Top Banner

of 26

Panna Kath A

Oct 07, 2015

Download

Documents

Devi Paramita

buddha teaching
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

PANNAKATHA

PANNAKATHA

HARAPAN OPTIMIS SEEKOR LEBAH

Malam akan berlalu, terangnya pagi akan datang,

Matahari akan terbit, bunga teratai akan tertawa.

Demikian senang lebah di atas kaliks sebuah teratai.

O doom! Doom! Seekor gajah merobek tanaman teratai itu!

Sore itu, matahari dengan perlahan tenggelam di sebelah Barat. Burung-burung tergesa-gesa pergi ke sarangnya sementara binatang malam yang liar mulai berkeliling mencari mangsa. Saat itu seekor lebah, seekor lebah kecil yang sibuk, sedang berdengung ke sana kemari, mencari sedikit madu terakhir untuk memuaskan laparnya. Ketika itu, di sebuah kolam teratai yang penuh dengan teratai menyala, dan dengan sangat gembira lebah itu beristirahat pada kaliks sekuntum bunga teratai kecil yang indah, untuk bersenang-senang pada sesuatu yang tidak begitu berharga, madu yang tersembunyi. Lebah itu tidak merusak keindahan teratai, ia hanya meminum sedikit madu. Namun, apa hendak dikata, dengan tenggelamnya matahari, bunga teratai menutupkan mahkotanya yang seperti sutera itu, dan menjerat pengunjungnya yang kelaparan. Lebah kecil itu bukan tanpa harapan. Di dalam benaknya terlintas pikiran mahluk kecil yang telah biasa terperangkap di dalam penjara teratai yang cantik. Malam akan berlalu, menyerah pada terangnya pagi; matahari akan terbit, dan teratai ini akan mengembang kembali, dan segera saya dapat keluar dari rumah penjara untuk bergabung dengan kelompok saya. Namun, sesuatu yang tak diharapkan telah terjadi. Seekor gajah yang besar, raja hutan itu, datang sesuai jalur jalannya menuju kolam tersebut. Ia minum sampai puas dan memercikkan air yang sejuk tersebut ke atas panggulnya yang padat. Belalainya yang sensitif mencari wewangian teratai yang enak, teratai yang sama dengan tempat lebah yang keliru itu terperangkap! Dengan segera binatang buas yang besar itu merobek tanaman teratai dan berjalan berderak-derak. Daun, bunga dan lebah itu hilang ke dalam air yang penuh lumpur! Dan, lebah kecil itu, cukup bertentangan dengan khayalannya yang optimis, telah menemui ajalnya. Demikianlah kehidupan! Satu saat di sini, kemudian hilang selamanya. Siapa yang dapat mengatakan kepastian bahwa seseorang akan hidup untuk melihat hari esok? Semua berlalu dengan cepat: keindahan bunga dan suara burung dan dengungan lebah itu. Semua pertemuan berakhir dalam perpisahan, sementara semua kehidupan berakhir dalam kematian. Dan kita, di dalam semesta yang misterius ini, hidup, cinta dan tertawa, karena cukup mudah untuk bergembira ketika kehidupan ini mengalir terus seperti sebuah lagu. Namun ketika kesedihan datang, mereka tidak datang sendiri, namun dalam jumlah besar seperti batalion, dan kemudian dunia secara keseluruhan, tampak seperti sebuah gambaran penderitaan. Tapi, seseorang yang memandang kehidupan ini dengan satu pandangan yang objektif, akan melihat segala sesuatu dalam perspektif yang sesungguhnya. Ia yang budaya latihannya menganjurkan untuk tenang dan tidak gentar di bawah semua perubahan dari kehidupan, akan dapat tersenyum ketika segala sesuatu sama sekali berjalan salah/tidak sesuai harapannya. Orang ini tentu adalah seorang yang patut dihargai. Mengendalikan diri dari meminum minuman memabukkan dan penuh kewaspadaan, memantapkan dirinya di dalam kesabaran dan kesucian, orang bijaksana itu melatih batinnya. Dan hanya melalui latihan, batin yang tenang akan direalisasi. Satu pengertian tertentu mengenai bekerjanya kamma (perbuatan) dan bagaimana kamma mendatangkan buah (kamma vipaka) sangat diperlukan oleh seseorang yang secara mati-matian berusaha mengembangkan keseimbangan batin. Dari sudut pandang kamma, seseorang akan dapat memiliki kecenderungan objektif terhadap semua mahluk, bahkan juga terhadap benda-benda mati. Sebab terdekat dari keseimbangan batin adalah pengertian bahwa semua mahluk merupakan hasil dari perbuatannya, kamma. Dunia ini yang di dalamnya kita pakai sebagai tempat tinggal sementara, mirip dengan sebuah teratai besar di mana kita semua, lelaki maupun wanita, mengumpulkan madu dengan perjuangan yang berat. Kita membangun harapan-harapan khayal, dan kita merencanakannya untuk hari esok. Namun satu hari, mungkin secara tiba-tiba, dan tidak terharapkan, datanglah jam-jam tak terelakan ketika kematian, gajah, Maccu Mara, merobek kehidupan kita dan membuat harapan-harapan kita sia-sia.

Wajah kehidupan ini hanya sebuah topeng/kedok yang menyembunyikan kematian semata. Dengarkanlah puisi ini:

Pelajarilah ini, pelajarilah dengan baik, dunia ini adalah sebuah mimpi dan bentuk-bentuknya yang mengambang adalah debu impian-impian semata; Tubuh ini yang kita beri makan dengan wewangian bersifat lebih sementara jika dibandingkan dengan berakhirnya warna sebuah bunga; Semua milik kita merupakan belenggu yang mengikat kita lebih kuat/hebat dibandingkan kemiskinan; Uang, keberuntungan, usia muda dan kekuatan menarik bagi kita; kita mirip kafilah yang tertarik akan gurun yang mematikannya. Sejarah telah lagi-lagi membuktikan, dan akan terus membuktikan bahwa tidak satupun di dunia ini yang kekal. Bangsa-bangsa dan peradaban muncul, tumbuh dan lenyap bagaikan ombak di lautan yang menyerah pada ombak lainnya yang baru, dan demikianlah gulungan waktu merekam pawai yang berlalu, pandangan tak berdasar dan arus yang pudar dari sejarah kemanusiaan.

Oleh karena itu para bijaksana jaman dulu kala menyatakan:

Delapan pegunungan besar dan tujuh samudera,

Matahari, dewa-dewa yang duduk dan seolah menguasai semuanya ini,

Kamu, saya, semesta, pasti akan berlalu/padam.

Waktu, menaklukkan segalanya. Mengapa kita begitu gemar akan permainan semu (Maya) ?

Sumber:

Piyadassi. 1991. The Spectrum of Buddhism. Karunaratne & Sons Ltd, Sri Lanka, 447 p.

IBARAT BURUNG GAGAK

Perumpamaan

Pada suatu masa, di sebuah desa di tepi pantai, terjadi ketidakseimbangan unsur-unsur alam, dan sejumlah besar ternak kerbau mati karena terserang wabah. Karena ketakutan bahwa penyakit itu akan segera menyebar, orang-orang di desa itu membawa bangkai kerbau-kerbau itu dan membuangnya ke laut. Seraya bangkai kerbau itu terhanyut dari pantai, sekawanan burung gagak datang memakannya berhari-hari. Setiap hari, ketika gagak itu telah makan dengan puas (kenyang), mereka terbang kembali untuk melewati malam di pohon-pohon di tepi pantai; dan kemudian mereka akan terbang kembali pagi harinya untuk melanjutkan makan bangkai yang sedang terhanyut ke tengah laut itu. Seraya hari-hari berlalu, dan bangkai-bangkai itu terhanyut lebih jauh dan lebih jauh lagi ke tengah lautan, beberapa gagak, melihat kesulitan dalam perjalanan terbang kembali ke tepi pantai, memutuskan untukmenghabiskan malamnya di atas bangkai yang sedang terhanyut tersebut; sedangkan gagak-gagak lainnya dari kawanan tersebut tidak memperdulikan kesulitan tersebut, dan terus-menerus terbang kembali ke tepi pantai pada setiap sore. Akhirnya, ketika bangkai-bangkai tersebut telah begitu jauh terhanyut ke lautan, perjalanan pulang pergi terbang ke tepi pantai tidak lagi memungkinkan, kawanan gagak itu memutuskan untuk meninggalkan sumber makanan tersebut (bangkai kerbau) dan mencari sumber makanan yang baru di daratan. Namun, satu dari gagak-gagak tersebut telah tinggal bersama bangkai-bangkai yang terhanyut itu; dan ketika ia mengetahui bahwa teman-temannya tidak lagi datang untuk berbagi makanan, ia diliputi kegembiran yang luar biasa, berpikir bahwa makanan yang ia miliki saat ini akan menghidupinya dalam waktu yang lama. Ia begitu asyik dalam makannya dan tidak pernah berpikir untuk kembali ke pantai. Seraya bangkai-bangkai itu terhanyut lebih jauh dan lebih jauh lagi ke tengah lautan, sekawanan ikan datang dari dasar lautan untuk melahap bangkai-bangkai tersebut sampai akhirnya tidak ada lagi yang tertinggal untuk dimakan. Akhirnya, sisa-sisa bangkai itu mulai tenggelam ke dalam lautan; dan pada saat itu, gagak tersebut memutuskan bahwa waktunya telah tiba baginya untuk terbang kembali ke pantai. Dengan pikiran semacam ini, ia terbang ke arah Utara, namun tidak melihat daratan. Ia terbang ke arah Selatan, ke Timur dan ke Barat, namun juga tidak melihat daratan. Kemudian ia terbang dengan sekuat-kuatnya dan tidak mampu terbang lagi, kehabisan tenaga; ia menurunkan sayap-sayapnya dan jatuh ke dalam lautan. Di dalam lautan tersebut ia menjadi santapan ikan-ikan.Makna perumpamaan

Inilah kehidupan manusia. Apabila kita membiarkan diri kita larut dalam keasyikan hanya dengan makan, tidur dan kesenangan-kesenangan fisik, tanpa melakukan kebajikan; misalnya apabila kita tidak mempraktikkan ajaran benar yang telah diajarkan, kita tentu akan memetik buahnya, yaitu penderitaan, mirip dengan burung gagak yang jatuh menemui kematiannya di lautan. Cerita ini adalah tentang kita semua: Lautan mengumpamakan dunia ini, arus lautan mengumpamakan arus tumimbal lahir; bangkai-bangkai kerbau mengumpamakan tubuh kita yang makin rapuh dan objek kesenangan duniawi; pohon di tepi pantai mengumpamakan ajaran benar, dan burung gagak mengumpamakan pikiran kita, yaitu: sewaktu-waktu kita merasa senang mempraktikkan ajaran benar, dan sewaktu-waktu kita tidak suka mempraktikkan ajaran benar.

Sumber:

Dhammadharo L. 1982. Basic Themes.Wat Asokaram, Samut Prakaan, Thailand, 216p.APAKAH KAMMA DAN ANATTA KONTRADIKSI?Pertanyaan di atas seringkali muncul pada pendatang baru yang mulai belajar Buddha Dhamma. Mereka berpikir: Apabila tidak ada aku/diri (anatta), termasuk jasmani dan batin, bagaimana mungkin terdapat perbuatan (kamma)? Siapa yang melakukan perbuatan (kamma)? Siapa yang menerima hasil (vipaka) perbuatan ? Keraguan di atas ternyata tidak hanya dijumpai saat ini tetapi juga pada jaman Sang Buddha. Marilah kita mengamati ceritera berikut:

Misalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai, mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir datar, sehingga alirannya itu sangat lambat. Tanah pada area tersebut berwarna merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang tidak bermanfaat ke dalamnya, di tambah kotoran industri yang terlimpah ke dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang dibangun. Oleh karena itu, air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di dalamnya tidak banyak ikan, udang dan sebagainya. Dalam satu kata, air yang kita perhatikan itu kemerahan, kotor, terpolusi, jarang penghuninya. Semua ciri-ciri itu secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu. Beberapa ciri ini mungkin mirip dengan sungai lain, namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran air tersebut. Sekarang kita diinformasikan bahwa aliran air ini dinamakan sungai Ciliwung. Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula. Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor dan tidak memiliki banyak ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung mengalir sangat lambat. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung berwarna kemerahan. Berdiri di tepi sungai, tampak pada kita bahwa air yang kita amati itu sesungguhnya lengkap dengan sendirinya. Atribut-atribut bagi sungai itu, seperti berwarna kemerahan, kotor dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh berbagai faktor yang mengkondisikan, seperti: aliran air kontak dengan tanah merah. Ditambah, air yang kita amati itu secara konstan mengalir. Air yang kita lihat pertama tidak lagi di sini, dan air yang kita amati saat ini akan berlalu dengan cepat. Demikian pula, sungai itu memiliki sifat unik (khas), yang tidak tampak berubah selama faktor-faktor yang mengkondisikannya belum tampak berubah (padahal berubah setiap saat secara kontinyu). Namun kita diberitahukan bahwa itu adalah sungai Ciliwung, mereka mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor, dan sedikit ikannya. Secara sepintas, kita tidak dapat melihat sungai Ciliwung selain dari air yang mengalir itu. Ditambah lagi, mereka menceritakan kepada kita bahwa sungai Ciliwung memotong tanah merah yang dilaluinya, yang menyebabkan airnya berwarna merah. Hampir seolah-olah sungai Ciliwung ini melakukan sesuatu terhadap tanah merah itu, dan menyebabkan tanah merah itu menghukum sungai itu sehingga airnya menjadi merah. Kita dapat dengan jelas melihat bahwa air itu merupakan subyek dari proses sebab dan akibat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mengkondisikan; air mencebur ke tanah merah dan tanah merah itu larut ke dalam air merupakan salah satu kondisi sebab, akibatnya air itu berwarna merah. Kita tidak dapat menemukan tubuh yang melakukan sesuatu atau menerima akibatnya. Kita sesungguhnya tidak dapat melihat sungai Ciliwung di manapun. Air yang mengalir di depan kita segera mengalir pergi, air yang lebih dulu terlihat tidak lagi di sini. Air yang baru secara konstan segera menggantikan kedudukan air yang telah mengalir. Kita dapat mendefinisikan air itu hanya dengan menggambarkan faktor-faktor yang mengkondisikannya dan kejadian-kejadian yang muncul sebagai akibat faktor kondisi tersebut, yang menyebabkan ciri-ciri seperti yang kita amati. Apabila terdapat sungai Ciliwung yang nyata dan tidak berubah, tidaklah mungkin bagi aliran air itu untuk berjalan menurut berbagai faktor penentunya. Akhirnya kita melihat bahwa sungai Ciliwung ini berlebihan dan tak berguna. Kita dapat berbicara tentang air itu tanpa direpotkan dengan sungai Ciliwung ini. Dalam hakekat yang sesungguhnya tidak ada sungai Ciliwung lagi. Seraya waktu berlalu, kita mengadakan perjalanan ke sebuah kota baru. Dengan berkehendak menceriterakan air yang kita telah lihat pada waktu yang lewat kepada orang-orang di kota ini, kita menemukan kesulitan. Kemudian kita memanggil seseorang yang menceriterakan kepada kita bahwa air itu dikenal sebagai sungai Ciliwung. Mengetahui hal ini, kita dapat menghubungkan pengalaman kita dengan lancar, dan orang-orang dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketertarikan. Kita memberitahukannya bahwa sungai Ciliwung memiliki air yang kotor, tidak banyak ikan, terpolusi dan berwarna merah. Pada saat itu kita menyadari dengan jelas bahwa sungai Ciliwung ini dan hal-hal yang terjadi yang kita gambarkan itu, hanyalah sebuah konvensi bahasa yang digunakan bagi kemudahan dalam berkomunikasi. Apakah konvensi sungai Ciliwung ada ataupun tidak, dan apakah kita menggunakannya ataupun tidak, tidaklah menentukan aktivitas aliran air itu. Aliran air itu berlangsung sebagai proses reaksi keterkaitan sebab akibat. Kita dapat membedakan dengan jelas antara konvensi dan kondisi sesungguhnya. Sekarang kita dapat mengerti dan menggunakan konvensi pembicaraan dengan mudah. Segala sesuatu yang secara konvensi kita ketahui sebagai orang, yang kita beri nama, dan mengenai misalnya aku dan kamu, dalam kenyataannya merupakan aliran kejadian yang kontinyu dan terkait, tersusun dari faktor-faktor penentu yang tak terhingga yang terkait, seperti sungai itu. Mereka adalah subyek kejadian yang tidak terhingga, diarahkan oleh penentu-penentu yang berhubungan, baik dari aliran kejadian di dalam maupun di luar. Ketika suatu rekasi tertentu terjadi dalam suatu sebab, maka akibat dari reaksi itu muncul, menyebabkan perubahan-perubahan dari aliran kejadian-kejadian. Kondisi-kondisi yang kita hubungkan itu adalah kamma (perbuatan) dan vipaka (hasil), hanya merupakan permainan sebab akibat di dalam suatu aliran kejadian tertentu. Mereka secara sempurna dapat berfungsi di dalam aliran itu tanpa perlu nama atau konvensi, atau kata aku dan kamu, apakah sebagai pemilik atau pelaku dari perbuatan, ataukah sebagai penerima hasil perbuatan itu. Namun untuk kemudahan berkomunikasi di dalam dunia sosial, kita menggunakan konvensi nama bagi aliran kejadian tertentu, seperti Tuan Amin dan sebagainya. Setelah menerima konvensi itu, kita juga menerima tanggung jawab bagi aliran kejadian, menjadi pemilik, pelaku aktif dan pasif dan menerima hasil atau akibatnya. Akan tetapi apakah kita menggunakan konvensi atau tidak, apakah kita menerima label atau tidak, aliran kejadian itu sendiri tetap berfungsi, dikendalikan oleh sebab dan akibat. Oleh karena itu, hal yang penting, kita harus mengerti perbedaan antara konvensi dan kondisi yang sesungguhnya, dimana keduanya harus dipergunakan secara terpisah sesuai konteks pembicaraannya sehingga kita tidak dibingungkan oleh kedua hal itu. Konvensi merupakan penemuan manusia yang berguna dan praktikal. Problema akan muncul ketika manusia bingung akan konvensi dan hakekat sesungguhnya. Hakekat sesungguhnya tidak membingungkan, karena berfungsi terpisah dari keinginan manusia; jadi segala problema sepenuhnya merupakan kesalahan manusia. Kalau seseorang bertanya: Apabila bukan aku yang melakukan kamma, maka aku yang mana (siapa) yang menerima hasil kamma? Bagian pertama dari kalimat di atas dibicarakan menurut pengetahuan akan kenyataan, tetapi bagian kedua dari kalimat di atas dibicarakan menurut persepsi kebiasaan orang itu (konvensi). Secara alamiah keduanya tidak akan cocok. Dengan demikian jelas bagi kita, dalam hakekat yang sesungguhnya, kamma dan Anatta tidak kontradiksi dan tak dapat dipisahkan. Kamma berproses karena tidak ada Atta (aku/diri).Sumber:

Payutto, P.A. 1993. Good, Evil and Beyond (Kamma in The Buddhas Teaching. Buddha Dhamma Foundation, Thailand, 116p.PERUMPAMAAN ULAR BERBISA

Dikisahkan ada seorang yang sering melakukan kejahatan, tetapi ia takut akan kematian, kesukaran atau ketidaksenangan. Ketika itu raja mengetahui status orang itu sebagai penjahat, namun belum dapat membuktikan kesalahan penjahat itu. Akhirnya raja itu memutuskan untuk mengkondisikan kehancuran penjahat itu secara tak langsung dengan menyuruhnya memelihara empat ekor ular yang sangat berbisa dan berbahaya, yang gigitannya dapat mengakibatkan penderitaan hebat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Ular itu harus diperlakukan dengan baik; pada waktu yang tepat harus dibangunkan, diberi makan, dimandikan, ditidurkan dan dipenuhi semua kebutuhannya. Namun dengan berpikir bahwa memelihara empat ular berbisa ini merupakan kehormatan yang dilimpahkan oleh raja kepadanya, penjahat itu dengan gembira menerima ular-ular berbisa itu. Tanpa menyadari resiko dan bahaya yang siap menerpanya, penjahat itu sangat bangga dan memperlakukan keempat ular berbisa tadi sebagai perhiasan dan dipamerkannya berkeliling kota. Ular pertama dibiarkan merayap melalui kaki kirinya dan berdiam di bahu sebelah kiri; ular kedua merayap melalui kaki kanan dan berdiam di bahu kanan; ular ketiga merayap melalui sisi depan badannya dan berdiam di dada; ular keempat merayap melalui sisi belakangnya dan berdiam di atas kepala. Satu hari ia bertemu dengan sahabat baiknya yang mengingatkannya:Bila tiap ular memiliki kebutuhan yang berbeda pada saat yang bersamaan dan kamu tidak mampu memuaskannya, maka kamu akan menghadapi penderitaan, bahkan kematian. Sesungguhnya, ular tersebut merupakan kondisi yang akan menghancurkanmu. Kamu harus membebaskan diri ketika ular itu sedang tidur. Penjahat itu mengikuti nasehat sahabatnya dan pergi dari ular-ular itu. Menyadari bahwa orang ini melarikan diri, raja teringat bahwa penjahat mempunyai lima orang musuh; dan ia merencanakan memberi hadiah bagi siapa pun yang berhasil menangkap penjahat itu. Tentu saja, lima orang tadi datang terlebih dulu kepada raja dan bersedia menangkap walaupun tanpa hadiah. Ketika penjahat itu sedang berlari, kembali sahabat baiknya mengingatkannya, bahwa ia tidak hanya dikejar oleh ular-ular berbisa, tetapi juga oleh lima orang musuhnya. Oleh karena itu ia harus secepat mungkin membebaskan diri. Ketika raja menyadari bahwa penjahat ini tak dapat ditemukan, beliau mendekati seseorang yang diduga sebagai teman dekat penjahat itu dan diminta untuk berpura-pura sebagai sahabat baiknya untuk mempengaruhi penjahat tersebut agar kembali. Sekali lagi sahabat baiknya datang mengingatkannya perihal sahabat palsu di atas; bahwa ia harus waspada dan tidak tertipu oleh sahabat palsu itu, tetapi dianjurkan agar tetap pergi membebaskan diri. Akhirnya sampailah penjahat itu pada sebuah desa kosong dengan enam rumah yang kosong pula. Di sini karena lapar dan haus, ia berkeliling mencari makanan dan air, mulai dari rumah pertama sampai rumah keenam, tetapi ia tidak menemukan apa-apa, hanya ditemukan mangkuk, piring, tempat air yang kosong. Karena lelahnya, ia pergi ke sebuah pohon dengan maksud untuk tidur dengan enak. Saat itu, kembali sahabat baiknya mengingatkan bahwa keenam rumah kosong tersebut selalu disatroni/dikunjungi oleh enam perampok/bandit yang akan segera datang dan bila ia bertemu dengan bandit-bandit itu maka kemungkinan besar ia akan terjerat dan menghadapi bahaya. Oleh karena itu, penjahat tadi pergi lagi membebaskan diri, sampai akhirnya tiba di tepi sebuah sungai yang lebar dengan arus yang sangat deras. Ia menyadari bahwa bila ia tidak mencapai sisi seberang sungai itu, maka ia tidak akan selamat dari kejaran musuh-musuhnya. Tetapi di sisi sungai sebelah sini, ia mencari dan tidak menemukan perahu ataupun jembatan. Namun dengan segera ia mencoba memulai mengumpulkan semua batang pohon, ranting, dedaunan dan mengikatnya jadi satu seperti sebuah rakit. Dengan rakit yang dibuatnya itu, ia mengayuh sekuat tenaga dengan kedua tangan dan kakinya, dengan kestabilan dan keseimbangan. Dengan usaha dan tekad yang kuat, akhirnya ia dapat menyeberangi arus yang deras dan mencapai sisi seberang sungai; sehingga ia selamat dan terbebas dari musuh-musuhnya.Arti dari perumpamaan di atas:

1. Empat ular berbisa dan berbahaya merupakan ibarat dari empat unsur pokok jasmani (Maha bhuta).

2. Lima orang musuh merupakan ibarat dari lima kelompok perpaduan (Pancakkhandha).

3. Sahabat baik merupakan ibarat dari Sang Buddha.

4. Sahabat palsu yang berpura-pura sebagai sahabat baik merupakan ibarat kesenangan dan kemelekatan (nandiraga).

5. Desa dengan enam rumah kosong merupakan ibarat dari enam landasan indera (6 ayanana dalam).

6. Enam perampok/bandit yang sering menyatroni / mengunjungi desa dengan keenam rumah kosongnya merupakan ibarat enam macam objek indera (6 ayatana luar).

7. Sisi sungai sebelah sini merupakan ibarat pandangan salah tentang diri (sakkaya ditthi).

8. sisi sungai sebelah seberang merupakan ibarat Nibbana.9. Sungai dengan arus yang deras merupakan ibarat banjir (Ogha), yaitu banjir nafsu indera, banjir kemelekatan untuk menjadi, banjir pandangan salah dan banjir kegelapan batin.

10. Rakit merupakan ibarat jalan mulia berunsur delapan (AriyaAtthangika Magga).11. Penjahat yang membuat rakit dan harus mengayuh sendiri dengan kedua kaki dan tangannya sekuat tenaga dengan penuh tekad merupakan ibarat kita semua sebagai mahluk hidup berjuang dengan penuh semangat dan tekad dan tidak bergantung pada orang / mahluk/ kekuasaan lain di luar diri kita.12. Mengayuh dengan kestabilan dan keseimbangan disertai usaha dan tekad kuat merupakan ibarat melatih dengan kestabilan dan keseimbangan dalam keyakinan (saddha), semangat (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samadhi) dan kebijaksanaan (panna).Perumpamaan yang termaktub di dalam Asivisopama Sutta ini sangat bermanfaat bagi mereka yang sedang berlatih mengarungi samudra kehidupan ini dalam menggapai kebahagiaan sejati. Perumpamaan ini baik sekali untuk meningkatkan pengertian mereka yang sedang berlatih vipassana. Semoga tulisan ini menjadi kondisi inspirasi meningkatnya pengertian akan hakekat segala sesuatu. Semoga semua mahluk berbahagia.

Sumber: Asivisopama Sutta, Sutta Pitaka, Tipitaka..PERBEDAAN HIDUP PENUH KEMELEKATAN DENGAN HIDUP PENUH KEBIJAKSANAAN

Para bhikkhu, seseorang yang belum merealisasi pencerahan sempurna, yang tidak terpelajar, mengalami perasaan-perasaan menyenangkan, perasaan-perasaan tidak menyenangkan dan perasaan-perasaan bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan (netral). Para siswa mulia, yang terpelajar, juga mengalami perasaan-perasaan menyenangkan, perasaan-perasaan tidak menyenangkan dan perasaan-perasaan bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan (netral). Para bhikkhu, dalam hal ini, apakah pembeda, faktor penentu yang membuat kontras di antara siswa mulia dan terpelajar dengan orang-orang yang tidak terpelajar dan belum merealisasi pencerahan sempurna? Ketika seseorang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna, mengalami perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, ia mengeluh, meratap, bersedih, meraung-raung, memukul-mukul dadanya dan kebingungan serta putus asa: ia mengalami dua jenis perasaan, yaitu perasaan yang dialami melalui media jasmani dan perasaan langsung melalui batinnya. Kelihatannya seolah-olah seorang pemanah, yang telah melepaskan anak panah pertamanya kepada seseorang, kemudian melepaskan kembali anak panah yang kedua. Orang yang terkena panah tersebut akan merasakan nyeri dari kedua panah tersebut. Demikianlah orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna. Ia mengalami dua macam nyeri, yaitu nyeri melalui media jasmani dan nyeri batiniah. Lebih jauh lagi, di dalam mengalami perasaan yang tidak menyenangkan, ia merasa tidak senang. Dengan tidak senang terhadap perasaan tidak menyenangkan tersebut, kecenderungan laten kebencian (patighanusaya) terhadap perasaan-perasaan tidak menyenangkan terakumulasi. Berhadapan dengan perasaan tidak menyenangkan, ia mencari kesenangan di dalam nafsu indera. Mengapa demikian ? Sebab, orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna tidak mengetahui cara lain untuk terbebas dari perasaan tidak menyenangkan selain mencari selingan di dalam nafsu indera. Dengan senangnya di dalam nafsu indera, kecenderungan laten nafsu (raganusaya) terhadap perasaan-perasaan menyenangkan tersebut terakumulasi. Ia tidak mengetahui kemunculan, kepadaman, atraksi, keterbatasan dan terbebasnya dari perasaan-perasaan tersebut sebagaimana hakekat yang sesungguhnya. Dengan tidak mengetahui hal-hal ini sebagaimana hakekat yang sesungguhnya, maka kegelapan batin (avijjanusaya) terhadap perasaan netral terakumulasi. Mengalami perasaan menyenangkan ia terikat kepadanya, mengalami perasaan tidak menyenangkan ia terikat kepadanya, mengalami perasaan netral ia terikat kepadanya. Para bhikkhu, demikianlah orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna terikat kepada kelahiran, ketuaan, kematian, duka cita, ratapan/keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan. Saya katakan, ia terikat oleh penderitaan. Para bhikkhu, seorang siswa yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna, ketika mengalami perasaan tidak menyenangkan, ia tidak sedih, tidak meratap, tidak meraung-raung ataupun memukul-mukul dadanya. Ia tidak menderita. Ia mengalami sakit hanya di badan, namun batinnya tidak sakit. Kelihatannya seperti seorang pemanah, setelah memanahkan anak panahnya yang pertama kepada seseorang, kemudian memanahkan anak panah keduanya, namun tidak mengenai sasaran; dalam hal ini orang yang terpanah akan mengalami nyeri saat panah pertama mengenainya. Demikianlah orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna. Ia mengalami sakit hanya pada badannya, namun batinnya tidak sakit. Lebih jauh lagi, ia tidak mengalami ketidaksenangan terhadap perasaan tidak menyenangkan. Dengan tidak tidak senang terhadap perasaan tidak menyenangkan, kecenderungan laten kebencian terhadap perasaan tidak menyenangkan tidak terakumulasi. Mengalami perasaan tidak menyenangkan itu, ia tidak mencari selingan dalam nafsu indera. Mengapa tidak? Sebab orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna mengetahui cara untuk terbebas dari perasaan tidak menyenangkan daripada bersenang di selingan dalam nafsu indera. Dengan tidak mencari selingan di dalam nafsu indera, kecenderungan laten nafsu terhadap perasaan menyenangkan tidak terakumulasi. Ia mengetahui kemunculan, kepadaman, atraksi, keterbatasan dan kebebasan dari perasaan-perasaan sebagaimana hakekat yang sesungguhnya. Dengan mengetahui hal-hal ini sebagaimana hakekat yang sesungguhnya, kecenderungan laten kegelapan batin terhadap perasaan netral tidak terakumulasi. Mengalami perasaan tidak menyenangkan, ia tidak terikat kepadanya; mengalami perasaan menyenangkan, ia tidak terikat kepadanya; mengalami perasaan netral, ia tidak terikat kepadanya. Para bhikkhu, demikianlah orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna, terbebas dari kelahiran, ketuaan, kematian, duka cita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan. Saya katakan, ia terbebas dari penderitaan. Para bhikkhu, inilah pembeda, faktor penentu pembuat kontras, antara mereka yang terpelajar dan telah merealisasi pencerahan sempurna dengan mereka yang tidak terpelajar dan belum merealisasi pencerahan sempurna.Sumber:

Payutto, P.A. 1994. Dependent Origination, The Buddhist Law of Conditionality.. Buddha Dhamma Foundation, Bangkok, 135p..

MANUSIA DAN KALAJENGKING

Cinta kasih (metta) akan selalu berdampingan dengan belas kasihan (karuna). Apabila kita memiliki batin yang penuh cinta kasih maka belas kasihan dengan mudah akan muncul dalam batin. Bilamana kita melihat seseorang menderita, kita akan terpacu untuk cepat-cepat mengulurkan tangan dan meringankan penderitaan orang tersebut. Belas kasihan memiliki kualitas ingin mengeliminasikan penderitaan seperti tadi. Belas kasihan secara khusus dirasakan ketika kita melakukan kegiatan spontan (tanpa diajak) untuk menyingkirkan atau meringankan penderitaan mahluk lain. Satu cerita di bawah ini akan menolong untuk menjelaskan hal penting tadi.

Seseorang melihat seekor kalajengking tenggelam ke dalam genangan air. Satu keinginan spontan untuk menyelamatkan kalajengking itu muncul di dalam batin orang itu, dan tanpa ragu ia mengulurkan tangannya, mengangkat kalajengking itu dari genangan, dan meletakkannya di atas tanah. Kalajengking itu menyengatnya. Dan berkeinginan untuk menyeberangi jalan, kalajengking itu mulai berjalan dan kepalanya menuju genangan itu lagi ! Melihat kalajengking itu menggelepar dan tenggelam lagi di dalam genangan, orang itu kemudian mengangkatnya ke atas dan disengat lagi. Seseorang yang datang ke dekatnya dan melihat semua yang telah terjadi, berkata kepada orang tersebut: Mengapa kamu begitu bodoh? Sekarang kamu mengalami bahwa kamu telah disengat bukan satu kali melainkan dua kali. Hal yang sungguh bodoh bila mencoba untuk menolong seekor kalajengking. Orang itu menjawab: Pak, saya tak dapat menghindarinya. Kamu dapat melihatnya, merupakan sifat alamiah seekor kalajengking untuk menyengat. Namun juga merupakan sifat alamiah saya untuk menyelamatkan. Saya tak dapat menolong tetapi hanya mencoba untuk menyelamatkan kalajengking itu. Benar, orang tersebut sebenarnya dapat melatih beberapa kebijaksanaan dan menggunakan sebatang kayu atau sesuatu untuk menarik kalajengking itu keluar. Namun ia mungkin telah berpikir bahwa ia dapat mengangkat kalajengking itu dengan tangannya sedemikian rupa sehingga tidak tersengat. Atau ia mungkin telah berpikir bahwa seekor kalajengking dalam keadaan demikian tidak akan menyengatnya. Apapun jadinya, sisi moral dari cerita ini yaitu sikap tanggap yang spontan dari orang itu dalam menginginkan untuk menyelamatkan mahluk lain, walaupun mahluk tersebut seekor serangga.. Inipun menunjukkan bahwa orang yang penuh belas kasihan, dalam hal tersebut walaupun ia akan menerima tindakan yang tak baik dari seseorang yang ditolongnya, tidaklah menjadi masalah. Sudah merupakan sifat alamiahnya untuk menolong, dan apabila dapat menolong lagi, ia akan menolong. Ia tidak memiliki lagi keinginan untuk menyimpan dendam atau kebencian ! Oleh karena itu, belas kasihan merupakan bahasa batin. Pada saat kita dimotivasi oleh cinta kasih dan belas kasihan, kita terpicu untuk menolong tanpa membedakan ras (warna kulit), agama atau kebangsaan dari mahluk yang ditolong tersebut. Dalam sisi belas kasihan, identifikasi terhadap ras, agama dan sebagainya dikesampingkan; hal-hal ini menjadi tidak signifikan. Selanjutnya, belas kasihan tersebut tidak hanya ditujukan kepada manusia, tetapi juga terhadap semua mahluk hidup termasuk mahluk setan, binatang dan serangga. Dalam rangka tema belas kasihan sebagai bahasa batin, ada sebuah puisi yang cukup relevan, sebagai berikut:Sekte Mahayana, Theravada, Vajrayana, Sekte Mahayana, Theravada, Vajrayana,

Agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu, Agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu,Bangsa Indonesia, Cina, India, Eropa, Jepang, Bangsa Indonesia, Cina, India, Eropa, Jepang,

Malaysia, Amerika, Afrika Malaysia, Amerika, Afrika

Orang kulit putih, kulit hitam, kulit kuning, Orang kulit putih, kulit hitam, kulit kuning,

d dan seterusnya dan sejenisnya sebagaimana an seterusnya dan sejenisnya sebagaimana

kamu sukai. kamu sukai.

Apakah yang menjadi masalah? Apakah yang menjadi masalah?

Bahasa dari belas kasihan adalah bahasa batin Bahasa dari belas kasihan adalah bahasa batin

Ketika batin berbicara Ketika batin berbicara

Seribu bunga merekah Seribu bunga merekah

dan cinta kasih mengalir dan cinta kasih mengalir

seperti matahari pagi seperti matahari pagi

meradiasi menembus jendela. meradiasi menembus jendela.

Tak ada kata Tak ada kata- -kata yang diperlukan kata yang diperlukan

sebuah pemandangan, sebuah sentuhan sebuah pemandangan, sebuah sentuhan

akan cukup akan cukup untuk berkata untuk berkatabahkan seribu kata tidak dapat menjelaskan bahkan seribu kata tidak dapat menjelaskan

Dan belas kasihan memancarkan cahaya Dan belas kasihan memancarkan cahaya

seperti radiasi sinar bintang seperti radiasi sinar bintang

di dalam langit malam. di dalam langit malam.

Penghalang hancur luluh Penghalang hancur luluh

p prasangka menggelepar rasangka menggelepar

Keunggulan diperoleh kembali Keunggulan diperoleh kembali

Cinta kasih (metta) dan Belas Kasihan (karuna) Cinta kasih (metta) dan Belas Kasihan (karuna)

menaklukkan semua ketakutan dan menaklukkan semua ketakutan dan

kekhawatiran kekhawatiran

menyembuhkan luka menyembuhkan luka- -luka luka

yang merajalela yang merajalela

Kita akan merasakan bahwa apabila kita mencoba untuk melatih jenis cinta kasih dan belas kasihan ini, ketika kematian menyambut kita, maka kita akan ikut bersamanya dengan tenang. Meninggal dunia dengan tenang dalam arti yang lebih pantas dibandingkan kata meninggal dunia dengan tenang seperti yang sering dijumpai di

dalam kolom berita duka cita pada surat kabar.

Sumber:

Visuddhacara. 1993. Loving and Dying. Malaysian Buddhist Meditation Centre, Malaysia, 119p.IBARAT SIFAT BATU KARANG DAN MENTEGA YANG TAK BERUBAH OLEH DOA-DOA

Ketika Sang Buddha menetap di Nalanda di Kebun Mangga Pavarika, seorang kepala kampung putera Asibandhaka berkata kepada Sang Buddha bahwa para brahmana dari Barat, pembawa pot air, pemakai parfum lily, yang menyucikan menggunakan air, pemuja api, mengakhiri upacara kematian dengan cara mengangkat orang mati itu ke atas dan membawanya keluar, memanggil namanya dan hal ini dipercayai untuk mempercepat orang mati itu ke alam surga. Dan Sang Buddha sebagai suciwan yang telah merealisasi pencerahan sempurna dapat membawa semua mahluk di dunia ini ke alam berbahagia, di dunia surgawi. Atas pernyataan tersebut, Sang Buddha bertanya dengan mengemukakan dua buah perumpamaan yang patut kita renungkan setiap saat sehingga tidak tergoda oleh fasilitas maupun ancaman oknum penjual kepercayaan religius, sebagai berikut:

1. Andaikata, seseorang melemparkan sebuah batu karang yang amat besar ke dalam sebuah kolam air yang sangat dalam; kemudian sejumlah besar orang berkumpul dan bergerombol bersama dan berdoa serta memujinya dan melakukannya dengan merangkapkan kedua tangan ke atas (beranjali), dan berkata: Naiklah, batu karang yang baik ! Mengambanglah, batu karang yang baik ! mengambanglah ke tepi, batu karang yang baik ! Mungkinkah karena doa-doa, pujian yang dilakukan dengan penuh hormat dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas menyebabkan batu karang yang amat besar itu naik ke atas dan mengambang ke tepi? Asibandhaka menjawab bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Sang Buddha melanjutkan bahwa demikian pula halnya dengan siapa saja sebagai pengambil kehidupan mahluk lain, pengambil barang yang tidak diberikan, pelaku yang salah dalam bidang seksual, pembohong, penyebar fitnah, penguncar kata-kata kasar, pembicara hal yang tidak bermanfaat, orang yang serakah, orang yang batinnya diliputi niat jahat dan yang batinnya menganut pandangan keliru, betapapun besarnya kumpulan / gerombolan orang-orang yang berdoa bersama, melakukan pujian, penghormatan dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas dengan berkata: Semoga orang ini, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tumimbal lahir di alam berbahagia, di dunia Surga. Orang tersebut, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tetap tumimbal lahir di alam menyedihkan, di alam rendah, di Neraka.

2. Andaikata, seseorang menyelam membawa guci berisi mentega atau minyak ke dalam sebuah kolam air yang sangat dalam, lalu memecahkan guci tersebut sehingga pecahan guci itu tenggelam sedangkan mentega atau minyaknya mengambang naik ke permukaan air; kemudian sejumlah besar orang berkumpul dan bergerombol bersama dan berdoa serta memujinya dan melakukannya dengan merangkapkan kedua tangan ke atas (beranjali), dan berkata:Turunlah, mentega yang baik ! Tenggelamlah ke dasar kolam, mentega yang baik ! Pergilah ke dasar kolam, mentega dan minyak yang baik ! Mungkinkah karena doa-doa, pujian yang dilakukan dengan penuh hormat dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas menyebabkan mentega atau minyak itu turun ke bawah dan tenggelam ke dasar kolam ? Asibandhaka menjawab bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Sang Buddha melanjutkan bahwa demikian pula halnya dengan siapa saja yang menghindari mengambil kehidupan mahluk lain, menghindari mengambil barang yang tidak diberikan, menghindari perilaku yang salah dalam bidang seksual, menghindari berbohong, menghindari memfitnah, menghindari menguncarkan kata-kata kasar, menghindari berbicara hal yang tidak bermanfaat, orang yang tidak serakah, orang yang batinnya tidak diliputi niat jahat dan yang batinnya menganut pandangan benar, betapapun besarnya kumpulan / gerombolan orang-orang yang berdoa bersama, melakukan pujian, penghormatan dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas dengan berkata: Semoga orang ini, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tumimbal lahir di alam menyedihkan, di Neraka. Orang tersebut, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tetap tumimbal lahir di alam berbahagia, di dunia Surgawi. Demikianlah perumpamaan yang dipergunakan oleh Sang Buddha yang menyebabkan putera Asibandhaka berkeyakinan kepada Tiratana.

Catatan:

Sutta tersebut menegaskan bahwa:

1. Kamma mengkondisikan Vipaka yang selaras.

2. Harapan tidak akan terealisasi apabila tidak didukung oleh perbuatan yang tepat.

Sumber:

Samyutta Nikaya IV, XLII, VIII, pasal 6. Sutta Pitaka. Tipitaka (Pali Canon). Edisi Bahasa Inggris. Pali Text Society, Oxford..

IBARAT BATANG KAYU (DARUKKHANDHOPAMA SUTTA)

Satu hari Sang Buddha sedang duduk di bawah sebuah pohon di tepi sungai Ganga di dekat kota Kosambi disertai lima ratus orang bhikkhu. Sang Buddha melihat sebatang kayu yang sangat besar sedang terbawa oleh arus sungai. Beliau menunjuk ke arah batang kayu tersebut dan berkata, O para bhikkhu, apakah kamu melihat bahwa sebatang kayu yang besar sedang terbawa oleh arus air sungai? Dan para bhikkhu menjawab, Ya, Yang Mulia, kami melihatnya. Kemudian Sang Buddha melanjutkan,

1. Apabila batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah sini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

2. Apabila batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah seberang, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

3. Apabila batang kayu tersebut tidak tenggelam di dasar sungai, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

4. Apabila batang kayu tersebut tidak mendarat di pulau kecil di tengah sungai (delta), batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

5. Apabila batang kayu tersebut tidak diambil oleh manusia, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

6. Apabila batang kayu tersebut tidak diambil oleh dewa, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

7. Apabila batang kayu tersebut tidak tenggelam ke dalam satu pusaran air, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

8. Apabila batang kayu tersebut tidak hancur/membusuk, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.Di sini Sang Buddha menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat delapan kondisi buruk ini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan. Kemudian Sang Buddha berkata,Mengapa batang kayu ini akan mencapai lautan? Batang kayu ini akan mencapai lautan karena arus sungai ini mengarah menuju lautan, dan tidak ada kondisi yang buruk tersebut. Dengan cara yang sama, para bhikkhu, kamu akan merealisasi Nibbana apabila kamu tidak mengkondisikan diri dengan delapan kekeliruan. Mengapa? Karena, pengertian benar (sammaditthi) mengarah menuju terealisasinya Nibbana, terhentinya dukkha. Namun demikian, para bhikkhu, ini hanyalah satu perumpamaan. Kemudian salah seorang bhikkhu memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan perumpamaan itu, dan Sang Buddha menjelaskannya, demikian:

1. Tertambat di sisi sungai sebelah sini mengumpamakan melekat terhadap enam pintu indera, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.

2. Tertambat di sisi sungai sebelah seberang mengumpamakan melekat terhadap objek penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.

3. Tenggelam di dasar sungai mengumpamakan melekat terhadap mahluk hidup atau benda mati.

4. Mendarat di pulau di tengah sungai (delta) mengumpamakan kesombongan, kebanggaan atau keangkuhan.

5. Diambil oleh manusia mengumpamakan bhikkhu hidup dan bergaul dengan tidak sepantasnya terhadap umat awam.

6. Diambil oleh dewa mengumpamakan niat melakukan perbuatan baik untuk terlahir di surga, di alam para dewa dan brahma.7. Tenggelam ke dalam satu pusaran air mengumpamakan terjebak/melekat pada kegemaran akan lima jenis kesenangan indera.

8. Menjadi hancur / membusuk mengumpamakan berpura-pura suci padahal sesungguhnya tidak suci.

Walaupun Sang Buddha mengalamatkan khotbah ini kepada para bhikkhu (karena ketika itu para bhikkhu menyertainya), uraian ini sebenarnya mengatasi ras, agama, bangsa atau golongan (berlaku universal). Setiap orang yang tidak memiliki delapan kekeliruan di atas dapat mencapai pantai, merealisasi kebahagiaan sejati, terhentinya dukkha, Nibbana. Ketika seseorang mencapai pantai, merealisasi Nibbana, ia telah terbebas dari lingkaran tumimbal lahir dan telah mengatasi dukkha.

Dalam khotbah ini, Sang Buddha mengumpamakan lautan untuk terhentinya dukkha. Dan hal ini harap tidak dikacaukan dengan istilah lautan pada khotbah (sutta) lain yang mengumpamakan lingkaran tumimbal lahir.

Sumber:

Samyutta Nikaya. Sutta Pitaka. Tipitaka (Pali Canon). Edisi Bahasa Inggris. Pali Text Society, Oxford..BHIKKHU - DEVA

Satu hari, ketika Sang Buddha tinggal di hutan Jeta, di dekat kota tua Savathi di India, Beliau dikunjungi seorang dewa yang datang dari alam surga disertai sejumlah ribuan dewa. Dewa tersebut memberikan hormatnya kepada Buddha dan kemudian mengemukakan keluhannya demikian: O, Yang Mulia Buddha, ia meratap, Tanah dewata begitu berisik! Dipenuhi oleh suara-suara para dewa ini. Mereka mirip setan (peta) bagi saya, meraung-raung di tanahnya. Sungguh membingungkan berada di tempat seperti ini. Tunjukkanlah kepada saya, bagaimana cara mengatasinya! Ini merupakan kata-kata penting bagi seorang dewa. Alam dewa dikenal dengan ciri khasnya, yaitu kesenangan. Penduduknya, berseni dan cenderung senang musik, hampir mirip peta yang hidup sangat menderita dan menyedihkan. Beberapa peta memiliki lambung yang besar dengan mulut sekecil lubang jarum sehingga mereka secara konstan merasakan kelaparan yang mengerikan dan mereka tak pernah terpuaskan. Dengan memanfaatkan kekuatan batinnya, Buddha menyelidiki masa lalu dewa tersebut. Beliau mengetahui bahwa sebelum kehidupan ini, dewa tersebut adalah seorang manusia, seorang yang tekun mempraktikkan Dhamma. Sebagai seorang muda, ia telah memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Buddha sehingga ia meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi seorang bhikkhu. Setelah mengikuti gurunya selama lima tahun, ia telah terlatih baik di dalam peraturan moral dan vinaya ke-bhikkhu-an serta memiliki kemampuan bermeditasi secara mandiri. Kemudian ia tinggal sendiri di sebuah hutan. Karena tekadnya yang kuat untuk merealisasi tingkat kesucian Arahat, latihan bhikkhu tersebut sangat gigih dan ekstrim. Demikian tinggi keyakinannya sehingga sebanyak mungkin waktu dihabiskan untuk bermeditasi, hampir tidak tidur dan tidak makan. Apa hendak dikata, ia menghancurkan kesehatannya. Gas berakumulasi di dalam lambungnya, menyebabkan ia kembung dan nyeri seperti disayat pisau. Namun demikian bhikkhu tersebut tekadnya telah bulat dan tidak mengubah kebiasaannya. Nyerinya makin memburuk, dan memburuk, sampai satu hari, di pertengahan meditasi berjalan, nyeri tersebut memotong kehidupannya. Secara instan, bhikkhu tersebut tumimbal lahir di alam dewa Tavatimsa. Tiba-tiba, seperti terjaga dari mimpi, ia tersadar berpakaian dengan cahaya keemasan dan berdiri di gerbang kerajaan dewa yang menakjubkan. Di dalam istana dewa itu terdapat seribu dewa, dengan pakaian lengkap dan sedang menunggu kedatangannya. Ia akan menjadi pemimpin para dewa itu. Mereka gembira melihat kehadirannya di pintu gerbang! Dengan berteriak, mereka membawakan instrumentalia / musik guna membuatnya gembira. Sejauh ini, mahluk yang malang ini belum mengetahui bahwa ia baru saja meninggal di bumi dan sekarang telah tumimbal lahir di alam dewa. Dengan berpikiran bahwa para dewa tersebut tidak lain daripada para pengikut/umat yang sedang memberikan penghormatan kepadanya, dewa baru tersebut merendahkan pandangannya melihat tanah, dan menyibakkan satu ujung dari pakaian keemasannya ke bahunya. Dari tingkah laku jasmani ini, para dewa telah menduga situasinya dan berteriak,Kamu sekarang berada di alam dewa. Bukanlah waktunya untuk bermeditasi. Ini adalah waktu bergembira dan santai. Kemarilah, mari kita berdansa! Pendekar kita ini terkejut mendengar mereka, karena ia sedang melatih pengendalian indera. Akhirnya beberapa dewa pergi ke peraduan dan membawakan sebuah cermin yang panjang. Astaga, dewa baru ini terkejut bahwa ia bukan lagi seorang bhikkhu. Tidak terdapat tempat di seluruh alam dewa itu yang cukup sepi untuk berlatih. Ia merasa terjebak. Dengan kesal, ia berpikir,Ketika saya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memakai jubah, saya hanya bercita-cita untuk meraih kebahagiaan tertinggi, merealisasi tingkat kesucian Arahat. Saya mirip seorang petinju yang memasuki satu kompetisi mengharapkan sebuah medali emas dan sebagai gantinya diberikan sebongkah kubis (sejenis sayuran). Eks-bhikkhu ini sangat takut sekalipun hanya untuk menginjakkan kakinya di gerbang istananya. Ia mengetahui bahwa kekuatan batinnya tidak akan kuat melawan kesenangan-kesenangan itu, yang jauh lebih memikat dibandingkan kesenangan di alam manusia. Tiba-tiba ia menyadari bahwa sebagai dewa ia memiliki kemampuan untuk mengunjungi alam manusia di mana Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Realisasi ini membuatnya gembira. Saya dapat meraih kekayaan surgawi kapan saja, pikirnya. Namun kesempatan untuk bertemu seorang Buddha jelas sangat langka. Tanpa berpikir kedua kali, ia pergi diikuti oleh ribuan pengikutnya. Menemukan Buddha di hutan Jeta, dewa itu menghampiri dan memohon pertolongan. Buddha, terkesan oleh kegigihannya dalam berlatih, dan memberikan petunjuk demikian: O, dewa, telah lurus jalan yang telah kamu lalui. Hal itu akan membawamu kepada keselamatan, jauh dari ketakutan, yaitu meraih cita-cita luhurmu. Kamu seyogyanya naik di dalam sebuah kendaraan yang sunyi sempurna. Kedua roda keretamu adalah semangat batin dan fisik. Kesungguhan adalah sandaran punggung kereta tersebut. Perhatian murni adalah tentara yang mengelilingi kereta ini, dan pandangan benar adalah pengemudi keretanya. Seseorang, baik pria maupun perempuan, yang memiliki kendaraan seperti itu dan mengendarainya dengan baik, tak diragukan lagi akan merealisasi Nibbana.

Cerita tentang bhikkhu-dewa ini disarikan dari kumpulan naskah pali, yaitu Samyutta Nikaya (bagian Sutta Pitaka, Tipitaka). Cerita ini mengilustrasikan banyak hal tentang latihan meditasi, yaitu semangat, pandangan benar, pengendalian indera, tingkah laku moral, kesungguhan hati, kebenaran metode latihan dan sebagainya.

Sumber:

Pandita, U. 1992. In This Very Life, The Liberation Teachings of The Buddha. Buddhist Publication Society, Sri Lanka, 298p. Samyutta Nikaya I. Sutta Pitaka, Tipitaka. Pali Text Society, London..SEKOLAH BINATANG

Satu bidang yang sangat kritis di dalam penyebaran dan praktik Buddha Dhamma yang tepat guna dalam rangka merealisasi kebahagiaan sejati adalah tempat penyebaran itu sendiri. Beragamnya tingkat kebudayaan, persepsi, minat, pengalaman dan kematangan batin para peserta di tempat penyebaran tersebut juga sangat mempengaruhi efektivitas dan kecepatan pencapaian tujuan tersebut. Satu cerita di bawah ini dapat kita renungkan bersama maknanya sehingga kita dapat mengambil tindakan yang tepat di dalam upaya mencapai tujuan jangka pendek maupun merealisasi kebahagiaan sejati. Alkisah pada satu masa, para binatang memutuskan bahwa mereka harus melakukan sesuatu yang heroik guna mengatasi masalah yang timbul dalam satu dunia baru. Jadi mereka mendirikan sebuah sekolah. Mereka menerapkan kurikulum yang terdiri dari: lari, memanjat, renang, dan terbang. Untuk mempermudah pengaturan kurikulum itu, semua binatang harus mengambil semua mata pelajaran tersebut. Itik piawai dalam renang, bahkan sesungguhnya lebih baik ketimbang instrukturnya, namun ia lulus dengan angka minimum dalam terbang dan sangat buruk dalam lari. Karena lamban dalam lari, ia harus tetap tinggal seusai jam sekolah dan juga melepaskan mata pelajaran renang hanya untuk belajar lari. Ini berlangsung terus-menerus sehingga kakinya yang berselaput menjadi terlalu letih dan ia pun hanya memperoleh angka rata-rata dalam renang. Tetapi angka rata-rata masih bisa diterima di sekolah, jadi tak satupun yang merisaukannya kecuali si itik itu sendiri. Kelinci menjadi juara kelas dalam lari, tetapi mengalami gangguan saraf karena terlampau banyak tugas perbaikan dalam mata pelajaran renang. Tupai hebat dalam memanjat, namun ia merebakkan rasa frustrasi di kelas terbang di mana gurunya kecapekan menyuruhnya memulai dari tanah ke atas dan bukannya dari puncak pohon ke bawah. Ia juga dilanda kram kaki dan tangan karena usaha yang terlampau keras serta kemudian malah mendapat nilai C dalam memanjat dan D dalam lari. Sang elang adalah anak yang menyusahkan dan juga sulit didisiplinkan. Di dalam kelas memanjat, ia mengungguli semua binatang yang lain untuk sampai di puncak pohon, namun menuntut untuk menggunakan caranya sendiri untuk sampai di sana. Pada akhir tahun, seekor belut yang abnormal yang dapat berenang dengan baik, dan juga sedikit lari, memanjat dan terbang, meraih angka rata-rata tertinggi dan menyampaikan kata-kata perpisahan. Anjing padang rumput keluar dari sekolah dan menentang iuran sekolah karena pengelolanya tidak memperbolehkan pencantuman pelajaran menggali liang ke dalam kurikulum. Anjing-anjing itu mengirim anaknya untuk magang ke seekor luak dan kemudian bergabung dengan para marmut serta tikus celurut untuk memulai sebuah sekolah swasta yang sukses.

Apakah fabel ini memiliki suatu pesan moral? Sepenuhnya tergantung tingkat ketajaman persepsi, analisa, kecenderungan dan pengalaman para pembaca.

Sumber:

Canfield, J. and Mark Victor Hansen. 1995. Menjadi Kaya dan Bahagia (Chicken Soup for the Soul; Health Communications Inc.), Gramedia, Jakarta. 284 hal.SURGA SEEKOR KATAK

Ketika itu, Sang Buddha sedang menetap di Campa, di tepi kolam teratai Gaggara. Saat pagi hari dan setelah mengamati dengan penuh kasih sayang beliau melihat Hari ini ketika di sore hari saya sedang mengajarkan Dhamma, seekor katak, mendengarkan suara saya dan menjadi tertarik, menderita sakit karena tangan seseorang, dan akan terbunuh; ia akan tumimbal lahir di alam dewa dan ini akan terjadi ketika sejumlah banyak orang sedang menyaksikan; dengan cara demikian sungguh merupakan penetrasi yang besar terhadap Dhamma. Hari itu Beliau mengerjakannya dengan sangat baik, di tepi kolam Beliau mengajar kepada pertemuan dari empat penjuru. Kemudian seekor katak, berpikir,Inilah yang disebut Dhamma, keluar dari kolam dan berdekam di belakang para pendengar. Dan seorang penggembala sapi, melihat Sang Buddha berbicara dan para hadirin mendengarkan dengan tenang, duduk bersandar pada siku tangannya, namun meremukkan katak tersebut. Katak itu tumimbal lahir di alam Surga Tiga Puluh Tiga Deva (Tavatimsa) dengan rumah keemasan sejauh 12 yojana dan disertai oleh para bidadari. Merenungkan terhadap apa yang telah dilakukannya untuk tumimbal lahir di sana ia tidak melihat apapun kecuali ketertarikannya terhadap suara Sang Buddha.Sang Buddha mengungkapkan dengan mulia dan bertanya kepadanya:

1. Siapa, yang cemerlang dengan potensi batin, dengan keindahan melebihi yang lain membuat semua penjuru terang, yang menghormat di bawah kaki saya? Kemudian, deva muda tersebut, berkata tentang satu kehidupannya yang lampau, menjelaskan dalam syair berikut:

2. Saya dahulu adalah seekor katak, penghuni air. Namun ketika saya sedang mendengarkan Dhamma yang dibabarkan, seorang penggembala sapi tak sengaja membunuh saya.

3. Bagi sesaat ketenangan batin, terlihatlah potensi batin dan kemuliaan, keindahan saya dan terlihatlah pula kecemerlangan saya.

4. Bagi mereka yang telah lama mendengarkan Dhamma, Gotama, itulah mereka yang telah merealisasi kekekalan di mana mereka tidak lagi menderita.

Kemudian Sang Buddha, melihat kualifikasi yang telah dicapai oleh para pendengar, mengajarkan Dhamma kembali secara penuh. Pada akhir dari ajaran tersebut, Deva muda itu merealisasi tingkat kesucian pertama (Sotapana). Setelah menghormati Sang Buddha, Deva muda tersebut kembali ke alam surga.

Sumber:

Vimanavatthu, Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka, Tipitaka, Pali Text Society, .London, 159 p.

PAGE 22