PANDAI BACA TULIS AL-QURAN SEBAGAI PERASYARAT UNTUK NIKAH PERDA BULUKUMBA DAN MANDAILING NATAL DALAM PERSFEKTIF KOMPARATIF HUKUM ISLAM (Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun 2003) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperolah Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: RAMDANI NIM: 1110043200015 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/ 2015 M
117
Embed
PANDAI BACA TULIS AL-QURAN SEBAGAI PERASYARAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44870/1/RAMDANI-FSH.pdfpandai baca tulis al-quran sebagai perasyarat untuk nikah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PANDAI BACA TULIS AL-QURAN SEBAGAI PERASYARAT
UNTUK NIKAH PERDA BULUKUMBA DAN MANDAILING
NATAL DALAM PERSFEKTIF KOMPARATIF HUKUM ISLAM
(Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal
No 5 Tahun 2003)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Memperolah Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
RAMDANI
NIM: 1110043200015
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/ 2015 M
iii
ABSTRAK
RAMDANI. NIM 1110043200015. Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai prasyarat
untuk nikah Perda Bulukumba dan Perda Mandailing Natal Dalam Persfektif Komparatif
Hukum Islam (Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No
5 Tahun 2003). Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan
Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakrta, 1436H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pemberlakuan Peraturan
Daerah (Perda) yang berbasis syariah di Indonesia. Banyak Perda-perda yang sengaja dirancang
oleh Partai Politik (Parpol) tertentu untuk memenangkan partai mereka yang seolah-olah
memberikan fasilitas atau langkah baru bagi mayoritas kelompok masyarakat yang ada dalam
suatu daerah tertentu. Padahal kalau diteliti lebih jauh, banyak dari Perda berbasis syariah
tersebut yang melanggar Undang-undang terutama HAM dan hukum Islam. Seperti halnya yang
terjadi di Bulukumba dan Mandailing Natal yaitu Perda tentang pandai baca tulis Al-Quran bagi
siswa dan calon pengantin untuk nikah. Padahal dalam rukun dan syarat nikah tidak ada
kewajiban tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap
efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum Islam dan HAM. Dengan
pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data
melalui studi pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif.
Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi
satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat
dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya
kepada pembaca.
Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami sah atau tidaknya suatu aturan
dalam masyarakat walaupun yang merancangnya adalah Pemerintah Daerah. Bertentangan atau
tidak kah suatu peratutan pemerintah dengan hukum Islam dan HAM yang memang dijunjung
tinggi oleh mayoritas masyarakat Muslim.
iv
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan taufik dan hidayahNYA, ridho dan „inayahNYA kepada
penulis, sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang insyallah dengan
keridhoaanNYA memberi manfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umunya. Amin
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada junjungan
alam, uswatun hasanan kita, Nabi besar Muhammad SAW.,yang dengan wasilah
ilmu-ilmunya lewat para pengikutnya, kemudian sampai kepada penulis, memberi
peranan penting bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur
yang tiada terhingga yang menunjukan betapa Allah telah memberikan rasa kasih
dan sayang-NYA kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis dan
ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pandai
Baca Tulis Al-Quran Sebagai Prasyarat Untuk Nikah Perda Bulukumba dan
Perda Mandailing Natal Dalam Persfektif Komparatif Hukum Islam
(Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal
No 5 Tahun 2003).”
Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak, baik berupa semangat, tukar pikiran maupun berupa
finansial, sehingga penulisan ini selesai. Adapaun penulis, tidak dapat melukiskan
degan untaian kata-kata, ungkapan yang pantas penulis haturkan kepada mereka.
Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada:
iv
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga menjadi pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang
lebih baik.
2. Dr. Khamami, MA selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(PMH), yang telah memberikan pelayanan dan bantuan kepada penulis.
Kepada ibu Siti Hanna, MA selaku Sekretaris Prodi yang sudah membantu
menyelesaikan penilaian penulis dari awal hingga akhir.
3. Bapak Arskal Salim GP, MA, Ph. D. yang telah membimbing, memberi
ilmu, memotivasi penulis dengan penuh keihklasan selama melakukan
penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang
memuaskan.
4. Dosen penguji Dr. yang telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan
telah memberikan kritik maupun saran serta arahan masukannya untuk
kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Ibu dosen yang telah memberikan tenaga dan pikirannya, untuk
mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yag berguna bagi agama,
dunia dan akhirat. Semoga doa dan didikannya menjadi berkah dan dapat
menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.
6. Ayah dan ibuku yang senantiasa mendukung, membimbing, mendidik
penulis dan beramat berjasa, arif mendidik, tiada hentinya mendoakan
anaknya agar menjadi manusia yang shaleh yang berbakti kepada
keduanya dan berguna bagi bangsa dan negara terlebih untuk agama.
iv
”Doaku selalu ada untukmu bu”. Serta adikku “Maulana” yang selalu
memberikan semangat dan doa kepada penulis.
7. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si yang selalu memberi masukan
saran dan kritiknya dalam penulisan skripsi ini. Semoga apa yang abah
berikan ke penulis, menjadi uswatun hasanah bagi penulis dan diberikan
balasan dengan sebaik-baiknya balasan. Amin.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah menyediakan bahan-bahan yang menjadikan referensi dalam
penulisan skripsi ini.
9. Kepada My big family, paman-pamanku yang telah memberi semangat,
kepada penulis agar bisa menyelesikan skripsi dengan cepat dan baik .
mutmainah (Fidkom) serta teman-temanku semua yang menjadi guru,
teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga persahabatan
ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicita-citakan akan tercapai.
amin
11. Kepada Berliantika Setyoningrum dan ibu yang memberi kecerian dalam
kehidupan penulis. Dengan do‟a, perhatian serta suportnya menjadi
penyemangat dalam penulisan skripsi ini, moga tetap menjadi pemberi
kecerian bagi penulis.
iv
12. Kepada sahabat/i Alumni Pondok Pesantren Qotrun Nada (GALAXY) 608
angkatan 2008, Fauzan, Mujtaba, Mahrus, Dzu Falhain, Nurul Anbiya,
Fadhil dan semua sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam studi dan selalu
memberikan kenangan tak terlupakan. “Sindiran kalian menjadi
penyemangat bagi penulis, terimakasih”
Akhirnya, kepada semua pihak yang membantu penulisan skripsi ini,
penulis berdoa semoga Allah SWT, senantiasa mencurahkan rahmat dan
hidayahNYA kepada kita semua. Harapan terakhir penulis agar skripsi ini
bermanfaat buat pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 1 April 2015 M
27 Jumaditsaniah 1436 H
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi
Bab I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .............................................. 8
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12
Bab II TINJAUAN UMUM TENTANG PRINSIP KEBEBASAN MENIKAH
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ................. 14
A. Keabsahan Pernikahan ........................................................................ 14
B. Persyaratan Pernikahan........................................................................ 17
C. Kelengkapan Administrasi Pernikahan ............................................... 22
Bab III ANALISIS PERBANDINGAN PERDA BULUKUMBA NO 6 TAHUN
2003 DAN MANDAILING NATAL NO 5 TAHUN 2003. .................. 29
A. Proses Pembentukan Perda .................................................................. 29
B. Isi Perda ............................................................................................... 40
C. Nama atau Titel Perda ........................................................................ 45
D. Jumlah Pasal dalam Perda ................................................................... 46
E. Struktur Perda ..................................................................................... 47
F. Partai Pengusung Perda ....................................................................... 53
G. Respon Masyarakat terhadap Perda ..................................................... 56
Bab IV ANALISIS PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERDA
BULUKUMBA DAN MANDAILING NATAL .................................... 58
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Perda ............................................. ..58
B. Tinjauan Peraturan HAM terhadap Perda ........................................... 65
Bab V PENUTUP ............................................................................................... 73
A. Kesimpulan .......................................................................................... 73
B. Saran .................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77
LAMPIRAN 82
A. Peta Kabupaten Bulukumba
B. Peta Kabupaten Mandailing Natal
C. Perda Kabupaten Bulukumba
D. Perda Kabupaten Mandailing Natal
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia bukanlah negara Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah
beragama Islam. Tetapi Indonesia menyatukan kepentingan umat beragama
dengan landasan yang kuat, yaitu pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan dalam Pasal 29 dari UUD 1945 bahwa negara menjamin umat beragama
untuk memeluk dan menjalankan ajaran Agama1 dan kepercayaannya masing-
masing.
Pemerintahan Indonesia tidak membatasi, bahkan memberikan kebijakan
serta kesempatan kepada umat Islam untuk mengembangkan dan mengamalkan
agamanya baik melalui pendidikan, budaya maupun pembuatan perundang-
undangan yang bernilai Islami. Seperti UU No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan2,
UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan UU lainnya yang berhubungan dengan
pengamalan agama Islam. Serta adanya Impres No 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menginstruksikan kepada Menteri Agama
1Agama adalah suatu ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya serta dengan lingkungan sekitarnya.
lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gramedia Pustaka Agama, Jakarta, 2008), h. 15. 2Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat UU RI No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 1.
Perkawinan adalah penikahan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon Gholidhan) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Lihat Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 2.
2
untuk melakukan dua langkah hal: pertama, untuk menyebarluaskan KHI yang
akan digunakan oleh instansi-instansi pemerintah yang membutuhkan, dan yang
kedua, untuk menjalankan instansi ini dengan sebaik-baiknya dengan rasa
pertanggung jawaban yang penuh. Kemudian dengan kebijakan negara RI, maka
lahirlah UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 yang kemudian
diamandemenkan melalui UU No 32 Tahun 2004, tentang Otonomi Daerah.
Otonomi daerah ini ternyata memberikan peluang yang lebih luas kepadadaerah
Kabupaten dan Provinsi dalam melaksanakan pemerintahannya secara mandiri.
Mereka hanya tidak otonomi dalam sejumlah sektor tertentu seperti hubungan luar
negeri, pertahanan keamanan, hukum, moneter, dan kebijakan fiskal serta agama.
Kebijakan dalam aspek kehidupan beragama sengaja tidak diserahkan
kepada masing-masing daerah. Pertimbangannya adalah bahwa masalah agama
merupakan hal yang sensitif dan rawan yang dapat menimbulkan ancaman
disintegrasi bangsa. Termasuk kekhawatiran munculnya daerah-daerah tertentu
yang akan lebih menampilkan identitas keagamaan mayoritas diwilayahnya
ketimbang sebagai bagian dari negara kesatuan Indonesia.3 Namun pada
kenyataannya, di daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, dapat
menerapkan Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa Islami, yang kemudian
dikenal dengan nama Perda berbasis syariah yang kemudian mengawali lahirnya
Perda-Perda yang berasis syariah diberbagai daerah lainnya.
UUD No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan berdasarkan
atas kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri sendiri (wilayah
3 Arskal Salim, “Perda Berbasis Syariah dan Perlindungan Konstitusiaonal Penegakan
HAM”,Jurnal Perempuan 60, (2008),h. 9.
3
sendiri). Oleh karena tuntutan masyarakat begitu mendesak dan harus direspon
dalam waktu singkat, maka pemerintah dengan persetujuan DPR-RI
mengeluarkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Namun sesuai
dengan prosesnya yang begitu mendesak, tentu saja materi, isi dan substansinya
masih banyak kekurangan atau kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah.
Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengatasi kekurangan dan
kelemahan itu4.
UU No 22/1999 ini, juga menyerahkan setidaknya 11 kewenangan
pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah. Ada lima bidang yang tetap menjadi
wewenang pemerintah pusat antara lain adalah urusan agama. Dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk Perda tidak lagi harus disahkan
oleh pemerintah pusat asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Akan tetapi UU No 32/2004 yang
diterbitkan belakangan, menyatakan bahwa sebuah Perda harus mendapatkan
pengesahan pusat atau bagi Perda ditingkat Kabupaten harus mendapatkan
pengesahan pemerintah tingkat Provinsi. Dalam hal ini, Nangroe Aceh Darusalam
(NAD) dikecualikan sebagaimana dibenarkan UU No 44/1999, UU No 18/2001
dan UU No 11/2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dalam negara demokratis, setiap kebijakan publik lumrahnya melibatkan
partisipasi publik secara luas. Publik tidak saja berhak mengetahuinya, tetapi
berhak diikutsertakan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut secara
partisifatif. Ini dianggap penting untuk meningkatkan penerimaan publik terhadap
4 Haw Wijaya, Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, (Rajawali Pers, Jakarta 2003) , h. 35.
4
kebijakan yang dibuat. Bahkan, partisipasi juga mencerminkan kebijakan yang
dibuat pemerintah benar-benar untuk kepentingan masyarakat luas. Terkait
dengan Perda syariah, tidak seluruh masyarakat mengetahui adanya Perda.
Contohnya di Kabupaten Bulukumba, terdapat Perda syariah yang mencangkup
keharusan berbusana muslim, pengelolaan ZIS (zakat, infak dan sedekah),
larangan peredaran minuman keras, dan keharusan dapat membaca Al-Quran bagi
pasangan calon pengantin sebelum keduanya dapat dinikahkan, yang ramai
dibincangkan karena terkait dengan praktik bahwa pasangan pengantin yang tidak
dapat membaca Al-Quran, maka dapat ditunda bahkan tidak dapat dinikahkan. 5
Kewenangan membuat Peraturan Daerah6, merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah. Sebaliknya, Peraturan
Daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama
DPRD, untuk penyelenggaran otonomi yang dimiliki oleh
Provinsi/Kabupaten/Kota, serta tugas pembantuan. Perda pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda yang dibuat
oleh suatu daerah, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau
perturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan baru memiliki kekuatan
5 Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda
Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan No-Muslim, (CSRC Uin Jakarta .
2007), h. 119. 6 Perda adalah peratuan perudang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Lihat (Pasal 1 angka 8 UU Tentang
Peraturan Perundang-undangan (UUP3).
5
mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah.7
Terdapat perbedaan konsepsi perkawinan antara BW dan UU Perkawinan.
BW menganut konsepsi Perkawinan Perdata. Artinya bahwa suatu perkawinan itu
adalah sah bila mana telah dilangsungkan berdasarkan ketentuan undang-undang
dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang
(Pasal 26 BW “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata”). Sedangkan konsepsi menurut UU perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan adalah :
1) Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri.
2) Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8
Pernikahan merupakan sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh
Allah yang antara lain tujuan penciptaannya adalah untuk melanjutkan keturunan
dan tujuan-tujuan lainya. Allah menciptakan makhlukNya bukan tanpa tujuan,
tetapi didalamnya terkandung rahasia yang sangat dalam agar kehidupan
makhlukNya di dunia ini menjadi tentram. Sebagaimana firmanNya :
يايها الناس ان خلقناكم من ذكروانثي وجعلناكم شعىبا وقبائل لتعارفىا “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal”. (Al-Hujurat 49:13)9
Perkawinan mempunyai asas kebebasan antara calon mempelai dengan
7 Rojali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilih Kepala Daerah secara
Langsung,(Raja Grafindo Persada 2005), h. 132. 8 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Citra Grafika Desain,
Jakarta 2007), h. 4. 9 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Cakrawala Publishing, 2009 jilid 3. ), h. 196.
6
batasan-batasan yang sudah diatur oleh syariat. Para ulama mazhab sepakat bahwa
pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad yang mencangkup ijab
dan qobul antara wanita yang dilamar dan lelaki yang melamar, atau antara pihak
yang menggantikannya seperti wakil. Pernikahan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad10
.
Skripsi ini membahas tentang prasyarat baca tulis Al-Quran bagi calon
pengantin untuk menikah. Prasyarat baca tulis Al-Quran ini pada dasarnya
merupakan hal yang privat bagi setiap individu manusia karena termasuk
keterampilan seseorang dalam keagamaan. Namun, di Bulukumba dan Mandailing
Natal, hal yang bersifat privat ini dimasukan kedalam ranah urusan publik berupa
pembentukan sebuah Peraturan Daerah (Perda). Ternyata selain menjadi syarat
pernikahan, pandai baca tulis Al –Quran ini juga menjadi syarat politik dibeberapa
daerah seperti di Aceh. Oleh sebab itu, maka skripsi ini mencoba membahas
bagaimana hal yang privat ini bisa diangkat menjadi hal yang sifatnya urusan
publik yang diterapkan dalam Perda Bulukumba dan Mandailing Natal.
Maka penulis ingin membahas tentang “ Pandai Baca Tulis Al-Quran
Sebagai Prasyarat Untuk NikahPerda Bulukumba dan Perda Mandailing
Natal Dalam Persfektif Komparatif Hukum Islam (Analisis Perda
Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun
2003).”
10
Muhamad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Lentera Jakarta 1999), h. 40. Lihat
juga Wahbah Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. (Gema Insani, Jakarta 2011, jilid 90, h. 106.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan luasnya permasalahan diatas, maka penulis membatasi
permasalahan hanya pada masalah Perda Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan dan Perda Mandailing Natal, Sumatra Utara, tentang Pandai Baca Tulis
Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah menurut peraturan perundang-undangan
khususnya HAM dan hukum Islam. Maka Pokok permasalahan dalam skripsi ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembentukan Perda Bulukumba dan Perda Mandailing
Natal tentang pandai baca tulis Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah
dan konsekuensi Perda tersebut secara politik?
2. Bagaimana isi Perda Bulukumba dan Perda Mandailing Natal dalam teori
persfektif hukum Islam dan HAM tentang pandai baca tulis Al Quran
sebagai prasyarat untuk nikah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan, tentu harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan
penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Perda
pandai baca tulis Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah di Perda
Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun
2003.
8
b. Untuk mengetahui proses pembentukan Perda BulukumbaNo 6 Tahun
2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun 2003.
c. Untuk mengetahui bagaimana pandangan peraturan perundang-undangan
khusunya HAM terhadap Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai prasyarat
untuk nikah Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing
Natal No 5 Tahun 2003
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat mampu menyumbangkan wacana ilmu
pengetahuan yang diperlukan serta menambah khazanah kepustakaan
untuk kepentingan akademik.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti
c. Memberikan informasi pada masyarakat umum tentang Perda Bulukumba
Nomor 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun 2003
Tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah yang
bersifat privat dapat diangkat keranah urusan publik. Dalam hal ini Perda
Kabupaten Bulukumba dan Perda Kabupaten Mandailing Natal.
D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kajian ilmu hukum
normatif yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang
terdapat dalam hukum syariat, dengan memuat deskripsimasalah yang
9
diteliti berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan
mendalam.
2. Metode Pengumpulan
Metode yang digunakan untuk bahan hukum bersifat Library
Researchguna memperoleh landasan teoritis yang diperoleh dari literatur
dan referensi yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas. Adapun data
ynag digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah:
a. Data primer meliputi buku-buku, dan Perda Kabupaten Bulukumba,
Sulsel Nomor 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal, Sumatra
Utara No 5 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai
prasyarat untuk nikah.
b. Data skunder terdiri dari buku-buku hukum, peraturan perundang-
undangan, UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam, media cetak, artikel, jurnal data dari internet (website)
yang ada hubungannya dengan materi yang menjadi pokok
permasalahan yang akan dibahas.
c. Data tersier, yakni berupa kamus-kamus sebagai bahan penunjang
dalam penulisan skripsi ini.
3. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengukur dan menilai sebuah
perundang-undangan Indonesia. Dalam hal ini adalah Perda Kabupaten
Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Kabupaten Mandailing Natal No
5 Tahun 2003 sehingga penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian
10
kualitatif yaitu data dinyatakan dengan pernyataan dan tidak dinyatakan
dengan angka.
4. Metode Analisis Data
Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menyajikan dan
menganalisisnya secara deduktif. Dimaksudkan untuk memberikan
gambaran secara jelas, sistematis, objektif dan kritis yang dipaparkan
melalui hukum Islam. Perda Bulukumba Nomor 6 tahun 2003 dan Perda
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003 mengenai fakta-fakta yang bersifat
normatif tentang permasalahan yang dibahas, dengan berusaha menyajikan
bahan yang relevan dan mendukung.
5. Teknik Penulisan
Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
Prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skiripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013-2014.
E. Tinjauan Pustaka
Judul skripsi ini, memang sebuah wacana kontemporer yang terus menarik
dikaji. Memang ada sarjana yang sudah membahasnya, seperti Adi Sori, dalam
karyanya yang berjudul , “Prasyarat Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Calon
Pengantin Menurut UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Perda No 5 Tahun
2003 Kabupanten Mandailing Natal.”
Dalam penulisan skripsinya, terdapat kekurangan dari apa yang telah di
bahas olehnya karena hanya membahas tentang Perda Mandailing Natal saja,
11
dantidak membandingkannya dengan Perda Bulukumba11
. Sedangkan dalam
skripsi yang penulis sajikan ini, tidak hanya membahas tentang Perda Mandailing
Natal, akan tetapi juga membandingkan antara Perda Mandailing Natal dan Perda
Bulukumba. Kedua Perda tersebut hampir sama dan hanya penyebutannya yang
berbeda. Oleh karena itu, penulis dalam skripsi ini ingin menjelaskan persamaan
dan perbedaan antara Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing
Natal No 5 Tahun 2003 Tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Dan
Calon Pengantin.
Muhammad Syarif S.Sy, dalam karyanya yang berjudul “Larangan
Melangkahi Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing Natal (Desa Sirambas
Kecamatan Panyabungan Barat, Mandailing Natal),yang menurutnya hukum adat
Mandailing Natal tergolong unik, bila dibandingkan dengan daerah lain.
Contohnya: “Mamodomi Boru” (menemani calon istri) artinya ada seorang gadis
dari keluarga perempuan yang menemani calon istri tersebut tidur di rumah calon
suami sebelum dilangsungkannya perkawinan, hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya zina. “Malangkai” (melangkahi) kakak perempuan bagi
seorang adik perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan.
Suatu tradisi seorang perempuan yang ingin menikah, namun masih ada
kakak perempuan yang masih belum menikah maka lamaran yang datangpun akan
ditolak oleh pihak keluarga. Menurut pemahaman masyarakat Madina apabila ada
seorang anak gadis yang dilangkahi adik perempuan untuk menikah, maka
kemungkinan sang kakak tersebut sulit untuk mendapatkan jodoh bahkan dapat
11
Adi Sori Hasibuan. Persyaratan Pandai Membaca Al-Quran Bagi Calon Pengantin
Menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan KHI (Analisis Peraturan Daerah Kabupaten
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003). Jakarta 2009.
12
diasumsikan kakak tersebut tidak laku. Hal inilah yang mengakibatkan kawin lari
sebagai jalan pintas untuk menghidari penolakan itu. Namun ada juga yang
mempraktekkan tetap menerima lamaran tetapi dengan prasyarat membayar uang
pelangkah kepada kakaknya. Dalam KHI dan literatur fiqih klasik tidak ditemukan
adanya larangan bagi perkawinan melangkahi karena hal ini hanya lah praktek
perkawinan yang menggunakan hukum adat.
Tidak sedikit mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menghasilkan penelitiannya seperti diatas, seperti mengenai prasyarat pandai baca
tulis Al-Quran yang ditinjau secara umum dari HAM. Akan tetapi, dalam
penelitian ini penulis mempunyai fokus yang berbeda karena mengkaji khusus
terhadap Peraturan Perundang-undangan dan hukum Islam serta membandingkan
alasan Perda-Perda itu diterapkan. Permasalahan ini belum pernah dikupas secara
cermat oleh para sarjana yang disebutkan diatas, lebih-lebih penelitian ini
memiliki wilayah yang berbeda (setiap daerah memiliki latar belakang yang
berbeda dalam membuat suatu peraturannya). Atas pertimbangan di atas penulis
merasa perlu, untuk memaparkan persoalan tersebut dalam skripsi ini dengan
pengkajian komparatif.
Dalam karya ini, penulis mencoba mamaparkan topik yang sangat menarik
ini sebagai kontribusi penelitian yang akan memberi penjelasan atas permasalahan
ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab. Tehnik penulisan mengacu
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayutullah Jakarta dengan perincian sebagai berikut:
13
Bab I Membahas tentang pendahuluan meliputi: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.Dengan berangkat dari pendahuluan kita sudah
mengetahui garis besar penelitian bab pertama ini adalah sebagai
pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II,
III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi
kesimpulan dan saran.
Bab II Membahas tentang tinjauan umum tentang prinsip kebebasan
menikah menurut peraturan perundang-undangan, keabsahan
pernikahan, persyaratan pernikahan, kelengkapan dalam
administrasi pernikahan.
Bab III Membahas tentang analisis perbandingan Perda Bulukumba No 6
tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 tahun 2003, proses
pembentukan Perda, isi Perda, nama dan titel Perda, jumlah pasal
dalam Perda, struktur Perda, Partai pengusung Perda dan respon
masyarakat terhadapPerda.
Bab IV Membahas tentang analisis hukum Islam terhadap Perda
Bulukumba dan Perda Mandailing Natal, tinjauan hukum Islam
terhadap Perda dan Tinjauan Peraturan HAM terhadap Perda.
Bab V Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PRINSIP KEBEBASAN MENIKAH
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam bab II ini, penulis ingin menjelaskan tentang: Tinjauan umum
tentang prinsip kebebasan menikah menurut peraturan perundang-Undangan yang
berisikan: keabsahan pernikahan, persyaratan pernikahan, dan kelengkapan
administrasi pernikahan.
A. Keabsahan Pernikahan
Setelah ditetapkannya Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka dasar berlakunya hukum Islam dibidang perkawinan, talak, dan
rujuk tentulah Undang-undang No 1 t
Tahun 1974, tepatnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) yang menetapkan
sebagai berikiut:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku guna memperoleh akta nikah
sebagai bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah.”1
Sah dan tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh terpenuhi atau tidak
nya semua rukun dan syarat dalam perkawinan itu sendiri. Rukun dan syarat
dalam sebuah hukum fiqih merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan
1 Amir Martosedono, Apa dan bagaimana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. (Effhar dan Dahara Prize, Semarang 1992), h. 43.
15
dari dalil-dalil (nash) serta kondisi objektif masyarakat setempat.2 Jadi, tidak bisa
disah kan apabila pernikahan dilakukan hanya dasar suka sama suka tanpa
memperhitungkan hal-hal yang lain yang berkaitan dengan pernikahan itu sendiri.
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al Quran dan
Alhadits, dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991
mengandung tujuh asas atau kaidah hukum, yaitu:
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melakukan pernikahan dan harus dicatatkan
oleh petugas yang berwenang.
3. Asas monogamy terbukua. Artinya jika suami tidak mampu berbuat adil
terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang saja.
4. Asas calon suami istri telah matang jiwa dan raganya untuk
melangsungkan pernikahan.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh
karena itu, segala sesuatu maslah dalam keluarga dapat dimusyawarahkan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.
7. Asas pencatatan perkawinan. Mempermudah mengetahui manusia yang
sudah menikah atau melakukan pernikahan karena terdaftar dalam akta
2 Yayan Sopian, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (UIN Jakarta 2011), h. 125.
16
pernikahan3
Hukum perkawinan menurut Imam Syafi‟i4 adalah mubah yang
berarti itu dalam rangka memperoleh kenikmatan dan kelezatan yang
hukumnya mubah5. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad, perkawinan adalah perkara sunah berdasarkan pada penggalan
surat An-Nisa ayat 3:
“jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa 3).
Menurut Imam Abu Hanifah6 dan Imam Ahmad
7, ayat diatas
menjelaskan bahwa dasar hukum pernikahan adalah sunah. Walaupun ayat
tersebut mengandung pengertian berpoligami tapi dalam penggalan akhir ayat
tersebut menganjurkan umat Muslim untuk menikah. Alasannya adalah selain
untuk menjalankan sunahnya Rasululah, namun juga untuk mendapatkan
keturunan yang nantinya meneruskan kelestarian umat Islam yang akan datang.
Dengan demikian, Perda yang mewajibkan pandai baca tulis Al-Quran
untuk melangsungkan pernikahan menurut pandangan Islam, boleh diberlakukan.
3 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 7.
4 Abu Abdillah Muhamad bin Idris bin Abbas bin Asyafi‟i bin Said bin Ubaid bin Yazid
bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Manaf bin Qusay. Lahir di Gazah (150 H/767 M) dan wafat di
Keselamatan Keluarga/Keturunan dan 5) Keselamatan Harta benda.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus dan P3M,( Pejaten Barat 1997), h. 20. 11
KHI Bab IV tentang Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan, Pasal IV
18
a. Syarat Umum
Perkawinan itu tidak dilakukan dengan bertentangan kepada larangan-
larangan yang termaktub dalam ketentuan Al-Quran yaitu larangan perkawinan
karena perbedaan agama. Namun, dalam pengecualinnya dalam surat al-Maidah
ayat 5 yaitu khusus lelaki dalam Islam boleh menikahi perempuan ahli kitab
kemudian tidak bertentangan dengan ketentuan surat Al Nisa ayat 22 dan 23
(wanita-wanita yang dilarang untuk dinikahi).
b. Syarat Khusus
1. Adanya calon laki-laki dan calon perempuan.
2. Kedua calon tersebut harus Islam, akil baligh (dewasa dan berakal)
sehat baik rohani maupun jasmani.
3. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin dengan
demikian tidak boleh perkawinan itu dipaksakan.12
4. Harus ada wali nikah13
Menurut Imam Syafi‟i berdasarkan suatu hadits dari Aisyah, Rasul
mengatakan, bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya wali. Tetapi
menurut Imam Hanafi wanita dewasa tidak perlu pakai wali ketika
hendak menikah.
5. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil.
6. Adanya mas kawin (mahar)14
. Hendaknya suami membayar
12
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, UIN Jakarta Press.
2007.( Pasal 28 BW), h. 7. 13
Syarat-syarat wali nikah adalah; Islam, adil, baligh, berakal, tidak terganggu
pendengarannya, bukan orang yang sedang pailit dan tidak dalam keadaan Ihram atau haji.
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (CV Pamulang 2005), h. 6. 14
Mahar adalah harta yang menjadi hak isteri dari suaminya dengan adanya akad atau
dukhul.Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press.
2007), h 30
19
maharnya kepada sang istri walaupun permasalahan mahar ini
bukanlah termasuk kedalam rukun dari sebuah perkawinan.
7. Adanya proses akad15
nikah yaitu pernyataan ijab dan qobul antar
kedua belah pihak (ijab dari wali calon mempelai wanita dan qobul
dari calon mempelai laki-laki).16
Syarat-syarat perkawinan menurut undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Didasarkan kepada asas kebebasan, tidak ada paksaan dalam perkawinan.
2. Berasaskan monogami. Kecuali mendapat dispensasi dari Pengadilan
Agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk beristri lebih dari satu
dan harus ada izin dari istri pertama. Adanya kepastian dari pihak suami
bahwa mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak dan berlaku
adil dengan meraka. UU No 1 Tahun 19 Pasal 3 ayat (2),” Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”17
3. Pria harus telah berumur 18 (sembilan belas) tahun dan wanita berumur 15
(enam belas) tahun.18
4. Harus mendapat izin dari orang tua masing-masing. Kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umurnya kurang
15
Akad adalah apa yang dikaitkan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan oleh
dirinya sendiri atau orang lain dikarenakan berlakunya suatu ketetapan padanya.
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan. (Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995), h. 3. 16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Kencana Jakarta 2006), h. 59.
17
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Raja Grafindo Persada Jakarta 2002), h. 10. 18
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press.
2007), h. 7.
20
dari 18 dan 15 tahun.
5. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali
dispensasi pengadilan.
6. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu.
7. Seorang yang telah cerai untuk yang kedua kalinya. Maka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agama
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
8. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang
diatur oleh Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 jo, Peraturan Mentri
Agama N0 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
9. Tidak termasuk dalam larangan-larangan pihak perkawinan, yaitu:
Menurut KHI dalam firman Allah surat Annisa ayat 22-23, tentang
larangan abadi adalah sebagai berikut:
1) Karena pertalian nasab
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibunya.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.19
2) Karena pertalian kekerabatan semenda
a. Dengan seorang wanita yang dilahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
19
„Abdul Al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita Segala Hal Yang ingin Anda
Ketahui Tentang Perempuan Dalam Hukum Islam. (Zaman Jakarta 2009), h. 32.
21
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istri. Kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla
dhukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas keturunannya.
3) Karena pertalian sesusuan
a. Karena wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus keatas dan kebawah.
b. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan
ke bawah.
c. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas.
d. Dengan anak yang disusui dengan istrinya dan keturunannya.
e. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.20
Adapun larangan perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah
(muaqqat) menurut KHI adalah: (1) karena wanita bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan lelaki lain, (2) seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain, (3) seorang wanita dengan seorang yang beragama
Islam.21
.
Pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja menikah dengan siapapun
yang disukainya. Tetapi prinsip itu tidak mutlak karena ada batasan-batasanya
20
M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa pasal UU No 1 Thaun 1974 Dari segi Hukum
Perkawinan Islam, (IND-Hill co Jakarta 1990), h. 38. 21
H. Abdul Manan S.H. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Kencana
Jakarta 2006), h. 28.
22
yang telah dijelaskan dalam Al-Quran. Penggolongan larangan itu adalah:
1. Larangan perkawinan karena perbedaan agama
2. Larangan perkawinan karena pertalian sedarah
3. Larangan perkawinan karena persusuan
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
5. Larangan perkawinan dengan perempuan bersuami.22
Dari semua persyaratan di atas, tidak ada satupun ada ketentuan yang
mengatur bahwa calon pengantin laki-laki maupun calon pengantin perempuan
diwajibkan memiliki kepandaian atau keterampilan dalam hal membaca Al-Quran.
C. Kelengkapan Administrasi Pernikahan
1. Pelaksanaan Pencatatan
Adapun yang menyangkut sahnya perkawinan dan pencatatannya adalah
berdasarkan Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang di sahkan pada tanggal 10 Juli 1991, berisikan pedoman bagi orang-
orang Islam mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan. Dengan demikian
pada dasarnya perkawinan di Indonesia bersumber kepada:
1. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI),
3. Peraturan Perundang-undangan lain sepanjang tidak diatur oleh UU
Perkawinan23
.
22
Muhamad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Raja
Grafindo Persada 2007), h. 7. Lihat juga M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. (IND_HILL,Co. 1985), h. 45. 23
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press.
2007), h. 1.
23
Sahnya sebuah perkawinan dan pencatatannya, ditentukan juga, bahwa:
a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Ketentuan ini dimuat di dalam Pasal 2 UU No 1/197 tentang Perkawinan.
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
Penjelasan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, termasuk
juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan
kepercayaannya, itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang diatas. Maka Pasal 2 menunjuk paling pertama,bahwa
perkawinan harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan
bagi masing-masing pemeluknya. Oleh karena itu, penjelasan atas Pasal 2 ayat (1)
“tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”
jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
“hukum agamanya sendiri”.24
Sedangkan penjelasan tentang ketentuan pencatatan perkawinan adalah:
a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1945 Tentang Pencatatan,
24
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Rineka Cipta Jakarta 2005), h. 15.
24
Talak dan Rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatat
perkawinan.
Dengan ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan
dilakukan oleh dua instansi. Yakni Pegawai Pencatat Nikah, Kantor Urusan
Agama untuk NTR (Nikah, Talak dan Rujuk)25
dan Kantor Catatan Sipil atau
instansi/pejabat yang membantunya.26
.
Sejak disahkannya UU No 1/1974, Departemen agama RI (Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam) telah mengambil peranan secara langsung
dan aktif untuk melaksanakan UU tersebut. Melibatkan dua direktorat yakni
Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam berdasarkan KMA No 18/1975. Masalah pencatatan pernikahan
menjadi tugas Direktorat Urusan Agama Islam. Sesuai dengan UU No 9/1975 dan
Peraturan Menteri Agama No 1/1975. Maka Departemen Agama melaksanakan
secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan melaksanakan
tugas-tugas sebagai pencatat perkawinan atau pecatat nikah.
25
Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bukan
Bintang Jakarta 1975), h. 35. 26
Ibid. hal 18. Baca juga: M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. (IND_HILL,Co. 1985), h. 131.
25
Dalam undang-undang No 22/1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat27
Nikah, Talak dan Rujuk yang lazim disingkat PPN. Untuk diluar Jawa Madura
dibantu oleh tokoh-tokoh agamawan di desa-desa yang dianggap mampu atau
cakap melaksanakan pencatatan perkawianan. Walaupun mereka itu bukan
pegawai negeri, namun diangkat menjadi pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
Talak dan Rujuk hal ini diatur dengan surat penetapan Menteri Agama No
14/1955 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk yang
disingkat menjadi P3NTR.
2. Pencatatan Perkawinan
Pelaksanaan pencatatan perkawinan, diatur dalam PP No 9/1975 dan
Peraturan Menteri Agama No 3 dan 4/1975. Bab II Pasal 2 (1) PP No 9/1975
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinananya
menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai sebagaimana dimaskud dalam UU
No 32/1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
Sebagaimana diketahui pelaksanaan perkawinan itu didahului kegiatan-
kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh pegawai
pencatat perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya
memberitahukan kehendak melangsungkan perakawinan kepada pegawai pencatat
perkawinan (Pasal 3dan 4 PP). Selanjutnya pegawai tersebut meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
menurut undang-undang. Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan
(Pasal 5 dan 6 PP).
27
Pegawai pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian, Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1d, (sinar Grafika, Jakarta, 2000), h. 32.
26
Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan
atau belum terpenuhinya syarat-syarat yang diperlukan, maka keadaan itu segera
diberitahukan kepada calon kedua mempelai atau kepada orang tua atau ke
wakilnya (Pasal 7 ayat (2) PP). Bila pemberitahuan itu dipandang cukup dan
memenuhi syarat yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk nikah, maka
pegawai pencatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, menurut formulir yang telah ditetapkan, dan
menempelkannya di Kantor Pencatatan yang mudah di baca oleh umum.
Pegumuman serupa, juga dilakukan di Kantor Pencatatan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman masing-masing calon mempelai (Pasal 8 dan Penjelasan
Pasal 9 PP).
Adapun pelaksanaan perkawinannya baru dapat dilangsungkan setelah hari
kesepuluh sejak pengumuman tersebut (Pasal 10 PP). Ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga guna mengajukan keberatan dan
memohon pencegahan perkawian itu apabila ia berpendapat bahwa perkawinan
tersebut tidak dapat dilangsungkan karena terdapatnya halangan atau bahwa salah
satu pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 13,14,
15 dan 16 UU). Pencegahan itu sendiri harus diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawian itu akan dilangsungkan dengan memberitahukan
hal itu kepada Pegawai Pencatat yang pada gilirannya memberitahukan hal itu
kepada calon pelai (Pasal 17 UU).
Dengan memperhatikan tatacara dan ketentuan perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka perkawinan
27
dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan di hadiri oleh dua
orang saksi (Pasal 10 PP). Dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, maka akad nikahnya dilakukan oleh wali nikah atau yang
mewakilkan.
Sesaat sesudah berlangsungnya perkawinan tersebut, maka kedua
mempelai menanda-tangani Akta Perkawinan28
yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua orang saksi dan oleh wali
nikah dalam hal perkawinan dilakukan menurut agama Islam. Penanda tanganan
tersebut juga dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bersangkutan. Dengan
selesainya penanda tanganan tersebut maka perkawinan telah tercatat secara resmi
dalam catatan sipil29
(Pasal 11 PP).30
Uraian di atas, dalam hal kelengkapan administrasi perkawinan sedikitpun
tidak ada yang menyinggung bagi kedua calon pengantin laki-laki dan perempuan
untuk memiliki kepandaian atau keahlian dalam membaca Al-Quran. Dengan
mempertimbangkan bahwa persyaratan dan kelengkapan administrasi yang tidak
28
Akta Perkawinan adalah sebuah daftar besar (dahulu register perkawinan) yang
memuat antara lain:
a. nama, tempat tanggal lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman dari
suami istri, wali nikah, orang tua dari suami istri, saksi-saksi, wakil/kuasa bila
perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
b. Surat-surat yang diperlukan seperti, izin kawin (Pasal 6 UU), dispensasi kawin (Pasal 7
UU), izin poligami (Pasal 4), izin dari Menteri Hankam/Pangabbagi ABRI, perjanjian
sebagai dimaksud Pasal 29 UU.
c. Lain-lain.
Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bukan Bintang
Jakarta 1975), h. 25. 29
Catatan sipil adalah catatan tentang peristiwa penting mengenai keperdataan seseorang
seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan lain sebagainya. Lihat Soeroso,
Perbandingan Hukum Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2003), h. 154. 30
M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Hukum Perkawinan Islam. (IND_HILL,Co. 1985), h. 133. Lihat juga Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1d, (Sinar Grafika Jakarta 2000), h. 36.
28
mewajibkan bagi calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan untuk
memiliki kemampuan atau keahlian membaca Al-Quran, maka apakah Perda
dapat dibenarkan menurut perspektif HAM dan hukum Islam? pertanyaan ini akan
penulis jawab dalam bab yang akan datang.
29
BAB III
ANALISIS PERBANDINGAN PERDA BULUKUMBA NOMOR 6 TAHUN
2003 DAN PERDA MANDAILING NATAL NOMOR 5 TAHUN 2003
Dalam bab III ini, penulis ingin menjelaskan tentang: analisis
perbandingan antara Perda Bulukumba Nomor 6 Tahun 2003 dan Perda
Mandailing Natal Nomor 5 Tahun 2003. Pembahasan ini mencakup proses
pembentukan Perda, isi Perda, nama atau titel Perda, jumlah pasal dalam Perda,
struktur Perda, partai pengusung perda dan respon masyarakat terhadap kedua
Perda tersebut.1
A. Proses Pembentukan Perda
1. Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak
394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba
mempunyai 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. Berdasarkan referensi-
refernsi yang telah penulis kaji, mayoritas penduduk Kabupaten Bulukumba
adalah 99% beragama Islam2, oleh karena itu wajar kiranya apabila Pemerintah
1Hanya saja patut digaris bawahi sebelumnya, penulis hanya sedikit sekali mendapat
keterangan sejarah dari Perda-perda ini. Terutama keterangan yang membahas tentang Perda
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003. Harus diakui, penulis mengalami keterbatasan karena tidak
turun langsung ke lapangan (yaitu Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan dan Mandailing
Natal di Sumatra Utara). Untuk meneliti lebih detail asal muasal terbentuknya kedua Perda
tersebut secara kronologis. 2 Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat, (Pusataka Study
Hukum Dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 81.
30
Daerah/Kabupaten Bulukumba mengharapkan terciptanya lingkungan yang
agamis dalam masyarakat yang dipimpinnya. Tentu saja dengan sosialisasi yang
sangat baik kepada masyarakat sehingga menimbulkan penerimaan dan kesadaran
untuk patuh terhadap Perda tersebut terlebih dengan aturan-aturan yang bersumber
pada agama.
Salah satu Perda yang berbasiskan syariah di Kabupaten Bulukumba ini
adalah Perda No 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan
Calon Pengantin. Beberapa Perda didaerah ini dibentuk karena adanya gejala
sosial yang terjadi di tengah masyarakat Kabupaten Bulukumba, khususnya
Perda-Perda tentang keagamaan. Sejarah singkat terbentukanya Perda ini adalah
karena pada tahun 2001 masyarakat Bulukumba diresahkan dengan berbagai
penyakit sosial seperti pencurian dan prostitusi. Bahkan, salah satu obyek wisata
di Bulukumba sudah dianggap masyarakat sebagai tempat prostitusi yang
terselubung3.
Menanggapi penyakit sosial tersebut, kaum agamawan memandang
fenomena terkait sebagai penyimpangan terhadap ajaran Agama, sehingga mereka
merasa bertanggungjawab untuk menanggulanginya. Langkah yang diambil kaum
agamawan adalah dengan mencari dukungan dari Pemerintah Daerah yang
kemudian diakomodir dalam format kebijakan daerah4. Misalnya dengan
membentuk Perda-Perda yang bernuansa amar ma’ruf nahi munkar. Langkah ini
mendapat respon positif dari masyarakat dan cukup efektif dalam mempengaruhi
3 Saifuddin Faturusi, Peran Dan Sumbangan Pemuda-Pemuda Bulukumba Dalam
Revolusi kemerdekaan Indonesia, (Lembaga Syariah Hankam Jakarta 1967), h. 25. 4 Otonomi daerah/ kebijakan daerah dipersepsi sebagai “ajang pelanggaran HAM”.
Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, Penegakan Hukum di
Indonesia. (Prestasi Pustaka 2006), h. 20.
31
perilaku keseharian masyarakat, termasuk perlindungan keselamatan dari
ketentraman masyarakat Bulukumba. Alasan itulah dibentuk Perda yang
berimplikasi terhadap agama, termasuk Perda No 6 Tahun 2003 tentang Pandai
Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin.
Formalisasi atas berbagai aspirasi masyarakat Muslim di Bulukumba
dilakukan oleh Bupati Patabai Pabokori pada masa pemerintahannya (1999-2004)
dengan menjalankan crash program keagamaan dengan memprioritaskan delapan
aspek kegiatan, yaitu:
1. Pembinaan dan pengembangan pemuda remaja masjid
2. Pembinaan dan pengembangan TK dan TPA
3. Pembinaan dan pengembangan majlis ta’lim
4. Pembinaan dan pengembangan perfustakaan masjid
5. Pembinaan dan pengembangan hifzil Quran
6. Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa islami.
7. Pemberdayaan zakat, infak, dan shadaqoh
8. Pelestarian keluarga sakinah mawadah wa rohmah5
MenurutLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) (dalam
laporannya “Pemantauan terhadap Implementasi Perda-Perda Bermasalah bulan
Oktober 2008 di Bulukumba”), konteks lahirnya Perda No 6/2003 tentang baca
tulis Al-Qur’an bagi murid dan calon pengantin tidak terlepas dari usulan
beberapa pejabat daerah yang ingin membuat payung hukum bagi efektivitas
pelaksanaan program Pemerintah Daerah yang disebut dengan Crash
5 Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat, (Pusataka Study
Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 80.
32
ProgramKeagamaan. Proses yang diusulkan oleh Tjamiruddin, salah satu
penggagas Perda yang saat itu menjabat Ketua Tanfidziah NU (Nahdhotul Ulama)
dan Kepala DEPAG (Departement Agama) Bulukumba kepada Bupati Patabai
Pabokori, ternyata mendapat dorongan dari kelompok KPPSI (Komite Persiapan
Pergerakan Syariat Islam) dan Jundullah. Kamaluddin Jaya, selaku ketua
Muhammadiyah yang juga ketua dewan syuro KPPSI Bulukumba mengatakan
bahwa “pembuatan Perda-Perda ini merupakan kebutuhan masyarakat dan
direspon dengan baik karena masyarakat Bulukumba adalah mayoritas Muslim.”6
Seiring dengan crash program tersebut, Perda-Perda lainya yang bernuansa
keagamaan pun muncul, antara lain:
1. Perda No 3 Tahun 2002 tentang minuman alkohol
2. Perda No 2 Tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infak dan shodaqoh
3. Perda No 5 Tahun 2003 tenang berpakaian muslim dan muslimah
4. Perda No 6 Taun 2003 tengang pandai baca tulis Al-Quran bagi siswa dan
calon pengantin.
Oleh banyak kalangan, Perda-Perda tersebut dianggap sebagai Perda
syariat Islam. Namun, menurut Pusat Study Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK), mengatakan bahwa keseluruhan Perda-Perda tersebut tak satupun yang
menyebut syariat Islam. Demikian pula dalam sanksi atas pelanggaran Perda ini,
tidak ada yang berdasarkan pada Syariat Islam. Pada intinya, tidak ada perbedaan
6Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Pemantauan terhadap
Implementasi Perda-perda Bermasalah Bulan Oktober 2008 di Bulukumba, (Pusataka Study
Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), diakses pada tanggal 4 Januari 2015 dari
Sehingga implementasi Perda dapat dengan cepat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Bulukumba. Dampaknya pun dapat terukur, misalnya saja, kalangan
masyarakat yang beragama Islam menjadi sadar terhadap perlunya mematuhi
Perda apalagi aturan-aturan yang bersumber pada agama. Selain itu, simbol-
simbol keagaman menjadi semangkin marak di mana masyarakat secara individu
maupun kolektif menggunakan simbol-simbol tersebut.28
Para responden menilai,
sistem pemerintahan otonomi tidak menjadi halangan untuk pelaksanaan syariat
Islam bagi penganutnya di Sulawesi Selatan (Bulukumba).29
Hanya saja, penulis tidak dapat menyajikan respon masyarakat Kabupaten
Mandailing Natal terhadap Perda No 5 Tahun 2003, karena keterbatasan data dan
referensi yang penulis alami. Harus diakui bahwa penulis sama sekali tidak
menemukan keterangan yang membahas respon masyarakat Mandailing Natal
terhadap pemberlakuan Perda tentang kewajiban memiliki kemampuan baca tulis
Al-Quran bagi siswa yang ingin melangsungkan pendidikannya dan calon
pengantin yang ingin melangsungkan pernikahannya.
28
Ibid, h. 74. 29
A. Rahmat Rosadi dan M Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam Dalam Persfektif
Tata Hukum Indonesia, (Ghalia Indonesia 2006), h. 37.
58
BAB IV
ANALISIS PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERDA
BULUKUMBA DAN PERDA MANDAILING NATAL
Pada bab ini, penulis mencoba memaparkan tentang: Analisis hukum
Islam dan HAM terhadap Perda-perda Tersebut. Terdiri dari: tinjauan hukum
Islam terhadap Perda dan tinjauan HAM terhadap Perda.
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perda
Islam adalah agama yang sempurna diturunkan. Sehingga dari hal yang
terkecil sampai yang terbesarpun dijelaskan dalam ajarannya baik dalam segi
„ubudiah, mu‟amalah maupun munakahah. Dalam masalah munakahah, Indonesia
memiliki kitab rujukan selain UU perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu KHI
(Kompilasi Hukum Islam) yang diperuntukan hanya untuk masyarakat yang
beragama Islam ketika menghadapi masalah dalam bidang
munakahah/pernikahan.
Disamping itu, Islam merupakan sebuah agama yang selalu menjunjung
tinggi kebebasan, dengan batasan pada ajaran syariatnya. Oleh karenanya tidak
ada paksaan untuk memeluk agama ini1, sesuai dengan Pasal 22 No 39 Tahun
1999 tentang Hak Atas Kebebasan Pribadi.2 Namun, ketika seseorang telah
masuk kedalam agama Islam, (mukalaf) maka orang tersebut mau tidak mau harus
mengikuti ajaran agama tersebut (taklif). Walaupun Islam menghormati
1 Pasal 28 UUD, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya. 2 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, (Sinar Grafika, Jakarta, 2000), h. 10.
59
kebebasan, namun ada batasan-batasan yang sudah diatur dalam ajaran agama ini.
Seperti pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam masalah perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam yang disingkat KHI menjelaskan semua hal-hal yang
membahas tentang pernikahan, perwakafan dan kewarisan.
Walaupun perkawinan memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
namun pada pokoknya rukun perkawinan yang disepakati oleh ulama fikih adalah
“ijab” dan “qobul”. Implementasi dari ijab dan qobul ini, akan melahirkan
hubungan-hubungan hukum antara kedua belah pihak. Pengucapannya merupakan
simbol dan bukti persetujuan secara lahir oleh kedua belah pihak sebagai tanda
kerelaan mereka secara bathin. Karena itu, ia harus diucapkan dengan bahasa yang
mudah dimengerti. Oleh karena itu dengan alasan tertentu, ijab qobul boleh
berupa tulisan atau isyarat. Lafaz ijab qobul yang disepaki oleh ulama fikih adalah
an-nikah atau at-tazwij (pernikahan atau perkawinan).3
Selain ijab dan qobul, mayoritas ulama menetapkan bahwa adanya calon
suami, calon istri dan wali sebagai rukun perkawinan.4Namun, para ulama
berbeda pendapat tentang penentuan rukun dan syarat nikah. Menurut Hanafiyah,
rukun nikah hanya terdiri dari ijab dan qobul saja. Menurut Syafi’iyah syarat
perkawinan itu terdiri dari calon mempelai laki, calon mempelai perempuan,
seorang wali, dua orang saksi dan ijab qobul. Sedang menurut Malikiyah,
berpendapat bahwa yang termasuk rukun nikah adalah wali, mahar suami istri dan
3 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Rajawali Pers, Jakarta, 2011), h. 190. 4 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, h. 91.
60
shighat ijab qobul.5Malikiyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan
Syafi’iyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.6
Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas
bermazhab Syafi’i, rukun perkawinannya ada lima macam, yaitu: 1) calon
mempelai laki-laki, 2) calon mempelai perempuan, 3)dua orang saksi, 4) wali dan
5) ijab qobul7. Rukun adalah sesuatu yang ada dalam hakekat dan merupakan
bagian atau unsur yang mensyahkan suatu perbuatan. Sedangkan syarat adalah
sesuatu yang berada diluar hakikat dan tidak termasuk unsur dari suatu perbuatan.
Sebagai catatan, bahwa permasalah mahar menurut sebagian ulama adalah
sesuatu yang harus ada dalam setiap pernikahan, tetapi tidak termasuk ke dalam
rukun. Karena mahar tersebut, tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan
tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian,
mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.8
Keterangan rukun dan syarat perkawinan ini adalah mutlak adanya dalam
KHI (kompilasi hukum Islam) pada bab IV pasal 14 tentang rukun dan syarat
perkawinan yang didasarkan kepada Al-Quran dan Hadist. Jika dikaitkan dengan
kedua Perda (Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Mandailing Natal), yang
sama-sama mewajibkan pandai baca tulis Al-Quran bagi siswa dan calon
pengantin yang ingin melangsungkan pernikahannya, maka tidak ada keterangan
5 Yayan Sopian, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dan hukum
Nasional, (Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat 2011), h. 125. 6 Kamarusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press,
2007), h.3. 7 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Elsas Jakarta
2008), h 14. 8 Amir syarifudiin, Hukum Perkawinan Islam Di indonsia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Kencana Jakarta 2006), h. 23.
61
dalam KHI maupun ajaran agama Islam yang menjelaskan bahwa pandai baca
tulis Al-Quran bagi calon mempelai baik laki-laki maupun calon mempelai
perempuan wajib memiliki kepandaian baca tulis Al-Quran.
Secara tidak langsung, penjelasan menurut Perda tersebut, bahwa
seseorang yang ingin menikah, namun tidak pandai baca tulis Al-Quran, maka
pernikahannya di tangguhkan bahkan dapat dibatalkan. Hal ini tentu bertentangan
karena menikah merupakan ibadah yang dapat menyempurnakan agama seorang
Muslim dan dapat menghadap Allah dengan kondisi yang paling baik dan suci.
Sesuai dengan sabda Rasulullah “Siapa yang diberi karunia Allah berupa istri
yang sholehah, sungguh dia telah menolongnya untuk (menyempurnakan)
sebagian agamanya. Maka hendaklah bertaqwa kepada Allah pada sebagian yang
lain (HR Thabrani dan Hakim dengan sanad yang shoheh)9.
Menanggapi fenomena ini, hukum Islam sangatlah fleksibel, karena tidak
hanya membatasi masalah tersebut pada hakekat rukun dan syarat pernikahan
saja. Namun, ada sebuah pemikiran ulama mazhab tentang konsep “Maslahah
Mursalah” yang diijtihadkan oleh Imam Malik. Maslahah mursalah secara bahasa
tersusun dari dua kata “maslahah” dan mursalah”. Maslahah berasal dari kata
sholaha yasluhu mashalatanyang artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Sedangkan mursalah berasal dari kata arsala yursilu mursalan yang artinya
diutus, dikirim atau digunakan. Jadi, penggabungan dari kedua kata tersebut
(maslahatil mursalah) yaitu prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan
untuk menetapkan suatu hukum Islam, juga dapat dikatakan suatu perbuatan yang
9 Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, (Cakrawala Jakarta 2011), h. 50.
62
mengandung nilai kebaikan (manfaat).10
Imam Al Ghazali mendefinisikan maslahah mursalah yaitu sesuatu yang
mendatangkan manfaat (kemaslahatan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan).
Namun hakekat dari kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum)11
yaitu maqosidu as syariah. Tujuan umum dari
pemberlakuan hukum syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hidup
manusia dengan mendatangkan manfaah (kebaikan) dan menghindari mudharat
(kejelekan). Kemaslahatan yang hakiki berorientasi kepada terpeliharanya lima
perkara, yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.12
Dengan demikian, Perda-Perda yang mewajibkan pandai baca tulis Al-
Quran bagi setiap siswa/murid dan calon pengantin sebelum melangsungkan
pernikahannya, menurut penulis, memiliki legalitas atau legitimasi dengan tujuan
yang benar-benar untuk kemasahatan (dalam hal ini adalah termasuk dalam
kemaslahatan memelihara agama dan keturunan) sebagaimana dengan penjelasan
diatas. Penting dicatat, bahwa maslahah mursalahyang diterapkan harus
memenuhi persyaratannya. Para ulama terdahulu seperti As-Syatibi telah
memberikan persyaratan penggunaaan maslahah mursalah. Persyaratan-
persyaratan tesebut dipertegas oleh Abd Wahab Khalaff yaitu:
1. Maslahah mursalah tidak boleh bertentangan dengan maqosidu as-
syariah, dalil-dalil kulli, semangat ajaran Islam dan dalil-dalil juz‟i yang
qothi‟ wurud dan dilalahnya
10
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Diaglektika Pemikiran Hukum
Islam, (Pena Ilahi Bogor 2012), h. 23. 11
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Prenada Media Group Jakarta 2009), h. 322. 12
Saifuddin Sidiq, Ushul Fiqh, (Prenada Media Group, Jakarta 2011), h . 15.
63
2. Kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada
pembahasan dan penelitian yang rasional dan mendalam sehingga kita
yakin bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau menolak
kemudharatan
3. Kemaslahatan tersebut bersifat umum
4. Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.13
Oleh karena itu tidaklah main-main ketika umat Islam mencita-citakan
tegaknya masyarakat Negara yang adil dan terampuni, keyakinan perlunya
persiapan hukum bersandarkan syariat (Al-Quran dan Hadits) menjadi bagian
yang vital idiologis masyarakat Islam yang bergantung kepada pemahaman umat
Islam terhadap ajaran Islam dan stuktur Negara modern.14
Agar tercipta keharmonisan dalam hubungan antar umat dalam suatu
daerah, para ulama mengadakan penelitian terhadap sejumlah aturan yang ada
yang kemudian dikembalikan kepada Al-Quran dan Hadits yang akhirnya
melahirkan kaidah: “al-ashlu fi al-„alaqah al-salm” hukum asal dalam hubungan
(sosialisasi) itu adalah kedamaian15
.
Dengan demikian, ketika menerapkan suatu konsep maslahah mursalah,
penegak hukum (dalam hal ini adalah Bupati Bulukumba dan Mandailing Natal)
harus memperhatikan syarat-syarat tersebut, agar Perda tersebut mempunyai
landasan yang kokoh menurut teori Hukum Islam.
13
Ahmad Dzajuli, Ilmu fiqih Penggalian, perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
Kencana Jakarta 2006. 14
Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan.
(Madya Press Yogyakarta 2002), h. 17. 15
A Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah. (Kencana Bogor 2003), h. 18.
64
Dengan penjelasan diatas, Perda yang mewajibkan masyarakatnya pandai
baca tulis Al-Quran sebagai ketentuan kenaikan kelas (bagi siswa) dan
melangsungkan pernikahan (bagi calon pengantin), dipandang bersifat legalitas
dengan tujuan agar terciptanya kemaslahatan yang baik bagi yang
menjalankannya. Bagi siswa yang ingin naik kelas, agar lebih bisa mendalami
ajaran Islam terutama tentang baca tulis Al-Quran dan bagi calon pengantin, agar
menjadi keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah dengan bekal pandai baca
tulis Al-Quran yang dimilikinya sebelum pernikahan.
B. Tinjauan HAM Terhadap Perda
Dalam ajaran Islam, bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia
berdasar kepada tujuan diturunkannya syariat Islam, yaitu untuk melindungi dan
memelihara kepentingan hidup manusia baik materiil maupun spiritual, individual
maupun sosial.16
Oleh karenanya, terdapat dua kewajiban yang diperintahkan
kepada umat manusia dibawah petunjuk ilahi, yaitu: Huququllah (hak-hak Allah)
yaitu: kewajiban manusia terhadap Allah dan Huququl „ibad (hak-hak manusia)
merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap
makhluk Allah lainnya.
Dari konsep ajaran ini, lahirnya HAM (Hak Asasi Manusia). Ada dua
macam HAM jika dilihat dari kategori Huququl „Ibad. Pertama, HAM yang
keberadaannya dapat diselenggarakan oleh suatu Negara (Islam). Kedua adalah
HAM yang keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu
16
Ridwan HR. Fiqih Politik Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Fh UII press
Yogyakarta 2007), h. 31.
65
Negara. Hak-hak yang pertama dapat disebut sebagai hak-hak legal, sedangkan
hak-hak yang kedua disebut dengan hak-hak moral.17
Jenis HAM yang kedua
inilah yang tanpa disadari sering dilanggar oleh orang kebanyakan.
Abdullah Ahmad An-Naim18
menyatakan lebih jauh, bahwa Negara tidak
dapat memaksakan penerapan syariat Islam bagi warganya, tetapi justru harus
memberi jaminan perlindungan terhadap warganya yang beragama Islam untuk
melaksanakan perintah-perintah ajaran Islam sesuai dengan keyakinan dan
pandangan keagamaan yang mereka pilih secara sukarela, dan bukannya sebagai
kewajiban keagamaan yang diintruksikan oleh Negara.
Apabila dipaksakan, jelas akan berbenturan dengan tiga aspek HAM,
yaitu: Kebebasa Individual Muslim, Ancaman Terhadap Hak Perempuan19
, dan
Hak Kelompok MinoritasNon Muslim. Ia berpendapat bahwa penerapan formal
syariah di era modern sesungguhnya tidak selaras dengan tata hubungan
internasional dan prinsip-prinsip HAM, khususnya atas tiga hal:
a. Kebebasan Individual Muslim
Salah satu aspek utama yang tampak dalam penerapan format syariat Islam
melalui Perda adalah upaya perangkat negara memperkecil hak individual Muslim
untuk memiliki pandangan dan tafsiran sendiri mengenai suatu ajaran keagamaan.
17
Syeikh Saukat Husain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Gema insani Jakarta 1996),
h. 55. 18
Professor Olof Palme pada university of ushala (1991-1992). Direktur ekskutif Afrika
Watch , Washington D.C (juli 1993). Lahir di Sudan, belajar hukum di Khartoum, Cambridge
(Inggris), dan Edinburg (Ph. D 1976), banyak sekali menulis tentang topik yang berkaitan dengan
status, aplikasi dan pembaharuan internal hukum islam. Karya Utamanya Toward In Islamic
Reformation.
Abdullah Ahmad An Naim dan Mohammed Arkoun, Dekontruksi Syariah II Kritik Konsep
Penjelajahan Lain. (printing Cemerlang 2009), h. 80. 19
Mawlana Abul A’la Mawdudi, HAM dalam Islam Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Wanita, (Sinar Grafika Offiset, 1995), h. 45.
66
Perda-perda yang berbasis syariah dianggap merupakan rujukan dalam
menentukan satu-satunya model standar pelaksanaan praktek keagamaan yang
dapat diterima dan dipandang sah secara hukum di sebuah daerah. Ketika Perda
macam ini diberlakukan oleh penguasa ekskutif daerah, tak heran seluruh
masyarakat daerah bersangkutan diminta secara sukarela maupun terpaksa untuk
menyesuaikan diri dan mematuhi sepenuhnya ketentuan perintah dari Perda itu.
Menurut Ifdhal Kasim, kenyataan seperti ini jelas-jelas telah membatasi
hak individual muslim yang dilindungi oleh konstitusi RI bahwa setiap orang
bebas memeluk Agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28E:1) dan
setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E:2).20
b. Ancaman Terhadap Hak Perempuan21
Moeslim Abdurrahman pernah menyatakan bahwa korban pertama sebagai
akibat penerapan format syariah Islam adalah perempuan. Jika
mempertimbangkan fakta bahwa beberapa Perda berbasis syariah yang diterapkan
oleh sebagian Kabupaten/Kota di Indonesia, secara nyata telah menghambat hak
perempuan. Seperti hak untuk bergerak dan kesempatan untuk mengakses sesuatu
mencakup perjalanan di waktu malam, kunjungan ke suatu tempat, penggunaan
busana tertentu sampai akses ke masalah posisi jabatan tertentu.
20
Ifdhal Kasim, Hak Sipil Dan Politik esau-Esai Pilihan. Buku 1. Lembaga study dan
advokat masyrakat (ELSAM), Jakarta 2001, diakses pada tanggal 4 Januari 2015 dari