Page 1
i
PASOLA
(Studi Sosio-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja Kristen Sumba,
Sumba Barat)
Oleh
Chaterina Inya Mone Rambadeta
712012076
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
Page 2
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PASOLA
(Studi Sosio-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja Kristen Sumba,
Sumba Barat)
Oleh
Chaterina Inya Mone Rambadeta
712012076
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. David Samiyono Pdt. Izak Lattu, Ph.D
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Izak Y. M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
Page 3
iii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Chaterina Inya Mone Rambadeta
NIM : 712012076 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul tugas akhir : PASOLA (Studi Sosio-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja
Kristen Sumba, Sumba Barat)
Pembimbing : 1. Dr. David Samiyono
2. Pdt. Izak Lattu, Ph.D
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan
lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil
pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan
pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan
disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan
orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan
dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga, 30 Mei 2017
Chaterina Inya M Rambadeta
Page 4
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Chaterina Inya Mone Rambadeta
NIM : 712012076 Email: [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi
Judul tugas akhir : PASOLA (Studi Sosio-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja
Kristen Sumba, Sumba Barat)
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas – Universitas
Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap
karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri
tanda pada kotak yang sesuai):
a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA
b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**
Demikian
pernyataa
n ini saya
buat
dengan
sebenarnya.
Salatiga, 31 Januari 2017
Chaterina Inya M Rambadeta
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. David Samiyono PPdt. Izak Lattu, Ph.D
* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang
menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil
karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan
tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).
Page 5
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Chaterina Inya Mone Rambadeta
NIM : 712012071
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Jurnal
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak
bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul:
PASOLA
(Studi Sosio-Teologi Terhadap Ritus Pasola Menurut Gereja Kristen Sumba,
Sumba Barat)
beserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal : 30 Mei 2017
Yang menyatakan,
Chaterina Inya M Rambadeta
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. David Samiyono Pdt. Izak Lattu, Ph.D
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat, yang karena
perkenaan dan anugerah-Nya. Penulis sangat bersyukur untuk penyertaan Tuhan selama
empat tahun lebih dalam masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana. Berkat Tuhan tidak pernah berkesudahan selama penulis melaksanakan studi di kota
Salatiga ini.
Penulis merasa bahwa tugas akhir ini merupakan bagian akhir dari sebagian tugas
dalam sebuah perjalanan studi di Program Teologi Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) Salatiga. Penulis sangat bersyukur dan bersukacita atas pencapaian yang telah hadir
dalam kehidupan penulis, penulis sadar bahwa kemampuan penulis dalam menulis tugas
akhir ini sangat minim, tetapi atas penyertaan Tuhan melalui orang-orang terdekat, penulis
dapat menyelesaikan penulisan ini.
Segala perjuangan penulis dalam belajar di Fakultas Teologi dan khususnya dalam
proses penulisan Tugas Akhir ini mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-
besarnya untuk mereka yang telah mendukung dan membantu penulis dalam proses
penulisan, baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyampaikan
ungkapan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gereja yang selalu mengaruaniakan hikmat akal budi
serta kesehatan dan kekuatan yang membuat penulis tiba pada akhir sebuah perjuangan.
Kasih Tuhan Yesus inilah yang memperkuat daya juang penulis sehingga harapan telah
menjadi kenyataan. Oleh karena itu, yang pertama dan yang utama menerima syukur dan
pujian penulis adalah Tuhan Yesus Kristus sember pengharapan.
2. Universitas Kristen Satya Wacana, terkhususnya Fakultas Teologi yang telah menjadi
tempat untuk penulis belajar dan menuntut ilmu. Terimakasih karena telah menerima
penulis dalam segala kekurangan dan keterbatasan.
Page 7
vii
3. Dr David Samiyono dan Pdt. Izak Lattu Ph.D selaku dosen pembimbing Tugas Akhir
yang senantiasa memberikan nasihat, saran, dan kritikan yang membuat tulisan penulis
menjadi lebih baik. Terimakasih untuk setiap kesabaran atas kekurangan penulis dalam
menulis Tugas Akhir. Begitu pun dengan Pdt. Nelman Weni dan Pdt. Ebenhaizer Nuban
Timo sebagai dosen reviewer. Terima kasih untuk segala saran maupun kritikan yang
diberikan agar penulis mampu memperbaiki kesalahan yang ada. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada dosen wali penulis yaitu Ka Ira. Mangililo yang sudah menjadi
kakak sekaligus ibu bagi penulis dan teman-teman lainnya. Terimakasih kak untuk segala
motivasi, saran dan kasih sayang dan cinta yang diberikan kepada seluruh anak wali.
Serta kepada seluruh Dosen, Pegawai dan Staff Tata Usaha Fakultas Teologi UKSW yang
telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis dalam menambah sebanyak
mungkin ilmu yang berguna bagi tugas dan pelayanan di tengah-tengah gereja dan
masyarakat kedepannya.
4. Bapak pdt Sonny Kristiantoro selaku supervisor lapangan penulis, selama PPL I-IV di
GKI Soka Salatiga dan Ibu Pdt. Jean Malelak S.Th selaku supervisor lapangan PPL X
penulis di Gereja Yakin Pariti dan seluruh keluarga besar Yakhin Pariti. Terima kasih
karena telah memberikan banyak pelajaran yang baik sebagai pemimpin di dalam jemaat
dan cara bersosialisasi yang baik dengan jemaat, yang nantinya akan sangat berguna bagi
penulis dalam kelanjutan penulis sebagai pelayan yang melayani dengan sungguh. Serta
untuk seluruh warga jemaat di GPIB Tamansari Salatiga, GP GPIB Tamansari.
Terimakasih telah memberi kesempatan bagi penulis untuk dapat bergabung ke dalamnya.
Adik-adik di Pusat Pengembangan Anak (PPA) Maranatha yang merupakan tempat PPL
V penulis. Terima kasih karena telah menerima, membantu, menopang, dan menyayangi
penulis.
5. Ibu Pdt Chaterine, bapak Camat Wanukaka, tokoh-tokoh adat, seluruh majelis GKS
Praibakul Pusat Lahihuruk dan juga seluruh masyarakat Desa Wanukaka, terimakasih
telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian guna
melengkapi penulisan Tugas Akhir.
6. Keluarga tercinta sayayang menjadi pemberi semangat terbaik melalui doa, cinta dan
kasih (Bapa, Mama, Kak Tonny dan adi Reymon) dan saudara-saudara saya yang lain
yang selalu mendukung dan menopang saya dalam segala hal. Serta teman-teman dekat
Page 8
viii
saya (Mitha, Atha, Agnes, Giovanna, Hendra, Marsha, Majesty, Kirana) yang selalu
menghabiskan waktu bersama dan memberikan semangat satu dengan yang lain. Serta
teman-teman Teologi angkatan 2012 dengan semua kebersamaannya selama ini. Dan juga
Semua yang pernah hadir dan menjadi penyemangat semasa perkuliahan. Terimakasih
banyak untuk setiap cinta, kasih sayang dan nasehat yang diberikan, semuanya akan
selalu diingat. Juga seluruh keluarga Perwasus, terimakasih untuk persaudaraan yang
terjalin selama di Salatiga.
7. Dan juga pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
semua bantuan, topangan dan kerja samanya. TUHAN memberkati karya dan pelayanan
kita. Amin
Penulis
Salatiga, 30 Mei 2017
Page 9
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ...................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ........................................... iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ..................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
MOTTO .................................................................................................. xi
ABSTRAK .............................................................................................. xii
1. Pendahuluan ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ .1
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan .................................................... 3
1.3 Metode Penelitian ........................................................................ 4
2. Ritual dan Budaya .............................................................................. 4
2.1 Kesimpulan ................................................................................. .8
3.Pasola Dalam Pandangan Jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk. .. .9
3.1 Gambaran Tempat Penelitian ...................................................... .9
3.2 Asal Muasal Pasola Wanukaka ................................................... 10
3.3 Pandangan Tokoh Adat Wanukaka Terhadap Pasola ................. 11
3.4 Pandangan Gereja Terhadap Pasola ............................................ 12
3.5 Pandangan Majelis, Jemaat dan Masyarakat Terhadap Pasola ... 14
Page 10
x
4. Pasola dan Kekristenan Sumba...........................................................16
5. Kesimpulan ........................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 24
Page 11
xi
MOTTO
“ Iman membuat segala yang kita lakukan menjadi mungkin, bukanlah menjadi
mudah”
“ Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan
memperoleh harta yang berharga” Amsal 12:27
Page 12
xii
Abstrak
Tujuan ini adalah sebuah upaya untuk mendeskripsikan alasan orang-orang
Kristen Sumba hingga sekarang masih terus melakukan ritus Pasola. Pasola
merupakan permainan adu ketangkasan yang dilakukan oleh dua kelompok
berkuda yang saling berhadap-hadapan, kejar-mengejar seraya melempar lembing
kayu kearah tubuh lawan.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian
kualitatif adalah wawancara. Teknik ini untuk mengetahui alasan mengapa orang
Kristen masih melakukan ritus Pasola.
Kesimpuan dari hasil penelitian ini adalah ritual Pasola ini masih
dilestarikan oleh masyarakat Sumba Barat hingga saat ini guna sebagai bentuk doa
dan permohonan untuk hasil panen yang melimpah hingga sampai saat ini dan
pasola telah menjadi sebuah budaya yang harus terus dilestarikan, makna yang ada
yaitu sebagai pengucapan syukur maka orang-orang Kristen di Sumba masih terus
melakukan ritus Pasola ini.
Kata Kunci : Ritus, Pasola, Gereja Kristen Sumba (GKS), Marapu
Page 13
1
Pendahuluan
Setiap daerah pasti memiliki budaya yang secara turun temurun masih
dipertahankan oleh orang Sumba termasuk didalamnya adalah warga Jemaat
Gereja Kristen Sumba hingga sampai saat ini. Begitu pula dengan Pulau Sumba.
Secara geografis, Pulau Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah Barat Laut,
Flores disebelah Timur Laut, Timor disebelah Timur, dan Australia disebelah
Selatan dan Tenggara. Selat Sumba terletak disebelah Selatan dan Barat. Pulau
Sumba ini merupakan salah satu pulau yang memiliki 4 kabupaten dan termasuk ke
dalam wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Keempat kabupaten tersebut adalah
Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
Pasola adalah perang adat yang dilakukan di atas kuda dengan melempar
lembing kayu ke arah lawan. Pasola diadakan pada bulan Februari sampai Maret.
Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola”, yang berarti sejenis lembing kayu yang
dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh
dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan “pa” (pa-sola, pa-
hola), kata ini berarti permainan.1 Jadi pasola atau yang juga biasa disebut pahola
berarti adalah sebuah permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari
atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang
berlawanan arah.2
Pasola biasanya diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan
Februari di Kodi dan Lamboya, penyelenggaraan Pasola menjadi kegiatan yang
dinanti-nantikan oleh masyarakat Sumba. Pasola ada juga diselenggarakan pada
bulan Maret di Wanukaka. Pasola atau pahola ini sering dan selalu dilaksanakan di
bentangan padang yang luas, dan disaksikan oleh seluruh warga Kabisu (Suku)
dan Paraingu (kampung besar) dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh
kebanyakan masyarakat umum.
Dalam pertandingan pasola atau pahola ini peserta permainan adalah pria
pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus
1https://verykaka.wordpress.com/2008/04/14/tradisi-pasola-di-sumba-barat-ntt/.14102015
2http://bisu-qsi.snmptn.web.id/id3/umum-2628/pasola_29145_bisu-qsi-snmptn.html.Diakses
pada 10 November 2015
Page 14
2
yakni harus memacu kuda dalam kecepatan yang super tinggi dan kemudian saling
melempar lembing atau yang biasa disebut hola bagi masyarakat Sumba. Pasola
ini biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta
nyale. Biasanya sebulan sebelum pelaksanaan Pasola, selalu dimaklumkan bulan
pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan Pasola.
Dipercaya bahwa darah yang tercucur dari pria yang terpilih dari warga kabisu dan
paraingu sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila
terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan Pasola tersebut, ini dipandang
sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan
pentahiran menjelang upacara Pasola tersebut.3
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah
satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan
datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat
tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam
bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka suku) akan
memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Setelah
nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk
dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut
gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan
kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan
didapatkan malapetaka.4 Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh
masyarakat. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan. Pasola
dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua
kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal.
Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang
dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun
berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa. Kalau ada korban
3Lete. P. Boro, Pasola, Permainan Ketangkasan Berkuda Lelaki Sumba, Nusa Tenggara Timur,
Indonesia (Jakarta: Obor tahun 1995), 1-2 4Mohammad. Najib, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara, Jilid 2 Demokrasi Dalam
Perspektif Budaya Nusantara(Yogyakarta: LPKSM tahun1996), 45
Page 15
3
dalam Pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman
dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.5
Pada saat pelaksanaan Pasola, darah yang tercucur dari salah satu orang
yang masuk dan ikut dalam ritual tersebut dianggap sangat berkhasiat untuk
kesuburan tanah dan kesuksesan panen mereka.6 Mereka percaya bahwa kesuburan
tanah dan kesuksesan panen yang mereka dapati adalah dikarenakan darah yang
tercucur dari budaya Pasola yang sering mereka laksanakan. Berbeda dari
pengertian Marapu tersebut, orang Kristen memahami bahwa kesuburan tanah dan
kesuksesan panen semuanya berasal dari Tuhan, apa yang di tanam maka itu yang
dituai. Jika menurut kepercayaan Marapu darah yang tercucur dapat menyuburkan
tanah maka berbeda dengan pemahaman atau ajaran orang Kristen bahwa air hujan
yang Tuhan turunkanlah yang dapat menyuburkan tanah dan kesuksesan panen dan
dengan percaya penuh kepadaNya. Segala hal yang ada di bumi ini adalah
pemberian dari Tuhan, maka Tuhan pula yang akan memberkati seluruhnya.
Tuhanlah yang mengindahkan tanah, mengaruniainya kelimpahan dan membuat
bumi sangat kaya.
Meskipun memiliki ajaran tentang darah, kesuburan tanah dan kesuksesan
panen yang berbeda, namun hingga saat ini orang Sumba yang di dalamnya adalah
jemaat GKS, masih melakukan budaya7Pasola tersebut, dikarenakan Pasola
adalah sebuah budaya. Sejauh ini tidak ada larangan dari GKS sendiri untuk
melarang adanya Pasola tersebut.
Berdasarkan apa yang telah di uraikan di dalam latar belakang masalah,
rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, Mengapa orang-orang Kristen
Sumba masih melakukan ritus Pasola? Dengan munculnya rumusan masalah
tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah Mendeskripsikan
alasan orang-orang Kristen Sumba masih melakukan ritus Pasola.
5Mohammad. Najib, 1996: 45
6Mohammad. Najib, 1996: 45
7Budaya menurut E.B. Taylor ialah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi kepercayaan,
kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia
sebagai bagian dari masyarakat. Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion. (Yogyakarta: IRCiSoD tahun 2011),
30-35
Page 16
4
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Metode
Kualitatif yaitu penulis menggunakan metode penelitian pendekatn kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif.
Pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan atau suatu penulusuran
untuk mengeksplorasi dan untuk memahami suatu gejala yang sentral dan untuk
mengerti gejala-gejala tersebut peneliti harus mewawancarai partisipan yang akan
diteliti dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang umum dan juga agak
luas.8 Pendekatan ini beda dari pendekatan kuantitatif yang menggunakan dan
memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang rinci. Dalam pendekatan kualitatif
biasanya akan dimulai dengan yang umum namun kemudian akan meruncing dan
mendetail. Bersifat umum karena dalam pendekatan ini peneliti ingin agar
partisipan dapat mengungkapkan pikiran dan pendapatnya tanpa dibatasi oleh
peneliti, sehingga peneliti memberikan peluang yang seluas-luasnya, sehingga
terpusat.
Pertama adalah teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian
kualitatif adalah wawancara. Wawancara, adalah upaya yang dilakukan seseorang
atau suatu pihak untuk mendapatkan keterangan, atau pendapat mengenai sesuatu
hal yang diperlukannya untuk tujuan tertentu, dari seseorang atau pihak lain
dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini, informan yang akan penulis
wawancarai adalah Jemaat Gereja Kristen Sumba.
Fokus dari penelitian ini adalah desa Wanukaka yang berjarak sekitar 76 km
dari Waikabubak, Sumba Barat. Mengapa penulis memilih Wanukaka sebagai
tempat penilitan? Karena desa Wanukaka merupakan tempat pelaksanaan ritus
Pasola tersebut dan juga masyarakat Wanukaka merupakan tempat berkumpulnya
pemeluk Marapu yang kini telah berpindah dan memeluk agama Kristen Protestan.
Dalam penelitian ini, dibutuhkan informan-informan yang mampu
memahami tujuan penelitian penulisan ini, supaya dapat menjawab setiap
pertanyaan para informan tersebut adalah Camat Wanukaka, pendeta dan majelis
8Muhamad Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 63-65
Page 17
5
GKS Praibakul Pusat Lahihuruk, masyarakat, dan mantan Rato yang sudah beralih
dan memeluk agama Kristen.
Ritual dan Budaya
Menurut E.B Taylor yang dikutip oleh Sulasman dan Setiagumilar,
Kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan,
kesenian, moral, hokum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota sekelompok masyarakat.9Kebudayaan
adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Dengan
demikian, dalam pengertian, kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide, dan simpol
yang relatif. Budaya adalah merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sekelommpok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi.10
Kebudayaan dapat dikatakan sebagai persoalan yang sangat luas, tetapi
esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya,
manusia adalah pencipta kebudayaan dan kebudayaan itu lahir bersama dengan
kelahiran manusia.11
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh kebudayaan itu. Kebudayaan dapat diartikan sebagai fenomena sosial
yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku atau tindakan warga mmasyarakat yang
mendukung atau menghayatinya.12
Dalam sebuah kebudayaan selalu ada hal yang wajib dilakukan, seperti
upacara, perayaan dan lain sebagainya yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat di sebuah tempat tertentu. Kegiatan keagamaan wajib yang dilakukan
itu biasa dikenal sebagai ritus yang sering bahkan sudah menjadi sebuah kewajiban
yang dilakukan sesuai dengan waktu, tempat, tata cara yang sudah disepakati dari
nenek moyang. Ada perbedaan tersendiri mengenai apa arti dari ritus dan ritual
yang perlu untuk diketahui bersama. Ritus adalah merupakan sesuatu yang sakral,
9Sulasman, Setiagumilar, Teori-Teori Kebudayaan Dari Teori Hingga Aplikasi (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013),17 10
Sulasman, Setiagumilar, 2013: 20 11
Sulasman, Setiagumilar, 2013: 28 12
Sulasman, Setiagumilar, 2013:29
Page 18
6
artinya hal itu merupakan hal yang suci dan keramat. Kemudian ritual, ritual
berhubungan dengan sesuatu yang berupa tindakan sosial.
Namun, Ritual dan ritus merupakan sebuah tata cara dalam sebuah upacara
yang dilakukan oleh sekelompok umat yang menganut suatu agama tertentu, yang
kemudian ditandai dengan adanya berbagai macam unsur-unsur dan komponen-
komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara tersebut dilakukan,
alat-alat yang digunaan dalam upacara tersebut, serta orang-orang yang
menjalankan upacara tersebut. 13
Ritual dan ritus dilakukan dengan sebuah tujuan
yaitu untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari sebuah pekerjaan
yang dilakukan. Seperti upacara menolak bala dan upacara karena perubahan atau
siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan
tujuan-tujuan lainnya yang menjadi keinginan dari yang melakukan ritual atau ritus
tersebut.14
Sistem ritus berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan
kebaktianya terhadap Tuhan, Dewa-dewa, roh nenek moyang, dan dalam usahanya
untu berkomunikasi dengan Tuhan Sang pencipta. Ritus dan ritual biasanya
berlangsung berulang-ulang atau sudah terjadwalkan. Suatu ritus atau ritual terdiri
dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti:
berdoa, berpuasa, bertapa dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya.15
Upacara
ritual atau ceremony adalah sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat
atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai
macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan
tersebut.16
Ritual juga dapat ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi
tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan, ada ritual yang
tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan
rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan.
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif.
13Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, ( Jakarta: Dian Rakyat, 1985), 56
14
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
95
15
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Pres, 1987), 81
16
Koentjaraningrat, 1987:190
Page 19
7
Sebagian ritual dilakukan secara perorangan,bahkan ada yang dilakukan dengan
mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula
ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah,
haji, dan lain sebagainya.
Sebuah ritual dan ritus juga identik dengan suatu kepercayaan terhadap
kekuatan yang tak kasat mata, dalam hal ini disebut sebagai ilmu gaib. Terkait
dengan hal mengungkapkan bahwa “ilmu gaib” magic adalah teknik-teknik atau
kompleks cara-cara yang digunakan manusia untuk mempengaruhi alam sekitarnya
menurut kehendak manusia”.17
Salah satu tokoh antropologi yang membahas
mengenai ritual adalah Victor Turner. Ia meneliti tentang proses ritual pada
masyarakat Ndembu di Afrika Tengah. Menurut Turner, ritus-ritus yang diadakan
oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius.18
Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk mau
melakukan dan juga mentaati tatanan sosial tersebut yang sudah ada. Ritus-ritus
tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling
dalam.19
Dari penelitiannya ia dapat menggolongkan ritus ke dalam dua Bagian,
yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan.20
Pertama adalah ritus krisis hidup, yaitu
ritus-ritus yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami
manusia. Krisis, karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini
meliputi kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini tidak hanya
berpusat pada individu, melainkan juga tandaadanya perubahan dalam relasi sosial
diantara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah,
perkawinan, kontrol sosial dan sebagainya.21
Kedua adalah ritus gangguan. Dalam
ritus gangguan ini masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam berburu,
ketidak teraturan reproduksi pada para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan
17
Koentjaraningrat, 1987:216
18 Y. W Wartajaya Winangun, Masyrakat BebasStruktur, Liminitas dan Komunitas Menurut Victor
Turner, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 11
19
Y. W Wartajaya Winangun, 67 20
Y. W Wartajaya Winangun, 21 21
Y. W Wartajaya Winangun, 21
Page 20
8
roh orang yang mati. Roh leluhur menganggu orang sehingga membawa nasib
sial.22
Ritual dalam sebuah agama mempunyai maksud dan tujuan tertentu sesuai
dengan apa yang diajarkan dalam agama tersebut. Bentuk ritual juga berbeda-beda.
Sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Menurut Turner, ritus atau
ritual mempunyai beberapa peranan antara lain, Pertama ritus dapat
menghilangkan konflik. Kedua, ritus dapat mengatasi perpecahan dan membangun
solidaritas masyarakat. Ketiga, ritus dapat mempersatukan dua prinip yang
bertentangan. Dan dengan ritus orang mendapat kekuatan dan motivasi baru untuk
hidup dalam bermasyarakat sehari-hari.Dengan demikian, suatu ritus atau ritual,
mengikuti pendapat Turner, bisa mengungkapkan seperangkat nilai pada tingkat
yang paling dalam.23
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ritual dan ritus merupakan
serangkaian perbuatan keramat atau kebudayaan yang dilakukan oleh sekelompok
orang dengan menggunakan alat-alat tertentu, tempat, dan cara-cara tertentu pula
untuk mendukung keberlangsungan ritual yang dilakukan. Namun ritual dan ritus
mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk berdoa yang dilakukan untuk
mendapatkan suatu berkah.
Ritual-ritual yang sering kita temui dan alami dalam kehidupan sehari hari
adalah ritual siklus kehidupan, yakni ritual kelahiran, ritual pernikahan dan ritual
kematian. Ritual-ritual tersebut tidak bisa dilepas dari suatu masyarakat beragama
yang meyakininya. Selain tiga ritual yang paling sering terlihat di tempat-tempat
atau daerah-daerah yang masih melakukan ritual, ada pula sebuah ritual yang di
lakukan guna meminta berkat dan juga berterimakasih atas berkat yang sudah
didapat seperti panen yang berhasil dan memohon panen yang baik untuk waktu
kedepan yaitu Pasola.
22
Y. W Wartajaya Winangun, 22 23
Y. W Wartajaya Winangun, 24
Page 21
9
Pasola dalam Pandangan Jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
Gambaran Tempat Penelitian
Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu dari 21 Kabupaten yang ada
di dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibukota kabupaten
yaitu Waikabubak. Kabupaten Sumba Barat memiliki luas daerah 737,42 Km², dan
letak geografis pada 9°22’24,47” LS – 9°47’50,14” LS dan 119°6’43,61” BT –
119°32’5,87” BT. Masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten Sumba Barat
adalah sebagai berikut, Pertama, kecamatan Lamboya dengan ibukota Kabukarudi
(luas wilayah 286,88 km2). Kedua, kecamatan Wanukaka dengan ibukota Labi
Huruk (luas wilayah 133,68 km2). Ketiga, kecamatan Loli dengan ibukota
Dedekadu (luas wilayah 132,36 km2). Keempat kecamatan Kota Waikabubak
dengan ibukota Waikabubak (luas wilayah 44,71 km2), dan yang kelima adalah
kecamatan Tana Righu dengan ibukota Malata (luas wilayah 139,79 km2).
Jumlah desa dan kelurahan di tiap kecamatan di Kabupaten Sumba Barat
adalah 45 desa dan 8 kelurahan, yang terdiri dari Kabupaten Lamboya 13 desa,
Kabupaten Wanokaka 10 desa, Kabupaten Loli 6 desa dan 2 kelurahan,
Kabupaten Waikabubak 5 desa dan 6 kelurahan, dan Kabupaten Tana Righu 11
Desa.24
Dan yang menjadi tempat peneilitian adalah Kecamatan Wanukaka dengan
ibukota Lahi Huruk yang memiliki luas wilayah 133,68 km2, yang menjadi tempat
pelaksaan ritus Pasola. Ada dua tempat yang menjadi terlaksananya ritus Pasola
ini yaitu di Sumba Barat Daya (Kodi) dan juga di Sumba Barat yaitu desa
Wanukaka. Penulis melakukan penelitiannya di Sumba Barat yaitu desa
Wanukaka.
24
http://visitsumbaisland.blogspot.co.id/2011/06/kabupaten-sumba-barat.html. Diakses 20 Mei 2016
Page 22
10
Asal Muasal Pasola Wanukaka
Pasola Wanukaka berawal dari seorang laki-laki yang bernama Umbu
Dulladan seorang wanita bernama Rabu Kaba. Umbu Dulla merupakan suami dari
Rabu Kaba. Pada suatu hari Umbu Dulla pergi memancing di Weitenadi
Hagaroriselama 2 sampai 3 malam. Kemudian ada perahu dari Kodi berlabuh di
Waibukudan melakukan pancing juga. Rabu Kaba saat itu sedang berada di
Waiwuangdan orang Kodi tersebut sedang mandi di mata air di Waiwuangdan pada
saat yang sama juga Rabu Kaba pergi menimbah air di mata air tersebut dan
bertemulah Rabu Kaba dengan orang Kodi tersebut. Pertama kali bertemu saat itu
mereka hanya saling berpandangan, dan pada pertemuan di hari selanjutnya yaitu
hari kedua orang kodi tersebut bertanya “ ini mama dari mana ?” kemudian Rabu
Kaba menjawab “saya dari Waiwuanglalu bapa dari mana ?”, orang Kodi itu
menjawab “saya dari Kodi” dan percakapan-percakapan lainnya. Dan ketiga
kalinya mereka berdua sudah saling berbicara dan saat itulah timbul rasa-rasa
tertarik antara keduanya. Karena sudah tertarik dengan orang Kodi ini, Rabu Kaba
lupa dengan suaminya Umbu Dulla yang sedang memancing di Weitena. Keempat
kalinya mereka melakukan perjanjian untuk pergi ke Kodi dan akhirnya orang
Kodi ini membawa pergi Rabu Kaba ke Kodi.
Setelah beberapa jam warga Waiwuangmenyadari kalau Rabu Kaba tidak
ada dan ada yang melihat kalau Rabu Kaba tadi naik ke perahu. Akhirnya Umbu
Dulla memerintahkan seluruh rakyat Waiwuang untuk mencari Rabu Kaba.
Kemudiam, Rabu kaba meminta pertanggungjawaban Orang Kodi untuk menganti
semua Belis yang sudah diberikan oleh Umbu Dulla, dan Orang Kodit tersebut
menyanggupinya hingga akhirnya mereka menggelar pesta pernikahan. Sementara
itu Umbu Dulla berpesan kepada rakyatnya di Waiwuang untuk mengadakan pesta
Nyale dalam bentuk Pasola.25
Sebelum pelaksanaan Pasola, harus dilaksanakan upacara adat yang
bernama 'Nyale' terlebih dahulu. Upacara Nyale adalah upacara menyambut
kedatangan musim panen yang ditandai kemunculan cacing laut di pesisir pantai.
Para pemuka suku yaitu Rato, memprediksi kemunculan Nyale (cacing laut) di
25 Wawancara denga Mantan Rato ( 1)
Page 23
11
pantai saat pagi hari. Waktu penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada
hitungan para tetua adat Rato yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam,
termasuk peredaran bulan. Perhitungan para Rato ini tidak pernah meleset.
Buktinya, setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak
nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola.Setelah
pengambilan Nyale dilaksanakan, baru lah Pasola dapat diselenggarakan.
Penyelenggaraan Pasola biasa dilakukan secara bergiliran yakni antara bulan
Februari hingga bulan Maret di setiap tahun.26
Pandangan Tokoh adat Wanukaka Terhadap Pasola
Menurut orang Wanukaka, dengan melakukan ritual Pasola mereka merasa
bahagia, kebahagiaan yang tidak dapat diukur dengan apapun. Orang Wanukaka
tidak pernah merasa rugi sedikitpun, walaupun begitu banyak rancangan acara
yang dilakukan seperti memotong kerbau, babi dan yang lainnya untuk menyambut
orang-orang yang datang untuk menyaksikan ritual ini. Mereka tidak pernah
merasa rugi sedikitpun karena mereka merasa berkat yang melimpah akan turun
atas mereka. “kami sama sekali tidak merasa rugi ketika melakukan ritual ini,
walaupun cukup banyak dana yang kami keluarkan untuk ritual ini, tetapi kami
sangatmerasa bahagia dengan melakukan ritual ini, saat-saat beginilah yang kami
warga Sumba tunggu-tunggu”27
Dengan adanya Nyale itu berarti kepuasan itu
sangat dirasakan karena mereka yakin bahwa usaha apapun yang mereka lakukan
seperti bertani dan lain sebagainya akan diberkati oleh sang pencipta.28
“Ketika
mendapat Nyale para Rato mulai menghitung dan semuanya baik, hati juga lega
karena itu berarti semuanya baik-baik saja”29
Ritual dan atraksi Pasola yang
diselanggarakan oleh komunitas Marapu yang merupakan agama lokal dari Sumba
bermakna sebagai ucapan syukur kepada pencipta langit dan bumi atas segala
berkatnya di bidang pertanian dan peternakan.30
26
Wawancara dengan Mantan Rato (2) 27
Wawancara dengan Mantan Rato (3) 28
Wawancara dengan Mantan Rato (4) 29
Wawancara dengan Mantan Rato (5) 30
Wawancara dengan Camat Wanukaka (1)
Page 24
12
Makna sosiologis dari Pasola disampaikam oleh Camat Wanukaka. Pasola
adalah Pertama, dengan adanya ritual Pasola ini maka semakin memperkuat
hubungan manusia dengan alam semesta, bagaimana dijaga keseimbangan antara
perbuata manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan kondisi alam
yang ada dan tersedia. Kemudian yang kedua adalah mempererat hubungan
manusia dengan penciptanya, dalam arti bahwa manusia menyadari bahwa dia
memiliki keterbatasan karena itu ungkapan syukur sesungguhnya adalah bentuk
dari ketakutan, bentuk dari pengharapan terhadap penciptabahwa dia selalu
berharap berkat dan tidak mendapat rintangan dan hambatan dalam kehidupan
kesehariannya, dan kemudian yang terakhir ini sangat jelas yaitu membangun
hubungan baik antara sesama manusia yag ikut melaksanakan ritual tersebut.
Pandangan Gereja Terhadap Pasola
Apa itu Pasola? Pasola merupakan ritual yang selalu dilakukan pada saat
menjelang panen, ini dilakukan sebagi pengucapan syukur atas berkat-berkat yang
didapati juga untuk permohonan meminta berkat yaitu hasil panen yang melimpah.
Ini sering dilakukan bahkan hingga saat ini. “Dan kami pun selalu mengikutinya”
ucap seorang Jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk Pasola.
Menurut GKS Praibakul Pusat Lahihuruk,Pasola merupakan sebuah
pengucapan syukur atas berkat-berkat yang didapati juga untuk permohonan
meminta berkat yaitu hasil panen yang melimpah. Memang sudah seharusnya
manusia haruslah selalu mengucap syukur atas segala berkat yang sudah diterima
dalam kehidupan. Mengucap syukur seharusnya menjadi gaya hidup setiap orang
Kristen, karena hal itu merupakan kehendak Allah. Tuhan ingin kita mengucap
syukur dalam segala hal, bukan hanya saat kita menerima berkat saja, tetapi juga
saat kita menghadapi kesulitan dan masalah hidup."Mengucap syukurlah dalam
segala hal,sebab itulah yang dikehendaki Allahdi dalam Kristus Yesus bagi kamu."
(1 Tesalonika 5:18). Orang Kristen sejati adalah orang yang menyadari
keberadaannya di hadapan Penciptanya. Karena ia sadar akan ketidaklayakannya,
menyadari bahwa hidupnya harus senantiasa diisi dengan ungkapan syukur.
Terkadang ada begitu banyak persoalan hidup yang manusia hadapi, dan seringkali
Page 25
13
tanpa manusia sadari persoalan itu membuat manusia menjadi lemah, kecewa,
kehilangan pengharapan, bahkan sampai-sampai manusia seolah-olah merasa putus
asa. Persoalan hidup yang paling berat adalah ketika manusia merasakan tidak ada
berkat dalam kehidupannya. Inilah yang patut untuk manusia perhatikan, baha
dlam keadaan apapun manusia haruslah selalu mengucap syukur, karena Tuhan
selalu menyiapkan berkat bagi setiap umatnya.31
Pasola adalah cara untuk melestarikan budaya Sumba. Makna dari Pasola
tersebut merupakan sebuah pengungkapan ucapan syukur kepada sang
Pencipta.32
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh pendeta GKS Praibakul Pusat
Lahihuruk yaitu
Memang benar bahwa ucapan syukur kepada sang pencipta bisa saja dengan
cara yang lain, akan tetapi dari turun-temurun warga Sumba terkhususnya
warga Wanokaka sudah melakukan ritual ini dengan maksud dan tujuan
sebagai ungkapan syukur, ini hanya sebagai sebuah ritual yang selalu
dilakukan guna untuk menjaga kelestarian budaya yang ada.33
Hubungan antara pengucapan syukur dengan pasola semata-mata hanyalah
sebuah ritual yang sudah terjadwalkan. Namun jika dilihat lebih jauh kedalam
maka seperti dikatakan oleh seorang pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk,
Pasola menjadi sarana besar bagi warga Sumba untuk mengungkapkan ucapan
syukur kepada Tuhan, karena ritual Pasola dilaksanakan guna sebagai pengucapan
syukur atas berkat yang diterima (panen yang melimpah) dan juga permohonan
akan berkat yang akan diterima. Bagi orang-orang yang masih memeluk
kepercayaan Marapu, mereka biasanya dalam ritual ini mereka memohon dan
mengucapkan syukur kepada Tuhan yang mereka sembah yaitu menurut
kepercayaan Marapu, akan tetapi bagi yang sudah memeluk agama Kristen,
mereka akan memohon dan mengucapkan syukur pada Tuhan Yesus Kristus sesuai
dengan ajaran kekristenan yang diajarkan.34
31Wawancara dengan Pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk (1)
32
Wawancara dengan Pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk (2)
33
Wawancara denga Pendeta GKS Praibakul Lahihuruk (3)
34Wawancara dengan Camat Wanukaka (2)
Page 26
14
Pandangan Majelis, Jemaat dan Masyarakat Terhadap Pasola
Ritual Pasola merupakan budaya yang akan selalu melekat pada setiap jiwa
orang Sumba. Karena sudah secara turun-temurun dari nenek moyang. Sejak dari
kecil masyarakat sudah sering mengikuti ritual ini, sudah menjadi kewajiban bagi
masyarakat setempat. “Saya pun sering sekali mengikuti ritual Pasola ini, karena
jujur keluarga saya masih memeluk kepercayaan Marapu” Begitulah ungkapan dari
seorang pendeta yang sedang melayani di Jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk.
Beliau mengatakan bahwa, kita harus tetap menjaga dan melestarikan apa yang
telah menjadi khas dari budaya Sumba. Begitu banyak pendatang yang datang dari
tempat-tempat yang jauh untuk dapat merasakan dan menikmati ritual ini, jadi
sebagai warga Sumba maka perlu untuk melihat ini sebagai sebuah budaya yang
patut untuk di banggakan, tetapi perlu bagi masyarakat Sumba yang sudah
memeluk agama Kristen untuk memutar balikan pandangan tentang ritual ini.
Bukan lagi menyembah kepada Marapu tetapi kepada Tuhan yang menciptakan
dunia ini. “Karena nenek moyang dulu melakukan ini untuk menaikan doa syukur
dan meminta berkat kepada Marapu, maka kita yang sekarang yang sudah punya
agama ini membalikan hal itu”35
ucap pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
Selain pendeta yang sedang melayani di GKS Praibakul Pusat Lahihuruk,
ada juga ungkapan-ungkapan dari para Majelis dan Jemaat yang mengatakan
bahwa hampir seluruh majelis dan jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
mengikuti ritual Pasola ini setiap bulan Februari dan bulan Maret. “Tetapi saya
dan beberapa orang majelis biasanya hanya mengikuti acara puncaknya saja,
karena itu yang paling ramai”36
ungkap seorang Majelis. “Kalau saya lebih senang
ikut dari awal dari nyale, karena suasananya lebih terasa”37
ucap seorang Jemaat.
Dengan dilakukannya ritual ini juga, karena adanya rasa keterpanggilan
untuk bersama-sama mengekspresikan budaya di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Pada sisi yang lain juga masyarakat mengambil hikmah bahwa
peristiwa budaya dalam ritual dan aktraksi Pasola itu adalah ungkapan daripada
35
Wawancara dengan pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk (4)
36 Wawancara dengan Majelis GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
37 Wawancara dengan Jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
Page 27
15
hasil kreasi manusia, dengan kata lain tentunya dengan hubungannya dengan ritual
itu menjadi tanggungjawab masyarakat yang memeluk agama Marapu. Dari sisi
atraksinya itu menjadi hal yang dapat dinikmati oleh semua orang dan semua
agama. 38
Meskipun bagi yang sudah beragama Kristen, mereka tetap melakukan
ritual ini, tetapi tidak begitu mendalami makna dari ritual ini ketika pada saat
mereka belum masuk agama Kristen, karena mereka menganggap bahwa ritual
Pasola ini adalah merupakan budaya yang diciptakan oleh nenek moyang mereka
dan harus terus dilaksanakan, karena budaya tersebut sudah mmendarah daging
dalam diri mereka sehingga sangat sulit untuk dilepaskan begitu saja.
Menurut masyarakat Wanukaka ritualPasola ini akantetap ada dan akan
tetap bertahan, karena dalam sebuah keluarga pasti selalu ada salah satu anggota
keluarga yang diwariskan untuk menjadi Rato guna untuk memimpin ritual Pasola
tersebut. Dan yang sudah masuk ke dalam agama Kristen tetap mendukung dengan
cara ikut melaksanakan dan mengikuti ritual tersebut. 39
Sehubungan dengan ritualnya, ritual ini memang tidak akan habis, namun
jika dilihat dari aktaraksi-aktrasi yang ada didalamnya kemungkinan besar akan
dikurangi atau bahkan akan dihilangkan karena jika mau dilihat ini merupakan
sebuah tindak kekerasan antara satu dan yang lainnya. Walaupun ini hal yang biasa
bagi warga Sumba karena makna yang ada dalam perang ini adalah darah yang
tercucur akan memberkati tanah, dan juga orang-orang yang melakukan perang
saling melempar lembu ini adalah orang-orang yang sudah sangat siap dan sudah
terlatih. Tetapi semakin hari semain banyak orang-orang dari luar pulau Sumba
yang datang dan ikut menyaksikan perang ini dan apalagi semakin hari,
masyarakat disini semakin pintar dan berwawasan luas karena sekolah yang tinggi
dan juga hukum-hukum yang dibuat maka ini akan dilihat sebagi tindak kekerasan
dan dapat menyebabkan kematian. Akan tetapi bagi warga Sumba, makna dari
ritual ini tidak akan pernah hilang. 40
38
Wawancara dengan Camat Wanukaka (3) 39
Wawancara denga Mantan Rato (3)
40
Wawancara dengan Camat Wanukaka (3)
Page 28
16
Tetapi untuk memastikan bahwa apakah ritual ini akan hilang ataupun tidak
masyarakat Wanukaka yakin bahwa ritual ini tidak akan pernah hilang, karena jika
hilang maka hilang pula kekhasan yang ada pada masyarakat Sumba, dan hal yang
menjadi kegembiraan tersendiri bagi masyarakat Sumba pun akan hilang dan
lenyap. Sumba akan menjadi sepi karena ritual ini sangat meramaikan dan juga
antara desa satu dan desa-desa lainnya tidak bisa bertemu lagi karena ritual ini juga
dapat membangun tali persaudaraa antara seluruh masyarakat Sumba.
Pasola dan Kekristenan Sumba
Berdasarkan teori yang diambil dan dikaitkan dengan hasil penelitian, dapat
dilihat bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu ada hal yang wajib dilakukan,
seperti upacara, perayaan dan lain sebagainya yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat di sebuah tempat tertentu. Hal wajib yang dilakukan itu dikenal
sebagai sebuah ritual dan ritus yang menjadi sebuah kewajiban yang dilakukan
sesuai dengan waktu, tempat, tata cara dan lain sebagainya yang sudah disepakati
dari nenek moyang dan diteruskan oleh generasi-generasi mendatang. Di Sumba
hal wajib atau ritus atau ritual yang wajib di lakukan adalah Pasola. Pasola
dilakuan oleh sekelompok orang yaitu warga Wanukaka di sebuah tempat yang
sudah menjadi tempat khusus dilakukannya ritus atau ritual ini.
Berbicara mengenai ritus dan ritual yang merupakan sesuatu yang sakral,
artinya bahwa hal itu merupakan hal yang suci dan keramat dan yang kemudian
berhubungan dengan sesuatu yang berupa tindakan sosial. Hal yang suci dan
keramat berarti bahwa hal itu adalah sesuatu yang dihormati, dihargai, dijaga dan
bahkan dilestarikan secara turun-temurun dan merupakan sesuatu yang tidak akan
pernah musnah. Begitu juga dengan ritual Pasola yang selalu dilakukan oleh
masyarakat Sumba adalah merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan.
Seperti sebuah teori kebudayaan yang diungkapkan oleh Taylor,
Kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup mengenai sebuah pengetahuan,
keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan
Page 29
17
yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota sekelompok masyarakat.41
Artinya
sebuah ritus atau ritual yang dilakukan merupakan sebuah kesenian, moral dan lain
sebagainya yang merupakan sebuah kebudayaan yang akan terus-menerus
dilaksanakan.
Ritus Pasola merupakan sebuah kesenian dari budaya Sumba. Selain
menjadi sebuah kesenian khusus masyarakat Sumba, ritus Pasola ini juga
merupakan sebuah adat-istiadat dari masyarakat Sumba sendiri, terkhususnya
warga Wanukaka. Jika kita melihat arti dari adat-istiadat itu sendiri merupakan
sebuah aturan yang harus ditaati dan dilakukan sejak dahulu kala, berarti pada
waktu yang sudah ditentukan adat-istiadat yang adalah Pasola ini haruslah
dilaksanakan dan tidak boleh terlupakan atau terabaikan sedikit pun. Kemudian,
ritus Pasola ini juga sudah merupakan sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang saat
waktunya tiba maka ritus ini akan dan bahkan harus dilaksanakan. Ritus Pasola
telah menjadi kebiasaan-kebiasaan masyarakat Sumba yang tidak lagi bisa
dihilangkan.
Dari hasil penelitian yang ada, teori yang di gunakan adalah teori ritual.
Sebuah teori ritual dari salah satu tokoh antropologi Turner. Ia mengatakan bahwa
Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk mau melakukan dan
juga mentaati tatanan sosial yang sudah ada. Disini berarti bahwa orang-orang
dalam sebuah kelompok harus saling berinteraksi atas dasar status dan peranan
sosial yang sudah diatur. Sama halnya ketika dalam pelaksanaan ritus Pasola ada
terjadi sebuah pembentukan tatanan sosial yaitu sang Rato yang bertugas sebagai
pemimpin ritual ini dan lain sebagainya.
Pasola merupakan sebuah ritus atau ritual yang dilakukan guna mendorong
orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial yang ada, seperti yang
sudah dijelaskan diatas yaitu orang-orang yang mengikuti ritus Pasola ini mereka
mengikuti perintah dari sang Rato ketika ia memprediksi kemuncuan Nyale
(cacing laut) karena itu merupakan tanda-tanda yang akan dihitung oleh para
Ratodalam menafsirkan tanda-tanda alam. karena Pasola merupakan ritus secara
turun-temurun yang pada dasarnya semua warga mengikuti ritus tersebut saat
41
Sulasman, Setiagumilar, Teori-Teori Kebudayaan dari Teori Hingga Aplikasi (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013),17
Page 30
18
diselenggarakan, dan guna dari masih diadakannya ritus ini adalah agar sesama
warga di Sumba, dari desa lainnya dapat berkumpul untuk bersama-sama
melaksanakan ritus ini dan mereka dapat berinteraksi antara yang satu dan yang
lainnya.
Menurut Turner, ritus dan ritual mempunyai beberapa peranan yang jika
dikaitkan dengan hasil penelitian, ritus Pasola dapat menghilangkan konflik. Jelas
saja dapat menghilangkan konflik, karena ritus Pasola ini diselanggarakan dan
diikuti oleh beberapa kelompok dari berbagai desa-desa yang ada dalam pulau
Sumba. Didalamnya timbul rasa kekeluargaan yang tinggi karena tujuan mereka
mengikuti ritus ini sama yaitu untuk mengungkapkan rasa syukur dan memohon
berkat. Sehingga dengan tujuan yang sama maka timbullah rasa kekeluargaan dan
juga dapat mengatasi perpecahan. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa disaat
inilah yaitu pada saat ritus Pasola dilaksanakan maka orang-orang yang datang
dari berbagai-bagai tempat dan berbagai desa melakukan interaksi antara satu dan
yang lainnya sehingga tidak terjadi perpecahan antara satu kelmpok atau satu
individu dengan kelompok atau individu lainnya. Kemudian juga dapat
mempersatukan dua prinsip yang bertentangan. Mengapa dikatakan dapat
mempersatukan dua prinsip yang bertentangan? karena tujuan dari dilakukannya
ritus ini adalah untuk membangun hubungan baik antara sesama manusia yang ikut
melaksanakan ritus ini dan yang terakhir orang mendapat kekuatan baru untuk
hidup. Masyarakat Sumba mendapat kekuatan baru dari rasa syukur yang mereka
naikan kepada Sang pencipta dan juga mereka percaya bahwa Sang pencipta akan
memberikan atau memberkati mereka dalam hal ini adalah hasil panen yang
berlimpah.
Ritus Pasola merupakan sebuah ritus yang sering ditemui dan dialami
dalam kehidupan sehari-hari yang adalah ritus siklus kehidupan. Siklus kehidupan
merupakan sebuah putaran watu yang didalamnya terdapat rangkaian-rangkaian
kejadian yang berulang-ulang atau terus-menerus terjadi secara tetap dan teratur.
Dalam hal ini berkat dan kelahiran juga kematian merupakan siklus kehidupan
yaitu sebuah kejadian yang akan selalu manusia hadapi dan itu merupakan hal
yang mutlak. Dalam sebuah ritus dan ritual pasti selalu ada didalamnya ritus
Page 31
19
meminta berkat dan mengucap syukur kelahiran yang dimana ritus ini tidak bisa
dilepas dari suatu masyarakat beragama yang meyakininya.
Ritus Pasola ini merupakan sebuah budaya yang tidak akan terlepas dari
kehidupan warga Sumba terkhususnya warga Wanukaka yang menjadi tempat
penelitian dilakukan. Karena melihat dari budaya itu sendiri yang adalah
merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota sekelompok masyarakat, Pasola adalah sebuah pengetahuan,
sebuah kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang
dimiliki oleh masyarakat Sumba.
Turner, dalam penelitian yang ia lakukan, ia dapat menggolongkan ritus ke
dalam dua bagian yaitu ritus krisis kehidupan dan ritus gangguan. Jika kita melihat
dari hasil penelitian yang sudah dilakukan maka kedua golongan yang
dikemukakan oleh Turner ini sedikit sesuai dengan hasil penelitian yang sudah
didapati. Pasola jika dilihat dari golongan pertama yang dikemukakan oleh Turner
yaitu ritus krisis kehidupan. Jika melihat devinisi dari arti kata krisis yaitu Suatu
kejadian atau peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan seseorang
dan mengganggu keseimbangan seseorang. Disini menurut Turner seseorang
mengalami krisis karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Pada
golongan yang pertama ini saya rasa tidak begitu sesuai dengan hasil penilitian
yang didapati.
Kemudian pada golongan yang kedua, ritus gangguan. Pada golongan ini,
Turner menjelaskan bahwa mereka mmenghubungkan nasib sial yang dialami dan
sebagainya kemudian mereka kaitkan dengan roh orang yang sudah mati. Mereka
percaya bahwa roh leluhur mengganggu orang sehinga mereka mmendapati nasib
sial. Jika kita melihat pada hasil penelitian yang ada, maka dapat dikatakan bahwa
Pasola juga hamper sama dengan golongan kedua dari Turner ini, yaitu ketika ritus
Pasola ini dilaksanakan dan ada yang terluka bahkan mati dalam pertandingan
maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut pernah melakukan kesalahan pada
nenek moyang sehingga ia mendapat kesialan atau dipandang sebagai bukti
pelanggaran atas norma adat yang berlaku.
Page 32
20
Pasola merupakan sebuah kebuadayaan yang begitu sangat melekat dengan
diri masyarakat Sumba. Sehingga walaupun Pasola ini merupakan ritual yang
dilakukan sejak masyarakat Sumba masih memeluk kepercayaan Marapu yang
dengan tujuan masyarakat Sumba melaksanakan ritus ini adalah agar mengucapkan
rasa syukur pada Marapu dan juga meminta berkat pada Marapu, dan hingga
sekarang banyak, bahkan hampir seluruh masyarakat Sumba sudah memeluk
agama Kristen, namun mereka tetap terus mengikuti ritus tersebut, karena menurut
masyarakat Sumba, ritus Pasola ini sudah menjadi darah daging mereka dan tidak
akan pernah ada yang berubah, hanya saja yang sedikit berubah adalah cara
pendang mereka dalam melihat kemana mereka mengungkapkan rasa syukur
mereka sudah berbeda saat mereka masih memeluk kepercayaan Marapu dan
ketika mereka sudah memeluk agama Kristen.
Jika melihat dari konteks kekristenan,Pasola merupakan sesuatu hal yang
sebenarnya merupakan tindakan penyembahan kepada berhala, apalagi jika kita
melihat pada konteks 10 hukum taurat. Pada hukum yang pertama dikatakan
bahwa “Jangan ada allah lain di hadapanKu.” Pasola sendiri merupakan
penyembahan kepada Marapu, itu berarti bahwa masyarakat Sumba telah
melanggar apa yang ditetapkan dalam 10 hukum taurat tersebut. Ketika ini dilihat
sebagai sebuah permasalahan, maka tentulah Pasola merupakan hal yang salah,
ketika orang-orang Kristen di Sumba masih mengikuti ritual ini. Tetapi ini sudah
tidak lagi menjadi sebuah masalah dalam konteks kekristenan ketika kita melihat
lebih dalam makna dari ritual Pasola ini yang adalah menaikan ungkapan syukur
atas berkat yang diterima, karena dalam ajaran Kristen yang kita pelajari,
mengucap syukur adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh seluruh umat
Kristani. Mengucap syukur artinya kita mensyukuri apapun yang ada dalam
kehidupan kita, apalagi berkat-berkat yang kita terima.Tuhan berkehendak agar
umat manusia mengucap syukurlah dalam segala hal, maka seharusnya kita
praktekkan itu dalam seluruh gerak hidup kita sehari-hari. Ini sudah tidak menjadi
sebuah masalah lagi ketika orang-orang Kristen mengikuti ritual Pasola ini
mendalami makna dari ritual ini.
Page 33
21
Itulah sebabnya, mengapa orang Kristen Sumba masih melakukan ritual ini,
karena mereka melihat pada makna ungkapan syukur yang ada dalam ritual
tersebut. Mereka tidak lagi menyembah Marapu dan menaikan ungkapan syukur
pada Marapu, tetapi pada Tuhan sang pencipta langit dan bumi. Ketika melihat
pada makna yang ada dalam ritual ini maka sama sekali tidak menyimpang dari
ajaran Kristen yang ada, karena begitu penting mengucap syukur atas apa yang ada
dan didapat dalam kehidupan umat manusia, dan juga masyarakat Sumba merasa
bahwa Pasola telah menjadi budaya mereka sehingga walaupun masyarakat Sumba
sudah memiliki agama mereka masih terus mengikuti ritual tersebut. Seperti yang
diungkapkan oleh pendeta GKS Praibakul Pusat Lahiuruk, beliau mengatakan
bahwa Pasola sudah menjadi sarana besar bagi warga Sumba untuk menaikan atau
mengungkapkan ucapan syukur mereka kepada Tuhan atas berkat-berkat yan
mereka dapati yang berupa hasil panen yang melimpah juga sebagai permohonan
meminta berkat kepada Tuhan.42
Ritus Pasola merupakan serangkaian perbuatan keramat dan kebudayaan
yang dilakukan oleh sekelompok dengan menggunakan alat-alat tertentu seperti
lembung yang dipakai pada saat perang kuda dilakukan, kemudian tempat tertentu
seperti Pasola yang selalu dilaksanakan di desa Wanukaka, dan cara-cara tertentu
pula untuk mendukung keberlangsungan ritual. Seperti halnya ritus Pasola ini
memiliki cara-cara yang dilakukan untuk menunjang ritus ini yang dimulai dengan
nyale dan kemudia dilanjutkan dengan cara-cara lainnya hingga sampai pada acara
puncak dari Pasola ini yaitu perang kuda yang dilakukan oleh kedua kelompok
yang sudah disiapkan.
Ritus Pasola sangat erat hubungannya dengan masyarakat Sumba. Segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat Sumba ditentukan oleh kebudayaan yang
mereka miliki yaitu Pasola tersebut. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku atau tindakan warga
masyarakat yang mendukung atau menghayatinya yaitu Pasola yang sudah
menjadi sebuah fenomena sosial dan sampai kapanpun tidak akan bisa terlepas dari
masyarakat Sumba terkususnya desa Wanukaka.
42
Wawancara dengan Pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk (5)
Page 34
22
Dari teori yang diambil dan hasil penelitian yang telah didapati, penulis
melihat bahwa ada kecocokan antara keduanya. Apa yang di ungkapkan oleh
Turner dan apa yang didapati dari hasil wawancara selama penelitian hamper
mencapai persamaan jika lebih dilihat secara mendalam apa itu Pasola dan makna-
makna yang terkandung. Dapat dipastikan bahwa ritus Pasola merupakan hal wajib
yang selalu rutin dilaksanakan pada waktu penyelenggaraan yang sudah disepakati
bersama sejak zaman dahulu, pada saat masyarakat Sumba masih memeluk
kepercayaan Marapu. Pada setiap bulan Februari dan Maret, masyarakat Sumba
selalu berkumpul di suatu tempat yang sudah ditentukan untuk mengikuti ritus
Pasola ini. Ritus ini sudah menjadi makanan pokok yang tidak bisa dihindari oleh
masyarakat Sumba.
Pasola telah menjadi budaya masyarakat Sumba yang tidak akan pernah
bisa hilang dan sudah melekat pada diri setiap masyarakat Sumba. Walaupun
hampir seluruh masyarakat Sumba telah beralih dan memiliki agama, tetapi Pasola
ini akan terus dilakukan seperti biasanya.Apalagi melihat dari apa yang
disampaikan oleh bapak camat Wanukaka bahwa Pasola tidak akan pernah hilag
dari masyarakat Sumba, ini telah menjadi kekhasan dari masyarakat Sumba
sendiri. Begitu banyak perbuhahan-perubahan zaman yang terjadi tetapi Pasola
tidak akan pernah berubah. Dan walaupun masyarakat telah memiliki dan memeluk
agama Kristen, tidak akan menutup kemungkinan untuk mereka akan terus
mengikuti ritus Pasola karena Pasola telah menjadi budaya yang harus dijaga dan
dilestarikan.
Kesimpulan
Ritual Pasola ini hingga sampai saat ini masih terus dilakukan
olehmasyarakat Sumba Barat sebagai bentuk doa dan permohonan untuk hasil
panenyang melimpah dan juga sebagai permohonan mendapat berkat, karena
sebagian besar masyarakat Sumba Barat bermatapencaharian sebagai seorang
petani. selain itu jugaPasola ini diperuntukan sebagai pererattali kekerabatan
diantara masyarakat Sumba karena melihat setiap kali ritus ini diselanggarakan
maka akan banyak orang-orang yang datang dari berbagai-bagai desa yang lain,
Page 35
23
yang datang untuk menyaksikan ritus ini juga sekaligus untuk
mendapatkankeadaan yang makmur, selamat, dan tentram.Walaupun banyak
diantara mereka atau bahkan hampir keseluruhan orang Wanukaka telah memeluk
agama Kristen, tetapi mereka masih tetap melaksanakan ritus Pasola ini sesuai
waktu, tatacara dan tempat yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang mereka. Ini
sudah menjadi sebuah ritual secara turun-temurun oleh warga Wanukaka. Warga
Wanukaka memang masih melakukan ritus ini walaupun mereka telah memeluk
agama Kristen, tetapi makna yang mereka ambil pun sudah tidak lagi seperti waktu
mereka masih memeluk agama Marapu. Masih tetap sama bahwa ritus Pasola ini
dilakukan guna untuk mengucap syukur dan meminta berkat yang melimpah
berupa hasil panen yang melimpah, yang berubah ialah kepada siapa syukur ini
dinaikan.
Tetapi meskipun begitu, ritus ini telah menjadi sebuah kebudayaan yang
harus dilindungi, dijaga dan dilestrikan oleh seluruh warga Sumba terkhususnya
warga Wanukaka. Ini menjadi sebuah alasan mengapa orang Kristen di Sumba
masih terus melakukan ritus Pasola hingga sampai saat ini, karena ritus ini sudah
menjadi sebuah kebudayaan bagi masyarakat Sumba yang tidak akan pernah
musnah oleh waktu. Karena ini telah menjadi ciri khas dari masyarakat Sumba.
Page 36
24
Daftar Pustaka
Alfian. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia, 1985.
Agus Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.
Boro Lete Paulus. Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba, Nusa
Tenggara Timur, Indonesia, Jakarta: Obor, 1995. Hal 1-2
Creswell, W. J. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Daeng J. Hans. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Jenks Chris. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Kaplan David dan Robert A. Manners. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1985
Kuntojowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Kusdi. Budaya Organisasi. Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Luzbetak Louis. The Church and Cultures. American: Orbis Books, 1988.
Mohammad Najib. Demokrasi dalam perspektif budaya Nusantara, Jilid 2
Demokrasi dalam perspektif budaya Nusantar. Yogyakarta: LPKSM
1996.Hal 45
Nasir, M. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1999.
Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah . Jakarta: Bumi Aksara, 2003
.143
Page 37
25
Pals L. Daniel. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: IRCiSoD, 2011.
Sedyawati. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012.
Setiagumilar. Teori-Teori Kebudayaan Dari Teori Hingga Aplikasi. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013.
Winangun. Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas Menurut Victor
Turner. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Sitompul A. A.Manusia dan Budaya. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 1993.
Storey Jhon. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Cultural.
Great Britain: British Library, 1993.
Sutrisno Mudji dan Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2015.
Timo Eben Nuban. Sidik Jari Allah Dalam Budaya. Yogyakarta: Ledalero, 2005.
Weber Max. Teori Dasar Analisis Kebudayaan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
Wellem. D. F. Injil dan Marapu. Jakarta PT BPK Gunung Mulya. 41
WEB
http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Nusa-
Tenggara-Timur/Seni-Budaya/Marapu-Kepercayaan-Asli-Orang-
Sumba.diakses26oktober2015
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/03/pengertian-budaya-menurut-para-
ahli-lengkap.html. 03022016
https://verykaka.wordpress.com/2008/04/14/tradisi-pasola-di-sumba-barat-
ntt/.14102015
http://visitsumbaisland.blogspot.co.id/2016/06/kabupaten-sumba-barat.html.
Diakses 20 Mei 2016
Page 38
26
Wawancara
Hasil wawancara dengan mantan Rato
Hasil wawanara dengan Camat Wanukaka
Hasil wawancara dengan Pendeta GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
Hasil wawancara dengan Jemaat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
Hasil wawancara dengan Majelis GKS Praibakul Pusat Lahihuruk
Hasil wawancara dengan Masyarakat GKS Praibakul Pusat Lahihuruk