22
BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangMeningitis adalah sebuah inflamasi dari
membran pelindung yang menutupi otak dan medula spinalis yang
dikenal sebagai meninges. Inflamasi dari meningen dapat disebabkan
oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorgansime lain dan penyebab
paling jarang adalah karena obat-obatan (Ginsberg, 2004).
Meningitis dapat mengancam jiwa dan merupakan sebuah kondisi
kegawatdaruratan (Tunkel, 2004).Meningitis bakterial merupakan
meningitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan merupakan
kondisi yang serius yang jika tidak segera ditangani akan
menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian (Tunkel, 2004).
Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai infeksi sistem syaraf
pusat di Asia, pada daerah Asia Tenggara, meningitis yang paling
sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosa (Ducomble,
2009).Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput
otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteriMycobacterium
tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi
yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput
otak(Kliegman,2004).Mycobacterium tuberkulosismerupakan bakteri
berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 3 ,
mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang
bersifatintracellular pathogenpada hewan dan manusia.
SelainMycobacterium tuberkulosis,spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalahMycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, danMycobacterium microti (Jawetz, 2005).Meningitis
tuberkulosa merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosa
primer. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan
prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis tuberkulosa terjadi
setiap 300 tuberkulosa primer yang tidak diobati. Insiden
meningitis tuberkulosa sebanding dengan tuberkulosa primer, umumnya
bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur,
status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun
seseorang. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih
sering dibanding dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan.
Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah
ditemukan pada usia dibawah 3 bulan (Aditama, 2002).
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteriMycobacterium tuberculosis.
Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen
dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer
pada paru (Susanna, 2012).Meningitis sendiri dibagi menjadi dua
menurut pemeriksaan Cerebospinal Fluid (CSF) atau disebut juga
Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta dengan
penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan
meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun
virus (Hardiono, 2004)2.2. InsidensiMeningitis tuberkulosis
merupakan penyakit yang paling sering ditemukan dinegara yang
sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana insidensi
tuberkulosis lebih tinggi bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
(Bidstrup, 2002). Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu
komplikasi dari tuberkulosis primer. Mobiditas dan mortalitas
penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis
tuberkulosis terjadi setiap 300 kasus tuberkulosis primer yang
tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan pada
tahun 1990 morbiditas meningitis tuberkulosis sebanding dengan
tuberkulosis primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi,
higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang
menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya
infeksi tuberkulosis adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid,
keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus.
Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering
dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan.
Jarang ditemukan pada usia dibawan 6 bulan dan hampir tidak pernah
ditemukan pada usia dibawan 3 bulan (Nofareni, 2003).Tuberkulosis
yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis.
Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus
terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang
bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis
tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis (Rahajoe,
2007)Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan
karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini
dapat saja menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil
dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian
tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6
tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak
pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis
menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati
(Kliegman,2004). Angka kematian pada meningitis tuberkulosis
berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa,
hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual (Poesponegoro, 2005).
2.3. EtiologiMycobacterium tuberkulosismerupakan bakteri
berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 3 ,
mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang
bersifatintracellular pathogenpada hewan dan manusia.
SelainMycobacterium tuberkulosis,spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalahMycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, danMycobacterium microti (Jawetz, 2005).
2.4. Anatomi dan FisiologiOtak dan medula spinalis diselimuti
meningen yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa
pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan
serebrospinalis. Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu :1.
Piamater, merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang kedalam sulkus, fisura dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang
kedalam fisura trasversalis di bawah corpus callosum. Ditempat ini
piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan
lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan
diatas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea
ditempat itu.2. Arachnoid, merupakan selaput halus yang memisahkan
piamater dan duramater.3. Duramater, merupakan lapisan paling luar
yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat yang tebal dan
kuat. Durakranialis atau pachymeninx adalah struktur fibrosa yang
kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar (periosteal).
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan
juga membentuk periosteum. Diantara kedua hemispher terdapat
invaginasi yang disebut falx cerebr yang melekat pada crista galli
dan meluas ke crista frontalis kebelakang sampai ke protuberantia
occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan
tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi (Yayan, 2008).
Gambar 2.4.1. Struktur Meningen
2.5. PatogenesisMeningitis tuberkulosis terjadi akibat
penyebaran infeksi secara hematogen ke meningen. Dalam
perjalanannya meningitis tuberkulosa melalui 2 tahap. Mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat
juga terjadi pada tuberkulosa kronik, tetapi keadaan ini jarang
ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil
dan antigen tuberkulosis dari fokus kaseosa (lesi permulaan diotak)
akibat trauma atau proses imunologik, lansung masuk keruang
subarachnoid. Meningitis tuberkulosis terjadi 3-6 bulan setelah
infeksi primer.Kebanyakan bakteri masuk kecairan serebrospinal
dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen
menyebar ke pleksus koroid, parenkim otak, atau selaput meningen.
Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran
retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat
disebabkan oleh fraktur, paska bedah syaraf, injeksi steroid secara
epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan
koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme
pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Walaupun meningitis
dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan meningen
dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak,
penyumbatan vena dan memblok aliran cairan serebrospinal yang dapat
berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan
herniasi (Tbindonesia, 2014).
2.6. Manifestasi KlinisGejala klinis meningitis tb berbeda untuk
masing-masing penderita. Faktor-faktor yang bertanggung jawab
terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi
yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis tb muncul
perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Tbindonesia,
2014)Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar
ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk
disebabkan mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat,
terjadi opistotonus yaitu tengkuk kaku dalam sikap tertengadah dan
punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun. Tanda
kernigs dan brudzinsky positif.Gejala meningitis tidak selalu sama,
tergantung dari usia si penderita serta kuman penyebabnya. Gejala
yang paling umum adalah demam tinggi, sakit kepala, pilek, mual,
muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderitanya merasa sangat
lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas.Menurut Lincoln, manifestasi
klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga
stadium:1.Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase
prodromal) Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu. Biasanya gejalanya
tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologisGejala: demam (tidak terlalu tinggi), rasa lemah, nafsu
makan menurun (anorexia), nyeri perut, sakit kepala, tidur
terganggu,mual, muntah, konstipasi, apatis, irritable. Pada
bayi,irritabledan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun,
letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul
kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar
10-15%. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid
maka stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan
dan akan langsung masuk ke stadium III.
2.Stadium II (stadium transisional / fase meningitik) Pada fase
ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh
adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas
lengkung serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan
Brudzinski (+) kecuali pada bayi. Dengan berjalannya waktu,
terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otakdanmenyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini,
eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan
saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid.Vaskulitis menyebabkan
gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia,
quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak
yang berat. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah
adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan.
Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan
utamanya, dan kesadarannya makin menurun. Gejala: Akibat rangsang
meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhanutama) Akibat
peradangan / penyempitan arteri di otak : disorientasi, bingung,
kejang, tremor, hemibalismus / hemikorea, hemiparesis /
quadriparesis, penurunan kesadaran. Gangguan otak / batang otak /
gangguan saraf kranial:Saraf kranial yang sering terkena adalah
saraf otak III, IV, VI, dan VII.Tanda:- strabismus- diplopia-
ptosis- reaksi pupil lambat- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik) Terjadi percepatan
penyakit, berlandsung selama 2-3 minggu Gangguan fungsi otak
semakin jelas. Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi
pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami
organisasi. Gejala: pernapasan irregular demam tinggi edema papil
hiperglikemia kesadaran makin menurun,irritabledan apatik,
mengantuk,stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan
spasme,opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur hiperpireksia akhirnya,
pasien dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya
antara satu dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya
berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila
3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.Hidrosefalus dapat
terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan
terlambat atau tidak adekuat (Darto Saharso, 1999., Kliegman,et
al.2004., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
2.7. Prosedur Diagnostik Diagnosis meningitis tuberkulosis
bergantung pada isolasi bakteri Mycobakterium tuberkulosis dari
cairan serobrospinal. Namun, kultur membutuhkan waktu lama +/- 4-8
minggu (Thwaites, et al., 2000).Rapid diagnosis meningitis
tuberkulosis adalah pewarnaan Ziehl-Nielsen dari sampel CSF untuk
melihat adanya bakteri tahan asam, tetapi teknik ini memiliki
sensitifitas yang kurang baik. Teknik diagnosis terbaru seperti PCR
belum diteliti lebih dalam karena belum sering digunakan karena
kasus meningitis tuberkulosis terdapat di negara berkembang dimana
PCR belum memungkinkan. Sebelum tes yang sensitivedan
terjangkaudidapatkan, diagnosis tuberkulosis hanya bisa berdasarkan
gejala klinis dan hasil lab spesifik yang menandakan infeksi
tuberkulosis dan diberi penanganan yang tepat.1. AnamnesisAdanya
riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik
yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran
klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium
meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin
minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi,distresspernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia,
kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3%
kasus)2. Pemeriksaan fisikTergantung stadium penyakit. Tanda
rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada
anak berusia kurang dari 2 tahun (Herry Garna dan Nataprawira.,
2005).3. Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin
dapat negatif.Pada anak, uji tuberkulin merupakan
pemeriksaanscreeningtuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian
menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi
hingga saat ini caramantouxlebih sering dilakukan. Pada ujimantoux,
dilakukan penyuntikan PPD(Purified Protein Derivative)dari
kumanMycobacterium tuberculosis.Lokasi penyuntikan
ujimantouxumumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkanintrakutan(ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
daripembengkakan(indurasi) yang terjadi.Berikut ini adalah
interpretasi hasil ujimantoux:1.Pembengkakan (Indurasi):04 mm uji
mantoux negatif.Arti klinis : tidak ada infeksiMycobacterium
tuberculosa.
2.Pembengkakan (Indurasi):39 mm uji mantoux meragukan.Hal ini
bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang denganMycobacterium
atypicatau setelah vaksinasi BCG.
3.Pembengkakan (Indurasi): 10 mm uji mantoux positif.Arti klinis
: sedang atau pernah
terinfeksiMycobacteriumtuberculosa(www.mediastore.com., 2008)
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG(Bacillus
Calmette-Gurin)terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah
terinfeksiMycobacterium tuberculosis(tbcindonesia.or.id., 2008).4.
Pemeriksaan laboratorium Darah: anemia ringan dan peningkatan laju
endap darah pada 80% kasus (Darto Saharso, 1999., Herry Garna dan
Nataprawira., 2005). Cairan otak dan tulang belakang /cairan
cerebrospinal (dengan cara pungsi lumbal) : Warna: jernih (khas),
bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang. Dapat juga
berwarnaxanhtochrombila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada
hambatan di medulla spinalis. Jumlah sel: 100 500 sel / l.
Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama banyak jumlahnya,
atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis
mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat
mencapai 1000 / mm3. Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200
mg / mm3). Hal ini menyebabkancairan cerebrospinaldapat
berwarnaxanthochromdan pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba
ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen
(Iskandar Japardi, 2002). Kadar glukosa : biasanya menurun. Cairan
cerebrospinal dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa
normal padaliquor cerebrospinalisadalah 60% dari kadar glukosa
darah. Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
Pada pewarnaan Gram dan kulturcairan cerebrospinaldapat ditemukan
kuman (Darto Suharso. 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005.,
Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Untuk mendapatkan hasil positif,
dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3 hari
berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu
hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N.
Rahajoe, dkk., 2007).
5. Pemeriksaan radiologi: Foto toraks : dapat menunjukkan adanya
gambaran tuberkulosis. Pemeriksaan
EEG(electroencephalography)menunjukkan kelainan kira-kira pada 80%
kasus berupa kelainan difus atau fokal (Darto Suharso. 1999).
CT-scankepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.Gambaran dari
pemeriksaan CT-scandan MRI(Magnetic Resonance Imaging)kepala pada
pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan
adalahenhancementdi daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans
yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang
masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma
yangsilent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus
(Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Diagnosis klinis meningitis
tuberkulosis berdasarkan kriteria ogawa yaitu :1. Definite Kultur
mikobakterium tuberkulosis positif dari likuor serebrospinalis atau
diagnosis meningitis tuberkulosis ditegakkan melalui otopsi.
2. Probable Gambaran pleositosis dari LCS, kultur bakteri atau
jamur negatif dan disertai dengan salah satu dari : uji tuberkulin
positif, ditemukannya tuberkulosis diluar SSP atau tuberkulosis
aktif sebelumnya, kadar glukosa LCS kurang dari 2.2 mmol/L (40
mg/dl) dan kadar protein lebih dari 0.6 g/L.
2.8. Gambaran HistopatologiGambaran patologi yang terjadi pada
meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:1.Disseminated milliary
tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;2.Focal caseous
plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis
yang difus;3.Acute inflammatory caseous meningitis Terlokalisasi,
disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks Difus, dengan
eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid4.Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak Difus dengan gambaran tidak
jelasGambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi
bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya
sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang
diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang
mempengaruhi.
2.9. PenatalaksanaanDiagnosis tuberculosis SSP sulit ditegakkan,
untuk menghindari keterlambatan penanganan dan prognosisnya yang
buruk, maka pengobatan biasanya berdasarkan pada diagnosis
perkiraan, yaitu bila gejala dan tanda klinik mengarah ke diagnosis
tuberculosis (Watson, 1993; Perera, 1994). Pemberian antibiotik
seperti isoniazid, rifampin, pyrazinamide dan streptomycin semua
menembus sawar darah otak. Pemberian obat ini selama 6-9 bulan,
untuk anak anak bisa digabung degan antibiotik. Penggunaan
corticosteroid pada pasien dewasa menjadi kontroversi karena bisa
menyebabkan peningkatan TIK, penurunan kesadaran, spinal block dan
tuberculous encephalopathy (Nicolls, 2005). Pasien dengan
hidrosefalus obstruktif dan perburukan neurologis dapat diberi
ventriculoatrial shunt atau ventriculoperitoneal shunt untuk
menurunkan TIK (Schoeman, 1997).Pengobatan meningitis tuberkulosis
harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang sesuai, koreksi
gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial.
Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan
klinis ke arah meningitis tuberkulosis (Darto Suharso. 1999.,
Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Terapi diberikan sesuai dengan
konsep baku tuberkulosis yakni:Fase intensif selama 2 bulan dengan
4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.Terapi dilanjutkan dengan
2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12
bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti
tuberkulosis yang digunakan pada terapi meningitis
tuberkulosis:IsoniazidBersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat
ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke
dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa,
dan memiliki adverse reactionyang rendah. Isoniazid diberikan
secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg /
kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet
100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, danliquor cerebrospinalisdapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8
jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid
dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua
efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi
pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat
diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau
10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).RifampisinRifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan
ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman
semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai
dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis
10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan
dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB /
hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasukliquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke
dalamliquor cerebrospinalislebih baik pada keadaan selaput otak
yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping
lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia.
Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan
450 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).PirazinamidPirazinamid
merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh, termasukliquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik
pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan
dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna,
dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia
dalam bentuk tablet 500 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).StreptomisinStreptomisin bersifat bakterisid dan
bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal atau
netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular.
Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan
tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB(multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram
/ hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura
dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah
jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau
jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus
plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu
30% bayi akan menderita tuli berat (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).EtambutolEtambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi
dapat bersifat bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan
terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini
dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari
dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 gdalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.
Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan
dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis
optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan.
Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis
pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan
dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Nastiti N.
Rahajoe, dkk., 2007).
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis
tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain
sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial
dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison
dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap(tappering off)selama 4-6
minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen.Pada bulan pertama
pengobatan, pasien harus tirah baring total (Nastiti N. Rahajoe,
dkk., 2007).
2.10. KomplikasiDapat terjadi akibat pengobatan yang tidak
sempurna atau pengobatan yang terlambat. Dapat terjadi cacat
neurologist berupa paresis, paralysis sampai deserebrasi,
hirosefalus akibat sumbatan, resorpsi berkurang atau produksi
berlebihan dari likuor serebrospinal. Anak juga dapat menjadi tuli
atau buta dan kadang timbul retardasi mental.
2.11. PrognosisTergantung umur dan stadium penyakit -umur < 2
th"mortalitas/ insidens sekuele tinggi -stadium I"kesembuhan 100%,
insidens sekuele rendah -stadium II"mortalitas 15-30%; insidens
sekuele 75% - stadium III"mortalitas 50%; insidens sekuele >
80%Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat
pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya,
semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali,
pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis
juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3
tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang
lebih tua usianya (Darto Suharso. 1999).
BAB 3PENUTUP
3.1. KesimpulanMeningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada
selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteriMycobacterium
tuberculosis. Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak
ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi.
Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk bayi dan
anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang
tidak diobati.SelainMycobacterium tuberkulosis,spesies lainnya yang
juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalahMycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, danMycobacterium microti. Meningitis
tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen dan
limfogen ke meningen dari infeksi primer pada paru. Menurut
Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa
dikelompokkan dalam tiga stadium yaitu stadium I (stadium inisial /
stadium non spesifik / fase prodromal), stadium II (stadium
transisional / fase meningitik), stadium III (koma / fase
paralitik).Diagnosis meningitis tuberkulosis bergantung pada
isolasi bakteri Mycobakterium tuberkulosis dari cairan
serobrospinal. Diagnosis tuberkulosis hanya bias ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan hasil lab spesifik yang menandakan
infeksi tuberkulosis dan diberi penanganan yang tepat. Langkah
penegakan diagnosis yaitu Anamnesis yang tepat, pemeriksaan fisik,
uji tuberkulin positif, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi.Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis
tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:disseminated milliary tubercles,
focal caseous plaques, acute inflammatory caseous meningitis,
meningitis proliferatif. Diagnosis tuberculosis SSP sulit
ditegakkan, untuk menghindari keterlambatan penanganan dan
prognosisnya yang buruk, maka pengobatan biasanya berdasarkan pada
diagnosis perkiraan, yaitu bila gejala dan tanda klinik mengarah ke
diagnosis tuberculosis. Pemberian antibiotik seperti isoniazid,
rifampin, pyrazinamide dan streptomycin semua menembus sawar darah
otak. Pemberian obat ini selama 6-9 bulan, untuk anak anak bisa
digabung degan antibiotik. Penggunaan corticosteroid pada pasien
dewasa menjadi kontroversi karena bisa menyebabkan peningkatan TIK,
penurunan kesadaran, spinal block dan tuberculous
encephalopathy.Komplikasi dapat terjadi akibat pengobatan yang
tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Sementara Prognosis
pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin
buruk prognosisnya.a
1