1 MANAGEMEN LAYANAN SOSIAL STUDI PENELITIAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA Dosen Pengampu : Ibu Supartini, M.Si Oleh : Fikriyah Asmawati NIM : 12.200.100.35 KONSENTRASI PEKERJAAN SOSIAL INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
MANAGEMEN LAYANAN SOSIAL
STUDI PENELITIAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA
Dosen Pengampu :
Ibu Supartini, M.Si
Oleh :
Fikriyah AsmawatiNIM : 12.200.100.35
KONSENTRASI PEKERJAAN SOSIAL
INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
2
A. PENDAHULUAN :
Dalam upaya penanganan masalah kesejahteraan sosial yang dilakukan
pemerintah, dalam hal ini yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, baik yang melalui
sistem luar panti maupun sistem panti sejatinya terus dilakukan pembenahan dari sisi
sarana prasarana, metode pelayanan maupun peningkatan kualitas sumber daya
pelaksananya. Pada hakekatnya proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang
dilakukan melalui sistem panti tidak berakhir pada saat penyandang masalah selesai
mendapatkan pelayanan didalam panti, namun hingga yang bersangkutan kembali ke
keluarga maupun masyarakat lingkungannya yang dilayani dengan kegiatan
pembinaan lanjut.
Keterbatasan dari berbagai aspek mengakibatkan pembinaan lanjut belum
dilakukan secara proporsional. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan
penelitian singkat mengenai ‘’Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada Panti
Sosial: Studi kasus Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi
Sosial’’, yang dilakukan untuk mengetahui realisasi pelaksanaan pelayanan dan
pembinaan lanjut yang telah dilakukan panti-panti sosial yang hari ini peneliti rasa
masih minim dilakukan, termasuk kendala yang dihadapi dalam pelayanan. Sasaran
pada penelitian ini adalah Panti Sosial Karya Wanita dibawah koordinasi
Kementerian Sosial, dari beberapa masalah yang terdapat di kota Yogyakarta.
Guna memberikan manfaat yang optimal bagi panti yang diteliti, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan pengembangan pelayanan
sosial dalam panti, khususnya unit teknis di lingkungan Kementerian Sosial maupun
pihak lain yang melakukan pelayanan sosial dalam panti. Menyadari akan segala
keterbatasan dan kesempurnaan makalah hasil penelitian ini, maka saran dan kritik
yang membangun dari para dosen pengampu khususnya, serta penggiat pembangunan
kesejahteraan sosial sangat diharapkan.
3
B. PROFILE PSKW
Tuna susila sebagai penyakit masyarakat, selalu muncul dan merupakan
masalah sosial yang sulit untuk ditangani. Dikatakan masalah sosial karena didalam
tindakannnya terdapat penyimpangan-penyimpangan perilaku yang tidak sesuai
dengan norma agama, adat istiadat, selain keberadaannya meresahkan warga
masyarakat Sulitnya menangani masalah tuna susila ini disebabkan berbagai faktor
seperti: faktor ekonomi, sosial, moral, budaya bahkan faktor psikologis. Kartini
Kartono dalam Patologi Sosial menyebutkan bahwa penyebab terjadinya tindak tuna
susila antara lain;
1. adanya dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks diluar ikatan
pekawinan;
2. komersialisasi dari seks;
3. merosotnya norma-norma susila dan agama;
4. kebudayaan eksploitasi
5. faktor ekonomi.
Sedangkan akibat yang ditimbulkan dari tindak tuna susila yaitu; 1)
penyebarluasan penyakit kelamin; 2) merusak sendi-sendi kehidupan keluarga; 3)
memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan; 4) merusak sendi-sendi
moral, susila, hukum, agama; 5) adanya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya.
Walaupun permasalahan tersebut sulit ditangani, namun pemerintah dan masyarakat
tetap berupaya untuk menangani masalah tersebut melalui sistem panti maupun non
panti. Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Sidoarum yang secara prinsip bertugas
melakukan pelayanan rehabilitasi eks tuna susila. Namun dalam prakteknya PSKW
Sidoarum hanya melakukan upaya prefentif (pencegahan) yakni dengan mendidik
klien-klien berjenis kelamin perempuan dengan rentan usia antara 13-40 tahun yang
dianggap rentan menjadi PMKS.
4
1. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL
a. Kelembagaan
Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial DIY sebagai lembaga pelayanan masyarakat (Public Service) yang memberikan pelayanan konsultasi, rehabilitasi dan pelayanan sosial untuk membantu merubah sikap dan perilaku psikologis Wanita Rawan Sosial Psikologis (WRSP), keluarga dan lingkungan.
Terwujudnya wanita yang bermanfaat, berguna, dan mandiri.
e. MISI
Meningkatkan sumberdaya wanita melalaui pelatihan – pelatihan sosial, mental, ketrampilan usaha untuk kemandirian
Melindungi dan meningkatkan martabat wanita melalui rehabilitasi dan pelayanan sosial
Meningkatkan peran wanita dalam pembangunan Mengembangkan teknologi pelayanan dan potensi pegawai melalui studi dan
penelitian, sebagai laboratorium Menggali potensi masyarakat untuk dapat berpartisipasi melalui informasi dan
kegiatan sosial kemasyarakatan PSKW Mengembangkan jalinan kerja dan jaringan sosial untuk pengembangan PSKW
Yogyakartaf. Tujuan
Pulihnya kembali harga diri, kepercayaan diri, tanggungjawab sosial serta kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam bermasyarakat yang normatif serta mengembangkan potensi warga binaan untuk hidup produktif.
g. Struktur Organisasi
6
h. Sasaran
Wanita Rawan Sosial Psikologis (WRSP) yaitu wanita usia 17 – 40 tahun yang secara pribadi maupun lingkungannya rawan terhadap penyimpangan norma, psikologis dan sosial.
i.Sumber-daya Manusia
Dalam menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial, PSKW
Sidoarum didukung dengan sumber daya manusia berjumlah 50 pegawai. Sumber
daya tersebut terdiri dari, pejabat struktural, pejabat fungsional, pembimbing
keterampilan, dan tenaga lainnya. Latar belakang pendidikan pegawai cukup
bervariasi, mulai dari SD hingga S2 dengan rincian sebagai berikut: S2 (1 orang),
Dari komposisi latar belakang pendidikan tersebut, nampak bahwa SDM
yang ada di PSKW Sidoarum cukup memadai. Khusus pendidikan S2 dimiliki oleh
kepalapanti dan pekerja sosial. Komposisi tenaga dilihat dari masing-masing
bidang, jumlah tenaga terbanyak pada bidang TU (16 orang), Pekerja Sosial 14
orang, Seksi Rehsos 11 orang dan Seksi PAS 8 orang. Berdasarkan golongan,
pegawai yang sudah menempati golongan IV (6 orang), golongan III (31 orang)
dan selebihnya golongan II.
Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan, PSKW Sidoarum juga didukung
tenaga fungsional arsiparis, penyuluh sosial, dan terutama pekerja sosial. Saat ini,
jumlah tenaga fungsional arsiparis dan penyuluh sosial masing-masing 1 orang.
Sedangkan jumlah pekerja sosial sebanyak 12 orang. Jika dilihat banyaknya klien
yang harus ditangani selama satu angkatan selama 6 bulan sebanyak 110 orang,
maka jumlah pekerja sosial yang ada saat ini belumlah memadai. Dimana satu
orang pekerja sosial harus menangani 10 orang klien dalam satu angkatan.
7
j.Sistem Pelayanan
Penyelenggaraan Rehabilitasi melalui sistem dalam panti yaitu sistem pelayanan sercara khusus dan intensif menyangkut nilai-nilai keberfungsian sosial serta pengembangan potensi warga binaan. Sistem penerimaan warga binaan dilaksanakan secara buka tutup setiap bulan.
k. Waktu Pelayanan
Program bimbingan dilaksanakan maksimal satu tahun pelayanan.
l. Tahap Pelayanan
1) TAHAP SOSIALISASIa) Penyebarluasan informasi
Melakukan koordinasi dengan wilayah Kabupaten dan Kota se-DIY yang ditindaklanjuti dengan penyebaran informasi langsung pada masyarakat.
b) Penjangkauan
c) Rekrutmen kelayanRekrutmen kelayan berasal dari :
Laporan masyarakat Rujukan dari tokoh masyarakat, PSM, Orsos/LSM, PKK dan
instansi terkait lainnya. Pendaftaran diri/ serah diri calon kelayan
2) TAHAP PENERIMAANa) Pendekatan Awal b) Orientasi dan Konsultasi c) Identifikasi d) Motivasi e) Seleksi f) Registrasi
Pencatatan Memberian Nomor Registrasi Pengenalan Liningkungan Panti
g) Pengungkapan dan Penelaahan Masalah (Assessment) Tes Psikologi Tes Bakat Minat
h) Penempatan kelayan dalam asramai) Penempatan dalam Program Pelayanan
8
3) TAHAP REHABILITASI SOSIAL a) Bimbingan fisik, mental dan sosial
Pemeliharaan kesehatan, olah raga dan sarana kebersihan Makan dan minum setiap hari Bimbingan Keagamaan Bimbingan Kedisiplinan Bimbingan Budi Pekerti Pendampingan Asrama Dinamika Kelompok Kerja bakti lingkungan Konseling Terapi Kelompok Art Therapy Muatan lokal
b) Bimbingan Ketrampilan Jahit, Bordir dan Kerajinan Tata Rias/Salon Olahan Pangan
4) TAHAP RESOSIALISASIa) Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat
Melibatkan warga binaan dalam kegiatan kemasyarakatan sekitar.
Koordinasi /kerjasama dengan aparat desa setempat Koordinasi/kerjasama dengan stakeholder Bakti sosial jasa ketrampilan Kerja bakti Pentas seni
b) Bimbingan Usaha/Kerja Achievment Motivation Training (AMT) Field Study Perusahaan Praktek Belajar Kerja (PBK) Sertifikasi
c) Penyaluran Penempatan kerja Usaha Mandiri Pemberian bantuan Stimulan
9
5) TAHAP BIMBINGAN LANJUTa) Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat b) Bimbingan penempatan usaha c) Bantuan pengembangan usaha
Pelaksanaan Bimbingan Lanjut, yaitu dengan :
Konseling Home visit Temu alumni Rujukan sebagai upaya tindak lanjut untuk mencegah kerawanan Visit di tempat kerja Bantuan stimulan Evaluasi
6) TAHAP TERMINASIa) Penutupan pencatatan kasus b) Penutupan hubungan pelayanan
m. Kegiatan Penunjang Pelayanan
1) Pertemuan Pra Pemulangan Orang Tua Warga Binaan2) Kajian Tingkat Keberhasilan Pelayanan3) Pengembangan Aplikasi Database Pelayanan4) Pertemuan Jejaring Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial5) Workshop Program PSKW Yogyakarta
n. OUT PUT
1) Wanita Rawan Sosial Psikologisa) Wanita dengan permasalahan psikologis dan ekonomi
Memiliki kepercayaan diri Hidup dan besosialisasi secara normatif Berfungsi secara sosial di dalam masyarakat Mampu mempraktekan ketrampilan yang dimiliki Bertahan hidup mandiri Hidup harmonis dalam keluarga dan masyarakat Mampu membangun masa depan lebih baik
10
b) Korban Kekerasan dan Korban Perdagangan Orang (Trafficking) Keluar dari lingkungan kekerasan/trafficking Pulih secara fisik, sosial dan psikologis Pulih dari trauma Mampu melindungi diri sendiri Memiliki kepercayaan diri dan berfungsi secara sosial
2) Mantan Tuna Susilaa) Hidup dan besosialisasi secara normatifb) Berfungsi secara sosial di dalam masyarakatc) Mampu mempraktekan ketrampilan yang dimilikid) Hidup mandiri bekerja secara layak dan normatif.
o. Sarana dan Prasarana
Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, panti memiliki fasilitas
yang cukup memadai. Sarana dan prasarana yang dimiliki Panti Sosial Karya
Wanita Sidoarum, sampai dengan tahun 2013 terdiri dari :
a. Sarana dan Prasarana
PSKW Sidoarum menempati luas seluruhnya 9,995 M2. Pemanfaatan lahan
tersebut untuk gedung perkantoran yang terdiri dari: ruang kerja/kantor, ruang
rapat, aula/ ruang serbaguna, ruang seleksi, ruang konsultasi, dan ruang data.
Sedangkan untuk kepentingan proses keterampilan, disediakan gedung
pendidikan antara lain untuk ruang keterampilan tata rias dan olah pangan,
ruang keterampilan menjahit manual, ruang menjahit High Speed dan bordir,
serta ruang untuk pendidikan.
b. Untuk klien PSKW Sidoarum disediakan fasilitas berupa asrama, wisma,
kamar, ruang makan dan dapur, serta poliklinik dan ruang perawatan. Beberapa
fasilitas penunjang berupa lapangan tenis, lapangan olah raga, taman, lahan
pertanian, dan sarana ibadah berupa masjid dan mushola.
11
p. Kondisi Alumni
Berdasarkan data jumlah alumni PSKW Yogyakarta tahun 2007 – 2013
adalah 191 orang. Dari data tersebut, diketahui 188 orang telah bekerja (81,7%),
32 orang membuka usaha mandiri (16,7%) dan 3 orang belum bekerja (1,6%).
Dari 191 orang alumni tersebut sejumlah 83 orang (43,5%) telah mengikuti
kegiatan sertifikasi tahun 2007 – 2012, sejumlah 20 orang (10,4%) alumni
mengikuti kegiatan sertifikasi tahun 2013. Peserta sertifikasi memperoleh bantuan
stimulan sesuai dengan bidang ketrampilan masing-masing. Dengan bantuan
stimulan tersebut, diharapkan peserta sertifikasi mampu memanfaatkan bantuan
stimulan yang diberikan untuk meningkatkan produktivitas, membuka usaha
mandiri serta mengembangkan lapangan kerja baru dalam masyarakat.
C. PEMBAHASAN :
Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas
dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan
penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental
dan sosial.1 Oleh sebab itu pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya
merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan
pengembangan potensi klien, menjadi penting peranannya.
Menurut Data data yang kami terima Kementerian Sosial Republik Indonesia,
memiliki Rencana Strategis tahun 2010 - 2014 bahwasanya Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Panti Sosial merupakan pusat kesejahteraan sosial yang berada di baris paling
depan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan
pilar intervensi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS. UPT panti sosial adalah
sebuah pilihan yang harus tersedia disamping pilihan utama lainnya yakni pelayanan
sosial berbasis keluarga dan komunitas dan/atau swasta, sehingga masyarakat
terutama PMKS memiliki pilihan sesuai dengan kondisi mereka. Panti sosial
mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan
1 Astuti, M. (2010). Penelitian Tentang Rehabilitasi Sosial di PSBG. Jakarta: P3KS Press.
12
kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi
pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem
rujukan/ referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Sedangkan prinsip
prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain
yang sejenis adalah:
1. Memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk
mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien
dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat;
2. Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan,
perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan;
3. Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan
secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang
berkesinambungan;
4. Menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi
sosialnya; dan
5. Memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam
usaha-usaha pertolongan yang diberikan.2
Proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen;
(3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca
pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan,
pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut merupakan
tahapan terakhir dari proses pelayanan sosial dan rangkaian proses rehabilitasi sosial
atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan berperan aktif
dalam keluarga dan masyarakat. Pembinaan lanjut di panti-panti sosial mengalami
berbagai kendala diantaranya data eks klien yang tersebar hingga ke pelosok desa,
anggaran yang tidak memadai, dan pemahaman tentang pembinaan lanjut yang masih
beragam mengakibatkan pelaksanaan pembinaan lanjut belum optimal.
2 Departemen Sosial RI, (2007). Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW), Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.
13
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa belum adanya dukungan dari
masyarakat termasuk dunia usaha terhadap eks klien. Padahal pembinaan lanjut
dalam praktik pekerjaan sosial cukup penting untuk mencapai keberhasilan
pelayanan, dan merupakan bagian dari manajemen kasus. Menurut Maguire dan
Lambert,3 manajemen kasus digunakan untuk mengelola, mengkoordinasi, dan
memandu klien melalui serangkaian langkah-langkah tertentu di lapangan. Langkah
tersebut antara lain assessmen awal yang mendefinisikan masalah dan kekuatan,
perencanaan, penghubungan dan pengkoordinasian, pemantauan dan perubahan yang
mendukung, dan pada akhirnya meringkas serta menyelesaikannya melalui terminasi
dan dilanjut dengan tahap pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari
prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktik pekerjaan sosial.
Seperti yang dikemukakan oleh Sheafor dan Horejsi, diantaranya: 4
1. Seorang pekerja sosial harus dapat memaksimalkan pemberdayaan kliennya;
2. Seorang pekerja sosial harus terus menerus melakukan evaluasi terhadap
kemajuan dari perubahan yang dicapai klien;
3. Seorang pekerja sosial harus bertanggungjawab kepada lembaga, masyarakat dan
profesi pekerjaan sosial.
Menurut Woodside dan Mc.Clam (2003), Keberlanjutan pelayanan memiliki
dua pengertian: 5
1. Keberlanjutan berarti bahwa pelayanan yang diberikan pada klien tidak terputus
dari tahap awal sampai terminasi dan keberlanjutannya.
2. Keberlanjutan pelayanan berarti penyediaan layanan secara komprehensif.
Didalamnya termasuk intervensi dengan dukungan dari lingkungan, memelihara
3 Lambert, M. D. (2001). Clinical Social Work Beyond Generalist Practice with Individuals, Groups and Families. London: Brook/Cole. (E-book diakses pada 4 Januari 2014)
4 Sheafor, S. (2003). Introduction to Social Work Practice. New York: Mac Millan. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)
5 Woodside, M. D. (2003). Generalist Case Management; A Method of HumanService Delivery. Pacific Groove CA: Brooks Cole. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)
14
hubungan dengan keluarga klien dan pihak-pihak lain dan jejaring sosial yang
menghubungkan dengan pelayanan-pelayanan yang ada.
Berdasarkan prinsip-prinsip pekerjaan sosial, maka bimbingan lanjut dianggap
perlu untuk dilakukan. Adapun tahapan dari bimbingan lanjut adalah sebagai berikut:
1. Menyusun rancangan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks
penerima program pelayanan kesejahteraan sosial.
2. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima
program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan penyuluhan sosial.
3. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima
program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan pendampingan
secara individual.
4. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima
program pelayanan kesejahteraan sosial melalui koordinasi dengan pihak terkait.
5. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima
program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan
sistem sumber yang tersedia.
6. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima
program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan
memberikan bantuan pengembangan usaha.
7. Memantau perkembangan eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial
dalam masyarakat.
8. Mengidetifikasi hambatan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut
terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. Memberikan
supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap pekerja
sosial di bawahnya.
9. Memberikan supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut
terhadap pekerja sosial di bawahnya.
D. KERANGKA EVALUASI
15
Evaluasi pelaksanaan Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di PSKW
Sidoarum menggunakan Model CIPP. Di dalam pembahasan ini akan dilakukan
evaluasi ke empat komponen, yaitu Konteks, Input, Proses dan Output. Di samping
itu juga merujuk pada Indikator Kinerja dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
bidang pelayanan dan rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI
(Peraturan Menteri Sosial Nomor 129/HUK/2008) sebagai panduan dalam
melaksanakan program. Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial adalah ketentuan
mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar bidang sosial yang merupakan urusan
wajib daerah yang berhak diperoleh setiap Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial secara minimal. Selanjutnya pada Tahun 2007, Direktorat Pelayanan dan
Rehabilitasi Tuna Sosial menetapkan Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan
Rehabilitasi Tuna Susila. Beberapa peraturan ini akan menjadi dasar dalam
mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di PSKW
Sidoarum. Penetapan indikator kinerja dan target SPM Bidang Sosial yang
ditetapkan untuk Provinsi merupakan target minimal yang harus dicapai secara
bertahap sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Sosial sampai dengan Tahun 2015.
Jadi hasil kajian melalui evaluasi ini sekaligus dapat menjadi petunjuk kemajuan
PSKW dalam mencapai SPM.
Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 111/HUK/2009 menjelaskan
bahwaIndikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial adalah suatu ukuran
kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat usaha, pencapaian
sasaran, dan tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Indikator Kinerja terdiri dari
Indikator input adalah segala sumber daya yang dibutuhkan dan digunakan
agar tujuan pembangunan kesejahteraan sosial dapat tercapai. Indikator output
adalah segala sesuatu yang diperoreh dan dicapai dalam pembangunan
kesejahteraan sosial sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Indikator outcome
16
adalah segala sesuatu yang diperoleh dengan berfungsinya keluaran yang dicapai
secara optimal dalam pembangunan kesejahteraan sosial. sedangkan Indikator
impact adalah segala pengaruh yang ditimbulkan dari manfaat yang diperoleh dari
hasil kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial.
1.Indikator Input (Masukan)
Indikator masukan merupakan segala potensi yang dapat dijadikan sumber
daya untuk melaksanakan program, yang meliputi ketersediaan sumber daya
manusia, sarana prasarana, anggaran dan pemanfaatannya serta norma, standard,
prosedur, dan kriteria (NSPK).
Indikator ketersediaan sumber daya manusia kesejahteraan sosial meliputi
segala potensi dan kemampuan yang dimiliki baik pegawai maupun tenaga
kesejahteraan sosial yang melaksanakan program pelayanan dan rehabilitasi sosial.
Dalam mengevaluasi kinerja sumber daya manusia sebagai bagian dari indikator
input (masukan), maka akan dilihat melalui ketersediaan Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial terlatih. Selain itu juga ketersediaan tenaga profesional
lain yang mendukung proses pelayanan, seperti instruktur ketrampilan, psikolog,
maupun tenaga medis. Secara kuantitatif akan dilihat proporsi jumlah sumber daya
manusia dengan jumlah klien atau warga binaan yang diyalani. Selain itu secara
kualitatif juga akan dilihat latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja dalam
bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial. Secara terperinci Kementerian Sosial telah
menetapkan standar pelayanan minimal untuk sumber daya manusia dalam
pelaksanaan program pelayanan dan rehabilitasi tuna susila yaitu :
a. Pimpinan
1) Memiliki Latar Belakang Pendidikan dan Pelatihan Pekerjaan Sosial
2) Memiliki Pengalaman di bidang sosial
3) Pernah mengikuti pelatihan manajemen pelayanan panti
b. Tenaga Administrasi
17
1) Memiliki pendidikan serendah-rendahnya SLTA dan diutamakan SMK bidang
Administrasi
2) Pernah mengikuti pelatihan di bidang Administrasi panti
c. Tenaga Pelaksana Teknis
1) Fungsional Pekerja Sosial (rasio 1 : 9)
2) Memiliki latar belakang pendidikan pekerjaan sosial
3) Pernah mengikuti pelatihan pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam panti
d. Instruktur (rasio 1 : 20)
1) Memiliki sertifikat sesuai bidangnya
2) Adanya kesepakatan bersama tentang jadwal pelayanan
e. Tenaga paruh waktu
1) Memiliki keahlian lainnya sesuai dengan kebutuhan (dokter, para medis,
psikolog, pembimbing rohani)
2) Adanya kesepakatan bersama tentang jadwal pelayanan
f. Tenaga relawan
1) Adanya kesepakatan tentang waktu pelayanan
2) Penempatan sesuai minat dan kebutuhan pelayanan
2. Indikator Proses
Indikator Proses menunjukkan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang
diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan program Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial. Di Dalam Standar Pelayanan Minimal juga sudah ditetapkan prosedur atau
tahap-tahap pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi :
a. Pendekatan Awal dan Penerimaan Klien
1) Kegiatan yang dilakukan
18
a) Orientasi dan Konsultasi kepada Lembaga terkait dan Lintas Sektor untuk
memperoleh dukungan
b) Identifikasi calon klien
c) Motivasi calon klien
d) Seleksi calon klien
e) Kesepakatan pelayanan dengan klien (kontrak pelayanan)
2) Kualifikasi petugas pelaksana
a) Pekerja sosial (Pemerintah maupun swasta)
b) Relawan sosial yang terlatih
3) Frekuensi dan jangka waktu pelaksanaan
Lamanya 1-2 minggu
4) Administrasi dan materi pendukung
a) Formulir pendaftaran
b) Buku registrasi
c) Formulir identifikasi
d) Formulir perjanjian (kontrak pelayanan)
e) Laporan kunjungan
b. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (assessment)
1) Kegiatan
a) Menggali masalah, potensi dan sumber yang dapat diakses
b) Menyusun rencana pelayanan/intervensi
2) Kualifikasi Petugas Profesional
a) Pekerja Sosial Profesional
b) Relawan sosial di bawah supervisi pekerja sosial
3) Frekuensi dan jangka waktu
a) 2 kali melaksanakan assessment terhadap klien
b) 2 kali melakukan assessment terhadap lingkungan klien
c) 1-3 minggu
4) Administrasi dan materi pendukung
19
a) Instrument studi kasus
b) Laporan studi kasus
c) Pembahasan kasus (case conference)
c. Bimbingan sosial, fisik, mental dan ketrampilan
1) Kegiatan
a) Bimbingan sosial (individu, kelompok, masyarakat)
b) Bimbingan fisik (kesehatan, gizi, olah raga, kebersihan lingkungan)
c) Bimbingan mental (spiritual/budipekerti, kepribadian)
d) Bimbingan ketrampilan kerja
e) Bimbingan pendidikan (formal dan non formal)
2) Jenis petugas
a) Pekerjasosial professional
b) Tenagamedis/paramedic
c) Rohaniawan
d) Psikolog
e) Instruktur ketrampilan
3) Frekuensi dan jangka waktu
a) Bimbingan perorangan 4 kali pertemuan/bulan
b) Bimbingan kelompok 2 kali pertemuan/bulan
4) Administrasi dan materi pendukung
a) Laporan proses dan perkembangan
b) Silabus bimbingan (materi pendukung)
d. Resosialisasi
1) Kegiatan
a) Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat
b) Magang di tempat kerja sesuai ketrampilannya
c) Dititipkan di dunia usaha
2) Kualifika sipetugas
20
a) Pekerja sosial profesional
b) Relawan sosial terlatih
3) Frekuensi dan jangka waktu
1-3 bulan
4) Administrasi dan materi pendukung
Laporan proses penanganan dan perkembangan
e. Penyaluran
1) Kegiatan
a) Penyaluran kelapangan kerja
b) Bantuan stimulant usaha ekonomi sproduktif (UEP)
c) Pengembalian kekeluarga
d) Rujuk denga nsuami/dinikahkan
2) Kualifikasi petugas
a) Pekerjasosial professional
b) Relawan sosial terlatih
3) Frekuensidanjangkawaktu
Segera setelah resosialisasi
4) Administrasi dan materi pendukung
Formulir penyaluran
f. BimbinganLanjut
1) Kegiatan
a) Memantau dan memotivasi perkembangan eks klien
b) Supervise
2) Kualifikasi petugas
a) Pekerjasosial professional
b) Pekerja sosial terlatih
c) Disiplin lain dari instansi terkait
21
3) Frekuensi dan jangka waktu
a) Frekuensi kontak 2 bulan sekali
b) Jangka waktu 6 bulan
4) Administrasi dan materi pendukung
a) Formulir bimbingan lanjut
b) Laporan bimbingan lanjut
g. Evaluasi
1) Kegiatan
a) Evaluasi pada setiap tahapan proses
b) Evaluasi akhir
2) Kualifikasi petugas
a) Pekerja sosial professional
b) Relawan sosial dengan supervise pekerja sosial
3) Frekuensi dan jangka waktu
4 kali dalam 1 tahun
4) Administrasi dan materi pendukung
a) Formulir evaluasi
b) Laporan akhir
h. Pengakhiran (Terminasi)
1) Kegiatan
a) Pengakhiran kegiatan pelayanan
b) Pendokumentasian/pengarsipan file klien
2) Kualifikasipetugas
Penanggung jawab kegiatan
3) Frekuensi dan jangka waktu
1 kali
4) Administrasi dan materi pendukung
a) Formulir pengakhiran pelayanan
22
b) Surat pemberitahuan pengakhiran pelayanan
3.Indikator Output
Indikator output atau keluaran menunjukkan sejauhmana program pelayanan
dan rehabilitasi sosial dapat menjangkau kelompok sasaran yang dalam hal ini
adalah wanita rawan sosial psikologis dan tuna susila. Indikator output
diformulasikan dengan beberapa komponen yang meliputi jumlah (kuantitas) warga
binaan sosial yang dapat dijangkau dan kualitas atau mutu pelayanan yang dapat
diberikan. Dengan dua kriteria itu, indikator output ditetapkan sebagai berikut :
a. Jumlah warga binaan sosial yang terjangkau program pelayanan dan rehabilitasi
sosial.
b. Jumlah warga binaan sosial yang telah lulus dalam bimbingan mental sosial.
c. Jumlah klien warga binaan sosial yang lulus dalam uji kompetensi ketrampilan
kerja
d. Jumlah klien warga binaan sosial yang mengikuti praktek belajar kerja
e. Jumlah kelompok usaha bersama yang dikelola oleh warga binaan sosial
4. Indikator Manfaat
Indikator manfaat menunjuk pada sejauhmana keluaran dapat berpengaruh
positif atau berfungsi bagi warga binaan sosial, keluarga maupun lingkungan sosial.
Di dalam Peraturan Menteri Sosial, indikator manfaat dilihat dari apakah program
dapat mengubah dan meningkatkan keberfungsian sosial. Keberfungsian sosial
merupakan dalam memenuhi kebutuhan dasar, mengatasi masalah, dan
menampilkan peran sesuai dengan statusnya. Berdasarkan aturan tersebut maka
indikator manfaat dalam program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi warga
binaan sosial dirumuskan sebagai berikut :
a. mempunyai kepercayaan diri
23
b. mampu berkomunikasi yang efektif
c. mampu menghadapi situasi kritis
d. mampu menjalin relasi sosial yang baik dengan lingkungan sosialnya.
e. mampu melaksanakan peranan sosialnya
f. mempunyai ketrampilan kerja dan memudahkan dalam mencari pekerjaan yang
layak atau memungkinkan untuk mengelola usaha mandiri.
Sedangkan indikator manfaat bagi keluarga warga binaan sosial adalah :
a. Mempunyai relasi yang setara di dalam keluarga
b. Terciptanya keadilan dalam pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab dalam
keluarga.
c. Mampu memberikan perlindungan bagi anggota keluarga
d. Mampu menghadapi situasi krisis
e. Mempunyai akses terhadap sumber-sumber pelayanan sosial
f. Mampu berkomunikasi dan menjalin relasi dengan lingkungan sosialnya
5. Indikator Dampak
Indikator dampak Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial diukur dari
peningkatan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial warga binaan sosial
PSKW. Peningkatan kualitas hidup dilihat dari beberapa kondisi, yaitu :
a. Terpenuhi kebutuhan dasar b. Meningkatnya kualitas kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi.c. Mempunyai konsep diri yang positip dan pertumbuhan pribadi yang optimald. Terwujudnya ketenangan, kenyamanan dan keberdayaan psikologis.e. Memiliki waktu dan akses yang terbuka untuk pengembangan pengetahuan dan
ketrampilan.f. Meningkatnya kemampuan dan keberanian dalam membuat keputusan secara
independen.g. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial masyarakat bersama dengan warga
lainnya.h. Mempunyai sumber mata pencaharian yang dapat diandalkan dan sudah
meninggalkan pekerjaannya sebagai WTS.
24
i. Mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan kepemilikan terhadap asset-asset produktif.
j. Terlibat dalam pengambilan keputussan di ranah publik.
E. HASIL EVALUASI PROGRAM
1. Indikator Proses (Assessment)
SPM bidang rehabilitasi sosial wanita tuna susila menetapkan bahwa
bimbingan sosial meliputi bimbingan individu, kelompok, dan masyarakat. Namun
demikian PSKW belum merumuskan dengan jelas materi yang akan disampaikan
dalam bimbingan sosial. Salah satu materi yang dikategorikan dalam bimbingan
sosial adalah bimbingan kedisiplinan dan kesadaran hukum. Materi yang disusun
mengarah pada pemahaman mengenai beberapa peraturan perundangan yangg
relevan dengan kehidupan perempuan, seperti : UU PKDRT, UU Perlindungan
Anak. Akan tetapi UU perkawinan belum disampaikan, begitu pula dengan
perundangan lainnya yang penting bagi perempuan. Di dalam bimbingan
kedisplinan dan kesadaran hukum juga terdapat bahasan mengenai gender.
Sebenarnya tema ini sangat penting dalam bimbingan sosial, namun tidak sesuai
jika ditempatkan dalam materi mengenai kedisiplinan dan kesadaran hukum. Di
dalam kegiatan bimbingan kedisiplinan lagi-lagi juga diisi dengan kegiatan baris
berbaris yang tidak jelas relevansinya dengan tujuan bimbingan.
Bimbingan ketrampilan kerja dilaksanakan dengan 3 jenis ketrampilan, yaitu
menjahit, olahan pangan dan tata rias. Sejak PSKW berdiri hingga sekarang,
pelatihan difokuskan pada 3 jenis ketrampilan tersebut yang menjadi andalan.
Belum ada pengembangan jenis ketrampilan lain sesuai dengan dinamika
perkembangan potensi pasar yang prospektif. Pada saat awal dimulainya program
rehabilitasi wanita tuna susila, ketiga jenis ketrampilan tersebut dipilih karena
dianggap lebih sesuai dengan perempuan. Ini menunjukkan adanya bias gender
25
karena mengamini gender stereotype dan memasukkannya dalam praktek
implementasi kebijakan dan program.
PSKW juga belum menyelenggarakan bimbingan ketrampilan secara
berjenjang, mulai dari tingkat dasar, menengah hingga mahir. PSKW selalu
mengambil posisi pada pelatihan tingkat dasar padahal pasar menuntut kompetensi
pada jenjang mahir. Warga binaan yang menerima manfaat dari bimbingan
ketrampilan juga sangat menginginkan pelatihan lanjutan.
Evaluasi atas perkembangan yang telah dicapai dilakukan oleh masing-masing
instruktur ketrampilan. Sedangkan evaluasi terhadap perkembangan bimbingan
mental sosial belum dilakukan secara terstruktur, karena belum dirumuskan
instrumen evaluasi yang baku dan standar. Belum semua pekerja sosial
mendokumentasikan secara tertulis evaluasi berkala atas perkembangan psiko
sosial klien.
Pada prinsipnya evaluasi diikuti dengan kegiatan pembahasan kasus, untuk
memecahkan permasalahan yang telah diiidentifikasi. Namun pembahasan kasus
hanya diarahkan pada saat akan menetapkan jurusan ketrampilan dan ketika
menjelang PBK. Akibatnya permasalahan psiko sosial sering tidak dikenali dan
dipecahkan dengan melibatkan para profesional.
Tahap selanjutnya adalah Resosialisasi, yang ditujukan untuk mengembalikan
klien pada kehidupan keluarga dan masyarakat. Terdapat beberapa kegiatan yang
dilaksanakan dalam tahap resosialisasi, yaitu :
a. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat
b. Magang di tempat kerja sesuai ketrampilannya
c. Dititipkan di dunia usaha
d. Sertifikasi
Kegiatan bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat dilaksanakan
melalui home visit dengan keluarga, melakukan bimbingan dengan orang tua dan
26
memberi motivasi agar para orang tua dan keluarga agar memberi dukungan
kepada anak atau keluarganya yang segera akan selesai mengikuti program
rehabilitasi sosial. Bimbingan ini seharusnya juga dilaksanakan terhadap
masyarakat sekitarnya. Namun, Para pekerja sosial dan petugas PSKW baru
menjangkau aparat desa atau kepala dusun setempat. Bimbingan sosial kesiapan
masyarakat dimaksudkan untuk membangun konteks masyarakat yang tidak
diskriminatif terhadap eks warga binaan PSKW. Masyarakat diharapkan menerima
penuh kehadiran mereka menyatu kembali dalam kehidupan sosial yang wajar.
Bimbingan ketrampilan di PSKW dilengkapi dengan kegiatan Praktek Belajar
Kerja (PBK) atau magang. Kegiatan ini dilaksanakan selama 20 hari di sejumlah
pengusaha Jahit, olahan pangan dan tata rias. Namun kegiatan ini lebih banyak
bermitra dengan pengusaha UKM dan belum menjangkau perusahaan-perusahaan
besar yang bergerak pada bidang usaha tersebut. Selain itu waktu PBK juga sangat
pendek dan dirasakan belum mampu mengasah kemampuan warga binaan. Salah
satu terobosan yang sudah dikembangkan PSKW adalah uji kompetensi. Setelah
selesai mengikuti PBK warga binaan sosial yang memenuhi syarat akan diuji
kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat. Lembaga Pendidikan Kejuruan
(LPK) bertindak sebagai pelaksana dan berwenang menerbitkan sertifikat. Setiap
tahun program sertifikasi baru diikuti kurang lebih 20 orang warga binaan, padahal
uji kompetensi ini penting untuk melegitimasi kemampuan yang telah mereka
kuasai.
Di dalam SPM ditetapkan bahwa kegiatan–kegiatan dalam tahap Bimbingan
Kesiapan dan peran serta masyarakat dilaksanakan oleh pekerja sosial. Kegiatan
ini berlangsung 1-3 bulan. PSKW telah memenuhi standar ini, meskipun masih
lemah dalam aspek Administrasi dan materi pendukung. Laporan proses
penanganan dan perkembangan klien maupun situasi keluarga dan masyarakat
calon penerima belum disusun secara lengkap. Pekerja sosial maupun staf PSKW
telah melakukan monitoring, home visit, namun tidak diikuti dengan pembuatan
27
laporan secara tertulis. Akibatnya catatan perkembangan klien tidak lengkap,
padahal ini sangat penting ketika nantinya akan melakukan terminasi.
Tahap selanjutnya dalam proses rehabilitasi adalah Penyaluran warga binaan
yang menurut SPM dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Penyaluran ke lapangan kerja
b. Bantuan stimulan usaha ekonomis produktif (UEP)
c. Pengembalian ke keluarga
d. Rujuk dengan suami/dinikahkan
PSKW telah melaksanakan kegiatan penyaluran warga binaan, sebagian
menjadi karyawan atau bekerja pada usaha orang lain dan sebagiannya lagi
membangun usaha mandiri. Seluruh warga binaan yang telah selesai mengikuti
program rehabilitasi sosial diberikan bantuan stimulan usaha produktif dan
dikembalikan kepada keluarganya. Sedangkan penyaluran dengan pernikahan atau
rujuk dengan suami menjadi kasus yang jarang ditemui. Namun menurut
penjelasan pekerja sosial, ada juga klien dari Trauma Center karena kasus KDRT
yang akhirnya rujuk dengan suami. Pada awal-awal berdirinya PSKW juga ada
beberapa klien yang dipertemukan jodohnya oleh Panti dan dinikahkan.
Sebenarnya standar terakhir yang berada dalam SPM ini mengandung bias gender
pula karena rujuk atau menikah diidealisasikan sebagai sebuah bentuk solusi,
padahal belum tentu itu menjadi alternatif terbaik bagi perempuan.
Bimbingan Lanjut merupakan kegiatan yang dilakukan setelah klien kembali
ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. bimbingan lanjut dilakukan dengan
memantau dan memotivasi perkembangan eks klien serta melakukan supervisi.
PSKW setiap tahun telah mengalokasikan anggaran dan menugaskan Pekerja
sosial dan staf nya untuk melakukan bimbingan lanjut. Namun demikian volume
kegiatan ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah eks warga binaan.
Akibatnya bimbingan lanjut hanya menjangkau sebagian kecil dari eks warga
binaan. Bimbingan lanjut harusnya dilakukan setiap 2 bulan sekali, namun hal ini
28
sulit dicapai karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Supervisi
harusnya diberikan oleh supervisor dari intansi terkait dan profesi yang lain.
Supervisi lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan usaha, sehingga di
dalam supervisi ada transfer pengetahuan teknis mengani bagaimana
mengembangkan usaha jahit, olahan pangan dan tata rias. Supervisi inilah yang
belum dilaksanakan oleh PSKW Sidoarum, padahal ini menjadi kebutuhan nyata
warga binaan yang tengah membangun usaha mandiri, untuk mencari solusi atas
beberapa masalah yang dihadapi usaha ekonominya. Kegiatan bimbingan lanjut
juga belum dibarengi dengan penyediaan administrasi dan materi pendukung yang
memadai. Meskipun formulir bimbingan lanjut sudah tersedia namun Laporan
bimbingan lanjut belum disusun oleh semua pekerja sosial atau staf PSKW yang
melaksanakan kegiatan tersebut.
Tahap selanjutnya dalam proses rehabilitasi sosial adalah Evaluasi. Standar
Pelayanan Minimal mensyaratkan evaluasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu
evaluasi pada setiap tahapan proses dan evaluasi akhir dengan Frekuensi dan
jangka waktu 4 kali dalam 1 tahun. Sampai saat ini PSKW menyelenggarakan
evaluasi menjelang selesainya bimbingan, sedangkan evaluasi untuk setiap
tahapan belum dilakukan. Hal ini juga disebabkan kurang didukung adanya
administrasi dan materi pendukung seperti formulir evaluasi dan instrumen
evaluasi lainnya. Pekerja sosial juga belum semuanya menyusun laporan akhir atas
kegiatan evaluasi yang telah dilakukannya. Tahap terakhir dalam proses pelayanan
dan rehabilitasi sosial adalah terminasi atau pengakhiran pelayanan. PSKW telah
melaksanakan kegiatan terminasi, dimana masing-masing pekerja sosial sudah
mempersiapkan formulir pengembalian klien atau surat pemberitahuan
pengakhiran pelayanan.
Dari serangkaian kegiatan yang termasuk dalam kategori indikator proses,
PSKW telah melaksanakannya setiap tahapan, meskipun dalam beberapa
komponen belum dilakukan secara maksimal. Pada tahap pendekatan awal,
29
sosialisasi kurang memberi perhatian pada wilayah yang menjadi lokasi praktek
komodifikasi seksual yang akibatnya semakin menjauhkan PSKW dari mandat
utamanya yang sudah ditetapkan melalui Peraturabn Gubernur. Asesmen juga baru
dilakukan dalam bentuk asesmen awal untuk kepentingan penempatan belum
asesmen yang menggali permasalahan dan potensi atau kekuatan klien. Pada
kegiatan bimbingan mental sosial juga sangat kurang dengan pendekatan
individual karena lebih sering menggunakan pendekatan klasikal berupa
pembelajaran di dalam kelas. Sedangkan dalam bimbingan ketrampilan masih
tersandera oleh 3 jenis ketrampilan dan pada level dasar/pemula. Kegiatan PBK
juga masih dilaksanakan terlalu singkat (20) hari dan belum memberi manfaat
maksimal bagi warga binaan. Salah satu pengembangan kegiatan yang sudah baik
adalah uji kompetensi dalam rangka sertifikasi. Supervisi dan pendampingan
teknis bagi eks warga binaan yang mengelola usaha mandiri yang menjadi
kebutuhan penting juga belum diakomodasi dalam skema bimbingan lanjut. Jadi
meskipun secara prosedural proses rehabilitasi di PSKW telah sesuai dengan
ketentuan dalam SPM, namun itulah beberapa catatan penting dari evaluasi
terhadap seluruh rangkaian kegiatan yang masih harus mendapat perhatian dari
pimpinan dan para pelaksana program.
2. Indikator Output
Indikator output atau keluaran menunjukkan sejauh mana program
pelayanan dan rehabilitasi sosial dapat menjangkau kelompok sasaran yang dalam
hal ini adalah wanita rawan sosial psikologis dan tuna susila. Seperti yang telah
disampaikan pada bagian terdahulu, PSKW selama ini lebih banyak menjangkau
wanita rawan sosial psikologis dari pada tuna susila baik yang masih aktif atau eks
wanita tuna susila. Tidak mudah menjangkau wanita tuna susila dan
memotivasinya untuk mengikuti program rehabilitasi yang syaratnya adalah
tinggal di dalam panti. Sementara hasil razia aparat keamanan tidak lagi dirujuk ke
PSKW tetapi diselesaikan dengan TIPIRING. Inilah agenda mendasar yang harus
30
segera diselesaikan. Jika PSKW ingin kembali ada mandate utamanya maka
sasaran jangkauan tetap menyertakan tuna susila. Karena mandate inilah yang
membedakannya dengan panti yang lain dan menjadi alasan kenapa harus ada
PSKW. Apabila persoalannya adalah pada model rehabilitasi yang berbasis panti
yang banyak ditolak oleh para WTS maka PSKW perlu mengembangkan
pendekatan lain, misalnya melalui pendekatan luar panti. dan jika pendekatan ini-
pun akan sama dengan program yang dilaksanakan oleh Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, maka Kepala Dinas Sosial membuat kebijakan yang mengatur koodinasi
dan sinergi antara kedua unit kerja tersebut.
Jumlah warga binaan sosial yang terjangkau program pelayanan dan
rehabilitasi sosial 50 orang setiap tahun. Namun PSKW menerapkan sistem
terbuka, sehingga klien tidak harus selama 1 tahun mengikuti rehabilitasi di dalam
panti. Apabila sudah dinilai mampu dan siap untuk mandiri maka setelah
menjalani uji kompetensi sudah dapat kembali kepada keluarganya. Jumlah warga
binaan sosial yang telah lulus dalam bimbingan mental sosial 50 orang setiap
tahun. Jumlah klien warga binaan sosial yang mengikuti praktek belajar kerja atau
magang di atas 75 %. Namun Jumlah klien warga binaan sosial yang lulus dalam
uji kompetensi ketrampilan kerja masih di bawah 50 %. Dahulu PSKW pernah
mengembangkan usaha mandiri secara berkelompok, namun pada saat ini basis
usaha ekonomi dilaksanakan secara perorangan.
3. Indikator Manfaat
Indikator manfaat menunjuk pada sejauhmana keluaran dapat berpengaruh
positif atau berfungsi bagi warga binaan sosial, keluarga maupun lingkungan
sosial. Di dalam SPM juga sudah dirumuskan indikator manfaat dari program
pelayanan dan rehabilitasi sosial, yaitu warga binaan sosial ;
a. mempunyai kepercayaan diri
b. mampu berkomunikasi efektif
31
c. mampu menghadapi situasi kritis
d. mampu menjalin relasi sosial yang baik dengan lingkungan sosialnya.
e. mampu melaksanakan peranan sosialnya
f. mempunyai ketrampilan kerja dan memudahkan dalam mencari pekerjaan yang
layak atau memungkinkan untuk mengelola usaha mandiri.
Dalam melakukan evaluasi terhadap kemanfaatan program pelayanan dan
rehabilitasi sosial, Tim Kajian telah melakukan analisis terhadap 102 hasil
wawancara dengan warga binaan serta melalui dokumentasi proses FGD maupun
wawancara mendalam. Ada dua bagian analisis, pertama manfaat
bimbingan/pelatihan ketrampilan dalam meningkatkan kemandirian ekonomi eks
warga binaan, dan kedua manfaatnya dalam membangun keberdayaan psiko
sosialnya.
4. Kemandirian Ekonomi Eks Warga Binaan
Salah satu kegiatan dari Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di
PSKW Sidoarum adalah Pelatihan Ketrampilan. Pelatihan ketrampilan
dimaksudkan untuk memberikan bekal kompetensi yang diharapkan dapat
memudahkan warga binaan untuk mendapatkan pekerjaan. Ada 3 jenis
ketrampilan yang diikuti oleh perempuan warga binaan sosial, yaitu Menjahit,
Olahan Pangan dan Tata Rias. Warga binaan sosial dapat mengikuti salah satu
jenis ketrampilan berdasarkan bakat dan minat-nya yang diketahui melalui
asesmen vokasional.
Bagian ini akan memaparkan hasil kajian tentang dampak dan manfaat
program pelatihan ketrampilan dan bantuan usaha ekonomi bagi perempuan warga
binaan PSKW dalam memperoleh pekerjaan dan mengembangkan usaha. Pada
bagian awal akan menggambarkan sejauhmana manfaat kegiatan pelatihan
ketrampilan sebagai skill yang dapat menguatkan kompetensi untuk masuk dan
bersaing di pasar kerja. Selain itu juga menganalisis daya saing warga binaan
PSKW dengan melihat persentase yang memperoleh pekerjaan berdasarkan jenis
32
ketrampilan yang diikuti. Tingkat pendapatan yang diperoleh juga
menggambarkan kondisi kemampuan ekonomi mereka dan mencerminkan situasi
pekerjaan yang diperoleh pada saat ini. Bagian selanjutnya akan memaparkan
perkembangan usaha mandiri yang dikelola oleh eks warga binaan. Deskripsi
meliputi jenis usaha mandiri yang dikelola, jumlah pendapatan yang diperoleh
serta dinamika dan hambatan dalam mengembangkan usaha.
Dari penjelasan mengenai perkembangan kondisi ekonomi, pembahasan
akan diteruskan dengan menganalisis tingkat kemandirian eks warga binaan.
Bahasan ini akan menjawab pertanyaan apakah pendapatan yang diterima cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarganya bagi
mereka yang sudah mempunyai keluarga, serta strategi apa yang digunakan untuk
tetap menjaga kelangsungan hidupnya.
F. KESIMPULAN & REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan Panti Sosial
Karya Wanita belum cukup mampu mewujudkan keberdayaan psiko sosial bagi
perempuan penerima manfaat. Motivasi diri penerima manfat masih rendah.
Rendahnya motivasi ini disebabkan karena kuatnya pengaruh dari pola
pengasuhan orangtua, jenjang pendidikan yang kurang memadai sehingga
mempengaruhi pola pikir mereka, Usia klien dalam kategori remaja awal, daya
juang rendah dan kurangnya pemantauan dari para pembimbing, instruktur, dan
pendamping.
Penerima manfaat juga belum memiliki persepsi dan tingkat kepercayaan
diri yang tinggi. Masih banyak di antara mereka yang bersikap pasif dan belum
mampu mengambil keputusan termasuk memperhitungkan resiko dalam
mengelola usaha ekonomi mereka. Masih banyak pula penerima manfaat yang
33
belum mengenali potensi diri dan kekuatan-kekuatan yang mereka miliki.
Kemampuan dalam berkomunikasi juga belum cukup baik. Baik dalam bahasa
verbal maupun non verbal, banyak klien masih merasa malu dan canggung ketika
berkomunikasi dengan orang lain, baik komunikasi personal maupun komunikasi
publik.
Banyak penerima manfaat juga masih belum mampu hidup secara mandiri.
bahkan masih banyak yang hidupnya tergantung dengan orang tua. Bagi klien
yang telah berkeluarga, juga masih berada pada posisi subordinat terhadap
suaminya. Banyak penerima manfaat yang terpaksa harus berhenti bekerja atau
mengelola usaha karena harus menjalankan tugas-tugas domestiknya.
Kemandirian dalam berusaha tidak serta merta diikuti dengan kemandirian dalam
menjalani hidup. Berbagai keputusan penting masih sangat ditentukan oleh
orang-orang terdekat di sekitar mereka. Pengambilan keputusan dalam mengelola
usaha juga banyak ditentukan oleh orang tua atau pasangan hidupnya.
Kemampuan dalam menganalisis masalah, membuat alternatif pemecahan
masalah dan mengambil keputusan masih belum dimiliki klien.
Penerima manfaat juga belum cukup mempunyai coping mechanism yang
memadai. Asesment yang dilakukan Tim PSKW belum mengidentifikasi masalah
psiko sosial yang dihadapi klien sehingga banyak problem yang belum
diselesaikan. Selama proses bimbingan dan pendampingan penerima manfaat
juga juga belum banyak dilatih bagaiamana menghandle problem psiko sosial.
Konsep diri yang belum terbangun dengan baik, rendahnya motivasi dan
kepercayaan diri, keterbatasan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan
mekanisme koping merupakan aspek yang saling berkait yang menyebabkan
penerima manaat belum sepenuhnya dapat hidup mandiri.
Posisi sosial para penerima manfaat dalam masyarakat juga belum nampak
terjadi perubahan. Mereka masih belum mampu menujukkan peran yang nyata
34
dan dominan dalam masyarakat. klien yang bekerja atau mengelola usaha jarang
berkomunikasi, berinteraksi dan berpartisipasi dalam aktivitas sosial masyarakat.
apalagi klien yang sudah berkeluarga, sangat jarang yang melibatkan diri dalam
kegiatan masyarakat. Seluruh perhatiannya terfokus untuk menyelesaikan tugas-
tugas domestiknya.
Salah satu temuan positip dari kajian ini adalah pada aspek bimbingan atau
pelatihan ketrampilan. Pelatihan ketrampilan cukup mampu menjadi bekal bagi
penerima manfaat untuk mendapatkan penghasilan. Sebagian penerima manfaat
memperoleh pekerjaan, baik bekerja pada orang lain maupun mengelola usaha
mandiri.
Temuan pada aspek ekonomi ini juga menunjukkan bahwa mengelola
usaha mandiri lebih prospektif dibandingkan dengan dengan bekerja pada orang
lain. Pada tahap memulai usaha memang banyak ditemukan kesulitan dan
hambatan. Namun secara bertahap penerima manfaat dapat mengembangkan
usahanya. Pendapatan yang diterima dari mengelola usaha mandiri lebih besar
dari pada bekerja pada orang lain. Hal ini disebabkan karena penerima manfaat
yang menjadi karyawan bekerja pada perusahaan kecil sebagai pekerja upahan,
jarang yang menjadi karyawan tetap. Sedangkan mereka yang mengelola usaha
mandiri dapat mengembangkan beberapa jenis usaha sehingga pendapatan juga
lebih tinggi.
Di antara jenis usaha olahan pangan, menjahit dan salon, yang paling
prospektif adalah bidang usaha salon. Usaha ini bertumpu pada seberapa baik
kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan, sedangkan bahan dan alat
dapat digunakan secara lebih efisien. Ini berbeda dengan usaha olahan pangan
yang dibatasi oleh waktu kadaluwarsa, apalagi usaha makanan basah. Usaha
penjahitan menghadapi kompetisi yang sangat keras dari usaha pakaian jadi.
Pakaian jadi dapat dibeli dengan harga yang sangat murah, dan konsumen tidak
perlu harus menunggu untuk menggenakan pakaian yang diinginkan. Oleh
35
karenanya usaha penjahitan harus benar-benar mampu membidik segmen
pelanggan dan menentukan spesifikasi jenis jasa penjahitan.
Temuan lain dari kajian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kemandirian
ekonomi penerima manfaat yang mengelola usaha mandiri juga lebih besar
dibanding dengan mereka yang bekerja pada orang lain. Mayoritas pengelola
usaha mandiri menyatakan pendapatan yang diterima dapat digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan mayoritas yang bekerja pada
orang lain menyatakan masih didukung oleh orang tua dan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hambatan dan kesulitan dalam mengelola usaha mandiri yang
diidentifikasi adalah lokasi tempat usaha yang tidak strategis. Mayoritas
penerima manfaat menggunakan rumah orang tua sebagai tempat usaha. Ini
sangat tidak mendukung pemasaran hasil produksi mereka. Sejumlah penerima
manfaat yang mengelola usaha tata rias atau salon menyewa tempat usaha pada
lokasi yang cukup strategis, dan ini terbukti sangat mendukung keberhasilan
usaha mereka. Namun bagi penerima manfaat yang menekuni usaha penjahitan
dan olahan pangan di rumah, sangat merasa kesulitan untuk mencari pasar,
apalagi mengembangkan usaha.
Hambatan lain yang dihadapi adalah peralatan yang belum lengkap dan
ketrampilan yang belum memadai. Bantuan peralatan dan bahan yang diberikan
PSKW adalah sarana dasar yang bisa digunakan untuk memulai usaha. Namun
dalam perkembangannya masih dibutuhkan alat-alat khusus yang mampu
mendukung perkembangan usaha. Apalagi perubahan, mode selera konsumen
juga sangat pesat sehingga ini perlu disesuaikan dengan penyediaan alat-alat
yang dibutuhkan. Para pengelola usaha juga seringkali belum cukup peraya diri
untuk menerima order yang membutuhkan ketrampilan khusus. Hal ini
disebabkan karena mereka merasa ketrampilan yang dikusasi baru tingkat dasar
36
sehingga merasa kurang mampu untuk mengerjakan order yang lebih rumit, baik
itu untuk produk olahan pangan, model jahitan maupun model tata rias/rambut.
Hambatan lain dalam pengelolaan usaha yang diidentifikasi adalah tugas-
tugas domestik dalam keluarga. Banyak penerima manfaat yang menghentikan
usahanya karena harus mengasuh dan merawat anak. Hal ini menegaskan masih
adanya kesenjangan gender dalam keluarga yang menghambat pencapaian peran
produktif perempuan.
2. REKOMENDASI
Dari pemaparan hasil evaluasi diatas baik terkait aspek administrasi
ataupun dampak ekonomis dan psiko sosial yang dialami oleh penerima bantuan,
tim kajian ini mengajukan beberapa rekomendasi. Rekomendasi ini berupa
langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh PSKW untuk lebih menjamin efektifitas
layanan atau lebih tepatnya meningkatkan dampak positif serta tingkat keberhasilan
program-program PSKW dalam pemberdayaan dan keberfungsian sosial klien.
a. Assesment
Data di lapangan menunjukkan bahwa informasi terkait latar belakang
klien tidak cukup tersedia. Assement terhadap klien misalnya, hanya dilakukan
secara sangat singkat dalam formulir penerimaan klien di awal kegiatan.
Laporan lebih detail masih menjadi “koleksi” pribadi pekerja sosial yang
menangani klien dan tidak selalu di dokumentasikan dalam file klien. Padahal
assement dan evaluasi perkembangan klien seharusnya menjadi aktivitas
berkelanjutan yang dilakukan pada setiap tahapan program sehingga bisa
diketahui perkembangan yang dicapai klien dan juga bisa di identifikasi
kebutuhan atau agenda yang perlu disusun.
37
Secara lebih spesifik assessment yang ada juga masih sangat terfokus
pada individu klien dan belum menyentuh lingkungan sosial klien yang lebih
luas: misalnya keluarga dan lingkungan terdekat. Hal ini berimplikasi pada
tidak terdeteksinya permasalahan-permasalahan yang penting yang dimiliki
klien. Beberapa kasus menunjukan bahwa problem sosial seperti relasi dengan
keluarga, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain yang dimiliki sebelum
mengikuti program tidak teridentifikasi pada asssement dan karenanya tidak
ada langkah intervensi yang dilakukan. Ini berakibat kembalinya klien kembali
ke rumah paska program dalam lingkungan yang tidak kondusif untuk
menindaklanjuti aktivitas pemberdayaan yang harus dilakukan.
Hal ini menunjukan bahwa proses assessment perlu dilakukan secara
lebih serius dan berkelanjutan serta menggunakan prespektif HBSE (Human
behavior and Social Environment) yang menjadi core intervensi peksos.
Dengan assemsent yang mendalam dan mencakup lingkungan yang lebih luas
maka diharapkan informasi yang didapatkan tentang klien lebih lengkap dan
terbangunnya rencana intervensi yang lebih efektif dan menjamin keberhasilan.
Case conference dijadikan sebagai salah satu standar operasional dan
prosedur pelayanan, sehingga tidak seorang pun klien yang tidak diketahui
masalahnya dan dipecahkan secara komprehensif dengan melibatkan
pandangan dari multi didiplin dan multiprofesi.
b. Perluasan Jaringan dan Sistem Rujukan
Penekanan yang terlampau kuat pada pendekatan individu –sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas-- juga terefleksikan pada mekanisme yang
dibangun PSKW dalam program ketrampilan dan pemberdayaan ekonomi.
PSKW masih terfokus pada pemberian ketrampilan kepada klien, tanpa
kemudian dibarengi dengan dukungan dan layanan lanjutan yang signifikan
bagi pengembangan usaha mandiri atau pengembangan karir yang dilakukan
klien. Hampir semua klien misalnya mengakui bahwa hambatan bagi
38
pengembangan usaha yang mereka adalah terbatasnya modal serta jaringan
pemasaran. Klien belum memiliki keberanian dan kemampuan untuk
meningkatkan modal di luar keluarga dan teman. Mereka juga belum memiliki
kemampuan untuk mengakses skope pemasaran yang luas, dan hanya terbatas
pada lingkup yang sangat kecil seperti tetangga dan teman dan level usaha yang
sangat rendah. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi, yang juga berimbas
kepada pemberdayaan psikososial, akan lebih efektif jika bimbingan lanjutan
(binjut) yang diberikan PSKW bisa membangun jaringan dan membangun
rujukan kepada :
1) Lembaga Finansial/ Penyedia Kredit
PSKW hendaknya bisa membantu klien untuk mengakses modal/
kredit dari lembaga financial : i.e. Bank pemerintah atau swasta, lembaga
pemberi kredit ataupun lembaga financial lainnya. Mengingat kebanyakan
klien tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pinjaman dari bank
( misalnya karena tidak memiliki jaminan), maka jaringan dan kerjasama
PSKW perlu membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga modal
tersebut sehingga akses menjadi lebih mudah.
2) Program-program Sosial dan Pemberdayaan Sosial Ekonomi.
PSKW juga bisa membangun sistem rujukan dengan dinas layanan
sosial lainnya sehingga klien PSKW secara otomatis juga menjadi peserta
program perlindungan dan jaminan sosial lainnya seperti jaminan kesehatan,
kelompok usaha ekonomi, program keluarga harapan , pengentasan
kemiskinan dan lainnya.
Klien juga bisa di rujuk kepada program pemberdayaan yang
ditawarkan lembaga-lembaga non profit seperti program CSR, Dompet
Duafa, Rumah Zakat dan sebagainya.
39
c. Membentuk Asosiai dan Jaringan Alumni
Aspek lain yang bisa dibangun oleh PSKW adalah menfasilitasi para
lulusan program untuk membentuk asosiasi sehingga program bimbingan
lannjut bisa dilakukan dengan lebih terarah dan efektif. Adanya asosiasi
lulusan juga sangat bermanfaat bagi penguatan dukungan psiko sosial serta
pengembangan usaha mandiri.
Asosiasi atau jaringan alumni adalah bentuk pengorganisasian
perempuan. Dari aspek psikososial adanya asosiasi lulusan bisa menjadi
support group (self-help-group) yang sangat bermanfaat. Klien bisa tetap
menjalin bahkan mengembangkan persahabatan dengan sesama lulusan dan
menjadikan sebagai satu resource sosial dan support system yang sangat
penting dalam menghadapi masalah dan. Asosiasi alumni juga sangat potensial
untuk pengembangan jaringan dalam rangka pengembangan usaha di kalangan
mereka. Misalkan saja lulusan yang membangun usaha salon pengantin bisa
bekerja sama dengan mereka yang memiliki usaha penjahit untuk membuat
baju dan seragam pengantin yang bisa disewakan pemilik salon. Jika langkah-
langkah ini bisa dilakukan maka asosiasi alumni akan terbentuk menjadi self-
help group yang sangat penting bagi pemberdayaan sosial meningkatkan
kepercayaan diri dan kemampuan mengatasi masalah, pengembangan jaringan
dan akses terhadap sumberdaya dan modal
Asosiasi alumni tidak perlu dikhawatirkan akan menegaskan kembali
stigma masyarakat terhadap warga binaan PSKW. Justru aosisiasi ini akan
menjadi organisasi yang solid yang nantinya akan mampu melakukan advokasi
dan mempunyai kekuatan untuk mendesakan terjadinya perubahan, khususnya
dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan serta meningkatnya akses
layanan bagi kaum perempuan.
d. Re-Evaluasi Mandat PSKW
40
Perlu adanya perumusan ulang tentang tugas dan mandat pokok PSKW
yang bisa digambarkan pada pertanyaan sederhana namun mendasar: mau di
kemanakan PSKW ke depan? Secara garis besar ada dua hal yang bisa
dilakukan :
1) PSKW harus melakukan pengembangan langkah-langkah penjangkauan
(outreach) untuk menarik tuna susila kembali menjadi target utama
pelayanan. Ini bisa dilakukan misalnya dengan kerjama yang erat dengan
dinas ketertiban / satpol PP.
2) PSKW perlu beralih dari pola dan perspektif pelayanan yang sangat
individual: sangat terfokus pada klien, dengan menyentuk aspek yang lebih
struktural. Ini bisa diwujudkan misalnya dengan membangun jaringan /
networking sekaligus menciptakan sistem rujukan (referral system) dengan
berbagai lembaga layanan ataupun stake holder terkait, misalnya satpol PP,
dinas –dinas terkait pada wilayah propinsi maupun kabupaten kota, bank,
universitas dan sebagainya. Secara lebih mendetail pihak-pihak terkait akan
di jelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, M. (2010). Penelitian Tentang Rehabilitasi Sosial di PSBG. Jakarta: P3KS Press.
41
Departemen Sosial RI, (2007). Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW), Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.
Lambert, M. D. (2001). Clinical Social Work Beyond Generalist Practice with Individuals, Groups and Families. London: Brook/Cole. (E-book diakses pada 4 Januari 2014)
Sheafor, S. (2003). Introduction to Social Work Practice. New York: Mac Millan. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)
Woodside, M. D. (2003). Generalist Case Management; A Method of HumanService Delivery. Pacific Groove CA: Brooks Cole. (E-book diakses pada 6 Januari 2014)
Departemen Sosial RI (2004), Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.
Departemen Sosial RI (2007), Standard Pelayanan Minimal Pelayanan dan rehabilitasi Sosial Tuna Susila.
Kementerian Sosial RI (2010), Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Berbasiskan Masyarakat (RBM).