PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : SYARIF HIDAYATULLAH NIM : 103044128052 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H / 2011 M
136
Embed
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...telah memberikan cinta dan kasih sayangnya, hingga ananda dapat meraih ... menjadi kekal
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
)-�.��//1 :34( Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan
pada isterimu padahal kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat”. (QS. an Nisa/3 : 21)
Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian
yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai
Artinya: “Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikan dengan yang baik pula” ( Qs.Al-Baqarah/2 : 231).
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam
masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru,
ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak
kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari
berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.
3
Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuan-
perempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang
selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan
wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi,
dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah.
Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi
dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian
masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat
kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua
orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah
sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil
diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang
mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan
dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam satu
waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu
orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita (poligami),
hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :
Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, satu,dua,tiga, atau empat.” (Qs. An-Nisa/3:3).
4
Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan
antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan
kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan,
keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk
mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang
perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya
pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang
mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi
dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila
tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa
dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami.
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah
mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang
berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut,
sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.3 Dalam salah satu
azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip
ini lebih dikenal dengan azas monogami.
3 Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
meliputi : (1) azas tujuan perkawinan, (2) azas syahnya perkawinan, (3) azas monogamy, (4) azas kematangan jiwa dan raga, (5) azas perceraian dipersulit, dan (6) azas keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5
Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah,
namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan
poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara
sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak
sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki
persamaan tujuan.
Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan
sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan
manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai
kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan
Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum
Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal
pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.4
Memang masalah poligami tetap menarik diperbincangkan dan
menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi
sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah
setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan
perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya
membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.5
Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan
penghinaan terhadap perempuan.6 Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa
peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat
besar yang membersihkan masyarakat dari akhlak yang tercela dan
menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang
tidak mengenal poligami yakni pelacuran.7 Praktik poligami ini khusus di
Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis,
maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo,
Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada laki-
laki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan
dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa
bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami
untuk menjadi menteri”.8 Sekarang orang bukan hanya ramai-ramai
membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita
ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di
belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo
5 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 194. 6 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta, 1999), Cet. 1. h. 50. 7 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 124. 8 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 22.
7
(pengusaha), Aa Gym (kiai dan pebisnis), Zainal Ma’arif (politisi), KH. Noer
Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren), Fauzan al Anshari (aktivis dakwah),
bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh
sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung
jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang.
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam
tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang
perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menganut
kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri.
Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal
55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59,
antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus
mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal ( 55 ayat 2 ).
Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana
termaktub dalam pasal lima ( 5 ) Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami
hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka
lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan
(diperbolehkan), bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya
kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8
Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa
tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh
Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada
poligami menurut pandangan para tokoh masyarakat formal dan informal di
Kecamatan Sawangan Kota Depok.
2. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus
pada :
Pertama : Bagaimana poligami dimaknai oleh para tokoh masyarakat.
Apa faktor yang mendukungnyanya, misalkan faktor internal, ekonomi,
pendidikan, lingkungan sosial.
Rumusan masalah ini, dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
a. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap
poligami?
b. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat terhadap hukum islam dan
hukum positif terhadap poligami?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan menganalisa latar belakang dengan perumusan masalah tersebut
maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan tentang
poligami.
2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap
hukum islam dan hokum positif tentang poligami.
Adapun manfaat atau kegunaanya adalah :
1. Secara Akademis
yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar
Kesarjanaan Strata Satu pada Fakultas Syari’ah dah Hukum.
2. Secara Ilmiah
a. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, memberikan sumbangan kepustakaan
dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada umumnya.
b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat selama
belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum.
c. Bagi tokoh masyarakat dapat memberikan informasi yang objektif.
Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah
dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat kecamatan sawangan
khususnya dan masyarakat luas tentang pengaruh poligami terhadap beberapa
faktor.
10
D. Metode Penelitian
Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan
secara mendalam.9 Sementara soerjono soekanto mendefinisikan penelitian
deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang diteleti mungkin dengan
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-
teori. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian
sebagai sesuatu metode kualitatif yang bertujuan menyajikan pandang objek yang
diteleti bahan dan data penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan ( field
research ) yang dimaksudkan untuk memperoleh data, di mana peneliti terjun
langsung kelapangan. Oleh karena itu, data lapangan merupakan data primer,
yaitu data utama yang akan diteliti ( beberapa tujuan ) di kecamatan Sawangan.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau tulisan-
tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga
didapatkan dari penelitian kepustakaan ( library research ) yang berkaitan dengan
poligami.
Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang
dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
9 Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.ke-2, h.
309
11
1. Teknik wawancara mendalam yakni satu bentuk komunikasi verbal untuk
memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang
dijadikan sebagai informasi.
2. Teknik dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data yang
dilakukan dengan acara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di
kecamatan sawangan yang dijadikan objek penelitian.
3. Teknik puataka. Berkaitan dengan sumber-sumber pustaka.
E. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan
pembahasannya sebagai berikut :
Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan
yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian
poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif.
Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi
geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi
sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami,
faktor-faktor pendukung poligami di sawangan.
Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang
poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif.
Bab Kelima, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami
Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian
kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka
sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara
detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka
masih banyak yang verbalisme.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang
berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau
kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah
perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan
yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz
Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij
Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang
dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki
mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih
darinya.3
1 Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12. 2 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 29. 3 Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global
Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.
13
Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini
digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau
istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa
poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak
perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang
melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang
sama, dan bukan karena kawin cerai).4
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan
berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan
yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu
pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama
dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam
waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di
masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami
sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.
4 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26. 5 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h.
18. 6 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866. 7 Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1981 ), h. 169.
14
Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana
yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan
poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika
masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami
menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan
perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8
Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh
sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam,
poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir
semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan
kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu
sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada
bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu,
praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan
orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu
laki–laki (suami).9
Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang
namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan
8 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan
Gender, 1999), cet. 1. h. 3. 9 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15
ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus
orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10
Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak
menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya
istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha
mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya
empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut
agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11
Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena
larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul
(sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab
itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr.
Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa
kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia
kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan
seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan
tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang
diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang
melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di
10 Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100. 11Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang –
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80
16
dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami
dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan
para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja
(pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa
ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian
haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu
menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita
itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya
sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak
membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan
golongan Orthodok dan Protestan (Gereja Masehi Injili), semuanya
memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam
suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13
George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak
ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya
berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang
Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak
gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah
tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi.
12 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49 13Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang–
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81
17
Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang
perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara
populer.14
Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya
poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka
berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di
kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja
berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka
akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa
Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan
bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika,
banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan
dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat
warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran
bahkan hampir sebagai kelembagaan.15
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah
mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit
kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW
membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan
14 Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104 15 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120. 16 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007)
18
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan
seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan
secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas
memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi
kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan
sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan
sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan
bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang
bermartabat.18
B. Poligami Menurut Hukum Islam.
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian
khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati
masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :
)������/ :���( Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang
amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun
lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil
dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir
21
modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung
pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh
menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin
berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan
kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami
semakin nyata.
Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku
adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat
disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid
Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya
membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan
rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan
rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat
manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka
rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan.
Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami.
Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami
adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap
para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah),
sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan
yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,
22
suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa
mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.
Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus
memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin
keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku
adil terhadap para istri dan anaknya.
Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No.
1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami
yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang
suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa
penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda
tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak
penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan
itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang
bersifat materi.
Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat
berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin
bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak
dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram.
Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka
poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan
zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.
23
Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar
menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi
kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah
menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129.
Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai
bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya
sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan
monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi
saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami.
wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua
untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita
yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal
memiliki daya tarik yang memikat.
Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak
menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun
perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu
sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada
empat wanita saja.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul
Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
24
waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun
boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab
al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai
sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
����������� ������� � !�"���# ���$���% �&'��%�#)&��% (�%) *�+�( Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang
menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan
beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),
mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )
19 Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31 20 Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
25
Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang
kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa
Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami
seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan
Muaz bin Jabal r.a.
Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang
yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa
generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat
melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama
halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau
makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang laki-
laki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hak-
hak istri-istrinya.
Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan
Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan
syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk
meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan
generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum
muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis.
Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama-
ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
26
suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan
semua istrinya dengan adil.
Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah
keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang
semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal.
Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini
sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.
Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan
hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami
karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang
lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas
kontrol manusia.
C. Poligami menurut Hukum Positif.
1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu
permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada
27
kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam
Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang–
orang yang memiliki alasan–alasan tertentu.
Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini
dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal–
pasal yang mengaturnya sebagai berikut :
Pasal 3 (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat–syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan–
keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua
28
tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Pasal 65 (1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan
hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri
dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi.
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing–masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan–ketentuan ayat (1) pasal ini.
Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas
dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai
berikut :
a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat
permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama,
umur, tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri), alasan–
alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum.21
b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim
memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah
diterimanya surat permohonan tersebut (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/ 1974).
21 H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke -3, h. 241.
29
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah
lagi sebagai syarat alternatif yaitu :
1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri
seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik,
mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak
dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik.
2) Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit
yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan
sebagainya.
3) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.22
b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus
dinyatakan di depan sidang.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai
penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat
keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku
adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat
dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.23
22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 ), cet. Ke -1, h.35. 23 Ibid
30
d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu
menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk
melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan
lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua
tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa
keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam
memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan
dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak
mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya
akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha
keras mencarinya.24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang
Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal
poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat.
2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil
consensus (ijma’) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat
legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi
24 Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan
kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.25
Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang
seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum
positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama
Islam.26
Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59
berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.27
Pasal 55
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang
25 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998), cet. Ke -2, h. 122. 26 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet.
Ke -4, h. 43. 27 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 / 1999, h. 33 – 35.
32
ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu : a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak–anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama.
(3) Persetujuan dimaksud ayat (1) Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan
aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam
bidang perkawinan (buku 1) KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan
perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada
pendapat fuqaha (para ahli fiqih) yang sangat dikenal di kalangan ulama dan
masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma
hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.28
28 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998 ), cet. Ke -2, h. 125
33
3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983.
Menurut pasal 10 PP No. 10 tahun 1983 pegawai negeri sipil pria yang
akan beristeri lebih dari seorang dan pegawai sipil wanita yang akan menjadi
isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil
diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat.29
Dan izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat, apabila memenuhi
sekurang–kurangnya salah satu syarat alternatif yaitu :
(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu harus dipenuhinya ketiga syarat kumulatif, yaitu :
(1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri – isteri.
(2) Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup
untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan
dengan surat keterangan pajak penghasilan.
(3) Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan, bahwa
ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.
Sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan pegawai negeri sipil syarat–syarat
kumulatif tersebut adalah :
29 Lihat Penjelasan Umum PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Negeri Sipil
34
(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri calon suami.
(2) Calon suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan
pajak penghasilan.
(3) Adanya jaminan tertulis dari calon suami, bahwa ia akan berlaku adil terhadap
isteri–isteri dan anak–anaknya.2
2 Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007 ), cet. 1. h. 133
35
BAB III
KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN
A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan
1. Kondisi Geografis
Kecamatan Sawangan merupakan salah satu dari kecamatan di
wilayah Kota depok. Adapun kondisi geografis Kecamatan sawangan adalah
sebagai berikut:
a. Tinggi Pusat Pemerintahan / Height of Central Government
Kec. sawangan dari permukaan tanah yang relatif datar dan
tidak berbukit- bukit : 60 m
b. Suhu Maksimum / Minimum
Max / Min Temperature : 30C / 20○
C
c. Batas Wilayah (Regional Boundary)
1) Sebelah Utara : Tangerang Banten & Kec. Limo
2) Sebelah Timur : Kec. Limo & Pancoran Mas
3) sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
4) Kecamatan : Kecamatan Tangerang
Kecamatan Sawangan memiliki luas wilayah 4.674 Ha, merupakan
wilayah yang berupa perbukitan.
36
2. Kondisi Demografis
Dalam pemerintahan Kecamatan Sawangan dipimpin oleh satu orang
Camat yang dibantu oleh beberapa orang staf yang berjumlah 19 (sembilan
belas) orang di tingkat kecamatan, hal ini dapat di lihat dari tabel berikut:
Tabel 1
Pegawai Kantor Camat Menurut Pangkat / Golongan Ruang dan Jenis Kelamin
District Officers based on their Grade/ room type
No Jabatan / Occupation Pangkat / Golongan /
Grade / room type
LAI-
NYA
JML
I II III IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 CAMAT - - - 1 - 1
2 SEKRETARIS CAMAT
STAF SEKRETARIAT
-
-
-
2
1
1
-
-
-
-
1
3
3 KASIE PEMERINTAHAN
STAF PEMERINTAHAN
-
-
-
-
1
1
-
-
-
1
1
2
4 KASIE DIKBUD
STAF DIKBUD
-
-
-
3
1
-
-
-
-
-
1
3
5 KASIE PEMBANGUNAN
STAF PEMBANGUNAN
-
-
-
-
1
2
-
-
-
-
1
2
6 KASIE KESOS
STAF KESOS
-
-
-
-
1
2
-
-
-
-
1
2
7 KASIE PEREKONOMIAN - - 1 - - 1
JUMLAH 0 5 12 1 1 19
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
37
Kecamatan sawangan memiliki 14 Desa / Kelurahan, yang terdiri dari 144
Rukun Warga (RW), dan 624 Rukun Tetangga (RT), sebagaimana dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2
Rukun Warga, dan Rukun Tetangga
Amounts of Orchard, Administrative Society Unit and Neigbourhood Association
No DESA/KELURAHAN
Village/Sub-District RW RT
(1) (2) (4) (5)
1 PASIR PUTIH 5 66
2 BEDAHAN 13 31
3 PENGASINAN 11 51
4 DUREN SERIBU 7 14
5 BOJONGSARI 6 22
6 CURUG 6 14
7 PONDOK PETIR 5 20
8 SERUA 9 40
9 CINANGKA 4 16
10 SAWANGAN 5 18
11 SAWANGAN BARU 5 30
12 KEDAUNG 6 9
13 BOJONGSARI BARU 7 11
14 DUREN MEKAR 8 32
JUMLAH 144 624
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
Wilayah Kecamatan Sawangan sama halnya dengan kecamatan lainnya,
sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk di Kecamatan
Sawangan terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik pun kian
berkembang sebagaimana mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman.
38
3. Kondisi penduduk
Berdasarkan data statistik dari Kecamatan Sawangan seperti oleh sandi
sebagai berikut:
Tabel-3
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
No DESA/KELURAHAN
Village/Sub-District
Laki-
Laki
Perem
puan
Laki-Laki
+
Permpuan
Rasio
Jenis
Kelamin
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6.177 6.128 12.305 87.4
2 BEDAHAN 7.098 6.928 14.026 107.2
3 PENGASINAN 6.536 6.417 12.953 93.8
4 DUREN SERIBU 4.194 4.431 8.625 95.9
5 BOJONGSARI 5.009 5.220 10.229 97.1
6 CURUG 5.676 5.382 11.058 87.4
7 PONDOK PETIR 7.339 7.256 14.595 101.3
8 SERUA 4.388 4.178 8.556 95.4
9 CINANGKA 4.860 4.718 9.758 96.0
10 SAWANGAN 6.652 6.258 12.910 99.8
11 SAWANGAN BARU 5.512 5.535 11.047 99.2
12 KEDAUNG 5.896 5.641 11.537 98.7
13 BOJONGSARI BARU 4.091 4.589 8.680 101.4
14 DUREN MEKAR 5.519 5.600 11.119 90.5
JUMLAH 78.947 78.281 157.228 93.6
Sumber Data: Registrasi Penduduk
Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data monografi kecamatan,
saat ini jumlah penduduk Kecamatan Sawangan berjumlah 157.228 jiwa. Dengan
jumlah Kepala Keluarga 43.383 jiwa. Dengan anggota keluarga rata-rata
berjumlah 6 (empat) orang.
39
Tabel-4
Penduduk Kecamatan sawangan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Paciran District residents based on Group of age and gender
No Kelompok umur
Gorup of age
Laki-Laki
Male
Perempuan
female
Laki-Laki +
Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 – 4 6.756 6.727 13.492
2 5 – 9 7.083 7.045 14.128
3 10 – 14 6.294 6.271 12.565
4 15 – 19 6.054 6.019 12.073
5 20 – 24 6.129 6.191 12.220
6 25 – 29 5.665 5.798 11.263
7 30 – 34 5.642 5.666 11.268
8 35 – 39 5.057 5.827 9.884
9 40 – 44 4.771 4.914 9.685
10 45 – 49 4.364 4.541 8.705
11 50 – 54 4.058 4.066 8.074
12 55 – 59 3.567 3.631 7.098
13 60 – 64 3.101 3.167 6.168
14 65 + 3.096 3.145 6.141
JUMLAH 71.644 73.008 142.764
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Berdasarkan tabel di atas mengenai usia penduduk dan jenis kelamin
nampak, bahwa sebagian bersar penduduk berusia 20 tahun ke atas. Dengan Hal
ini jumlah laki-laki mencapai 63.44% dari jumlah 71.644 sedangkan jumlah
perempuan mencapai 64.30% dari jumlah 73.008. hal ini membuktikan bahwa
jumlah laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Dari gambar di atas
menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sawangan tersebut sudah termasuk
memasuki usia produktif. Usia ini juga menunjukkan kedewasaan (baligh)
mereka secara keagamaan dalam bahasa lain mereka juga disebut mukallaf,
sehingga mereka sudah harus mengetahui dan menjalankan syari’at agama Islam.
40
4. Kondisi Perekonomian
Berdasarkan dari buku laporan Pemerintahan Kecamatan Sawangan,
mengenai kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam
tabel di bawah ini:
Tabel-5
Banyaknya Keluarga Pertanian Menurut Sub Sektor
Number of agriculture family based on its sector
No Desa/Kelurahan
Village/Sub-Disrict PETANI WIRASWASTA
(1) (2) (3) (4)
1 PASIR PUTIH 1.462 492
2 BEDAHAN 1.081 709
3 PENGASINAN 122 1.803
4 DUREN SERIBU 1.977 1.554
5 BOJONGSARI 399 1.842
6 CURUG 1.809 931
7 PONDOK PETIR 17 714
8 SERUA 1.349 1.577
9 CINANGKA 1.043 1.376
10 SAWANGAN 407 598
11 SAWANGAN BARU 1.434 1.898
12 KEDAUNG 288 1.492
13 BOJONGSARI BARU 744 1.924
14 DUREN MEKAR 3.469 4.179
Jumlah 15.565 21.089
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk
Kecamatan Sawangan bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 15.565 jiwa,
hal ini karena letak Kecamatan Sawangan kondisi ekonomi penduduk juga
ditopang dari sektor wiraswasta berjumlah 21.089 jiwa, mengingat bahwa
penduduk Kecamatan Sawangan juga termasuk masyarakat ekonomi menengah.
41
5. Kondisi sosial keagamaan
Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan yang agamis, hal
ini terlihat dari nuansa kehidupan masyarakatnya yang agamis. Hal ini tercermin
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan ritual kegamaan masyarakat
yang berupa pengajian, berbagai kegiatan rutinan, baik itu mingguan atau bulanan
berupa pembacaan surat yasin dan tahlil, dzibaan, thoriqoh dan kegiatan sosial
keagamaan lainnya.
Pembinaan bidang keagamaan di wilayah kecamatan ini dapat berjalan
dengan baik, karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah
dan fasilitas lainnya yang cukup memadai.
Tabel-8
Banyaknya Tempat Ibadah
Number of Religious Places
No Desa/Kelurahan
Village/Sub-Disrict
Masjid Musholla Majlis
Taklim
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6 24 10 40
2 BEDAHAN 6 18 5 29
3 PENGASINAN 8 6 11 25
4 DUREN SERIBU 6 19 9 34
5 BOJONGSARI 5 19 7 31
6 CURUG 5 17 12 34
7 PONDOK PETIR 6 11 4 21
8 SERUA 6 20 11 37
9 CINANGKA 4 28 10 42
10 SAWANGAN 5 10 4 19
11 SAWANGAN BARU 6 12 2 20
12 KEDAUNG 3 12 8 23
13 BOJONGSARI BARU 5 22 4 31
14 DUREN MEKAR 5 21 14 30
JUMLAH 76 239 111 419
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
42
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sarana tempat ibadah di
Kecamatan Sawangan berjumlah 419 buah, dengan rincian, Masjid 76 buah,
Musholla 239 buah, dan Majlis Taklim 111.
Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sawangan dapat di
ketahui dalam tabel di bawah ini:
Tabel-9
Banyaknya Sarana Pendidikan
No Desa/Kelurahan
Village/Sub-Disrict
TK SD SL
TP
SL
TA
PT Pon
Pes
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 PASIR PUTIH 3 4 3 1 - 2
2 BEDAHAN 3 2 2 3 - 4
3 PENGASINAN 9 8 5 6 2 1
4 DUREN SERIBU 3 2 - - - -
5 BOJONGSARI 5 2 2 2 - 2
6 CURUG 1 2 1 1 - 3
7 PONDOK PETIR 3 2 1 1 - 1
8 SERUA 5 5 2 2 1 1
9 CINANGKA 1 2 - - 1 -
10 SAWANGAN 4 2 2 1 - 2
11 SAWANGAN BARU 1 2 1 1 - 4
12 KEDAUNG 2 2 1 - - -
13 BOJONGSARI BARU 2 2 1 - - 2
14 DUREN MEKAR 2 1 4 6 4
JUMLAH 49 46 26 20 4 26
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa saranan pendidikan di Kecamatan
Sawangan cukup memadai bagi perkembangan intlektual masyarakat. Sarana
pendidikan dari jenjang Taman Kanak-kanak berjumlah 49 buah, sampai
Perguruan Tinggi berjumlah 4 buah, juga tersedia. Begitu pula dengan keberadaan
26 buah Pondok Pesantren menunjukkan bagaimana pembinaan spiritual dan
sosial keagamaan di wilayah kecamatan tersebut.
43
B. Poligami pada Masyarakat Sawangan.
1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap poligami.
a. Pengaturan mengenai masalah poligami.
Dalam poin ini, dari ke 6 (enam) tokoh masyarakat sawangan 5
(lima) di antaranya perlu adanya suatu pengaturan dari pemerintah dalam
menghadapi permasalahan poligami, karena menurut mereka
permasalahan itu perlu dilakukan atau di tindak lanjuti undang-undang
yang berlaku. Sedangkan 1 (satu) tokoh masyarakat menyatakan bahwa
poligami suatu yang amat urgen, kalau sudah tidak ada jalan lain baru
boleh melakukannya. Karena menurutnya monogamilah yang sangat ideal
karena tidak setuju dengan poligami. Selanjutnya mengatakan bahwa
poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi
seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada dalam hukum
Islam dan hukum positif. Dan ada beberapa tokoh dengan alasan yang
mereka kemukakan, di antaranya :
K.H Mad Budi dan H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa
pengaturan perkawinan terhadap poligami yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap warga negaranya. Selanjutnya K.H Damanhuri bahwa
perkawinan poligami itu harus diatur oleh pemerintah untuk menyamakan
persepsi, karena di Indonesia ada bermacam-macam agama dan aliran
kepercayaan, maka undang-undang perkawinan itu harus dibukukan.1
1 K.H Damnhuri, wawancara pribadi, pesantren Al-karimiyah sawangan baru 17 juli 2010.
44
KH. Anwar Hidayat SH mengatakan bahwa pengaturan
pemerintah terhadap masalah perkawinan warganya itu diperlukan untuk
melindungi rakyatnya.2 Sementara itu menurut KH. Edi Djunaedi bahwa
perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan dalam poligami
karena mayoritas rakyatnya bergama Islam, maka pengaturan perkawinan
dalm berpoligami banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.3
b. Syarat poligami.
Para tokoh masyarakat sepakat bahwa melakukan berpoligami
dalam Islam itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum Islam.
Sementara itu H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa Poligami
sudah sangat jelas kedudukannya dalam hukum Islam. Bagi seorang suami
yang akan melakukan poligami harus memperhatikan dan memenuhi
syarat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebab bila ia tidak mampu
memenuhinya maka sang suami tidak berhak berpoligami. 4
Selanjutnya K.H Mad Budi menambahkan bahwa Islam mengijinkan
seorang laki mengawini seorang perempuan lebih dari satu ( hingga empat ).
Namun, hal itu dapat dilakukan oleh suami bila ia telah memenuhi syarat yang
telah ditentukan oleh hukum Islam. Apabila syarat belum terpenuhi maka ia
)������/) :*+,( Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
KH. Damanhuri menjelaskan hukum poligami dari segi keadilan. Dalam
hal ini adil bukannya berarti memberikan materi yang cukup saja tetapi adil yang
bersipat substansial, artinya adil memberikan nafkah bathin serta adil dalam
persamaan kaum wanita yang dinikahinya.
Jika hukum Islam tidak terpenuhi dalam keadilan berpoligami dan hanya
dimotifasi oleh kebutuhan biologis laki-laki maka semakin mendekati keharaman
yang nyata.
Selain ayat di atas yang menggambarkan hukum poligami berdasarkan
hukum Islam, ditegaskan pula berdasarkan ushul fiqh, bahwa poligami dibolehkan
namun poligami tidak harus dijadikan suatu kewajiban. Sebagian jumhur ulama
berpendapat bahwa poligami hanya pada empat wanita saja atau sesuai dengan
ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.
Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak
menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun
53
perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu
sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada
empat wanita saja.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul
Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
waktu yang bersamaan.1 Imam Malik berpendapat bahwa seseorang abdun boleh
menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al
Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai
sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
-��.�/!0��1 234��# �56��2�7 -��82�!� 29��2�7)9��� :��; <���( Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).2 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang
menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan
beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),
mereka semua masuk Islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya
untuk memilih empat di antara mereka.
1 Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31 2 Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )
Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang
kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa
Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami
seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan
Muaz bin Jabal r.a.
Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang
yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa
generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat
melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-
ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
55
bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan
semua istrinya dengan adil.
Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan
hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami
karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang
lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas
kontrol manusia.
Sedangkan terdapat 1 (satu) tokoh masyarakat yang mempunyai
pandangan lain terhadap poligami tersebut karena poligami merupakan jalan
darurat (emergency exit), kalau sudah tidak ada jalan baru boleh melakukannya.
Dan poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang
istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada di dalam hukum Islam dan
hukum positif. Pandangan tersebut sesuai dengan surat an-Nisa :
)-�.��//1 :34( Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan
pada isterimu padahal kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat”. (QS. an Nisa/3 : 21)
Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian
yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai
Artinya: “Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikan dengan yang baik pula” ( Qs.Al-Baqarah/2 : 231).
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam
masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru,
ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak
kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari
berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.
3
Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuan-
perempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang
selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan
wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi,
dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah.
Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi
dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian
masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat
kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua
orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah
sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil
diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang
mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan
dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam satu
waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu
orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita (poligami),
hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :
Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, satu,dua,tiga, atau empat.” (Qs. An-Nisa/3:3).
4
Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan
antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan
kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan,
keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk
mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang
perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya
pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang
mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi
dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila
tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa
dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami.
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah
mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang
berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut,
sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.3 Dalam salah satu
azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip
ini lebih dikenal dengan azas monogami.
3 Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
meliputi : (1) azas tujuan perkawinan, (2) azas syahnya perkawinan, (3) azas monogamy, (4) azas kematangan jiwa dan raga, (5) azas perceraian dipersulit, dan (6) azas keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5
Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah,
namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan
poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara
sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak
sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki
persamaan tujuan.
Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan
sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan
manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai
kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan
Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum
Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal
pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.4
Memang masalah poligami tetap menarik diperbincangkan dan
menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi
sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah
setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan
perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya
membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.5
Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan
penghinaan terhadap perempuan.6 Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa
peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat
besar yang membersihkan masyarakat dari akhlak yang tercela dan
menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang
tidak mengenal poligami yakni pelacuran.7 Praktik poligami ini khusus di
Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis,
maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo,
Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada laki-
laki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan
dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa
bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami
untuk menjadi menteri”.8 Sekarang orang bukan hanya ramai-ramai
membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita
ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di
belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo
5 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 194. 6 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta, 1999), Cet. 1. h. 50. 7 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 124. 8 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 22.
7
(pengusaha), Aa Gym (kiai dan pebisnis), Zainal Ma’arif (politisi), KH. Noer
Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren), Fauzan al Anshari (aktivis dakwah),
bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh
sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung
jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang.
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam
tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang
perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menganut
kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri.
Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal
55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59,
antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus
mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal ( 55 ayat 2 ).
Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana
termaktub dalam pasal lima ( 5 ) Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami
hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka
lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan
(diperbolehkan), bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya
kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8
Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa
tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh
Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada
poligami menurut pandangan para tokoh masyarakat formal dan informal di
Kecamatan Sawangan Kota Depok.
2. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus
pada :
Pertama : Bagaimana poligami dimaknai oleh para tokoh masyarakat.
Apa faktor yang mendukungnyanya, misalkan faktor internal, ekonomi,
pendidikan, lingkungan sosial.
Rumusan masalah ini, dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
a. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap
poligami?
b. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat terhadap hukum islam dan
hukum positif terhadap poligami?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan menganalisa latar belakang dengan perumusan masalah tersebut
maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan tentang
poligami.
2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap
hukum islam dan hokum positif tentang poligami.
Adapun manfaat atau kegunaanya adalah :
1. Secara Akademis
yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar
Kesarjanaan Strata Satu pada Fakultas Syari’ah dah Hukum.
2. Secara Ilmiah
a. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, memberikan sumbangan kepustakaan
dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada umumnya.
b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat selama
belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum.
c. Bagi tokoh masyarakat dapat memberikan informasi yang objektif.
Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah
dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat kecamatan sawangan
khususnya dan masyarakat luas tentang pengaruh poligami terhadap beberapa
faktor.
10
D. Metode Penelitian
Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan
secara mendalam.9 Sementara soerjono soekanto mendefinisikan penelitian
deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang diteleti mungkin dengan
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-
teori. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian
sebagai sesuatu metode kualitatif yang bertujuan menyajikan pandang objek yang
diteleti bahan dan data penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan ( field
research ) yang dimaksudkan untuk memperoleh data, di mana peneliti terjun
langsung kelapangan. Oleh karena itu, data lapangan merupakan data primer,
yaitu data utama yang akan diteliti ( beberapa tujuan ) di kecamatan Sawangan.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau tulisan-
tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga
didapatkan dari penelitian kepustakaan ( library research ) yang berkaitan dengan
poligami.
Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang
dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
9 Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.ke-2, h.
309
11
1. Teknik wawancara mendalam yakni satu bentuk komunikasi verbal untuk
memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang
dijadikan sebagai informasi.
2. Teknik dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data yang
dilakukan dengan acara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di
kecamatan sawangan yang dijadikan objek penelitian.
3. Teknik puataka. Berkaitan dengan sumber-sumber pustaka.
E. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan
pembahasannya sebagai berikut :
Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan
yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian
poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif.
Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi
geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi
sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami,
faktor-faktor pendukung poligami di sawangan.
Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang
poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif.
Bab Kelima, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami
Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian
kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka
sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara
detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka
masih banyak yang verbalisme.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang
berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau
kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah
perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan
yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz
Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij
Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang
dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki
mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih
darinya.3
1 Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12. 2 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007 ) cet 1, h. 29. 3 Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global
Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.
13
Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini
digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau
istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa
poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak
perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang
melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang
sama, dan bukan karena kawin cerai).4
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan
berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan
yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu
pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama
dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam
waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di
masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami
sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.
4 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26. 5 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h.
18. 6 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866. 7 Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1981 ), h. 169.
14
Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana
yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan
poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika
masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami
menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan
perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8
Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh
sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam,
poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir
semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan
kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu
sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada
bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu,
praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan
orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu
laki–laki (suami).9
Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang
namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan
8 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan
Gender, 1999), cet. 1. h. 3. 9 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15
ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus
orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10
Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak
menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya
istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha
mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya
empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut
agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11
Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena
larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul
(sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab
itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr.
Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa
kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia
kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan
seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan
tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang
diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang
melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di
10 Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100. 11Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang –
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80
16
dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami
dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan
para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja
(pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa
ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian
haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu
menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita
itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya
sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak
membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan
golongan Orthodok dan Protestan (Gereja Masehi Injili), semuanya
memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam
suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13
George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak
ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya
berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang
Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak
gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah
tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi.
12 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49 13Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang–
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81
17
Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang
perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara
populer.14
Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya
poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka
berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di
kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja
berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka
akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa
Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan
bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika,
banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan
dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat
warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran
bahkan hampir sebagai kelembagaan.15
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah
mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit
kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW
membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan
14 Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104 15 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120. 16 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007)
18
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan
seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan
secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas
memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi
kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan
sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan
sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan
bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang
bermartabat.18
B. Poligami Menurut Hukum Islam.
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian
khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati
masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :
)������/ :���( Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang
amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun
lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil
dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir
21
modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung
pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh
menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin
berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan
kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami
semakin nyata.
Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku
adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat
disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid
Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya
membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan
rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan
rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat
manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka
rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan.
Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami.
Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami
adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap
para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah),
sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan
yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,
22
suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa
mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.
Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus
memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin
keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku
adil terhadap para istri dan anaknya.
Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No.
1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami
yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang
suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa
penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda
tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak
penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan
itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang
bersifat materi.
Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat
berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin
bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak
dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram.
Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka
poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan
zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.
23
Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar
menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi
kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah
menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129.
Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai
bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya
sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan
monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi
saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami.
wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua
untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita
yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal
memiliki daya tarik yang memikat.
Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak
menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun
perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu
sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada
empat wanita saja.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul
Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
24
waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun
boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab
al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai
sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
����������� ������� � !�"���# ���$���% �&'��%�#)&��% (�%) *�+�( Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang
menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan
beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),
mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )
19 Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31 20 Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
25
Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang
kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa
Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami
seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan
Muaz bin Jabal r.a.
Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang
yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa
generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat
melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama
halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau
makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang laki-
laki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hak-
hak istri-istrinya.
Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan
Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan
syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk
meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan
generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum
muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis.
Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama-
ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
26
suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan
semua istrinya dengan adil.
Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah
keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang
semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal.
Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini
sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.
Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan
hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami
karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang
lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas
kontrol manusia.
C. Poligami menurut Hukum Positif.
1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu
permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada
27
kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam
Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang–
orang yang memiliki alasan–alasan tertentu.
Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini
dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal–
pasal yang mengaturnya sebagai berikut :
Pasal 3 (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat–syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan–
keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua
28
tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Pasal 65 (1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan
hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri
dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi.
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing–masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan–ketentuan ayat (1) pasal ini.
Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas
dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai
berikut :
a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat
permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama,
umur, tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri), alasan–
alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum.21
b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim
memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah
diterimanya surat permohonan tersebut (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/ 1974).
21 H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke -3, h. 241.
29
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah
lagi sebagai syarat alternatif yaitu :
1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri
seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik,
mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak
dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik.
2) Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit
yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan
sebagainya.
3) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.22
b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus
dinyatakan di depan sidang.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai
penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat
keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku
adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat
dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.23
22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 ), cet. Ke -1, h.35. 23 Ibid
30
d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu
menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk
melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan
lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua
tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa
keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam
memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan
dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak
mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya
akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha
keras mencarinya.24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang
Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal
poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat.
2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil
consensus (ijma’) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat
legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi
24 Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan
kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.25
Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang
seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum
positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama
Islam.26
Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59
berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.27
Pasal 55
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang
25 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998), cet. Ke -2, h. 122. 26 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet.
Ke -4, h. 43. 27 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 / 1999, h. 33 – 35.
32
ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu : a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri
dan anak–anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama.
(3) Persetujuan dimaksud ayat (1) Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan
aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam
bidang perkawinan (buku 1) KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan
perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada
pendapat fuqaha (para ahli fiqih) yang sangat dikenal di kalangan ulama dan
masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma
hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.28
28 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998 ), cet. Ke -2, h. 125
33
3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983.
Menurut pasal 10 PP No. 10 tahun 1983 pegawai negeri sipil pria yang
akan beristeri lebih dari seorang dan pegawai sipil wanita yang akan menjadi
isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil
diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat.29
Dan izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat, apabila memenuhi
sekurang–kurangnya salah satu syarat alternatif yaitu :
(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu harus dipenuhinya ketiga syarat kumulatif, yaitu :
(1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri – isteri.
(2) Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup
untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan
dengan surat keterangan pajak penghasilan.
(3) Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan, bahwa
ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.
Sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan pegawai negeri sipil syarat–syarat
kumulatif tersebut adalah :
29 Lihat Penjelasan Umum PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Negeri Sipil
34
(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri calon suami.
(2) Calon suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan
pajak penghasilan.
(3) Adanya jaminan tertulis dari calon suami, bahwa ia akan berlaku adil terhadap
isteri–isteri dan anak–anaknya.2
2 Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007 ), cet. 1. h. 133
35
BAB III
KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN
A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan
1. Kondisi Geografis
Kecamatan Sawangan merupakan salah satu dari kecamatan di
wilayah Kota depok. Adapun kondisi geografis Kecamatan sawangan adalah
sebagai berikut:
a. Tinggi Pusat Pemerintahan / Height of Central Government
Kec. sawangan dari permukaan tanah yang relatif datar dan
tidak berbukit- bukit : 60 m
b. Suhu Maksimum / Minimum
Max / Min Temperature : 30C / 20○
C
c. Batas Wilayah (Regional Boundary)
1) Sebelah Utara : Tangerang Banten & Kec. Limo
2) Sebelah Timur : Kec. Limo & Pancoran Mas
3) sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
4) Kecamatan : Kecamatan Tangerang
Kecamatan Sawangan memiliki luas wilayah 4.674 Ha, merupakan
wilayah yang berupa perbukitan.
36
2. Kondisi Demografis
Dalam pemerintahan Kecamatan Sawangan dipimpin oleh satu orang
Camat yang dibantu oleh beberapa orang staf yang berjumlah 19 (sembilan
belas) orang di tingkat kecamatan, hal ini dapat di lihat dari tabel berikut:
Tabel 1
Pegawai Kantor Camat Menurut Pangkat / Golongan Ruang dan Jenis Kelamin
District Officers based on their Grade/ room type
No Jabatan / Occupation Pangkat / Golongan /
Grade / room type
LAI-
NYA
JML
I II III IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 CAMAT - - - 1 - 1
2 SEKRETARIS CAMAT
STAF SEKRETARIAT
-
-
-
2
1
1
-
-
-
-
1
3
3 KASIE PEMERINTAHAN
STAF PEMERINTAHAN
-
-
-
-
1
1
-
-
-
1
1
2
4 KASIE DIKBUD
STAF DIKBUD
-
-
-
3
1
-
-
-
-
-
1
3
5 KASIE PEMBANGUNAN
STAF PEMBANGUNAN
-
-
-
-
1
2
-
-
-
-
1
2
6 KASIE KESOS
STAF KESOS
-
-
-
-
1
2
-
-
-
-
1
2
7 KASIE PEREKONOMIAN - - 1 - - 1
JUMLAH 0 5 12 1 1 19
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
37
Kecamatan sawangan memiliki 14 Desa / Kelurahan, yang terdiri dari 144
Rukun Warga (RW), dan 624 Rukun Tetangga (RT), sebagaimana dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2
Rukun Warga, dan Rukun Tetangga
Amounts of Orchard, Administrative Society Unit and Neigbourhood Association
No DESA/KELURAHAN
Village/Sub-District RW RT
(1) (2) (4) (5)
1 PASIR PUTIH 5 66
2 BEDAHAN 13 31
3 PENGASINAN 11 51
4 DUREN SERIBU 7 14
5 BOJONGSARI 6 22
6 CURUG 6 14
7 PONDOK PETIR 5 20
8 SERUA 9 40
9 CINANGKA 4 16
10 SAWANGAN 5 18
11 SAWANGAN BARU 5 30
12 KEDAUNG 6 9
13 BOJONGSARI BARU 7 11
14 DUREN MEKAR 8 32
JUMLAH 144 624
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
Wilayah Kecamatan Sawangan sama halnya dengan kecamatan lainnya,
sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk di Kecamatan
Sawangan terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik pun kian
berkembang sebagaimana mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman.
38
3. Kondisi penduduk
Berdasarkan data statistik dari Kecamatan Sawangan seperti oleh sandi
sebagai berikut:
Tabel-3
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
No DESA/KELURAHAN
Village/Sub-District
Laki-
Laki
Perem
puan
Laki-Laki
+
Permpuan
Rasio
Jenis
Kelamin
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6.177 6.128 12.305 87.4
2 BEDAHAN 7.098 6.928 14.026 107.2
3 PENGASINAN 6.536 6.417 12.953 93.8
4 DUREN SERIBU 4.194 4.431 8.625 95.9
5 BOJONGSARI 5.009 5.220 10.229 97.1
6 CURUG 5.676 5.382 11.058 87.4
7 PONDOK PETIR 7.339 7.256 14.595 101.3
8 SERUA 4.388 4.178 8.556 95.4
9 CINANGKA 4.860 4.718 9.758 96.0
10 SAWANGAN 6.652 6.258 12.910 99.8
11 SAWANGAN BARU 5.512 5.535 11.047 99.2
12 KEDAUNG 5.896 5.641 11.537 98.7
13 BOJONGSARI BARU 4.091 4.589 8.680 101.4
14 DUREN MEKAR 5.519 5.600 11.119 90.5
JUMLAH 78.947 78.281 157.228 93.6
Sumber Data: Registrasi Penduduk
Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data monografi kecamatan,
saat ini jumlah penduduk Kecamatan Sawangan berjumlah 157.228 jiwa. Dengan
jumlah Kepala Keluarga 43.383 jiwa. Dengan anggota keluarga rata-rata
berjumlah 6 (empat) orang.
39
Tabel-4
Penduduk Kecamatan sawangan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Paciran District residents based on Group of age and gender
No Kelompok umur
Gorup of age
Laki-Laki
Male
Perempuan
female
Laki-Laki +
Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 – 4 6.756 6.727 13.492
2 5 – 9 7.083 7.045 14.128
3 10 – 14 6.294 6.271 12.565
4 15 – 19 6.054 6.019 12.073
5 20 – 24 6.129 6.191 12.220
6 25 – 29 5.665 5.798 11.263
7 30 – 34 5.642 5.666 11.268
8 35 – 39 5.057 5.827 9.884
9 40 – 44 4.771 4.914 9.685
10 45 – 49 4.364 4.541 8.705
11 50 – 54 4.058 4.066 8.074
12 55 – 59 3.567 3.631 7.098
13 60 – 64 3.101 3.167 6.168
14 65 + 3.096 3.145 6.141
JUMLAH 71.644 73.008 142.764
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Berdasarkan tabel di atas mengenai usia penduduk dan jenis kelamin
nampak, bahwa sebagian bersar penduduk berusia 20 tahun ke atas. Dengan Hal
ini jumlah laki-laki mencapai 63.44% dari jumlah 71.644 sedangkan jumlah
perempuan mencapai 64.30% dari jumlah 73.008. hal ini membuktikan bahwa
jumlah laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Dari gambar di atas
menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sawangan tersebut sudah termasuk
memasuki usia produktif. Usia ini juga menunjukkan kedewasaan (baligh)
mereka secara keagamaan dalam bahasa lain mereka juga disebut mukallaf,
sehingga mereka sudah harus mengetahui dan menjalankan syari’at agama Islam.
40
4. Kondisi Perekonomian
Berdasarkan dari buku laporan Pemerintahan Kecamatan Sawangan,
mengenai kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam
tabel di bawah ini:
Tabel-5
Banyaknya Keluarga Pertanian Menurut Sub Sektor
Number of agriculture family based on its sector
No Desa/Kelurahan
Village/Sub-Disrict PETANI WIRASWASTA
(1) (2) (3) (4)
1 PASIR PUTIH 1.462 492
2 BEDAHAN 1.081 709
3 PENGASINAN 122 1.803
4 DUREN SERIBU 1.977 1.554
5 BOJONGSARI 399 1.842
6 CURUG 1.809 931
7 PONDOK PETIR 17 714
8 SERUA 1.349 1.577
9 CINANGKA 1.043 1.376
10 SAWANGAN 407 598
11 SAWANGAN BARU 1.434 1.898
12 KEDAUNG 288 1.492
13 BOJONGSARI BARU 744 1.924
14 DUREN MEKAR 3.469 4.179
Jumlah 15.565 21.089
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk
Kecamatan Sawangan bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 15.565 jiwa,
hal ini karena letak Kecamatan Sawangan kondisi ekonomi penduduk juga
ditopang dari sektor wiraswasta berjumlah 21.089 jiwa, mengingat bahwa
penduduk Kecamatan Sawangan juga termasuk masyarakat ekonomi menengah.
41
5. Kondisi sosial keagamaan
Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan yang agamis, hal
ini terlihat dari nuansa kehidupan masyarakatnya yang agamis. Hal ini tercermin
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan ritual kegamaan masyarakat
yang berupa pengajian, berbagai kegiatan rutinan, baik itu mingguan atau bulanan
berupa pembacaan surat yasin dan tahlil, dzibaan, thoriqoh dan kegiatan sosial
keagamaan lainnya.
Pembinaan bidang keagamaan di wilayah kecamatan ini dapat berjalan
dengan baik, karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah
dan fasilitas lainnya yang cukup memadai.
Tabel-8
Banyaknya Tempat Ibadah
Number of Religious Places
No Desa/Kelurahan
Village/Sub-Disrict
Masjid Musholla Majlis
Taklim
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 PASIR PUTIH 6 24 10 40
2 BEDAHAN 6 18 5 29
3 PENGASINAN 8 6 11 25
4 DUREN SERIBU 6 19 9 34
5 BOJONGSARI 5 19 7 31
6 CURUG 5 17 12 34
7 PONDOK PETIR 6 11 4 21
8 SERUA 6 20 11 37
9 CINANGKA 4 28 10 42
10 SAWANGAN 5 10 4 19
11 SAWANGAN BARU 6 12 2 20
12 KEDAUNG 3 12 8 23
13 BOJONGSARI BARU 5 22 4 31
14 DUREN MEKAR 5 21 14 30
JUMLAH 76 239 111 419
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
42
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sarana tempat ibadah di
Kecamatan Sawangan berjumlah 419 buah, dengan rincian, Masjid 76 buah,
Musholla 239 buah, dan Majlis Taklim 111.
Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sawangan dapat di
ketahui dalam tabel di bawah ini:
Tabel-9
Banyaknya Sarana Pendidikan
No Desa/Kelurahan
Village/Sub-Disrict
TK SD SL
TP
SL
TA
PT Pon
Pes
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 PASIR PUTIH 3 4 3 1 - 2
2 BEDAHAN 3 2 2 3 - 4
3 PENGASINAN 9 8 5 6 2 1
4 DUREN SERIBU 3 2 - - - -
5 BOJONGSARI 5 2 2 2 - 2
6 CURUG 1 2 1 1 - 3
7 PONDOK PETIR 3 2 1 1 - 1
8 SERUA 5 5 2 2 1 1
9 CINANGKA 1 2 - - 1 -
10 SAWANGAN 4 2 2 1 - 2
11 SAWANGAN BARU 1 2 1 1 - 4
12 KEDAUNG 2 2 1 - - -
13 BOJONGSARI BARU 2 2 1 - - 2
14 DUREN MEKAR 2 1 4 6 4
JUMLAH 49 46 26 20 4 26
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa saranan pendidikan di Kecamatan
Sawangan cukup memadai bagi perkembangan intlektual masyarakat. Sarana
pendidikan dari jenjang Taman Kanak-kanak berjumlah 49 buah, sampai
Perguruan Tinggi berjumlah 4 buah, juga tersedia. Begitu pula dengan keberadaan
26 buah Pondok Pesantren menunjukkan bagaimana pembinaan spiritual dan
sosial keagamaan di wilayah kecamatan tersebut.
43
B. Poligami pada Masyarakat Sawangan.
1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap poligami.
a. Pengaturan mengenai masalah poligami.
Dalam poin ini, dari ke 6 (enam) tokoh masyarakat sawangan 5
(lima) di antaranya perlu adanya suatu pengaturan dari pemerintah dalam
menghadapi permasalahan poligami, karena menurut mereka
permasalahan itu perlu dilakukan atau di tindak lanjuti undang-undang
yang berlaku. Sedangkan 1 (satu) tokoh masyarakat menyatakan bahwa
poligami suatu yang amat urgen, kalau sudah tidak ada jalan lain baru
boleh melakukannya. Karena menurutnya monogamilah yang sangat ideal
karena tidak setuju dengan poligami. Selanjutnya mengatakan bahwa
poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi
seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada dalam hukum
Islam dan hukum positif. Dan ada beberapa tokoh dengan alasan yang
mereka kemukakan, di antaranya :
K.H Mad Budi dan H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa
pengaturan perkawinan terhadap poligami yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap warga negaranya. Selanjutnya K.H Damanhuri bahwa
perkawinan poligami itu harus diatur oleh pemerintah untuk menyamakan
persepsi, karena di Indonesia ada bermacam-macam agama dan aliran
kepercayaan, maka undang-undang perkawinan itu harus dibukukan.1
1 K.H Damnhuri, wawancara pribadi, pesantren Al-karimiyah sawangan baru 17 juli 2010.
44
KH. Anwar Hidayat SH mengatakan bahwa pengaturan
pemerintah terhadap masalah perkawinan warganya itu diperlukan untuk
melindungi rakyatnya.2 Sementara itu menurut KH. Edi Djunaedi bahwa
perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan dalam poligami
karena mayoritas rakyatnya bergama Islam, maka pengaturan perkawinan
dalm berpoligami banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.3
b. Syarat poligami.
Para tokoh masyarakat sepakat bahwa melakukan berpoligami
dalam Islam itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum Islam.
Sementara itu H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa Poligami
sudah sangat jelas kedudukannya dalam hukum Islam. Bagi seorang suami
yang akan melakukan poligami harus memperhatikan dan memenuhi
syarat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebab bila ia tidak mampu
memenuhinya maka sang suami tidak berhak berpoligami. 4
Selanjutnya K.H Mad Budi menambahkan bahwa Islam mengijinkan
seorang laki mengawini seorang perempuan lebih dari satu ( hingga empat ).
Namun, hal itu dapat dilakukan oleh suami bila ia telah memenuhi syarat yang
telah ditentukan oleh hukum Islam. Apabila syarat belum terpenuhi maka ia
)������/) :*+,( Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
KH. Damanhuri menjelaskan hukum poligami dari segi keadilan. Dalam
hal ini adil bukannya berarti memberikan materi yang cukup saja tetapi adil yang
bersipat substansial, artinya adil memberikan nafkah bathin serta adil dalam
persamaan kaum wanita yang dinikahinya.
Jika hukum Islam tidak terpenuhi dalam keadilan berpoligami dan hanya
dimotifasi oleh kebutuhan biologis laki-laki maka semakin mendekati keharaman
yang nyata.
Selain ayat di atas yang menggambarkan hukum poligami berdasarkan
hukum Islam, ditegaskan pula berdasarkan ushul fiqh, bahwa poligami dibolehkan
namun poligami tidak harus dijadikan suatu kewajiban. Sebagian jumhur ulama
berpendapat bahwa poligami hanya pada empat wanita saja atau sesuai dengan
ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.
Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak
menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun
53
perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu
sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada
empat wanita saja.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul
Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
waktu yang bersamaan.1 Imam Malik berpendapat bahwa seseorang abdun boleh
menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al
Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai
sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
-��.�/!0��1 234��# �56��2�7 -��82�!� 29��2�7)9��� :��; <���( Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah
(ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).2 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang
menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan
beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam),
mereka semua masuk Islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya
untuk memilih empat di antara mereka.
1 Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31 2 Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )
Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang
kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa
Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami
seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan
Muaz bin Jabal r.a.
Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang
yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa
generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat
melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-
ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
55
bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan
semua istrinya dengan adil.
Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan
hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami
karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang
lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas
kontrol manusia.
Sedangkan terdapat 1 (satu) tokoh masyarakat yang mempunyai
pandangan lain terhadap poligami tersebut karena poligami merupakan jalan
darurat (emergency exit), kalau sudah tidak ada jalan baru boleh melakukannya.
Dan poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang
istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada di dalam hukum Islam dan
hukum positif. Pandangan tersebut sesuai dengan surat an-Nisa :