Biokimia Ikani 2015 | 1 1. PENGARUH CARA KEMATIAN IKAN TERHADAP TINGKAT KESEGARAN IKAN 1.1 Latar belakang Ikan sebagai bahan pangan mengandung kadar gizi yang tinggi. Kadar protein pada ikan mencapai 20% dan tersusun atas sejumlah asam amino esensial bagi manusia. Kandungan lemak berkisar antara 0,5-2% dan mengandung asam-asam lemak jenuh dengan panjang rantai C 14 -C 22 serta asam-asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6. Karbohidrat pada ikan merupakan polisakarida dalam bentuk glikogen yang strukturnya serupa dengan amilum. Vitamin pada ikan ada yang larut air berupa vitamin B kompleks dan vitamin larut lemak yaitu vitamin A dan D pada hati ikan dalam jumlah besar serta vitamin C dan E dalam jumlah sedikit (Adawyah, 2011). Setelah ikan mati menurut Adawyah (2011), perubahan biokimiawi ikan diikuti oleh perubahan fisik pada dagingnya. Perubahan berlangsung secara terus menerus hingga ikan akan menjadi busuk. Tahapan perubahan sejak ikan mati hingga busuk dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor. Fase pre rigor dimulai sesaat setelah ikan mati sampai pada munculnya kekakuan daging (rigor). Fase pre rigor yang ditandai dengan : pH daging ikan sekitar 7, ikatan antara aktin dengan miosin putus, dan otot ikan mengalami relaksasi sehingga menjadi kenyal-lunak. Beberapa saat kemudian terjadi fase rigor mortis yang ditandai dengan : pH daging ikan menurun sampai sekitar 6, dan terjadi penguraian senyawa ATP (Adenosine Triphosphate) dalam otot ikan menjadi ADP (Adenosine Diphosphate) oleh aktivitas ATP yang menyebabkan otot ikan mengalami kontraksi sehingga menjadi kaku (Suharna, 2006). Fase rigor mortis ditandai dengan kakunya tubuh ikan setelah mati. Rigor mortis berlangsung akibat tidak terjadinya aliran oksigen dalam jaringan peredaran darah oleh karena aktifitas jantung dan kontrol otaknya terhenti. Akibatnya didalam tubuh ikan tidak terjadi reaksi glikogenolisis yang dapat menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Akibatnya reaksi berlangsung secara anaerobik yang memanfaatkan ATP dan glikogen dalam tubuh ikan sebagai sumber energi. Jumlah ATP akan terus berkurang dan pH tubuh menurun menyebabkan jaringan otot tidak mampu mernpertahankan fleksibilitasnya. Waktu yang dibutuhkan ikan memasuki tahap rigor mortis dipengaruhi oleh jumlah glikogen. Makin banyak jumlah glikogen pada tubuh ikan makin lama ikan memasuki tahap rigor mortis (Sanger, 2010). Fase post rigor terjadi saat daging ikan menjadi lemas kembali. Pada fase post rigor terjadi proses penurunan mutu. Proses penurunan mutu ditandai dengan berubahnya sifat-sifat organoleptik (Suharna,2006). Aktifitas enzim dan bakteri pada kulit, insang dan isi perut mempengaruhi perubahan saat fase post rigor. Fase post rigor menunjukkan mutu ikan yang sudah rendah dan tidak layak konsumsi (Munandar et.al., 2009). Autolisis menurut Sukarti (2011) adalah pemecahan senyawa pada tubuh ikan menjadi lebih
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Biokimia Ikani 2015 | 1
1. PENGARUH CARA KEMATIAN IKAN TERHADAP
TINGKAT KESEGARAN IKAN
1.1 Latar belakang
Ikan sebagai bahan pangan mengandung kadar gizi yang tinggi. Kadar protein pada ikan
mencapai 20% dan tersusun atas sejumlah asam amino esensial bagi manusia. Kandungan lemak
berkisar antara 0,5-2% dan mengandung asam-asam lemak jenuh dengan panjang rantai C14- C22 serta
asam-asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6. Karbohidrat pada ikan merupakan
polisakarida dalam bentuk glikogen yang strukturnya serupa dengan amilum. Vitamin pada ikan ada
yang larut air berupa vitamin B kompleks dan vitamin larut lemak yaitu vitamin A dan D pada hati
ikan dalam jumlah besar serta vitamin C dan E dalam jumlah sedikit (Adawyah, 2011).
Setelah ikan mati menurut Adawyah (2011), perubahan biokimiawi ikan diikuti oleh
perubahan fisik pada dagingnya. Perubahan berlangsung secara terus menerus hingga ikan akan
menjadi busuk. Tahapan perubahan sejak ikan mati hingga busuk dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu
pre rigor, rigor mortis dan post rigor.
Fase pre rigor dimulai sesaat setelah ikan mati sampai pada munculnya kekakuan daging
(rigor). Fase pre rigor yang ditandai dengan : pH daging ikan sekitar 7, ikatan antara aktin dengan
miosin putus, dan otot ikan mengalami relaksasi sehingga menjadi kenyal-lunak. Beberapa saat
kemudian terjadi fase rigor mortis yang ditandai dengan : pH daging ikan menurun sampai sekitar 6,
dan terjadi penguraian senyawa ATP (Adenosine Triphosphate) dalam otot ikan menjadi ADP
(Adenosine Diphosphate) oleh aktivitas ATP yang menyebabkan otot ikan mengalami kontraksi
sehingga menjadi kaku (Suharna, 2006).
Fase rigor mortis ditandai dengan kakunya tubuh ikan setelah mati. Rigor mortis
berlangsung akibat tidak terjadinya aliran oksigen dalam jaringan peredaran darah oleh karena
aktifitas jantung dan kontrol otaknya terhenti. Akibatnya didalam tubuh ikan tidak terjadi reaksi
glikogenolisis yang dapat menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Akibatnya reaksi
berlangsung secara anaerobik yang memanfaatkan ATP dan glikogen dalam tubuh ikan sebagai
sumber energi. Jumlah ATP akan terus berkurang dan pH tubuh menurun menyebabkan jaringan
otot tidak mampu mernpertahankan fleksibilitasnya. Waktu yang dibutuhkan ikan memasuki
tahap rigor mortis dipengaruhi oleh jumlah glikogen. Makin banyak jumlah glikogen pada tubuh
ikan makin lama ikan memasuki tahap rigor mortis (Sanger, 2010).
Fase post rigor terjadi saat daging ikan menjadi lemas kembali. Pada fase post rigor terjadi
proses penurunan mutu. Proses penurunan mutu ditandai dengan berubahnya sifat-sifat organoleptik
(Suharna,2006). Aktifitas enzim dan bakteri pada kulit, insang dan isi perut mempengaruhi perubahan
saat fase post rigor. Fase post rigor menunjukkan mutu ikan yang sudah rendah dan tidak layak
konsumsi (Munandar et.al., 2009).
Autolisis menurut Sukarti (2011) adalah pemecahan senyawa pada tubuh ikan menjadi lebih
Biokimia Ikani 2015 | 2
sederhana akibat adanya aktivitas enzim. Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat
(tendon), sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernaan enzim tersebut
menyebabkan daging ikan menjadi sangat lunak sehingga merupakan media yang sangat cocok
untuk pertumbuhan mikroorganisme. Tubuh ikan yang telah mengalami autolisis ditandai timbulnya
bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh
pada bagian luar.
Bakteriolisis adalah pemecahan senyawa dalam tubuh ikan menjadi lebih sederhana akibat
dari aktivitas bakteri. Kemunduran mutu ikan secara bakteriolisis bersamaan dengan proses autolisis.
Bakteri dapat berkembang pesat dalam tubuh ikan melalui sumber kontaminan yaitu insang, isi perut
dan sisik. Enzim proteolisis dan lipolisis yang berasal dari bakteri pembusuk menguraikan senyawa
kompleks protein dan lemak dalam daging ikan menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu amoniak,
hidrogen sulfida, berbagai macam asam dan lain-lain (Suharna, 2006). Bakteriolisis berlangsung
secara bertahap dan berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berlalu, yaitu setelah daging
menjadi lemas kembali dan celah-celah serat terisi cairan (Vatria, 2010).
Oksidasi lemak pada ikan berlangsung saat fase post rigor. Daging ikan sangat mudah
teroksidasi karena banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Oksidasi lemak menimbulkan aroma
tengik yang menurunkan mutu dan nilai ekonomi. Daging ikan yang telah teroksidasi berupa menjadi
coklat kusam (Karnila et.al., 2006).
Faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan bisa dibedakan menjadi faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang berpengaruh adalah jenis ikan, umur dan ukuran ikan, kondisi
fisikal ikan dan karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah
penggunaan alat tangkap, penanganan pasca panen yang dilakukan, musim, wilayah penangkapan
dan suhu perairan saat penangkapan (Zakaria, 2008).
Menurut Rustamaji (2009), ikan segar memiliki ciri ciri sebagai berikut: mata cerah bening,