden yang digunakan pada penelitian
ini adalah siswa kelas IV dan V SD Negeri Wonotingal 01-02 tahun
ajaran 2004/2005. Dari 91 responden yang diteliti, terdapat 28
responden (30,77%) berusia 9 tahun, 44 responden (48,35 %) berusia
10 tahun, dan 19 responden (20,88%) berusia 11 tahun. Pada periode
umur 7-12 tahun ini pertumbuhan berjalan terus meskipun tidak
secepat seperti waktu bayi ( Solihin Pudjiadi, 2003: 43).
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden menurut Umur Umur
Responden Jumlah Prosentase (%) 9 tahun 28 30,77 10 tahun 44 48,35
11 tahun 19 20,88 Total 91 100 Mean=9,90 SD= 0,72
No 1 2 3
4.1.1.2 Tingkat Pengetahuan IbuBerdasarkan tingkat pengetahuan
ibu responden diperoleh informasi bahwa responden yang mempunyai
ibu dengan tingkat pengetahuan kategori baik ada 58 responden
(63,7%), cukup 32 responden (35,2%), dan kurang ada 1 responden
atau 1,1%.
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu Responden
No. Pengetahuan ibu Jumlah Prosentase (%) 1 Baik 58 63,7 2 Cukup 32
35,2
lv
3
Kurang Total
1 91
1,1 100,0
4.1.2 Frekuensi Jajan di Sekolah 4.1.2.1 Frekuensi Jajan di
SekolahBerdasarkan hasil penelitian terdapat 1 responden yang
menyatakan tidak pernah jajan, 75 responden (82,4%) menyatakan
membeli jajanan 1-2 kali per hari, 13 responden (14,3%) menyatakan
menyatakan membeli jajanan 3-4 kali per hari dan hanya 2 responden
yang membeli jajanan lebih dari 4 kali per hari.
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Jajan di Sekolah Per Hari Kategori
Jumlah Prosentase (%) 0 kali per hari 1 1,10 1-2 kali per hari 75
82,40 3-4 kali per hari 13 14,30 > 4 kali per hari 2 2,20 Total
91 100
No 1 2 3 4
Berdasarkan hasil penelitian selama 1 minggu, apabila frekuensi
jajan responden dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi terlihat
grafik di bawah ini.40
30
jumlah
20
10 Std. Dev = 3.69 Mean = 12.0 0 0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0
17.5 20.0 N = 91.00
frekuensi jajan di sekolah
lvi
Grafik 1 Distribusi Jajan di SekolahBerdasarkan grafik di atas
dapat dilihat bahwa frekuensi jajan tertinggi adalah 21 dan
terendah 0 dengan nilai rata-rata 12 dan standar deviasi (SD) 3,69.
Hasil distribusi jajan di sekolah tersebut di atas, apabila dibuat
dalam bentuk tabel dengan kategori nilai mean dan nilai standar
deviasi tersaji pada tabel 8.
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Jajan di Sekolah dalam Kategori
Rentang Kategori Jumlah Prosentase (%) 16 Tinggi 14 15,4 Total 91
100Tabel di atas menunjukkan bahwa responden yang mempunyai
frekuensi jajan kategori rendah sebanyak 7 responden atau 7,7%,
kategori sedang 70 responden (76,9%), sedangkan yang termasuk
kategori tinggi sebanyak 14 responden atau 15,4%.
No 1 2 3
4.1.2.2 Jumlah jajanan Tabel 8 Distribusi Frekuensi Jumlah
Jajanan selama di Sekolah Kategori Jumlah Prosentase (%) 0 buah 1
1,10 1-2 buah 21 24,18 3-4 buah 52 57,14 5-6 buah 15 16,48 > 6
buah 1 1,10 Total 91 100
No 1 2 3 4 5
lvii
Hasil penelitian menunjukkan jumlah makanan jajanan yang
dikonsumsi responden selama berada di sekolah sebagai berikut:
jumlah responden yang selama berada di sekolah membeli jajanan 1-2
buah sebanyak 21 responden (24,18%), 3-4 buah sebanyak 52 responden
(57,14%), 5-6 buah sebanyak 15 responden (16,48%), sedangkan yang
membeli jajanan lebih dari 6 buah sebanyak 1 responden (1,10%).
Terdapat 1 responden (1,10%) yang tidak membeli jajanan selama
berada di sekolah. Grafik 2 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden membeli 3-4 buah makanan jajanan selama di sekolah.60
50
jumlah responden
40
30
20
10
0 .0 1-2 buah 3-4 buah 5-6 buah > 6 buah
jumlah jajanan yang dibeli selama di sekolah
Grafik 2 Distribusi Jumlah Jajanan yang Dibeli selama di Sekolah
4.1.3 Besar Uang Saku Tabel 9 Distribusi Frekuensi Jumlah Uang Saku
Per Hari Uang saku per hari Jumlah Prosentase (%) < Rp 500,0 0
Rp 500,- - Rp 1000,18 19,78 Rp 1000,- -Rp 2000,56 61,54 > Rp
2000,17 18,68 Total 91 100
No 1 2 3 4
lviii
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden mendapat
uang saku per hari Rp 1000,- sampai Rp 2000,- dengan jumlah
keseluruhan 56 anak (61,54%), terdapat 18 anak (19,78%) yang
mendapat uang saku Rp 500,- sampai Rp 1000,-,dan 17 anak (18,68%)
mendapatkan uang saku lebih dari Rp 2000,-.
4.1.4 Bekal Makanan Tabel 10 Distribusi Frekuensi Kebiasaan
Membawa Bekal Makanan ke Sekolah No Kebiasaan membawa bekal makanan
ke Jumlah Prosentase sekolah (%) 1 tidak pernah 35 38,46 2 jarang
38 41,76 3 sering 14 15,38 4 selalu 4 4,40 Total 91 100
Tabel 11 menunjukkan kebiasaan responden membawa bekal makanan
ke sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden yaitu 35 responden (38,46%) menyatakan tidak pernah
membawa bekal makanan dan 38 responden (41,76%) jarang membawa
bekal makanan ke sekolah. Sedangkan yang menyatakan sering ada 14
responden (15,38%). Dari 91 responden terdapat 4 (4,40%) yang
menyatakan selalu membawa bekal makanan ke sekolah.
lix
50
40
jumlah responden
30
20
10
0 tidak pernah jarang sering selalu
bekal makanan ke sekolah
grafik 3 Distribusi Kebiasaan Membawa Bekal Makanan ke Sekolah
4.1.5 SarapanKebiasaan sarapan pagi pada responden sebagaimana
tabel di bawah menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
kebiasaan untuk sarapan pagi sebelum ke sekolah. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh bahwa lebih dari 50% responden menyatakan
selalu sarapan pagi sebelum ke sekolah. Terdapat 11 responden
(12,09%) menyatakan sering sarapan pagi, 22 responden (24,18%)
menyatakan jarang, dan 9 responden (9,89%) tidak pernah sarapan
pagi.
Tabel 11 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Sarapan Pagi sebelum ke
Sekolah No Kebiasaan sarapan pagi Jumlah Prosentase (%) 1 tidak
pernah 9 9,89 2 jarang 22 24,18 3 sering 11 12,09 4 selalu 49 53,85
Total 91 100 Grafik di bawah menunjukkan bahwa sebagian besar
responden sudah memilikikebiasaan sarapan atau makan pagi sebelum
ke sekolah.
lx
60
50
jumlah responden
40
30
20
10
0 tidak pernah jarang sering selalu
kebiasaan sarapan sebelum ke sekolah
Grafik 4 Distribusi Kebiasaan Sarapan sebelum ke Sekolah 4.1.6
Waktu jajanHasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden yaitu sebanyak 79 responden atau 86,80% jajan pada jam
istirahat I maupun istirahat II, sedangkan lainnya yaitu terdapat 1
responden (1,10%) jajan sebelum jam 7 atau sebelum masuk sekolah, 6
responden (6,60%) jajan pada jam istirahat I saja, dan 4 responden
(4,40%) jajan pada jam istirahat II.
Tabel 12 Distribusi Frekuensi Waktu Jajan di Sekolah Waktu jajan
di sekolah Jumlah Prosentase (%) 0 1 1,10 Sebelum jam 7 1 1,10 Jam
istirahat I 6 6,60 Jam istirahat II 4 4,40 Jam istirahat I dan II
79 86,80 Total 91 100
No 1 2 3 4 5
4.1.7 Jenis Makanan Jajanan yang Sering Dikonsumsi Responden
lxi
Berbagai jenis makanan jajanan menjadi pilihan responden, baik
yang dijual di kantin sekolah maupun di penjual sekitar sekolah.
Adapun jenis jajanan yang banyak dikonsumsi oleh responden sebagai
berikut: es teh, chiki, mie instan, nasi goreng, gorengan, bakso
tusuk, es minuman serbuk, permen, es bungkus, coklat. Diantara
berbagai jenis jajanan yang dikonsumsi responden sebagian besar
tidak dicantumkan nilai dan kandungan gizinya. Tabel di bawah
menunjukkan prosentase sumbangan energi dan protein dari makanan
jajanan di sekolah terhadap konsumsi energi responden.
Tabel 13 Distribusi Frekuensi Prosentase Sumbangan Energi dari
Makanan Jajanan di Sekolah terhadap Konsumsi Energi Responden Tk.
Rata-rata Rata-rata Sumbangan Konsumsi konsumsi konsumsi E jajanan
E dari Kec. E Gol. Umur E makanan E dalam dalam total makanan
(kal/hr) (tahun) jajanan total makanan jajanan (a) (kal/hr) makanan
sehari (%) (%) (b) (c) (b/c x 100%) (b/a x 100%) 7-9 1900 230,69
1259,60 18,31 12,14Laki-laki 10-12 Perempuan 10-12 Rata-rata 2000
1900 7633,33 210,58 182,40 207,89 1162,24 1218,90 1213,58 18,12
14,96 17,13 10,53 9,60 10,76
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa pada golongan umur 7-9
tahun, rata-rata energi yang diperoleh dari total makanan selama 2
hari adalah 1259,60 kalori, dari jumlah tersebut makanan jajanan di
sekolah memberikan sumbangan 18,31% terhadap rata-rata intake
energi dalam total makanan yang dikonsumsi
lxii
sehari dan tingkat konsumsi energi dari makanan jajanan 12,14%,
sedangkan golongan umur 10-12 tahun yang sudah dibedakan menurut
jenis kelamin, terlihat bahwa makanan jajanan di sekolah memberikan
sumbangan energi
masing-masing 18,12% pada responden laki-laki dan 14,96% pada
responden perempuan. Makanan jajan di sekolah juga menyumbang
12,57% terhadap rata-rata intake protein dalam total makanan yang
dikonsumsi sehari pada responden golongan umur 7-9 tahun, sedangkan
pada golongan umur 10-12 tahun makanan jajanan menyumbang 13,15%
pada responden laki-laki dan 7,71% pada responden perempuan. Tabel
15 menunjukkan prosentase sumbangan protein dari makanan jajanan di
sekolah terhadap konsumsi protein responden.
Tabel 14 Distribusi Frekuensi Prosentase Sumbangan Protein dari
Makanan Jajanan di Sekolah terhadap Konsumsi Protein Responden Tk.
Rata-rata Rata-rata Sumbangan Konsumsi konsumsi konsumsi P jajanan
P dari Kec. P Gol. Umur P makanan P dalam dalam total makanan
(kal/hr) (tahun) jajanan jajanan total makanan (a) (kal/hr) makanan
sehari (%) (%) (b) (c ) (b/c x 100%) (b/a x 100%) 7-9 37 3,93 31,27
12,57 10,62Laki-laki 10-12 Perempuan 10-12 Rata-rata 45 54 45,33
4,28 2,55 3,59 32,55 33,08 32,3 13,15 7,71 11,14 9,51 4,72 8,28
4.1.8 Status Gizi
lxiii
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden mempunyai
status gizi normal. Berdasarkan indeks BB/TB terdapat 67 responden
(73,6%) mempunyai status gizi baik atau normal, 5 responden (5,5%)
gemuk, 16 responden (17,6%) kurus, dan terdapat 3 responden (3,3%)
sangat kurus atau mempunyai status gizi sangat kurang. Status gizi
responden dengan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
pada responden sebagai berikut:
Tabel 15 Status Gizi Responden Jumlah Prosentase (%) 3 3,3 16
17,6 67 73,6 5 5,5 91 100 Mean= 2,809 SD= 0,573
Kategori Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Jumlah
4.1.9 Hasil Analisis Data 4.1.9.1 Hubungan antara Frekuensi
Jajan di Sekolah dengan Status GiziBerdasarkan indeks BB/TB jumlah
responden yang mempunyai status gizi sangat kurang atau sangat
kurus dengan frekuensi jajan sedang 3 responden dan tidak ada
responden yang frekuensi jajannya rendah maupun tinggi. Responden
yang memiliki status gizi kurang atau kurus dengan frekuensi jajan
rendah ada 1 responden, 14 responden dengan frekuensi jajan sedang
dan 1 responden frekuensi jajannya tinggi. Sedangkan responden yang
memiliki status gizi baik atau normal dengan frekuensi jajan rendah
5 responden, yang frekuensi jajannya sedang 51 responden, sedangkan
yang frekuensi jajannya tinggi ada 11 responden. Selain itu
terdapat juga 1 responden yang gemuk tetapi frekuensi jajannya
rendah,
lxiv
2 responden dengan frekuensi jajan sedang dan 2 responden
frekuensi jajannya tinggi.
Tabel 16 Hubungan antara Frekuensi Jajan di Sekolah dan Status
Gizi dengan Indeks BB/TB BB/TB Frekuensi Jajan Jumlah Rendah Sedang
Tinggi Sangat kurus 0 3 0 3 Kurus 1 14 1 16 Normal 5 51 11 67 Gemuk
1 2 2 5 Jumlah 7 70 14 91
4.1.9.2 Uji KorelasiHubungan antara frekuensi jajan di sekolah
dengan status gizi responden melalui pengukuran antropometri dengan
indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) setelah diuji
dengan menggunakan Kendalls tau-b menghasilkan angka koefisien
korelasi +0,099. Angka tersebut menunjukkan lemahnya korelasi
antara frekuensi jajan di sekolah dengan status gizi dengan indeks
BB/TB, karena nilai di bawah 0,5. Tanda + menunjukkan bahwa semakin
tinggi frekuensi jajan, maka akan semakin tinggi pula status gizi
dengan indeks BB/TB, sedangkan pada signifikasinya dihasilkan angka
probabilitas 0,320. Oleh karena angka tersebut diatas 0,05, maka Ha
ditolak atau Ho diterima, atau sebenarnya tidak ada hubungan yang
signifikan antara frekuensi jajan di sekolah dengan status gizi
dengan indeks BB/TB.
4.2
Pembahasan
lxv
Hasil penelitian terhadap 91 responden memperlihatkan bahwa
frekuensi jajan anak di sekolah sebagian besar masih dalam kategori
sedang yaitu 76,9% responden, sedangkan yang tinggi hanya 15,4%.
Dan sebagian besar responden membeli jajan 1-2 kali per hari
(82,40%). Hal ini disebabkan adanya kebiasaan sarapan yang selalu
dilakukan oleh 53,85% responden. Sebagaimana yang dikatakan Ali
Khomsan (2003:15) yaitu bahwa agar stamina anak tetap fit selama
mengikuti kegiatan di sekolah maupun kegiatan ekstra kurikuler,
maka saran utama dari segi gizi adalah jangan meninggalkan sarapan
pagi. Anak yang tidak sarapan pagi akan mengalami kekosongan
lambung sehingga kadar gula akan menurun. Padahal gula darah
merupakan sumber energi utama bagi otak. Dampak negatifnya adalah
ketidakseimbangan sistem syaraf pusat yang diikuti dengan rasa
pusing, badan gemetar atau rasa lelah. Dalam keadaan demikian anak
akan sulit menerima pelajaran dengan baik. Demikian juga yang
dikatakan Trisno Haryanto (1998:internet) yaitu bahwa membiasakan
anak dengan sarapan pagi dapat menghindarkan anak dari kebiasaan
jajan. Frekuensi jajan di sekolah ini juga dipengaruhi oleh
pemberian uang saku. Uang saku yang diterima anak setiap harinya
digunakan untuk jajan di sekolah, sebagaimana hasil penelitian
menunjukkan 64,8% responden menggunakan 50% uang sakunya untuk
jajan. Sebagian besar responden menerima uang saku
setiap harinya Rp 1000,00 sampai Rp 2000,00. Jumlah jajanan yang
dibeli anak di sekolah yang cukup banyak yaitu 3-4 buah (57,14%),
5-6 buah (16,48%), bahkan ada yang lebih dari 6 buah (1,10) dapat
disebabkan karena mereka jarang (41,76%) bahkan ada yang tidak
pernah
lxvi
(38,46%) membawa bekal makanan ke sekolah, serta didukung
kemampuan untuk membeli makanan jajanan dengan adanya uang saku.
Hal ini merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena
aktivitas fisik di sekolah yang tinggi, apalagi bagi anak yang
tidak sarapan pagi. Kebiasaan membawa bekal makanan ke sekolah
sebaiknya perlu dilakukan oleh orang tua terhadap anak, hal ini
untuk menghindarkan anak dari makanan jajanan yang belum jelas
kebersihan, kesehatan, kandungan gizi serta keamanannya. Orang tua
juga perlu memberikan nasehat kepada anak supaya lebih selektif
dalam memilih makanan jajanan dan jelaskan tentang bahaya yang
ditimbulkan jika mengkonsumsi makanan jajanan yang tidak sehat.
Anak-anak sekolah pada umumnya menghabiskan seperempat waktunya di
sekolah. Jam istirahat pertama dan kedua menjadi pilihan 86,80%
responden untuk jajan. Hal ini dikarenakan 3-4 jam setelah makan
perut akan merasa lapar. Jadi meskipun mereka sarapan pagi tetap
membeli jajan di sekolah. Selama anak di sekolah menunjukkan bahwa
jajanan yang banyak dikonsumsi anak untuk jenis makanan pokok
adalah nasi goreng sedangkan untuk makanan kecil adalah chiki, mie
instan, gorengan, bakso tusuk, permen dan coklat. Dan untuk jenis
minuman adalah es teh, es minuman serbuk, dan es bungkus. Anak
lebih cenderung memilih jenis jajanan seperti di atas karena selain
harganya murah dan dapat memberikan rasa kenyang, makanan jajanan
tersebut mempunyai rasa yang sesuai selera anak dan bentuk maupun
bungkusnya juga menarik. Akan tetapi beberapa jajanan tetap harus
diperhatikan baik kemasan, tanggal kadaluarsa, maupun nilai
kandungan gizi di dalamnya. Salah satu jajanan yang perlu
diperhatikan adalah permen.
lxvii
Permen merupakan kesukaan setiap anak, akan tetapi tidak
memberikan kontribusi energi yang berarti karena kandungan gizinya
hampir nol kecuali energi. Oleh karena itu mengkonsumsi permen
secara berlebihan hanya akan menambah masukan energi tanpa memberi
zat gizi. Berbagai jenis minuman juga perlu diperhatikan meskipun
minuman seperti es teh tidak mengandung pewarna maupun pengawet
makanan dan es minuman serbuk dalam kemasan yang relatif lebih
aman, akan tetapi penggunaan es batu yang dicampurkan perlu
dipertanyakan apakah sudah dimasak terlebih dahulu atau tidak. Pada
penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella
Paratyphi A di 25%-50% sampel minuman yang dijual di kaki lima.
Bakteri ini diduga berasal dari es batu yang tidak dimasak terlebih
dahulu (Judhiastuty Februhartanty dan DN Iswarawanti,
2004:internet). Chiki juga harus diperhatikan apalagi terhadap
kandungan MSG (Mono
Sodium Glutamat). Bahkan sekarang banyak jajanan yang
menggunakanpengawet, pewarna, pemanis maupun bahan tambahan pangan
(BTP) seperti boraks, formalin, dan sebagainya. Bahan-bahan
tersebut dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi anak dalam
jangka pendek seperti terjadinya diare maupun dalam jangka panjang
yaitu terjadinya penyakit kanker. Akan tetapi banyak jajanan yang
tidak mencantumkan bahan pembuat maupun nilai kandungan gizi
didalamnya, apalagi untuk jenis jajanan buatan industri rumah
tangga. Padahal, gizi buruk dan gangguan pertumbuhan terutama bagi
anak-anak adalah dua konsekuensi serius yang dapat ditimbulkan oleh
penyakit bawaan makanan (foodborne diseases) tersebut.
lxviii
Hal lain yang perlu diperhatikan terhadap konsumsi jajanan
adalah kuantitas atau jumlah jajanannya dan kualitas jajanan yang
dikonsumsi. Diharapkan meskipun frekuensi jajan di sekolah tinggi,
apabila kualitas jajanan yang dikonsumsi cukup baik atau cukup
mengandung zat gizi maka gangguan kurang gizi maupun gangguan
kesehatan yang lain tidak perlu dialami oleh anak. Akan tetapi
anak-anak tetap perlu diperhatikan dan disediakan makanan dalam
jumlah cukup dan memenuhi kecukupan gizinya, terutama ko