BAB 2TINJAUAN TEORITIS2.1 Anatomi Fisiologi Otak
2.1.1 Struktur Tulang Otak
Otak merupakan organ yang terletak tertutup oleh cranium,
tulang-tulang penyusun cranium disebut tengkorak yang berfungsi
melindungi organ-organ vital otak. Ada Sembilan tulang yang
membentuk cranium yaitu: tulang frontal, oksifitalis, sphenoid,
etmoid, temporal 2 buah, parietal 2 buah.Tulang-tulang tengkorak di
hubungkan oleh sutura (Tarwoto, et al., 2009: 111). Otak dilindungi
dari cedera kepala oleh rambut, kulit dan tulang kemudian meninges
juga cairan serebrospinalis fungsi dari CSF untuk mempertahankan
fungsi normal saraf seperti untuk nutrisi dan pengaturan lingkungan
kimia susunan saraf pusat. Tanpa pelindungan ini otak akan sangat
mudah mengalami iritasi, goncangan dan cedera pada kepala. Sekali
neuron rusak, maka tidak dapat di perbaiki lagi,fungsi neuron
sebagai penerus stimulus atau respon. (Syaifuddin, 2009)
Gambar 2.1 :Tulang-tulang
tengkorak(Sumber:http://workhate.co.uk, diakses
pada 12 Mey 2015)
6
7
2.1.1.1 Tengkorak tersusun atas tulang kranial dan tulang wajah.
Tulang kranial tersebut meliputi:
a. Tulang frontal
Tulang frontal merupakan tulang kranial yang berada di sisi
anterior, berbatasan dengan tulang parietal melalui sutura
koronalis. Pada tulang frontal ini terdapat suatu sinus (rongga)
yang disebut sinus frontalis yang terhubung dengan rongga
hidung.
b. Tulang temporal
Terdapat dua tulang temporal di setiap sisi lateral tengkorak.
Antara tulang temporal dan tulang parietal dibatasi oleh sutura
skuamosa. Persambungan antara tulang temporal dan tulang
zigomatikum disebut sebagai prosesus zigomatikum. Selain itu
terdapat prosesus mastoid (suatu penonjolan di belakang saluran
telinga) dan meatus akustikus eksternus (liang telinga).
c. Tulang parietal
Terdapat dua tulang parietal, yang dipisahkan satu sama lain
melalui sutura sagitalis. Sedangkan sutura skuamosa memisahkan
tulang parietal dan tulang temporal.
d. Tulang oksipital
Tulang oksipital merupakan tulang yang terletak di sisi belakang
tengkorak. Antara tulang oksipital dan tulang parietal dipisahkan
oleh sutura lambdoid.
e. Tulang sphenoid
Tulang sphenoid merupakan tulang yang membentang dari sisi
fronto-parieto-temporal yang satu ke sisi yang lain.
f. Tulang ethmoid
Tulang ethmoid merupakan tulang yang berada di belakang tulang
nasal dan lakrimal. Beberapa bagian dari tulang
8
ethmoid adalah crista galli (proyeksi superior untuk perlekatan
meninges
2.1.1.2 Sedangkan tulang wajah meliputi: a. Tulang mandibula
Mandibula merupakan tulang rahang bawah, yang berartikulasi
dengan tulang temporal melalui prosesus kondilar.
b. Tulang maksila
Tulang maksila merupakan tulang rahang atas. Maksila meliputi
antara lain prosesus palatin yang membentuk bagian anterior palatum
dan prosesus alveolar yang memegang gigi bagian atas.
c.Tulang nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang membentuk jembatan pada
hidung dan berbatasan dengan tulang maksila.
d. Tulang lakrimal
Tulang lakrimal merupakan tulang yang berbatasan dengan tulang
ethmoid dan tulang maksila, berhubungan duktus nasolakrimal sebagai
saluran air mata.
e. Tulang zigomatikum
Tulang zigomatikum merupakan tulang pipi, yang berartikulasi
dengan tulang frontal,temporal dan maksila. (Syaifuddin, 2009)9
2.1.2 Meningen
Meningen adalah merupakan jaringan membrane penghubung yang
melapisi otak dan medulla spinalis ada 3 lapisan meningen yaitu:
Durameter, arachnoid, dan pia meter. Durameter adalah laisan yang
liat, kasar dan mempunyai dua lapisan membrane. Arachnoid adalah
membrane bagian tengah, tipis dan berbentuk seperti laba-laba.
Sedangkan piameter adalah lapisan paling dalam, tipis, merupakan
membrane vaskuler yang membungkus seluruh permukaan otak. Antara
lapisan satu dengan lapisan lainya terdapat ruang meningeal yaitu
ruang epidural merupaka ruang antara tengkorak dan lapisan luar
durameter, ruang subdural yaitu ruang antara lapisan durameter
dengan membrane arachnoid, ruang subarachnoid yaitu ruang antra
arachnoid dengan piameter pada ruang subarachnoid ini terdapat
cairan serebrospinalis (CSF). (Tarwoto et al., 2013)
Gambar 2.2 Meningen pada otak
(Sumber:http://www cedera+kepala&gbv=2&oq=img.htm
diakses pada 18 Maret 2012)
10
2.1.3 Organ Otak
Secara umum, otak terbagi menjadi cerebrum (Frontal lobe,
parietal lobe, occipital lobe, temporal lobe), serebllum dan batang
otak (medulla oblongata mesencephalon dan pons). Frotal lobe
berfungsi sebagai aktifitas motorik, fungsi intelektual, emosi dan
fungsi fisik. lobus parietal terdapat sensori primer dari korteks,
berfungsi sebagai proses infut sensori, sensasi posisi, sensasi
raba, tekan dan perubahan suhu ringan. Lobus temporal mengandung
area auditorius, tempat tujuan sensari yang dating dari telinga dan
berfungsi sebagai infut perasa, pendengaran,pengecap, penciuman
serta proses memori. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi
aktivitas muscular,kontrol tonos otot , mempertahankan postur dan
keseimbangan. Batang otak berfungsi sebagai pengaturan reflex untuk
fungsi vital tubuh.
Gambar 2.3 bagian pada
otak(sumber:http://www.hil4ry.wordpress.com
diakses pada 2 Mei 2015)
11
2.1.3.1 Talamus
Talamus memproses rangsang dan meneruskan rangsang menuju kotek
serebral. juga bertanggung jawab akan kesadaran nyeri.
2.1.3.2 Epitalamus
Epitalamus berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan juga
mengatur reflek-reflek primitif yang menginformasikan untuk
mendapat makanan.
2.1.3.3 Hipotalamus
Berfungsi mengontrol tempratur, metabolisme air, mengontrol
lapar, mengatur aktivitas visceral dan ekpresi fisik dan emosi.
Hipotalamus juga mengatur sekresi kelenjar pituitary dan
bertanggung jawab terhadap bagian dari siklus kewaspadaan
tidur.
2.1.3.4 Serebellum
Fungsinya mengkoordinasikan keseimbangan pergerakan aktivitas
kelompok otot, juga mengontrol pergerakan halus.
2.1.3.5 Pons
Terletak antara otak tengah dengan medulla oblongata dimana
mengandung inti saraf cranial V (saraf tregiminal saraf ini
menerima sensasi nyeri, tempratur dan sentuhan dari muka nasal dan
rongga mulut. Saraf ini juga mengotrol otot mengunyah dan reflek
kornea) dan VII (saraf fasial mempengaarusi otot ekpresi muka. juga
tanggap terhadap ekpresi rasa (pengecap) pada 2/3 lidah bagian
anterior).
2.1.3.6Medulla oblongata
Medulla oblongata lanjutan dari medulla spinalis berhubungan
dengan pons dan serebellum dimana terdapa inti saraf cranial VIII (
saraf akustik mempunyai dua cabang yaitu cabang koklear responsive
untuk pendengaran dan cabang vestibuler untuk keseimbangan) dan XII
(saraf hipoglosal mengatur
12
pergerakan lidah yang di perlukan untuk berbicara dan
menelan.
2.2 Tinjauan teoritis2.2.1 Pengertian cidera KepalaMenurut
Tarwoto et al., (2013: 180),cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatic dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otakSedangkan menurut Wahyu Widagdo et al.,
(2008: 103), cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak
disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan tingkat
perubahan kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik,
fungsi tingkah laku dan emosional.
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstill dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak(Arif Muttaqin., 2008 : 270-271).
Head injury is a broad classification that includes injury to
the scalp, scull or brain. Traumatic brain injury is the most
serious from head injury.
Cedera kepala adalah sebagian besar kepala, tengkorak atau otak.
Luka berat pada otak adalah bentuk yang
paling serius dari cedera kepala.(Vikram Patel, 2010 :
182).13
A head injury is any trauma that leads to injury of the scalp,
skull, or brain. The injuries can range from a minor bump on the
skull to serious brain injury.)
Cedera kepala adalah setiap trauma yang mengarah ke cedera dari,
tengkorak otak kulit kepala, atau. Cedera dapat berkisar dari
benjolan kecil pada tengkorak dengan cedera otak serius. (Dewit
Kumagai, 2009 : 500-501).
Berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cedera
kepala adalah trauma yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, dan
otak sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Dapat
berupa trauma primer dan trauma skunder yang menimbulkan perubahan
fungsi normal otak (penurunan kesadaran), kecacatan permanen dan
bahaya kematian pada manusia.
2.2.2 Etiologi
Menurut Tarwoto et al., (2013: 180),Kecelakaan jatuh,kecelakaan
kendaraan bermotor, atau sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat
olah raga, cedera akibat kekerasan atau pukulan benda. Mekanisma
cedera kepala disebabkan karena adanya daya atau kekuatan yang
mendadak dikepala.ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma
kepala yaitu akselerasi, deselerasi, dan deformitas. Akselerasi
yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar batu. 14
Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang
diam,misalnya pada saat kepala terbentur.
Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang
terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, ketegangan
atau pemotongan pada jaringan otak.
2.2.2.1 Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut Tarwoto et al., (2013: 183) Penilaian derajat beratnya
cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat
kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga
aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi
berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai
(motor respons).
a. Cedera kepala ringan
bila GCS 13 15 dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
kurang dari 30 menit.Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada
fraktur cerebral, hematoma.
b. Cedera kepala sedang
bila GCS 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari
30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur
tengkorak
c. Cedera kepala berat
bila GCS 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam.Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakranial.
15
2.2.2.2 Klasifikasi berdasarkan kerusakan jaringan otak menurut
Tarwoto et al., (2013: 183):
a. Komosio serebri (gegar otak) adalah Gangguan fungsi
neurologic ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, tetrjadi
hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai
amnesia, mual, muntah, nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar) adalah Gangguan fungsi neurologic
disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontuinitas otak masi utuh,
hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c. laserasio serebri adalah Gangguan fungsi neurologic disertai
kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka masa
otak terkelupas keluar dari rongga intracranial.
2.2.2.3 Tipe cidera kepala menurut Wahyu Widagdo et al., (2008:
104). a.Fraktur Tengkorak (trauma kepala terbuka)
Fraktur kepala dapat melukai jaringan pembuluh darah dan
saraf-saraf dari otak, dan apa juga merobek durameter yang
mengakibatkan perembesan cairan sebrospinal, dimana dapat membuka
suatu jalan untuk terjadinya infeksi intracranial. Adapun
macam-macam dari fraktur tengkorak adalah:
1) Linear fraktur adalah retak biasa pada hubungan tulang dan
tidak berubah hubungan dari kedua fragmen. 2) Comminuted fraktur
adalah patah tulang dengan multiple fragmen dengan fraktue yang
multi linear 3) Defresed fraktur adalah frakmen tulang melekuk
kedalam.
4) Coumpoun fraktur adalah fraktur tengkorak yang meliputi
laserasi dari kulit kepala, membrane mokusa, sinus pranasal, mata,
telinga, membrane timpani. 5) Fraktur dasar tengkorak adalah
fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak, khususnya pada fossa
anterior dan tengah
16
b.Cedera Serebral (trauma kepala tertutup)
1) Komosio serebri Adalah suatu kerusakan sementara fungsi
neourologi yang disebabkan oleh benturan pada kepala. Biasanya
tidak merusak struktur tetapi menyebabkan hilangnya ingatan sebelum
dan sesudah cidera, lesu, mual, dan muntah. Biasanya dapat kembali
pada fungsi yang normal. Setelah komosio akan timbul sindroma
berupa sakit kepala, pusing, ketidak mampuan untuk konsentrasi
beberapa minggu setelah kejadian
2) Kontosio serebri adalah Benturan dapat menyebabkan perubahan
dari struktur dari permukaan otak yang mengakibatkan perdarahan dan
kematian jaringan dengan atau tanpa edema. Gejala tergantung pada
luasnya kerusakan.
3) Hematoma efidural Adalah perdarahan menuju keruang antar
tengkorak dan durameter. Gambaran klinik klasik yang terlihat
berupa: hilangnya kesadaran tingkat kesadaran dengan cepat menurun
sampai dengan koma jika tidak ditangani akan menyebabkan
kematiaan.
4) Hematoma sudural Adalah perdarahan arteri atau vena durameter
dan araknuid.Hematuma subdural dapat akut dapat timbul dalam waktu
48 jam,dengan gejala sakit kepala mengantuk, bingung dan dilatasi
dan fiksasi pupil ipsilateral.
5) Hematoma intracerebral Adalah perdarahan menuju kejaringan
serebral biasanya terjadi akibat cidera langsung dan sering di
dapat pada lobus frontal dan temporal. Gejala-gejala meliputi:sakit
kepala, menurunya kesadaran, pupil ipsilateral.
6) Hematoma subarachnoid adalah Hematoma yang terjadi akibat
trauma, meskipun pembentukan hematoma jarang.
17
Tanda gejala meliputi: kaku kuduk, sakit kepala, menurunya
tingkat kesadaran, hemiparesis, dan ipsilateral dilatasi pupil.
Gambar 2.4 cedera kepala
(http://www cedera+kepala&gbv=2&oq=img.htm diakses pada
12 Mey 2015)
18
2.2.3 Patofisiologi
Menurut Wahyu Widagdo et al., (2008: 103), Trauma kranioserebral
menyebabkan cidera pada kulit kepala, tengkorak dan jarngan otak.
Ini bisa sendiri atau secara bersama-sama. Beberapa keadaan yang
mempengaruhi luasnya cidera pada kepala yaitu: (a) lokasi dari
tempat benturan langsung, (b) kecepatan dan energi yang
dipindahkan, (c) daerah permukaan energi yang dipindahkan, (d)
keadaan kepala pada saat benturan. Bentuk cidera sangat bervariasi
dari luka pada kulit kepala yang kecil hingga kontusio dan fraktur
terbuka dengan kerusakan berat pada otak.
Menurut Tarwoto et al., (2013: 182), Adanya cedera kepala dapat
mengakibatkan ganguan atau kerusakan pada parenkim otak, kerusakan
pembuluh darah, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosine tripospat dalam mitokondria, serta perubahan
permiabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat
digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala otak primer dan
cedera kepala otak sekunder. cedera kepala otak primer merupakan
suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada
cedera kepala sekunder terjadi akibat cedar primer misalnya adanya
hipoksia iskemia, perdarahan. Kematian pada cedera kepala banyak
disebabkan karena hipotensi karena gangguan autoregulasi. Ketika
terjadi ganguaan autoregulasi akan menimbulkan hipoperfusi jaringan
serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak, karena otak
sangat sensitive terhadap oksigen dan glukosa. Otak dapat berfungsi
dengan baik apa bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang di hasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah dan oksigen ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi otak.
Mekanisme cedera kepala (Nurul liga, 2011 : 15).
19
Cedera Kepala
Cedera Otak (Primer)
4.gangguan pefusiKontusioLaserasio
sembuh
1.Tekanan intrakranialResponBiologiCederaOtak
(sekunder)Kerusakan sel otakStress lokalisSekresi asam lambung
edema HematomaHipoksemia3.gangguan pola
nafasGg.MetabolicO22.Gangguan perpusiJaringan serebralIreversibel
(cacat)Mual muntahMati5.Intake nutrisi tidak adekuat/volume cairan
kurang dari kebutuhan20
Kerusakan sekunder ini akan diperparah jika terdapat cedera lain
seperti obstruksi jalan nafas, cedera thoraks dan juga terjadinya
spasme arteri. Menjaga neuron yang belum rusak berat dapat pulih
kembali, mencegah komplikasi serta kematian merupakan fokus utama
perawatan
2.2.4 Tanda dan Gejala
2.2.4.1 Gejala trauma kepala menurut Wahyu Widagdo et al.,
(2008: 107)
a. Komosio serebri : muntah tanpa nausea, nyeri pada lokasi
cidera, mudah marah hilang energy, pusing dan mata
berkunang-kunang, ingatan sementara hilang.
b. Kontosio serebri :perubahan tinkat kesadaran, lemah dan
paralisis tungkai, kesulitan berbicara, leher kaku, sakit kepala,
demam diatas 37, perubahan pupil (tidak berespon terhadap cahaya,
kontriksi, hemiparesis.
c. Hematoma epidural : luka benturan, hilangnya kesadaran dalam
waktu singkat sampai beberapa jam, lemah, gangguan kesadaran leher
kaku menunjukan adanya hematom epidural, perasaan mengantuk,
pernafasan menurun dengan pola yang tidak teraturtekanan darah
meningkat, denyut nadi menurun dengan aritmia.
d. Hematoma subdural : berubah-ubah hilang kesadaran, sakit
kepala, otot wajah melemah, melemahnya tungkai pada salah satu sisi
tubuh, ganguan mental.
2.2.4.2 Manifestasi klinis dari trauma otak (Nurul liga, 2011 :
17).
a. Jika pasien sadar akan mengeluh sakit kepala berat
b. Muntah bersifat proyektif
c. Kesadaran makin menurun
d. Perubahan tipe pernafasan
e. Anisokor
21
f. Tekanan darah menurun, bradikardia
g. Suhu tubuh yang sulit di kendalikan
2.2.5 Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar,
terutama pada klien penderita cedera kepala berat. Skor GCS waktu
masuk RS memiliki nilai prognostik yang besar. Skor klien dengan
GCS 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85%, sedangkan pada klien
dengan GCS 12 kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca
konskusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan
kepribadian yang berkembang banyak pada klien setelah terjadi
cedera kepala (Arief Mansjoer. et al., 2000 : 8). 2.2.6
Komplikasi
2.2.6.1 Menurut Tarwoto et al., (2013: 186), komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien klien cedera kepala adalah:
a. Deficit neorologi fokal
b. Kejang
c. Pneumonia
d. Kerusakan kontrol repirasi
e. Inkontensia bladder dan bowel
f. Kebocoran cairan serebrospinal
2.2.6.1 Perdarahan intra cranial
a. Epidural
b. Subdural
22
c. Sub arachnoid
d. Intraventrikuler
e. Malformasi faskuler
f. Fistula cairan cerebrospinal
g. Parese saraf cranial
h. Meningitis atau abses otak
i. Sinrom pasca trauma Tindakan :
1) Infeksi
2) Perdarahan ulang
3) Edema cerebri
4) Pembengkakan otak
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.2.7.1 Pemeriksaan diagnostik menurut Arif muttaqin., (2008 :
133) : a. CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasiluasnya lesi, perdarahan,
determinan,sentrikuler, dan perubahan jaringan otak.
b. MRI
Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras
radioaktif.
c. Serebral Angiografi
Menunjukan anumali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan
sekunder menjadi edem,perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema),
adanya fragmen tulang.
23
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
h. CSS
Fungsi lumbal dapat digunakan jika diduga terjadi perdarahan
subarakniod
i. Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intra cranial.
j. screen toxicologyUntuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat
menyebabkan penurunan kesadaran.
k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pleural
L.Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes
diagnostik untuk menenrukan status respirasi, status respirasi
yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan asam basa.
2.2.8 Penatalaksanaan Medis
Arief Muttaqin.,(2008,hal. 284-285) mengemukakan bahwa
penatalaksanaan medispadaklien cedera kepala adalah saat awal
trauma
pada cederakepalaselain faktor mempertahankan fungsi ABC
(airway,
breathing,circulation)danmenilai
statusneurologis(disability,
exposure),makafaktoryang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangiiskemia serebriyang terjadi serta denganmemberikan
pemberian oksigen dan glukosa.
24
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. dan jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2
dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan
PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma
untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan
ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
2.2.8.1 Penatalaksanaan konservatif meliputi : a.Bedrest
total
b.Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
c.Pemberian obat-obatan :
1) Dexamethason/kalmenthason sebagai pengobatan an-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
3) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu
manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
d. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberi apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian di berikan makanan lunak.
e. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama, ringer dextrose 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah maka makanan diberikan melalui nasogatric tube (2500-3000
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
25
2.2.8.2 Penatalaksanaan menurut Tarwoto, et al., (2013: 186-188)
pada klien dengan cedera kepala adalah:
a. penatalaksanaan umum:
1) Monitor respirasi: Bebas jalankan nafas, monitor keadaan
ventilasi, periksa AGD, berikan oksigen jika perlu.
2) Monitor tekanan intra cranial(TIK).
3) Atasi syok bila ada.
4) Kontrol tanda vital.
5) Keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Operasi
Dilakukan untuk mengeluarakan darah pada intraserebral,
debridement
luka, kranioplasti, prosedur sunting pada hidrosepalus,
kraniotomi.
c. Pengobatan
1) Diuretik: untuk mengurangi edem serebral misalnya manitol
20%furosemid (lasik).
2) Anti kunvulsan : untuk menghentikan kejang misalnya dengan
dilantin, tegretol, valium.
3) Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edem misalnya
dengan dexsametason.
4) Antagonis histamine : mencegah terjadinya iritasi lambung
karena hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya dengan
cemitidin, ranitidine.
5) Antibiotik jika terjadi luka yang besar.
26
2.2.9 Tinjauan Teoritis Keperawatan Cedera Kepala2.2.9.1
PengkajianPengkajian klien dengan cedera kepala menurut Arief
Muttaqin (2008 : 126-132) meliputi :
a. Aktivitas atau Istirahat
Gejala : Klien mudah lelah, kelemahan , dan kehilangan
sensori/paralisis
Tanda:Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan, rendahnya
kadar hemoglobin atau syok, pucat, sianosis, adanya penurunan darah
portal akibat penggunaan PRC dalam jangka lama.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia
aritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (perubahan
status mental)
Tanda : Prilaku lambat dan sangat hati-hati, kesulitan dalam
pemahaman, mudah lupa, afasia dan mudah frustasi
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia urine atau mengalami gangguan fungsi.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan, penurunan nafsu makan.
Tanda:Peningkatan asam lambung , kesulitan menelan.
f. Neurosensori
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, kehilangan pendengaran,
perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, kehilangan
sensori seperti kesulitan dalam menginterprestasikan stimuli
visual.
Tanda : Perubahan kesadaran biasa sampai koma, perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
27
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori),
perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan,
hemiparese, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah tidak bisa istirahat, merintih.
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi.
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, laserasi pada
kulit, gangguan rentang gerak, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh
j. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang.
k. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Pengguna alkohol/obat lain.
2.2.9.2 Diagnosis Keperawatan, Perencanaan, dan Evaluasi
a. Diagnosa yang muncul Menurut Nanda., (2009-2011), Arief
Muttaqin., (2008 : 162-164) diagnosis keperawatan yang muncul pada
klien dengan cedera kepala dan intervesi. (Nurul liga, 2011 :
25-
33) adalah :
1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan trauma kepalaNanda., (2011, hal. 168)
28
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuscular Nanda., (2011, hal. 161)
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misalnya biologis,
zat kimia, fisik, psikologis)Nanda., (2011, hal. 401)
4) Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya jalaan nafas buatan pada trakea, peningkatan sekresi secret,
dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
kelelahanArief Muttaqin., (2008, hal. 286).
5) Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berhubungan dengan penggunaan alat bantu nafas (respirator) Arif
Muttaqin., (2008, hal. 287).
6) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme Arif Muttaqin, (2008, hal.
288)
7) Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematomaArif Muttaqin., (2008, hal. 285).
2.2.9.3 Intervensi Keperawatan
a. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan trauma kepala
Intervensi :
1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan
tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak
dan potensial peningkatan TIK
Rasional : Menentukan pilihan intervensi
2) Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan
dengan nilai standar.
29
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran
dan potensi peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
3) Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana
Rasional : Petunjuk untuk mengetahui kesadaran pasien yang
matanya tertutup sebagai akibat dari trauma atau pasien yang
afasia.
4) Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan
antara kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil di atur oleh saraf cranial okulomotor
(III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
baik.
5) Kolaborasi pembatasan pemberian cairan sesuai indikasi,
Berikan cairan melalui IV dengan alat control.
Rasional : Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan
edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan
darah (TD) dan TIK.
6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (diuretik, steroid,
antikonvulsan, analgetik)
Rasional : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk
menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid menurunkan inflamasi. Antikonvulsan adalah obat pilihan
untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kejang. Analgetik dapat di
indikasikan untuk menghilangkan nyeri
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuscular
Intervensi :
1) Pantau frekuensi, irama, kedalaaman pernafasan
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pulmonal.
30
2) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring
sesuai indikas
Rasional : Untuk memudahkan eksvansi paaru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh kebelakang yang menyumbat
jalan nafas
3) Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika
pasien sadar
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
4) Pantau penggunaan dari obat-obat depresan pernafasan, seperti
sedative.
Rasional : Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi
pernafasan.
5) Kolaborasi pemnberian tindakan nebulizer ultrasonic atau
oksigen sesuai program institusi
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada daerah arteri dan
tanda-tanda komplikasi yang berkembang.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misalnya biologis,
zat kimia, fisik, psikologis)
Intervensi :
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmaklogi dan non-invasif.
Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
2) Ajarkan relaksasi : Teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga
meningkatkan relaksasi massase.
Rasional : Akan melancarkan peredaan darah sehingga kebutuhan O2
oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
31
3) Berikan kesempatan waktu istirahat bila rasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur, belakangnya di
pasang bantal kecil.
Rasional : Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga
akan meningkatkan kenyamanan.
4) Observasi tingkat nyeri dan respons klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap
1-2 jam setelah tindakan keperawatan selama 1-2 hari Rasional :
Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif
untuk mencegah keemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi
yang tepat.
5) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik
Rasional : Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan
berkurang
d. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya jalaan nafas buatan pada trakea, peningkatan sekresi secret,
dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
kelelahan.
Intervensi :
1) Kaji dalam nafas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
secret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau
posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
2) Lakaukan penghisapan lendir jika diperlakukan, batasi durasi
pengisapan dengan 15 detik atau lebih
Rasional : Pengisapan lendir tidak selamanya di lakukan
terus-menerus, dan durasinya pun dapat di kurangi untuk mencegah
bahaya hipoksia.
3) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
32
Rasional : Mengatur pengeluaran secret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi resiko ateletaksis.
4) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional :Membantu mengencerkan secret, mempermudah pengeluaran
secret
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian ekspektoran, antibiotic,
fisioterapi dada dan konsul foto thoraks.
Rasional : Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan
mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
e. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berhubungan dengan penggunaan alat bantu nafas (respirator).
Intervensi :
1) Pertahankan secara ketat intake dan output Rasional : Untuk
mencegah dan mengidentifikasi secara dini terjadi kelebihan cairan.
2) Timbang berat badan setiap hari Rasional: Peningkatan berat
badan meruapakan indikasi berkembangnya atau bertambahnya edema
sebagai manifestasi dari kelebihan cairan. 3) Kaji dan observasi
suara nafas, vokal fremitus, hasil foto thoraks. Rasional : Adanya
ronkhi basah, vokal fremitus menandakan adanya edema paru-paru 4)
Hitunglah jumlah cairan yang masuk dan keluar. Rasional :
Memberikan informasi tentang keadaan cairan tubuh secara umum untuk
mempertahankannya tetap seimbang. 5) Kolaborasi pemberian cairan
melalui infuse jika di indikasikan Rasional : Mempertahankan volume
sirkulasi dan tekanan osmotik 33
f. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme.
Intervensi :
1) Evaluasi kemampuan makan klien
Rasional : Klien dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk
makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat menggunakan mag
slang atau memberi makanan parental. 2) Monitor keadaan otot yang
menurun dan kehilangan lemak subkutan.
Rasional : Menunjukkan indikasi kekurangan energi otot dan
mengurangi fungsi otot-otot pernafasan.
3) Berikan makanan kecil dan lunak
Rasional : Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya
maknan, dan mencegah gangguan pada lambung.
4) Kajilah fungsi system gastrointestinal yang meliputi suara
bising usus, catat terjadi perubahan pergerakan usus misalnya
diare, konstipasi.
Rasional : Fungsi system gastrointestinal sangat penting untuk
memasukkan makanan. Ventilator dapat menyebabkan kembung dan
perdarahan lambung.
5) Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari selama tidak terjadi
gangguan jantung
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi akibat penggunaan
ventilator selama tidak sadar dan mencegah terjadinya
konstipasi.
g. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma
Intervensi :
34
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab
koma/peenurunan perfusi jaringan daan kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.
Rasional: Deteksi dini untuk memperioritaskan intervensi,
mengkaji status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk menentukan
perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2) Monitor TTV tiap 4 jam
Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi di taandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan meruapakan
tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap
cahaya.
Rasional : Reaksi pupil dan pergerakan bola mata merupakan tanda
dari gangguan saraf jika batang otak terkoyak.
4) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan
dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi padaa
kepala. Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran
darah otak untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial
5) Kolaborasi pemberian obat osmosis diuretik, streoid,
analgesik dan antipiretik.
Rasional: Diuretik dapat di gunakan pada fase akut untuk
menurunkan air inflamasi. Antikonvulsan adalah obat pilihan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya kejang. Analgetik dapat di
indikasikan untuk menghilangkan nyeri.
2.2.9.4 Evaluasi
a. Kriteria Evaluasi :
1) Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi,
dan fungsi motorik/sensori
35
2) Mendemontrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK
b. Kriteria Evaluasi :
1) Menunjukkan pola nafas efektif
2) Status pernafasan : ventilasi tidak terganggu
3) Tidak ada penggunaan otot bantu
4) Tidak ada bunyi nafas tambahan
c. Kriteria Evaluasi :
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif
untuk mencapai kenyamanan.
2) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
mencegah nyeri
d. Kriteria Evaluasi :
1) Bunyi nafas terdengar bersih
2) Ronkhi tidak terdengar
3) Tracheal tube bebas sumbatan 4) Menunjukkan batuk yang
efektif
5) Tidak ada lagi secret di saluran pernafasan
e. Kriteria Evaluasi :
1) Klien menunjukkan tekanan darah, berat badan, nadi dalam
batas normal
2) Intanke dan output dalam batas normal f. Kriteria Evaluasi
:
1) Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh
2) Memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengaan hasil
pemeriksaan laboratorium.
g. Kriteria Evaluasi :
1) Klien tidak gelisah
36
2) Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual, muntah
3) GCS : 4, 5, 6
4) Tidak terjadi papil edema
5) TTV dalam batas normal