Top Banner

of 123

patient safety

Oct 19, 2015

Download

Documents

penelitian patien safety
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • STRATEGI IMPLEMENTASI PENINGKATAN MUTU KLINIS

    BERBASIS BUDAYA ORGANISASI DI RS. KARITAS WEETEBULA

    Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan

    mencapai derajat Sarjana S-2

    Minat Utama Manajemen Rumahsakit Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

    Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan

    Diajukan oleh: Denny Hardianto

    10/310/031/PKU/12098

    Kepada PROGRAM PASCA SARJANA

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA 2011

  • ii

  • iii

    SURAT PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

    diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang

    pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

    diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

    disebutkan dalam daftar pustaka.

    Yogyakarta,September 2011

    Denny Hardianto

  • iv

    P R A K A T A

    Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah

    melimpahkan karuniaNya untuk menyelesaikan tulisan ini. Tesis ini disusun

    untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister di bidang

    Manajemen Rumahsakit pada Ilmu-ilmu Kesehatan, Program Studi Ilmu

    Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

    Penyusunan tesis ini berdasarkan pada penelitian strategi

    implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya organisasi yang

    dilakukan di Rumahsakit Karitas, Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT. Pada

    kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak

    terhingga kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan

    tesis ini:

    1. Prof. dr. Adi Utarini, MSc., MPH., PhD selaku pembimbing pertama dan

    juga Ketua Minat Utama Manajemen Rumah Sakit atas bimbingan dan

    pengarahan sejak awal hingga selesainya tesis ini.

    2. dr. Hanevi Djasri, MARS selaku pembimbing kedua yang telah

    membimbing dan memberi arahan sejak awal hingga selesainya tesis ini.

    3. Minat Utama Manajemen Rumah Sakit beserta seluruh staf, yang telah

    banyak memberikan bantuan dan perhatian selama masa perkuliahan.

    4. Ketua Yayasan Karitas Sumba yang telah memberikan beasiswa

    sekaligus kesempatan studi dalam program pasca sarjana UGM ini.

    5. Direktur RS. Karitas beserta seluruh karyawan, atas ijin penelitian dan

    kerja samanya selama proses penelitian.

    6. Rekan-rekan mahasiswa Program S2 MMR UGM Intensif 2010, yang ikut

    memberi dukungan, semangat dan kerjasama selama pendidikan

    7. Istriku tercinta drg. Greny Soewito yang telah memberi dukungan moril

    yang sangat berguna dan dalam proses studi sampai dengan selesainya

    tesis ini.

  • v

    8. Keluargaku yang selalu berdoa dan memberikan semangat demi

    kelancaran studi.

    Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus dan tak

    terhingga kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu

    yang dengan ikhlas telah memberikan dukungan, dorongan dan bantuan

    sejak awal pendidikan hingga selesainya penelitian ini. Akhirnya penulis

    mohon saran dalam penulisan tesis ini dan semoga tesis ini bermanfaat.

    Yogyakarta, 2011

    Penulis

  • vi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL i

    HALAMAN PENGESAHAN ii

    PRAKATA iii

    DAFTAR ISI v

    DAFTAR TABEL vii

    DAFTAR GAMBAR viii

    DAFTAR LAMPIRAN ix

    INTISARI x

    ABSTRACT xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah 1

    B. Perumusan Masalah 5

    C. Tujuan Penelitian 5

    D. Manfaat Penelitian 5

    E. Keaslian Penelitian 5

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Telaah Pustaka 12

    B. Kerangka Teori 47

    C. Kerangka Konsep 48

    D. Pertanyaan Penelitian 49

  • vii

    BAB III METODE PENELITIAN

    A. Rancangan Penelitian 50

    B. Lokasi Penelitian 51

    C. Subyek Penelitian 51

    D. Variabel dan Definisi Operasional Variabel 53

    E. Instrumen Penelitian 56

    F. Cara Pengumpulan Data 58

    G. Cara Analisa Data 59

    H. Etika Penelitian 63

    I. Jalannya Penelitian 63

    J. Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian 64

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil Penelitian 65

    B. Pembahasan 84

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan 108

    B. Saran 109

    DAFTAR PUSTAKA 110

    LAMPIRAN

  • viii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1 Penelitian-penelitian yang mirip dengan penelitian

    oleh peneliti

    9

    Tabel 2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian 53

    Tabel 3 Karakteristik responden berdasarkan kelompok

    jabatan di RS. Karitas

    65

    Tabel 4 Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja

    untuk tiap kelompok jabatan di RS. Karitas

    66

    Tabel 5 Rerata skor tipe budaya organisasi di RS. Karitas 67

    Tabel 6 Pencapaian skor implementasi TQM dengan model

    EFQM di RS. Karitas

    68

    Tabel 7 Penilaian implementasi mutu klinis di RS. Karitas

    berdasarkan ceklis clinical governance berdasarkan

    Swage (2000)

    69

    Tabel 8 Kategori dan kuotasi dalam aspek nilai pelanggan 72

    Tabel 9 Kategori dan kuotasi dalam aspek kinerja klinis dan

    evaluasi

    74

    Tabel 10 Kategori dan kuotasi dalam aspek manajemen risiko

    klinis

    76

    Tabel 11 Kategori dan kuotasi dalam aspek manajemen

    pengembangan profesi

    78

    Tabel 12 Kompilasi hasil penelitian kuantitatif dan kualitatif

    terhadap empat aspek implementasi peningkatan

    mutu klinis

    80

  • ix

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1 A conceptual framework for understanding

    organizational culture

    14

    Gambar 2 Empat fungsi dari budaya organisasi 17

    Gambar 3 Competing values framework (CVF) of organizational

    culture

    20

    Gambar 4 The value chain 22

    Gambar 5 Interaksi dari kegiatan bisnis di Velden Engineering 27

    Gambar 6 The element of clinical governance 32

    Gambar 7 Components of the clinical governance framework 35

    Gambar 8 Clinical governance is ACE 38

    Gambar 9 Kerangka teori 49

    Gambar 10 Kerangka konsep 50

    Gambar 11 Model participant selection yang dipakai dalam

    penelitian

    51

  • x

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Kuesioner Budaya Organisasi

    Lampiran 2 Kuesioner Implementasi Total Quality Management

    Lampiran 3 Formulir Ceklis Clinical Governance

    Lampiran 4 Daftar skor budaya organisasi seluruh responden

    Lampiran 5 Daftar skor budaya organisasi berdasarkan kelompok

    manajemen, SMF, dan paramedis

    Lampiran 6 Daftar skor penilaian implementasi TQM

    Lampiran 7 Kompilasi hasil budaya organisasi

    Lampiran 8 Kompilasi hasil implementasi TQM

    Lampiran 9 Panduan FGD dan Wawancara

  • xi

    INTISARI

    Latar belakang: Sejumlah kasus medical error masih sering dijumpai pada proses pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam laporan-laporan penelitian terkini. Berbagai aspek seperti budaya organisasi dan implementasi TQM dapat berpengaruh dalam pencapaian mutu pelayanan klinis yang dapat menurunkan error di rumah sakit. Dalam setiap upaya perubahan dan pembelajaran di organisasi diperlukan adanya strategi yang fit dengan lingkungan di organisasi tersebut. Maka strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya organisasi dan juga memperhitungkan mutu pelayanan merupakan tawaran strategi yang layak untuk digunakan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan budaya organisasi, menilai implementasi TQM, menilai mutu pelayanan klinis, dan menyusun strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya organisasi di RS. Karitas Weetebula. Metode: Mix method diaplikasikan dalam penelitian ini. Tahap petama penelitian kuantitatif untuk mendiskripsikan persepsi karyawan tentang budaya organisasi, TQM, dan mutu klinik. Dilanjutkan dengan penelitian kualitatif untuk menganalisa hasil penelitian kuantitatif tersebut dan mengidentifikasi beberapa strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu klinis rumah sakit. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 20 orang. Lokasi penelitian di sebuah rumah sakit swasta keagamaan dengan kapasitas 120 tempat tidur di pulau Sumba, NTT. Hasil dan pembahasan: Didapatkan budaya kelompok sebagai budaya dominan organisasi di RS. Karitas. Implementasi TQM yang dinilai dengan model EFQM masih berjalan lambat dan belum menyentuh seluruh area pelayanan rumah sakit. Proses implementasi mutu klinis juga belum berjalan baik, banyak diantara proses clinical governance yang masih dalam perencanaan. Dari potret budaya organisasi dan mutu pelayanan rumah sakit dapat diidentifikasi strategi-strategi yang dapat memperkuat aspek clinical governance yaitu pada nilai pelanggan, kinerja klinis, manajemen risiko klinis, dan manajemen pengembangan profesi. Kesimpulan dan saran: Strategi dengan pendekatan budaya organisasi layak digunakan sebagai alternatif untuk mempercepat peningkatan mutu klinis rumah sakit. Faktor-faktor kekuatan dalam budaya organisasi tersebut perlu ditingkatkan dan menjadi modal guna mengintegrasikan mutu organisasi Kata kunci: budaya organisasi, TQM, strategi, clinical governance, mutu klinis

  • xii

    ABSTRACT

    Background: A number of cases of medical errors are still common in the health care process in hospitals in recent research reports. Various aspects such as organizational culture and TQM implementation can be influence in the achievement of quality clinical services that can reduce errors in hospitals. In any attempt for organizational change and learning, strategies necessary to fit with the environment in the organization. Then the implementation strategy for clinical quality improvement based on organizational culture is offer a viable strategy to use. Objective: This study aims to describe the organizational culture, assess the implementation of TQM, assess the quality of clinical services, and develop implementation strategies for clinical quality improvement based on organizational culture in Karitas hospitals. Method: Mix method applied in this study. First stage quantitative research to describe employee perceptions about organizational culture, TQM, and quality of the clinic. Followed by qualitative research to analyze the results of quantitative research and identify some strategies that can be used to improve hospital clinical quality. The number of respondents in this study is 20 people. Research sites in a private religious hospital with a capacity of 120 beds on the island of Sumba, NTT. Result and discussion: Obtained group culture as the dominant organizational culture in Karitas hospitals. TQM implementation is assessed with the EFQM model is still slow and has not touched all areas of hospital services. The process of implementation of clinical quality is also not going well, many of the clinical governance processes are still in the planning. From portraits of organizational culture and quality of hospital services can be identified strategies that can strengthen the clinical governance aspects of the customer value, clinical performance, clinical risk management, and professional development management. Conclusion and recommendation: Strategies to approach organizational culture fit for use as an alternative to accelerate the improvement of clinical quality of hospitals. Factors in the strength of the organization's culture needs to be improved and a capital in order to integrate the organization's quality. Key words: organizational culture, TQM, strategy, clinical governance, clinical quality

  • BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Menjadi rumah sakit unggulan merupakan visi sebagian besar rumah

    sakit, baik rumah sakit publik maupun privat. Dalam memenangkan

    persaingan ini dituntut kerja keras dan komitmen yang kuat dari manajemen

    rumah sakit tersebut agar mutu dapat terintegrasi sempurna dalam tiap level

    kegiatan di rumah sakit. Untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan

    kesehatan, perlu memperhatikan empat rantai efek peningkatan mutu

    (Berwick, 2002) dalam Kuntjoro (2007), yaitu: pengalaman pasien dan

    masyarakat, sistem mikro pelayanan, sistem organisasi pelayanan

    kesehatan, dan lingkungan pelayanan kesehatan.

    Aspek mutu pelayanan klinis menjadi isu popular dalam beberapa

    dekade terakhir. Medical error sebagai outcome yang harus dicegah dan

    dihindari oleh para pelaku klinis, justru telah dilaporkan muncul dalam

    pelayanan kesehatan yang diberikan oleh organisasi kesehatan nasional dan

    internasional. Pada penelitian yang dilakukan oleh Weingart (2000) tercatat

    sebesar 44.000-98.000 kasus kematian dan lebih dari 1.000.000 kasus cidera

    per tahunnya di Amerika Serikat akibat medical error. Pengelolaan pelayanan

    klinis yang terpadu sebagai bentuk quality assurance dan accountability klinisi

    di Rumah Sakit disebut juga dengan istilah clinical governance.

    Suatu model mutu yang telah lama berkembang adalah Total Quality

    Management (TQM). Konsep ini menekankan pentingnya pelayanan yang

    berfokus pada kepuasan pelanggan (internal dan eksternal) dengan

    mengandalkan biaya yang serendah-rendahnya. TQM dapat pula menyentuh

    aspek pelayanan klinis sebagai core product bisnis rumah sakit pada

    umumnya. Ini berarti ada perbaikan mutu terus menerus (continuous quality

  • 2

    improvement) untuk meningkatkan mutu klinis rumah sakit. Dalam penelitian

    yang dilakukan Shortell et al (1998) ditemukan bahwa aplikasi dari continuous

    quality improvement (CQI)/ TQM dapat berpengaruh terhadap perbaikan

    mutu dan hasil pelayanan. Aplikasi CQI/ TQM ini terutama pada proses dan

    kondisi pelayanan klinis. Implikasinya adalah implementasi dari CQI/ TQM

    akan menunjang good clinical governance sehingga outcome berupa

    pelayanan prima (service excellent) dari organisasi dapat tercapai.

    Awal intervensi untuk menciptakan atau memperbaiki mutu (klinis)

    sebuah organisasi (rumah sakit) merupakan faktor penting untuk

    didiskusikan. Pada penelitian Zulkarnain (2010) ditemukan adanya hubungan

    yang bermakna antara budaya organisasi (klan) dan implementasi sistem

    manajemen mutu di rumah sakit. Senada dengan penelitian tersebut, Stock et

    al (2007) telah meneliti hubungan antara budaya organisasi, critical success

    factors (mitra kerja, diskusi terbuka, pendidikan dan latihan) dengan

    penurunan medical error. Hasilnya ada pengaruh antara budaya organisasi

    (dengan karakter tertentu) dengan penurunan medical error.

    Rumah sakit sebagai suatu organisasi tentu juga mempunyai

    kekhususan yang dapat mengakar sebagai budaya (Sujudi, 2011). Rumah

    sakit pemerintah ataupun swasta akan memiliki karakteristik budaya yang

    berbeda. Rumah sakit swasta keagamaan yang didirikan dengan landasan

    nilai dan norma yang mengacu pada agama akan sangat berpengaruh

    terhadap kepemimpinan dan manajemennya (misi sosial, fokus pelayanan).

    Adanya asumsi dasar berbuat sosial menjadikan rumah sakit swasta

    keagamaan memiliki keunikan tersendiri. Hal lain yang mudah terlihat adalah

    artefak berupa perilaku menolong/ berkarya sosial cukup menjadikan hal ini

    sebagai daya tarik rumah sakit tersebut. Pemahaman bersama akan nilai,

    perilaku, dan keyakinan akan berkembang menjadi budaya dalam proses dan

    waktu yang panjang.

  • 3

    Meletakkan budaya organisasi sebagai pendekatan untuk

    meningkatkan mutu rumah sakit menjadi salah satu kunci penting

    keberhasilan organisasi dan manajemen rumah sakit. Suatu budaya yang

    baik (benar) akan diperlukan untuk menciptakan kondisi yang diinginkan.

    Scally dan Donaldson (1998) menyatakan bahwa untuk menyukseskan

    implementasi clinical governance dalam organisasi perlu penempatan budaya

    (terbuka dan bertanggungjawab) dengan benar. Pengaruh budaya organisasi

    (artefak, nilai, dan asumsi dasar) yang khas dalam rumah sakit swasta

    keagamaan tidak boleh menjadi penghalang dalam menciptakan mutu

    pelayanan kesehatan yang terbaik. Contohnya nilai yang dipegang bersama

    bahwa RS harus memberikan pelayanan pada orang miskin. Hal ini kemudian

    tidak menjadikan mutu pelayanan pada orang miskin berbeda dengan

    pelayanan pada pasien dengan status sosial ekonomi lebih tinggi.

    RS. Karitas Weetebula sebagai rumah sakit swasta keagamaan yang

    mulai dirintis sejak tahun 1958 telah mengalami banyak pembelajaran dan

    pengembangan organisasi. Berangkat dari keinginan pendiri yaitu ingin

    menanggapi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, maka

    berdirilah suatu rumah sakit dengan badan hukum Yayasan Karitas yang

    lebih mengutamakan pelayanan bagi lapisan masyarakat yang miskin. Dalam

    perjalanannya, rumah sakit telah mengikuti berbagai regulasi kesehatan yang

    berlaku guna menciptakan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan

    memenuhi standar. Salah satu usahanya dengan mengikuti akreditasi untuk 5

    pelayanan, tetapi usaha ini mengalami kegagalan sebanyak 2 kali dalam satu

    dekade terakhir. Usaha lain yang belum berhasil adalah implementasi

    indikator kinerja klinis (termasuk evaluasinya), seperti: angka kejadian tidak

    diharapkan, angka infeksi luka operasi, dan infeksi nosokomial. Berbagai

    upaya ini masih belum mencapai target yang diharapkan atau dengan kata

    lain upaya peningkatan mutu pelayanan di RS. Karitas Weetebula belum

    berhasil dilaksanakan.

  • 4

    Konsep TQM masih belum dipahami seluruhnya, sehingga

    implementasinya belum terintegrasi penuh dalam aktivitas manajemen rumah

    sakit. Hasil evaluasi manajemen RS. Karitas terhadap pelayanan RS. Karitas

    menyebutkan bahwa keterbatasan SDM merupakan faktor penghambat

    rumah sakit dalam mencapai target atau tujuan yang diinginkan. Selain faktor

    SDM, peneliti menganggap bahwa budaya organisasi layak diperhitungkan

    sebagai faktor yang berpengaruh terhadap mutu pelayanan rumah sakit.

    Rose et al (2008) juga mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan

    akar dari perbaikan performance organisasi. Budaya organisasi

    (kepemimpinan dan sosialisasi) yang lemah di rumah sakit ini dianggap

    peneliti menjadi penghambat pengembangan organisasi. Hal ini tercermin

    dari kurangnya komitmen atau pemahaman bersama dari anggota organisasi

    tentang tujuan organisasi atau tujuan suatu program tertentu (akreditasi).

    Karyawan masih belum paham misi dan visi rumah sakit dan bagaimana

    seharusnya mewujudkan misi dan visi tersebut ke dalam pelayanan di sistem

    mikro rumah sakit.

    Budaya organisasi harus dianggap sebagai faktor pendorong untuk

    terciptanya TQM yang nantinya akan dapat melahirkan budaya mutu pada

    setiap karyawan di RS. Karitas Weetebula. Budaya mutu ini menjadi lebih

    penting ketika para klinisi dan manajemen rumah sakit berupaya untuk

    meningkatkan atau memelihara pelayanan klinisnya. Kebiasaan atau perilaku

    klinisi yang selalu mengedapankan kebutuhan pelanggan (pasien) dan

    budaya tidak saling menyalahkan (no blame culture) akan menjadi faktor

    kunci keberhasilan. Dalam setiap upaya perubahan dan pembelajaran di

    organisasi diperlukan adanya strategi yang fit dengan lingkungan di

    organisasi tersebut. Maka strategi implementasi peningkatan mutu klinis

    berbasis budaya organisasi dan juga memperhitungkan implementasi TQM

    merupakan strategi yang handal untuk mendukung tercapainya pelayanan

    yan berkualitas dan aman.

  • 5

    B. Perumusan Masalah

    Bagaimana strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya

    organisasi di RS. Karitas Weetebula?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Mendiskripsikan budaya organisasi di RS. Karitas Weetebula.

    2. Menilai implementasi TQM di RS. Karitas Weetebula.

    3. Menilai manajemen mutu klinis di RS. Karitas Weetebula.

    4. Menyusun strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis

    budaya organisasi di RS. Karitas Weetebula.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Memberikan informasi tentang analisis budaya organisasi yang

    berkembang di Rumah Sakit Swasta Keagamaan not for profit.

    2. Menjadi bahan evaluasi pihak manajemen RS. Karitas untuk

    meningkatkan budaya organisasi yang kuat dalam peningkatan mutu

    pelayanan.

    3. Menawarkan strategi implementasi peningkatan mutu klinis

    E. Keaslian Penelitian

    Penelitian Deo et al (2008) tentang quality performance and organizational

    culture a New Zealand study. Tujuannya untuk mengukur hubungan budaya

    organisasi dengan indikator mutu pada organisasi manufaktur. Lokasi

    penelitian di organisasi manufaktur di New Zealand. Rancangan

  • 6

    penelitiannya observasional dengan jumlah sampel 40 perusahaan

    manufaktur di New Zealand. Hasil utamanya budaya organisasi yang berbeda

    ditemukan di sejumlah perusahaan manufaktur. Budaya organisasi ini

    mempunyai korelasi dengan indikator mutu seperti: klaim garansi, persentase

    kerusakan, dan pengantaran tepat waktu.

    Penelitian Setiowati (2002) tentang analisis budaya organisasi dan

    pengembangannya di RSU PKU Muhammadiyah Surakarta. Tujuannya untuk

    mengetahui budaya organisasi dan pengembangannya di RSU PKU

    Muhammadiyah Surakarta. Lokasi penelitian di Surakarta, Indonesia.

    Rancangan penelitian kualitatif deskriptif. Hasil utamanya adalah budaya

    organisasi menurut karyawan, dokter, dan struktural mengarah ke budaya

    klan, sedangkan menurut perawat termasuk budaya hirarki.

    Penelitian Irani et al (2004) tentang total quality management and

    corporate culture: constructs of crganizational excellence. Tujuannya

    mendiskripsikan konsep budaya organisasi dan TQM dan menekankan

    hubungan antara budaya, kualitas, dan persaingan. Rancangan penelitian

    denagn menggunakan studi kasus dan lokasi penelitiannya di Velden

    Engineering Ltd. Hasil utama: Dalam menghadapi persaingan, perusahaan

    perlu melakukan perubahan budaya internalnya. Budaya mutu yang kuat

    merupakan elemen penting untuk meningkatkan daya saing organisasi.

    Konsep inti TQM yang fokus pada pelanggan berhubungan dengan rencana

    peningkatan mutu yang didukung oleh budaya organisasi yang kuat. Hal ini

    berpengaruh positif terhadap kinerja dan daya saing organisasi.

    Penelitian Stock et al (2007) tentang organizational culture, critical

    success factors, and the reduction of hospital errors. Tujuannya menyelidiki

    bagaimana budaya organisasi dan tekinik manajemen yang spesifik (dengan

    kerangka Critical Success Factors) yang mungkin berperan untuk

    mengurangi medical error. Rancangan penelitiannya observasional analitik.

  • 7

    Sampelnya adalah 930 dari 6000 RS di US yang terpilih dengan simple

    random. Hasil utama budaya organisasi berperan penting terhadap masalah

    hospital errors. Group culture yang menekankan pada pengembangan diri,

    komitmen pada sesama, partisipasi, merupakan faktor positif dalam

    mengurangi errors. Group culture juga menjadi budaya penting dalam tahap

    awal dari pengembangan program rumah sakit untuk mengurangi errors.

    Melaui pendekatan manajemen dengan menggunakan Critical Success

    Factors dapat mengurangi medical errors.

    Penelitian Qodriani (2007) tentang analisis budaya organisasi di RSI

    Cempaka Putih Jakarta. Tujuan: Mengetahui budaya organisasi dan

    menyusun rencana perubahan yang dapat diterapkan di RSI Cempaka Putih

    Jakarta. Rancangan penelitian observasional. Hasil utama: Budaya

    organisasi di RSI Cempaka Putih Jakarta termasuk budaya klan. Rencana

    perubahan yang dapat diterapkan adalah pengembangan sumber daya

    manusia.

    Penelitian Rose et al (2008) tentang organizational culture as a root of

    performance improvement. Tujuan: Menguji hubungan antara budaya dan

    kinerja di dalam perusahaan multinasional dari Amerika, Jepang, Eropa, dan

    Malaysia yang beroperasi di Malaysia. Lokasi penelitian di Malaysia dan

    menggunakan rancangan penelitian observasional analitik. Sampelnya

    sejumlah 133 perusahaan multinasional yang bergerak di bidang elektronik,

    teknologi informasi. Hasil utama: Perusahaan yang mengetahui bagaimana

    mengembangkan budayanya secara efektif kemungkinan besar memiliki

    keuntungan pada kemajuan produktifitas dan kualitas kerja diantara

    karyawannya. Karyawan harus menyerap budaya organisasi dengan

    maksimal dan top management perlu menyediakan pedoman yang tepat dan

    petunjuk untuk memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan.

    Penelitian Gregory et al (2009) tentang organizational culture and

    effectiveness: a study of values, attitudes, and organizational outcomes.

  • 8

    Tujuannya menguji hubungan antara sikap karyawan sebagai penengah yang

    berpotensi dalam budaya organisasi dengan efektifitas dan outcome

    organisasi. Rancangan penelitian observasional analitik. Sampelnya adalah

    top management dari 99 rumah sakit di US. Hasil utamanya ada hubungan

    antara group culture dan kepuasan karyawan menguatkan pendirian bahwa

    organisasi yang menghargai karyawannya mampu menyediakan pelayanan

    yang lebih baik. Group culture juga memiliki dampak yang signifikan terhadap

    efektifitas organisasi.

    Penelitian Zulkarnain (2010) tentang budaya organisasi dan

    implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.

    Tujuannya mengukur hubungan persepsi budaya organisasi dengan persepsi

    implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.

    Rancangan penelitiannya observasional (cross sectional survey). Hasil utama

    penelitian profil budaya organisasi yang paling dominan ditemukan di RSU

    Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah budaya klan. Persepsi mengenai

    implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.

    Ada hubungan bermakna antara jenis budaya klan dengan implementasi

    sistem manajemen mutu.

    Penelitian Greenfield et al (2011) tentang appliying and developing

    health service theory: an empirical study into clinical governance. Tujuan

    penelitian ini untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi clinical

    governance dengan menggunakan model Braithwaite dan Travaglia (2008).

    Sampel sebesar 118 responden terlibat dalam wawancara dan FGD yang

    dilakukan oleh peneliti. Hasil utamanya berupa faktor-faktor utama yang

    berpengaruh terhadap implementasi clinical governance teridentifikasi. Hasil

    yang lain berupa penilaian terhadap budaya organisasi (tidak adanya budaya

    no blame).

  • Tabel 1. Penelitian-penelitian yang mirip dengan penelitian oleh peneliti

    Penulis (tahun)

    Tujuan Lokasi Rancangan penelitian

    Hasil utama

    Setiowati (2002)

    Mengetahui budaya organisasi dan pengembangan-nya

    RSU PKU Muham-madiyah Surakarta

    Kualitatif deskriptif

    Budaya organisasi RS menurut karyawan, dokter, dan struktural mengarah ke budaya klan. Sedangkan menurut perawat termasuk hirarki.

    Irani et al (2004)

    Mendiskripsikan konsep budaya organisasi dan TQM serta menekankan hubungan antara budaya, kualitas, dan persaingan

    Velden Enginee-ring Ltd

    Studi kasus Dalam menghadapi persaingan, perusahaan perlu melakukan perubahan budaya internalnya. Budaya mutu yang kuat merupakan elemen penting untuk meningkatkan daya saing organisasi. Konsep inti TQM yang fokus pada pelanggan berhubungan dengan rencana peningkatan mutu yang didukung oleh budaya organisasi yang kuat. Hal ini berpengaruh positif terhadap kinerja dan daya saing organisasi.

    Stock et al (2007)

    Menyelidiki bagaimana budaya organisasi dan tekinik manajemen yang spesifik (dengan kerangka Critical Success Factors) yang mungkin berperan untuk mengurangi medical error.

    930 dari 6000 rumah sakit di Amerika Serikat

    Observasi-onal analitik

    Hasil utama budaya organisasi berperan penting terhadap masalah hospital errors. Group culture yang menekankan pada pengembangan diri, komitmen pada sesama, partisipasi, merupakan faktor positif dalam mengurangi errors. Group culture juga menjadi budaya penting dalam tahap awal dari pengembangan program rumah sakit untuk mengurangi errors.

  • 10

    Qodriani (2007)

    Mengetahui budaya organisasi dan menyusun rencana perubahan yang dapat diterapkan.

    RSI Cempaka Putih Jakarta

    Observasi-onal

    Budaya organisasi di RSI Cempaka Putih Jakarta termasuk budaya klan. Rencana perubahan yang dapat diterapkan adalah pengembangan sumber daya manusia.

    Deo et al (2008)

    Mengukur hubungan budaya organisasi dengan indikator mutu pada organisasi manufaktur

    40 perusaha-an manu-faktur di New Zealand

    Observasi-onal analitik

    Hasil utamanya budaya organisasi yang berbeda ditemukan di sejumlah perusahaan manufaktur. Budaya organisasi ini mempunyai korelasi dengan indikator mutu seperti: klaim garansi, persentase kerusakan, dan pengantaran tepat waktu.

    Rose et al (2008)

    Menguji hubungan antara budaya dan kinerja di dalam perusahaan multinasional dari Amerika, Jepang, Eropa, dan Malaysia yang beroperasi di Malaysia.

    Perusaha-an multi-nasional di Malaysia

    Observasi-onal analitik

    Perusahaan yang mengetahui bagaimana mengembangkan budayanya secara efektif kemungkinan besar memiliki keuntungan pada kemajuan produktifitas dan kualitas kerja diantara karyawannya. Karyawan harus menyerap budaya organisasi dengan maksimal dan top management perlu menyediakan pedoman yang tepat dan petunjuk untuk memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan.

    Gregory et al (2009)

    Menguji hubungan antara sikap karyawan sebagai penengah yang berpotensi dalam budaya organisasi

    99 rumah sakit di Amerika Serikat

    Observasi-onal analitik

    Hasil utamanya ada hubungan antara group culture dan kepuasan karyawan menguatkan pendirian bahwa organisasi yang menghargai karyawannya mampu menyediakan pelayanan yang lebih baik.

  • 11

    dengan efektifitas dan outcome organisasi

    Group culture juga memiliki dampak yang signifikan terhadap efektifitas organisasi.

    Zulkarnain (2010)

    Mengukur hubungan persepsi budaya organisasi dengan persepsi implementasi sistem manajemen mutu.

    RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat

    Cross sectional

    penelitian profil budaya organisasi yang paling dominan ditemukan di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah budaya klan. Persepsi mengenai implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ada hubungan bermakna antara jenis budaya klan dengan implementasi sistem manajemen mutu.

    Greenfield et al (2011)

    Menguji faktor-faktor yang mempengaruhi clinical governance dengan menggunakan model Braithwaite dan Travaglia (2008).

    Unit kesehatan di Australia

    Kualitatif Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap implementasi clinical governance teridentifikasi. Hasil yang lain berupa penilaian terhadap budaya organisasi (tidak adanya budaya no blame).

    Letak kebaruan (originalitas) penelitian ini terletak pada perumusan strategi implementasi peningkatan mutu

    klinis dengan memperhitungkan aspek budaya organisasi, implementasi TQM, dan implementasi mutu klinis.

    Rancangan penelitian menggunakan mixed methods dengan lokasi penelitian di sebuah rumah sakit swasta

    keagamaan.

  • 65

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Telaah Pustaka

    1. Budaya Organisasi

    1.1 Sejarah, Definisi, dan Konsep

    Budaya dan manusia merupakan suatu bentuk interaksi

    yang tidak terpisahkan, Shinobu Kitayama mengatakan What

    culture is to human is what water to fish. Dengan kalimat lain

    bahwa budaya dipengaruhi oleh lingkungan tempat manusia

    tersebut berada. Budaya lingkungan di benua Eropa berbeda

    dengan budaya lingkungan di benua Asia, demikian halnya dengan

    budaya di Jawa berbeda dengan budaya di NTT. Schein (2009)

    menyatakan bahwa budaya adalah pola dari asumsi tasit bersama

    yang dipelajari oleh kelompok sebagai jalan keluar masalah dari

    adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang dianggap benar,

    sehingga dapat mengajarkan pada anggota baru sebagai cara yang

    benar untuk merasakan, berpikir, dan meraba dalam relasi

    terhadap masalah tersebut.

    Dalam perkembangan ilmu budaya, pertama kali budaya

    organisasi dikenal di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah

    satu tokohnya: Edgar H. Schein seorang profesor manajemen dari

    Sloan School of Management, Massachusetts Institute of

    Technology. Sedangkan di Indonesia budaya organisasi dikenal

    pada tahun 1980-1990-an, saat banyak dibicarakan tentang konflik

    budaya dan bagaimana mempertahankan budaya Indonesia serta

    pembudayaan nilai-nilai baru. Banyak ahli yang menuliskan definisi

    tentang budaya organisasi. Menurut Robbins (1996) budaya

    organisasi adalah sebuah persepsi umum yang dipegang teguh

    oleh para anggota organisasi dan menjadi sebuah sistem yang

  • 66

    memiliki kebersamaan pengertian dan membedakan organisasi

    yang satu dengan yang lain.

    Gambar 1. A Conceptual Framework for Understanding

    Organizational Culture

    Sumber: Kreitner dan Kinicki (2007) diadaptasi dari Ostroff et al dalam Handbook

    of Psychology (2003)

    Budaya organisasi terbentuk oleh empat komponen kunci,

    yaitu: nilai-nilai dari pendiri, lingkungan industri dan bisnis, budaya

    nasional, dan visi dan perilaku dari para pemimpin senior. Pada

    budaya organisasi ada 3 tingkatan yang saling berinteraksi yaitu:

    artefak (hal/ benda) yang terlihat, nilai-nilai yang terkandung, dan

    asumsi dasar (Schein, 2009). Dalam perjalanannya budaya

    organisasi mempengaruhi tipe dari struktur organisasi, tempat dari

    praktek, kebijakan-kebijakan, implementasi prosedur yang

    diadaptasi oleh organisasi untuk mengejar tujuan organisasi

    tersebut. Kemudian karakteristik organisasi ini berpengaruh pada

    proses yang terjadi pada kelompok dan sosial, seperti: sosialisasi,

    menasehati, pengambilan keputusan, dinamika kelompok,

    komunikasi, pengaruh dan pemberdayaan, dan kepemimpinan.

    Terakhir, rangkaian ini mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan

    Antecedents

    * Founders values

    * Industry and

    business

    environment

    * National

    culture

    * Senior

    leaders vision and behavior

    Organizational

    culture

    * Observable

    artifacts

    * Espoused

    values

    * Basic

    asumption

    Organizational

    structure and

    practices

    * Reward

    system

    * Organizati-

    onal design

    Group and

    social processes

    * Socialization

    * Mentoring

    * Decision

    making

    * Group

    Dinamics

    * Communi-

    cation

    * Influence and

    empowerment

    * Leadership

    Collective

    attitudes and

    behavior

    * Work

    attitudes

    * Job

    satisfaction

    * Motivation

    Organizational

    outcomes

    * Effectiveness

    * Stress

  • 67

    serta berbagai jenis outcome organisasi (Kreitner dan Kinicki,

    2005).

    1.2 Karakteristk

    Luthans (1992) dalam Muchlas (2005) menuliskan bahwa

    budaya organisasi mempunyai beberapa karakteristik yang penting,

    diantaranya:

    1. Observed behavioral regularities (Keteraturan perilaku yang

    diamati): Anggota organisasi saling berinteraksi dengan

    menggunakan bahasa, terminologi, dan ritual yang umum

    berlaku dalam organisasi tersebut

    2. Norms (Norma): Terjadinya standar dari perilaku termasuk

    petunjuk-petunjuk tentang berapa banyak yang harus

    dikerjakan. Misalkan yang sering terjadi dalam organisasi:

    Jangan bekerja terlalu banyak, jangan bekerja terlalu sedikit.

    3. Dominants value (Nilai yang dominan): Terdapat nilai-nilai

    utama yang disarankan dan diharapkan oleh organisasi agar

    para anggotanya berbagi rasa dengan nilai-nilai tersebut.

    Contoh khususnya adalah: kualitas produk yang tinggi, angka

    absen yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.

    4. Philosophy (Filosofi): Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk

    menanamkan kepercayaan terhadap organisasi tentang

    bagaimana karyawan dan/ atau pelanggan harus diperlakukan.

    5. Rules (Peraturan): Adanya petunjuk yang keras berhubungan

    dengan penyesuaian diri dalam organisasi. Para pendatang

    baru harus belajar meniti tali supaya dapat diterima sebagai

    anggota penuh dalam kelompok.

    6. Organizational climate (Iklim organisasi): Merupakan perasaan

    umum yang dibawa oleh rancangan fisik organisasi, cara

    anggota berinteraksi, dan cara para anggota organisasi

    memperlakukan dirinya sendiri dengan para pelanggan dan

    orang di luar organisasi.

  • 68

    1.3 Fungsi

    Menurut Kreitner dan Kinicki (2007) terdapat 4 fungsi utama

    dari budaya organisasi, yaitu:

    1. Memberi identitas organisasi pada anggota. Contoh: organisasi

    adalah tempat yang menyenangkan untuk bekerja,

    memperhatikan kepuasan karyawan, mempunyai dana bencana

    atau kontribusi sukarela untuk karyawan yang memiliki

    kesulitan.

    2. Memfasilitasi komitmen bersama.Kehangatan, keramah-

    tamahan, kebanggaan pribadi, dan semangat organisasi harus

    dapat diberikan pada setiap karyawan yang bekerja dalam suatu

    organisasi.

    3. Meningkatkan stabilitas sistem sosial. Terpantul dari tingkat

    dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan menguatkan, dan

    tingkat dimana konflik dan kesempatan diatur dengan efektif.

    4. Membentuk perilaku dengan menolong anggota untuk memiliki

    perasaan terhadap sekelilingnya. Fungsi ini menolong karyawan

    untuk memahami apa yang dilakukan organisasi dan

    bagaimana organisasi menyempurnakan tujuan jangka

    panjangnya.

    Organizatinal

    identity

  • 69

    Gambar 2. Empat fungsi dari budaya organisasi

    Sumber: Kreitner dan Kinicki (2005) diadaptasi dari dengan Smirchich,

    Concepts of Culture and Organizational Analysis (1983

    1.4 Tipe-tipe

    Dalam beberapa dekade terakhir berkembang beberapa

    pengelompokkan tipe budaya organisasi. Menurut Cameron dan

    Quinn (1999) budaya organisasi dibedakan dari fokus internal dan

    eksternalnya dan usaha organisasi dalam hal fleksibilitas dan

    individualistik atau stabilitas dan kontrolnya. Sehingga dalam

    konteks ini terbagi menjadi 4 budaya organisasi, yaitu:

    1. Clan

    Suatu organisasi yang berpusat pada pemeliharaan faktor

    internal, seperti: fleksibilitas, perhatian pada karyawan, dan

    peka terhadap pelanggan.

    2. Hierarchy

    Suatu organisasi yang berpusat pada pemeliharaan faktor

    internal yang memerlukan stabilitas dan kontrol.

    3. Adhocracy

    Suatu organisasi yang berpusat pada faktor eksternal dengan

    tingginya derajat fleksibilitas dan individualistik.

    4. Market

    Suatu organisasi yang berpusat pada pemeliharaan faktor

    eksternal yang membutuhkan stabilitas dan kontrol. Seringkali

    budaya organisasi dilihat sebagai budaya yang kuat (strong culture)

    Social system

    stability

    Sense-making

    device

    Collective

    comitment Organizational

    culture

  • 70

    dan budaya yang lemah (weak culture). Organisasi dengan budaya

    yang kuat biasanya terbentuk dari kepemimpinan yang kuat pula.

    Hal ini juga didukung oleh kebersamaan dan intensitas dari

    anggota yang memiliki nilai dasar yang sama dan berkomitmen

    untuk menjalankan nilai-nilai dasar tersebut (Luthans, 1992) dalam

    Muchlas (2005). Sebaliknya organisasi dengan budaya yang lemah

    menunjukkan tingginya turn over karyawan, kurang pahamnya

    karyawan terhadap misi organisasi, rendahnya loyalitas karyawan

    dan komitmen organisasi (Robbins, 1996).

    Selain tipe budaya organisasi diatas, ada kerangka untuk

    budaya organisasi yang disebut Competing Values Framework

    (CVF). Model ini sering digunakan dalam penelitian manajemen

    mutu (Detert et al, 2000) dalam Stock et al (2007). Sementara itu

    Kalliath et al (1999); Gilfford et al (2002) dalam Stock et al (2007)

    percaya bahwa CVF menjadi model konsep yang cocok untuk

    digunakan sebagai pedoman untuk mengeksplorasi hubungan

    antara budaya organisasi dengan penurunan medical error.

    Karakteristik dari CVF adalah adanya 2 dimensi yang

    mencerminkan orientasi nilai yang berbeda (Stock et al, 2007).

    Dimensi yang pertama, diwakili sumbu fleksibilitas-kontrol

    (flexibility-control) yang menunjukkan tingkatan organisasi dalam

    menekankan perubahan atau satbilitas. Orientasi fleksibiltas

    mencerminkan fleksibilitas itu sendiri dan spontanitas, sedangkan

    orientasi kontrol mencerminkan stabilitas, kontrol dan perintah.

    Dimensi yang kedua, diwakili sumbu internal-eksternal (internal-

    eksternal). Dimensi ini menunjukkan pilihan organisasi antara fokus

    terhadap aktivitas yang terjadi di lingkungan internal atau

    lingkungan eksternal. Melalui dua dimensi ini, dapat digolongkan 4

    kelompok utama budaya organisasi, yaitu:

    1. Group culture

  • 71

    Berpegang pada model human relations, menekankan

    fleksibilitas, perubahan dan lebih lanjut ditentukan dari human

    relations yang kuat, afiliasi dan fokus terhadap faktor internal

    organisasi.

    2. Development culture

    Dihubungkan model open systems, juga menekankan pada

    fleksibilitas tapi pada faktor eksternal. Pada dasarnya fokus

    pada pertumbuhan, akuisisi sumber daya, kreatifitas ,dan

    proses adaptasi terhadap lingkungan eksternal.

    3. Rational culture

    Berhubungan dengan model rational goal, fokus pada faktor

    eksternal dan berorientasi pada kontrol. Menekankan pada

    produktifitas dan pencapaian dengan tujuan yang khas.

    4. Hierarchical culture

    Memusatkan pada faktor internal dan penekanan pada

    stabilitas.

    Flexibility GROUP

    CULTURE

    DEVELOPMENTAL

    CULTURE

    External Internal

    Human development

    Commitment

    Personal relations

    Security

    Formal rules

    Control and structure

    Goal accomplishment

    Results-oriented

    Aggressiveness

    Teamwork

    Loyalty

    Mentoring

    Uniqueness

    Risk-tasking

    Innovation

    Resource acquisition

    Product leadership

    Entrepreneurship

  • 72

    Gambar 3. Competing values framework (CVF) of organizational culture

    menurut (Stock, Mcfadden, & Gowen, 2007) diadaptasi dari Denison dan

    Spreitzer (1991) dan Cameron dan Quinn (1999).

    Pola budaya organisasi dapat juga dilihat dari prespektif

    performance (kinerja). Lambatnya pemimpin dalam mengambil

    keputusan dikarenakan sikap kehati-hatiannya, perilaku karyawan

    yang suka menolong, dan budaya untuk bersaing diantara

    karyawan dapat teramati dari kegiatan sehari-hari yang

    berlangsung dalam suatu organisasi. Berdasarkan tinggi-rendahnya

    kinerja organisasi, Cooke dan Rousseau (1988) membagi budaya

    organisasi menjadi 3 tipe, yaitu:

    1. Passive/ Defensive styles (atau people/ security culture):

    budaya berdasarkan ijin, kebiasaan, terikat, dan menghindar.

    Budaya ini biasanya mempunyai kinerja organisasi dan kinerja

    karyawan yang rendah.

    2. Aggresive/ defensive styles (atau task/ security culture): budaya

    berdasarkan oposisi, kekuasaan, kompetitif, dan kompetisi/

    perfeksionis. Budaya ini umumnya mendukung sesuatu yang

    dapat dipercaya daripada tingkat kinerja yang baik dan inovasi.

  • 73

    3. Constructive styles (atau satisfaction culture): budaya

    berdasarkan pencapaian, aktualisasi diri, suka menolong, dan

    bergabung. Budaya ini biasanya memiliki kinerja yang tinggi dan

    rendahnya tingkat stres dari anggota organisasinya.

    1.5 Budaya organisasi lembaga pelayanan kesehatan

    Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

    menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

    paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,

    dan gawat darurat (UU RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah

    Sakit pasal 1). Selama beberapa tahun terakhir ini, kita

    menyaksikan kondisi rumah sakit telah menjadi sebuah institusi

    yang padat teknologi, padat modal, dan padat karya (Sujudi, 2011).

    Perubahan lingkungan ini mendorong organisasi mempunyai sistem

    untuk mendeteksi perubahan tersebut, menganalisis situasi,

    menafsirkannya, dan menjadi rangsangan melakukan aksi sebagai

    jawaban atas perubahan yang terjadi (Trisnantoro, 2005).

    Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, organisasi budaya

    telah menjadi mitra dengan elemen dari kinerja organisasi yang

    mempengaruhi mutu, seperti asuhan keperawatan, kepuasan kerja

    dan keselamatan pasien (Boan dan Funderburk, 2003). Pada rantai

    nilai (value chain) di dalam organisasi pelayanan kesehatan dapat

    terlihat kedudukan budaya organisasi menjadi pendukung kegiatan

    inti pelayanan kesehatan.

    Pre-service: Point-of-service: After service:

    Market/ marketing- Clinical operations Follow-up

    research quality clinical marketing

    Target market Process inovation- Billing

    Pricing marketing Follow-on clinical-

    Service Promotion Patient satisfaction marketing

    Delivery Logistik

    ORGANIZATIONAL CULTURE

    Shared assumptions, Shared values, Behavioral norms

    Support

    Activity ORGANIZATIONAL STRUCTURE Function Division Matrix

  • 74

    Add Value

    Gambar 4. The Value Chain menurut Swayne et al (2006)

    diadaptasi dari Porter (1985)

    2. Total Quality Manajement (TQM)

    Salah satu pendekatan untuk meningkatkan mutu organisasi

    dengan mengaktualisasikan Total Quality Manajement (TQM). Istilah

    TQM identik dengan Continuous Quality Improvement (CQI), dan Total

    Quality Control (TQI). Ketiga istilah ini menurut Wijono (1999) disebut

    dengan Manajemen Mutu Paripurna. Manajemen mutu paripurna berarti

    suatu proses manajemen dengan pendekatan perilaku atau budaya

    organisasi yang berorientasi pada peningkatan mutu terus-menerus

    dan kepuasan pelanggan, dengan dukungan komitmen pimpinan,

    kebersamaan karyawan serta secara lintas fungsional, menyeluruh,

    terpadu dengan pendekatan sistem, dan didasari metode ilmiah dalam

    pemecahan masalah serta pengambilan keputusan.

    Sedangkan menurut Logothetis (1992) TQM adalah suatu

    budaya dimana dalam budaya itu ada komitmen total untuk kualitas dan

    suatu perilaku yang dinyatakan oleh setiap orang yang terlibat dalam

    proses perbaikan yang berkelanjutan terhadap produk dan pelayanan

    melalui penggunaan metode ilmiah yang inovatif. TQM juga diartikan

    sebagai suatu pendekatan manajemen yang mencakup dimensi sosial

    dan teknis yang bertujuan pada pencapaian hasil yang unggul melalui

  • 75

    kerangka kerja spesifik (Lluzar et al, 2008). Konsep TQM akan menjadi

    kekuatan pengendali untuk perubahan yang dapat dilakukan oleh

    organisasi-organisasi sekarang ini (Irani et al, 2004).

    Sebagai kesatuan usaha peningkatan mutu TQM memiliki

    pondasi atau akar penunjang. Pondasi ini dapat mengispirasi

    manajemen rumah sakit untuk mengintegrasikan mutu di rumah sakit.

    Menurut Wijono (1999) sitasi Schmidt dan Finnigan (1992) pondasi

    TQM adalah:

    1. Manajemen ilmiah: suatu cara terbaik untuk mengerjakan suatu

    pekerjaan.

    2. Dinamika kelompok: memperoleh dan mengorganisasikan kekuatan

    dari pengalaman kelompok.

    3. Pelatihan dan pengembangan: investasi modal sumber daya

    manusia.

    4. Pencapaian motivasi: orang memperoleh kepuasan dari

    prestasinya.

    5. Sistem sosioteknik: organisasi beroperasi sebagai sistem terbuka.

    6. Budaya organisasi: kepercayaan, mitos, dan nilai-nilai yang

    menuntun perilaku manusia dalam organisasi.

    7. Pengembangan organisasi: membantu organisasi dalam belajar

    dan perubahan.

    8. Teori kepemimpinan baru: inspirasi dan memberdayakan dalam

    kegiatan-kegiatan.

    9. Konsep rangkaian peniti (the linking pin concept) dari organisasi,

    konsep yang menekankan hubungan pertalian: menciptakan cross

    fuctional team.

    10. Rencana strategis: menetukan dimana menempatkan organisasi

    dan bagaimana mencapai tujuan.

    Istilah lain yang sering digunakan saat ini dalam meningkatkan

    mutu produk baik barang dan jasa adalah pelayanan prima (excellent

    service). Unsur-unsur pelayanan prima sesuai dengan keputusan

  • 76

    Menpan No. 81/1993 adalah: kesederhanaan, kejelasan dan kepastian,

    keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, dan

    ketepatan waktu. Pelayanan prima dapat dilakukan dengan pendekatan

    TQM atau CQI yang prinsip pokonya secara ringkas menurut Wijono

    (1999) adalah:

    1. Berorientasi dan berfokus pada mutu dan kepuasan pelanggan.

    2. Komitmen pimpinan dan partisipasi menyeluruh semua karyawan

    serta kerjasama tim.

    3. Pendekatan ilmiah, pendidikan dan latihan, dan menyelesaikan

    masalah serta mengambil keputusan.

    4. Peningkatan terus-menerus dengan siklus Deming (Siklus PDCA).

    5. Perbaikan sistem manajemen.

    TQM merupakan suatu pendekatan sistematis terhadap

    perencanaan dan manajemen aktifitas sebagai akibat dari revolusi mutu

    yang panjang. Di dalam konsep TQM terdapat berbagai komponen

    yang semuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan

    dengan biaya serendah mungkin (Lesley Munro dan Malcolm

    Munro,1999). Komponen TQM terdiri dari:

    1. Memahami pelanggan: eksternal dan internal

    2. Memahami bisnis: analisis fungsi dan biaya mutu

    3. Sistem manajemen mutu: BS5750, ISO 9000, AQAP, EFQM, BNQP

    4. Perbaikan mutu berkesinambungan: komitmen manajemen,

    keterlibatan karyawan, pendidikan, kerjasama, pengukuran,

    pencegahan kesalahan

    5. Kiat-kiat mutu: pengawasan proses dengan statistik, penyebaran

    fungsi mutu, benchmarking, pemecahan masalah

    2.1 Budaya organisasi dengan peningkatan mutu (quality improvement)

    Budaya organisasi yang mendukung seringkali disebutkan

    sebagai komponen kunci yang memprakarsai peningkatan mutu di

    berbagai industri, termasuk pelayanan kesehatan (Boan dan

  • 77

    Funderburk, 2003). Shortell et al (1995 dan 2000) mengatakan

    bahwa pemimpin mempunyai komitmen terhadap peningkatan

    mutu. Organisasi yang mendukung hubungan interpersonal dan

    membesarkan hati karyawan agar membuat eksperimen adalah

    karakteristik penting suatu organisasi yang berhubungan dengan

    upaya peningkatan mutu yang sukses (Edmondson, 1999;

    Edmondson, 2001; Sarin dan McDermott, 2003).

    Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, budaya organisasi

    berkaitan dengan kinerja organisasi yang berpengaruh pada mutu,

    seperti pelayanan perawat, kepuasan kerja, dan keselamatan

    pasien (Boan dan Funderburk, 2003). Lebih jelasnya Love et al

    (2001) sitasi dari Oakland (1993) dan Creech (1994) meringkas

    beberapa keistemewaan yang penting dari konsep TQM adalah:

    1. Kepuasan pelanggan

    2. Perbaikan berkelanjutan

    3. Kepemimpinan (komitmen total dari top management terhadap

    prinsip TQM)

    4. Menekankan pada kerja tim (penyelesaian masalah dengan

    komunikasi dan kerjasama yang baik dari berbagai divisi/

    disiplin ilmu)

    5. Pemberdayaan (sikap dan harapan tentang cara bekerja harus

    berubah dan sejalan dengan filosofi TQM)

    2.2 Hubungan budaya organisasi dan TQM

    Berbagai penelitian menunjukkan ada hubungan antara

    budaya organisasi dengan implementasi TQM. Sebagian penelitian

    menunjukkan dampak budaya organisasi pada TQM, sedangkan

    penelitian lain menunjukkan pengaruh TQM terhadap budaya

    organisasi dan perubahannya. Menurut Irani et al (2004)

    implementasi TQM memerlukan perubahan terhadap asumsi

    bersama, kerangka berpikir, dan pemahaman bahwa organisasi

  • 78

    dapat berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya.

    Perubahan ini akan berpengaruh pada kepercayaan dasar dan nilai

    dasar yang dipegang oleh karyawan dalam bekerja (Ngowi, 2000).

    Karena itu banyak organisasi yang sekarang berusaha untuk

    mengidentifikasi budaya organisasinya yang penting dalam

    mengimplementasikan program TQM (Maull et al, 2001) dalam Irani

    et al (2004).

    ......................................

    Learning Learning

    Intra-Organizational Inter-Organizational

    Learning Learning

    .................................

    Organizational Excellence

    Strategic

    Alliance

    Innovation

    Structure

    Strategy

    Technology

    Open Culture

    Total Quality Management

    Continuous

    Improvement

  • 79

    Gambar 5. Interaksi dari Kegiatan Bisnis di Velden

    Engineering (Irani et al, 2004)

    Suatu organisasi yang berkomitmen terhadap TQM akan

    memiliki budaya yang berdasarkan komitmen pada kepuasan

    pelanggan melalui continuous improvement (Irani et al , 2004).

    Sebagai contoh: komitmen karyawan untuk selalu mematuhi

    prosedur dalam bekerja di unit pelayanan. Usaha ini akan

    berdampak pada berkurangnya kesalahan sehingga pelanggan

    merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. TQM adalah

    suatu filosofi dimana organisasi dapat menggunakannya untuk

    meningkatkan performance, tapi ada penekanan berlebihan antara

    alat dan tekniknya. Hal ini menimbulkan prioritas untuk

    menciptakan suatu perubahan budaya yang diperlukan (Page dan

    Curry, 2000) dalam Irani et al (2004).

    Menurut Lakhe dan Mohanty (1994) dalam Irani et al (2004)

    ada beberapa ukuran penting untuk menghasilkan perubahan

    budaya, diantaranya:

    1. Kebijakan organisasi, prosedur, dan proses yang menekankan

    pada mutu.

    2. Setiap orang di dalam organisasi harus memiliki pemahaman

    yang jelas terhadap pentingnya kualitas dalam pencapaian

    tujuan bisnisnya.

    3. Karyawan pada semua level harus sadar terhadap keperluan

    dan kebutuhan pelanggan.

    4. Struktur dari organisasi dapat mengikuti continuous

    improvement.

    5. Persyaratan pelanggan baik internal dan eksternal harus

    terintegrasi dalam business plan.

    6. Menggunakan pengukuran kinerja yang berbasis pada

    pelanggan adalah penting.

  • 80

    7. Perlunya mengembangkan jaringan komunikasi yang kuat.

    8. Komitmen pada pelanggan perlu dikembangkan.

    9. Perhatian pada nilai dan kepercayaan yang berorientasi pada

    pelanggan harus didukung oleh top management.

    Di sisi yang lain, aktualisasi TQM dapat merubah budaya

    organisasi tersebut pada budaya yang lebih mengutamakan mutu

    atau disebut budaya mutu. Hal itu dapat dipengaruhi juga oleh

    strategi organisasi yang secara radikal akan menggiring untuk

    perubahan budaya dalam jangka waktu yang panjang. Pada

    dasarnya mengadopsi TQM akan mensyaratkan organisasi untuk

    mengimplementasikan perubahan seluruhnya (Oakland dan Shoal,

    1996) dalam Ngowi (2000).

    Menurut Love et al (2001) sitasi dari Lewin (1958) perubahan

    organisasi dapat terjadi pada:

    1. Merubah individu yang bekerja di dalam organisasi, contoh:

    ketrampilan, nilai, sikap, dan perilaku (individual strategy)

    2. Merubah sistem dan struktur organisasi (system and structure

    strategy)

    3. Secara langsung merubah budaya organisasi atau gaya

    interpersonal (cultural strategy)

    Memang tidak ada satupun pendekatan terbaik yang dapat

    digunakan dalam mengimplementasikan filosofi TQM, sehingga

    suatu pendekatan unik dibutuhkan dan budaya organisasi itu

    sendiri harus dikembangkan (Sohal dan Terziovski, 2000) dalam

    Irani et al (2004).

    2.3 TQM dan EFQM (European Foundation for Quality Management)

    EFQM pertama kali didirikan tahun 1988 sebagai upaya

    fokus terhadap mutu organisasi-organisasi di Eropa. Tahun 1991

    EFQM meluncurkan suatu model dari business excellence (bisnis

  • 81

    unggul). Tapi kata business ini dalam perjalanan waktu dilepas

    dari judulnya karena model ini diterima di semua sektor publik dan

    termasuk organisasi not for profit. Tahun 1999 EFQM Excellence

    Model terdaftar sebagai merek dagang dari EFQM.

    Model ini terdiri dari sembilan kriteria penilaian, yaitu:

    kepemimpinan, kebijakan dan strategi, SDM, kemitraaan dan

    sumber daya, proses, hasil pada pelanggan, hasil pada karyawan,

    hasil pada masyarakat, dan hasil kinerja utama. Dale et al (2000)

    dalam Llusar et al (2008) menemukan bahwa banyak manajer dan

    penilai yang mengerti model ini secara detail tapi tidak mengerti

    TQM dan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).

    Dalam perkembangan implementasi TQM, dikenal model

    penghargaan mutu selain EFQM, seperti Malcolm Baldridge

    National Quality Award (MBNQA). Kedua model ini digunakan

    sebagai petunjuk untuk mengimplementasikan TQM oleh sebagian

    besar organisasi-organisasi di dunia (Lluzar et al, 2008).

    Michalska (2008) juga mengatakan bahwa EFQM excellence

    model adalah perangkat untuk perbaikan organisasi berdasarkan

    prinsip-prinsip TQM. Prinsip TQM yang dimaksud adalah: fokus

    pada pelanggan; kepemimpinan dan tujuan yang konstan;

    manajemen berdasarkan proses dan fakta; pengembangan dan

    keterlibatan SDM; perbaikan, inovasi, dan pembelajaran

    berkelanjutan; pengembangan kemitraan; tanggungjawab

    organisasi pada masyarakat; dan orientasi hasil. Lluzar (2008)

    menegaskan bahwa model EFQM ikut memperhitungkan

    keseluruhan dari dua dimensi TQM yaitu: dimensi sosial dan teknis.

    Model EFQM dapat digunakan sebagai kerangka kerja operasional

    untuk mengimplentasikan TQM dalam organisasi.

    3. Clinical Governance

  • 82

    3.1 Definisi dan konsep

    Menurut (Starey, 1999) clinical governance adalah sistem

    baru untuk meningkatkan standar dari praktek klinis. Konsep ini

    pertama kali dikenalkan oleh UK Government (NHS Executive,

    1998), clinical governance didefinisikan sebagai suatu kerangka

    kerja dimana organisasi pelayanan kesehatan bertanggungjawab

    terhadap perbaikan mutu pelayanan yang berkelanjutan dan

    menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan menciptakan suatu

    lingkungan yang memiliki pelayanan klinis prima.

    Lalu apakah makna clinical governance tersebut bagi

    pasien/ pelanggan, staf, dan organisasi? CYWS, Government of

    South Australia (2006) memberikan makna sebagai berikut:

    1. Pasien/ pelanggan

    Pelanggan mendapatkan hak untuk percaya bahwa pelayanan

    terhadap dirinya didasarkan oleh penfetahuan terkini oleh staf

    yang up to date , dan didukung oleh organisasi yang

    mengembangkan dan menjaga standar praktek dan pelayanan

    kesehatan yang tinggi. Pelanggan/ pasien dan keluarganya

    berhak berpartisipasi dalam perawatan dan pelayanan yang

    diterimanya, dan membuat keputusan tentang perawatan

    tersebut.

    2. Staf

    Staf didukung untuk melakukan pendekatan dalam

    pekerjaannya dengan keterbukaan dan pola berpikir bertanya,

    dan dengan kebersamaan tujuan untuk memberikan pelayanan

    terbaik. Ini berarti bahwa staf secara individual ataupun

    bersama-sama melakukan monitor dan memastikan bahwa

    pelanggan mendapatkan pelayanan yang up to date dan

    berdasarkan pengetahuan terkini. Peran dan tanggungjawab

    staf telah jelas diberikan dan membantu staf untuk mengambil

    tindakan konstruktif yang tepat. Untuk mencapai ini staf

  • 83

    membutuhkan pelatihan dan pengembangan terus menerus dan

    didukung oleh kepemimpinan klinik yang kuat.

    3. Organisasi

    Melalui board dan executive, organisasi bertanggungjawab

    kepada pelanggan/ pasien dan masyarakat untuk memastikan

    bahwa pelayanan yang diberikan aman, efektif dan efisien.

    Mendengarkan pasien, termasuk ketetapan dan perencanaan

    perawatannya dapat menjadi masukan untuk pengembangan

    pelayanan merupakan dasar untuk clinical governance. Dalam

    mencapai pelayanan yang prima, organisasi bertanggungjawab

    terhadap staf dalam menyediakan lingkungan kerja yang aman,

    ada mekanisme untuk mendapatkan feedback dari staf, dan

    adanya kesempatan untuk mendapat pelatihan dan

    pengembangan. Hal ini juga harus didukung oleh executive,

    pimpinan klinik, dan manajer yang menerapkan kepemimpinan

    yang konstruktif dan bertanggungjawab terhadap keselamatan/

    keamanan dan mutu pelayanan.

    Komponen-komponen penting dalam clinical governance

    adalah: pendidikan dan pelatihan, audit klinik, efektifitas klinik,

    penelitian dan pengembangan, keterbukaan tanggung jawab, dan

    manajemen resiko.

    Education and

    training

    Openness

    accounta-

    bility

    Clinical

    audit Risk

    manage-

    ment

    Clinical

    effective-

    ness Research

    and

    develop-

    ment

    Clinical

    governance

  • 84

    Gambar 6. The elements of clinical governance menurut Starey

    (1999)

    Lebih lanjut lagi prinsip teori ini diterjemahkan ke dalam

    sistem dan proses yang aktual di organisasi pelayanan kesehatan.

    Perkembangan aplikasi teori clinical governance ke dalam

    prakteknya dapat mengalami beberapa hambatan. Hambatan yang

    sering muncul adalah: prosedur klinis yang tidak jelas dan belum

    disosialisasikan secara optimal, ketrampilan klinis para klinisi yang

    rendah, dan tidak terbentuknya tim kolaborasi yang handal. Dalam

    penelitian yang dilakukan Scally dan Donaldson (1998) membagi

    komponen-komponen clinical governance dan faktor-faktor yang

    mempengaruhinya menjadi:

    1. Mencegah resiko: pelatihan staf yang baik, prosedur yang jelas,

    lingkungan yang aman.

    2. Kinerja yang rendah: pengakuan dini, intervensi yang tegas,

    regulasi yang efektif, feedback pada kinerja.

    3. Metode mutu: praktek yang bermutu, kebijakan klinik berbasis

    bukti, pembelajaran dari kesalahan, peningkatan proses yang

    terintegrasi.

    4. Budaya: terbuka dan berpartisipasi, kepemimpinan yang baik,

    nilai pendidikan dan penilaian, pasien sebagai mitra kerja, etos

    dari tim kerja.

    5. Infrastruktur: akses terhadap pendidikan, waktu yang diperlukan

    untuk perencanaan, strategi pelatihan dan pengembangan, paket

    pendukung tekonologi informasi.

    6. Hubungan: meluruskan tujuan dari individu, tim dan organisasi,

    komunikasi yang sempurna, mitra kerja eksternal.

  • 85

    3.2 Budaya organisasi dan clinical governance

    Clinical governance dalam sejarahnya merupakan salah

    satu perwujudan dari aspek mutu yang dideskripsikan WHO

    sebagai: manajemen profesional, efisiensi sumber daya,

    manajemen resiko, dan kepuasan pasien (Swage, 2000). Pada

    dasarnya SDM (sumber daya manusia) adalah pelaku pelayanan

    klinis di rumah sakit dan juga sebagai kontibutor utama clinical

    governance yang baik. Para klinisi ini akan beradaptasi di dalam

    lingkungan kerjanya (organisasi) yang dipengaruhi juga oleh

    budaya yang ada.

    Menurut penelitian yang dilakukan oleh Freeman (2003)

    (Freeman, 2003) tentang hubungan antara budaya organisasi

    dengan implementasi clinical governance menunjukkan bahwa

    hierarchical culture sangat lemah untuk mendukung implementasi

    clinical governance. Dalam penelitian yang sama developmental

    culture justru dianggap sebagai budaya yang dapat mendukung

    implementasi clinical governance dengan baik. Hal ini dikarenakan

    beberapa sifat yang terdapat pada hierarchical culture yang tampak

    sebagai kumpulan formalitas, banyaknya aturan-aturan, dan

    kepemimpinan yang terfokus pada atasan. Sementara pada

    developmental culture ditemukan adanya keterbukaan, partisipasi

    aktif, aktualisasi dan pengembangan diri serta fleksibilitas antara

    atasan dan bawahan yang semuanya itu diperlukan dalam

    aktualisasi clinical governance.

    Hubungan yang erat antara budaya dan clinical governance

    dikemukakan oleh Marshal (2002) sebagai berikut:

    1. Pencapaian perbaikan mutu (klinis) yang berarti dan dapat

    bertahan membutuhkan perubahan mendasar dalam budaya.

    2. Clinical governance membutuhkan pondasi budaya yang

    mempunyai nliai pembelajaran seumur hidup.

  • 86

    3. Clinical governance akan membawa suatu budaya dimana

    pelayanan yang prima dapat bertumbuh.

  • 87

    Gambar 7. Components of the clinical governance framework (Victorian Government Departement of Human Service, 2009)

    Consumer

    Patient

    Resident

    Experience

    and

    Quality

    care

    Effective

    workforce

    Clinical

    Teams

    Consumer

    Participation

    Clinical

    Effectivenes

    s

    Risk

    management

    Measure

    Performance

    Governance of

    Clinical Care

    Planning

    and

    resource

    allocation

    Prioritas

    and

    strategy

    Legislative

    compliance

    Organization and

    committee structures,

    systems and processes

    Culture Roles and

    responsibilities

    Report

    review and

    respond to

    performance

    Continuity

    of care

  • 88

    Pada penelitian yang dilakukan Deo et al (2008) kita dapat

    mengetahui aspek-aspek dalam budaya organisasi yang

    berpengaruh dalam peningkatan mutu (klinis) rumah sakit,

    diantaranya:

    1. Pimpinan klinis yang memiliki visi untuk meningkatkan mutu

    pelayanan.

    2. Respon dari pimpinan dalam mengemukakan ide untuk

    peningkatan mutu.

    3. Kecakapan pimpinan untuk mengimplementasikan ide yang

    baru.

    4. Dukungan pimpinan untuk berkolaborasi.

    5. Partisipasi klinisi dalam mengadopsi guidlines (pedoman) yang

    baru.

    6. Inisiatif staf dalam mengembangkan ide baru untuk peningkatan

    mutu.

    7. Pelatihan staf tentang teknik peningkatan mutu.

    8. Kerjasama baik diantara staf untuk implementasi ide tentang

    peningkatan mutu.

    9. Staf yang mau menerima ide baru untuk peningkatan mutu.

    Kedudukan clinical governance yang merupakan bagian

    dari corporate governace akan menjadi tanggungjawab semua

    pihak, baik dari pemilik, manajemen puncak, staf medis fungsional

    (smf), perawat hingga bagian umum. Suatu budaya yang baik

    (benar) akan diperlukan untuk menciptakan kondisi yang

    diinginkan. Menciptakan budaya, merubah budaya, siapa yang

    mebuat budaya, siapa yang memulai perubahan senantiasa

    menjadi pertanyaan untuk meningkatkan mutu klinis rumah sakit.

    Scally dan Donaldson (1998) menyatakan bahwa untuk

    menyukseskan implementasi clinical governance dalam organisasi

    perlu penempatan budaya dengan benar. Persyaratan yang

    dibutuhkan menurut Braine (2006) adalah: cara baru dalam berpikir

  • 89

    dan bekerja, kerjasama tim, strategi untuk perubahan budaya yang

    bersifat terbuka, kreatif, dan suportif serta kepemimpinan di setiap

    level dalam organisasi.

    Norma, kepercayaan dan nilai dasar yang tertanam pada

    klinisi tentu memiliki dampak terhadap pekerjaan/ tugas yang

    dijalankan. Keselamatan pasien , penurunan medical error menjadi

    fokus utama dan sekaligus hasil utama dalam pelaksanaan clinical

    governance. Lingkungan kerja yang kondusif erat kaitannya dengan

    budaya organisasi yang telah berkembang di lingkungan tersebut.

    Organisasi yang dapat menciptakan lingkungan dimana ada

    keterbukaan dan partisipasi, dimana ada ide-ide dan praktek yang

    baik, pendidikan dan pelatihan yang ditanamkan, dan tidak

    langsung menyalahkan adalah lingkungan yang fit untuk

    tumbuhnya clinical governance (Braine, 2006).

    4. Budaya Organisasi, TQM, dan Clinical Governance

    Memberikan pelayanan klinis yang bermutu, aman dan sesuai

    dengan standar merupakan tugas utama para klinisi dalam suatu

    organisasi kesehatan. Untuk mencapai mutu ini, masing-masing klinisi

    diharapkan bergantung pada klinisi lain dalam timnya, kolaborasi kerja

    yang baik antar disiplin ilmu menjadi dasar pelayanan yang baik.

    Pelayanan yang baik akan bergantung pada organisasi dan lingkungan

    dimana klinisi tersebut bekerja (Roland et al, 2001 sitasi dari Berwick et

    al, 1992 dan Abelson et al, 1997). Pendekatan budaya dari segi

    individual (klinisi dalam memberikan pelayanan sesuai standar) dan

    organisasi (tempat yang memfasilitasi terjadinya pelayanan yang aman

    dan berkualitas) akan diperlukan untuk mendapat perubahan yang

    berarti.

    Pencapaian mutu klinis akan mudah dicapai bila organisasi juga

    menerapkan sistem mutu yang menjamin pelayanan yang diberikan

    selalu berkualitas. Beberapa pendekatan untuk peningkatan mutu telah

  • 90

    dikenal, yang terkenal adalah CQI atau TQM (Roland et al, 2001 sitasi

    dari Berwick, 1989; Joss dan Kagan, 1995). Penggunaan konsep TQM

    dalam manajemen mutu dan budaya organisasi (faktor-faktor yang

    berpengaruh) akan melahirkan budaya mutu yang mempercepat

    implementasi dari clinical governance. Menurut Holland dan Fennel

    (2000) sitasi dari Wakefield dan Pontefract Community Health NHS

    Trust (1999) mendeskripsikan clinical governance adalah ACE,

    gabungan dari komponen Accountablity, Culture, dan Effectiveness.

    Gambar 8. Clinical Governance is ACE

    Sumber: Wakefield dan Pontefract Community Health NHS Trust (1999)

    Budaya mutu yang kuat dalam meningkatkan mutu pelayanan

    (klinis) rumah sakit mengharuskan agar organisasi melihat kembali

    Result Processes

    Quality

    Patient

    Care

    People

    Culture - Leadeship - People Management

    - Strategy/ Policy

    - Resources/ time

    - Team work

    Accountability Effectiveness

    - Individual Profesional

    - Performance management:

    internal and external

    - Commission for health

    improvement

    - Public

    -

    - Evidence Based Care

    - Clinical Audit

    - Clinical Risk Management

    - Learning lesson from complaints/

    critical incidents

    - User and carer feedback

    - Record Keeping/ data collection

    - National standards/ framework

    - Care pathways

  • 91

    beberapa atribut dari budaya organisasinya. Menurut penelitian yang

    dilakukan Konteh et al (2008) ditemukan adanya persetujuan dari para

    klinisi yang menganggap adanya atribut-atribut budaya yang penting.

    Atribut budaya dilihat sebagai faktor yang turut berpengaruh terhadap

    suksesnya implementasi clinical governance di rumah sakit. Atribut ini

    disusun berdasarkan urutan pentingnya. (nomer pertama adalah sangat

    penting dan nomer terakhir adalah kurang penting):

    1. Komitmen manajer senior

    2. Fokus pada kualitas

    3. Kejelasan tanggungjawab

    4. Fokus terhadap pasien

    5. Kesadaran akan keselamatan/ keamanan

    6. Bekerja dalam tim

    7. Bekerja dengan berkolaborasi

    8. Lingkungan yang tidak saling menyalahkan

    9. Mendukung inovasi

    10. Kebiasaan dalam pelayanan

    11. Standar pelayanan

    12. Fokus terhadap efektifitas biaya

    13. Semangat pelayanan

    14. Prioritas dari pilihan

    Penatalaksanaan prosedur klinis dengan baik pada pelayanan

    yang diberikan kepada pasien berarti sudah menganggap pasien

    sebagai tujuan pelayanan dan telah mengintegrasikan mutu pada

    pelayanan tersebut. Kesalahan dalam melakukan tindakan medis yang

    sesuai dengan prosedur atau menggunakan prosedur yang salah

    dalam melakukan tindakan medis disebut sebagai medical error.

    Adverse event (kejadian yang tidak diharapkan), near miss (nyaris

    cedera), ataupun medical error merupakan outcome klinis yang harus

  • 92

    dihindari atau diminimalisir dalam menciptakan pelayanan yang aman

    dan bermutu

    5. Strategi implementasi mutu klinis

    Highland NHS Board (2006) merumuskan strategi clinical

    governance yang mengikuti 6 prinsip adalah sebagai berikut:

    Prinsip 1. Patient focus

    Sebagai langkah awal fokus pada pasien adalah menempatkan

    prespektif pasien dalam segala aspek seperti perencanaan, desain

    pelayanan dan sumber daya yang digunakan. Strateginya adalah:

    a. Pasien harus diperlakukan dengan hormat dan penuh perhatian

    b. Pasien harus terlibat dan diinformasikan tentang semua

    keputusan yang menyangkut alur perawatannya

    c. Pasien harus tahu bahwa privasi, martabat, dan kerahasiaan

    akan selalu dijaga.

    Prinsip 2. Clinical Effectiveness and Research

    Profesional kesehatan mendukung untuk memastikan bahwa

    prakteknya berdasarkan bukti yang ada/ terkini. Organisasi dapat

    mendukung profesional kesehatan dalam mencapai tujuannya

    dengan memastikan bahwa tindakan klinis terintegrasi dalam

    semua pelayanan klinis dan dikembangkan dari suatu budaya

    penelitian. Strateginya adalah: Pasien harus menerima perlakuan,

    pelayanan, dan bantuan puntuk peningkatan kesehatannya

    berdasarkan pada bukti terbaik yang tersedia.

    Prinsip 3. Safety

    Organisasi harus melakukan review secara sistematis dan berkala

    serta memperbaiki proses pelayanan kesehatan dan praktek kerja

    untuk mencegah atau mengurangi resiko cidera. Strateginya

  • 93

    adalah: Pasien harus dirawat dalam lingkungan yang aman dan

    mempunyai resiko yang minimal.

    Prinsip 4. Learning Organization

    Organisasi harus memastikan memiliki staf yang memenuhi

    kualifikasi yang sesuai (terlatih, bekerja sesuai standar nasional,

    dan kompeten) dan continuing professional development dapat

    diterapkan untuk semua profesional kesehatan. Semua staf

    mempunyai kemungkinan yang sama untuk mendapatkan pelatihan

    dan pengembangan yang dibutuhkan. Strateginya adalah: Pasien

    harus mendapat pelayanan yang diberikan oleh staf yang terlatih

    dalam pekerjaaannya dan mengambil bagian dalam pelatihan yang

    berkelanjutan.

    Prinsip 5. Partnership

    Organisasi dapat mempromosikan pentingnya kerjasama dan

    kolaborasi kemitraan dengan seluruh agen yang dapat membawa

    perbaikan kesehatan dalam populasi yang umum dan memastikan

    pasien menerima pelayanan yang komprehensif. Strateginya

    adalah: Pasien harus dirawat oleh staf yang bekerja dalam

    kemitraan dengan seluruh agen yang dapat membawa perbaikan

    dalam kesehatannya.

    Prinsip 6. Reducing Inequality

    Organisasi merupakan suatu komunitas dimana sistem informasi

    berjalan denagn baik, termotivasi, dan memperhatikan

    kesehatannya sendiri. Strateginya adalah: Organisasi memastikan

    keadilan dalam mengakses pelayanan dan mengurangi

    ketidakadilan dalam kesehatan.

    Sementara itu Paris dan McKeown (1999) menuliskan bahwa ada

    strategi clinical governance yang disebut COPE untuk meningkatkan

    mutu klinis rumah sakit. COPE merupakan gabungan kata Clinical,

    Organizational, Profesional, dan Economic. Secara rinci strategi dari

    tiap-tiap elemennya adalah sebagai berikut:

  • 94

    Clinical: untuk mencakup pengembangan dan pemeliharaan clinical

    guidlines.

    Organizational: untuk memastikan bahwa kebutuhan organisasi sesuai

    dengan permintaan klinis yang ada.

    Professional: untuk mendukung pendidikan, pelatihan dan

    pengembangan yang disyaratkan bagi staf yang memberikan

    pelayanan.

    Economic: untuk menjamin penggunaan sumber daya yang tersedia

    dengan tepat, termasuk penetapan prioritasnya.

    Beberapa penulis telah mengidentifikasi elemen-elemen dari

    budaya yang perlu sekali untuk dirubah dalam menciptakan good

    clinical governance. Stead et al (2000); Roland dan Baker (1999);

    Garside (1998); Marks dan Hunter (2000); Donaldson (2000) dalam

    Nicholls et al (2000) merumuskan sebagai berikut:

    1. Continuous quality improvement: Mencari jalan untuk meningkatkan

    pelayanan adalah suatu rutinitas, belajar dari kebaikan dan

    kekurangan, adanya feedback yang rutin terhadap kinerja,

    menyediakan sistem informasi manajemen klinis dan menggunakan

    dapat menggunakan informasi sebaik mungkin dari sistem tersebut.

    2. No-blame culture and system awareness: pendekatan pada

    kesalahan terhadap sistem daripada fokus pada kesalahan

    individual.

    3. Teamwork: Dalam hal mengenal pasien bukan hanya dilakukan

    oleh staf secara individual, tapi juga dari seluruh staf dalam tim

    pelayanan kesehatan. Menggunakan project teams yang fleksibel

    untuk proses pelayanan yang kompleks dengan anggota tim lintas

    fungsi atau ikatan profesi.

    4. Communnication: komunikasi internal dan eksternal yang baik.

    Kemitraan dalam tim yang kuat, mengalokasikan waktu dan

    membiasakan berdiskusi tentang kejadian yang penting. Berbagi

    informasi dan ketrampilan diantara profesional kesehatan.

  • 95

    5. Ownership: mitra kerja terlibat dalam perubahan tapi tidak untuk

    mennjatuhkan. Memastikan suatu pendekatan inklusif untuk

    membangun tanggungjawab bersama sehingga masalah dapat

    dibagikan dan anggota tim memiliki keinginan untuk mengakui

    masalah tersebut. Ini dapat membuat anggota tim merasa berharga

    dalam pekerjaannya.

    6. Leadership: Visi yang jelas dari pemimpin tentang apa yang harus

    dicapai; misalkan kejelasan rencana kerja, kapasitas manajemen

    proyek, gaya terbuka dan berpatisipasi, tim manajemen eksekutif

    yang kuat.

    7. Continuous learning: pendidikan, pengembangan dan penelitian

    untuk individual, dan menanamkan manajemen pengetahuan.

    8. Patient focus: fokus pada pasien dan pengguna pelayanan dengan

    mengenal faktor penting dari pengalaman pasien (patients

    experience) terhadap pelayanan kesehatan.

    Elemen-elemen ini sudah termasuk dari faktor budaya yang sangat

    mempengaruhi clincal governance (Paris dan McKeown, 1999;

    Campbell et al, 2011), diantaranya:

    1. Open and participative

    2. Good leadership

    3. Education and research valued

    4. Patient partnership

    5. Ethos of teamwork

    Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Australia Barat

    merumuskan 8 (delapan) standar clinical governance sebagai berikut:

    1. Tanggungjawab:

    Organisasi bertanggungjawab terhadap ketegasan clinical

    governance. Adanya alur yang jelas dari individu, unit, dan sistem

    pertanggungjawaban untuk clinical governance termasuk area kerja

  • 96

    dari kepala bagian eksekutif, tim eksekutif, staf medis, dan staf klinis

    yang lainnya. Krtiterianya:

    1. Kepala bagian bertanggungjawab penuh terhadap clinical

    governance.

    2. Para petugas telah diatur tanggungjawabnya terhadap

    implementasi dan manajemen program clinical governance.

    3. Organisasi telah menetapkan alur yang jelas untuk clinical

    governance.

    4. Staf klinis terlibat dalam clinical governance.

    2. Kebijakan dan strategi

    Kebijakan dan strategi clinical governance telah tergabung dalam

    rencana strategis organisasi. Kriterianya:

    1. Adanya persetujuan tentang kebijakan dan strategi untuk clinical

    governance yang direvisi minimal setiap dua tahun.

    2. Strategi organisasi untuk clinical governance harus relevan

    dengan tujuan strategis organisasi dan termasuk kebijakan dan

    hasil yang terukur dari empat pilar clinical governance, yaitu:

    1. Nilai pelanggan: kebijakan dan prosedur digunakan untuk

    meningkatkan partisipasi pasien dan pelanggan.

    2. Kinerja klinis dan evaluasi: kebijakan dan prosedur untuk

    mengatur dan mengimplementasi perubahan dalam merespon

    hasil pelayanan.

    3. Manajemen resiko klinik: kebijakan dan prosedur untuk

    mengatur dan mengimplemantasi perubahan dalam merespon

    resiko klinis yang teridentifikasi. Termasuk diantaranya:

    insiden klinis, kejadian tidak diharapkan, nyaris cidera, dan

    kejadian sentinel (kejadian serius yang dapat mengakibatkan

    kematian)

    4. Manajemen pengembangan profesi: implementasi dari

    kebijakan dan prosedur untuk pengembangan profesi dan

    manajemen kinerja.

  • 97

    3. Struktur organisasi

    Kebijakan dan strategi clinical governance telah terintegrasi

    dalam struktur organisasi. Kriterianya:

    1. Adanya persetujuan komite-komite untuk bertanggungjawab

    dalam mengawasi segala aspek clinical governance.

    2. Peran dan tanggungjawab dari komite clinical governance

    telah ditentukan.

    3. Komite clinical governance bertanggungjawab terhadap

    koordinasi yang luas dalam organisasi dan

    merekomendasikan prioritas kegiatan clinical governance.

    4. Komite clinical governance mempunyai anggota yang

    sebagian besar praktisi klinis, termasuk adanya satu atau

    lebih staf medis.

    5. Komite clinical governance memonitor dan melaporkan pada

    kepala bagian eksekutif penyelesaian rekomendasinya.

    4. Alokasi sumber daya yang tepat

    Organisasi menyediakan SDM dan sumber daya fisik yang tepat

    untuk memimpin, implementasi dan mendukung kegiatan clinical

    governance. Kriterianya:

    1. SDM dan sumber daya fisik yang tepat tersedia untuk

    mengimplementasi dan mendukung kegiatan clinical

    governance.

    2. Perangkat teknologi informasi digunakan untuk mendukung

    dan kebijakan dan strategi clinical governance dan

    memfasilitasi pembagian/ penyebaran informasi lintas

    organisasi.

    5. Komunikasi

    Organisasi mengkomunikasikan kebijakan dan strategi clinical

    governance kepada semua staf dan kepada masyarakat serta

    mitra kerja yang lain. Kriterianya:

  • 98

    1. Kebijakan dan strategi clinical governance telah

    dikomunikasikan pada semua staf, masyarakat, dan mitra

    kerja dengan tepat. (contoh: lewat internet, poster, brosur)

    2. Staf klinis dapat memahami dan menuruti kewajibannya yang

    terdapat pada kebijakan clinical governance pelayanan

    kesehatan.

    3. Adanya referensi untuk eksistensi dan ketersediaan kebijakan

    dan strategi clinical governance dalam penerbitan dokumen

    organisasi. Misalnya: laporan tahunan.

    6. Pelatihan dan pengembangan profesi

    Semua karyawan, termasuk manajer dan klinisi disediakan

    informasi yang memadai, sumber daya, pelatihan dan

    pengembangan profesi yang tepatuntuk mendukung kegiatan

    clinical governance organisasi. Kriterianya:

    1. Tersedianya pelatihan dan pengembangan profesi, informasi

    yang memadai, dan sumber daya yang tepat bagi semua

    karyawan untuk mendukung kegiatan clinical governance.

    2. Catatan pelatihan disimpan, dimonitor dan direview, dan

    memperbaiki tingkat kehadiran staf yang tidak mencukupi

    jumlahnya.

    3. Program orientasi disediakan untuk semua staf yang baru dan

    termasuk dalam peninjauan kebijakan dan strategi clinical

    governance.

    7. Efektivitas pengukuran

    Indikator kinerja utama dikembangkan dan digunakan di semua

    level organisasi untuk mengukur dan menunjukkan efektifitas dari

    kebijakan dan strategi clinical governance.

    1. Organisasi telah mengembangkan dan mengimplementasikan

    indikator kinerja utama untuk menunjukkan kegunaan dan

    efektifitas dari kebijakan dan strategi clinical governance di

    semua level organisasi.

  • 99

    2. Unit kerja memiliki rencana clinical governance yang telah

    direview, menegaskan target untuk kemajuan dan skema

    yang cocok untuk komite.

    3. Pemenuhan kebijakan clinical governance dan efektifitasnya

    sudah terintegrasi dalam laporan tahunan organisasi.

    8. Jaminan tidak terikat

    Kepala bagian eksekutif dan timnya menerima jaminan tidak

    terikat, dengan eksternal review yang menunjukkan bahwa sistem

    clinical governance memenuhi persyaratan standar yang

    ditetapkan. Kriterianya:

    1. Organisasi memiliki sistem yang memastikan review

    dilaksanakan oleh eksternal auditor atau audit internal yang

    terkoordinasi secara efektif dengan segala rekomendasi yang

    baik untuk diimplementasikan.

    2. Tim eksekutif memastikan keputusan utama yang

    berhubungan dengan clinical governance telah

    dikomunikasikan dalam komite clinical governance.

    B. Kerangka teori

    Dalam menciptakan strategi, organisasi perlu melihat lingkungan

    bisnisnya (adaptasi terhadap perubahan) dan juga budaya organisasi

    yang ada. Perubahan budaya ke arah lebih baik diperlukan untuk

    mendukung jalannya suatu strategi. Strategi organisasi dan budaya

    organisasi merupakan faktor yang berpengaruh pada implementasi TQM

    yang didalamnya terdapat proses perbaikan terus menerus dan sistem

    manajemen mutu yang berjalan dengan baik. Implementasi yang optimal

    dari TQM akan menyebabkan tercapainya kinerja mutu yang tinggi

    termasuk juga mutu pelayanan klinis dalam organisasi tersebut. Mutu

    layanan klinis yang baik akan menurunkan berbagai error yang dapat

  • 100

    terjadi. Penurunan error juga dipengaruhi oleh faktor-faktor keberhasilan

    yang penting.

    Gambar 9. Kerangka teori dimodifikasi dari Prajogo dan Sohal (2000) dan

    Stock et al (2007)

    Organizational

    culture

    Organizational

    strategy