PAPERSEJARAH KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DI INDONESIA
KELOMPOK 3
KELAS F
PRISCILLA ELISABETH Y.R
125040100111185
MARIA DEWI O. PURBA
125040100111200
DONI WAHYU WIBOWO
125040100111218
LENNI Y. SITUMORANG
125040100111219
YEVITA FRILLIA SIANTURI
125040100111222
PROGRSM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
A. Sejarah (historis) diberlakukannya kebijakan subsidi harga
pupuk dan nilai APBN untuk subsidi pupuk.
Pertambahan penduduk Indonesia yang pesat semenjak kemerdekaan
berakibat meningkatnya kebutuhan pangan (terutama beras). Awalnya
Indonesia sangat tergantung pada beras impor karena produksi dalam
negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan yang sangat besar. Tetapi
dengan berjalannya waktu, mengingat ketahanan pangan merupakan
komponen penting dari ketahanan nasional dan melihat potensi
sumberdaya pertanian Indonesia yang sangat besar namun belum
digarap secara maksimal, pemerintah berketetapan untuk mengurangi
sedikit demi sedikit ketergantungan akan beras impor ini dengan
harapan suatu saat akan tercapai swasembada pangan ( Hafsah, M.J.
dan T. Sudaryanto,2004).Program peningkatan produksi padi
dilaksanakan dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi produksi.
Dalam rangka memacu produksi inilah peranan dari pupuk sangat
strategis. Kebutuhan pupuk awalnya pun masih harus dipenuhi dari
impor, tetapi karena mengingat gas alam sebagai bahan baku utama
pembuatan pupuk tersedia cukup berlimpah di Indonesia, pemerintah
memutuskan membangun sendiri pabrik pupuk. Sejarah perpupukan
nasional dimulai dengan berdirinya Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang
dibangun dengan dana rampasan perang Jepang dan mulai berproduksi
pada tahun 1963, diikuti oleh Petrokimia Gresik pada 1972, Pupuk
Kujang pada 1978, Asean Aceh Fertilizer (AAF, proyek patungan
antara negaranegara ASEAN) pada 1983, serta Pupuk Kaltim (PKT) dan
Pupuk Iskandar Muda pada 1984 ( Hermanto. 1992).
Kebijakan subsidi pupuk dibuat oleh Menteri Pertanian periode
2000 2004. Alasannya, pada saat itu Indonesia mengalami krisis
ekonomi dan moneter, serta krisis pangan. Saat itu Indonesia
mengimpor beras sekitar 5 juta ton dan menginginkan impor berkurang
bahkan swasembada. Satu-satunya jalan agar tidak impor beras
produksi dalam negeri harus meningkat. Jika produksi dalam negeri
ingin ditingkatkan, maka petani harus bergairah dalam berproduksi.
Petani akan bergairah jika mendapatkan keuntungan.
Di sisi lain, pada saat itu Indonesia menandatangani Letter of
Intent (LoI) dengan IMF yang salah satu poinnya adalah
menghilangkan semua hambatan impor. Selain itu, di pasar dunia
terjadi excess supply pangan yang mengakibatkan harga pangan dunia
rendah sekali sehingga mengimpor sangat menguntungkan bagi
Indonesia.
Indonesia meyakinkan IMF, bila tidak menerapkan kebijakan
proteksi melalui tarif masuk, maka ketahanan pangan Indonesia akan
bermasalah dalam jangka panjang bila mengimpor selama terus
menerus, sedangkan dalam jangka pendek tidak menjadi masalah.
Seperti yang diketahui harga beras internasional yang rendah
disebabkan banyaknya subsidi yang diberikan oleh negara
produsennya, sedangkan Indonesia dilarang mensubsidi dan membuat
tarif masuk. Dan IMF pun dapat Indonesia yakinkan.
Ternyata tarif impor saja tidak cukup karena harga dalam negeri
sudah tinggi. Indonesia juga menerapkan harga pembelian pemerintah
(HPP). HPP berdasarkan harga internasional yang rendah ditambah
tarif masuk sehingga HPP relatif sama dengan harga beras dalam
negeri yang tinggi. Dengan ditetapkan HPP itu pun ternyata petani
juga belum cukup bergairah. Sehingga Indonesia memutuskan untuk
memberikan subsidi pupuk agar mengurangi biaya produksinya. Biaya
produksinya dikurangi dan harga panen dinaikkan melalui HPP
sehingga margin petani menjadi lebih besar. Itulah sejarahnya
Indonesia membuat subsidi pupuk.
Mulanya hanya subsidi untuk urea, TSP, dan ZA, tapi akhirnya
juga dimasukkan pupuk majemuk. Dengan cara subsidi ini petani akan
membayar harga pupuk lebih rendah daripada harga internasional.
Jadi pabrik pupuk tidak dirugikan tetapi petani memperoleh
keuntungan. Pada saat itu subsidi pupuk tidak besar, hanya sekitar
Rp 2 triliun, umumnya hanya untuk padi, tebu, dan jagung. Dengan
kebijakan ini, produksi beras naik sehingga pada 2004 Indonesia
tidak perlu mengimpor beras lagi. Kecuali beras bantuan
internasional yang sudah direncanakan jauh sebelumnya dan jumlahnya
pun sangat kecil.
Indonesia membuat kebijakan proteksi dengan tarif masuk
sekaligus promosi melalui subsidi pupuk untuk menjawab keadaan
krisis ekonomi dan moneter saat itu. Sehingga Indonesia berhasil
meningkatkan produksi, bahkan pada 2004 Indonesia sudah berani
melarang impor. Jadi mulai 2004 itu keadaan sudah mulai membaik,
seharusnya subsidi sudah dapat dikurangi tapi nyatanya sampai
sekarang subsidi masih terus berlangsung. (Tabloid Agribisnis Dwi
Mingguan AGRINA, 26 April 2010)
Pemerintah berpendapat bahwa mengingat arti strategisnya
komoditas pupuk, harga pupuk tidak dapat diserahkan begitu saja
pada mekanisme pasar, karena fluktuasi harga akan mengakibatkan
perubahan daya beli petani, konsentrasi pemupukan, dan pada
akhirnya volume dan kualitas panen. Apalagi kenaikan harga pupuk
tidak dengan sendirinya diikuti kenaikan harga gabah. Di satu sisi
harga pupuk harus dipertahankan cukup rendah agar terjangkau oleh
petani, di lain pihak keekonomian produksi pupuk juga harus dijaga
agar industri pupuk tidak mengalami kerugian.
Teriepas dari segala kekurangannya, pemerintah Orde Baru
memiliki komitmen tinggi membangun sistem agribisnis padi sehingga
swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984. Keterkaitan tersebut
dapat dipandang sebagai prestasi luar biasa karena beranjak dari
kondisi sistem agribisnis yang sangat parah dan volume impor
terbesar di dunia, serta dalam kondisi permintaan beras domestik
meningkat pesat dengan konsekuensi tingginya iaju pertumbuhan
penduduk dan tingkat pendapatan per kapita.
Revitalisasi sistem agribisnis merupakan program mendesak guna
menstabilkan pertumbuhan produksi beras yang sangat strategis dalam
pemantapan swasembada pangan, peningkatan pendapatan petani, dan
dinamisasi ekonomi desa. Untuk itu kebijakan pangan nasional perlu
direkonstruksi secara komprehensif. Pemerintah perlu memikirkan
paket kebijakan pengembangan produksi pangan utama secara
komprehensif, dan tidak hanya terbatas pada harga dasar gabah
saja.
B. Kebijakan Subsidi Pupuk
Dinamika kebijakan subsidi pupuk dapat dibedakan menjadi empat
tahapan yaitu
kebijakan subsidi sebelum era pasar bebas,
kebijakan penghapusan subsidi memasuki pasar bebas,
kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk, dan
kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas.
Dinamika kebijakan dengan tingkat intensitas yang relatif tinggi
mengindikasikan ketidak puasan berbagai pihak terkait terhadap
rumusan kebijakan, implementasi, dan dampaknya bagi petani dan
pembangunan pertanian. Bahasan ini akan membahas secara ringkas
kinerja kebijakan tersebut dan mengajukan pola introduksi
distribusi pupuk ke depan (Sudary anto,et.al., 2005).
Bahasan ini akan difokuskan pada kinerja kebijakan subsidi pupuk
era pasar bebas yang dipicu oleh adanya peningkatan harga gas sejak
tahun 2000 yang akhirnya mendorong pemerintah memberikan kembali
subsidi pupuk sejak tahun 2001.
Secara ringkas kinerja subsidi pupuk pada periode sebelumnya
dapat dinyatakan (Sudaryanto,et.al., 2005) sebagai berikut:
(a) Kinerja subsidi sebelum era pasar bebas: mampu mendorong
tercapainya swasembada beras 1984; pengurangan subsidi perlu
dikompensasi dengan peningkatan harga produksi; dan peningkatan
harga pupuk tidak berpengaruh terhadap penggunaannya, karena
proporsinya dalam biaya usahatani masih relatif kecil.
(b) Penghapusan subsidi memasuki era pasar bebas: penghapusan
monopoli telah mengefisienkan distribusi pupuk; subsidi pupuk
dinilai iebih adil dibandingkan dengan subsidi gas untuk pabrik
pupuk.
(c) Kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk: format ROSP
(Rencana Operasional Subsidi Pupuk) memungkinkan pabrik pupuk
memperoleh subsidi langsung dari pemerintah; subsidi untuk pabrik
pupuk, dan bukan untuk petani; struktur subsidi hanya menguntungkan
pabrik pupuk.
Hasil kajian PSE KP terhadap kinerja subsidi pupuk pada era
pasar bebas diperoleh beberapa informasi penting
(Sudaryanto,et.al., 2005) sebagai berikut:
a) Konstruksi kebijakan menimbulkan dualisme pasar dan rawan
terhadap penyimpangan;
b) Terjadinya ekspor ilegal karena harga di pasar dunia Iebih
menarik;
c) Pengalihan atau pencabutan subsidi pupuk dapat menimbulkan
lonjakan harga pupuk domestik;
d) Peluang terjadinya kelangkaan pasokan cukup besar sebagai
akibat dari kesalahan manajemen;
e) Subsidi input Iebih mudah dibandingkan subsidi harga output
pertanian;
f)Kebijakan subsidi pupuk dinilai tidak efektif, dan disarankan
agar subsidi pupuk dikembalikan lagi kepada petani.
Apabila pengelolaan subsidi menggunakan prinsip bergaransi dan
profesionalisme, maka penjaminan harga Iebih mudah dicapai pada
input dibandingkan output. Pasokan pupuk (terutama Urea) diproduksi
di dalam negeri dan harga domestik (subsidi) lebih rendah dari
harga internasional. Sementara itu pasokan beras masih membutuhkan
dukungan impor, yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga
yang didukung pemerintah (HPP). Dengan keterbatasan kemampuan
menangani penyelundupan, maka membatasi rembesan (ke luar) pupuk
akan lebih mudah dibandingkan rembesan (ke dalam) beras.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk pada
era pasar bebas ini dinilai tidak efektif untuk membantu petani.
Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta berikut ini:
Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas harga HET; dan
Pasokan pupuk di tingkat petani seringkali langka karena konskuensi
dari dualisme pasar, ekspor pupuk, dan keterbatasan penyaluran oleh
pabrik pupuk.Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan
kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi. Produksi pupuk urea
dalam negeri jauh melebihi kebutuhan dan distribusinya dikendalikan
pemerintah. Berdasarkan fenomena di atas PSE-KP secara tegas
menyarankan kembalikan subsidi pupuk kepada petani (Simatupang,
2004).
C. Nilai APBN untuk subsidi pupuk
Kementerian Pertanian pada tahun 2011 mengalokasikan anggaran
untuk subsidi pupuk sebesar Rp 16,38 triliun untuk volume pupuk
sebanyak 11,28 juta ton. Menteri Pertanian, Suswono, di Jakarta,
Rabu (29/12), menyatakan, kebijakan subsidi pupuk tersebut masih
diperlukan untuk mendukung pencapaian produksi pertanian tahun
depan. Menyinggung besaran subsidi pupuk 2011 dibandingkan tahun
ini , menurut Mentan terjadi penurunan yang mana pada 2010
dialokasikan anggaran sebesar Rp18,41 triliun.
Mengenai penurunan anggaran subsidi pupuk pada 2011, Sekjen
Deptan Hari Priyono menyatakan, hal itu disesuaikan dengan tingkat
penyerapan pupuk di tingkat petani yang semakin rendah. Menurut
dia, petani semakin menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang
berlebihan akan merusak tanah dan berdampak terhadap penurunan
produtivitas tanaman. Selain subsidi pupuk, pada tahun depan,
Kementerian Pertanian juga masih mengalokasikan anggaran untuk
subsidi benih sebesar Rp1,85 triliun turun dari 2010 yang mencapai
Rp2,26 triliun. ( Media Indonesia MI, 30 Desember 2010).
Tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran dan
pertanggung jawaban subsidi pupuk, ditetapkan pemerintah dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120/PMK.02/2010, yang
dikeluarkan 14 Juni lalu. Dijelaskan dalam PMK itu, pemberian
subsidi dilaksanakan melalui Produsen Pupuk. Sementara jenis pupuk
yang diberikan subsidi ditetapkan oleh Menteri Pertanian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dana untuk keperluan
subsidi pupuk dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran menetapkan
Direktur Jenderal Tanaman Pangan-Kementerian Pertanian selaku Kuasa
Penggunaan Anggaran (KPA) dalam hal pelaksanaan subsidi pupuk.
Dalam pelaksanaanya Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian
Pertanian selaku KPA menyusun konsep Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) dan menyampaikan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Perbendaharaan-Kementerian Keuangan guna memperoleh
pengesahan. Untuk pembayaran subsidi pupuk dimaksud, Direksi
Produsen Pupuk mengajukan tagihan pembayaran subsidi pupuk kepada
Direktur Jenderal Tanaman Pangan-Kementerian Pertanian. Tagihan
tersebut wajib disertai dan dilengkapi dengan data/dokumen
pendukung, termasuk Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak yang
menyatakan bahwa Produsen Pupuk Bertanggung jawab secara formal dan
material.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan-Kementerian Pertanian selaku
KPA bertanggung jawab sepenuhnya atas penyaluran dana subsidi pupuk
kepada Produsen Pupuk. Selain itu, KPA juga menyelenggarakan
akuntansi dan pelaporan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam rangka pelaksanaan subsidi pupuk, Kementerian Keuangan dan
Kementerian Pertanian dapat membentuk tim untuk melakukan
monitoring dan evaluasi sesuai dengan kewenangannya.
(Mindcommunication Strategy, 30 Juni 2010)
D. EVALUASI KRITIS KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI DI INDONESIA
Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya
ditataniagakan dengan HET serta ditetapkan di penyalur resmi Lini
IV. Lini IV adalah lokasi gudang atau kios pengecer di wilayah
kecamatan dan/ desa yang ditunjuk atau ditetapkan oleh distributor.
Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi sektor pertanian atau sektor
yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura,
perkebunan, hijauan pakan ternak. Sasaran pupuk bersubsidi adalah
petani, pekebun dan peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2
hektar setiap musim tanam per-keluarga petani kecuali pembudidaya
ikan dan/atau udang paling luas 1 hektar.
Program pemberian pupuk bersubsidi sudah dimulai sejak tahun
1970-an, tujuannya kebijakan ini adalah untuk meringankan beban
petani agar ketika mereka memerlukan pupuk untuk tanaman pangannya
pupuk tersedia dengan harga yang terjangkau. Terdapat argumentasi
bahwa, pertama pemanfaatan teknologi pupuk sampai saat ini diakui
sebagai teknologi intensifikasi pertanian untuk meningkatkan hasil
pangan. Kedua, petani Indonesia umumnya tidak bisa memanfaatkan
teknologi pupuk ini karena kurang mampu membeli sesuai dengan harga
pasar. Sehingga pemerintah Indonesia yang berkepentingan dalam
peningkatan produktifitas hasil pangan demi ketahanan pangan
Nasional, kemudian memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk
untuk petani.
Namun sampai sekarang petani sebagai penerima manfaat program
ini masih sulit untuk mengaksesnya. Petani kerap kali menemukan
pupuk langka, harga pupuk diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan
penyalahgunaan mekanisme distribusi pupuk. Padahal berdasarkan
regulasi saat ini, pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi telah
ditetapkan dan ditataniagakan dengan HET melalui penyaluran
resmi.
Meminjam teori Richard Rose (1969) sebagai seorang pakar
kebijakan ia menyarankan bahwa kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah hendaknya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan yang
sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya yang
akibatnya dirasakan betul oleh rakyat dan bagi mereka yang
bersangkutan dari pada sebagai suatu keputusan tersendiri.
Kebijakan menurutnya dipahami sebagai arah atau pola kegiatan
dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu, tapi
menimbang untung ruginya. Kebijakan pupuk bersubsidi awalnya
bertujuan untuk membantu petani memperoleh pupuk dengan harga
subsidi, namun realitasnya petani sulit memperoleh pupuk di darah,
bahkan ada petani karena semakin kesalnya, berapapun harga pupuk
siap kami beli, namun pupuk yang akan dibeli tersebut tidak
ada.
KESIMPULAN
Kebutuhan pupuk awalnya pun masih harus dipenuhi dari impor,
tetapi karena mengingat gas alam sebagai bahan baku utama pembuatan
pupuk tersedia cukup berlimpah di Indonesia, pemerintah memutuskan
membangun sendiri pabrik pupuk. Sejarah perpupukan nasional dimulai
dengan berdirinya Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang dibangun dengan dana
rampasan perang Jepang dan mulai berproduksi pada tahun 1963,
diikuti oleh Petrokimia Gresik pada 1972, Pupuk Kujang pada 1978,
Asean Aceh Fertilizer (AAF, proyek patungan antara negaranegara
ASEAN) pada 1983, serta Pupuk Kaltim (PKT) dan Pupuk Iskandar Muda
pada 1984.
Dinamika kebijakan dengan tingkat intensitas yang relatif tinggi
mengindikasikan ketidak puasan berbagai pihak terkait terhadap
rumusan kebijakan, implementasi, dan dampaknya bagi petani dan
pembangunan pertanian.Pemerintah Indonesia yang berkepentingan
dalam peningkatan produktifitas hasil pangan demi ketahanan pangan
Nasional memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk untuk petani.
Namun sampai sekarang petani sebagai penerima manfaat program ini
masih sulit untuk mengaksesnya. Petani kerap kali menemukan pupuk
langka, harga pupuk diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan
penyalahgunaan mekanisme distribusi pupuk.
DAFTAR PUSTAKA
Kunanjar,Deki.2013.http://dekikunanjar.wordpress.com/2013/04/25/sejarah-histor/.Online.Diakses
tangal 05 Mei
2014Pangisyarwi.2010.http://www.pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=139:evaluasi-kritis-kebijakan-pupuk-bersubsidi-di-indonesia-bagian-pertama&catid=8&Itemid=103.Online.Diakses
tanggal 05 mei 2014