MODUL PERKULIAHAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA (I) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MKCU MARCOM 10 MK90003 Herulono Murtopo S.S.,M.Hum Abstract Kompetensi Pancasila is a system of ethics. The Pancasila can be used as a reference to act well. Therefore, the values of Pancasila should be understood properly. Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat Pancasila sebagai sebuah sistem Etika. Itu artinya, Pancasila bisa secara memadai untuk dijadikan sebuah sistem bertindak bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan bisa semakin bermoral dengan pedoman Pancasila.
16
Embed
PANCASILA - modul. · PDF filebelum mendapatkan laporan akhir dari perjalanan studi banding ... tanggal 15 Maret 2012 2 Sugono, Dendy ... Bentuk tunggal kata ‘moral’ adalah mos
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA (I)
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh
MKCU MARCOM
10 MK90003 Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract Kompetensi
Pancasila is a system of ethics. The Pancasila can be used as a reference to act well. Therefore, the values of Pancasila should be understood properly.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat Pancasila sebagai sebuah sistem Etika. Itu artinya, Pancasila bisa secara memadai untuk dijadikan sebuah sistem bertindak bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan bisa semakin bermoral dengan pedoman Pancasila.
Hal itu menunjukkan bahwa ketiga kata itu sebenarnya berbeda konteks dan arti. Ciri-ciri
bahwa suatu kata itu sama artinya, adalah kata-kata itu bisa saling menggantikan. Misalnya
kata papa dan papi. Tentang Etika, bahkan wakil rakyat kita yang kita hormati bersama,
Badan Kehormatan DPR sampai harus melakukan study banding ke Yunani pada tahun
2010. Kata salah seorang pejabat, Nudirman, “studi banding ini wajib, agar kita tidak katak
dalam tempurung1.” Yang dipelajari adalah, bagaimana cara melakukan interupsi yang
benar? Bolehkah merokok di dalam gedung DPR ketika rapat, dll. Sampai sekarang, kita
belum mendapatkan laporan akhir dari perjalanan studi banding tersebut. Karena itulah,
sambil menunggu hasil studi banding itu, marilah kita belajar sendiri apa itu Etika dan Moral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Etika
etika /étika/ n 1 ilmu tt apa yg baik dan apa yg buruk dan tt hak serta kewajiban moral; 2 kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dng akhlak; 3 asas perilaku yg menjadi pedoman
etis /étis/ a 1 berhubungan (sesuai) dengan akhlak atau etika; 2 sesuai dng asas perilaku yg disepakati secara umum
Etiket
1etiket /étiket/ n tulisan dsb yg dilekatkan pd barang dagangan (label); merk dagang
2etiket /étiket/ n aturan sopan santun (tatacara) dl pergaulan2
Moral
moral n 1 (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; 2 kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, bersedia berkorban, menderita, menghadapi bahaya, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan;
bermoral v 1 berbudi pekerti yg baik, masih mempunyai pertimbangan yg baik dan buruk dl melakukan sesuatu; 2 sesuai dng moral atau tingkah laku yg baik: tawur-tawuran antara sesama kaum muda
moralis n 1 orang yg hidup menurut moral; 2 orang yg mengajarkan atau mempelajari moral sbg cabang filsafat; 3 orang yg menaruh perhatian thd pengaturan moral orang lain; 4 filsuf atau pengarang mengenai prinsip
moralitas n perbuatan dan tingkah laku yg baik; kesusilaan3
Kalau memperhatikan pengertian di atas, paling tidak kita bisa memahami bahwa etika itu
adalah suatu ilmu, ilmu tentang yang baik dan buruk, serta kewajiban secara moral.
Sedangkan, arti berikutnya kurang begitu jelas ketika etika diartikan sebagai kumpulan asas
atau nilai. Kumpulan jelas belum mengacu pada ilmu. Seperti kumpulan batu, semen, dan
besi, jelas bukanlah sebuah bangunan rumah. Dalam pandangan ilmu, jelas belum memiliki
kerangka yang jelas. Etika merupakan kumpulan nilai. Maka, pertanyaan berikutnya adalah
1 http://nasional.kompas.com/read/2010/10/19/11325682/DPR.ke.Yunani.Belajar. Etika saya unduh tanggal 15 Maret 2012 2 Sugono, Dendy dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008,hal. 417 3 Sugono, Dendy dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008, hal. 948
nilai sendiri apa. Masih dalam kamus besar bahasa Indonesia, nilai memiliki beberapa arti
yaitu harga, angka kepandaian, dan hal-hal (sifat-sifat) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. Dalam pembahasan filsafat ini4, nilai sebagai kwalitas atau sifat penting yang
berguna bagi kemanusiaan jelas lebih tepat. Di sini harus dikatakan bahwa nilai sendiri
berharga. Dalam hal ini, nilai sebagai hal yang berkaitan dengan kwalitas manusia menjadi
lebih khas.
Etika merupakan perkembangan lebih lanjut dari filsafat alam (lih. Sejarah filsafat yang
sudah kita bahas pada bab-bab terdahulu). Artinya begini; pada masa-masa pra socrates,
fokus kajian filsafat hanya sebatas pada asal-usul alam semesta dan bagaimana
kosmologinya. Sedangkan, filsafat yang memfokuskan diri pada nilai dan penilaian yang
berupa etika, baru dikaji secara lebih sistematis sejak jaman Socrates.
Secara etimologis, Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’
adalah ethos sedangkan bentuk jamaknya adalah ta etha. Ethos mempunyai banyak arti
yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk
jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai
arti sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam lingkup kajiannya, biasanya etika dibagi dalam dua kelompok besar5. Yang pertama
adalah etika deskriptif. Dekriptif adalah kata sifat dari kata benda deskripsi. Sesuai dengan
namanya, etika deskripsi sebenarnya merupakan bidang kajian etika yang sekedar
menggambarkan bagaimana sebuah nilai moral berlaku dalam suatu masyarakat. Etika di
sini tidak banyak berbeda dengan antropologi dan sosiologi yang mengkaji tindakan
manusia tanpa disertai dengan penilaian moral apapun, kecuali sebuah deskripsi.
Etika berikutnya adalah etika normatif. Etika normatif merupakan etika yang sudah diberi
penilaian-penilaian filosofis tentang suatu tindakan. Biasanya dibedakan antara etika yang
umum dan yang terapan. Etika umum belum membahas kasus-kasus etis dalam perbuatan
manusia. Etika ini memberikan pendasaran moral fundamental yang nantinya bisa
diterapkan dalam etika khusus. Salah satu contoh etika khusus adalah etika komunikasi
yang saat ini akan kita kaji lebih mendalam. Di samping itu ada etika bisnis, etika
kedokteran, etika jurnalistik, dll. Etika normatif yang Berkaitan dengan etika ini, masih ada
4 Sebenarnya, permasalahan tentang nilai dalam filsafat jauh lebih kompleks daripada sekedar arti dalam kamus. Nilai berkaitan dengan siapa yang menentukan adanya nilai, lalu apa yang dimaksud dengan nilai, kriteria apa yang menunjuk pada nilai, dll. Bdk. Katsoff, 317-335, untuk mendalami kajian tentang nilai secara lebih mendalam dan filosofis, silahkan dibaca juga Wahono, Paulus, Nilai: Etika Aksiologis Max Haveler, Yogyakarta, Kanisius, 2004. Nilai menjadi sesuatu yang mempesona, memikat orang, mendorong orang untuk melakukan sesuatu, sekaligus menjadi tujuan seseorang dalam bertindak (hal. 11). Kajiannya bertitik tolak dari paham fenomenologi. 5 Bertens, Kees, Etika, hal. 15-19
lagi yang dikaji yaitu meta etika. Metaetika jauh lebih konseptual daripada etika umum. Meta
etika memang merupakan teori etika yang hanya membahas tentang prinsip-prinsip moral.
Sedangkan moral memiliki arti yang jauh lebih luas. Moral adalah sebuah ajaran yang
diterima secara umum tentang baik dan buruk. Perhatikan di sini, moral berarti ajaran.
Sedangkan etika berarti ilmu. Dengan demikian etika secara garis besar dapat dikatakan
sebagai sebuah ilmu tentang moral. Moral sebagai ajaran, akhirnya (nanti juga akan kita
lihat lebih lanjut) juga berbeda-beda, tergantung mana yang menjadi sumber ajarannya.
Untuk men-universal-kan (menguniversalkan) moral itu, nanti akan kita kenal istilah moral
fundamental, atau moral dasar. Ada beberapa hal yang bisa menjadi sumber ajaran moral.
Ada agama, ada masyarakat, dan ada negara6. Masing-masing sumber dan ajaran
moralnya berbeda. Ada agama Islam, Kristen, Buddha, dll. Di Indonesia ada banyak sekali
masyarakat dengan latar belakang yang berbeda suku.
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ adalah mos sedangkan
bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis,
kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai
arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’,
maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang
membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari
bahasa Latin. Yang perlu dipegang adalah bahwa penggunaannya berbeda.
Berkaitan dengan kata moral di sini, kita sering melihatnya secara salah kaprah ketika
menggunakan kata imoral dan amoral. Kata imoral artinya adalah bertentangan dengan
kaidah atau nilai-nilai yang dianggap bermoral. Jadi kalau ada orang jahat, bolehlah kita
menyebut dia imoral. Misalnya ada kasus seorang kakek memperkosa cucu kandungnya
sendiri. Jelas ini tindakan tidak bermoral yang imoral. Sedangkan kata amoral, berarti bebas
moral atau non moral. Artinya, tidak semua tindakan punya dimensi moral yang perlu dinilai
jahat dan tidak. Misalnya, kalau anda bangun tidur, anda akan membuka mata kanan dulu
atau mata kiri dulu, tindakan ini jelas tidak perlu dinilai secara moral. Tapi, ada juga yang
mengartikan amoral sebagai sikap yang tidak peduli dengan moral.
12.3. Dilema Moral7
6 Magnis Suseno, dalam Etika Dasar, menunjukkan bahwa ada 3 intitusi yang bertanggungjawab untuk menanamkan nilai-nilai etis yaitu agama, negara, dan masyarakat. Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hal. 77 7 Contoh-contoh kasus yang terdapat dalam buku ini cukup menarik untuk dikaji, Higgins, Gregory C., 8 Dilema Moral Abad Ini: di pihak manakah anda?, Yogyakarta, Kanisius, 2006
tujuan akhir yang ingin dicapai. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia akan
mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik, dan itulah kebahagiaan hakiki,
kesenangan rohani, intelektual (akal), dan keutamaan moral (budi).
Manusia adalah baik dari segi moral jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang
tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual.
Didorong hati nurani, akal, budi, dan naluri, manusia menyusun konsepsi kebahagiaan pada
berbagai bidang kehidupan. Pada setiap bidang kehidupan, manusia menetapkan nilai-nilai
kebahagiaan. Dengan demikian,kebahagiaan bukan pertama-tama mengacu pada hal yang
menyenangkan. Kebahagiaan harus dilihat dalam konteks bagaimana manusia
memerankan dirinya dengan baik dan benar sesuai dengan kedudukannya. Pandangan ini
agak mirip dengan kelompok deontologisme. Kelompok deontologisme berpendapat bahwa
segala sesuatu baik sejauh mengikuti aturan yang ada.
c. Utilitarisme
Bagi utilitarisme, yang baik adalah yang berguna. Pandangan ini biasanya dikaitkan dengan
konsekuensionalisme. Konsekuensialisme adalah bagian dari teori etika normatif yang
mengatakan bahwa konsekuensi perilaku seseorang merupakan dasar utama untuk setiap
penilaian tentang kebenaran perilaku itu. Jadi, dari sudut pandang konsekuensialis, tindakan
secara moral benar adalah tindakan yang yang akan menghasilkan hasil yang baik, atau
konsekuensi. Utilitarianisme berada pada tataran masyarakat atau negara. Jeremy
Bentham10 menekankan bahwa manusia sesuai hakikatnya ditempatkan di bawah dua titik
yang berkuasa penuh: ketidaksenangan dan kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika
manusia memiliki kesenangan bebas dari kesusahan. Karena itu, suatu perbuatan akan
dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan dan memenuhi kebahagiaan sebanyak
mungkin orang. Menurut Bentham, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan
menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat
keseluruhan.
Suatu perbuatan dapat dimaknai baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi semua
orang. Dalam taraf yang ekstrim, pengorbanan sebagian orang dianggap hal yang wajar
demi nilai guna yang lebih besar. Contohnya adalah upaya pembersihan kota yang harus
menggusur para pedagang kaki lima.
12.4. Menggali Ortodoksi Moral
10 Jeremy Bentham adalah filsuf pendiri utilitarianisme asal Inggris. Ia dilahirkan di London pada tahun 1748, menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi sebagai seorang barrister (advokat) di London.Bentham merupakan salah seorang filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik
yang tidak memadai? Bolehkah orang-orang dengan intelegensi kelewat rendah ini dibedah
otaknya dan dijadikan bahan penelitian di laboratorium?
Akibat lain yang bisa muncul, embrio yang belum memiliki otak dan bahkan yang sudah
memiliki otak namun belum punya intelegensi, harus dikatakan belum memiliki hak hidup
secara penuh. Lalu, apakah mereka boleh diaborsi? Maka marilah kita lihat efek lebih
lanjutnya, kalau mereka boleh diaborsi, lalu haruskah aborsi dilegalkan dengan alasan hak
hidup embrio belum penuh? Kalau ini dilegalkan, lantas bolehkah kita yang merasa normal
lalu menyeleksi bayi yang akan dilahirkan? Itulah efek dari tebing yang curam.
Argumen slippery slope ini jelas tidak valid jika itu dimaksudkan untuk menjadi titik logika.
Dalam hal ini berarti bahwa "jika b merupakan pengecualian terhadap A, maka tidak ada
bagian dari A adalah benar." Pengecualian khusus untuk aturan atau prinsip tidak dengan
cara apapun secara logis berarti bahwa aturan tersebut dinyatakan tidak pernah dibenarkan
berlaku dalam setiap kasus. Bahkan, menyebut sesuatu pengecualian "
Tampaknya argumen ini dimaksudkan untuk menjadi lebih argumen tentang psikologi
masyarakat, dan tampaknya menjadi sesuatu yang lebih seperti "jika Anda membuat
pengecualian terhadap aturan, khususnya aturan dihargai atau waktu dihormati, orang akan
berpikir memerintah sewenang-wenang untuk memulai dan akan melihat ada alasan untuk
mengikutinya. " Oleh karena itu, setiap pengecualian terhadap aturan, dan dengan demikian
akhirnya menyebabkan aturan tidak diikuti sama sekali. Atau argumen lain dimaksudkan
mungkin "orang tidak dapat secara umum membuat perbedaan halus, jadi jika Anda
membuat pengecualian terhadap aturan (waktu dihormati), orang akan berpikir Anda telah
menunjukkan aturan untuk menjadi cacat dan karena itu tidak perlu untuk diikuti." Versi yang
sedikit berbeda, dan lebih canggih adalah prinsip ini "jika Anda membuat pengecualian
terhadap aturan, orang akan menggeneralisasi alasan untuk pengecualian itu dan
menerapkannya pada aspek lain dari aturan yang mereka generalisasi juga akan berlaku."
Contoh yang sederhana dalam hal komunikasi adalah demikian, memfitnah (dalam arti
bahasa Indonesia12) adalah jahat secara moral. Tapi bayangkan bila kemudian ada yang
mengatakan, fitnah untuk seorang calon presiden yang baik agar lolos dalam pemilu, boleh
karena tujuannya baik. Orang akan segera mencari alasan untuk mengatakan bahwa
tujuannya baik, yang penting fitnahnya diperbolehkan. Ini akan sangat berbahaya. Sesegera
mungkin, kebanyakan orang akan mengatakan bahwa finah itu boleh. Maka, untuk
menghindari hal ini, pentinglah bagi kita untuk kembali ke ortodoksi moral. Masalah moral
kalau di’abai’kan, akan memicu permasalahan-permasalahan lain yang lebih serius13.
12 Memfitnah dalam bahasa Arab memiliki arti mencobai, agak berbeda maknanya dengan bahasa Indonesia yang artinya menyebarkan berita yang tidak benar. 13 Prinsip moral slippery slope seolah bertentangan dengan apa yang disebut oleh Joseph Fletcher dengan apa yang disebut sebagai etika situasi. Dalam etika situasi memang dikenal istilah prima facie (yaitu tindakan moral tanpa pertimbangan khusus, dan etika norma (pertimbangan moral dengan
Kata suara hati, mungkin dapat kita mengerti dengan mudah karena kebiasaan saja. Artinya,
kita sudah akrab dengan istilah suara hati. Namun, sering kali masih cukup bias untuk
mengartikan suara hati. Suara hati biasa kita lihat sebagai hati nurani. Suara terdalam
manusia. Hati nurani adalah intuisi yang memandu kita untuk memberikan penilaian benar
dan salah. Secara psikologis hati nurani sering digambarkan sebagai institusi yang
menyebabkan perasaan menyesal bila seorang manusia melakukan tindakan yang
bertentangan / nya nilai-nilai moral dan perasaan kejujuran atau integritas ketika tindakan
tersebut sesuai dengan norma-norma. Sejauh mana hati nurani moral yang memberikan
informasi ‘penghakiman diri’ sebelum tindakan dan apakah seperti penilaian moral harus
didasarkan pada alasan telah disebabkan perdebatan melalui banyak dari sejarah filsafat
Barat .
Hati Nurani adalah kesadaran akan kewajiban berhadapan dengan sistuasi konkret yang
saya hadapi kini dan disini. Berkaitan dengan adanya kesadaran tentang perbuatan dan
tentang pelaku. Suara hati berfungsi sebagai vindex (menilai perbuatan yang telah
berlangsung), sebagai index (menilai perbuatan yang akan datang), sebagai ludex (menilai
perbuatan yang sedang dilakukan). Kemutlakan hati nurani, tuntutannya mutlak, tidak dapat
di tawar-tawar. Memerintahkan tanpa syarat (imperatif kateoris). Mengikuti hati nurani
merupakan hak dasar bagi setiap orang. Hati nurani adalah norma terakhir bagi perbuatan-
perbuatan kita14. Hati nurani bisa keliru tuntutannya mutlak tapi belum tentu benar.
Suara hati memiliki sifat personal dan adipersonal. Dikatakan bersifat personal karena selalu
berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan dan hanya memberi penilaiannya tentang
perbuatan saya sendiri. Sedangkan, dikatakan bersifat adipersonal, karena hati nurani (Nur
= cahaya) berarti hati yang diterangi, terhadap hati nurani seakan kita menjadi “pendengar”,
mempunyai aspek transenden, yang melebihi pribadi kita, dan karena aspek adipersonal ini,
hati nurani memiliki dimensi religius. Penentuan baik buruk , benar salah. Perbuatan yang
dilakukan atas desakan hati nurani belum tentu secara objektif juga baik.Yang sebenarnya
mau diungkapkan bukanlah baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah
tidaknya si pelaku. Maka kita tidak pernah boleh bertindak bertentangan dengan hati nurani
kita. Akan tetapi manusia wajib juga mengembangkan hati nuraninya dan seluruh
kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang (yang subjektif dan objektif
menjadi sama).
kasus khusus). Pijakan filosofisnya adalah eksistensialisme. Namun, keduanya sebenarnya berada dalam satu garis yang tidak bertentangan. Tentang Etika Situasi, silahkan dilihat dalam Suseno, Frans Magnis, 12 Tokoh Etika Abad ke 20, Yogyakarta, Kanisius, 2000, 111 14 Bdk. Purwo Hadiwardaya, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal. 15
karakter. Kesatuan inilah yang membentuk ikatan antara manusia-manusia yang bermukim
dalam satu wilayah tertentu dalam bangunan kesadaran sebagai bangsa.
“Menurut Renan syarat bangsa ialah ‘kehendak akan bersatu.’ Perlu orang-orangnya
merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: ‘le desir d’etre
ensemble’, yaitu kehendak akan bersatu”. Dalam bangsa tersebutlah, akan ditemukan ikatan
yang tidak semata dibangun lewat persamaan historis an sich, dan geo-politik, namun
mengacu kepada kesadaran sejarah, budaya, politik, dan ekonomi. Jelas, pada level
semantik tersebut akan ditemukan perbedaan dengan frasa masyarakat atau warga-negara
sekalipun. Dengan begitu, akan ditemukan pula bagaimana sebuah hubungan antara
manusia, lembaga, serta tata-peraturan akan di”main”kan lewat kerangka legitimasi dan
legalitas.
Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lepas pula dari
kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan. Pancasila sendiri mendasarkan tata-etika
pada lima prinsip negara Indonesia yang dipaparkan dalam pidato Lahirnya Pancasila, 1
Juni 1945 sebagai pedoman dalam penggalian kembali etik yang sesuai dengan kepribadian
bangsa. Disini, pertautan antara ideologi, etika, serta standar moralitas yang bertujuan
pendisiplinan masyarakat.
Kekuasaan menurut pandangan Foucault tidaklah dimiliki melainkan bermain/dimainkan
terus-menerus:
“…power is not something which can be possessed by individuals or social groups. Rather, it must be seen as something constantly in play. Power relations, such as those between employers and employees, or between mothers and doctors, are always susceptible to reversal…..Foucault does not limit the sphere of power relations to interactions between the individuals and state apparatuses: they extend throughout the social field, operating between men and women, professionals and their client.”
Secara umum, keberadaan kekuasaan dan legitimasi ideologi inilah yang memberikan
“ruang-kuasa” wacana/diskursus untuk mengatur mana yang baik dan buruk serta rumusan
antropologi ke”warga”an. Dengan begitu, dimensi etika disini sangat dibutuhkan untuk
menjadi landasan bagi beroperasinya “kuasa” ideologi serta kekuasaan negara yang
mewujud dalam ISA (Ideological State Aparatus), sebagai bentukan aktor yang menjalankan
seperangkat praktik ritual-ritual, dimana praktik tersebut selalu terdapat dalam eksistensi
material, seperti lembaga pendidikan, agama, atau institusi kebudayaan dan RSA
(Represive State Aparatus), yang dibentuk untuk membenarkan tindakan yang “diucapkan”
lewat kuasa-fisik serta kekuatan pengadilan, militer, polisi, birokrasi, termasuk institusi
negara sekalipun, hal ini mengacu pada logika yang melekat pada negara yaitu pemaksaan.
Keberadaan Pancasila lewat seperangkat etika tak bisa melepaskan dari konsep
kebudayaan yang menurut Kluckhohn antara lain bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi,