Top Banner
LAPORAN KEPANITERAAN PROBLEM BASED LEARNING ORAL MEDICINE ORTHOSTATIC HYPOTENSION Disusun Oleh: Yella Mega Sari 02/154459/KG/07498 Siti Hamizah Hassan 06/197467/KG/08081 Helmy Oktaviany Hamka07/257630/KG/08244 Geovanni Hanung M.A. 08/264544/KG/08250 Ninik Nursanti 08/264637/KG/08258 ANGKATAN XXXIX PEMBIMBING: drg. Goeno Subagyo, Sp. O. Path
39

PBL kel A revisi C

Dec 24, 2015

Download

Documents

Ninik Nursanti

kinda problem based learning that taught in faculty of dentistry, University of Gadjah Mada.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PBL kel A revisi C

LAPORAN KEPANITERAAN PROBLEM BASED LEARNING ORAL MEDICINE

ORTHOSTATIC HYPOTENSION

Disusun Oleh:

Yella Mega Sari 02/154459/KG/07498

Siti Hamizah Hassan 06/197467/KG/08081

Helmy Oktaviany Hamka 07/257630/KG/08244

Geovanni Hanung M.A. 08/264544/KG/08250

Ninik Nursanti 08/264637/KG/08258

ANGKATAN XXXIX

PEMBIMBING: drg. Goeno Subagyo, Sp. O. Path

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: PBL kel A revisi C

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kegawatdaruratan dapat terjadi di mana saja termasuk dalam praktek

kedokteran gigi. Di dalam merawat pasien, dokter gigi akan berhadapan dengan

pasien dengan populasi dan variasi status kesehatan pasien yang berbeda - beda,

oleh karena itu persiapan dalam menghadapi pasien - pasien dengan status

kesehatan medically compromised merupakan hal utama yang harus dilakukan.

Dokter gigi secara umum harus siap untuk menangani secara menyeluruh dan

efektif jika kegawatdaruratan ini terjadi. Anamnesa lengkap sebelum tindakan

harus dilakukan oleh setiap dokter gigi. Anamnesa tidak hanya mengenai gigi

yang menjadi keluhan utama, namun kesehatan umum dan riwayat perawatan gigi

terdahulu juga merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus.

(Field,2004).

Kegawatdaruratan dapat dibagi dalam dua kelompok besar: yaitu

kegawatdaruratan medis yang dapat terjadi dalam praktek dokter gigi sehubungan

dengan kondisi sistemik seorang pasien, dan kegawatdaruratan dental yang dapat

terjadi diluar praktek dokter gigi tetapi membutuhkan penanganan yang segera

dari dokter gigi. Kegawatdaruratan dental ini dapat dibagi dalam dua kelompok

yaitu yang berhubungan dengan suatu trauma, dan non-trauma (Frush, 2008).

Penelitian di Canada menunjukkan bahwa sincope merupakan kasus yang sering

didapatkan oleh dokter gigi (sekitar 50%) dan 8% adalah alergi ringan. Kasus-

kasus lain yang juga terjadi adalah angina pectoris/myocardial infarction, cardiac

arrest, postural hypotension, seizures, bronchospasm, serangan asma akut,

hiperventilasi, and diabetic emergencies (Haas, 2006).

Sinkop adalah suatu istilah umum yang menggambarkan hilangnya

kesadaran seseorang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat sementara. Ada beberapa

sinonim untuk sinkop yaitu: bening faint, simple faint, neurogenic sinkop,

psikogenik sinkop, vasovagal sinkop, dan vasodepressor sinkop. Menurut

Malamed, istilah vasodepressor sinkop adalah istilah yang paling deskriptif dan

1

Page 3: PBL kel A revisi C

akurat untuk menggambarkan kondisi yang terjadi. Vasodepressor sinkop adalah

kegawatdaruratan medic yang paling sering dijumpai di tempat praktek dokter

gigi, di mana penderita mengalami penurunan atau kehilangan kesadaran secara

tiba-tiba dan bersifat sementara akibat tidak adekuatnya cerebral blood flow

(Malamed, 2008). Sebagai penyebab umum kehilangan kesadaran adalah

hipotensi (Hales). Hal ini disebabkan karena terjadinya vasodilatasi dan brakikardi

secara mendadak sehingga menimbulkan hipotensi. Faktor-faktor yang dapat

memicu terjadinya vasodepressor sinkop dapat dibagi ke dalam dua kelompok,

yaitu: faktor-faktor psikogenik dan non-psikogenik. Yang termasuk faktor-faktor

psikogenik adalah: rasa takut, tegang, stress emosional, rasa nyeri hebat yang

terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga dan rasa ngeri melihat darah atau peralatan

kedokteran seperti jarum suntik. Faktor-faktor non-psikogenik meliputi: posisi

duduk tegak, rasa lapar, kondisi fisik yang jelek, dan lingkungan yang panas,

lembab dan padat (Malamed, 2007).

Orthostatic hypotension (hipotensi ortostakik’hipotensi postural) terdiri

dari dua kata yaitu orthostatic yang berarti postur tubuh saat berdiri dan

hypotension yang berarti tekanan darah rendah. Artinya, ini adalah keadaan di

mana terjadi penurunan darah yang tiba-tiba saat perubahan posisi dari duduk

menjadi berdiri. Tekanan darah pasien saat posisi biasa dapat normal atau juga

sedikit turun. Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah

sistolik sekurangnya 20mmHg atau tekanan darah diastolic sekurangnya 10mmHg

dalam waktu 3 menit berdiri. Biasanya tidak terjadi kompensasi normal yang

berupa peningkatan denyut nadi saat berdiri. Hipotensi ortostatik yang disebabkan

oleh gangguan neuron autonom praganglionik di dalam kolumna sel

intermediolateral dari korda spinalis sering terjadi dalam kaitannya dengan

perubahan degenerative dari ganglia basalis dan bagian lain dari sistem saraf

pusat. Hipotensi ortostatik terjadi bersamaan dengan berbagai gangguan

neurologik, termasuk penyakit Parkinson dan penyakit lain seperti diabetes

mellitus.

Pada jenis hipotensi ini, tekanan darah mungkin turun mendadak karena

perubahan posisi tubuh, biasanya saat sedang berdiri dari posisi duduk atau posisi

2

Page 4: PBL kel A revisi C

berbaring. Orang yang mengalami perasaan seperti mau pingsan, pusing dan

pandangan kabur setiap kali ia berdiri dari posisi duduk atau posisi berbaring,

mungkin mengalami hipotensi ortostatik. Biasanya tubuh mengkompensasi

penarikan darah ke arah bawah karena gaya gravitasi dengan cara meningkatkan

laju detak jantung untuk memastikan distribusi darah ke otak dalam jumlah cukup.

Pada hipotensi ortostatik, tekanan darah turun karena jantung tidak memompa

cukup darah sehingga terjadi kekurangan oksigen di otak, yang menyebabkan

timbulnya gejala rasa pusing bahkan pingsan. Orang lanjut usia biasanya

mengalami hipotensi ortostatik, khususnya mereka yang berusia diatas 60 tahun.

Namun, hipotensi ini juga dapat terjadi pada orang muda, tanpa bahaya tertentu

karena sirkulasi darah yang kurang lancer akibat terlalu lama duduk atau jongkok.

Dehidrasi, temperature panas, kehamilan, saat badan capek juga dapat

menyebabkan hipotensi ortostatik. Kadangkala obat-obat yang ditelan untuk

mengontrol hipertensi (tekanan darah tinggi) seperti beta blocker dan diuretic juga

dapat menjadi salah satu penyebab hipotensi. Hipotensi ortostatik

mempertahankan tekanan arteri selama keadaan berdiri tegak, tergantung pada

volume darah yang cukup, aliran balik vena yang tidak terganggu dan sistem saraf

simpatik yang tidak terganggu. Oleh karena itu, hipotensi ortostatik yang

bermakna sering menggambarkan deplesi volume cairan ekstraseluler atau

disfungsi refleks-refleks simpatik ini dengan hasilnya hipotensi ortostatik.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Hipotensi

a. Fisiologi dan patofisiologi

Respon normal hemodinamik pada perubahan postur, dibutuhkan

fungsi normal dari kardiovaskular dan system syaraf autonom. Hasil pada

penyatuan darah kira-kira 500-1000ml pada ektremitas bawah dan sirkulasi

“splanchnic”. Hal ini dimulai meningkatnya aliran simphatetik, yang diikuti

meningkatnya juga perlawanan pembuluh darah tepi, venous return, dan

output cardiac, dengan demikian membatasi penurunan tekanan darah.

Pengimbangan mekanisme ini mengakibatkan penurunan tekanan darah

3

Page 5: PBL kel A revisi C

sistole (5-10 mmHg) dan meningkatkan tekanan diastole (5-10 mmHg), dan

nadi meningkat 10-25 x/menit. Biasanya hipotensi ortostatik ini bisa

disebabkan jika volume intravascular inadekuat, tidak berfungsinya system

saraf autonom, penurunan pembuluh darah balik, atau ketidakmampuan untuk

meningkatkan pengeluaran cardiac untuk merespon perubahan posisi (Bennet

dan Rosenberg, 2002).

Hipotensi orthostatic dapat akut atau kronis, gejala pada pasien

biasanya pandangan kabur, lelah, pusing, pening, dan merasa lemah atau bisa

juga disertai sinkop. Yang lebih jarang, mereka merasakan nyeri bahu, dada

dan leher (Bennet dan Rosenberg, 2002).

b. Penanganan Utama

Penanganan utama hipotensi tergantung pada etiologinya. Namun

pada umumnya penatalaksanaannya terdiri dari menempatkan pasien dalam

posisi semisupine dengan posisi kaki terangkat dan pasien diberikan masker

oksigen. Sebagaimana kegawatdaruratan medis, maka airway, breathing,

circulation harus segera diperiksa. Perawatan selanjutnya tergantung pada

riwayat kesehatan pasien, obat yang diberikan selama perawatan gigi, dan yang

paling penting adalah tingkat kesadaran pasien. Apabila tindakan reposisi tidak

mampu menaikkan tekanan darah pasien sampai batas yang seharusnya, maka

perlu dipertimbangkan mengenai pemberian infus cairan fisiologis 500 ml

secara intravena. Jika jalur intravena dan suplai cairan tidak berhasil, maka

harus segera dilakukan pemeriksaan detak jantung dan pemberian terapi

selanjutnya (Bennet dan Rosenberg, 2002).

Apabila detak jantung kurang dari 60 kali per menit (bradikardi),maka

perlu dipertimbangkan pemberian atropin. Namun apabila detak jantung

normal atau meningkat, dan tekanan darah rendah, maka menaikkan detak

jantung tidak akan menaikkan tekanan sistolik. Untuk itu injeksi vasopressor

dibutuhkan untuk menaikkan PVR, volume stroke ataupun keduanya.

Ephedrine merupakan salah satu vasopressor yang bekerja langsung pada alfa

dan beta adrenergic reseptor, dan merupakan pilihan yang tepat dalam

4

Page 6: PBL kel A revisi C

mengatasi situasi gawat darurat hipotensi. Ephedrine akan menaikkan cardiac

output dan PVR dari 60 menjadi 90 menit,namun harus dipertimbangkan untuk

pasien dengan penyakit jantung iskemik (Bennet dan Rosenberg, 2002).

c. Vasovagal sinkop

Penyebab paling sering dari hipotensi dan berhubungan dengan

tidaksadarkan diri pada pasien sehat yang menjalani perawatan gigi adalah

sinkop vasovagal. Sinkop vasovagal biasanya diawali dengan stress fisik,

psikologis, ataupun oleh stimulus bedah. Sinkop vasovagal dibedakan menjadi

situasional dan viseral vasovagal yang dimediasi oleh refleks otonom dan

diinisiasi oleh respon valsava untuk menghasilkan stimulus stress. Fase

prodromal ditandai oleh mual, muntah, lemas, takikardi,

diaforesis,takipnea,kebingungan, penglihatan kabur, dan nyeri perut (Bennet

dan Rosenberg, 2002).

Patogenesis dari sinkop vasovagal yakni aktivasi vasodepressor eferen

dan refleks cardioinhibitory. Sinkop vasovagal biasanya dapat pulih apabila

dideteksi dini. Perawatannya terdiri dari menghilangkan stimulus,

menempatkan pasien di kursi gigi pada posisi tredelenburg, dan memastikan

tercukupinya ventilasi dan oksigenasi. Apabila kondisi kebingungan tidak

segera pulih, maka patut dicurigai adanya kondisi yang lebih serius seperti

kelainan serebrovaskular mayor, jantung, metabolik, ataupun kondisi darurat

terkait obat – obatan (Bennet dan Rosenberg, 2002).

2. Orthostatic hypotension

a. Neurogenic-mediated hypotension

Kegagalan sistem autonomik primer merupakan hal yang jarang

terjadi dan termasuk kegagalan autonomik murni, atrofi multisistem, dan

disautonomia subakut. Kegagalan autonomik murni penyebabnya tidak

diketahui dan tidak berkaitan dengan neuropati peripheral. Sindrom ini

biasanya dimulai pada umur pertengahan dan menyebabkan kehilangan neuron

simpatik postganglionic dan penurunan level plasma norepinefrin apabila

5

Page 7: PBL kel A revisi C

pasien yang terlibat berada dalam posisi supine (terlentang). Atrofi multisistem

(Shy-Drager sindrom) melibatkan beberapa penyakit yang tumpang tindih,

termasuk degenerasi striatonigral dan atrofi olivopontocerebral. Pasien-pasien

tersebut mengalami hipotensi ortostatik bersamaan dengan cirri-ciri penyakit

Parkinson, disfungsi cerebellar, atau tanda pyramidal (Malamed, 2007).

Kegagalan sistem autonomik sekunder lebih sering menjadi penyebab

hipotensi ortostatik neurogenik dan berkaitan dengan penyakit pada peripheral

dan central nervus sistem. Lesi dapat terjadi pada otak, batang otak, saraf

tulang belakang atau peripheral nervus sistem. Disfungsi autonomik lebih

sering terjadi pada kondisi yang mempengaruhi fiber kecil seperti diabetes,

alcohol neuropati, dan amyloidosis. Hal ini juga berpengaruh pada penyakit

yang menyebabkan demyelinasi akut pada fiber bermyelin yang kecil, seperti

sindrom Guillan-Barre atau multiple sklerosis. Pemeliharaan postural tekanan

darah bergantung pada refleks vasokonstriksi yang terstimulasi simpatetik di

dalam vascular splanchnic dan pembuluh darah periferal. Kehilangan

simpatetik efferen yang normal terhadap system vaskularisasi menyebabkan

hipotensi (Malamed, 2007).

Pasien dengan saraf tulang belakang yang rusak beresiko terhadap

episode hipotensif ortostatik. Respon tekanan darah terhadap perubahan posisi

menjadi abnormal disebabkan oleh interupsi pada jalan efferent dari pusat

vasomotor batang otak ke nervus simpatetik yang terlibat dalam vasokonstriksi

(Bennet dan Rosenberg, 2002)

b. Medication-induced hypotension

Pada perawatan dental, hipotensi dapat terjadi pada pasien yang sedang

dalam pengobatan, termasuk anti hipertensi dan psikotropika. Obat-obatan

tersebut dapat menyebabkan hipotensi orthostatic, dimana bisa diperparah

dengan perubahan posisi pada kursi dental saat dilakukan prosedur dental

(Malamed, 2007).

Meskipun hipotensi orthostatic karena obat-obatan dapat terjadi pada

berbagai umur, tapi yang paling sering terkena adalah pada lanjut usia. Umur

6

Page 8: PBL kel A revisi C

yang lanjut dan penyakit koroner berhubungan dengan rusaknya pengaturan

tekanan darah yang memungkinkan meningkatnya resiko lebih lanjut pada

hipotensi karena perubahan posisi (Malamed, 2007).

Obat-obatan yang berhubungan dengan hipotensi:

A. Obat vasodilatasi:

1. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors,

2. Calcium channel blockers

3. Nitroglycerine preparations

4. Antihypertensive

B. Obat yang mempengaruhi fungsi autonom

1. Sympatholitic antihypertensives

2. Neuroleptics, antipsychotics

3. Tryciclics, monoamine oxidase (MAO) inhibitors

4. Levodopa

5. Cholinergic agents

C. Obat system saraf pusat

1. Benzodiazepins

2. Barbiturates

3. Narcotics

Terapi vasodilatasi mungkin bisa memperburuk resiko pada pasien yang

rentan terkena hipotensi orthostatic. Dilaporkan, lebih dari 27% yang terkena

adalah pada pasien lanjut usia lebih dari 65 tahun (Bennet dan Rosenberg,

2002).

7

Page 9: PBL kel A revisi C

C. PERMASALAHAN

Pasien laki-laki lansia (70 th) datang untuk mendapatkan perawatan gigi

yaitu skaling dan penambalan gigi molar kanan atas. Riwayat medik menderita

hipertensi dan DM dengan pengobatan insulin, diuretika dan calcium channel

blocker. Penyakit diabetes dan hipertensi dinyatakan oleh dokter yang

merawatnya dalam kondisi terkontrol. Pada pemeriksaan fisik vital signs TD:

165/85mmHg; N:86, R:18, T: afebris. Perawatan dental dapat dilakukan tanpa

mengalami kesulitan atau komplikasi. Setelah pasien dinyatakan selesai

perawatannya; pada saat pasien bangkit dari kursi mendadak badannya lemas dan

merasa pusing lalu mau jatuh.

8

Page 10: PBL kel A revisi C

II.DISKUSI

A. Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan subjektif diperoleh dengan melakukan anamnesis, yaitu

dengan melakukan wawancara terhadap pasien. Pemeriksaan subjektif meliputi:

1. Identitas Pasien

Laki-laki lansia 70 tahun.

2. Present Ilness

Setelah selesai perawatan gigi, pada saat pasien bangkit dari kursi

mendadak badannya lemas dan merasa pusing lalu mau jatuh.

3. Past Medical History

Past medical history adalah riwayat penyakit sistemik yang pernah atau

sedang diderita oleh pasien yang mungkin berhubungan dengan chief complaint.

Pasien menderita hipertensi dan DM terkontrol dengan pengobatan insulin,

diuretika dan calcium channel blocker.

B. Pemeriksaan Objektif

Pemeriksaan objektif meliputi pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap

pasien untuk mendapatkan data-data klinis tentang keluhan yang disampaikan

pasien.Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan intraoral, dan

pemeriksaan ekstraoral.

Tanda vital

TD: 165/85mmHg

Nadi:86

Respirasi:18

T: afebris

Dari beberapa pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap pasien seperti

pemeriksaan subyektif, dan pemeriksaan obyektif didapatkan diagnosis banding

sebagai berikut:

9

Page 11: PBL kel A revisi C

C. DIAGNOSIS BANDING

1. Hemorragic shock

Hemorargi akut dan berat adalah hal yang jarang terjadi pada tindakan

prosedur dental rutin, tapi hal ini dapat dihubungkan dengan epistaxis, dan

trauma maxillofacial. Peredaran darah merespon banyaknya darah yang hilang

dengan vasokonstriksi dari sirkulasi cutaneous, visceral dan muscular untuk

menjaga aliran darah ke organ vital termasuk jantung, otak dan ginjal. Setelah

kehilangan darah 15-30%, denyut nadi menurun, setelah kehilangan darah

lebih dari 30%, hipotensi muncul.

2. Acute Congestive Heart Failue

Gagal jantung adalah digambarkan bahwa jantung tidak mampu memompa

darah untuk mencapai yang dibutuhkan untuk metabolisme, sehingga

menghasilkan aliran oksigen yang kurang. Pasien ini mempunyai tekanan

darah systole kurang dari 90mmHg.

3. Cardiogenic shock

Hal ini juga jarang terjadi pada emergency dental, diagnosis shock ini

susah ditegakkan, hal ini disebabkan banyak factor misalnya embolis

pulmonary, sepsis, hipovolemia, shock anafilaktik, dan kerusakan neurogenik.

4. Renal Failure and Dialysis

Hipotensi yang berhubungan dengan pasien gagal ginjal kronis dapat

ditemukan sebelum dan selepas dialisis. Episode hipotensi terjadi akibat

regulasi simpatetik yang diubah hasil dari perawatan dialisis dan kelemahan

untuk meregulasi fungsi nervus autonomik dan peripheral disebabkan oleh

kegagalan ginjal.

10

Page 12: PBL kel A revisi C

D. DIAGNOSIS AKHIR

Hasil diskusi dan eliminasi dari keempat diagnosis banding di atas

menyimpulkan bahwa diagnosis pada skenario ini adalah hipotensi orthostatik.

Hipotensi orthostatik adalah penurunan tekanan darah yang drastis dan secara tiba-

tiba yang berhubungan dengan posisi badan. (misalnya : terlentang ke berdiri tegak,

dan dari duduk ke berdiri). Keadaan ini ditandai dengan adanya penurunan tekanan

darah sistole sekitar 20mmHg dan tekanan diastole sekitar 10mmHg antara 3 menit

pada keadaan berdiri dibanding dengan tekanan darah dari posisi terlentang ke

berdiri.

Biasanya keadaan ini ditemukan pada pasien lansia yaitu umur lebih dari

65 tahun. Pemeliharaan homeostatik dari tekanan darah ini diatur terutama oleh

system syaraf autonom, sehingga dengan adanya keikutsertaan autunom menjadi

hipotensi. Orthostatic hipotensi bisa dibedakan menjadi neurogenik dan

nonneurogenik, neurogenik disebabkan dari gangguan autonom sistem primer atau

sekunder.

Central Nervous Peripheral nervous system

Tumor, stroke Diabetes mellitus

Multiple sclerosis Alkoholik

Gangguan autonom Guillain barre disease

Spinal cord trauma HIV infection

Sedangkan nonneurogenik disebabkan dari kerusakan cardiac,

berkurangnya volume intravaskular, dan karena efek samping obat. Pasien dengan

resiko ini juga dilaporkan kadang-kadang hypoperfusi, akibat dari penglihatan yang

menurun, penurunan pendengaran, dan perasaan pusing. Untuk meningkatkan

peredaran volume darah, dan mengurangi kemungkinan terjadinya hipotensi, pasien

menerima tambahan garam, dan terapi cairan. Disarankan juga untuk melatih

gerakan tidur dengan kepala yang agak tinggi, kemudian bangun pelan-pelan

dari posisi terlentang atau duduk.

11

Page 13: PBL kel A revisi C

a. Hubungan hipotensi ortostatik dengan geriatric

1. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular

Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun

fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai

dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan

darah yang teroksigenasi. 3 Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua

yang sehat tidak ada perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai

selama latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung di

bawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun

menjadi 140-160 x/menit.

Perubahan Struktur

Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan

terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan

merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi

kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.

Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot

jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan

amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan

pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi

perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.

Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular

akibat proses menua:

i. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen

dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah

ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunankekuatan kontraktil.

ii. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his

kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel.

Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.

iii. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena

peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial

12

Page 14: PBL kel A revisi C

arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan

penumpulan respon terhadap panas dan dingin.

iv. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena

menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna

sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan

penumpukan darah.

Perubahan Struktur

Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan

terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan

merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi

kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.

Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung,

yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan amiloid,

degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh

darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran

jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun. Berikut ini merupakan

perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat proses menua:

v. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen

dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah

ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunankekuatan kontraktil.

vi. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his

kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel.

Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.

vii. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena

peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial

arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan

penumpulan respon terhadap panas dan dingin.

viii. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena

menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna

sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan

penumpukan darah. (Miller dan Carrol, 1999)

13

Page 15: PBL kel A revisi C

2. Perubahan pada Sistem Endokrin

Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar gula

puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor

diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. 3 Frekuensi hipertiroid pada

lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah tersebut mempunyai gejala,

dan sebagian menunjukkan “apatheic thyrotoxicosis”. Berikut ini merupakan

perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat proses menua:

i. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa

darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.

ii. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini

adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.

iii. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini

adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.

iv. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun,

dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum

T3 dan T4 tetap stabil. (Setiabudhi dan Hardiwinoto, 1999)

3. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria

Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,

uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait

eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol

berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki

konsekuensi yang lebih jauh.

Perubahan pada Sistem Renal

Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta

nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-

7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75

ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran

vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempebgaruhi fungsi

14

Page 16: PBL kel A revisi C

pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal. Berikut ini merupakan

perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua:

i. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area

fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan

volume tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran darah renal.

Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara

fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan

kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau

kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia.

ii. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh,

penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan

untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan

tubuh dan risiko dehidrasi.

iii. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran

gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

Perubahan pada Sistem Urinaria

Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu

penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan volume

residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari,

dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah

peningkatan risiko inkotinensia. (Dilman dan Vladimir)

15

Page 17: PBL kel A revisi C

b. Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi & DM

Tekanan darah ditentukan oleh laju aliran darah dihasilkan oleh jantung

(cardiac output) dan resistensi dari pembuluh darah ke aliran darah. Resistensi

diproduksi terutama di arteriol dan dikenal sebagai resistensi pembuluh darah

sistemik. Ada beberapa mekanisme fisiologis yang memungkinkan tekanan darah

dipertahankan dalam kisaran normal seperti: (1) Sistem saraf otonom adalah

regulator yang paling cepat menanggapi tekanan darah dan menerima informasi

terus menerus dari baroreseptor yang terletak di sinus karotis dan arkus aorta.

Informasi ini disampaikan ke pusat vasomotor. Penurunan tekanan darah

menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatik sehingga kontraktilitas jantung

meningkat (reseptor β) dan vasokonstriksi arteri dan vena (α reseptor), (2)

Mekanisme pergeseran cairan kapiler mengacu pada pertukaran cairan yang

melintasi membran kapiler antara darah dan cairan interstitial. Gerakan cairan

dikendalikan oleh kapiler tekanan darah, tekanan cairan interstitial serta tekanan

osmotik koloid plasma. Tekanan darah yang rendah menyebabkan cairan bergerak

dari ruang interstitial ke dalam sirkulasi, membantu untuk mengembalikan volume

darah dan tekanan darah, (3) mekanisme hormonal dapat menurunkan dan

menaikkan tekanan darah dengan cara vasokonstriksi dan vasodilatasi (Lionakis

dkk., 2012).

Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi,

yaitu:

* Peningkatan kekakuan/penurunan elastisitas arteri

Peningkatan resistensi perifer total

* Dengan kemajuan zaman , obesitas , stres , kurangnya aktifitas fisik , pola diet

khusus dapat meningkatkan natrium dan penurunan asupan kalium

* Penurunan volume darah disebabkan oleh arteri yang besar dan kaku

menurunkan

tekanan darah diastolik.

* Penuaan merusak fungsi baroreseptor dan fungsi ginjal. Aktivitas baroreseptor

yang rusak beresiko menyebabkan hipotensi ortostatik.

(Gupta dan Kasliwal 2004)

16

Page 18: PBL kel A revisi C

Hipotensi ortostatik adalah neuropati kardiovaskular yang merupakan

manifestasi dari diabetes disebabkan oleh degenerasi aferen vasomotor simpatis.

Hipotensi ortostatik sering dianggap sebagai reaksi hipoglikemik. Dalam kondisi

normal, jantung berdetak dalam irama yang telah ditentukan. Umumnya, stimulasi

simpatis meningkatkan dan stimulasi parasimpatis mengurangi kontraktilitas

jantung . Jumlah denyut jantung per menit berkisar antara 20-30 denyut/menit dan

150-250 denyut/menit di bawah pengaruh maksimal vagal dan simpatik maksimal.

Karena keterlibatan saraf otonom jantung, denyut jantung meningkat pada pasien

diabetes. Degenerasi vagal menyebabkan perubahan pernafasan pada denyut

jantung dan menyebabkan takikardia (Kocer dkk , 2005).

Ketika individu normal berdiri dari posisi berbaring, refleks

baroregulatory menghasilkan penghambatan vagal dan stimulasi simpatis, yang

mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk

mempertahankan tekanan darah sistemik. Setiap penurunan lengkung refleks,

seperti lesi eferen dengan ketidakmampuan untuk meningkatkan denyut jantung

dan vasokonstriksi, dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Penuaan dan

beberapa perubahan patologis, seperti hipertensi dan penyakit kardiovaskular,

telah terbukti menjadi faktor risiko terjadinya hipotensi ortostatik. Cryer et al.

melaporkan bahwa 18 % dari 100 pasien diabetes memiliki hipotensi ortostatik

dengan penurunan tekanan darah rata-rata 20 mmHg atau lebih (Wu dkk., 2009).

Hipotensi ortostatik diabetes biasanya memiliki penyebab neurogenik

dikaitkan dengan keterlibatan eferen dari lengkung refleks baroregulatory dengan

rusaknya serat simpatis vasokonstriktor pada splanknikus, otot, dan kulit. Sebuah

studi menyatakan bahwa kurusakan patofisiologi hipotensi ortostatik diabetes

adalah kurangnya kemampuan untuk meningkatkan resistensi pembuluh darah

akibat gangguan fungsi saraf simpatik yang menginervasi pembuluh yang resisten.

Sebaliknya, respon cardiovagal berkurang dan perubahan denyut jantung setelah

berdiri memainkan peran signifikan dalam hipotensi ortostatik diabetes. Pada

neuropati otonom diabetes, gangguan parasimpatis dengan penurunan nada

cardiovagal biasanya muncul pertama dan kemudian mengurangi aktivitas

simpatis dengan gangguan vasokonstriksi dan denyut jantung tetap berkembang

17

Page 19: PBL kel A revisi C

kemudian. Pada penderita diabetes, aktivitas simpatis menurun dengan gangguan

vasokonstriksi di tahap akhir diabetes (Wu dkk., 2009)

Sebuah studi menunjukkan bahwa hipotensi ortostatik terjadi sebagai

akibat dari disfungsi vagal yang disebabkan oleh blokade parasimpatis dan

menyarankan bahwa penarikan vagal merupakan faktor dominan dalam

pemeliharaan homeostasis hemodinamik pada awal subyek sehat yang berdiri.

Oleh karena itu, respon cardiovagal terhadap berdiri masih merupakan faktor

penting untuk pemeliharaan homeostasis tekanan darah selama perubahan

ortostatik dari berbaring ke posisi berdiri (Wu dkk., 2009).

Studi menunjukkan bahwa kedua hipertensi dan diabetes merupakan

faktor risiko untuk hipotensi ortostatik, dan dengan demikian risiko hipotensi

ortostatik lebih besar pada subyek diabetes dengan hipertensi dibandingkan

dengan subyek non-diabetes dengan hipertensi (Wu dkk., 2009).

c. Hubungan hipotensi ortostatik dengan diuretika, calcium channel blocker

dan insulin.

Diuretik yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi dapat

mengurangi volume darah dengan mengeluarkan cairan dari tubuh. Diuretik yang

diberikan dalam dosis tinggi merupakan penyebab hipotensi ortostatik. Kondisi

yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik adalah pelebaran arteri dan vena.

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume plasma (dengan

menekan reabsorpsi tubular natrium, sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan

air) dan cardiac output, tapi selama terapi jangka panjang efek hemodinamik

utama adalah pengurangan resistensi pembuluh darah perifer. (Brewster dan

Sutters)

Calcium channel blocker adalah obat yang menghalangi masuknya

kalsium ke dalam sel otot jantung dan pembuluh darah . Masuknya kalsium sangat

penting untuk konduksi sinyal listrik yang dikirim dari sel otot ke sel otot jantung,

dan memberikan sinyal pada sel untuk berkontraksi. Hal ini juga diperlukan agar

sel-sel otot dapat berkontraksi dan memompa darah. Dalam arteri, masuknya

kalsium ke dalam sel otot menyebabkan sel berkontraksi dan memperlebar arteri.

18

Page 20: PBL kel A revisi C

Jadi, dengan menghalangi masuknya kalsium, calcium channel blockers

mengurangi konduksi listrik di dalam jantung, menurunkan kekuatan kontraksi

dari sel-sel otot, dan memperlebar arteri. Pelebaran pembuluh darah mengurangi

tekanan darah dan dengan demikian upaya jantung untuk memompa darah dapat

dikurangi. Dengan berkurangnya kekuatan kontraksi, oksigen yang dibutuhkan

oleh jantung juga berkurang. Pelebaran pembuluh darah menyediakan lebih

banyak darah membawa oksigen ke jantung. Selain itu, calcium channel blockers

memperlambat konduksi listrik melalui hati dan dengan demikian memperbaiki

detak jantung cepat yang abnormal. (Annette)

E. TREATMENT

i. Nonfarmakologis

Perawatan nonfarmakologis harus ditawarkan kepada

seluruh pasien. Apabila medikasi yang kemungkinan besar

memicu terjadinya hipotensi (khususnya anti hipertensif) tidak

dapat dihentikan pemakaiannya, pada umumnya pasien harus

diinstruksikan untuk mengkonsumsi obat-obatan tersebut

sebelum tidur. Pasien harus menghindari makanan tinggi

karbohidrat (untuk mencegah hipotensi setelah makan siang),

mengurangi konsumsi alcohol, dan memastikan meminum air

dengan jumlah cukup. Pasien harus dianjurkan untuk menyimpan

buku catatan gejaladanmenghindari factor pemicu. Pasien lansia

harus mengkonsumsi minimal 1,25hingga 2,5 L cairan setiap hari

untuk menyeimbangkan kehilangan urin yang akan terjadi

selama 24 jam. Air putih (1 gelas 480 mL air keran pada suatu

studi dan 2 gelas 250 mL air putih pada studi lainnya) diketahui

mampu meningkatkan standing systolic blood pressure hingga

lebih dari 20 mmHg selama 2 jam.

Sodium dapat diresepkan untuk suplemen, dengan cara

menambahkan garam pada makanan atau konsumsi tablet

19

Page 21: PBL kel A revisi C

garam 0,5-1 gram. Level sodium selama 24 jam pada pasien

dapat diukur selama dilakukan perawatan. Pasien dengan level

sodium kurang dari 170mmol per 24 jam harus diberi suplemen

sodium 1-2 gram 3 kali sehari dan dilakukan reevaluasi dalam 1

atau 2 minggu, dengan tujuan meningkatkan sodium urin hingga

nilai 150-200mEq. Pasien yang mengkonsumsi suplemen sodium

harus dikontrol apakah terjadi peningkatan berat badan dan

mengalami edema.

Pengikat yang diletakkan pada ekstremitas bawah atau

abdomen dapat membantu perawatan. Sebuah studi acak,

terkontrol, single blinded, menggunakan tilt-table menunjukkan

hasil yang efektif terhadap manajemen hipotensi ortostatik

dengan aplikasi perban kompresi pada bagian tubuh bawah.

Program olahraga yang terfokus pada peningkatan kondisi

fisik dan mengajarkan gerakan fisik untuk menghindari hipotensi

ortostatik telah dilaporkan sangat bermanfaat. Pasien harus

secara aktif berdiri dengan kaki menyilang, dengan atau tanpa

membungkuk kedepan. Posisi jongkok juga dapat digunakan

untuk mengurangi gejala hipotensi ortostatik. Gerakan lainnya

yaitu latihan isometric yang melibatkan lengan, kaki, dan otot

abdominal selama pergantian posisi atau posisi berdiri dalam

waktu lama. Mengangkat ujung kaki, kontraksi tinggi, dan

membungkuk juga direkomendasikan. (Lanier dkk., 2011)

ii. Farmakologis

Pada pasien yang tidak memberikan respon adekuat

terhadap terapi non-farmakologis untuk hipotensi ortostatik,

pemberian medikasi dapat diindikasikan.

20

Page 22: PBL kel A revisi C

Fludrokortison. Fludrokortison, yang merupakan mineral kortikoid

sintetis, dipertimbangkan sebagai terapi utama hipotensi

ortostatik. Dosis harus dititrasi dalam rentang terapeutik hingga

gejala berkurang, atau hingga pasien mengalami edema

peripheral atau kenaikan berat badan sebesar 4-8 lb (1,8-3,6 kg).

Efek samping obat ini termasuk sakit kepala, hipertensi pada

saat posisi telentang, dan gagal jantung kongestif. Hipokalemia

juga dapat terjadi, namun kondisi ini tergantung dosis yang

diberikan dan dapat timbul pada minggu pertama atau minggu

kedua perawatan. Sebuah penelitian menyatakan bahwa

hypokalemia timbul pada 24% partisipan yang mengkonsumsi

fludrokortison, dengan rerata onset 8 bulan.

Midodrine.Midodrine, sebuahagonis alfa-1-adrenergik selektif

peripheral, secara signifikan meningkatkan standing systolic

blood pressure dan mengurangi gejala pada pasien dengan

hipotensi ortostatik neurologis. Pasien dilarang mengkonsumsi

dosis terakhir setelah pukul 6 malam untuk menghindari

hipertensi pada saat telentang. Efek samping obat ini termasuk

piloerection, pruritus, dan parestesia. Penggunaan midodrine

kontraindikasi pada pasien dengan penyakit jantung coroner,

retensi urinary, thyrotoxicosis, atau gagal ginjal akut. The U.S

Food and Drug Administration telah menerbitkan rekomendasi

untuk menarik midodrine dari pasaran dikarenakan minimnya

data mengenai efektivitasnya. Persetujuan penggunaan

midodrine masih dibahas hingga saatini. Kegunaan obat ini harus

dibatasi untuk subspesialis. Obat ini dipercaya memiliki efek

sinergistik apabila dikombinasikan dengan fludrokortison.

Pyridostigmine (Mystinone). Pyridostigmine adalah inhibitor

kolinesterase yang meningkatkan neurotransmisi pada neuron

acetylcholine-mediated pada sistem saraf autonomik. Pada

21

Page 23: PBL kel A revisi C

penelitian double-blind crossover ,pasien dibagi kedalam grup

secara acak, yang menerima 60 mg pyridostigmine; 60 mg

pyridostigmine dengan 2,5 mg midodrine; 60 mg

pyridostigminedengan 5 mg midodrine; atau plasebo.

Dibandingkan dengan kelompok placebo, kelompok treatment

menunjukkan penurunan standing systolic blood pressure tanpa

adanya keparahan hipertensi supinasi. Efek samping termasuk

diare, diaphoresis, hipersalivasi, dan fasikulasi. (Lanier dkk.,

2011)

22

Laki-laki, 70 tahunSetelah selesai perawatan gigi, pada saat pasien bangkit dari kursi mendadak badannya lemas dan merasa pusing lalu mau jatuh.PMH: Hipertensi dan DM terkontrol dengan pengobatan insulin, diuretika dan calcium channel blocker.Vital Sign: TD: 165/85mmHg; N: 86, R: 18, T: afebris

Dari kondisi pasien, didapatkan kemungkinan yang bisa terjadi ke pasien

Hemorrraghic ShockHemorargi akut dan berat dihubungkan dengan epistaxis, dan trauma maxillofacial. Peredaran darah merespon banyaknya darah yang hilang, Setelah kehilangan darah 15-30%, denyut nadi menurun, setelah kehilangan darah lebih dari 30%,

Acute Congestive Heart FailureGagal jantung adalah digambarkan bahwa jantung tidak mampu memompa darah untuk mencapai yang dibutuhkan untuk metabolisme, sehingga menghasilkan aliran oksigen yang kurang. Pasien ini mempunyai tekanan

Cardiogenic ShockHal ini juga jarang terjadi pada emergency dental, diagnosis shock ini susah ditegakkan, hal ini disebabkan banyak faktor misalnya embolis pulmonary, sepsis, hipovolemia, shock anafilaktik, dan kerusakan neurogenik

Renal Failure and DialysisHipotensi yang berhubungan dengan pasien gagal ginjal kronis dapat ditemukan sebelum dan selepas dialisis.

Hipotensi OrtostatikHipotensi orthostatik adalah penurunan tekanan darah yang drastis dan secara tiba-tiba yang berhubungan dengan posisi badan.

Page 24: PBL kel A revisi C

III. KESIMPULAN

23

Hemorrraghic ShockHemorargi akut dan berat dihubungkan dengan epistaxis, dan trauma maxillofacial. Peredaran darah merespon banyaknya darah yang hilang, Setelah kehilangan darah 15-30%, denyut nadi menurun, setelah kehilangan darah lebih dari 30%,

Acute Congestive Heart FailureGagal jantung adalah digambarkan bahwa jantung tidak mampu memompa darah untuk mencapai yang dibutuhkan untuk metabolisme, sehingga menghasilkan aliran oksigen yang kurang. Pasien ini mempunyai tekanan

-Penuaan merusak fungsi baroreseptor dan fungsi ginjal. Aktivitas baroreseptor yang rusak beresiko menyebabkan hipotensi ortostatik.-Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin.

Diuretik yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi mengurangi volume darah dengan mengeluarkan cairan dari tubuh.Diuretik dalam dosis tinggi penyebab hipotensi ortostatik pelebaran arteri dan vena.Calcium Channel BlockersMemperlebar arteri pelebaran pembuluh darah mengurangi tekanan darah. Calcium channel blockers dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.

Diabetes dapat menyebabkan degenerasi aferen vasomotor simpatis sehingga terjadi hipotensi ortostatik.

Page 25: PBL kel A revisi C

Dari hasil diskusi kelompok dan hasil penjelasan di kasus mengenai tanda-

tanda dan gejala dapat ditarik kesimpulan diagnosis kerja pada kasus

tersebut, yaitu Hipotensi ortostatik.

Penanganan hipotensi ortostatik dapat dilakukan dengan cara non-

farmakologis dan farmakologis.

IV. DAFTAR PUSTAKA

24

Page 26: PBL kel A revisi C

Annette, Calcium Channel Blocker Drug Information, http://www.rxlist.com/script/main/art.asp?articlekey=94662

Bennet, J.D., Rosenberg, M.B., 2002, Medical Emergencies in Dentistry, Saunders, Philadelphia.

Brewster L.M., Sutters M., Hypertension Drug Therapy, http://www.health.am/hypertension/hypertension-drug-therapy/#ixzz2l4jj7br9

Dilman, Vladimir dkk., Theories of Aging, http://www.antiaging-systems.com/ARTICLE-613/theories-of-aging.htm.

Field, A., and Longman, L. Tyldesley’s oral medicine. 5thed. New York: Oxford university press. 2004. p. 231-8

Frush, K. Cinoman, M. Bailey, B. Hohenhaus, S. Management of Pediatric emergencies in dental office. Available at: http://dentalsource.org/pediatricdentalhealth.htm.

Gupta, R., Kasliwal, RR., 2004, Understanding Systolic Hypertension in the Elderly, JAPI, vol. 52.

Haas DA. 2006, Management of medical emergencies in the dental office: conditions in each country, the extent of treatment by the dentist. Anesth Prog. 2006 Spring;53(1):20-4.

Hales, RT., 2006, Patient evaluation and medical history. In: Manual of minor oral surgery for the general dentistry, Edited by: Koerner, KR. Iowa: Blackwell Munksgraad, p:14-8.

Kocer, A., Akturk, Z., Maden, E., Tasci, A., 2005, Orthostatic Hypotension and Heart Rate Variability as Indicators of Cardiac Autonomic Neuropathy in Diabetes Mellitus, Eur J Gen Med, 2(1):5-9.

Lanier, J.B., Mote, M.B., Clay, E.C., 2011, Evaluation and Management of Orthostatic Hypotension, Am Fam Physician, 84(5):527-536.

Lionakis, N., Mendrinos, D., Sanidas, E., Favatas, G., Georgopoulou, M., 2012, Hypertension in Elderly, World J. Cardiol, 4(5):135-147.

Malamed SF., Medical Emergencies in the Dental Office, 6th edition. 2007, Mosby Elsevier.

Miller, C.A., 1999, Nursing Care of Older Adults: Theory and Practice, Lippincott, Philadelphia.

Setiabudhi, T., dan Hardiwinoto, 1999, Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wu, J., Yang, Y., Lu, F., Wu, C., Wang, R., Chang, C., 2009, Population-Based Study on the Prevelence and Risk Factors of Orthostatic Hypotension in Subjects with Pre-Diabetes and Diabetes, Diabetes Care, 32(1):69-74.

25