Paper Sosiologi Pelacuran di Indonesia i Disusun oleh: Kelompok 3 Fahri Agustian 1125142145 Ineng Wahyuni 1125142146 Neno Adani 1125142147 Moch. G. Ardiyanto 1125142150 Dea Sarah Santi 1125142152 B Psikologi 2014
Paper Sosiologi Pelacuran di Indonesia
i
Disusun oleh:
Kelompok 3
Fahri Agustian 1125142145
Ineng Wahyuni 1125142146
Neno Adani 1125142147
Moch. G. Ardiyanto 1125142150
Dea Sarah Santi 1125142152
B Psikologi 2014
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul
Pancasila sebagai Ideologi Nasional.
Tujuan saya dalam pembuatan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui
permasalahan mengenai prostitusi (pelacuran) yang ada di Indonesia. Selain itu, tujuan
penulisan ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi semester dua tahun
2015/2016.
Tak lupa kami mengucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam kelancaran pembuatan makalah, yaitu:
1. Bapak Drs. M. Dimyati Safari, MM selaku dosen Sosiologi yang terus membimbing
kami dengan sabar sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini.
2. Orangtua kami yang telah memberi dukungan moral dan materil
3. Teman-teman yang selalu membantu dan menyemangati kami
Terakhir, tak ada manusia yang sempurna dan begitu juga kami. Kritik dan saran dari
Anda akan sangat membantu saya untuk menjadi lebih baik di kemudian hari. Besar
harapan kami, karya tulis ini dapat berguna bagi Anda semua.
Jakarta, 23 Maret 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................ i
Kata Pengantar........................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Kajian Pustaka......................................................................................... 2
C. Permasalahan........................................................................................... 3
D. Manfaat................................................................................................... 3
BAB II DASAR TEORI............................................................................................. 5
A. Teori Sosiologi........................................................................................ 5
BAB III PEMBAHASAN ANALISIS MASALAH.................................................. 7
A. Pengertian Pelacuran............................................................................... 7
B. Faktor-faktor Pendukung Pelacuran........................................................ 9
C. Dampak Pelacuran................................................................................... 13
D. Undang-undang dan Usaha Pemerintah Menangani Pelacuran.............. 14
E.Kasus Pelacuran........................................................................................ 17
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 19
A. Kesimpulan............................................................................................. 19
B. Saran........................................................................................................ 20
Daftar Pustaka............................................................................................................ 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, di manapun berada, selalu terdapat penyimpangan-
penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara
sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat dihindari dalam sebuah
masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat terkadang
menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan penyimpangan norma
yang berlaku pada masyarakat tersebut (Soekanto, 1989:79).
Seperti diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan
sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang luas, interaksi
dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota masyarakat dengan berbagai budaya,
gaya hidup, dan kondisi regional yang sedang berlaku di sebuah negara di mana
masyarakat itu bernaung—bisa berbentuk kondisi perekonomian, kondisi keamanan,
kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Di antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat di hampir seluruh negara
adalah prostitusi. Tak syak lagi, prostitusi memang sudah berumur tua, selalu ada dalam
kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Seks dan wanita adalah dua kata
kunci yang terkait dengan prostitusi. Seks adalah kebutuhan manusia yang selalu ada
dalam diri manusia dan bisa muncul secara tiba-tiba. Seks juga bisa berarti sebuah
ungkapan rasa abstrak manusia yang cinta terhadap keindahan. Sedangkan wanita adalah
satu jenis makhluk Tuhan yang memang diciptakan sebagai simbol keindahan. Maka
fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah seks selalu identik dengan wanita.
Namun, celakanya lagi, yang selalu menjadi korban dari keserakahan seks adalah juga
wanita.
Dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya
menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang.
Itulah sebabnya kenapa wanita selalu ada saja yang mengumpulkan dalam suatu tempat
dan berusaha “dijual” kepada siapa saja yang membutuhkan “jasa sesaat”nya. Lelaki,
1
meskipun ada yang menjual dirinya, tapi jarang ditemukan dikumpulkan dalam suatu
tempat seperti halnya wanita; atau jika ada pun, umumnya para lelaki tersebut berubah
wujud menjadi wanita agar diakui keindahannya yang dengannya mudah untuk
menentukan tarif yang dikehendakinya.
Prolog di atas adalah hasil analisis peneliti secara umum mengenai fenomena
munculnya lokalisasi yang menjajakan jasa wanita sebagai pekerja seks. Namun,
mengenai faktor-faktor yang spesifik mengenai sebab para wanita terjun ke dunia seks
dan melakukan penyimpangan sosial, hal itu perlu diadakan sebuah penelitian lebih lanjut
dengan melibatkan mereka secara langsung.
Lebih jauh, sebagai asumsi dasar, dapat dikatakan bahwa kehidupan wanita dalam
dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor utama yaitu “faktor internal” dan
“faktor eksternal”. Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri,
yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu
wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk
melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi
ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, kegagalan percintaan, dan
sebagainya.
B. Kajian Pustaka
Para ahli memberikan beberapa pengertian pelacuran. Pelacuran berasal dari bahasa
Latin pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan
persundalan, percabulan dan pergendakan.
Perkins dan Bennet dalam Koendjoro (2004), memberikan pengertian pelacuran
sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang
bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan
kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam. Senada dengan hal tersebut,
Supratiknya (1995) menyatakan bahwa prostitusi atau pelacuran adalah memberikan
layanan hubungan seksual demi imbalan uang.
2
Kartini kartono (1992:207) medefinisikan prostitusi atau pelacuran merupakan
peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual belikan badan, kehormatan dan
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seks, dengan imbalan
pembayaran.
Soerjono Soekanto (1990:374) mengatakan prostitusi atau pelacuran merupakan
suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan
seksual dengan mendapatkan upah.
Berdasarkan pendapat diatas dapat di katakan beberapa hal :
1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi
impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk
pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa terkendali dengan banyak orang disertai
ekploitasi dan komersialisasi, imppersonal tanpa afeksi sifatnya.
2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual belikan
badan, kehormatan dan kepribadian kepada orang banyak untuk memuaskan nafsu
seks dengan imbalan bayaran.
3. Pelacuran iyalah perbuatan yang dilakukan perempuan dengan meyerahkan
badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapat upah.
Dari beberapa pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa prostitusi/pelacuran
adalah suatu perilaku menyimpang dimana wanita lah yang menjadi obyek, baik wanita
dewasa maupun anak-anak yang menjual tubuhnya ke kaum laki-laki untuk mendapatkan
upah/bayaran.
C. Permasalahan
Pelacuran merupakan perbuatan melanggar norma yang sangat susah
diberantas
Negara setengah-setengah memberantas pelacuran karena di sisi lain itu
menambah devisa negara.
Pelacuran sudah menyentuh kalangan remaja muda, SMP bahkan SD.
Faktor ekonomi sering menjadi faktor seseorang melacurkan diri sementara
oresentase kemiskinan di Indonesia masih tinggi.
3
Seringkali pelacur terlibat bahaya yang lebih besar, yakni perdagangan
manusia.
D. Manfaat
Dengan paper ini diharapkan kami dapat mendeskripsikan permasalahan
pelacuran di Indonesia serta teman-teman mahasiswa menjadi tahu banyak
tentang pelacuran di Indonesia, latar belakang, serta faktor-faktor mengapa
seseorang melakukan pelacuran. Di akhir laporan ini kami juga memberikan
saran kami mengenai pelacuran di Indonesia.
4
BAB II
DASAR TEORI
A. Teori Pelacuran Menurut Sosiologi
Dalam menguraikan teori tentang masyarakat Durkheim menaruh perhatian yang
besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis solidaritas dalam
masyarakat, hukum dirumuskan sebagai kaedah yang bersangksi dimana berat ringannya
tergantung pada:
1) Sifat pelanggaran
2) Anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya perilaku tertentu
3) Peranan sanksi tersebut dalam masyarakat
Selain daripada itu terdapat sanksi yang tujuan utamanya adalah pemulihan keadaan
(seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah yang mungkin
menyebabkan kegoncangan dalam masyarakat. Kaedah dengan sanksi semcam itu
merupakan kaedah hukum restitutif dengan pengurangan unsur pidana yang terdapat
didalamnya. Kaedah hukum tersebut kemudian dikaitkan dengan bentuk solidaritas yang
menjadi ciri masyarakat tertentu, oleh karena iru jenis kaedah hukum merupakan akibat
dari bentuk solidaritas tertentu.
Perilaku menyimpang, dalam hal ini pelacuran, dapat disebabkan oleh anomi. Secara
sederhana anomi diartikan sebagai sesuatu keadaan di masyarakat tanpa norma.
Anomi terjadi karena adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-
cara untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Menurut Merton, ada lima tipologi tingkah
laku individu untuk menghadapi hal tersebut yaitu;
a. Komformitas
Komformitas merupakan suatu sikap menerima tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
5
b. Inovasi
Inovasi merupakan suatu sikap menerima tujuan yang sesuai dengan nilai budaya,
tetapi menolak cara-cara yang melembaga untuk mencapai tujuan.
c. Retualisme
Retulisme merupakan sikap menerima cara-cara yang melembaga, tetapi menolak
tujuan-tujuan kebudayaannya.
d. Pengasingan
Pengasingan diri merupakan sikap yang menolak tujuan maupun cara-cara untuk
mencapai tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya.
e. Pemberontakan
Pemberontakan merupakan sikap yang menolak tujuan maupun cara-cara yang
melembaga dan berupaya menggantikannya dengan tujuan dan cara baru atau lain.
Menurut teori sosiologi, yang dikemukakan oleh Prof,Dr Rony Nitibaskara, tentang
konsep bahwa ”setiap kejahatan / prilaku penyimpangan mempunyai fungsi/tugas dalam
masyarakat dimana salah satu fungsinya adalah sebagai alat Penyeimbang” Maksudnya
dalam setiap perbuatan kejahatan selain ada pihak yang dirugikan , terdapat pula pihak-
pihak yang diuntungkan dengan adanya kejahatan tersebut. Berkaitan dengan penulisan ini
penulis mencoba memberikan contoh kongkrit dari teori sosiologi diatas dikaitkan dengan
praktek bisnis prostitusi. Sebagaimana telah diuraikan dalam paragraph terdahulu,praktek
prostitusi memang sangat bertentangan dengan norma-norma normatif dan norma-norma
agama, namun terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang diuntungkan dengan adanya
praktek prostitusi tersebut, yaitu masyarakat yang berdomisili sekitar lokasi praktek
prostitusi tersebut yang mancari mata pencaharian disekitar lokasi pelacuran tersebut.
Selain kelompok masyarakat tersebut terdapat juga oknum-oknum petugas hukum yang
mendapatkan keuntungan dengan adanya kolusi (setoran uang rutin sehingga mendapatkan
uang setoran) dari para pelaku bisnis prostitusi dengan kesepakatan bahwa praktek bisnis
prostitusi yang dikelolanya terbebas dari tindakan-tindakan hukum.
6
BAB III
PEMBAHASAN ANALISIS MASALAH
A. Pengertian Pelacuran
1. Definisi Prositusi
Profesor W.A Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der
Prostitutie menulis defenisi sebagai berikut:
Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan
perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Jelas dinyatakan adanya
peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan
jalan melakukan relasi-relasi seksual.
...Peraturan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai
penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan sebagai berikut: Wanita tunasusila
adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar
perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak.
Sedang pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut meyatakan sebagai
berikut:
Barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya, dengan sengaja mengadakan atau
memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu
rupiah.
Jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria. Jadi,
ada persamaan predikat lacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama
melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini, perbuatan
cabul tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk
pula peristiwa homoseksual dan permainan seksualnya.
Selanjutnya, defenisi pelacuran dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi
impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk
pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang
7
(promiskuitas), disertai eksploitas dan komersialisasi seks yang impersonal
tanpa afeksi sifatnya.
b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan
menjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk
memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.
c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan
badannya untuk bberbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
Dengan adanya komersialisasi dan barter seks – perdagangan tukar-menukar
seks dengan benda bernilai – maka pelacuran merupakan profesi yang paling tua
sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Dimasukkan dalam kategori pelacuran ini antara lain:
a. Pergundikan : pemeliharaan bini tidak resmi, bini gelap atau perempuan
piaraan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan.
Pada zaman belanda disebut nyai.
b. Tante girang atau loose married woman : wanita yang sudah kawin, namun
tetap melakukan hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain baik secara
iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenang-senang just for fun dan
mendapatkan pengalaman-pangalaman seks lain, maupun secara intensional
untuk mendapatkan penghasilan
c. Gadis-gadis panggilan : gadis-gadis dan wanita-wanita biasa yang
menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitue, melalui
saluran-saluran tertentu.
d. Gadis-gadis bar atau B-girls : gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan-
pelayan bar sekaligus bersedia memberikan pelayanan seks kepada para
pengunjung.
e. Gadis-gadis juvenile delinguent : gadis-gadis muda dan jahat, yang didorong
oleh ketidakmatangan emosinya dan retardasi/keterbelakangan inteleknya,
menjadi sangat pasif dan sugestibel sekali. Karakternya sangat lemah. Sebagai
akibatnya, mereka mudah sekali jadi pecandu obat-obat bius(gabja, heroin,
morfin, dan lain-lain), sehingga mudah tergiur melakukan perbuatan-perbuatan
immoril seksual dan pelacuran.
f. Gadis-gadis binal atau free girls : di Bandung mereka disebut sebagai
“bagong lieur” (babi hutan yang mabuk). Mereka itu adalah gadis-gadis
sekolah atau putus sekolah, putus studi di akademi atau fakultas dengan
8
pendirian yang “brengsek” dan menyebarluaskan kebebasan seks secara
ekstrem, untuk mendapatkan kepuasan seksual. Mereka menganjurkan seks
bebas dan cinta bebas.
g. Gadis-gadis taxi ( di Indonesia ada juga gadis-gadis becak) : wanita-wanita
atau gadis-gadis panggilan yang ditawarkan dibawa ke tempat “plesiran”
dengan taxi atan becak.
h. Penggali emas atau gold-diggers : gadis-gadis dan wanita-wanita cantik –ratu
kecantikan, pramugari mannequin, penyanyi, pemain panggung, bintang film,
pemain sandiwara teater atau opera, anak wayang, dan lain-lain – yang pandai
merayu dan bermain cinta, untuk mengeduk kekayaan orang-orang yang
berduit.
i. Hostes atau pramuria yang menyemarakkan kehidupan malam dalam
nighclub-nighclub. Pada intinya, profesi hostes merupakan benttuk pelacuran
halus. Sedang pada hakikatnya, hostes itu adalah predikat baru dari pelacuran.
Sebab, di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri dipeluki, diciumi, dan
diraba-raba seluruh badannya. Juga di meja-meja minum badannya
diraba0raba dan diremas0remas oleh langganannya. Para hostes ini harus
melayani makan, minum, dansa, dan memuaskan naluri-naluri seks para
langganan dengan jalan menikmati tubuh para hostes/pramuria tersebut.
Dengan demikian, langganan bisa menikmati keriaan atau kesenangan suasana
tempat-tempat hiburan.
j. Promiskuitas/promiscuity : hibungan seks secara bebas dan awut-awutan
dengan pria mana pun juga; dilakukan dengan banyak lelaki.
B. Faktor-faktor Pendukung Pelacuran
1. Ekonomi
Ekonomi adalah salah satu aspek yang paling sering dikambinghitamkan sebagai
faktor utama seseorang untuk berprofesi menjadi pelacur. Bila ditanya kepada para
pelacur, alasan mereka menjadi pelacur, pasti mayoritas jawaban adalah karena mereka
butuh uang, baik untuk mereka sendiri dan keluarga, dan mereka berpikir pelacuran
adalah satu-satuya jalan yang tepat untuk mendapat uang dengan cepat. Presentase
kemiskinan di Indonesia sekitar 17,8% dari 238 juta penduduk. Belum lagi peringkat
korupsi yang begitu besar sehingga meskipun presentase APBN untuk kesejahteraan
9
rakyat sudah cukup, yang diterima oleh rakyat secara riil hanya sepersekian bagian.
Hal ini tentu saja membuat masyarakat harus melakukan segala cara untuk bertahan
hidup, salah satunya dengan melacurkan diri. Selain melacurkan diri, individu dengan
tingkat ekonomi rendah dapat terjerat jaring kriminalitas lainnya seperti pencurian dan
human traficking.
Namun, peran faktor ekonomi sesungguhnya tidaklah se-mahadahsyat itu.
Terkadang bagi para pelacur, ekonomi adalah bias mereka untuk membenarkan diri
menjadi pelacur. Tidak semua orang yang kurang mampu menjadi pelacur, dan tidak
semua pelacur berasal dari kalangan menengah kebawah. Kita kerap kali menilai
seseorang dari faktor yang terlihat besar, padahal masih ada banyak aspek yang
membentuk dirinya menjadi seorang pelacur, bukan hanya satu atau dua aspek.
Lingkungan, nilai, gaya hidup, pendidikan, bahkan teknologi dan abnormalitas fungsi
tubuh dapat memuat individu melacurkan dirinya.
2. Lingkungan
Mayoritas pelacur sudah memulai karir di dunia pelacuran pada usia remaja. Masa
remaja adalah masa seseorang mencari identitas. Menurut Mead, Masa remaja dalam
sosiologi disebut juga Game Stage yang memiliki pengertian Peniruan yang
dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung
dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada
posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain
secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga
dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin
banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan
teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar
keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai
menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya. Dalam masa
ini, remaja penuh rasa ingin tahu. Mereka ingin mengalami banyak hal. Dalam hal ini
seringkali pengaruh teman sebaya terhadap seorang individu berpengaruh besar,
karena remaja lebih intens bertemu dengan teman sebaya daripada orangtuanya sendiri.
Hal ini memberi kesempatan pada teman sebaya untuk menanamkan pemikiran-
pemikiran. Dalam menghadapi ilustrasi seperti ini, peran orang tua sangatlah
dibutuhkan, bukan hanya sebagai pengontrol, tapi juga sebagai pemandu remaja untuk
10
menyikapi ajakan teman sebayanya. Kontrol akan lebih sulit dilakukan jika ada absen
dari salah satu atau kedua orang tua. Hal inilah yang sering menjadi penyebab
mengapa remaja dari keluarga yang broken rentan tersentuh pelacuran, jika tidak
memiliki nilai moral dan nilai agama yang kuat.
Dalam kasus yang lebih ekstrim, lingkungan itu sendiri justru adalah sarana
pelacuran, termasuk juga keluarga. Kita banyak menemukan hal seperti ini bila
seorang anak dibesarkan di lingkungan yang terbiasa dengan pelacuran seperti daerah
slum atau bahkan lokalisasi. Gadis-gadis (atau pemuda) yang tinggal di daerah
semacam ini terbiasa mengetahui atau bahkan melihat persenggamaan individu-
individu di luar pernikahan. Anak-anak cenderung menyontoh perilaku yang rutin
mereka lihat secara gamblang karena masih belum bisa berpikir secara rumit dan
abstrak, (Bandura) sehingga mayoritas anak-anak yang tinggal di lingkungan slum atau
terkondisir di pikirannya bahwa hal seperti itu adalah hal biasa yang dapat
menjerumuskan mereka ke rantai dunia pelacuran.
3. Pendidikan
Memiliki pendidikan yang tinggi bukan berarti tidak berkesempatan menjadi
pelacur. Saat ini cukup banyak fenomena “ayam kampus” dimana terdapat mahasiswi
yang menjajakan tubuhnya demi mendapat nilai yang bagus. Ada juga yang berprofesi
sampingan sebagai Pekerja Seks Komersial di luar kampus. Namun rendahnya
pendidikan dapat dikatakan sebagai faktor penyebab terjadinya pelacuran karena jika
seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, prestis pekerjaan yang akan didapat
cenderung lebih tinggi dibanding yang berpendidikan rendah. Hal ini dipengaruhi dan
akan berpengaruh pada keadaan ekonomi si individu.
4. Nilai
Nilai dipengaruhi oleh lingkungan, dan bila individu sudah dewasa, dipengaruhi oleh
pengalaman yang telah ia lalui. Ini termasuk juga cara ia menilai dirinya sendiri dan
masyarakat luas. Jika nilainya terhadap diri sendiri lemah, individu mungkin merasa
rendah dan menganggap pelacuran sebagai hal yang wajar, karena baik profesi pelacur
maupun dirinya sama-sama rendah. Jika seseorang menganggap nilai yang ada dalam
masyarakat tidak penting, entah karena sosialisasi tidak sempurna ataupun keadaan
anomi, maka kemungkinan ia menjalani kehidupan pelacur atau perbuatan kriminalitas
11
lainnya, walau secara ekonomi maupun sosial, kehidupannya sudah cukup bagus.
Maka dari itu nilai-nilai agama dan sosial yang benar perlu ditanamkan sejak kecil.
5. Gaya hidup
Krisis ekonomi menyebabkan semakin besarnya jurang kesenjangan sosial, dan
persaingan sosial yang tinggi. Seorang remaja dari kalangan tidak mampu yang tidak
tekun ingin memiliki gaya hidup mewah seperti teman-temannya secara instan.
Sebagai seorang manusia ia akan berusaha memenuhi keinginannya. Pelacuran adalah
cara instan yang dapat dipakai, hanya modal tubuh, bahkan tanpa paras yang cantik
pun seseorang dapat memperoleh banyak uang untuk memenuhi kebutuhannya akan
prestis yang tinggi, atau bahkan hanya ingin bersenang-senang dan merasa bebas.
Pelacuran yang diakibatkan gaya hidup ini mungkin disebabkan oleh sikap orang tua
yang memanjakan anak atau tidak mengenalkan anak selain menilai sesuatu secara
materiil.
6. Teknologi
Di zaman sekarang informasi apapun dapat dengan mudah diperoleh, tidak
terkecuali informasi tentang seks. Orang bisa dengan mudah mengunduh konten video
porno, tanpa harus keluar uang untuk beli DVD, hal ini berlaku untuk semua individu,
tidak terkecuali anak-anak. Anak-anak dapat menjadi penasaran dan melakukan
aktivitas seksual. Masalahnya adalah, individu yang sudah melakukan aktivitas
kegiatan seksual sejak dini dapat kembali melakukan aktivitas seksual itu, ini
dikarenakan pemikirang anak-anak yang masih konkrit sehingga tidak
mempertimbangkan apa yang dilakukannya. Bukan hanya itu, dengan semakin
pesatnya teknologi, banyak juga bisnis pelacuran online yang bisa diakses siapapun.
7. Abnormalitas seksual
Pelacuran juga dapat disebabkan karena adanya abnormalitas seksual pada diri
individu yang biasa disebut hiperseks. Hiperseks ini disebabkan baik faktor fisiologis
(pada pria) maupun faktor psikologis (pada pria dan wanita. Pada pria, misalnya,
Disebut satyriasis, disebabkan faktor fisik maupun psikis. Dari aspek fisik, salah
satunya, peradangan di saluran kemih yang merangsang kerja saluran tersebut
sedemikian rupa hingga individu bersangkutan terkesan "haus" untuk selalu berintim-
intim. Penyebab peradangan ini harus segera ditemukan agar bisa dipastikan upaya
12
penyembuhannya. Soalnya, bila tak segera diobati, dikhawatirkan peradangan tersebut
akan meluas menjadi peradangan di buah zakar. Tentu saja peradangan pada "pabrik"
sperma ini akan berpengaruh pada hubungan seksual, di antaranya mengganggu
produksi hormon testosteron.
Pada wanita nymphomania, disebabkan sepenuhnya oleh faktor psikis. Salah satunya
berakar pada penyimpangan sewaktu usia balita sampai remaja, semisal menyaksikan
bagaimana ibunya kerap dipukuli atau disiksa ayahnya. Berbekal pengalaman buruk
inilah, semasa dewasa ia merasa butuh pendamping yang berbeda atau lebih baik dari
ayahnya. Namun dalam pencarian itu, ia tak bisa menemukan nilai-nilai kebaikan pada
satu orang, hingga bergaullah ia dengan banyak orang untuk mencari dan terus mencari
orang yang dirasa pas. Bila si individu sudah kenal dan melakukan seks bahkan
sebelum ia dapat berpikir matang, ia dapat memiliki kecenderungan untuk menjadi
ketagihan dengan seks lalu melampiaskan perasaannya tersebut dengan menjadi
pelacur, karena akan lebih mudah.
C. Dampak Pelacuran
Setiap perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan memiliki akibat atau dampak bagi
orang tersebut. Terlebih lagi dalam masalah prostitusi ini. Berikut adalah dampak yang
ditimbulkan bagi pelaku prostitusi:
a. Secara sosiologis prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan
dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat.
b. Dari aspek pendidikan prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi.
c. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat
wanita.
d. Dari aspek ekonomi, prostitusi dlam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga
kerja
e. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif
untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya.
f. Dari aspek kamtibmas praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan
kriminal.
g. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika
lingkungan perkotaan.
13
Akibat-akibat lain yang ditimbulkan oleh praktik pelacuran menyebabkan berbagai
permasalahan baik pada diri pelaku, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Permasalahan
itu dapat berupa pengaruh pada dirinya, yaitu:
1. Merasa tersisih dari kehidupan social (disasosiasi). Seseorang menjadi pelacur
pasti merasa tersisih dari pergaulan social karena profesi pelacur bukanlah
pekerjaan yang halal.
2. Terjadinya perubahan dalam pandangan hidup. Mereka tidak lagi memiliki
pandangan hidup dan masa depan dengan baik.
3. Perubahan terhadap penilaian moralnya. Seorang pelacur tidak pernah berfikir
mana yang baik dan mana yang buruk, yang terpenting bagi mereka adalah
bagaimana caranya mendapatkan uang dan dapat hidup mewah.
D. Undang-undang dan Usaha Pemerintah dalam Penanganan Pelacuran
1. Undang-undang yang Berhubungan dengan Prostitusi
Pasal 296 KUHP
“Barang siapa yang pencahariannya dan kebiasaannya yaitu dengan sengaja
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum
penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 15.000,-.”
Pasal 506 KUHP
“Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil untung dari pelacuran
perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan.”
Pasal tersebut diatas dinilai kurang memberikan sanksi efektif dan efek jera
terhadap praktek prostitusi, untuk itu perlu adanya partisipasi pemerintah daerah
dalam hal membuat peraturan yang terkait prostitusi. Contoh peraturan
pemerintah daerah tentang prostitusi:
Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum (“Perda DKI 8/2007”):“ Setiap orang dilarang: a. menyuruh,
memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks
14
komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja
seks komersial.”
Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan
paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp.
500.000 dan paling banyak Rp. 30 juta ( Pasal 61 ayat [2] Perda DKI 8/2007).
Jadi, ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia tempat
untuk pelacuran sedangkan ketentuan yang dapat digunakan untuk menjerat
pelaku diatur dalam peraturan daerah masing-masing.
2. Tindakan Pemerintah dalam Memberantas Prostitusi
Dalam menanggulangi atau paling tidak mengurangi kuantitas dari perilaku
pelacuran, Pemerintah melalui Kementerian Sosial c.q. Direktorat Jendral Reha-
bilitasi dan Pelayanan Sosial telah menyelenggarakan kegiatan- kegiatan yang
ber-sifat dan bertujuan memberi kesadaran dan tanggungjawab sosial,
pencegahan terhadap tuna susila dan peningkatan pelayanan sosial masyarakat
yang sudah ada. Rehabilitasi wanita mengenai pelacuran ini dibutuhkan dalam
rangka untuk meng-usahakan kesejahteraan sosial dalam mencapai aspirasi
bangsa Indonesia pada umumnya, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur
spiritual dan mental berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Halnini juga berarti bahwa setiap warganegara, setiap anggota masyarakat
mempunyai tanggungjawab moral dengan bersama-sama Pemerintah untuk
mencari jalan keluar atau yang paling tepat dalam menanggulangi dan
memberantas para pelacur, sehingga diharapkan dari hari ke hari, bulan dan
tahun semakin menurun tindak pelacuran.
Selain tindakan pemerintah pusat, pemerintah daerah pun turut ambil peran
dengan usahanya masing - masing, seperti menutup tempat – tempat prostitusi.
Hal ini telah dilakukan banyak pemerintah daerah seperti pemprov. Surabaya,
pemkab. Sukamara, kalteng, dan pemkot jambi.
15
E. Kasus Pelacuran
1. Contoh Kasus Pelacuran
Polisi Ambil Visum Mucikari SMP
TEMPO.CO, Surabaya -- Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya melakukan
visum kepada NA, mucikari yang masih berusia 15 tahun. Siswi SMP ini divisum
didampingi Pusat Pelayanan Terpadu di sebuah rumah sakit. "Hari ini kita lakukan
visum untuk memperkuat bukti," kata Kepala Sub-Unit Vice Control Kejahatan
Umum Polrestabes Surabaya, Inspektur Polisi Tingkat I Teguh Setiawan, kepada
Tempo, Selasa, 11 Juni 2013.
Teguh mengatakan visum itu diperlukan untuk memastikan apakah tersangka
pernah melakukan hubungan seksual. "Nanti dari situ kelihatan, apakah mereka
melakukan hubungan suka sama suka atau tidak," kata Teguh. Mucikari SMP itu
punya cara canggih untuk menggaet anak buah.
Sejauh ini, polisi masih memeriksa tiga saksi yang merupakan anak buah NA.
Polisi berencana mendalami kasus dengan memeriksa tujuh anak buah NA yang lain.
Hanya, Teguh mengakui ada kesulitan memanggil anak buah NA. Sebab, selama ini
kedua pihak berhubungan melalui BlackBerry Messenger atau telepon dan janji
bertemu di sebuah tempat yang ditunjuk. "Si NA hanya tahu daerah rumahnya, tidak
tahu alamat terperinci," katanya.
Selain anak buah yang dijual NA, polisi juga sedang memburu dua perempuan
berinisial AL, 19 tahun, dan CE, 21 tahun. Keduanya adalah mantan mucikari yang
pernah menjadikan NA anak buah. Tapi ini pun tidak mudah. Teguh sempat
memancing komunikasi dengan keduanya melalui BlackBerry, namun ternyata
pesan itu tidak direspons.
Setahun lalu, NA direkrut AL dan CE untuk menjalani bisnis prostitusi. Namun,
sejak enam bulan terakhir, NA mengembangkan bisnis mucikarinya sendiri. Sesekali
saja NA dan mantan mucikarinya berkomunikasi. NA pun menikmati keuntungan
murni dari usaha mucikarinya.
Dalam seminggu, NA bisa mendapat order dari 3-4 pelanggan. Tarif satu anak
buah dibanderol Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta dalam sekali main. NA pun
16
mengambil jatah Rp 250 ribu per anak. "Tersangka ini mengaku keenakan, daripada
layani tamu, mending dia jadi mucikari, dapat Rp 250 ribu," kata Teguh.
Untuk memastikan bahwa pelanggannya sanggup membayar, NA biasanya
meminta bertemu lebih dulu di sebuah mal untuk sekadar nongkrong ataupun
makan. Setelah ada uang muka, NA mulai memperkenalkan anak buahnya.
Kepala Sub-Bagian Humas Polrestabes Surabaya, Komisaris Polisi Suparti,
mengatakan NA maupun sebagian anak buahnya berasal dari keluarga bermasalah.
Orang tua NA bercerai dan tidak peduli ketika dirinya ditangkap polisi. NA bahkan
sudah sering berhubungan intim dengan kekasihnya saat masih berusia 14 tahun.
Salah seorang anak buahnya juga mengaku pernah diperkosa ayah tirinya.
Mereka pun melakukan bisnis prostitusi ini bukan untuk memenuhi kebutuhan
primer. Menurut Suparti, dari penampilan, NA dan anak buahnya terkesan glamor
dengan cat kuku dan softlens. "Ini lebih karena gaya hidup. Kalau saya lihat, mereka
ada yang pakai cat kuku sama softlens," ujar Suparti.
Meski NA tidak ditahan, ia tetap akan menjalani proses hukum sesuai dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang
Perlindungan Anak. Karena di bawah umur, polisi juga tidak melibatkan sekolah
tersangka dalam pemeriksaan kasus ini.
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/06/12/058487640/Polisi-Ambil-
Visum-Mucikari-SMP
2. Pembahasan Kasus Pelacuran
Menurut dari yang saya baca, kasus seorang anak SMP yang telah menjadi mucikari
ini sungguh menyedihkan. Bayangkan saja seorang anak yang baru menginjak masa
remaja ini sudah pintar menghasilkan uang dan dengan cara yang amat salah. Hal ini
sungguh amat disayangkan.
Dilihat dari berita dan fakta-fakta yang ada, penyebab dari kejadian ini adalah
karena tersangka tidak mendapatkan perhatian yang baik dari kedua orang tuanya.
Kedua orang tua beliau telah bercerai. Maka ibunya pun sibuk untuk menyokong
kehidupan keluarganya setelah ayahnya berkeputusan untuk meninggalkan mereka.
17
Selain itu, jelaslah juga disana bahwa keadaan ekonomi membuatnya terpikir atau
terpaksa untuk melakukan hal ini. apalagi dengan keadaan ekonomi yang termasuk
menengah ke bawah, ia mungkin berusaha untuk membantu menghidupi keluarga.
Sebelumnya pun ia sendiri adalah seorang pelacur, namun setelah diajak oleh orang
yang dia kenal, ia berkeputusan untuk menjadi mucikarinya. Ia berpikir bahwa dengan
melakukan pekerjaan ini ia akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan dengan
pekerjaan yang lebih mudah juga.
Sebenarnya dari satu faktor akan memengaruhi juga dengan faktor lainnya. Karena
ia memiliki ekonomi yang sulit, maka ia kesusahan untuk mendapat pendidikan. Ia
hanya mengerti bagaimana ia dapat bertahan hidup, yang berarti bagaimana ia dapat
makan dan minum. Maka ia tidak memerdulikan pendidikannya, ia tidak mengerti
bagaimana seharusnya ia berperilaku dan melaksanakan kewajiban-kewawjibannya.
Hal tersebut tentu saja memiliki dampak. Tentu saja ia akan dikucilkan dari
lingkungannya. orang-orang di sekitarnya pasti akan menganggapnya keji, karena ia
baru saja berumur 15 tahun dan dapat melakukan hal seperti itu. Kemudian pada
dirinya juga dapat menjadi stress dan ia hanyalah seorang remaja, belum dapat
memahami segala yang terjadi padanya. Ditambah dengan keadaan orang tuanya yang
telah berpisah pastilah akan menambah pikirannya.
Namun, pada berita yang telah kami baca ia juga telah mendapat penanganan dari
polisi dengan tidak dimasukkan kebalik jeruji besi. Dan ia akan mendapat penanganan
yang serius dari dinas dan psikolog.
18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pelacuran atau prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri
melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Jelas dinyatakan
adanya peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan
jalan melakukan relasi-relasi seksual.
Prostitusi sendiri masih banyak terjadi baik di dalam Indonesia, maupun di luar
Indonesia. Hal ini masih menjadi sebuah momok negatif yang dihadapi tiap negara karena
memiliki dampak-dampak yang negatif. Dampak-dampak negatif dari prostitusi ini dapat
dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Misalnya dari aspek sosiologis, pendidikan,
kewanitaan, ekonomi, kesehatan, ketertiban, dan penataan kota.
Meskipun sebagian besar masyarakat telah mengerti dampak negatif dari kegiatan
pelacuran ini, mereka masih tetap melakukannya. Mereka tetap melanjutkan kegiatan
prostitusi ini karenaterdapat faktor-faktor pendukungnya,yaitu ekonomi, lingkungan,
pendidikan, nilai, gaya hidup, teknologi, dan abnormalitas seksual.
Menurut data dari Blank Map World, seluruh negara di dunia terdapat permasalahan
yang berhubungan dengan prostitusi. Padahal mayoritas negara di dunia menganggap
prostitusi adalah perbuatan yang ilegal. Sedangkan, negara-negara yang menganggap
prostitusi hal yang legal hanya dalam jumlah yang kecil sekitar 10% di dunia.
Kasus-kasus prostitusi di Indonesia pun masih sering muncul. Padahal pemerintah
telah mengaturnya dalam undang-undang mengenai kegiatan-kegiatan asusila ini. Namun,
karena faktor-faktor utama seperti ekonomi dan lingkungannya yang mendukung,
kegiatan prostitusi ini masih banyak berlangsung. Padahal, pemerintah pun telah berusaha
mengurangi dan mencegah kasus-kasus lainnya.
Selain itu, permasalan prostitusi tidak melulu berlatarbelakang masyarakat pedesaan
yang minim pendidikan moral dan sosial, melainkan juga melingkupi faktor ekonomi,
agama, dan bahkan juga ada unsur politik yang menunggangi fenomena PSK tersebut
sebagai pemulus langkah mereka dalam mencapaui jabatan yang diinginkan. Untuk itulah
pembahasan soal prostitusi tidak akan berhenti di sini, dan tetap terbersit harapan yang
19
mulia agar supaya prostitusi khususnya di Indonesia dapat segera teratasi dan
terselesaikan dengan menyeluruh.
B. Saran
Saran dari kami adalah sebaiknya pemerintah lebih menggalakkan lagi mengenai
kasus-kasus prostitusi yang terjadi. Berikan pengertian dan penyuluhan kepada
masyarakat terhadap dampak-dampak negatif yang terjadi bila melakukan kegiatan
prostitusi. Selain itu, bila telah terlanjur masuk ke dalam dunia prostitusi sebaiknya
diberikan dan diajak untuk mencoba kegiatan baru. Sebelumnya dapat diberikan
penanganan secara psikologisnya. Dan menurut kami ada baiknya diberikan juga
pendidikan seks pada remaja supaya tidak terjadi tindakan-tindakan yang tidak
diinginkan. Karena di Indonesia seks ini masih dirasa hal yang tabu, sehingga banyak
yang salah langkah.
Kami berharap kegiatan prostitusi ini akan berkurang tingkat kejadiannya. Selain itu
juga Indonesia dapat menjadi negara yang lebih baik lagi kedepannya. Bila moral anak
bangsa ini dapat diperbaiki, kami percaya bahwa bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa
yang dipandang oleh dunia.
20
DAFTAR PUSTAKA
http://sobatbaru.blogspot.com/2009/02/prostitusi.html
http://ayuhanpard.blogspot.com/2012/07/makalah-prostitusi-tugas-patologi.html
http://sobatbaru.blogspot.com/2009/02/prostitusi.html
http://intraserius.blogspot.com/2010/02/pengaruh-tempat-prostitusi-di-derah.html
http://www.rri.co.id/post/berita/110643/daerah/pemerintah_kota_jambi_akan_menutup_dua_l
okalisasi_prostitusi.html
http://daerah.sindonews.com/read/962519/22/bupati-banyuwangi-tutup-14-lokasi-prostitusi-
1423552329
http://m.kompasiana.com/post/read/688921/1/menanggulangi-prostitusi.html
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f04db5110f4/ancaman-sanksi-bagi-yang-
mendirikan-tempat-prostitusi
http://suhendarsyahalfian.blogspot.in/2013/03/pengertian-prostitusi.html?m=1
http://menanggulangi.blogspot.in/2012/10/upaya-menanggulangi-pelacuran-sebagai.html?
m=1
http://studiomicroteaching.blogspot.com/2012/09/teori-penyimpangan-sosial-menurut-
para.html?m=1
http://dwitakumuwardana.blogspot.com/2009/10/penegakan-hukum-terhadap-
praktek_27.html?m=1
www.tempo.co/read/news/2013/06/12/058487640/Polisi-Ambil-Visum-Mucikari-SMP
21