Tugas Mata Kuliah Energi Dan Lingkungan
Makalah Global Warming
Anggota Kelompok :
1. Aditya Dhanist Pratama (1406583483)2. Sinung3. Pradita4. Adi
Waskito5. Lisha6. Richard7. BudiMagister Teknik Jurusan Teknik
Elektro
Universitas Indonesia SalembaDaftar Isi31BAB 1. PENDAHULUAN
31.1Latar Belakang
31.2Perumusan Masalah
31.3Tujuan
32BAB 2. Analisa dan Pembahasan
32.1Penyebab Terjadi nya Global Warming
62.1.1Sektor pembangkit listrik bahan bakar fosil
92.2Dampak Global Warming
92.3Upaya Mengatasi Global Warming
92.3.1Menghilangkan karbon
Daftar Gambar
5Gambar 2.1 Proses terjadinyaefek gas rumahkaca/global
warming
10Gambar 2.2 Prosentasi gas rumahkacaberdasarkan sector
penggunaannya
13Gambar 2.3 Tahapan proses Carbon Capture & Storage (IPCC
guideline, 2006)
19Gambar 2.4 Komitmen Indonesia untuk penurunan emisi GRK
Daftar Tabel15Tabel 2.1 Emisi CO2 di berbagai negara (dalam juta
ton CO2)
21Tabel 2.2 Rencana aksi nasional GRK
1 BAB 1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
(dari mas adi)1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat
ditarik perumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini
diantaranya sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi global warming?
2. Penyebab apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya global
warming?
3. Dampak akibat dari global warming
4. Upaya apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan mengurangi
terjadinya global warming?
1.3 Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai tugas mata kuliah energi dan lingkungan magister
teknik elektro Universitas Indonesia
2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan mengenai topik
Global Warming yang terjadi saat ini3. Memberikan solusi terhadap
permasalahan Global Warming
2 BAB 2. Analisa dan Pembahasan
Pada Sub bab ini akan menjelaskan tentang penyebab terjadinya
global warming, dampak akibat dari global warming dan upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadi nya global
warming.2.1 Penyebab Terjadi nya Global Warming
Para ilmuwan telah menghabiskan puluhan tahun mencari tahu apa
yang menyebabkan pemanasan global. Mereka telah melihat siklus alam
dan peristiwa yang diketahui mempengaruhi iklim. Namun jumlah dan
pola pemanasan yang telah diukur tidak dapat dijelaskan oleh
faktor-faktor ini saja. Satu-satunya cara untuk menjelaskan pola
iniadalahdenganmelibatkan efek gas rumah kaca (GRK) yang
dipancarkan oleh manusia.
Efek rumah kaca adalah proses alami yang membantu dalam
pemanasan permukaan bumi dan atmosfer. Ini merupakan fakta bahwa
gas atmosfer tertentu, seperti karbon dioksida, uap air, dan
metana, dapat mengubah keseimbangan energi planet dengan mampu
menyerap radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi. Tanpa efek
rumah kaca, kehidupan di planet ini mungkin tidak ada karena suhu
rata-rata bumi akan menjadi dingin -18 derajat Celcius, bukan saat
ini 15 derajat Celcius.
Gambar 2.1 Proses terjadinyaefek gas rumahkaca/global
warmingKetika energi dari matahari melewati atmosfer sejumlah hal
terjadi (lihat Gambar) sebagian dari energi (26% secara global)
yang dipantulkan kembali ke angkasa oleh awan dan partikel. Sekitar
19% dari energi yang tersedia diserap oleh awan, gas (seperti
ozon), dan partikel di atmosfer. Dari sisa 55% dari energi matahari
yang melewati atmosfer bumi, 4% terpantulkan dari permukaan kembali
ke angkasa. Rata-rata sekitar 51% dari radiasi matahari mencapai
permukaan. Energi ini kemudian digunakan dalam jumlah proses
termasuk: pemanasan permukaan tanah; mencairnya es dan salju dan
penguapan air; dan fotosintesis tanaman.Pemanasan tanah oleh sinar
matahari menyebabkan permukaan bumi menjadi radiator energi dalam
suatu gelombang panjang (kadang-kadang disebut radiasi inframerah).
Emisi energi iniumumnya diarahkan ke ruang angkasa (lihat Gambar
2.1). Namun, hanya sebagian kecil dari energi ini benar-benar
kembali ke ruang angkasa. Sebagian besar radiasi inframerah yang
keluar diserap oleh beberapa gas alami atmosfer yang dikenal
sebagai gas rumah kaca. Penyerapan energi ini menyebabkan energi
panas tambahan yang akan ditambahkan ke sistem atmosfer bumi.
Molekul-molekul gas rumah kaca di atmosfer sekarang mulai
memancarkan energi gelombang panjang ke segala arah. Lebih dari 90%
dari emisi energi gelombang panjang ini diarahkan kembali ke
permukaan bumi di mana lalu diserap oleh permukaan. Pemanasan tanah
oleh radiasi gelombang panjang menyebabkan permukaan tanah
memancarkan mengulangi siklus sekali lagi yang dijelaskan di atas,
lagi dan lagi, sampai tidak ada lagi gelombang panjang yang
tersedia untuk penyerapan.
PBB membentuk sekelompok ilmuwan disebut Panel Antar Pemerintah
Tentang Perubahan Iklim, atau IPCC. IPCC melakukan pertemuan setiap
beberapa tahun untuk meninjau temuan-temuan ilmiah terbaru dan
menulis laporan yang merangkum semua yang diketahui tentang
pemanasan global. Setiap laporan merupakan konsensus, atau
kesepakatan, di antara ratusan ilmuwan terkemuka.
Hal pertama yang dipelajari oleh para ilmuwan adalah bahwa ada
beberapa gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama pemanasan
global ini, dan gas gas tersebut merupakan hasil aktifitas manusia.
Sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil di mobil,
pabrik dan produksi listrik. Gas yang bertanggung jawab atas
sebagian besar pemanasan adalah karbon dioksida, juga disebut CO2.
Kontributor lainnya termasuk metana dilepaskan dari tempat
pembuangan sampah dan pertanian (terutama dari sistem pencernaan
hewan merumput), nitrous oxide dari pupuk, gas yang digunakan untuk
pendinginan dan proses industri, dan hilangnya hutan yang
dinyatakan akan menyimpan CO2.
Gas rumah kaca yang berbeda memiliki kemampuan menahan panas
yang berbeda. Beberapa dari mereka dapat menahan panas
lebihtinggidaripada CO2. Sebuah molekul metana menghasilkan lebih
dari 20 kali pemanasan dari molekul CO2. Nitrous oksida 300 kali
lebih kuat dari CO2. Gas-gas lain, seperti chlorofluorocarbons
(yang telah dilarang di sebagian besar dunia karena mereka juga
menurunkan lapisan ozon), memiliki ribuan potensi panas-perangkap
kali lebih besar dari CO2. Tapi karena konsentrasi mereka jauh
lebih rendah daripada CO2, maka dalam pendataan emisi gas rumah
kaca biasanya menggunakan standar CO2 equivalen.
Berikut ini faktor penyebab terjadinya pemanasan global dari
beberapa sektor:
2.1.1 Sektor pembangkit listrik bahan bakar fosilKetergantungan
kita yang semakin meningkat pada listrik dari pembangkit listrik
bahan bakar fosil membuat semakin meningkatnya pelepasan gas
karbondioksida sisa pembakaran keatmosfer. Kebutuhan ini akan terus
meningkat setiap harinya.
Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik
masih menjadi pilihan Utama dilihat dari sisi cadangan, kemudahan
transportasi, dan biaya yang murah. Namun, dampak lingkungan akibat
penambangan dan pembakaran batubara juga sangat tinggi.
Selain banyaknya pencemar yang terkandung di dalam batu bara
seperti sulfur dioksida, nitrogen, dan air raksa, pembakaran
batubara menghasilkan penyumbang Utama pemanasan global, yaitu
karbondioksida. Saat dibakar, batubara melepaskan karbondioksida
dalam jumlah banyak keatmosfer, yang memicu terjadinya efek rumah
kaca.
Hingga saat ini, Amerika Serikat dan China masih menduduki
peringkat teratas Negara penyumbang emisi dunia.Tingginya tingkat
emisi kedua Negara tersebut salah satunya diakibatkan tingginya
penggunaan batubara sebagai sumber energy bagi pembangkit listrik
di AS maupun China.Mengutip data International Energy Agency (IEA),
laporan berjudul Global Coal Risk Assessment: Data Analysis and
Market Research ini menyebutkan, konsumsi batu bara dunia mencapai
7.238 juta ton pada 2010. China adalah konsumen batubara terbesar,
yaitu 49% dari total batubara dunia. Yang terbesar berikutnya,
Amerika Serikat, mengkonsumsi 11% dari total dunia. Pembangkit
listrik merupakan kontributor terbesar gas rumah kaca dilihat dari
sektor.
1. Sektor transportasiSumber polusikarbondioksida lainnya
berasal dari mesin kendaraan bermotor.Semakin banyaknya penggunaan
bahan bakar kendaraan bermotor menyumbang jumlah emisi
karbondioksida dalamjumlah yang sangat signifikan. Berdasarkan
sektornya, transportasi menyumbang sekitar 14% gas rumah kacadari
total keseluruhan yang diemisikan keangkasa.
2. Sektor industriSumber terbesar lain dari aktifitas manusia
yaitu dari industri. Industri memegang peranan penting dalam
memenuhi pertumbuhan ekonomi. Semakin pesatnya pertumbuhan
teknologi dalam industry juga meningkatkan penggunaan bahan bakar
untuk mendukung proses industry. Semakin maju suatu teknologi,
biasanya diiringi dengan adanya dampak baik positif maupun dampak
negatif. Semenjak adanya era revolusi industri, penemuan mesin
mesin uap berbahan bakar fosil semakin meningkat pula yaitu untuk
membantu menghasilkan produk makanan, industri pakaian/tekstil,
industry papan, guna mencukupi kebutuhan hidup manusia.Industri
juga mempunyai kontribusi yang sangat tinggi yaitu sekitar 16.8 %
dari todal emisi gas rumah kaca.Pada kurun waktu paruh terakhir
abad ke-20, penggunaan pupuk kimia dunia untuk pertanian meningkat
pesat. Kebanyakan pupuk kimia ini berbahan nitrogen oksida yang 300
kali lebih kuat dari karbondioksida sebagai perangkap panas,
sehingga ikut memanaskan bumi.Akibatlainnya adalah pupuk kimia yang
meresap masuk kedalamtanah dapat mencemari sumber-sumber air minum
kita.
3. Sektor peternakan dan pertanian.Gas metana menempati urutan
kedua setelah karbondioksida yang menjadi penyebab terjadinya efekr
umah kaca.Gas metana dapat bersaldari bahan organik yang dipecah
oleh bakteri dalam kondisi kekurangan oksigen, misalnya
dipersawahan. Proses ini juga dapat terjadi pada usus hewan ternak,
dan dengan meningkatnya jumlah populasi ternak, mengakibatkan
peningkatan produksi gas metana yang dilepaskan keatmosfer bumi.
Pembukaan ladang dan sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk
dunia juga merupakan kontribusi penyumbang metan.
4. Sektor Pembuangan dan pengolahan LimbahGas metana juga
dihasilkan dari tumpukan sampah domestic mapun industri, selain itu
juga dari beberapa limbah cair industri.Pembuangan sampah kota
domestik serta pengolahan limbah dari industri makanan, perkebunan,
industri tekstil, dan yang lainnya juga berkontribusi menghasilkan
gas metana. Selain berbahaya karena gas tersebut mudah terbakar,
juga gas metana mempunyai faktor emisi yang sangat besar dalam
atmosfer.Sekitar 3.4% penyumbang gas rumahkaca adalah dari sektor
ini.
5. Sektor Aktivitas Residential, Komersial , Penggunaan lahan
dan pembakaran biomass dan sumber lain Seringnya penggunaan kayu
dari pohon sebagai bahan baku membuat jumlah pohon kita makin
berkurang. Apalagi, hutan sebagai tempat pohon kita tumbuh semakin
sempit akibat beralih fungsi menjadi lahan perkebunan seperti
kelapa sawit dan juga area tempat tinggal/residential dan
perkantoran serta area komersial.Padahal, fungsi hutan sangat
penting sebagai paru-paru dunia dan dapat digunakan untuk mendaur
ulang karbondioksida yang terlepas di atmosfer bumi.Industri
properti yang makin meningkat menyebabkan berkurangnya lahan hijau
dan area penyerapan air, selain itu proses pembangunan yang
menggunakan bahan bakar fossil secara langsung juga ternyata
merupakan kontributor besar penyumbang emisi karena dari proses
bahan bangunan seperti semen, ubin dan yang lainnya yang diproses
pembuatannya membutuhkan bahan bakar yang sangat tinggi untuk
pembakaran. Dari residentaial dan komersial sekitar 10.3% merupakan
kontributor gas rumah kaca sedangkan dari sektor penggunaan tanah
dan pembakaran biomass, seperti hutan adalah sekitar 10.0%.
6. Sektor proses eksplorasi dan distribusi bahan bakar
fossilSumbe rlain gas rumah kaca yaitudari pengambilan, proses dan
transportasi bahanbakar fossil.
Dalam proses explorasi sampai dengan distribusi kekonsumen, juga
membutuhkan bahan bakar fossil yang tidak sedikit,
sehinggaberkontribusi terhadap gas rumah kacasekitar 11.3 %.
Berikutini disampaikan jumlah gas rumah kaca berdasarkan
sectornya.
Gambar 2.2 Prosentasi gas rumahkacaberdasarkan sector
penggunaannya2.2 Dampak Global Warming2.3 Upaya Mengatasi Global
Warming
Upaya penurunan pemanasan global akibat gas rumah kaca (GRK)
dapat dilakukan dengan cara mencegah emisi GRK ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut di tempat lain (menghilangkan karbon) atau
mencegah emisi GRK melalui pengurangan produksi gas rumah kaca.
2.3.1 Menghilangkan karbon
a. Menjaga kelestarian hutan, ruang terbuka hijau dan melakukan
reboisasi
Tanaman membutuhkan CO2 untuk pertumbuhannya. Peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfir akan merangsang proses fotosintesa,
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitasnya tanpa diikuti
oleh peningkatan kebutuhan air (transpirasi). Fotosintesa umumnya
terjadi pada semua tumbuhan hijau yang memiliki kloroplast atau
pada semua tumbuhan yang memiliki zat warna. Secara umum proses
fotosintesa adalah pengikatan gas karbon-dioksida (CO2) dari udara
dan molekul air (H2O) dari tanah dengan bantuan energi foton cahaya
tampak, akan membentuk gula heksosa
(C6H12O6) dan gas oksigen (O2) sbb :
6 CO2 + 6 H2O + 48 hv
C6H12O6 + 6 O2
Reaksi tersebut terurai menjadi 3 proses utama: pertama
pembentukan O2 bebas, kedua reaksi NADP, dan ketiga pengubahan CO2
menjadi C6H12O6. Dua proses yang pertama membutuhkan energi cahaya,
sedangkan proses yang ke tiga dapat berlangsung di dalam gelap.
Berdasarkan kemampuan tanaman dalam serapan CO2, mereduksi CO2
:
Satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2 per jam atau
0,8 gr/m2/jam, yang setara dengan CO2 yang dihembuskan manusia
sebanyak 200 orang dalam waktu yang sama (Tome, 2005).
Tanaman dapat menyerap 200 ton/ha/ tahun (2,8 gr/m2/jam).Di
berbagai tempat di dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai
level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh
kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika
diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau
pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah
dengan penghutanan kembali daerah-daerah kritis untuk berperan
dalam mengurangi gas rumah kaca.
a. Penggunaan teknologi Carbon capture storage
Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi
mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke
atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang
terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2
dari sumber emisi gas buang (capture), pengangkutan CO2 tertangkap
ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat
yang aman (storage), dengan tahapan sebagai berikut:
1. Capture and compression system, CO2 yang berasal dari
pembangkit batubara atau dari industri semen dan logam ditangkap
dan dilakukan kompresi.
2. Transport system, CO2 yang telah ditangkap selanjutnya
ditekan dan ditransportasikan, umumnya melalui jalur pipanisasi, ke
tempat penyimpanan. Trasnporasi menggunakan kapal juga dimungkinkan
untuk transportasi CO2 dari offshore.
3. Injection system, sebagai fasilitasi untuk injeksi antara
lain , dan jika memungkinkan untuk disiapkan Ada tiga tipe
penangkapan CO2 yaitu post-combustion, pre-combustion and oxyfuel
combustion, yang dapat menangkap hingga 90% emisi CO2.4. Storage
CO2 diinjeksikan ke tempat penyipanan di bawah permukaan bumi, yang
memenuhi syarat secara geologi untuk menjamin keamanan dan
penyimpanan dalam waktu lama. Umumnya tempat penyimpanan berupa
bekas lapangan minyak dan gas bumi atau deep saline formation.
Ada tiga tipe penangkapan CO2 yaitu post-combustion,
pre-combustion and oxyfuel combustion, yang dapat menangkap hingga
90% emisi CO2.Dari berbagai perhitungan, diperkirakan penerapan CCS
akan dapat berkontribusi hingga 20% dari semua upaya mitigasi
global untuk menjaga stabilitas CO2 agar tidak melebihi konsentrasi
450 ppm di atmosfer pada tahun 2050 nanti.
Gambar 2.3 Tahapan proses Carbon Capture & Storage (IPCC
guideline, 2006)
Selain sebagai salah satu opsi teknologi mitigasi GRK, CCS dapat
pula diterapkan untuk keperluan peningkatan produksi migas melalui
CO2-EOR (Enhanced Oil Recovery), dengan menginjeksikan pada
lapangan minyak untuk mendorong keluarnya minyak mentah dari dalam
bumi, serta untuk keperluan industri.
Namun mengingat mahalnya biaya CCS, penerapan CCS murni untuk
keperluan mitigasi pemanasan global masih belum diaplikasikan di
Indonesia. Setidaknya terdapat tiga hal pokok yang perlu
diperhatikan dalam penerapan CCS, yaitu keberadaan sumber CO2 yang
signifikan, tempat penyimpanan yang sesuai dan dapat memenuhi
kriteria ekonomi dan politis. Sehingga CCS baru diterapkan di
Indonesia bila memberikan nilai tambah untuk dapat mengkompensasi
biaya teknologi CCS tersebut.
I. Mengurangi produksi gas rumah kaca (GRK)
Upaya pencegahan untuk memperlambat atau mengurangi proses
pemanasan global melalui pengurangan produksi GRK dengan cara,
antara lain:
Mengurangi proses pembakaran sampah di tempat pembuangan akhir
(TPA), kawasan pertanian, peternakan dan kawasan lainnya untuk
mengurangi emisi gas karbon.
Penggalakan pembangunan TPA sanitary landfill dalam usaha
pengurangan emisi gas metan dan karbon.
Meminimalkan pembangkit berbahan bakar energy fosil, kecuali
telah diimplementasikan teknologi ramah lingkungan (misalnya clean
coal technology pada PLTU).
Mengembangkan pembangkit yang menggunakan energi baru
terbarukan, antara lain PLTA, PLTB (Bayu), PLTS (Surya) dan
PLTN.
Melakukan konversi BBM ke BBG pada kendaraan bermotor, untuk
mengurangi emisi dari penggunaan BBM.
II. Mitigasi Pemanasan Global Melalui Kerja sama
internasional
Sejak World Meteorological Organization (WMO) melakukan
penelitian dan mengeluarkan scientific background tentang perubahan
iklim global pada pertengahan tahun 1980, pemanasan global mulai
mendapat perhatian yang serius. Bersama dengan United Nation
Environment Programme (UNEP), WMO membentuk Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan untuk
menanggulangi pemanasan global. Kemudian PBB mengeluarkan resolusi
tentang penanggulangan pemanasan global.Tabel 2.1 Emisi CO2 di
berbagai negara (dalam juta ton CO2)
Resolusi tersebut ditindak lanjuti dengan mengadakan World
Summit di Rio de Janeiro tahun 1992. Hasil pertemuan World Summit
adalah konvensi di bidang: biodiversitas, perubahan iklim dan
agenda 21. Untuk selanjutnya konvensi untuk perubahan iklim dikenal
dengan nama United Nation Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC).
Selanjutnya melalui UNFCCC muncul kesepakatan untuk mengadakan
rapat tahunan tingkat menteri yang disebut Conference of the Party
(COP) dan rapat lima tahunan setingkat kepala negara. Beberapa
hasil yang penting dari penyelenggaraan COP dapat dirangkumkan
sebagai berikut:
COP 1 di Berlin pada tahun 1995 melahirkan mekanisme pendanaan
yang disebut Joint Implementation yang dapat dilakukan antar
negara-negara maju dan Activities Implemented Jointly antara negara
maju dengan negara berkembang.
COP 2 di Genewa pada tahun 1996 tidak menghasilkan kesepakatan
yang berarti.
Baru pada COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 dikeluarkan Kyoto
Protocol yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi CO2
sebesar 5,2% dari level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012.
Dalam protokol ini ada tiga mekanisme pendanaan yang dapat
digunakan yaitu: Joint Implementation, Clean Development Mechanism
dan Emission Trading.
COP 9 yang diadakan di Milan, Italia membahas lebih lanjut
prosedur pengajuan CDM.
COP 12 pada tahun 2006 di Nairobi, Kenya membahas pendanaan
spesial dalam rangka menanggulangi pemanasan global.
Protokol Kyoto sebagai hasil dari pertemuan COP ke-3 pada tahun
2007 di Tokyo merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan
internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang
meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya,
atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga
jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan
dengan pemanasan global.Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto
diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02C dan
0,28C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003)
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on
Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim), mulai dinegosiasikan pada Desember 1997
di Kyoto. Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau
meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak
diperbolehkan, di mana periode penanda tanganan dimulai pada 16
Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai
berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang
dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Menurut rilis pers dari
Program Lingkungan PBB:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana
negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca
mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990
(namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan
perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini
berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi
rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung
sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target
nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS,
6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan
sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."
Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap
negara-negara maju yang yang tergabung dalam Annex I UNFCCC.
Negara-negara yang telah berkomitmen pada Kyoto Protokol untuk
membatasi atau mengurangi emisi GRK maka harus memenuhi komitmen
tersebut untuk masing-masing negaranya. Sehingga untuk mecapai
target tersebut, dimunculkan tiga jenis mekanisme pasar, yang lebih
dikenal dengan carbon market (pasar karbon), terdiri atas Joint
Implementation, Clean Development Mechanism dan Emission
Trading.Adapun mekanisme Protokol Kyoto tersebut diciptakan dengan
tujuan sebagai berikut:
Menstimulir pembangunan berkelanjutan melalui transfer teknologi
dan investasi
Membantu negara-negara yang berkomitmen untuk mencapai target
mereka dengan mengurangi atau menghilangkan karbon dari dari
atmosfer di Negara lain secara efektif
Mendorong negara berkembang dan sektor swasta untuk
berkontribusi dalam pengurangan emisi.
Lebih lanjut tentang ketiga jenis mekanisme dapat diuraikan
sebagai berikut:
Joint Implementation
Joint Implementation (JI) memungkinkan suatu negara untuk
melakukan proyek joint implementation dengan negara lainnya.
Mekanisme ini yang membolehkan suatu negara dengan komitmen
pengurangan atau penghilangan emisi untuk mendapatkan emission
reduction units (ERUs) dari sebuah proyek emission-reduction atau
emission removal, yang ekuivalen dengan satu ton CO2 (article 6,
Kyoto Protocol).
JI menawarkan fleksibilitas dan efisiensi biaya untuk memenuhi
komitmen Protokol Kyoto, sedangkan host mendapatkan keuntungan dari
investasi asing dan transfer teknologi.
Clean Development Mechanism
Clean Development Mechanism (CDM) merupakan bentuk investasi
dalam proyek pembangunan berkelanjutan untk mengurangi emisi di
Negara berkembang.
CDM memungkinkan negara dengan komitmen pengurangan atau
penghilangan emisi untuk mengimplementasikan proyek
emission-reduction di negara berkembang (article 12, Kyoto
Protocol). Suatu proyek dapat memperoleh certified emission
reduction (CER) credits yang bisa diperdagangkan, setara dengan
satu ton CO2, yang dihitung dalam pertemuan Kyoto.
Contoh proyek CDM yang dilakukan dinegara berkembang, misalnya
proyek listrik pedesaan menggunakan energi baru terbarukan (PLTP
atau PLTS), pemanfaatan gas flare untuk keperluan bahan bakar
industri dan rumah tangga, penggunaan BBG untuk transportasi, dll.
Kemudian hasil dari proyek tersebut berupa pengurangan emisi yang
dihitung dalam satuan CER credit, selanjutnya bisa diperdagangkan
dan dibeli oleh pihak yang memiliki komitmen penurunan emisi.
Mekanisme ini merangsang pembangunan yang berkelanjutan dan
pengurangan emisi, sambil memberikan fleksibilitas negara industri
dalam upayanya memenuhi komitmen pengurangan emisi. Emission
Trading
Berbagai pihak yang berkomitmen pada Protokol Kyoto telah
menyetujui untuk membatasi atau mengurangi emisi. Targetnya yaitu
pada level emisi yang diperbolehkan atau dalam jumlah tertentu
sepanjang tahun 2008-2012. Emisi yang diperbolehkan tersebut dibagi
dalam assigned amount units (AAUs).
Perdagangan emisi membolehkan negara yang mempunyai unit emisi
untuk mencadangkan emisi yang diizinkan tetapi tidak digunakan,
untuk menjual kelebihan kapasitas tersebut ke negara lain yang
belum mencapai target mereka (Article 17, Kyoto Protocol).
Sehingga, sebuah komiditas baru dibentuk dalam wujud pengurangan
atau menghilangkan emisi. Sejak CO2 sebagai GRK utama, selanjutnya
kegiatan ini disebut carbon trading atau perdagangan karbon. Saat
ini karbon dicari dan diperdagangkan layaknya suatu komidtas,
sehingga hal ini diistilahkan sebagai carbon market atau pasar
karbon. Trading unit lain dalam pasar karbon
Unit yang dapat ditransfer dalam skema ini, yang setara dengan
satu ton CO2, yaitu:
A removal unit (RMU) berdasarkan aktifitas land use, land-use
change and forestry (LULUCF) seperti reboisasi.
An emission reduction unit (ERU) dihasilkan dari proyek joint
implementation
Acertified emission reduction (CER) dihasilkan dari aktifitas
clean development mechanism.
III. Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca
Sebagai negara kepulauan sekaligus negara agraris, dengan jumlah
penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia
berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim yang mengancam lingkungan dan kehidupan negara. Dampak
tersebut dapat berupa menurunnya produksi pertanian, pangan,
terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit
tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya
pulau-pulau kecil serta punahnya keanekaragaman hayati
Oleh sejak awal Pemerintah peduli dengan aktifitas penurunan GRK
dunia internasional, melalui:
Ratifikasi UNFCCC dengan UU nomor 6 tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change
(Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai
Perubahan Iklim).
Selanjutnya Pemerintah juga meratifikasi Protokol Kyoto melalui
UU nomor 17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the
United Nations Frameworkc'onvention On Climate Change (Protokol
Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Perubahan Iklim).
Bali Action Plan (December 2007) mengisyaratkan penanganan emisi
dengan paradigma CBDR (common but differentiated responsibility).
Presiden RI pada Forum G-20 di Pittsburgh, USA tahun 2009
menyampaikan bahwa Indonesia bisa menurunkan emisi sebesar 26% dan
bahkan bisa mencapai sebesar 41% dengan bantuan negara maju hingga
tahun 2020. Penerbitan Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Penerbitan Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Gambar 2.4 Komitmen Indonesia untuk penurunan emisi GRKUntuk
melakukan komitmen tersebut, dilakukan inventarisasi penyebab emisi
GRK secara nasional. Berdasarkan inventarisasi tersebut diperoleh
data sumber emisi di mana tiga sumber emisi terbesar yaitu LUCF
(Land Use Change Forestry), energi dan gambut, dengan total Total
emisi GRK tahun 2000 sekitar 1,42 GT CO2e (Karbondioksida
ekivalen).Sesuai inventarisasi sumber emisi tersebut, kemudian
ditetapkan bidang yang terkait dalam pelaksanaan penurunan emisi
GRK yang meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut,
energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah dan kegiatan
pendukung lainnya.
Rencana aksi GRK ini merupakan acuan bagi Pemerintah, pelaku
usaha dan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan dan
pelaksanaan penurunan emisi GRK.
Tabel 2.2 Rencana aksi nasional GRK
Kegiatan rencana aksi dapat dilihat dalam tabel di atas, bahwa
setiap sektor ditentukan pihak yang bertanggung jawab dalam
penurunan emisi GRK. Khusus untuk sektor energi, aktifitas yang
dilakukan antara lain pengembangan energi baru terbarukan (panas
bumi, bahan bakar nabati,dll) melakukan konservasi energi, kegiatan
konversi minyak tanah ke LPG, dll.Gambar STYLEREF 1 \s 2.5 Sumber
emisi GRK di Indonesia
6