Patogenesis penyakit ulkus peptik9,10Patogenesis penyakit ulkus
peptik adalah kompleks dan multifaktorial namun semakin dipahami
akhir-akhir ini. 9 Penyakit ulkus peptik timbul akibat meningkatnya
faktor agresif, berkurangnya faktor defensif, atau keduanya.10 Yang
termasuk faktor agresif antara lain sekresi asam klorida, pepsin,
alkohol, merokok, refluks empedu dari duodenum, iskemia, hipoksia,
dan infeksi Helicobacter Pylori. Faktor defensif meliputi produksi
mukus, sekresi bikarbonat mukus, aliran darah, faktor pertumbuhan,
pergantian sel, dan prostaglandin endogen. 10. Sekitar 85% kasus
penyakit ulkus peptik berhubungan dengan infeksi Helicobacter
Pylori, sementara sisa kasus lainnya berhubungan dengan penggunaan
NSAID.9Infeksi Helicobacter Pylori9,10Helicobacter Pylori adalah
bakteri yang mampu menginfeksi mukosa lambung secara persisten.
Bakteri ini sebenarnya agak rapuh, di mana organisme ini dapat mati
dengan paparan terhadap oksigen kadar tinggi atau suasana asam
dalam lambung. Untuk menghindari aktivitas bakterisidal asam
lambung, bakteri ini mengembangkan sejumlah mekanisme pertahanan
terhadap asam lambung di antaranya adalah produksi enzim urease
yang mampu memecah urea menjadi amonia dan bikarbonat. Amonia dan
bikarbonat yang terbentuk memberikan suasana lingkungan mikro yang
alkalin di antara bagian lambung lain yang asam. lebih dari 300 gen
pada Helicobacter Pylori diregulasi oleh asam lambung.9Helicobacter
Pylori berbentuk spiral dan memiliki flagella polar. Bakteri ini
berenang bebas dalam lapisan mukus dari mukosa lambung. Bakteri ini
bergerak mengikuti gradien pH yakni dari pH asam pada lumen menuju
pH yang lebih basa di permukaan epithelium. Sebagian kecil bakteri
tidak berenang bebas, namun melekat pada mukosa lambung terutama
pada daerah taut interseluler melalui molekul yang disebut adhesin.
Perlekatan adhesin memicu ekspresi gen-gen yang mengkode faktor
virulensi dari bakteri ini.10Terdapat sekurang-kurangnya 3
mekanisme injury lambung akibat Helicobacter Pylori yaitu :1.
Produksi zat toksik yang menimbulkan inflamasi lokal. Zat toksik
tersebut antara lain metabolit dari urease (mis.amonia),
sitotoksin, mucinase yang mendegradasi mukus dan glikoprotein,
fosfolipase yang merusak sel epitel dan sel mukus, dan platelet
activating factor yang menyebabkan trombosis mikrovaskular dan
cedera mukosa. Terdapat dua sitotoksin utama dari bakteri ini yang
telah diketahui yaitu Vacuolating Cytotoxin A (VacA) dan Cytotoxin
associated Gene A (CagA). VacA merupakan protein berberat molekul
88 kD yang menyebabkan terbentuknya lubang pada membran mukosa
lambung dan induksi apoptosis sel. Sedangkan CagA menimbulkan
perubahan bentuk dari sel mukosa sehingga jarak antara satu sel
epitel dengan epitel lain menjadi lebih renggang dan fungsi barrier
epitelial menjadi terganggu.102. Induksi respon imun mukosa lokal.
Helicobacter Pylori mampu menimbulkan reaksi imun lokal dengan
menarik neutrofil dan monocyte ke mukosa lambung yang kemudian
menghasilkan sitokin proinflamatorik dan metabolit oksigen
reaktif.103. Peningkatan kadar hormon gastrin yang merangsang
peningkatan produksi asam. Hal ini mungkin disebabkan oleh
berkurangnya sel-sel antral D oleh infeksi Helicobacter
Pylori.10Infeksi Helicobacter Pylori terjadi sejak masa anak-anak
dan setelah terinfeksi, kuman ini relatif bertahan seumur hidup
penderita karena sulit dieradikasi. Terdapat hubungan terbalik
antara infeksi Helicobacter Pylori dengan status sosioekonomik. Hal
ini dikaitkan dengan sanitasi yang buruk serta kepadatan penghuni
rumah pada status sosioekonomi rendah dan menjelaskan lebih
tingginya angka infeksi Helicobacter Pylori pada anak-anak negara
berkembang.9
Non steroidal anti inflammatory drugs (NSAID)9Rawat inap akibat
perdarahan ulkus peptik mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan penggunaan NSAID. Resiko perdarahan dan ulserasi
sebanding dengan dosisNSAID. Resiko ulserasi juga meningkat pada
usia lebih dari 60 tahun, konsumsi steroid, konsumsi alkohol,
konsumsi antikoagulan, merokok dan penyakit gaster yang telah ada
sebelumnya. 3 juta warga negara AS mengkonsumsi NSAID setiap
harinya, dan populasi ini memiliki 2-10x resiko lebih besar
mengalami ulserasi dibandingkan populasi normal.10NSAID menimbulkan
cedera mukosa lambung melalui penekanan produksi prostaglandin
lokal. Prostaglandin merupakan vasodilator lokal dari mukosa
lambung. Penurunan kadar prostaglandin mengurangi aliran darah
mikrovaskular dan menimbulkan iskemia serta hipoksia mukosa yang
kemudian menginduksi apoptosis sel mukosa.9
Sekresi asam9Pada orang normal, kadar sekresi asam maksimal
sekitar 20mEq/jam apabila dirangsang oleh histamin intravena
sementara penderita ulkus rata-rata memiliki sekresi asam 40
mEq/jam setelah injeksi histamin dengan dosis yang sama. Hal ini
menimbulkan hipotesis pentingnya sekresi asam dalam patogenesis
penyakit ulkus peptik. Namun sekresi asam bukanlah satu-satunya
faktor penyebab dan bukan faktor penyebab utama terjadinya ulkus
sebab sebagian penderita ulkus memiliki sekresi asam basal dalam
batas normal.9
Penyakit ulkus peptik berupa dua bentuk yaitu ulkus gaster dan
ulkus doudenum. Ulkus gaster dapat terjadi di mana saja di lambung,
namun yang paling sering di daerah kurvatura minor yang dekat
dengan insisura. Berdasarkan lokasinya ulkus peptik dapat dibagi
menjadi 5 tipe (tabel 1).1060% ulkus gaster dikategorikan sebagai
kategori I. Sebagian besar tidak berhubungan dengan sekresi asam
yang tinggi. Umumnya ulkus ini terletak 1.5 cm dari daerah transisi
mukosa fundus menjadi antrum serta tidak berhubungan dengan lesi
lain pada duodenum, pilorus, dan prepilorus. Beberapa ulkus dapat
terjadi di daerah kurvatura mayor, namun sangat jarang insidennya,
yakni kurang dari 5% dari semua ulkus.10
Tabel 1 : Klasifikasi ulkus gaster10Tipe Lokasi Level asam
IKurvatura minor dekat insisuraRendah
IICorpus gaster bersama ulkus duodenalTinggi
IIIPrepyloric Tinggi
IVKurvatura minor daerah tinggi dekat gastroesofageal
junctionNormal
VDi mana sajaNormal, NSAID induced
Salah satu dari komplikasi penyakit ulkus peptik adalah
perforasi gaster. Perforasi gaster selain disebabkan oleh ulkus
juga dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, benda asing, ingesti
bahan korosif, dan iatrogenik (tabel 2).11
Tabel 2 : Penyebab perforasi gastroduodenal11Non
traumatikTraumatik
Ulkus gasterIatrogenik
Ulkus duodenalBenda asing
Obstruksi Kekerasan
Iskemia
keganasan
Trauma gaster dan duodenum yang menimbulkan perforasi adalah
jarang, hanya mencakup 5.3% dari semua trauma tumpul viskus
berongga, namun disertai angka komplikasi 27%-28%. Perforasi karena
neoplasma dapat disebabkan oleh obstruksi dan peningkatan tekanan
luminal atau akibat hasil dari kemoterapi. Benda asing baik yang
ditelan dengan sengaja maupun tidak sengaja dapat menimbulkan
perforasi baik melalui cedera langsung maupun obstruksi luminal.
Cedera iatrogenik yang menyebabkan perforasi gastroduodenal terus
bertambah. peningkatan penggunaan esophagoduodenoskopi meningkatkan
perforasi akibat prosedur medik. perforasi gastroduodenal juga
terjadi pada prosedur abdomen lain seperti pemasangan filter vena
cava inferior, ERCP, dan stent bilier.11
Gejala klinik9Gejala yang paling sering dari ulkus gaster adalah
nyeri epigastrik yang terlokalisasi dengan baik, di mana nyeri ini
membaik dengan makanan. Nyeri bersifat hilang timbul dengan salah
satu pencetus timbulnya nyeri adalah stress emosional. Nyeri yang
bersifat lebih konstan menunjukkan penetrasi ulkus yang lebih
dalam. Umumnya gejala dapat ditoleransi dan pasien cenderung
membiarkan penyakit ini berlangsung bertahun-tahun. Sekelompok
pasien datang dengan kondisi ekstrem di mana terjadi perdarahan
atau perforasi dari ulkus peptik. Perforasi ulkus gaster ditandai
oleh rasa nyeri difus yang hebat dan mendadak pada seluruh abdomen
akibat iritasi chemical dari peritoneum yang memburuk dengan
regangan peritoneum (pergerakan, batuk, dsb). Kadang nyeri menjalar
ke scapula kanan akibat akumulasi isi lambung pada subphrenic
kanan. Perforasi umumnya disertai demam derajat rendah, bising usus
yang menurun sampai hilang, dan rigiditas dari dinding abdomen.
Pada perdarahan ulkus gaster, ditemukan adanya melena akibat darah
yang bercampur asam lambung, anemis, dan hemodinamik tidak stabil
bila perdarahan profus. Umumnya, semakin tua usia pasien, semakin
besar resiko perdarahan dan perforasi ulkus dan semakin berat
morbiditas dan mortalitasnya.10
Diagnosis10,11Anamnesa riwayat penyakit ulkus peptik memegang
peranan penting dalam diagnosis sebab temuan pemeriksaan fisik
tidak spesifik dan tidak banyak membantu. Riwayat nyeri yang
berulang pada epigastrik yang membaik dengan makanan khas untuk
suatu ulkus peptik. Pemeriksaan fisik mungkin hanya ditemukan
adanya nyeri tekan epigastrik. Hanya ada dua pemeriksaan yang mampu
mengkonfirmasi adanya ulkus yakni radiografi upper GI dengan
kontras atau endoskopi.10Radiografi upper GI dengan kontras relatif
murah jika dibandingkan dengan endoskopi dan memiliki sensitivitas
hampir 90% (gambar 1). Kerugian dari radiografi upper GI dengan
kontras ialah potensi reaksi alergi kontras dan adanya peluang
cukup besar untuk misinterpretasi ulkus ganas dinilai sebagai ulkus
jinak. Endoskopi fibreoptic merupakan tindakan modalitas diagnostik
paling akurat untuk ulkus peptik disertai keuntungan tambahan yakni
dapat dilakukannya biopsi lesi. Hal ini sangat membantu dalam
diferensiasi ulkus jinak dari ulkus ganas.10 Gambar 1 : Ulkus
gaster pada kurvatura minor (panah putih)10
Pemeriksaan tambahan lain berupa pemeriksaan darah lengkap,
fungsi liver, fungsi ginjal, serum elektrolit dan serum amilase.
Pemeriksaan adanya Helicobacter Pylori seharusnya dilakukan pada
semua pasien dengan kecurigaan ulkus peptik. Deteksi Helicobacter
Pylori terbaik adalah melalui biopsi. Namun, jika tidak tersedia
fasilitas biopsi atau dinilai terlalu invasif, deteksi Helicobacter
Pylori dengan ELISA maupun Urea Breath Test cukup sensitif dan
spesifik. ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 90%,
namun titer antibodi anti Helicobacter Pylori dapat terus tinggi
selama 1 tahun atau lebih sehingga tidak cocok digunakan untuk
monitor eradikasi Helicobacter Pylori. Urea Breath Test memiliki
sensitivitas dan spesifisitas 95% dan cocok digunakan untuk
dokumentasi eradikasi Helicobacter Pylori.10Diagnosis yang cepat
dari perforasi gastroduodenal memerlukan indeks kecurigaan yang
tinggi berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis. riwayat nyeri
abdomen intermiten dan reflux gastroesofageal sering ditemukan.
selain itu, penyakit ulkus peptik yang telah diketahui dan tidak
diterapi secara adekuat, atau dengan gejala, atau dengan kekambuhan
nyeri yang mendadak patut dicurigai adanya perforasi. riwayat
trauma atau instrumentasi diikuti dengan timbulnya nyeri perut dan
nyeri tekan seharusnya membuat klinisi waspada terhadap kemungkinan
injury. pasien dengan perforasi gastroduodenal biasanya datang
dengan nyeri perut dan iritasi peritoneal akibat kebocoran dari isi
lambung yang asam. namun, hasil pemeriksaan fisik kadang-kadang
tidak kuat untuk menegakkan diagnosis, peritonitis mungkin minimal
atau absen. Pada sisi lain, pasien dapat datang dengan perubahan
status mental yang semakin menganggu pemeriksaan fisik yang akurat.
pemeriksaan lab tidak berguna pada kondisi akut sebab mereka
cenderung tidak spesifik, namun leukositosis, asidosis metabolik,
dan peningkatan amilase serum mungkin berhubungan dengan
perforasi.11Udara bebas di bawah diafragma pada foto X-ray dada
tegak menandakan adanya perforasi organ berongga dan mengharuskan
evaluasi dan eksplorasi lebih lanjut. Jika ditemukan
pneumoperitoneum disertai riwayat dan pemeriksaan fisik yang
sesuai, maka temuan ini sudah cukup untuk melakukan eksplorasi.
Jika tidak ditemukan pneumoperitoneum, pemeriksaan CT scan dengan
oral kontras perlu dilakukan.11Temuan mencurigakan pada CT scan
antara lain cairan intraperitoneal yang tidak normal,
pneumoperitoneum, penebalan dinding usus, streaking dari lemak
mesentery, hematoma mesentery, dan ekstravasasi kontras. Penggunaan
CT scan telah sangat membantu deteksi perforasi. namun pada 12%
kasus perforasi traumatik, hasil CT scan adalah normal. Penambahan
kontras oral dan melakukan CT scan triple kontras dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas. Pada setting trauma,
diagnostic peritoneal lavage (DPL) pada dasarnya telah digantikan
oleh FAST, di mana FAST kurang spesifik untuk perforasi organ
berongga.11Di Saverio dkk menyarankan pengunaan methylene blue
intraoperatif melalui NG tube untuk lokalisasi yang akurat dari
perforasi mikroskopik11
Penanganan9,10,11,121. Penanganan ulkus peptik tanpa
komplikasi9,10Terapi medikamentosa merupakan standar untuk
penanganan ulkus peptik tanpa komplikasi. Obat anti ulkus dapat
dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu obat untuk memberantas
Helicobacter Pylori, obat yang mengurangi keasaman lambung baik
dengan mengurangi sekresi maupun menetralkan asam lambung, dan obat
yang memproteksi mukosa lambung.9Antasid merupakan obat ulkus
paling tua yang pernah ada. Antasid merupakan basa lemah yang
ketika berikatan dengan asam lambung membentuk garam. Antasid
bervariasi dari rasa, daya buffer, dan efek sampingnya. Antasid
magnesium memberi efek samping diare, sementara antasid alumunium
memberi efek samping konstipasi. Antasid paling efektif bekerja
pada 1 jam setelah makan. Pemberian sebelum makan hanya memberi
efek netralisasi asam yang singkat.10Antagonis reseptor H2
merupakan obat-obat yang memblok secara selektif reseptor histamin
2 di lambung. Cimetidin adalah antagonis dengan potensi terlemah
sedangkan famotidin merupakan antagonis dengan potensi tertinggi
dan half life yang panjang. Semua obat golongan ini dimetabolisme
oleh liver dan diekskresi ginjal. Angka kesembuhan ulkus dengan
antagonis H2 adalah 70-80% setelah 4 minggu dan 80-90% setelah 8
minggu.10Proton pump inhibitor (PPI) merupakan obat paling poten
untuk menekan sekresi asam lambung. Obat ini menghalangi semua
jalur untuk sekresi asam lambung. Angka kesembuhan ulkus dengan PPI
adalah 85% setelah 4 minggu dan 96% setelah 8 minggu.10Sukralfat
merupakan mukosa protektor yang mirip secara kimia dengan heparin
namun tidak memiliki efek antikoagulasi. Sukralfat merupakan
kompleks sukrosa sulfat dengan alumunium. Sukralfat berikatan
dengan protein pada dasar ulkus dan membentuk suatu lapisan
pelindung pada permukaan ulkus. Kombinasi sukralfat dengan obat
anti sekresi asam memberi hasil penyembuhan ulkus yang lebih baik
dibandingkan placebo.10Infeksi Helicobacter Pylori bersifat
persisten jika tidak diterapi secara aktif. Angka penyembuhan ulkus
secara spontan jika bakteri ini tidak dieradikasi adalah sangat
rendah, yakni kurang dari 0.5% per tahun. Saat ini terapi
Helicobacter Pylori menggunakan kombinasi antibiotik dengan PPI
yang disebut triple therapy. Omeprazol biasanya dikombinasi dengan
clarithromycin dan metronidazol atau amoxicillin. Triple therapy
ini diberikan selama 7-14 hari dengan angka resistensi antibiotik
yang rendah, efek samping minimal, dan kepatuhan pasien yang cukup.
Angka eradikasi Helicobacter Pylori mencapai 90% dengan terapi
ini.10Pembedahan untuk ulkus tanpa komplikasi saat ini sudah banyak
ditinggalkan dan frekuensinya terus menurun. Pada era sebelumnya,
dilakukan pembedahan untuk ulkus tanpa komplikasi dengan prosedur
trunkal vagotomi dengan drainase (gambar 2), trunkal vagotomi
dengan antrektomi (gambar 3), dan proksimal gastric vagotomi
(gambar 2).9
Gambar 2 : Trunkal vagotomi dan proximal gastric vagotomi. A)
Pada trunkal vagotomi, kedua trunkus nervus vagus dipotong pada
level hiatus diafragma. B) Pada proximal gastric vagotomi, serat
nervus vagus yang mensuplai fundus dipotong sedangkan serat yang
mensuplai antrum dan pilorus serta divisi hepatik dan celiac dari
N.vagus tetap intak.9 Gambar 3 : Trunkal vagotomi dapat dikombinasi
dengan antrektomi. Bagian distal gaster (area pink pada inset)
dipotong. Kemudian kontinuitas gastrointestinal dapat dikembalikan
dengan rekonstruksi Billroth I gastroduodenostomi (a) atau Billroth
II gastrojejunostomi (b).92.Penanganan ulkus dengan
komplikasi11a.Perforasi ulkus peptik11Operatif vs non operatifCroft
TJ dkk pada 1989 melakukan uji acak prospektif untuk membandingkan
hasil dari penanganan non operatif dengan operatif pada pasien
dengan diagnosis ulkus peptik perforasi. dari 83 pasien yang
diteliti selama periode 13 bulan, 40 di antaranya ditangani secara
konservatif yang terdiri atas resusitasi dengan cairan intravena,
pemasangan NGT, antibiotik, dan ranitidin. 11 dari pasien ini (28%)
tidak mengalami perbaikan klinis setelah 12 jam dan pada akhirnya
memerlukan operasi. 2 dari 11 pasien tersebut mengalami perforasi
karsinoma gaster, dan 1 mengalami perforasi karsinoma sigmoid.
mortalitas antara kedua grup adalah sama (2 kematian di tiap grup,
5%) dan tidak ada perbedaan signifikan pada angka morbiditas (40%
pada kelompok operatif dan 50% pada kelompok non operatif). mereka
menyimpulkan bahwa pasien perforasi ulkus peptik, periode awal
penanganan non operatif dengan observasi ketat dapat diperbolehkan
kecuali untuk pasien usia lebih dari 70 tahun, dan periode
observasi ini dapat meniadakan kebutuhan operasi emergency pada
lebih dari 70% pasien.11Songne B dkk pada 2004 melakukan uji
prospektif pada 82 pasien dengan diagnosis ulkus peptik perforasi.
Mereka pada awalnya diterapi dengan prosedur non operatiif (suction
nasogastrik, iv antagonis H2, iv proton pump inhibitor). perbaikan
klinis dengan terapi non operatif ditemukan pada 54% pasien. Angka
mortalitas sekitar 1%. dalam analisis univariat. Faktor prediktif
kegagalan terapi non operatif antara lain ukuran pneumoperitoneum
lebih dari ukuran vertebra lumbal I, detak jantung >94x/menit,
meteorismus abdomen, nyeri pada colok dubur, dan umur >59 tahun.
pada analisis multivariat, faktor prediktif antara lain ukuran
pneumoperitoneum, detak jantung, dan meteorismus abdomen.11Faktor
paling penting dari kemungkinan sukses terapi non operatif pada
ulkus peptik perforasi adalah apakah ulkus telah menutup. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan studi kontras gastrografin. Jika terdapat
kebocoran kontras dari ulkus maka pembedahan perlu dilakukan.
sebaliknya jika ulkus telah menutup dengan sendirinya oleh omentum
dan sebagainya, maka terapi non operatif dapat dilakukan jika
pasien tidak mengalami peritonitis dan sepsis berat. Drainase
perkutaneus dapat dilakukan kemudian.11
Bedah terbuka vs laparoskopi11Jumlah pasien yang memerlukan
pembedahan untuk perforasi ulkus peptik tetap relatif tidak
berubah. Mengurangi penundaan operasi sangat penting dalam
penanganan perforasi ulkus peptik. Menurut Danish Clinical register
of emergency surgery, dari studi kohort pada 2688 pasien,
didapatkan bahwa penundaan operasi tiap 1 jam berhubungan dengan
penurunan angka survival sebesar 2.4%.11Dengan adanya laparoskopi,
operasi emergency ulkus peptik perforasi telah mengalami perubahan.
laparoskopi mampu mengkonfirmasi diagnosis dan identifikasi posisi,
lokasi, dan ukuran ulkus. laparoskopi juga mampu menutup perforasi
dan melakukan toilet peritoneum adekuat tanpa memerlukan insisi
abdomen yang besar. Pada kasus perforasi yang besar dengan
kontaminasi hebat debris makanan yang tidak dapat dibersihkan
secara adekuat dengan laparoskopi, konversi mungkin diperlukan
untuk toilet peritoneal yang optimal. pada kasus demikian,
perforasi mungkin ekstensif dan operasi reseksional mungkin
diperlukan.11Bukti yang saat ini ada menunjukkan hasil antara
penanganan laparoskopi dengan bedah terbuka secara klinis tidak ada
perbedaan dan tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam hal
komplikasi septik abdominal, komplikasi pulmonal, dan koleksi
abdominal. Penelitian dengan kontrol secara acak akhir-akhir ini
menunjukkan operasi laparoskopi berhubungan dengan waktu operasi
yang lebih pendek, berkurangnya penggunaan drain abdominal post
operatif, berkurangnya kebutuhan analgesia, berkurangnya lama rawat
inap, lebih cepatnya kembali ke diet normal, dan berkurangnya
morbiditas. Penanganan secara laparoskopi memungkinkan pelepasan
yang lebih awal drain abdomen dan NG tube serta kembalinya diet
normal dan mobilisasi yang lebih cepat. Meskipun beberapa studi
menunjukkan laparoskopi membutuhkan waktu operasi yang lebih
panjang, namun studi terakhir menunjukkan dengan pengalaman, waktu
operasi untuk mengerjakan laparoskopi dapat sama dengan bedah
terbuka.11Studi sebelumnya menunjukkan angka kebocoran jahitan
sebesar 7% pada laparoskopi, namun studi terakhir menunjukkan
kebocoran jahitan laparoskopi dapat ditiadakan secara sempurna dan
dapat lebih baik dari bedah terbuka dengan angka kebocoran 2%.
Diseksi jaringan dan insisi abdomen yang lebih minimal mengurangi
jumlah analgesia opiat yang diperlukan pasien. Banyak pakar yang
menyimpulkan baik bedah terbuka maupun laparoskopi untuk ulkus
peptik perforasi adalah sama efektifnya.11Beberapa pakar menyatakan
laparoskopi lebih berbahaya pada kondisi peritonitis
berkepanjangan. Hal ini didukung oleh lebih seringnya ditemukan
pneumonia pada kelompok laparoskopi, walaupun durasi operasi kedua
kelompok adalah sama. Penelitian eksperimental pada hewan
menunjukkan peningkatan tekanan intra abdomen dengan
pneumoperitoneum karbon dioksida berhubungan dengan peningkatan
resiko bakteremia dan sepsis bila durasi peritonitis telah
melampaui 12 jam. Pneumonia mungkin disebabkan oleh peningkatan
translokasi bakteri dari rongga peritoneum ke aliran darah, namun
belum ada bukti yang mendukung konsep ini.11Beberapa pusat bedah
memilih untuk menggunakan bedah terbuka yang lebih familiar untuk
pasien-pasien resiko tinggi. Pasien-pasien dengan resiko rendah
menurut skor Boey (tabel 2) seharusnya dioperasi secara laparoskopi
yang berhubungan dengan berkurangnya nyeri pemulihan, kosmetik
lebih baik, adhesi dan hernia insisional minimal, dan potensi
diagnostik yang lebih baik.11
Tabel 2 : Skor Boey dan outcome11Skor resikoMortalitas
(OR)Morbiditas (OR)
18% (2.4)47% (2.9)
233% (3.5)75% (4.3)
338% (7.7)77% (4.90)
Faktor skor Boey penyakit medis penyerta yang berat syok
preoperatif durasi perforasi > 24 jamskor : 0-3 ( setiap faktor
memberi 1 poin bila positif).
Sanabria A dkk bekerjasama dengan Cochrane library menerbitkan
review pada 2010. Mereka memaparkan adanya kecenderungan
berkurangnya komplikasi intraabdomen septik, infeksi luka bedah,
ileus postoperatif, komplikasi pulmonal, dan mortalitas dengan
operasi laparoskopi dibandingkan bedah terbuka. namun tidak ada
satupun di antaranya yang signifikan secara statistik.11Guadagni
dkk menyarankan operasi laparoskopi untuk ulkus peptik perforasi
dapat dilakukan namun perlu disertai keterampilan laparoskopi
abdomen emergency yang cukup. Perforasi 1.5 cm atau lebih dan ulkus
duodenum posterior harus dipertimbangkan sebagai faktor resiko
utama untuk konversi.11
Primary repair vs tanpa jahitan11Repair laparoskopi tanpa
jahitan memiliki keuntungan dibandingkan repair laparoskopi dengan
jahitan karena jauh lebih mudah secara teknis. teknik ini dapat
dilakukan oleh orang dengan pengalaman bedah laparoskopi yang
terbatas. Meskipun rasionale dari penggunaan teknik tanpa jahitan
adalah untuk menyederhanakan prosedur dan mengurangi waktu operasi,
namun teknik ini tidak diterima secara luas karena angka kebocoran
yang tinggi dibandingkan repair jahitan (16 vs 6%). selain itu,
teknik tanpa jahitan memerlukan biaya tambahan seperti penggunaan
lem fibrin.11Siu dkk mengajukan teknik menutup ulkus dengan satu
jahitan disertai omental patch (Gambar 2) untuk perforasi kecil
(