STRATEGI IMPLEMENTASI PENINGKATAN MUTU KLINIS
BERBASIS BUDAYA ORGANISASI DI RS. KARITAS WEETEBULA
Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
Minat Utama Manajemen Rumahsakit Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Diajukan oleh: Denny Hardianto
10/310/031/PKU/12098
Kepada PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2011
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta,September 2011
Denny Hardianto
iv
P R A K A T A
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan karuniaNya untuk menyelesaikan tulisan ini. Tesis ini disusun
untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister di bidang
Manajemen Rumahsakit pada Ilmu-ilmu Kesehatan, Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Penyusunan tesis ini berdasarkan pada penelitian strategi
implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya organisasi yang
dilakukan di Rumahsakit Karitas, Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan
tesis ini:
1. Prof. dr. Adi Utarini, MSc., MPH., PhD selaku pembimbing pertama dan
juga Ketua Minat Utama Manajemen Rumah Sakit atas bimbingan dan
pengarahan sejak awal hingga selesainya tesis ini.
2. dr. Hanevi Djasri, MARS selaku pembimbing kedua yang telah
membimbing dan memberi arahan sejak awal hingga selesainya tesis ini.
3. Minat Utama Manajemen Rumah Sakit beserta seluruh staf, yang telah
banyak memberikan bantuan dan perhatian selama masa perkuliahan.
4. Ketua Yayasan Karitas Sumba yang telah memberikan beasiswa
sekaligus kesempatan studi dalam program pasca sarjana UGM ini.
5. Direktur RS. Karitas beserta seluruh karyawan, atas ijin penelitian dan
kerja samanya selama proses penelitian.
6. Rekan-rekan mahasiswa Program S2 MMR UGM Intensif 2010, yang ikut
memberi dukungan, semangat dan kerjasama selama pendidikan
7. Istriku tercinta drg. Greny Soewito yang telah memberi dukungan moril
yang sangat berguna dan dalam proses studi sampai dengan selesainya
tesis ini.
v
8. Keluargaku yang selalu berdoa dan memberikan semangat demi
kelancaran studi.
Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang dengan ikhlas telah memberikan dukungan, dorongan dan bantuan
sejak awal pendidikan hingga selesainya penelitian ini. Akhirnya penulis
mohon saran dalam penulisan tesis ini dan semoga tesis ini bermanfaat.
Yogyakarta, 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PRAKATA iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
INTISARI x
ABSTRACT xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
E. Keaslian Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka 12
B. Kerangka Teori 47
C. Kerangka Konsep 48
D. Pertanyaan Penelitian 49
vii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian 50
B. Lokasi Penelitian 51
C. Subyek Penelitian 51
D. Variabel dan Definisi Operasional Variabel 53
E. Instrumen Penelitian 56
F. Cara Pengumpulan Data 58
G. Cara Analisa Data 59
H. Etika Penelitian 63
I. Jalannya Penelitian 63
J. Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian 64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 65
B. Pembahasan 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 108
B. Saran 109
DAFTAR PUSTAKA 110
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penelitian-penelitian yang mirip dengan penelitian
oleh peneliti
9
Tabel 2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian 53
Tabel 3 Karakteristik responden berdasarkan kelompok
jabatan di RS. Karitas
65
Tabel 4 Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja
untuk tiap kelompok jabatan di RS. Karitas
66
Tabel 5 Rerata skor tipe budaya organisasi di RS. Karitas 67
Tabel 6 Pencapaian skor implementasi TQM dengan model
EFQM di RS. Karitas
68
Tabel 7 Penilaian implementasi mutu klinis di RS. Karitas
berdasarkan ceklis clinical governance berdasarkan
Swage (2000)
69
Tabel 8 Kategori dan kuotasi dalam aspek nilai pelanggan 72
Tabel 9 Kategori dan kuotasi dalam aspek kinerja klinis dan
evaluasi
74
Tabel 10 Kategori dan kuotasi dalam aspek manajemen risiko
klinis
76
Tabel 11 Kategori dan kuotasi dalam aspek manajemen
pengembangan profesi
78
Tabel 12 Kompilasi hasil penelitian kuantitatif dan kualitatif
terhadap empat aspek implementasi peningkatan
mutu klinis
80
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 A conceptual framework for understanding
organizational culture
14
Gambar 2 Empat fungsi dari budaya organisasi 17
Gambar 3 Competing values framework (CVF) of organizational
culture
20
Gambar 4 The value chain 22
Gambar 5 Interaksi dari kegiatan bisnis di Velden Engineering 27
Gambar 6 The element of clinical governance 32
Gambar 7 Components of the clinical governance framework 35
Gambar 8 Clinical governance is ACE 38
Gambar 9 Kerangka teori 49
Gambar 10 Kerangka konsep 50
Gambar 11 Model participant selection yang dipakai dalam
penelitian
51
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Budaya Organisasi
Lampiran 2 Kuesioner Implementasi Total Quality Management
Lampiran 3 Formulir Ceklis Clinical Governance
Lampiran 4 Daftar skor budaya organisasi seluruh responden
Lampiran 5 Daftar skor budaya organisasi berdasarkan kelompok
manajemen, SMF, dan paramedis
Lampiran 6 Daftar skor penilaian implementasi TQM
Lampiran 7 Kompilasi hasil budaya organisasi
Lampiran 8 Kompilasi hasil implementasi TQM
Lampiran 9 Panduan FGD dan Wawancara
xi
INTISARI
Latar belakang: Sejumlah kasus medical error masih sering dijumpai pada proses pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam laporan-laporan penelitian terkini. Berbagai aspek seperti budaya organisasi dan implementasi TQM dapat berpengaruh dalam pencapaian mutu pelayanan klinis yang dapat menurunkan error di rumah sakit. Dalam setiap upaya perubahan dan pembelajaran di organisasi diperlukan adanya strategi yang fit dengan lingkungan di organisasi tersebut. Maka strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya organisasi dan juga memperhitungkan mutu pelayanan merupakan tawaran strategi yang layak untuk digunakan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan budaya organisasi, menilai implementasi TQM, menilai mutu pelayanan klinis, dan menyusun strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya organisasi di RS. Karitas Weetebula. Metode: Mix method diaplikasikan dalam penelitian ini. Tahap petama penelitian kuantitatif untuk mendiskripsikan persepsi karyawan tentang budaya organisasi, TQM, dan mutu klinik. Dilanjutkan dengan penelitian kualitatif untuk menganalisa hasil penelitian kuantitatif tersebut dan mengidentifikasi beberapa strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu klinis rumah sakit. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 20 orang. Lokasi penelitian di sebuah rumah sakit swasta keagamaan dengan kapasitas 120 tempat tidur di pulau Sumba, NTT. Hasil dan pembahasan: Didapatkan budaya kelompok sebagai budaya dominan organisasi di RS. Karitas. Implementasi TQM yang dinilai dengan model EFQM masih berjalan lambat dan belum menyentuh seluruh area pelayanan rumah sakit. Proses implementasi mutu klinis juga belum berjalan baik, banyak diantara proses clinical governance yang masih dalam perencanaan. Dari potret budaya organisasi dan mutu pelayanan rumah sakit dapat diidentifikasi strategi-strategi yang dapat memperkuat aspek clinical governance yaitu pada nilai pelanggan, kinerja klinis, manajemen risiko klinis, dan manajemen pengembangan profesi. Kesimpulan dan saran: Strategi dengan pendekatan budaya organisasi layak digunakan sebagai alternatif untuk mempercepat peningkatan mutu klinis rumah sakit. Faktor-faktor kekuatan dalam budaya organisasi tersebut perlu ditingkatkan dan menjadi modal guna mengintegrasikan mutu organisasi Kata kunci: budaya organisasi, TQM, strategi, clinical governance, mutu klinis
xii
ABSTRACT
Background: A number of cases of medical errors are still common in the health care process in hospitals in recent research reports. Various aspects such as organizational culture and TQM implementation can be influence in the achievement of quality clinical services that can reduce errors in hospitals. In any attempt for organizational change and learning, strategies necessary to fit with the environment in the organization. Then the implementation strategy for clinical quality improvement based on organizational culture is offer a viable strategy to use. Objective: This study aims to describe the organizational culture, assess the implementation of TQM, assess the quality of clinical services, and develop implementation strategies for clinical quality improvement based on organizational culture in Karitas hospitals. Method: Mix method applied in this study. First stage quantitative research to describe employee perceptions about organizational culture, TQM, and quality of the clinic. Followed by qualitative research to analyze the results of quantitative research and identify some strategies that can be used to improve hospital clinical quality. The number of respondents in this study is 20 people. Research sites in a private religious hospital with a capacity of 120 beds on the island of Sumba, NTT. Result and discussion: Obtained group culture as the dominant organizational culture in Karitas hospitals. TQM implementation is assessed with the EFQM model is still slow and has not touched all areas of hospital services. The process of implementation of clinical quality is also not going well, many of the clinical governance processes are still in the planning. From portraits of organizational culture and quality of hospital services can be identified strategies that can strengthen the clinical governance aspects of the customer value, clinical performance, clinical risk management, and professional development management. Conclusion and recommendation: Strategies to approach organizational culture fit for use as an alternative to accelerate the improvement of clinical quality of hospitals. Factors in the strength of the organization's culture needs to be improved and a capital in order to integrate the organization's quality. Key words: organizational culture, TQM, strategy, clinical governance, clinical quality
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjadi rumah sakit unggulan merupakan visi sebagian besar rumah
sakit, baik rumah sakit publik maupun privat. Dalam memenangkan
persaingan ini dituntut kerja keras dan komitmen yang kuat dari manajemen
rumah sakit tersebut agar mutu dapat terintegrasi sempurna dalam tiap level
kegiatan di rumah sakit. Untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan
kesehatan, perlu memperhatikan empat rantai efek peningkatan mutu
(Berwick, 2002) dalam Kuntjoro (2007), yaitu: pengalaman pasien dan
masyarakat, sistem mikro pelayanan, sistem organisasi pelayanan
kesehatan, dan lingkungan pelayanan kesehatan.
Aspek mutu pelayanan klinis menjadi isu popular dalam beberapa
dekade terakhir. Medical error sebagai outcome yang harus dicegah dan
dihindari oleh para pelaku klinis, justru telah dilaporkan muncul dalam
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh organisasi kesehatan nasional dan
internasional. Pada penelitian yang dilakukan oleh Weingart (2000) tercatat
sebesar 44.000-98.000 kasus kematian dan lebih dari 1.000.000 kasus cidera
per tahunnya di Amerika Serikat akibat medical error. Pengelolaan pelayanan
klinis yang terpadu sebagai bentuk quality assurance dan accountability klinisi
di Rumah Sakit disebut juga dengan istilah clinical governance.
Suatu model mutu yang telah lama berkembang adalah Total Quality
Management (TQM). Konsep ini menekankan pentingnya pelayanan yang
berfokus pada kepuasan pelanggan (internal dan eksternal) dengan
mengandalkan biaya yang serendah-rendahnya. TQM dapat pula menyentuh
aspek pelayanan klinis sebagai core product bisnis rumah sakit pada
umumnya. Ini berarti ada perbaikan mutu terus menerus (continuous quality
2
improvement) untuk meningkatkan mutu klinis rumah sakit. Dalam penelitian
yang dilakukan Shortell et al (1998) ditemukan bahwa aplikasi dari continuous
quality improvement (CQI)/ TQM dapat berpengaruh terhadap perbaikan
mutu dan hasil pelayanan. Aplikasi CQI/ TQM ini terutama pada proses dan
kondisi pelayanan klinis. Implikasinya adalah implementasi dari CQI/ TQM
akan menunjang good clinical governance sehingga outcome berupa
pelayanan prima (service excellent) dari organisasi dapat tercapai.
Awal intervensi untuk menciptakan atau memperbaiki mutu (klinis)
sebuah organisasi (rumah sakit) merupakan faktor penting untuk
didiskusikan. Pada penelitian Zulkarnain (2010) ditemukan adanya hubungan
yang bermakna antara budaya organisasi (klan) dan implementasi sistem
manajemen mutu di rumah sakit. Senada dengan penelitian tersebut, Stock et
al (2007) telah meneliti hubungan antara budaya organisasi, critical success
factors (mitra kerja, diskusi terbuka, pendidikan dan latihan) dengan
penurunan medical error. Hasilnya ada pengaruh antara budaya organisasi
(dengan karakter tertentu) dengan penurunan medical error.
Rumah sakit sebagai suatu organisasi tentu juga mempunyai
kekhususan yang dapat mengakar sebagai budaya (Sujudi, 2011). Rumah
sakit pemerintah ataupun swasta akan memiliki karakteristik budaya yang
berbeda. Rumah sakit swasta keagamaan yang didirikan dengan landasan
nilai dan norma yang mengacu pada agama akan sangat berpengaruh
terhadap kepemimpinan dan manajemennya (misi sosial, fokus pelayanan).
Adanya asumsi dasar berbuat sosial menjadikan rumah sakit swasta
keagamaan memiliki keunikan tersendiri. Hal lain yang mudah terlihat adalah
artefak berupa perilaku menolong/ berkarya sosial cukup menjadikan hal ini
sebagai daya tarik rumah sakit tersebut. Pemahaman bersama akan nilai,
perilaku, dan keyakinan akan berkembang menjadi budaya dalam proses dan
waktu yang panjang.
3
Meletakkan budaya organisasi sebagai pendekatan untuk
meningkatkan mutu rumah sakit menjadi salah satu kunci penting
keberhasilan organisasi dan manajemen rumah sakit. Suatu budaya yang
baik (benar) akan diperlukan untuk menciptakan kondisi yang diinginkan.
Scally dan Donaldson (1998) menyatakan bahwa untuk menyukseskan
implementasi clinical governance dalam organisasi perlu penempatan budaya
(terbuka dan bertanggungjawab) dengan benar. Pengaruh budaya organisasi
(artefak, nilai, dan asumsi dasar) yang khas dalam rumah sakit swasta
keagamaan tidak boleh menjadi penghalang dalam menciptakan mutu
pelayanan kesehatan yang terbaik. Contohnya nilai yang dipegang bersama
bahwa RS harus memberikan pelayanan pada orang miskin. Hal ini kemudian
tidak menjadikan mutu pelayanan pada orang miskin berbeda dengan
pelayanan pada pasien dengan status sosial ekonomi lebih tinggi.
RS. Karitas Weetebula sebagai rumah sakit swasta keagamaan yang
mulai dirintis sejak tahun 1958 telah mengalami banyak pembelajaran dan
pengembangan organisasi. Berangkat dari keinginan pendiri yaitu ingin
menanggapi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, maka
berdirilah suatu rumah sakit dengan badan hukum Yayasan Karitas yang
lebih mengutamakan pelayanan bagi lapisan masyarakat yang miskin. Dalam
perjalanannya, rumah sakit telah mengikuti berbagai regulasi kesehatan yang
berlaku guna menciptakan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
memenuhi standar. Salah satu usahanya dengan mengikuti akreditasi untuk 5
pelayanan, tetapi usaha ini mengalami kegagalan sebanyak 2 kali dalam satu
dekade terakhir. Usaha lain yang belum berhasil adalah implementasi
indikator kinerja klinis (termasuk evaluasinya), seperti: angka kejadian tidak
diharapkan, angka infeksi luka operasi, dan infeksi nosokomial. Berbagai
upaya ini masih belum mencapai target yang diharapkan atau dengan kata
lain upaya peningkatan mutu pelayanan di RS. Karitas Weetebula belum
berhasil dilaksanakan.
4
Konsep TQM masih belum dipahami seluruhnya, sehingga
implementasinya belum terintegrasi penuh dalam aktivitas manajemen rumah
sakit. Hasil evaluasi manajemen RS. Karitas terhadap pelayanan RS. Karitas
menyebutkan bahwa keterbatasan SDM merupakan faktor penghambat
rumah sakit dalam mencapai target atau tujuan yang diinginkan. Selain faktor
SDM, peneliti menganggap bahwa budaya organisasi layak diperhitungkan
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap mutu pelayanan rumah sakit.
Rose et al (2008) juga mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan
akar dari perbaikan performance organisasi. Budaya organisasi
(kepemimpinan dan sosialisasi) yang lemah di rumah sakit ini dianggap
peneliti menjadi penghambat pengembangan organisasi. Hal ini tercermin
dari kurangnya komitmen atau pemahaman bersama dari anggota organisasi
tentang tujuan organisasi atau tujuan suatu program tertentu (akreditasi).
Karyawan masih belum paham misi dan visi rumah sakit dan bagaimana
seharusnya mewujudkan misi dan visi tersebut ke dalam pelayanan di sistem
mikro rumah sakit.
Budaya organisasi harus dianggap sebagai faktor pendorong untuk
terciptanya TQM yang nantinya akan dapat melahirkan budaya mutu pada
setiap karyawan di RS. Karitas Weetebula. Budaya mutu ini menjadi lebih
penting ketika para klinisi dan manajemen rumah sakit berupaya untuk
meningkatkan atau memelihara pelayanan klinisnya. Kebiasaan atau perilaku
klinisi yang selalu mengedapankan kebutuhan pelanggan (pasien) dan
budaya tidak saling menyalahkan (no blame culture) akan menjadi faktor
kunci keberhasilan. Dalam setiap upaya perubahan dan pembelajaran di
organisasi diperlukan adanya strategi yang fit dengan lingkungan di
organisasi tersebut. Maka strategi implementasi peningkatan mutu klinis
berbasis budaya organisasi dan juga memperhitungkan implementasi TQM
merupakan strategi yang handal untuk mendukung tercapainya pelayanan
yan berkualitas dan aman.
5
B. Perumusan Masalah
Bagaimana strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis budaya
organisasi di RS. Karitas Weetebula?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendiskripsikan budaya organisasi di RS. Karitas Weetebula.
2. Menilai implementasi TQM di RS. Karitas Weetebula.
3. Menilai manajemen mutu klinis di RS. Karitas Weetebula.
4. Menyusun strategi implementasi peningkatan mutu klinis berbasis
budaya organisasi di RS. Karitas Weetebula.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang analisis budaya organisasi yang
berkembang di Rumah Sakit Swasta Keagamaan not for profit.
2. Menjadi bahan evaluasi pihak manajemen RS. Karitas untuk
meningkatkan budaya organisasi yang kuat dalam peningkatan mutu
pelayanan.
3. Menawarkan strategi implementasi peningkatan mutu klinis
E. Keaslian Penelitian
Penelitian Deo et al (2008) tentang quality performance and organizational
culture a New Zealand study. Tujuannya untuk mengukur hubungan budaya
organisasi dengan indikator mutu pada organisasi manufaktur. Lokasi
penelitian di organisasi manufaktur di New Zealand. Rancangan
6
penelitiannya observasional dengan jumlah sampel 40 perusahaan
manufaktur di New Zealand. Hasil utamanya budaya organisasi yang berbeda
ditemukan di sejumlah perusahaan manufaktur. Budaya organisasi ini
mempunyai korelasi dengan indikator mutu seperti: klaim garansi, persentase
kerusakan, dan pengantaran tepat waktu.
Penelitian Setiowati (2002) tentang analisis budaya organisasi dan
pengembangannya di RSU PKU Muhammadiyah Surakarta. Tujuannya untuk
mengetahui budaya organisasi dan pengembangannya di RSU PKU
Muhammadiyah Surakarta. Lokasi penelitian di Surakarta, Indonesia.
Rancangan penelitian kualitatif deskriptif. Hasil utamanya adalah budaya
organisasi menurut karyawan, dokter, dan struktural mengarah ke budaya
klan, sedangkan menurut perawat termasuk budaya hirarki.
Penelitian Irani et al (2004) tentang total quality management and
corporate culture: constructs of crganizational excellence. Tujuannya
mendiskripsikan konsep budaya organisasi dan TQM dan menekankan
hubungan antara budaya, kualitas, dan persaingan. Rancangan penelitian
denagn menggunakan studi kasus dan lokasi penelitiannya di Velden
Engineering Ltd. Hasil utama: Dalam menghadapi persaingan, perusahaan
perlu melakukan perubahan budaya internalnya. Budaya mutu yang kuat
merupakan elemen penting untuk meningkatkan daya saing organisasi.
Konsep inti TQM yang fokus pada pelanggan berhubungan dengan rencana
peningkatan mutu yang didukung oleh budaya organisasi yang kuat. Hal ini
berpengaruh positif terhadap kinerja dan daya saing organisasi.
Penelitian Stock et al (2007) tentang organizational culture, critical
success factors, and the reduction of hospital errors. Tujuannya menyelidiki
bagaimana budaya organisasi dan tekinik manajemen yang spesifik (dengan
kerangka Critical Success Factors) yang mungkin berperan untuk
mengurangi medical error. Rancangan penelitiannya observasional analitik.
7
Sampelnya adalah 930 dari 6000 RS di US yang terpilih dengan simple
random. Hasil utama budaya organisasi berperan penting terhadap masalah
hospital errors. Group culture yang menekankan pada pengembangan diri,
komitmen pada sesama, partisipasi, merupakan faktor positif dalam
mengurangi errors. Group culture juga menjadi budaya penting dalam tahap
awal dari pengembangan program rumah sakit untuk mengurangi errors.
Melaui pendekatan manajemen dengan menggunakan Critical Success
Factors dapat mengurangi medical errors.
Penelitian Qodriani (2007) tentang analisis budaya organisasi di RSI
Cempaka Putih Jakarta. Tujuan: Mengetahui budaya organisasi dan
menyusun rencana perubahan yang dapat diterapkan di RSI Cempaka Putih
Jakarta. Rancangan penelitian observasional. Hasil utama: Budaya
organisasi di RSI Cempaka Putih Jakarta termasuk budaya klan. Rencana
perubahan yang dapat diterapkan adalah pengembangan sumber daya
manusia.
Penelitian Rose et al (2008) tentang organizational culture as a root of
performance improvement. Tujuan: Menguji hubungan antara budaya dan
kinerja di dalam perusahaan multinasional dari Amerika, Jepang, Eropa, dan
Malaysia yang beroperasi di Malaysia. Lokasi penelitian di Malaysia dan
menggunakan rancangan penelitian observasional analitik. Sampelnya
sejumlah 133 perusahaan multinasional yang bergerak di bidang elektronik,
teknologi informasi. Hasil utama: Perusahaan yang mengetahui bagaimana
mengembangkan budayanya secara efektif kemungkinan besar memiliki
keuntungan pada kemajuan produktifitas dan kualitas kerja diantara
karyawannya. Karyawan harus menyerap budaya organisasi dengan
maksimal dan top management perlu menyediakan pedoman yang tepat dan
petunjuk untuk memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Penelitian Gregory et al (2009) tentang organizational culture and
effectiveness: a study of values, attitudes, and organizational outcomes.
8
Tujuannya menguji hubungan antara sikap karyawan sebagai penengah yang
berpotensi dalam budaya organisasi dengan efektifitas dan outcome
organisasi. Rancangan penelitian observasional analitik. Sampelnya adalah
top management dari 99 rumah sakit di US. Hasil utamanya ada hubungan
antara group culture dan kepuasan karyawan menguatkan pendirian bahwa
organisasi yang menghargai karyawannya mampu menyediakan pelayanan
yang lebih baik. Group culture juga memiliki dampak yang signifikan terhadap
efektifitas organisasi.
Penelitian Zulkarnain (2010) tentang budaya organisasi dan
implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Tujuannya mengukur hubungan persepsi budaya organisasi dengan persepsi
implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Rancangan penelitiannya observasional (cross sectional survey). Hasil utama
penelitian profil budaya organisasi yang paling dominan ditemukan di RSU
Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah budaya klan. Persepsi mengenai
implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ada hubungan bermakna antara jenis budaya klan dengan implementasi
sistem manajemen mutu.
Penelitian Greenfield et al (2011) tentang appliying and developing
health service theory: an empirical study into clinical governance. Tujuan
penelitian ini untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi clinical
governance dengan menggunakan model Braithwaite dan Travaglia (2008).
Sampel sebesar 118 responden terlibat dalam wawancara dan FGD yang
dilakukan oleh peneliti. Hasil utamanya berupa faktor-faktor utama yang
berpengaruh terhadap implementasi clinical governance teridentifikasi. Hasil
yang lain berupa penilaian terhadap budaya organisasi (tidak adanya budaya
no blame).
Tabel 1. Penelitian-penelitian yang mirip dengan penelitian oleh peneliti
Penulis (tahun)
Tujuan Lokasi Rancangan penelitian
Hasil utama
Setiowati (2002)
Mengetahui budaya organisasi dan pengembangan-nya
RSU PKU Muham-madiyah Surakarta
Kualitatif deskriptif
Budaya organisasi RS menurut karyawan, dokter, dan struktural mengarah ke budaya klan. Sedangkan menurut perawat termasuk hirarki.
Irani et al (2004)
Mendiskripsikan konsep budaya organisasi dan TQM serta menekankan hubungan antara budaya, kualitas, dan persaingan
Velden Enginee-ring Ltd
Studi kasus Dalam menghadapi persaingan, perusahaan perlu melakukan perubahan budaya internalnya. Budaya mutu yang kuat merupakan elemen penting untuk meningkatkan daya saing organisasi. Konsep inti TQM yang fokus pada pelanggan berhubungan dengan rencana peningkatan mutu yang didukung oleh budaya organisasi yang kuat. Hal ini berpengaruh positif terhadap kinerja dan daya saing organisasi.
Stock et al (2007)
Menyelidiki bagaimana budaya organisasi dan tekinik manajemen yang spesifik (dengan kerangka Critical Success Factors) yang mungkin berperan untuk mengurangi medical error.
930 dari 6000 rumah sakit di Amerika Serikat
Observasi-onal analitik
Hasil utama budaya organisasi berperan penting terhadap masalah hospital errors. Group culture yang menekankan pada pengembangan diri, komitmen pada sesama, partisipasi, merupakan faktor positif dalam mengurangi errors. Group culture juga menjadi budaya penting dalam tahap awal dari pengembangan program rumah sakit untuk mengurangi errors.
10
Qodriani (2007)
Mengetahui budaya organisasi dan menyusun rencana perubahan yang dapat diterapkan.
RSI Cempaka Putih Jakarta
Observasi-onal
Budaya organisasi di RSI Cempaka Putih Jakarta termasuk budaya klan. Rencana perubahan yang dapat diterapkan adalah pengembangan sumber daya manusia.
Deo et al (2008)
Mengukur hubungan budaya organisasi dengan indikator mutu pada organisasi manufaktur
40 perusaha-an manu-faktur di New Zealand
Observasi-onal analitik
Hasil utamanya budaya organisasi yang berbeda ditemukan di sejumlah perusahaan manufaktur. Budaya organisasi ini mempunyai korelasi dengan indikator mutu seperti: klaim garansi, persentase kerusakan, dan pengantaran tepat waktu.
Rose et al (2008)
Menguji hubungan antara budaya dan kinerja di dalam perusahaan multinasional dari Amerika, Jepang, Eropa, dan Malaysia yang beroperasi di Malaysia.
Perusaha-an multi-nasional di Malaysia
Observasi-onal analitik
Perusahaan yang mengetahui bagaimana mengembangkan budayanya secara efektif kemungkinan besar memiliki keuntungan pada kemajuan produktifitas dan kualitas kerja diantara karyawannya. Karyawan harus menyerap budaya organisasi dengan maksimal dan top management perlu menyediakan pedoman yang tepat dan petunjuk untuk memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Gregory et al (2009)
Menguji hubungan antara sikap karyawan sebagai penengah yang berpotensi dalam budaya organisasi
99 rumah sakit di Amerika Serikat
Observasi-onal analitik
Hasil utamanya ada hubungan antara group culture dan kepuasan karyawan menguatkan pendirian bahwa organisasi yang menghargai karyawannya mampu menyediakan pelayanan yang lebih baik.
11
dengan efektifitas dan outcome organisasi
Group culture juga memiliki dampak yang signifikan terhadap efektifitas organisasi.
Zulkarnain (2010)
Mengukur hubungan persepsi budaya organisasi dengan persepsi implementasi sistem manajemen mutu.
RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat
Cross sectional
penelitian profil budaya organisasi yang paling dominan ditemukan di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah budaya klan. Persepsi mengenai implementasi sistem manajemen mutu di RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ada hubungan bermakna antara jenis budaya klan dengan implementasi sistem manajemen mutu.
Greenfield et al (2011)
Menguji faktor-faktor yang mempengaruhi clinical governance dengan menggunakan model Braithwaite dan Travaglia (2008).
Unit kesehatan di Australia
Kualitatif Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap implementasi clinical governance teridentifikasi. Hasil yang lain berupa penilaian terhadap budaya organisasi (tidak adanya budaya no blame).
Letak kebaruan (originalitas) penelitian ini terletak pada perumusan strategi implementasi peningkatan mutu
klinis dengan memperhitungkan aspek budaya organisasi, implementasi TQM, dan implementasi mutu klinis.
Rancangan penelitian menggunakan mixed methods dengan lokasi penelitian di sebuah rumah sakit swasta
keagamaan.
65
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Budaya Organisasi
1.1 Sejarah, Definisi, dan Konsep
Budaya dan manusia merupakan suatu bentuk interaksi
yang tidak terpisahkan, Shinobu Kitayama mengatakan What
culture is to human is what water to fish. Dengan kalimat lain
bahwa budaya dipengaruhi oleh lingkungan tempat manusia
tersebut berada. Budaya lingkungan di benua Eropa berbeda
dengan budaya lingkungan di benua Asia, demikian halnya dengan
budaya di Jawa berbeda dengan budaya di NTT. Schein (2009)
menyatakan bahwa budaya adalah pola dari asumsi tasit bersama
yang dipelajari oleh kelompok sebagai jalan keluar masalah dari
adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang dianggap benar,
sehingga dapat mengajarkan pada anggota baru sebagai cara yang
benar untuk merasakan, berpikir, dan meraba dalam relasi
terhadap masalah tersebut.
Dalam perkembangan ilmu budaya, pertama kali budaya
organisasi dikenal di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah
satu tokohnya: Edgar H. Schein seorang profesor manajemen dari
Sloan School of Management, Massachusetts Institute of
Technology. Sedangkan di Indonesia budaya organisasi dikenal
pada tahun 1980-1990-an, saat banyak dibicarakan tentang konflik
budaya dan bagaimana mempertahankan budaya Indonesia serta
pembudayaan nilai-nilai baru. Banyak ahli yang menuliskan definisi
tentang budaya organisasi. Menurut Robbins (1996) budaya
organisasi adalah sebuah persepsi umum yang dipegang teguh
oleh para anggota organisasi dan menjadi sebuah sistem yang
66
memiliki kebersamaan pengertian dan membedakan organisasi
yang satu dengan yang lain.
Gambar 1. A Conceptual Framework for Understanding
Organizational Culture
Sumber: Kreitner dan Kinicki (2007) diadaptasi dari Ostroff et al dalam Handbook
of Psychology (2003)
Budaya organisasi terbentuk oleh empat komponen kunci,
yaitu: nilai-nilai dari pendiri, lingkungan industri dan bisnis, budaya
nasional, dan visi dan perilaku dari para pemimpin senior. Pada
budaya organisasi ada 3 tingkatan yang saling berinteraksi yaitu:
artefak (hal/ benda) yang terlihat, nilai-nilai yang terkandung, dan
asumsi dasar (Schein, 2009). Dalam perjalanannya budaya
organisasi mempengaruhi tipe dari struktur organisasi, tempat dari
praktek, kebijakan-kebijakan, implementasi prosedur yang
diadaptasi oleh organisasi untuk mengejar tujuan organisasi
tersebut. Kemudian karakteristik organisasi ini berpengaruh pada
proses yang terjadi pada kelompok dan sosial, seperti: sosialisasi,
menasehati, pengambilan keputusan, dinamika kelompok,
komunikasi, pengaruh dan pemberdayaan, dan kepemimpinan.
Terakhir, rangkaian ini mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan
Antecedents
* Founders values
* Industry and
business
environment
* National
culture
* Senior
leaders vision and behavior
Organizational
culture
* Observable
artifacts
* Espoused
values
* Basic
asumption
Organizational
structure and
practices
* Reward
system
* Organizati-
onal design
Group and
social processes
* Socialization
* Mentoring
* Decision
making
* Group
Dinamics
* Communi-
cation
* Influence and
empowerment
* Leadership
Collective
attitudes and
behavior
* Work
attitudes
* Job
satisfaction
* Motivation
Organizational
outcomes
* Effectiveness
* Stress
67
serta berbagai jenis outcome organisasi (Kreitner dan Kinicki,
2005).
1.2 Karakteristk
Luthans (1992) dalam Muchlas (2005) menuliskan bahwa
budaya organisasi mempunyai beberapa karakteristik yang penting,
diantaranya:
1. Observed behavioral regularities (Keteraturan perilaku yang
diamati): Anggota organisasi saling berinteraksi dengan
menggunakan bahasa, terminologi, dan ritual yang umum
berlaku dalam organisasi tersebut
2. Norms (Norma): Terjadinya standar dari perilaku termasuk
petunjuk-petunjuk tentang berapa banyak yang harus
dikerjakan. Misalkan yang sering terjadi dalam organisasi:
Jangan bekerja terlalu banyak, jangan bekerja terlalu sedikit.
3. Dominants value (Nilai yang dominan): Terdapat nilai-nilai
utama yang disarankan dan diharapkan oleh organisasi agar
para anggotanya berbagi rasa dengan nilai-nilai tersebut.
Contoh khususnya adalah: kualitas produk yang tinggi, angka
absen yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.
4. Philosophy (Filosofi): Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk
menanamkan kepercayaan terhadap organisasi tentang
bagaimana karyawan dan/ atau pelanggan harus diperlakukan.
5. Rules (Peraturan): Adanya petunjuk yang keras berhubungan
dengan penyesuaian diri dalam organisasi. Para pendatang
baru harus belajar meniti tali supaya dapat diterima sebagai
anggota penuh dalam kelompok.
6. Organizational climate (Iklim organisasi): Merupakan perasaan
umum yang dibawa oleh rancangan fisik organisasi, cara
anggota berinteraksi, dan cara para anggota organisasi
memperlakukan dirinya sendiri dengan para pelanggan dan
orang di luar organisasi.
68
1.3 Fungsi
Menurut Kreitner dan Kinicki (2007) terdapat 4 fungsi utama
dari budaya organisasi, yaitu:
1. Memberi identitas organisasi pada anggota. Contoh: organisasi
adalah tempat yang menyenangkan untuk bekerja,
memperhatikan kepuasan karyawan, mempunyai dana bencana
atau kontribusi sukarela untuk karyawan yang memiliki
kesulitan.
2. Memfasilitasi komitmen bersama.Kehangatan, keramah-
tamahan, kebanggaan pribadi, dan semangat organisasi harus
dapat diberikan pada setiap karyawan yang bekerja dalam suatu
organisasi.
3. Meningkatkan stabilitas sistem sosial. Terpantul dari tingkat
dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan menguatkan, dan
tingkat dimana konflik dan kesempatan diatur dengan efektif.
4. Membentuk perilaku dengan menolong anggota untuk memiliki
perasaan terhadap sekelilingnya. Fungsi ini menolong karyawan
untuk memahami apa yang dilakukan organisasi dan
bagaimana organisasi menyempurnakan tujuan jangka
panjangnya.
Organizatinal
identity
69
Gambar 2. Empat fungsi dari budaya organisasi
Sumber: Kreitner dan Kinicki (2005) diadaptasi dari dengan Smirchich,
Concepts of Culture and Organizational Analysis (1983
1.4 Tipe-tipe
Dalam beberapa dekade terakhir berkembang beberapa
pengelompokkan tipe budaya organisasi. Menurut Cameron dan
Quinn (1999) budaya organisasi dibedakan dari fokus internal dan
eksternalnya dan usaha organisasi dalam hal fleksibilitas dan
individualistik atau stabilitas dan kontrolnya. Sehingga dalam
konteks ini terbagi menjadi 4 budaya organisasi, yaitu:
1. Clan
Suatu organisasi yang berpusat pada pemeliharaan faktor
internal, seperti: fleksibilitas, perhatian pada karyawan, dan
peka terhadap pelanggan.
2. Hierarchy
Suatu organisasi yang berpusat pada pemeliharaan faktor
internal yang memerlukan stabilitas dan kontrol.
3. Adhocracy
Suatu organisasi yang berpusat pada faktor eksternal dengan
tingginya derajat fleksibilitas dan individualistik.
4. Market
Suatu organisasi yang berpusat pada pemeliharaan faktor
eksternal yang membutuhkan stabilitas dan kontrol. Seringkali
budaya organisasi dilihat sebagai budaya yang kuat (strong culture)
Social system
stability
Sense-making
device
Collective
comitment Organizational
culture
70
dan budaya yang lemah (weak culture). Organisasi dengan budaya
yang kuat biasanya terbentuk dari kepemimpinan yang kuat pula.
Hal ini juga didukung oleh kebersamaan dan intensitas dari
anggota yang memiliki nilai dasar yang sama dan berkomitmen
untuk menjalankan nilai-nilai dasar tersebut (Luthans, 1992) dalam
Muchlas (2005). Sebaliknya organisasi dengan budaya yang lemah
menunjukkan tingginya turn over karyawan, kurang pahamnya
karyawan terhadap misi organisasi, rendahnya loyalitas karyawan
dan komitmen organisasi (Robbins, 1996).
Selain tipe budaya organisasi diatas, ada kerangka untuk
budaya organisasi yang disebut Competing Values Framework
(CVF). Model ini sering digunakan dalam penelitian manajemen
mutu (Detert et al, 2000) dalam Stock et al (2007). Sementara itu
Kalliath et al (1999); Gilfford et al (2002) dalam Stock et al (2007)
percaya bahwa CVF menjadi model konsep yang cocok untuk
digunakan sebagai pedoman untuk mengeksplorasi hubungan
antara budaya organisasi dengan penurunan medical error.
Karakteristik dari CVF adalah adanya 2 dimensi yang
mencerminkan orientasi nilai yang berbeda (Stock et al, 2007).
Dimensi yang pertama, diwakili sumbu fleksibilitas-kontrol
(flexibility-control) yang menunjukkan tingkatan organisasi dalam
menekankan perubahan atau satbilitas. Orientasi fleksibiltas
mencerminkan fleksibilitas itu sendiri dan spontanitas, sedangkan
orientasi kontrol mencerminkan stabilitas, kontrol dan perintah.
Dimensi yang kedua, diwakili sumbu internal-eksternal (internal-
eksternal). Dimensi ini menunjukkan pilihan organisasi antara fokus
terhadap aktivitas yang terjadi di lingkungan internal atau
lingkungan eksternal. Melalui dua dimensi ini, dapat digolongkan 4
kelompok utama budaya organisasi, yaitu:
1. Group culture
71
Berpegang pada model human relations, menekankan
fleksibilitas, perubahan dan lebih lanjut ditentukan dari human
relations yang kuat, afiliasi dan fokus terhadap faktor internal
organisasi.
2. Development culture
Dihubungkan model open systems, juga menekankan pada
fleksibilitas tapi pada faktor eksternal. Pada dasarnya fokus
pada pertumbuhan, akuisisi sumber daya, kreatifitas ,dan
proses adaptasi terhadap lingkungan eksternal.
3. Rational culture
Berhubungan dengan model rational goal, fokus pada faktor
eksternal dan berorientasi pada kontrol. Menekankan pada
produktifitas dan pencapaian dengan tujuan yang khas.
4. Hierarchical culture
Memusatkan pada faktor internal dan penekanan pada
stabilitas.
Flexibility GROUP
CULTURE
DEVELOPMENTAL
CULTURE
External Internal
Human development
Commitment
Personal relations
Security
Formal rules
Control and structure
Goal accomplishment
Results-oriented
Aggressiveness
Teamwork
Loyalty
Mentoring
Uniqueness
Risk-tasking
Innovation
Resource acquisition
Product leadership
Entrepreneurship
72
Gambar 3. Competing values framework (CVF) of organizational culture
menurut (Stock, Mcfadden, & Gowen, 2007) diadaptasi dari Denison dan
Spreitzer (1991) dan Cameron dan Quinn (1999).
Pola budaya organisasi dapat juga dilihat dari prespektif
performance (kinerja). Lambatnya pemimpin dalam mengambil
keputusan dikarenakan sikap kehati-hatiannya, perilaku karyawan
yang suka menolong, dan budaya untuk bersaing diantara
karyawan dapat teramati dari kegiatan sehari-hari yang
berlangsung dalam suatu organisasi. Berdasarkan tinggi-rendahnya
kinerja organisasi, Cooke dan Rousseau (1988) membagi budaya
organisasi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Passive/ Defensive styles (atau people/ security culture):
budaya berdasarkan ijin, kebiasaan, terikat, dan menghindar.
Budaya ini biasanya mempunyai kinerja organisasi dan kinerja
karyawan yang rendah.
2. Aggresive/ defensive styles (atau task/ security culture): budaya
berdasarkan oposisi, kekuasaan, kompetitif, dan kompetisi/
perfeksionis. Budaya ini umumnya mendukung sesuatu yang
dapat dipercaya daripada tingkat kinerja yang baik dan inovasi.
73
3. Constructive styles (atau satisfaction culture): budaya
berdasarkan pencapaian, aktualisasi diri, suka menolong, dan
bergabung. Budaya ini biasanya memiliki kinerja yang tinggi dan
rendahnya tingkat stres dari anggota organisasinya.
1.5 Budaya organisasi lembaga pelayanan kesehatan
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat (UU RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit pasal 1). Selama beberapa tahun terakhir ini, kita
menyaksikan kondisi rumah sakit telah menjadi sebuah institusi
yang padat teknologi, padat modal, dan padat karya (Sujudi, 2011).
Perubahan lingkungan ini mendorong organisasi mempunyai sistem
untuk mendeteksi perubahan tersebut, menganalisis situasi,
menafsirkannya, dan menjadi rangsangan melakukan aksi sebagai
jawaban atas perubahan yang terjadi (Trisnantoro, 2005).
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, organisasi budaya
telah menjadi mitra dengan elemen dari kinerja organisasi yang
mempengaruhi mutu, seperti asuhan keperawatan, kepuasan kerja
dan keselamatan pasien (Boan dan Funderburk, 2003). Pada rantai
nilai (value chain) di dalam organisasi pelayanan kesehatan dapat
terlihat kedudukan budaya organisasi menjadi pendukung kegiatan
inti pelayanan kesehatan.
Pre-service: Point-of-service: After service:
Market/ marketing- Clinical operations Follow-up
research quality clinical marketing
Target market Process inovation- Billing
Pricing marketing Follow-on clinical-
Service Promotion Patient satisfaction marketing
Delivery Logistik
ORGANIZATIONAL CULTURE
Shared assumptions, Shared values, Behavioral norms
Support
Activity ORGANIZATIONAL STRUCTURE Function Division Matrix
74
Add Value
Gambar 4. The Value Chain menurut Swayne et al (2006)
diadaptasi dari Porter (1985)
2. Total Quality Manajement (TQM)
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan mutu organisasi
dengan mengaktualisasikan Total Quality Manajement (TQM). Istilah
TQM identik dengan Continuous Quality Improvement (CQI), dan Total
Quality Control (TQI). Ketiga istilah ini menurut Wijono (1999) disebut
dengan Manajemen Mutu Paripurna. Manajemen mutu paripurna berarti
suatu proses manajemen dengan pendekatan perilaku atau budaya
organisasi yang berorientasi pada peningkatan mutu terus-menerus
dan kepuasan pelanggan, dengan dukungan komitmen pimpinan,
kebersamaan karyawan serta secara lintas fungsional, menyeluruh,
terpadu dengan pendekatan sistem, dan didasari metode ilmiah dalam
pemecahan masalah serta pengambilan keputusan.
Sedangkan menurut Logothetis (1992) TQM adalah suatu
budaya dimana dalam budaya itu ada komitmen total untuk kualitas dan
suatu perilaku yang dinyatakan oleh setiap orang yang terlibat dalam
proses perbaikan yang berkelanjutan terhadap produk dan pelayanan
melalui penggunaan metode ilmiah yang inovatif. TQM juga diartikan
sebagai suatu pendekatan manajemen yang mencakup dimensi sosial
dan teknis yang bertujuan pada pencapaian hasil yang unggul melalui
75
kerangka kerja spesifik (Lluzar et al, 2008). Konsep TQM akan menjadi
kekuatan pengendali untuk perubahan yang dapat dilakukan oleh
organisasi-organisasi sekarang ini (Irani et al, 2004).
Sebagai kesatuan usaha peningkatan mutu TQM memiliki
pondasi atau akar penunjang. Pondasi ini dapat mengispirasi
manajemen rumah sakit untuk mengintegrasikan mutu di rumah sakit.
Menurut Wijono (1999) sitasi Schmidt dan Finnigan (1992) pondasi
TQM adalah:
1. Manajemen ilmiah: suatu cara terbaik untuk mengerjakan suatu
pekerjaan.
2. Dinamika kelompok: memperoleh dan mengorganisasikan kekuatan
dari pengalaman kelompok.
3. Pelatihan dan pengembangan: investasi modal sumber daya
manusia.
4. Pencapaian motivasi: orang memperoleh kepuasan dari
prestasinya.
5. Sistem sosioteknik: organisasi beroperasi sebagai sistem terbuka.
6. Budaya organisasi: kepercayaan, mitos, dan nilai-nilai yang
menuntun perilaku manusia dalam organisasi.
7. Pengembangan organisasi: membantu organisasi dalam belajar
dan perubahan.
8. Teori kepemimpinan baru: inspirasi dan memberdayakan dalam
kegiatan-kegiatan.
9. Konsep rangkaian peniti (the linking pin concept) dari organisasi,
konsep yang menekankan hubungan pertalian: menciptakan cross
fuctional team.
10. Rencana strategis: menetukan dimana menempatkan organisasi
dan bagaimana mencapai tujuan.
Istilah lain yang sering digunakan saat ini dalam meningkatkan
mutu produk baik barang dan jasa adalah pelayanan prima (excellent
service). Unsur-unsur pelayanan prima sesuai dengan keputusan
76
Menpan No. 81/1993 adalah: kesederhanaan, kejelasan dan kepastian,
keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, dan
ketepatan waktu. Pelayanan prima dapat dilakukan dengan pendekatan
TQM atau CQI yang prinsip pokonya secara ringkas menurut Wijono
(1999) adalah:
1. Berorientasi dan berfokus pada mutu dan kepuasan pelanggan.
2. Komitmen pimpinan dan partisipasi menyeluruh semua karyawan
serta kerjasama tim.
3. Pendekatan ilmiah, pendidikan dan latihan, dan menyelesaikan
masalah serta mengambil keputusan.
4. Peningkatan terus-menerus dengan siklus Deming (Siklus PDCA).
5. Perbaikan sistem manajemen.
TQM merupakan suatu pendekatan sistematis terhadap
perencanaan dan manajemen aktifitas sebagai akibat dari revolusi mutu
yang panjang. Di dalam konsep TQM terdapat berbagai komponen
yang semuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
dengan biaya serendah mungkin (Lesley Munro dan Malcolm
Munro,1999). Komponen TQM terdiri dari:
1. Memahami pelanggan: eksternal dan internal
2. Memahami bisnis: analisis fungsi dan biaya mutu
3. Sistem manajemen mutu: BS5750, ISO 9000, AQAP, EFQM, BNQP
4. Perbaikan mutu berkesinambungan: komitmen manajemen,
keterlibatan karyawan, pendidikan, kerjasama, pengukuran,
pencegahan kesalahan
5. Kiat-kiat mutu: pengawasan proses dengan statistik, penyebaran
fungsi mutu, benchmarking, pemecahan masalah
2.1 Budaya organisasi dengan peningkatan mutu (quality improvement)
Budaya organisasi yang mendukung seringkali disebutkan
sebagai komponen kunci yang memprakarsai peningkatan mutu di
berbagai industri, termasuk pelayanan kesehatan (Boan dan
77
Funderburk, 2003). Shortell et al (1995 dan 2000) mengatakan
bahwa pemimpin mempunyai komitmen terhadap peningkatan
mutu. Organisasi yang mendukung hubungan interpersonal dan
membesarkan hati karyawan agar membuat eksperimen adalah
karakteristik penting suatu organisasi yang berhubungan dengan
upaya peningkatan mutu yang sukses (Edmondson, 1999;
Edmondson, 2001; Sarin dan McDermott, 2003).
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, budaya organisasi
berkaitan dengan kinerja organisasi yang berpengaruh pada mutu,
seperti pelayanan perawat, kepuasan kerja, dan keselamatan
pasien (Boan dan Funderburk, 2003). Lebih jelasnya Love et al
(2001) sitasi dari Oakland (1993) dan Creech (1994) meringkas
beberapa keistemewaan yang penting dari konsep TQM adalah:
1. Kepuasan pelanggan
2. Perbaikan berkelanjutan
3. Kepemimpinan (komitmen total dari top management terhadap
prinsip TQM)
4. Menekankan pada kerja tim (penyelesaian masalah dengan
komunikasi dan kerjasama yang baik dari berbagai divisi/
disiplin ilmu)
5. Pemberdayaan (sikap dan harapan tentang cara bekerja harus
berubah dan sejalan dengan filosofi TQM)
2.2 Hubungan budaya organisasi dan TQM
Berbagai penelitian menunjukkan ada hubungan antara
budaya organisasi dengan implementasi TQM. Sebagian penelitian
menunjukkan dampak budaya organisasi pada TQM, sedangkan
penelitian lain menunjukkan pengaruh TQM terhadap budaya
organisasi dan perubahannya. Menurut Irani et al (2004)
implementasi TQM memerlukan perubahan terhadap asumsi
bersama, kerangka berpikir, dan pemahaman bahwa organisasi
78
dapat berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya.
Perubahan ini akan berpengaruh pada kepercayaan dasar dan nilai
dasar yang dipegang oleh karyawan dalam bekerja (Ngowi, 2000).
Karena itu banyak organisasi yang sekarang berusaha untuk
mengidentifikasi budaya organisasinya yang penting dalam
mengimplementasikan program TQM (Maull et al, 2001) dalam Irani
et al (2004).
......................................
Learning Learning
Intra-Organizational Inter-Organizational
Learning Learning
.................................
Organizational Excellence
Strategic
Alliance
Innovation
Structure
Strategy
Technology
Open Culture
Total Quality Management
Continuous
Improvement
79
Gambar 5. Interaksi dari Kegiatan Bisnis di Velden
Engineering (Irani et al, 2004)
Suatu organisasi yang berkomitmen terhadap TQM akan
memiliki budaya yang berdasarkan komitmen pada kepuasan
pelanggan melalui continuous improvement (Irani et al , 2004).
Sebagai contoh: komitmen karyawan untuk selalu mematuhi
prosedur dalam bekerja di unit pelayanan. Usaha ini akan
berdampak pada berkurangnya kesalahan sehingga pelanggan
merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. TQM adalah
suatu filosofi dimana organisasi dapat menggunakannya untuk
meningkatkan performance, tapi ada penekanan berlebihan antara
alat dan tekniknya. Hal ini menimbulkan prioritas untuk
menciptakan suatu perubahan budaya yang diperlukan (Page dan
Curry, 2000) dalam Irani et al (2004).
Menurut Lakhe dan Mohanty (1994) dalam Irani et al (2004)
ada beberapa ukuran penting untuk menghasilkan perubahan
budaya, diantaranya:
1. Kebijakan organisasi, prosedur, dan proses yang menekankan
pada mutu.
2. Setiap orang di dalam organisasi harus memiliki pemahaman
yang jelas terhadap pentingnya kualitas dalam pencapaian
tujuan bisnisnya.
3. Karyawan pada semua level harus sadar terhadap keperluan
dan kebutuhan pelanggan.
4. Struktur dari organisasi dapat mengikuti continuous
improvement.
5. Persyaratan pelanggan baik internal dan eksternal harus
terintegrasi dalam business plan.
6. Menggunakan pengukuran kinerja yang berbasis pada
pelanggan adalah penting.
80
7. Perlunya mengembangkan jaringan komunikasi yang kuat.
8. Komitmen pada pelanggan perlu dikembangkan.
9. Perhatian pada nilai dan kepercayaan yang berorientasi pada
pelanggan harus didukung oleh top management.
Di sisi yang lain, aktualisasi TQM dapat merubah budaya
organisasi tersebut pada budaya yang lebih mengutamakan mutu
atau disebut budaya mutu. Hal itu dapat dipengaruhi juga oleh
strategi organisasi yang secara radikal akan menggiring untuk
perubahan budaya dalam jangka waktu yang panjang. Pada
dasarnya mengadopsi TQM akan mensyaratkan organisasi untuk
mengimplementasikan perubahan seluruhnya (Oakland dan Shoal,
1996) dalam Ngowi (2000).
Menurut Love et al (2001) sitasi dari Lewin (1958) perubahan
organisasi dapat terjadi pada:
1. Merubah individu yang bekerja di dalam organisasi, contoh:
ketrampilan, nilai, sikap, dan perilaku (individual strategy)
2. Merubah sistem dan struktur organisasi (system and structure
strategy)
3. Secara langsung merubah budaya organisasi atau gaya
interpersonal (cultural strategy)
Memang tidak ada satupun pendekatan terbaik yang dapat
digunakan dalam mengimplementasikan filosofi TQM, sehingga
suatu pendekatan unik dibutuhkan dan budaya organisasi itu
sendiri harus dikembangkan (Sohal dan Terziovski, 2000) dalam
Irani et al (2004).
2.3 TQM dan EFQM (European Foundation for Quality Management)
EFQM pertama kali didirikan tahun 1988 sebagai upaya
fokus terhadap mutu organisasi-organisasi di Eropa. Tahun 1991
EFQM meluncurkan suatu model dari business excellence (bisnis
81
unggul). Tapi kata business ini dalam perjalanan waktu dilepas
dari judulnya karena model ini diterima di semua sektor publik dan
termasuk organisasi not for profit. Tahun 1999 EFQM Excellence
Model terdaftar sebagai merek dagang dari EFQM.
Model ini terdiri dari sembilan kriteria penilaian, yaitu:
kepemimpinan, kebijakan dan strategi, SDM, kemitraaan dan
sumber daya, proses, hasil pada pelanggan, hasil pada karyawan,
hasil pada masyarakat, dan hasil kinerja utama. Dale et al (2000)
dalam Llusar et al (2008) menemukan bahwa banyak manajer dan
penilai yang mengerti model ini secara detail tapi tidak mengerti
TQM dan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
Dalam perkembangan implementasi TQM, dikenal model
penghargaan mutu selain EFQM, seperti Malcolm Baldridge
National Quality Award (MBNQA). Kedua model ini digunakan
sebagai petunjuk untuk mengimplementasikan TQM oleh sebagian
besar organisasi-organisasi di dunia (Lluzar et al, 2008).
Michalska (2008) juga mengatakan bahwa EFQM excellence
model adalah perangkat untuk perbaikan organisasi berdasarkan
prinsip-prinsip TQM. Prinsip TQM yang dimaksud adalah: fokus
pada pelanggan; kepemimpinan dan tujuan yang konstan;
manajemen berdasarkan proses dan fakta; pengembangan dan
keterlibatan SDM; perbaikan, inovasi, dan pembelajaran
berkelanjutan; pengembangan kemitraan; tanggungjawab
organisasi pada masyarakat; dan orientasi hasil. Lluzar (2008)
menegaskan bahwa model EFQM ikut memperhitungkan
keseluruhan dari dua dimensi TQM yaitu: dimensi sosial dan teknis.
Model EFQM dapat digunakan sebagai kerangka kerja operasional
untuk mengimplentasikan TQM dalam organisasi.
3. Clinical Governance
82
3.1 Definisi dan konsep
Menurut (Starey, 1999) clinical governance adalah sistem
baru untuk meningkatkan standar dari praktek klinis. Konsep ini
pertama kali dikenalkan oleh UK Government (NHS Executive,
1998), clinical governance didefinisikan sebagai suatu kerangka
kerja dimana organisasi pelayanan kesehatan bertanggungjawab
terhadap perbaikan mutu pelayanan yang berkelanjutan dan
menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan menciptakan suatu
lingkungan yang memiliki pelayanan klinis prima.
Lalu apakah makna clinical governance tersebut bagi
pasien/ pelanggan, staf, dan organisasi? CYWS, Government of
South Australia (2006) memberikan makna sebagai berikut:
1. Pasien/ pelanggan
Pelanggan mendapatkan hak untuk percaya bahwa pelayanan
terhadap dirinya didasarkan oleh penfetahuan terkini oleh staf
yang up to date , dan didukung oleh organisasi yang
mengembangkan dan menjaga standar praktek dan pelayanan
kesehatan yang tinggi. Pelanggan/ pasien dan keluarganya
berhak berpartisipasi dalam perawatan dan pelayanan yang
diterimanya, dan membuat keputusan tentang perawatan
tersebut.
2. Staf
Staf didukung untuk melakukan pendekatan dalam
pekerjaannya dengan keterbukaan dan pola berpikir bertanya,
dan dengan kebersamaan tujuan untuk memberikan pelayanan
terbaik. Ini berarti bahwa staf secara individual ataupun
bersama-sama melakukan monitor dan memastikan bahwa
pelanggan mendapatkan pelayanan yang up to date dan
berdasarkan pengetahuan terkini. Peran dan tanggungjawab
staf telah jelas diberikan dan membantu staf untuk mengambil
tindakan konstruktif yang tepat. Untuk mencapai ini staf
83
membutuhkan pelatihan dan pengembangan terus menerus dan
didukung oleh kepemimpinan klinik yang kuat.
3. Organisasi
Melalui board dan executive, organisasi bertanggungjawab
kepada pelanggan/ pasien dan masyarakat untuk memastikan
bahwa pelayanan yang diberikan aman, efektif dan efisien.
Mendengarkan pasien, termasuk ketetapan dan perencanaan
perawatannya dapat menjadi masukan untuk pengembangan
pelayanan merupakan dasar untuk clinical governance. Dalam
mencapai pelayanan yang prima, organisasi bertanggungjawab
terhadap staf dalam menyediakan lingkungan kerja yang aman,
ada mekanisme untuk mendapatkan feedback dari staf, dan
adanya kesempatan untuk mendapat pelatihan dan
pengembangan. Hal ini juga harus didukung oleh executive,
pimpinan klinik, dan manajer yang menerapkan kepemimpinan
yang konstruktif dan bertanggungjawab terhadap keselamatan/
keamanan dan mutu pelayanan.
Komponen-komponen penting dalam clinical governance
adalah: pendidikan dan pelatihan, audit klinik, efektifitas klinik,
penelitian dan pengembangan, keterbukaan tanggung jawab, dan
manajemen resiko.
Education and
training
Openness
accounta-
bility
Clinical
audit Risk
manage-
ment
Clinical
effective-
ness Research
and
develop-
ment
Clinical
governance
84
Gambar 6. The elements of clinical governance menurut Starey
(1999)
Lebih lanjut lagi prinsip teori ini diterjemahkan ke dalam
sistem dan proses yang aktual di organisasi pelayanan kesehatan.
Perkembangan aplikasi teori clinical governance ke dalam
prakteknya dapat mengalami beberapa hambatan. Hambatan yang
sering muncul adalah: prosedur klinis yang tidak jelas dan belum
disosialisasikan secara optimal, ketrampilan klinis para klinisi yang
rendah, dan tidak terbentuknya tim kolaborasi yang handal. Dalam
penelitian yang dilakukan Scally dan Donaldson (1998) membagi
komponen-komponen clinical governance dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya menjadi:
1. Mencegah resiko: pelatihan staf yang baik, prosedur yang jelas,
lingkungan yang aman.
2. Kinerja yang rendah: pengakuan dini, intervensi yang tegas,
regulasi yang efektif, feedback pada kinerja.
3. Metode mutu: praktek yang bermutu, kebijakan klinik berbasis
bukti, pembelajaran dari kesalahan, peningkatan proses yang
terintegrasi.
4. Budaya: terbuka dan berpartisipasi, kepemimpinan yang baik,
nilai pendidikan dan penilaian, pasien sebagai mitra kerja, etos
dari tim kerja.
5. Infrastruktur: akses terhadap pendidikan, waktu yang diperlukan
untuk perencanaan, strategi pelatihan dan pengembangan, paket
pendukung tekonologi informasi.
6. Hubungan: meluruskan tujuan dari individu, tim dan organisasi,
komunikasi yang sempurna, mitra kerja eksternal.
85
3.2 Budaya organisasi dan clinical governance
Clinical governance dalam sejarahnya merupakan salah
satu perwujudan dari aspek mutu yang dideskripsikan WHO
sebagai: manajemen profesional, efisiensi sumber daya,
manajemen resiko, dan kepuasan pasien (Swage, 2000). Pada
dasarnya SDM (sumber daya manusia) adalah pelaku pelayanan
klinis di rumah sakit dan juga sebagai kontibutor utama clinical
governance yang baik. Para klinisi ini akan beradaptasi di dalam
lingkungan kerjanya (organisasi) yang dipengaruhi juga oleh
budaya yang ada.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Freeman (2003)
(Freeman, 2003) tentang hubungan antara budaya organisasi
dengan implementasi clinical governance menunjukkan bahwa
hierarchical culture sangat lemah untuk mendukung implementasi
clinical governance. Dalam penelitian yang sama developmental
culture justru dianggap sebagai budaya yang dapat mendukung
implementasi clinical governance dengan baik. Hal ini dikarenakan
beberapa sifat yang terdapat pada hierarchical culture yang tampak
sebagai kumpulan formalitas, banyaknya aturan-aturan, dan
kepemimpinan yang terfokus pada atasan. Sementara pada
developmental culture ditemukan adanya keterbukaan, partisipasi
aktif, aktualisasi dan pengembangan diri serta fleksibilitas antara
atasan dan bawahan yang semuanya itu diperlukan dalam
aktualisasi clinical governance.
Hubungan yang erat antara budaya dan clinical governance
dikemukakan oleh Marshal (2002) sebagai berikut:
1. Pencapaian perbaikan mutu (klinis) yang berarti dan dapat
bertahan membutuhkan perubahan mendasar dalam budaya.
2. Clinical governance membutuhkan pondasi budaya yang
mempunyai nliai pembelajaran seumur hidup.
86
3. Clinical governance akan membawa suatu budaya dimana
pelayanan yang prima dapat bertumbuh.
87
Gambar 7. Components of the clinical governance framework (Victorian Government Departement of Human Service, 2009)
Consumer
Patient
Resident
Experience
and
Quality
care
Effective
workforce
Clinical
Teams
Consumer
Participation
Clinical
Effectivenes
s
Risk
management
Measure
Performance
Governance of
Clinical Care
Planning
and
resource
allocation
Prioritas
and
strategy
Legislative
compliance
Organization and
committee structures,
systems and processes
Culture Roles and
responsibilities
Report
review and
respond to
performance
Continuity
of care
88
Pada penelitian yang dilakukan Deo et al (2008) kita dapat
mengetahui aspek-aspek dalam budaya organisasi yang
berpengaruh dalam peningkatan mutu (klinis) rumah sakit,
diantaranya:
1. Pimpinan klinis yang memiliki visi untuk meningkatkan mutu
pelayanan.
2. Respon dari pimpinan dalam mengemukakan ide untuk
peningkatan mutu.
3. Kecakapan pimpinan untuk mengimplementasikan ide yang
baru.
4. Dukungan pimpinan untuk berkolaborasi.
5. Partisipasi klinisi dalam mengadopsi guidlines (pedoman) yang
baru.
6. Inisiatif staf dalam mengembangkan ide baru untuk peningkatan
mutu.
7. Pelatihan staf tentang teknik peningkatan mutu.
8. Kerjasama baik diantara staf untuk implementasi ide tentang
peningkatan mutu.
9. Staf yang mau menerima ide baru untuk peningkatan mutu.
Kedudukan clinical governance yang merupakan bagian
dari corporate governace akan menjadi tanggungjawab semua
pihak, baik dari pemilik, manajemen puncak, staf medis fungsional
(smf), perawat hingga bagian umum. Suatu budaya yang baik
(benar) akan diperlukan untuk menciptakan kondisi yang
diinginkan. Menciptakan budaya, merubah budaya, siapa yang
mebuat budaya, siapa yang memulai perubahan senantiasa
menjadi pertanyaan untuk meningkatkan mutu klinis rumah sakit.
Scally dan Donaldson (1998) menyatakan bahwa untuk
menyukseskan implementasi clinical governance dalam organisasi
perlu penempatan budaya dengan benar. Persyaratan yang
dibutuhkan menurut Braine (2006) adalah: cara baru dalam berpikir
89
dan bekerja, kerjasama tim, strategi untuk perubahan budaya yang
bersifat terbuka, kreatif, dan suportif serta kepemimpinan di setiap
level dalam organisasi.
Norma, kepercayaan dan nilai dasar yang tertanam pada
klinisi tentu memiliki dampak terhadap pekerjaan/ tugas yang
dijalankan. Keselamatan pasien , penurunan medical error menjadi
fokus utama dan sekaligus hasil utama dalam pelaksanaan clinical
governance. Lingkungan kerja yang kondusif erat kaitannya dengan
budaya organisasi yang telah berkembang di lingkungan tersebut.
Organisasi yang dapat menciptakan lingkungan dimana ada
keterbukaan dan partisipasi, dimana ada ide-ide dan praktek yang
baik, pendidikan dan pelatihan yang ditanamkan, dan tidak
langsung menyalahkan adalah lingkungan yang fit untuk
tumbuhnya clinical governance (Braine, 2006).
4. Budaya Organisasi, TQM, dan Clinical Governance
Memberikan pelayanan klinis yang bermutu, aman dan sesuai
dengan standar merupakan tugas utama para klinisi dalam suatu
organisasi kesehatan. Untuk mencapai mutu ini, masing-masing klinisi
diharapkan bergantung pada klinisi lain dalam timnya, kolaborasi kerja
yang baik antar disiplin ilmu menjadi dasar pelayanan yang baik.
Pelayanan yang baik akan bergantung pada organisasi dan lingkungan
dimana klinisi tersebut bekerja (Roland et al, 2001 sitasi dari Berwick et
al, 1992 dan Abelson et al, 1997). Pendekatan budaya dari segi
individual (klinisi dalam memberikan pelayanan sesuai standar) dan
organisasi (tempat yang memfasilitasi terjadinya pelayanan yang aman
dan berkualitas) akan diperlukan untuk mendapat perubahan yang
berarti.
Pencapaian mutu klinis akan mudah dicapai bila organisasi juga
menerapkan sistem mutu yang menjamin pelayanan yang diberikan
selalu berkualitas. Beberapa pendekatan untuk peningkatan mutu telah
90
dikenal, yang terkenal adalah CQI atau TQM (Roland et al, 2001 sitasi
dari Berwick, 1989; Joss dan Kagan, 1995). Penggunaan konsep TQM
dalam manajemen mutu dan budaya organisasi (faktor-faktor yang
berpengaruh) akan melahirkan budaya mutu yang mempercepat
implementasi dari clinical governance. Menurut Holland dan Fennel
(2000) sitasi dari Wakefield dan Pontefract Community Health NHS
Trust (1999) mendeskripsikan clinical governance adalah ACE,
gabungan dari komponen Accountablity, Culture, dan Effectiveness.
Gambar 8. Clinical Governance is ACE
Sumber: Wakefield dan Pontefract Community Health NHS Trust (1999)
Budaya mutu yang kuat dalam meningkatkan mutu pelayanan
(klinis) rumah sakit mengharuskan agar organisasi melihat kembali
Result Processes
Quality
Patient
Care
People
Culture - Leadeship - People Management
- Strategy/ Policy
- Resources/ time
- Team work
Accountability Effectiveness
- Individual Profesional
- Performance management:
internal and external
- Commission for health
improvement
- Public
-
- Evidence Based Care
- Clinical Audit
- Clinical Risk Management
- Learning lesson from complaints/
critical incidents
- User and carer feedback
- Record Keeping/ data collection
- National standards/ framework
- Care pathways
91
beberapa atribut dari budaya organisasinya. Menurut penelitian yang
dilakukan Konteh et al (2008) ditemukan adanya persetujuan dari para
klinisi yang menganggap adanya atribut-atribut budaya yang penting.
Atribut budaya dilihat sebagai faktor yang turut berpengaruh terhadap
suksesnya implementasi clinical governance di rumah sakit. Atribut ini
disusun berdasarkan urutan pentingnya. (nomer pertama adalah sangat
penting dan nomer terakhir adalah kurang penting):
1. Komitmen manajer senior
2. Fokus pada kualitas
3. Kejelasan tanggungjawab
4. Fokus terhadap pasien
5. Kesadaran akan keselamatan/ keamanan
6. Bekerja dalam tim
7. Bekerja dengan berkolaborasi
8. Lingkungan yang tidak saling menyalahkan
9. Mendukung inovasi
10. Kebiasaan dalam pelayanan
11. Standar pelayanan
12. Fokus terhadap efektifitas biaya
13. Semangat pelayanan
14. Prioritas dari pilihan
Penatalaksanaan prosedur klinis dengan baik pada pelayanan
yang diberikan kepada pasien berarti sudah menganggap pasien
sebagai tujuan pelayanan dan telah mengintegrasikan mutu pada
pelayanan tersebut. Kesalahan dalam melakukan tindakan medis yang
sesuai dengan prosedur atau menggunakan prosedur yang salah
dalam melakukan tindakan medis disebut sebagai medical error.
Adverse event (kejadian yang tidak diharapkan), near miss (nyaris
cedera), ataupun medical error merupakan outcome klinis yang harus
92
dihindari atau diminimalisir dalam menciptakan pelayanan yang aman
dan bermutu
5. Strategi implementasi mutu klinis
Highland NHS Board (2006) merumuskan strategi clinical
governance yang mengikuti 6 prinsip adalah sebagai berikut:
Prinsip 1. Patient focus
Sebagai langkah awal fokus pada pasien adalah menempatkan
prespektif pasien dalam segala aspek seperti perencanaan, desain
pelayanan dan sumber daya yang digunakan. Strateginya adalah:
a. Pasien harus diperlakukan dengan hormat dan penuh perhatian
b. Pasien harus terlibat dan diinformasikan tentang semua
keputusan yang menyangkut alur perawatannya
c. Pasien harus tahu bahwa privasi, martabat, dan kerahasiaan
akan selalu dijaga.
Prinsip 2. Clinical Effectiveness and Research
Profesional kesehatan mendukung untuk memastikan bahwa
prakteknya berdasarkan bukti yang ada/ terkini. Organisasi dapat
mendukung profesional kesehatan dalam mencapai tujuannya
dengan memastikan bahwa tindakan klinis terintegrasi dalam
semua pelayanan klinis dan dikembangkan dari suatu budaya
penelitian. Strateginya adalah: Pasien harus menerima perlakuan,
pelayanan, dan bantuan puntuk peningkatan kesehatannya
berdasarkan pada bukti terbaik yang tersedia.
Prinsip 3. Safety
Organisasi harus melakukan review secara sistematis dan berkala
serta memperbaiki proses pelayanan kesehatan dan praktek kerja
untuk mencegah atau mengurangi resiko cidera. Strateginya
93
adalah: Pasien harus dirawat dalam lingkungan yang aman dan
mempunyai resiko yang minimal.
Prinsip 4. Learning Organization
Organisasi harus memastikan memiliki staf yang memenuhi
kualifikasi yang sesuai (terlatih, bekerja sesuai standar nasional,
dan kompeten) dan continuing professional development dapat
diterapkan untuk semua profesional kesehatan. Semua staf
mempunyai kemungkinan yang sama untuk mendapatkan pelatihan
dan pengembangan yang dibutuhkan. Strateginya adalah: Pasien
harus mendapat pelayanan yang diberikan oleh staf yang terlatih
dalam pekerjaaannya dan mengambil bagian dalam pelatihan yang
berkelanjutan.
Prinsip 5. Partnership
Organisasi dapat mempromosikan pentingnya kerjasama dan
kolaborasi kemitraan dengan seluruh agen yang dapat membawa
perbaikan kesehatan dalam populasi yang umum dan memastikan
pasien menerima pelayanan yang komprehensif. Strateginya
adalah: Pasien harus dirawat oleh staf yang bekerja dalam
kemitraan dengan seluruh agen yang dapat membawa perbaikan
dalam kesehatannya.
Prinsip 6. Reducing Inequality
Organisasi merupakan suatu komunitas dimana sistem informasi
berjalan denagn baik, termotivasi, dan memperhatikan
kesehatannya sendiri. Strateginya adalah: Organisasi memastikan
keadilan dalam mengakses pelayanan dan mengurangi
ketidakadilan dalam kesehatan.
Sementara itu Paris dan McKeown (1999) menuliskan bahwa ada
strategi clinical governance yang disebut COPE untuk meningkatkan
mutu klinis rumah sakit. COPE merupakan gabungan kata Clinical,
Organizational, Profesional, dan Economic. Secara rinci strategi dari
tiap-tiap elemennya adalah sebagai berikut:
94
Clinical: untuk mencakup pengembangan dan pemeliharaan clinical
guidlines.
Organizational: untuk memastikan bahwa kebutuhan organisasi sesuai
dengan permintaan klinis yang ada.
Professional: untuk mendukung pendidikan, pelatihan dan
pengembangan yang disyaratkan bagi staf yang memberikan
pelayanan.
Economic: untuk menjamin penggunaan sumber daya yang tersedia
dengan tepat, termasuk penetapan prioritasnya.
Beberapa penulis telah mengidentifikasi elemen-elemen dari
budaya yang perlu sekali untuk dirubah dalam menciptakan good
clinical governance. Stead et al (2000); Roland dan Baker (1999);
Garside (1998); Marks dan Hunter (2000); Donaldson (2000) dalam
Nicholls et al (2000) merumuskan sebagai berikut:
1. Continuous quality improvement: Mencari jalan untuk meningkatkan
pelayanan adalah suatu rutinitas, belajar dari kebaikan dan
kekurangan, adanya feedback yang rutin terhadap kinerja,
menyediakan sistem informasi manajemen klinis dan menggunakan
dapat menggunakan informasi sebaik mungkin dari sistem tersebut.
2. No-blame culture and system awareness: pendekatan pada
kesalahan terhadap sistem daripada fokus pada kesalahan
individual.
3. Teamwork: Dalam hal mengenal pasien bukan hanya dilakukan
oleh staf secara individual, tapi juga dari seluruh staf dalam tim
pelayanan kesehatan. Menggunakan project teams yang fleksibel
untuk proses pelayanan yang kompleks dengan anggota tim lintas
fungsi atau ikatan profesi.
4. Communnication: komunikasi internal dan eksternal yang baik.
Kemitraan dalam tim yang kuat, mengalokasikan waktu dan
membiasakan berdiskusi tentang kejadian yang penting. Berbagi
informasi dan ketrampilan diantara profesional kesehatan.
95
5. Ownership: mitra kerja terlibat dalam perubahan tapi tidak untuk
mennjatuhkan. Memastikan suatu pendekatan inklusif untuk
membangun tanggungjawab bersama sehingga masalah dapat
dibagikan dan anggota tim memiliki keinginan untuk mengakui
masalah tersebut. Ini dapat membuat anggota tim merasa berharga
dalam pekerjaannya.
6. Leadership: Visi yang jelas dari pemimpin tentang apa yang harus
dicapai; misalkan kejelasan rencana kerja, kapasitas manajemen
proyek, gaya terbuka dan berpatisipasi, tim manajemen eksekutif
yang kuat.
7. Continuous learning: pendidikan, pengembangan dan penelitian
untuk individual, dan menanamkan manajemen pengetahuan.
8. Patient focus: fokus pada pasien dan pengguna pelayanan dengan
mengenal faktor penting dari pengalaman pasien (patients
experience) terhadap pelayanan kesehatan.
Elemen-elemen ini sudah termasuk dari faktor budaya yang sangat
mempengaruhi clincal governance (Paris dan McKeown, 1999;
Campbell et al, 2011), diantaranya:
1. Open and participative
2. Good leadership
3. Education and research valued
4. Patient partnership
5. Ethos of teamwork
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Australia Barat
merumuskan 8 (delapan) standar clinical governance sebagai berikut:
1. Tanggungjawab:
Organisasi bertanggungjawab terhadap ketegasan clinical
governance. Adanya alur yang jelas dari individu, unit, dan sistem
pertanggungjawaban untuk clinical governance termasuk area kerja
96
dari kepala bagian eksekutif, tim eksekutif, staf medis, dan staf klinis
yang lainnya. Krtiterianya:
1. Kepala bagian bertanggungjawab penuh terhadap clinical
governance.
2. Para petugas telah diatur tanggungjawabnya terhadap
implementasi dan manajemen program clinical governance.
3. Organisasi telah menetapkan alur yang jelas untuk clinical
governance.
4. Staf klinis terlibat dalam clinical governance.
2. Kebijakan dan strategi
Kebijakan dan strategi clinical governance telah tergabung dalam
rencana strategis organisasi. Kriterianya:
1. Adanya persetujuan tentang kebijakan dan strategi untuk clinical
governance yang direvisi minimal setiap dua tahun.
2. Strategi organisasi untuk clinical governance harus relevan
dengan tujuan strategis organisasi dan termasuk kebijakan dan
hasil yang terukur dari empat pilar clinical governance, yaitu:
1. Nilai pelanggan: kebijakan dan prosedur digunakan untuk
meningkatkan partisipasi pasien dan pelanggan.
2. Kinerja klinis dan evaluasi: kebijakan dan prosedur untuk
mengatur dan mengimplementasi perubahan dalam merespon
hasil pelayanan.
3. Manajemen resiko klinik: kebijakan dan prosedur untuk
mengatur dan mengimplemantasi perubahan dalam merespon
resiko klinis yang teridentifikasi. Termasuk diantaranya:
insiden klinis, kejadian tidak diharapkan, nyaris cidera, dan
kejadian sentinel (kejadian serius yang dapat mengakibatkan
kematian)
4. Manajemen pengembangan profesi: implementasi dari
kebijakan dan prosedur untuk pengembangan profesi dan
manajemen kinerja.
97
3. Struktur organisasi
Kebijakan dan strategi clinical governance telah terintegrasi
dalam struktur organisasi. Kriterianya:
1. Adanya persetujuan komite-komite untuk bertanggungjawab
dalam mengawasi segala aspek clinical governance.
2. Peran dan tanggungjawab dari komite clinical governance
telah ditentukan.
3. Komite clinical governance bertanggungjawab terhadap
koordinasi yang luas dalam organisasi dan
merekomendasikan prioritas kegiatan clinical governance.
4. Komite clinical governance mempunyai anggota yang
sebagian besar praktisi klinis, termasuk adanya satu atau
lebih staf medis.
5. Komite clinical governance memonitor dan melaporkan pada
kepala bagian eksekutif penyelesaian rekomendasinya.
4. Alokasi sumber daya yang tepat
Organisasi menyediakan SDM dan sumber daya fisik yang tepat
untuk memimpin, implementasi dan mendukung kegiatan clinical
governance. Kriterianya:
1. SDM dan sumber daya fisik yang tepat tersedia untuk
mengimplementasi dan mendukung kegiatan clinical
governance.
2. Perangkat teknologi informasi digunakan untuk mendukung
dan kebijakan dan strategi clinical governance dan
memfasilitasi pembagian/ penyebaran informasi lintas
organisasi.
5. Komunikasi
Organisasi mengkomunikasikan kebijakan dan strategi clinical
governance kepada semua staf dan kepada masyarakat serta
mitra kerja yang lain. Kriterianya:
98
1. Kebijakan dan strategi clinical governance telah
dikomunikasikan pada semua staf, masyarakat, dan mitra
kerja dengan tepat. (contoh: lewat internet, poster, brosur)
2. Staf klinis dapat memahami dan menuruti kewajibannya yang
terdapat pada kebijakan clinical governance pelayanan
kesehatan.
3. Adanya referensi untuk eksistensi dan ketersediaan kebijakan
dan strategi clinical governance dalam penerbitan dokumen
organisasi. Misalnya: laporan tahunan.
6. Pelatihan dan pengembangan profesi
Semua karyawan, termasuk manajer dan klinisi disediakan
informasi yang memadai, sumber daya, pelatihan dan
pengembangan profesi yang tepatuntuk mendukung kegiatan
clinical governance organisasi. Kriterianya:
1. Tersedianya pelatihan dan pengembangan profesi, informasi
yang memadai, dan sumber daya yang tepat bagi semua
karyawan untuk mendukung kegiatan clinical governance.
2. Catatan pelatihan disimpan, dimonitor dan direview, dan
memperbaiki tingkat kehadiran staf yang tidak mencukupi
jumlahnya.
3. Program orientasi disediakan untuk semua staf yang baru dan
termasuk dalam peninjauan kebijakan dan strategi clinical
governance.
7. Efektivitas pengukuran
Indikator kinerja utama dikembangkan dan digunakan di semua
level organisasi untuk mengukur dan menunjukkan efektifitas dari
kebijakan dan strategi clinical governance.
1. Organisasi telah mengembangkan dan mengimplementasikan
indikator kinerja utama untuk menunjukkan kegunaan dan
efektifitas dari kebijakan dan strategi clinical governance di
semua level organisasi.
99
2. Unit kerja memiliki rencana clinical governance yang telah
direview, menegaskan target untuk kemajuan dan skema
yang cocok untuk komite.
3. Pemenuhan kebijakan clinical governance dan efektifitasnya
sudah terintegrasi dalam laporan tahunan organisasi.
8. Jaminan tidak terikat
Kepala bagian eksekutif dan timnya menerima jaminan tidak
terikat, dengan eksternal review yang menunjukkan bahwa sistem
clinical governance memenuhi persyaratan standar yang
ditetapkan. Kriterianya:
1. Organisasi memiliki sistem yang memastikan review
dilaksanakan oleh eksternal auditor atau audit internal yang
terkoordinasi secara efektif dengan segala rekomendasi yang
baik untuk diimplementasikan.
2. Tim eksekutif memastikan keputusan utama yang
berhubungan dengan clinical governance telah
dikomunikasikan dalam komite clinical governance.
B. Kerangka teori
Dalam menciptakan strategi, organisasi perlu melihat lingkungan
bisnisnya (adaptasi terhadap perubahan) dan juga budaya organisasi
yang ada. Perubahan budaya ke arah lebih baik diperlukan untuk
mendukung jalannya suatu strategi. Strategi organisasi dan budaya
organisasi merupakan faktor yang berpengaruh pada implementasi TQM
yang didalamnya terdapat proses perbaikan terus menerus dan sistem
manajemen mutu yang berjalan dengan baik. Implementasi yang optimal
dari TQM akan menyebabkan tercapainya kinerja mutu yang tinggi
termasuk juga mutu pelayanan klinis dalam organisasi tersebut. Mutu
layanan klinis yang baik akan menurunkan berbagai error yang dapat
100
terjadi. Penurunan error juga dipengaruhi oleh faktor-faktor keberhasilan
yang penting.
Gambar 9. Kerangka teori dimodifikasi dari Prajogo dan Sohal (2000) dan
Stock et al (2007)
Organizational
culture
Organizational
strategy