Oleh : Nyoman Sumantra, S.Pd - Medan, Agustus 2014 -
Oleh : Nyoman Sumantra, S.Pd
- Medan, Agustus 2014 -
PANCA YAMA BRATA
Panca Yama Brata adalah lima jenis pengendalian diri pada tingkat awal
untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca Yama Brata
adalah langkah awal untuk bisa membebaskan diri dari perbuatan yang tidak
baik dan akan membawa pada kemampuan mengendalian pikiran serta
menyucikan bathin.
B. BAGIAN – BAGIAN PANCA YAMA BRATA
1. Ahimsa
2. Brahmacari
3. Satya
4. Awyawaharika
5. Asteya atau Astenya
1. Ahimsa
Ahimsa berarti tidak membunuh ataupun menyakiti. Menurut ahimsa
mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan, perkataan, dan pikiran
yang dapat menyakiti orang ataupun mahluk lainnya. Melakukan
perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila
perbuatan. Perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan
tentunya akan terus membekas dalam alam pikiran yang akan membuat
sipelaku selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan
seperti itu maka suatu ketenang pikiran tidak akan bisa tercapai.
Cerita terkait Ahimsa.
Ketika Hanoman pergi kepada Sita untuk menyampaikan berita bagus,
ia berkata: “Ibu! Saya ingin menyampaikan berita baik kepadamu. Raksasa
ini yang memberikan Ibu penderitaan begitu lama sewaktu ditahan di
Alengka juga harus dibunuh. Aku akan sangat senang melakukannya dan
menjadikannya beberapa bagian. Ibu berikanlah aku ijin untuk
melakukannya. “Sita kemudian berkata : “Anakku! tidak alas an untuk
menyalahkan mereka. Mereka hanya menjalankan perintah dari tuan
mereka. Jadi, ini merupakan kesalahan mutlak tuannya dan bukan
mereka.”Sita kemudian menceritakan sebuah cerita kepada Hanuman.
Pada suatu hari eorang pemburu pergi ke hutan untuk berburu harimau.
Namun harimau melihatnya dan mengejarnya. Pemburu itu lari dan
memanjat sebuah pohon. Harimau itu dengan sabar menunggunya di
bawah pohon sedangkan pemburu menunggu harimau itu pergi.
Pemburu kemudian melihat keatas dan melihat seekor beruang pada
dahan yang lebih tinggi. Harimau bertanya kepada beruang,”O beruang!
Ini adalah mangsaku yang telah aku kejar dalam jarak yang cukup jauh. Ia
sekarang telah memanjat pohon. Jatuhkanlah mangsaku turun, sehingga
aku dapat memangsanya.” Beruang kemudian menyahut,”O harimau!
Pohon ini adalah tempat tinggalku. Pemburu datang ke tempatku minta
perlindungan sebagai tamu. Adalah merupakan kewajibanku untuk
menyelamatkannya. Dari saat ini aku tidak dapat menjatuhkannya.“
Namun harimau masih tidak mau menyerah dan pergi. Sejenak beruang
mulai tidur. Harimau kemudian bertanya kepada pemburu:”O pemburu!
aku hanya tertarik pada makanan. Adalah tidak menjadi masalah apakah
itu engkau atau yang lainnya. Aku akan membebaskanmu dan
membiarkan kamu pergi, apabila kamu mau menjatuhkan beruang yang
tidur itu untukku. Aku akan memakannya setelah itu aku pergi sesuai
kehendakku.” Pemburu ini pikirannya dipenuhi dengan kejahatan. Pikiran
yang mementingkan diri sendiri untuk menyelamatkan dirinya sendiri, jadi
ia menjatuhkan beruang itu ke bawah. Beruang yang malang, ketika jatuh
ke bawah, menggapai sebuah dahan dan selamat dari kematian. Ini adalah
pertolongan yang diberikan kepada orang yang baik. Beruang adalah jiwa
yang baik, dan Tuhan telah menyelamatkannya. Adalah tidak baik
membalas kebaikan dengan kejahatan. Beruang secara perlahan naik ke
atas. Harimau kemudian bertanya kepada beruang: ”Oh beruang!
Meskipun menunjukkan kebaikan kepada pemburu itu, ia telah
membalasnya dengan menyakitimu. Ia merupakan seseorang yang tidak
memiliki perasaan terima kasih, dengan melupakan kebaikan yang kau
lakukan. Mulai saat ini adalah bijak jika kau menjatuhkannya.” Kemudian
beruang menjawab: ”anakku! setiap dosa manusia adalah miliknya,
kebaikan juga adalah miliknya. Ia akan mendapatkan buah dari
perbuatannya. Berbuat baik adalah sifatku, berbuat buruk adalah sifatnya.
Ia akan menderita akan dosanya; aku akan mendapat buah dari
kebaikanku. Aku tidak dapat menjatuhkannya.
Sita kemudian melanjutkan : ”Sama halnya, sifatku adalah cinta kasih.
Hanuman, walaupun mereka membuatku menderita, aku tidak berharap
membuatnya mati karena itu. Membuat masalah adalah sifat mereka.
Penderitaan dengan memaafkan adalah sifatku. Mulai sekarang,
janganlah menyalahkan mereka.” Hanuman sangat terkesan
mendengarnya.
2. Brahmacari
Brahmacari merupakan masa menuntut ilmu. Tarafan hidup dengan tahapan
belajar dibedakan atas dua masa yaitu :
Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah;
Brahmacari pada masa berumah tangga.
Pada masa brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah
masa menuntut ataupun masa belajar dari guru dan sastra agama. Pada
masa ini harus benar-benar belajar tanpa menghiraukan kehidupan duniawi,
dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu mengendalikan diri dari
segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat tercapai.
a) Sukla Brahmacari (tidak menikah seumur hidup)
Pada suatu hari ketika raja Sentanu berjalan-jalan ke tepi sungai
Yamuna, tiba-tiba terciumlah olehnya bau harum yang memenuhi
angkasa, raja Sentanu mencoba mencari sumber bau harum yang suci
itu dan tiba-tiba menemukan seorang gadis yang sangat jelita seolah
dewi kahyangan turun ke dunia.
Seorang resi telah memberi berkah kepada gadis itu yang
menyatakan bahwa mulai sejak itu juga bau harum suci memancar
keluar dari tubuh mungilnya. Wajah gadis yang begitu cantik
membuat raja Sentanu timbul asmara cinta yang meluap-luap. Raja
Sentanu meminta gadis itu untuk menjadi permaisurinya. Gadis itu
menjawab :”daulat tuanku hamba hanyalah putri seorang nelayan.
Hamba persilahkan paduka datang dan mendapatkan persetujuan
dari ayah saya. Ayah gadis itu berkata kepada raja Sentanu : ”Daulat
tuanku, adalah kewajiban seorang gadis untuk menikah dan tuanku
adalah orang yang sangat berharga baginya. Namun sebelumnya,
paduka harus berjanji terlebih dahulu bahwa putra lelaki yang
dilahirkan oleh anak gadis hamba hendaknya dinobatkan menjadi
raja.”
Kendatipun raja Sentanu begitu cinta pada gadis anak nelayan itu,
namun baginda raja tidak mengucapkan janjinya pada saat itu, karena
masih teringat bahwa semuanya berarti ia harus menyisihkan
putranya, Devadrata anak dewi ganga yang sebenarnya yang berhak
atas tahta kerajaan. Raja Sentanu kembali ke kerajaan dengan
perasaan sedih. Keadaan itu membuat raja kelihatan termenung dan
raut muka raja juga kelihatan pucat. Devavrata bertanya kepada
ayahnya namun karena merasa malu terhadap anaknya. Devawarata
yang setia pada ayahnya akhirnya bertanya kepada kusir kereta
ayahnya. Dan ketika ia menanyakan barulah ia mengetahui bahwa
sang ayah telah menjumpai gadis nelayan yang cantik di tepi sungai
Yamuna. Maka pergilah Devawrata menemui nelayan itu seraya
menghampiri si gadis jelita atas nama ayahnya. Nelayan itu sujud dan
berkata:” daulat putra mahkota, bahwa anak hamba berhak menjadi
permaisuri raja Sentanu dan anaknya nantinya yang menjadi putra
mahkota. Namun tuanku sendiri telah dinobatkan menjadi raja
menggantikan beliau dan hal inilah yang membuat perkawinan ini
mustahil. Devawrata berkata: “Saya berjanji bahwa putra yang
dilahirkan oleh anak bapak akan menjadi raja dan saya akan turun
tahta. Nelayan itu berkata: “putra mahkota, engkau sangat bijaksana
dan sangat setia kepada ayahmu dan adalah pahlawan besar. Tuanku
boleh ambil anak hamba untuk dipersembahkan kepada baginda raja
ayahanda. Namun demikian hamba tidak menyangsikan bahwa tuan
akan memenuhi janji tuan. Tetapi apakah yang hamba pakai dasar
pegangan untuk menguatkan harapan hamba bahwa putra-putra
tuanku akan menyerahkan hak mereka atas tahta kerajaan? Putra-
putra tuanku pastilah pahlawan besar dan akan menjadi sulit untuk
menahan kehendak mereka atas kerajaan dengan kekuatan dan
kekerasan. Inilah keraguan yang selalu mencemaskan hati hamba.
Ketika Devawrata mendengar pernyataan yang sangat sukar ini
dan mengingat kesetiannya pada ayahnya, iapun dengan semua
kesuciannya memutuskan untuk melepaskan dirinya dari segala
hidup keduniawian dan kemudian bersumpah dihadapan nelayan
tersebut :”Saya berjanji tidak akan kawin seumur hidup dan
seluruh hidupku akan kuperuntukkan untuk pengabdian dan
kesucian”.
Seraya Devwrata mengucapkan sumpah janji, maka dari langit
jatuhlah kembang suci menaburi kepalanya dan terdengar suara dari
langit: “Bhisma, Bhisma, Bhisma”.
Maka sejak itulah Devawrata diberi gelar Bhisma yang berarti
lambang kesetiaan dan keteguhan.
Dari perkawinan Sentanu dengan Satyawati mempunyai dua putra
yaitu Citrangada dan Wichitrawirya. Wichitrawirya memiliki dua putra
yaitu Dristarastha dan Pandu dari masing-masing permaisurinya
Ambika dan Ambalika.
b). Sewala Brahmacari (menikah hanya sekali saja)
Dalam uttara kanda diceritakan ketika Rama telah dapat
menyelamatkan Sita dan mengalahkan Rahvana, beliau bertemu
dengan sahabatnya di Ayodhya dan berbincang-bincang banyak hal.
Tiba-tiba saja Rama berpaling dan bertanya kepada Bhadra dan
berkata,”Katakan padaku Bhadra apa saja yang dibicarakan oleh
rakyatku saat ini? Katakanlah. Bhadra mencakupkan tangannya dan
berkata,”Tuanku, hanya hal-hal yang baik saja yang dibicarakan orang
terhadap anda, namun. “Namun apa katakanlah Bhadra secara jujur,
pinta Rama. Ada beberapa orang yang berkata bahwa :”Rama telah
melakukan kesalahan dengan menerima kembali Sita karena lama
berada di Alengka. Bagaimana Rama yakin bahwa tak sekalipun Sita
dipaksa duduk dipangkuan Rahvana? Apakah Rama tidak merasa jijik
dimana Sita telah dijadikan mainan oleh raksasa. Rama terkejut,
berpaling pada yang lainnya,” katakan terus terang, apakah kalian
juga mendengar hal yang sama? Mereka semua bersujud dan
menjawab,”Benar, tuanku, apa yang dikatakan Bhadra benar adanya.
Dengan perasaan yang tak karuan, Rama berkata kepada saudaranya
yang duduk mematung dihadapannya. “Dengarkan kata-kataku
dengan baik! Namun inilah perasaan hati rakyat Ayodhya tentang aku
dan Sita. Mereka menyalahkan tindakanku; sikap mereka sungguh
menyakitkan. Lasmana ketika aku mengambil Sita aku juga berpikir;
bagaimana aku membawa Sita ke Ayodhya. Untuk menenangkan
hatiku dan disaksikan oleh para dewa Sita telah masuk ke kobaran api
kurban. Api membuktikan dia suci dan murni serta tidak ternoda.
Lasmana, besok pagi, dengan Sumantra sebagai kusirnya ajaklah Sita
dan tinggalkan dia diluar kerajaanku. Laksmana mengantarkan Sita
dan meninggalkannya untuk membuktikan kepada rakyat Ayodhya
bahwa ia masih suci. Sita ditinggalkan di dalam hutan dan tinggal di
asramnya Valmiki serta melahirkan anak kembar yaitu Kusa dan Lava.
Pada saat Rama mengadakan upacara persembahan kuda hitam. Para
hadirin dan rakyat banyak menyaksikan kurban ini. Dan disana hadir
dua anak Rama dengan menyanyikan kisah Ramayana. Hadir juga
Resi Valmiki yang diikuti oleh Sita dibelakangnya. Valmiki mendekati
Rama dan berkata,” Rama, ini adalah Sita yang setia dan tidak
ternoda, dia kautinggalkan karena engkau takut gunjingan rakyatmu.
Perintahkan dia Rama untuk membuktikan kesuciannya dihadapan
para hadirin disini. Rama memperhatikan Sita dengan sikap anjali. Ia
lalu berkata di hadapan hadirin dan rakyatnya” Dahulu Sita sudah
membuktikan kesuciannya sehingga aku menerimanya. Namun
rakyat masih juga meragukannya karenanya ia kubuang jauh. Rasa
takutku pada rakyar membuat aku melakukan ini. Ampuni aku,
brahmana, dengan ini kuumumkan bahwa Kusa dan Lava adalah
anakku. Sita melihat sekeliling hadirin dengan sikap tangan anjali.
Dan ia berkata :”Madhawa dewi, dewi dari bumi, aku minta
kepadamu…. Jika tidak pernah, bahkan dalam pikiran pun, mencintai
orang lain selain Rama, maka terimalah aku, Dewi, bawalah aku
kedalam dirimu. Jika dalam pikiranku, dalam kata-kata dan
tindakanku aku hanya memikirkan Rama dan hanya Rama seorng
saja, dewi bumi, terimalah aku. Jika memang benar aku tidak pernah
mengenal pria selain Rama, wahai dewi bumi, terimalah aku, bawalah
aku ke dalam dirimu.
Begitu Sita selesai mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba bumi di
hadapan Sita terbelah. Sebuah tahta para dewa muncul, di atas ada
beberapa kepala naga yang berhiaskan permata. Dewi bumi muncul
dihadapan Sita. Sang dewi memeluk Sita, mendekapnya, dan dengan
hormat meletakkannya pada tahta. Bunga turun dari langit, bagaikan
hujan lebat. Perlahan-lahan disaksikan oleh para dewa, manusia, tahta
dengan Sita duduk diatasnya turun masuk ke dalam perut bumi.
Mereka menyaksikan, mereka ketakutan dan bumi menutup kembali.
Begitu Sita lenyap Rama menyambar sebatang kayu untuk dipegang.
Rama tidak mampu menahan kesedihan, air mata membanjiri pipinya.
Iapun menundukkan kepala. “Wahai bumi!”, “kembalikan Sita
kepadaku, kalau tidak aku marah dan menghancurkan semuanya.
Brahma yang ada dihadapan Rama, cepat menenangkan Rama yang
akan mengamuk itu. Akhirnya Rama mengumpulkan pertapa dan
berkata kepada anaknya, “Tanpa Sita dunia bagaikan padang pasir
kering. Aku tidak akan pernah kawin lagi. Rama menyuruh seorang
pematung ahli menciptakan patung Sita, terbuat dari emas. Patung
itu menyertai Rama dalam upacara agama.
3. Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan
dilaksanakan oleh setiap orang yang ingin mendapatkan kemajuan
kehisupan spiritual. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu
kebenaran akan dapat dilakukan setelah terbiasa.
Ajaran satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan panca satya,
yaitu
a) Satya Wacana yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya manusia harus
berbicara jujur, apa adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita harus
mampu menghindari dan mengendalikan diri dari perkataan yang tidak
benar, palsu ataupun memfitnah. Karena fitnah lebih kejam dari
pembunuhan.
Cerita tentang Satya Wacana…
Pada suatu hari Dewi Parvati bertanya kepada Siva,”Yang mulia!
Saya mendengar ada tempat suci untuk memuja Paduka yeng
bernama Kashi. Siapapun yang mengunjungi Kashi dan
mempersembahkan doa kepada paduka setelah mandi di sungai
Gangga akan mendapatkan pahala untuk dating ke Kailasa dan
tinggal disini selamanya. Benarkah itu? Siva menjawab,”Tidak semua
orang dapat memperolah pahala itu. Hanya berdoa dan
mempersembahkan doa kepada patungKu tidaklah cukup. Sekarang
Aku akan jelaskan kepadamu. Marilah kita pergi ke Kashi sebagai
pasangan jompo. Engkau harus melakonkan suatu drama!”
Siva dan Parvati menampakkan diri dihadapan pintu masuk pura
Siva. Parvati sebagai nenek berwajah buruk , dan Siva sebagai kakek
reyot. Siva membaringkan kepala Beliau di atas pangkuan Parvati dan
mulai mengerang karena karena amat kesakitan. Nenek tua itu
menangis tidak berdaya. Ia memohon kepada setiap ziarah dengan
berkata,”Oh, kalian, umat Tuhan! Lihatlah kesini, ini suamiku. Ia amat
kehausan dan mungkin akan meninggal setiap saat. Maukah anda
menolong mengambilakn air minum untuknya? Saya tidak bisa
meninggalkannya sendirian dan pergi mengambil air. “Para peziarah
keluar dari tempat pemandian setelah upacara mandi di sungai
Gangga. Pakaian mereka basah dan membawa air dalam wadah kecil
dari kuningan yang mengkilat. Mereka melihat dan mendengar
ratapan wanita itu. Beberapa orang berkata,”Tunggu, kami akan
mengurus suamimu setelah mempersembahkan air suci sungai
Ganga kepada Siva.
Beberapa orang berkata,”Oh, alangkah menjengkelkan! mengapa
para pengemis tidak membiarkan kita memberikan persembahan
dengan tenang. “Yang lain berkata, “Seharusnya para pengemis tidak
diijinkan duduk disini. “
Ada banyak orang yang berkerumun di dekat pintu masuk pura.
Seorang pencopet berjalan bersama beberapa peziarah. Ia juga
mendengar ratapan jompo itu. Ia tidak tega melihat oranbg tua yang
menderita dan nenek yang meratap. Ia berjalan menghampiri mereka
dan berkata, “Ibu, apa yang ibu kehendaki? Kalian siapa? Mengapa
kalian disini? “ nenek itu menjawab, “Nak, kami dating kesini untuk
mendapatkan penampakan Siva. Tiba-tiba suamiku sakit dan pingsan
karena amat kelelahan. Mungkin ia dapat bertahan hidup jika
seseorang menuangkan air kedalam mulutnya yang kering.
Keadannya demikian gawat untuk kutinggalkan pergi mengambil air.
Saya memohon kepada orang banyak agar menolong saya, namun
tiadak ada seseorang pun yang mau berbagi, walaupun mereka
membawa tempayan penuh air.” Pencuri itu merasa iba. Ia membawa
air sedikit di dalam tempat air dari labu kering. Wanita itu
menghentikannya dan berkata, “Nak, suamiku bisa meninggal setiap
saat. Ia tidak mau menermia air kecuali orang yang memberinya air
bicara benar.” Pencopet itu tidak bias memahami artinya. Ia berkata,
“ Ibu, katakanlah, apa yang saya harus lakukan?” Dengan tertawa sinis
ia berkata, “Ibu, selama ini saya belum pernah melakukan perbuatan
baik. Saya adalah seorang pencopet. Satu-satunya perbuiatan baik
adalah apa yang akan saya lakukan sekarang, memberikan air kepada
kakek yang sekarat ini. Ini benar.”
Dengan lembut, dituangkannya sedikit air kedalam mulut kakek
tersebut. Tidak lama setelah sipencopet melakukan hal ini, pasangan
tua itu lenyap dan sebagai gantinya berdiri Siva dan Parvati dalam
segala kemuliaannya. Siva berkata,”Nak, engkau selalu terberkati.
Tidak ada moralitas yang lebih luhur daripada mengatakan
kebenaran, dan tidak ada doa yang lebih ampuh daripada melayani
sesam manusia. Semua dosa yang kau lakukan selama ini teklah
diampuni karena satu perbuatan hari ini.”
Komentar : Jika kita mau mengucapkan kebenaran maka Tuhan
akan datang kepada kita.
b) Satya laksana yaitu yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai
manusia yang dipengaruhi oleh triguna maka seringkali manusia tidak
mengakui apa yang telah ia lakukan. Dalam satya laksana yang
dipentingkan adalah bagaimana manusia mampu bertanggung jawab
atas apa yang telah dilakukan. Maka berani berbuat harus berani
bertanggung jawab. Manusia juga harus jujur dan selalu melakukan
perbuatan yang berdasarkan pada ajaran dharma. Segala bentuk
perbuatan yang adharma harus bisa dikendalikan dengan
menumbuhkan sifat satwam didalam diri.
Cerita tentang Satya Laksana…..
Raja Pariksith berkata,” Aku pergi ke hutan untuk berburu. Banyak
binatang yang terlihat namun mereka terpencar ketika kami
mendekat. Kelompok pemanah yang menyertai aku terpencar pula
mengejar mereka. aku jadi sendirian, jauh dari pengiringku. Aku
kelaparan, kehausan, panas yang menyengat menghabiskan
tenagaku. Akhirnya kutemukan pertapaan seorang yang bijaksana.
Sekarang kuketahui ia bernama Samika. Aku berteriak beberapa kali
untuk menarik perhatian orang yang di dalam, agar aku memperoleh
sedikit air minum. Tidak ada jawaban, dan tidak ada seorangpun yang
keluar. Maka akupun masuklah. Kulihat seorang yang pertapa yang
sedang duduk dengan tak acuh, tenggelam dalam sesuatu yang
baginya adalah meditasi, sedangkan bagiku adalah sikap yang sama
sekali tidak mengacuhkan kedudukan dan kebutuhanku. Kurasa
sesuatu lunak terinjak, ternyata adalah seekor bangkai ular. Pikiranku
teracuni dan timbullah sebuah akal untuk meletakkan bangkai ular itu
di lahernya dan dalah hatiku tersenyum. Itu adalah semacam
hukuman karena telah mengabaikanku. Aku meneruskan perjalanan,
kembali ke istana.
Namun putra pertapa itu melihat ayahnya dengan bangkai ular melilit
di lehernya! Ia tahu aku yang melakukannya. Maka ia pun
mengutukku,”Semoga raja tewas dipagut ular tujuh hari setelah
hari ini.” Tujuh hari! Betapa baiknya dia! Sebetulnya ia dapat
mengutukku agar mati seketika itu juga, namun ia telah memberiku
waktu tujuh hari untuk merenungkan Tuhan dan menyiapkan diri
pada kesadaran Illahi sehingga aku dapat mencapai tujuan! Sedikit
sekali orang yang mendapat pemberitahuan seminggu sebelum maut
menjemputnya.
Komentar : Ambillah buah atau tanggung jawab terhadap apa
yang telah kita lakukan dengan rasa syukur.
C) Satya Semaya yaitu yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam
kehidupan ini manusia memberikan janji namun sering sekali
melanggar janji itu dan tidak menepatinya. Ini harus dihindari, karena
sekali berbohong akan menimbulkan kebohongan yang lain. Tidak
mampu menepati janji akan selalu membawa kegelisahan dalam hati
dan pikiran sehingga ketenangan yang diharapkan pun tidak dapat
dicapai.
Cerita tentang Sathya Semaya…..
Jembatan ke Langka di bangun melintasi selat, agar Rama
bersama pasukan-Nya dapat berbaris menyeberanginya menuju
kearah Rahvana, raja raksasa, tempat Sita ditawan. Kera-kera yang
gagah berani mencabut gunung-gunung dan meloncat jauh ke
angkasa dengan menyangga puncak-puncak gunung tersebut di
bahu mereka, sehingga mereka dapat melemparkannya ke dalam laut
dan membuat jalan untuk Rama! Para kera membentuk barisan dari
himalaya di utara hingga ke ujung yang paling selatan, tempat
jembatan itu dibangun dengan cepat. Ketika jembatan itu selesai,
dengan cepat disampaikan bahwa tidak dibutuhkan lagi puncak-
puncak bukit lagi, maka setiap kera meletakkan kembali puncak bukit
pada tempatnya.
Akan tetapi sebuah bukit tidak mau dikembalikan. Ia mulai
meratapi nasibnya! “Mengapa aku dipindahkan dari tempatku dan
mengapa sekarang aku ditolak? Aduh! Aku demikian gembira ketika
aku harus membantu suatu tujuan Illahi; aku amat gembira karena
pasukan Rama dan Rama sendiri akan berjalan melintasiku. Sekarang
aku tidak berada disana. “Air matanya bercucuran. Berita itu sampai
kepada Rama, dan beliau amat berbelas kasihan. Ia berjanji bahwa
dalam wujud Avatar beliau berikutnya, beliau pasti memberkatinya.
Bukit ini adalah Govardhana yang diangkat oleh Rama sebagai
Krishna yang masih kecil dengan kelingking-Nya selama tujuh hari
penuh, untuk menyelamatkan para gembala sapi dari hujan lebat.
Komentar : Tuhan memberikan teladan bahwa Beliaupun harus
menepati janji yang telah dibuat.
D) Satya Hredaya yaitu yaitu setia pada kata hati. Seringkali kita dalam
melakukan dan berkata bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang
tidak benar atau jahat harus dihindari. Karena pikiran yang tidak baik
akan mendorong manusia untuk berkata dan berbuat yang
bertentangan dengan kebajikan dan suara hati.
Cerita tentang Sathya Hredaya….
Raja Naabhaka memiliki seorang putra yang bernama Ambarisha.
Ambarisha adalah anak yang sangat pintar. Ia sangat memperhatikan
rakyatnya, dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Baginya,
rakyatnya seperti bagian tubuhnya dan Tuhan adalah hatinya. Pada
suatu saat resi Vasistha dan resi Gautama menyuruh raja Ambarisha
melakukan Asvamedha Yadnya. Selama pelaksanaan yadnya
Ambarisha melupakan kerajaaanya dan bahkan tubuhnya. Ia
memusatkan pikirannya hanya pada Narayana. Pada akhir yadnya,
dewa Narayana memberkati Ambarisha dengan senjata-Nya sendiri
yaitu Sudarsana cakra. Beberapa waktu kemudian, disuruh oleh resi
Vasistha, Ambarisha melasanakan Dvadasi Vrata, sumpah 12 bulan.
Setelah melaksanakan disiplin dari Dvadasi Vrata, Ambarisha
melakukan puasa untuk mengakhiri Dvadasi Vrata. Buka puasa akan
dilakukan esok harinya, sesaat sebelum akhir tahun. Sesuai tradis
setelah ia membuka puasa, ia akan memberikan makan rakyatnya.
Ambarisha sudah siap untuk membuka puasanya. Resi Durvasa tiba-
tiba datang tanpa diharapkan. Ambarisha menghormatinya. Durvasa
berkata,” O raja, tidak ada seseorangpun di dunia ini melakukan
Dvadasi Vrata seperti yang kau lakukan. Kau akan mendapatkan nama
yang baik. Kerajaanmu akan selalu mendapatkan kedamaian.”
Ambarisha memohon,” Swami terimalah keramah tamahanku hari
ini.” Durvasa berkata,”dengan senang hati. Namun berikan aku
beberapa waktu. Aku akan pergi ke sungai, mandi dan menyelesaikan
doa sehari-hariku.” Sambil mengucapkan kalimat tersebut, Durvasa
pergi menuju sungai.
Ambarisha mulai merasa khwatir ketika Durvasa belum kembali
dalam waktu yang lama. Mengapa? Dilain pihak, etika dari tuan
rumah adalah tidak makan sebelum mempersembahkan makanan
kepada tamunya. Dilain pihak, aturan Dvadasi Vrata harus makan
sebelum waktu mencapai penghabisan tahun, yang mana telah
datang. Ambarisha rasa khawatinya mulai memuncak, Vasistha
menyarankan agar meneteskan beberapa tetes air Tulasi di mulutnya
sebagai simbul membuka puasa, Vasistha meyakinkan bahwa ia tidak
akan mendapatkan dosa atas perbuatannya.
Ambarisha akhirnya mendengar kata hatinya untuk meminum
beberapa tetes air Tulasi. Durvasa datang tepat pada waktu itu.
Durvasa kecewa dengan Ambarisha dan berkata,” Ambarisha kau
telah buta dengan kebanggaan diri!’ Ambarisha bertanya dengan
hormat,” resi yang mulia apa salah saya?” Durvasa berkata,” berani
sekali kau bertindak seperti orang tidak bersalah! Kau
mengundangku sebagai tamu dan makan sebelum kau melayaniku!
Ini bukanlah sifat dari keramah tamahan? Aku adalah seorang
maharesi, bukan tamu biasa! Akhirnya Durvasa mencabut satu helai
rambutnya dan memberikannya mantra. Raksasa yang seram muncul
dan mengangkat pedangnya untuk membunuh Ambarisha. Dengan
cepat Sudarsana cakra membunuh raksasa itu. Sudarsana cakra
kemudian mengejar Durvasa. Durvasa melarikan diri. Sudarsana cakra
mengejarnya ke hutan, sungai…..ke setiap tempat. Durvasa akhirnya
pergi ke Brahma loka mohon perlindungan, dewa Brahma bersabda :
“ Aku tidak berdaya. Aku tidak dapat melawan kehendak Narayana.
Kau tidak akan dapatkan perlidungan dari-Ku.
Durvasa kemudia pergi ke Kailasa. Dewa Siva juga mengatakan hal
yang sama kepada Durvasa. Durvasa akhirnya pergi ke tempatnya
Narayana. Narayana berkata,” O resi! Apakah kau tidak lihat
ketidakmampuan-Ku? Aku memang berkuasa namun Aku tidak dapat
menghilangkan berkat-KU : berkat yang dimiliki oleh seorang bhakta
yang menyerahkan semuanya kepada-Ku. Aku selalu tunduk kepada
bhakta-Ku. Ambarisha adalah salah satu bhakta-Ku. Ia telah
menyerahkan semuanya untuk-Ku dan ia hanya mencari-Ku.
Kekuatan cinta kasihnya melebihi kekuatan kehendak-Ku! Aku tidak
dapat menolongmu. Namun aku memberikanmu pemecahan.
Mintalah pengampunan pada Ambarisha.”
Setelah dinasehati oleh dewa Visnu, Durvasa melangkah menuju
Ambarisha dan sujud di kakinya. Ambarisha menjadi terkejut dan
malu. Ia berkata,”O resi yang agung! Kau kaya dengan olah tapa dan
kebijaksanaan. Tolong jangan menyentuh orang biasa seperti diriku.”
Durvasa menyela,” dalam ego aku telah bicara kasar kepadamu. Aku
telah membuat menderita tanpa mengetahui baktimu. Maafkanlah
aku.” Ambarisha kemudian berdoa atas keselamatan Durvasa,”O Deva
Visnu, Engkau adalah perwujudan kasih saying dan pemaaf. Kau maha
mengetahui dan maha kuasa. Tolong maafkanlah kesalahan resi
agung ini.” Hanya kemudian Sudarsana cakra berhenti mengjarnya.
Komentar : Kata hati merupakan suara Tuhan yang
selalu menuntun kita.
E) Satya Mitra yaitu yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam
mencari sahabat hendaknya didasari atas kejujuran. Dewasa ini
kebanyakan manusia dalam mencari teman hanya untuk
kepentingan sendiri. Hal ini dikarenakan manusia hanya ingin
mencari keuntungan dalam pertemanan sehingga ketika pada
waktunya teman atau sahabat itu tidak memberikan suatu
keuntungan maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap inilah
yang harus dikendalikan dan dihindari, karena tidak ada harta yang
lebih berarti dari sahabat yang baik.
Cerita tentang Sathya Mitra…..
Ketika Krishna bersama dengan Balarama menerima pelajaran
dari Resi Sandipani, beliau memiliki seorang sahabat yang
bernama Sudama. Pada akhir masa menuntut ilmu Krishna dan
Sudama berpisah sesuai dengan jalan hidupnya. Diceritakan
Brahmana Sudama hidup bersama dengan istrinya Kaliyani.
Mereka hidup sangat sederhana dan berbakti kepada Krishna.
Meskipun ia sangat miskin, ia tidak tertarik pada kekayaan, ia tidak
pernah mengeluh, juga tidak pernah menyalahkan Tuhan karena
kemiskinannya.
Kaliyani, istrinya mempunyai sifat sama dengan suaminya. Ia
hanya makan apa yang disisakan oleh suaminya. Karena miskinnya,
makanan yang disiapkan sangat terbatas dan akibatnya ia sangat
sedikit makan setiap hari. Puasa telah membuat ia lemah, namun
wajahnya tetap nampak tenang. Kaliyani sangat khawatir akan
kesehatan suaminya. Setelah mempertimbangkan dalam-dalam ia
memutuskan untuk menyampaikan kekahawatirannya. “Sudama,
suamiki tercinta,”katanya pada suatu hari Sri Krishna yang agung
adalah teman sepermainan kanda dahulu di pasraman Sandipani.
Sekarang beliau adalah raja agung di Dwaraka. Sudama
memandang wajah istrinya dengan rasa kasihan. Istirnya hanya
mengenakan pakaian sederhana dan itu merupakan pakaian sat-
satunya. Dan kini tampaknya ia ingin memohon sesuatu, karena itu
Sudama memberikan kesempatan pada istrinyauntuk
menyampaikan maksudnya lebih lanjut.
Kaliyani dengan nada terputus-putus dan lemah, melanjutkan
kata-katanya : “Suamiku, mengapa kanda tidak menghadap
kepada beliau. Sri Krishna pasti menganugrahkan kesejahtraan jika
beliau melihat kanda. Beliau pasti senang melihat kita dan
membebaskan kita dari kemiskinan. Kaliyani tertunduk dan takut
bahwa ia terlalu banyak bicara. Melihat sikap Kaliyani yang seperti
itu, Sudama semakin terharu dan kasihan. Sudama berpikir di
dalan hatinya. Istriku telah lama menderita dan penuh pengabdian.
Karena itu, sebaiknya saya memenuhi permintaannya. Selain itu
akan sangat menyenangkan dapat melihat teman yang telah
bertahun-tahun berpisah. Akhirnya Sudama melaksanakan saran
istrinya dan berkata :”Istriku, Kaliyani, saya akan pergi ke Dwaraka,
namun apakah dinda memiliki sesuatu sebagai oleh-oleh untuk
Krishna? Saya tidak dapat pergi dengan tangan kosong.
Kaliyani segera pergi meninggalkan rumahnya untuk meminta
beras pada tetangganya. Kaliyani menerima segengam beras
dengan rasa terima kasih walaupun ia tahu itu tidaklah cukup.
Dengan penuh hati-hati dan pikirannya hanya kepada Krishna,
setelah masak nasi itu dibungkus dengan kain tua dan diserahkan
kepada suaminya. Berbekal kantung yang berisi makanan itu
Sudama meninggalkan rumahnya dengan perasaan gembira.
Tidak lama dalam perjalanan akhirnya sampailah Sudama di
Dwaraka, Sudama tertegun menyaksikan keindahan kerajaan
Dwaraka. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju tempat
pasukan pengawal istana. Setelah melewati tempat ini, Sudama
menjumpai bangunan megah dan memasuki salah satu bangunan.
Aneh sekali, bahwa tidak seorangpun yang menegur dan melarang
dirinya. Akhirnya Sudama memasuki pintu utama istana disana
Sudama terpaku, badannya terasa kaku dan tidak dapat
digerakkan. Ia melihat Sri Krishna duduk didamping oleh Dewi
Rukmini. Begitu Sri Krishna melihat Sudama dating beliau
langsung meloncat dan berlari menyambut Sudama. Beliau
memeluk Sudama dengan hangat, air mata Krishna berjatuhan
seperti titik air jatuh di teratai. Sudama mengais sejadi-jadinya
karena kegembiraan yang mengharukan. Krishna memegang
tangan Sudama dan menuntunnya menuju ke tempat duduk
Krishna. Setelah duduk, Sri Krishna mencuci kaki Sudama yang
kotor dan air pembasuh itu dipecikan ke kepala beliau dank e
kepala Rukmini. Sementara itu Rukmini mengipasi Sudama
dengan kipas yang terbuat dari bulu merak. Alangkah
beruntungnya Sudama karena mendapat kehormatan dari Krishna.
Kemudian Krishna duduk disamping Sudama dan mulai bercerita
tentang masa kanak-kanaknya di pasraman Sandipani. Ketika
Sudama menceritakan kembali pengalaman mereka, tiba-tiba
Krishna melihat bungkusan kecil yang di bawa Sudama.
“Apakah kamu mempunytai hadiah untuk-Ku?”, kata Krishna
sambil tersenyum. Krishna melihat bahwa Sudama malu
memberikan bungkusan kecil itu yang brisi nasi yang agak basi.
“Sahabatku tercinta, aku pasti tidak menuntut sesuatu. Tetapi
sebuah hadiah kecil yang tulus dari penyembah-Ku, walaupun
kecil, bagi-Ku sebuah pemberian yang besar.” Setelah berkata
demikian, Krishna mengambil bungkusan kecil itu dan
membukanya dan membaginya dengan Rukmini. Ini nasi yang
sangat lezat! Hadiah ini tidak hanya memuaskan Aku namun juga
alam semesta!. Sri Krishna mengundangnya bermalam di Dwaraka.
Sudama tidak menolak dan baru pertama kalinya ia tidur di tempat
yang nyaman. Ketika pagi menjelang, Sudama minta ijin untuk
pulang menemui istrinya. Dalam perjalanan Sudama terus berpikir
tentang Krishna dan keberuntungannya bertemu dengan beliau.
Sambil membayangkan Krishna, Sudama segera tiba di
rumahnya. “Rumah? Ini bukan rumah yang sama ketika aku
meninggalkannya. Semuanya berubah.” Sudama bingung.
Gubuknya kini berubah menjadi istana dihiasi dengan taman yang
indah oleh bunga teratai.
“Mungkin ini bukan rumah saya,” pikir Sudama dalam hatinya.
“Jika ini rumah saya, apakah rumah ini akan memberikan
kebahagiaan?”. Pada saat itu ia melihat istrinya datang dengan
pakaian seperti dewi kemakmuran. Segera nampak keceriaan di
matanya ketika melihat istrinya. “Rumah ini”, pikirnya, merupakan
hadiah dari Sri Krishna. Beliau mengambil nasi basi dan
menukarnya dengan memberikan rumah dan harta yang
berlimpah. Saya mestinya tidak sombong dengan semua kekayaan
ini. Semua harta ini akan saya gunakan untuk melayani umat beliau
yang memerlukan. Saya tetap Sudama yang sederhana.
Komentar : Harta yang paling indah adalah teman yang baik.
4. Awyawahara
Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi. Dalam kehidupan
ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena bila indria
yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan.
Kesengsaraan itu timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa
puas terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda
duniawi akan membuat manusia selalu tenggelam dalam kebodohan dan
penderitaan. Bakti dan saranagathi adalah akibat terakhir yang akan
memberikan keberanian besar kepadamu untuk menghadapi kejadian yang
tidak disangka-sangka. Keberanian semacam itulah yang disebut
awyawahara.
Kisah mohajith adalah sebuah contoh yang bagus untuk jenis
awyawahara yang tertinggi. Mohajith, seorang pangeran, mengunjungi
seorang bijaksana di hutan dan mencari bimbingan di bidang spiritual. Orang
bijaksana itu bertanya apakah ia telah mengalahkan moha (hasrat akan
benda atau keterikatan pada benda), sesuai dengan arti namanya. Pangeran
itu menjawab ,tidak hanya dia, tetapi demikianlah orang di seluruh
kerajaannya! Maka orang bijaksana itu mulai menguji kebenaran
perkataannya. Diambilnya jubah pangeran itu dan dicelupkannya ke dalam
darah kemudian ia pun cepat-cepat pergi ke gerbang istana untuk
mengisahkan cerita yang mengerikan tentang terbunuhnya pangeran oleh
beberapa orang jahat di hutan. Pelayan yang di jumpainya tak mau cepat-
cepat menyampaikan berita itu ke istana, dengan alasan sebagai berikut: “Ia
telah lahir dan sekarang ia mati ; apakah keistimewaan dan pentingnya berita
ini sehingga saya harus menyela kebiasaan sehari-hari dan berlari menjumpai
Raja dan Ratu ?” Ketika akhirnya ia mendapatkan kesempatan berjumpa dan
dapat menyampaikan berita sedih itu pada ayah pangeran, Raja ini tetap
duduk dengan tenang dan berbisik pada dirinya sendiri: “Sang burung telah
hinggap di pohon untuk beristirahat.”
Ratu juga tidak bergerak hatinya. Ia berkata pada orang bijakana itu,
bahwa dunia ini adalah tempat penginapan para kafilah, tempat orang
datang dan tinggal semalam dan jika fajar menyingsing, maka satu demi
satu pergi kearah yang berlainan. Sanak keluarga adalah istilah yang
biasa digunakan untuk menyebut keterikatan ketika berkumpul di dalam
penginapan selama hubungan yang singkat. Istri pangeran yang mati itu
juga tidak terpengaruh; katanya: “Suami dan istri adalah bagaikan dua
potong kayu yang hanyut di sungai yang banjir; mereka terapung saling
berdekatan untuk beberapa saat dan jika ada arus lewat, mereka
berpisah. Masing-masing harus mengalir menuju ke laut dengan
kecepatan dan waktunya sendiri. Tidak ada gunanya sedih karena
mereka berdua berpisah. Memang harus demikian, itu adalah hal yang
paling wajar.”
Orang bijaksana itu amat gembira mengetahui kemantapan dan
ketulusan awyawahara antara yang memerintah dan yang di perintah. Ia
kembali ke hutan dan memberitahu pangeran bahwa ketika ia pergi,
kerajaannya diserang tentara musuh dan mereka membunuh semua
keluarga kerajaan, merampas kekayaannya dan rakyatnya dijadikan
budak. Berita itu diterimanya dengan tenang dan berkata: “ Semua ini
hanyalah gelembung, tidak abadi, lemah. Biarlah mereka pergi seperti
gelembung. Bimbinglah aku mencapai yang tidak terbatas, yang abadi.”
5. Asteya
Asteya berarti tidak mencuri atau memaksa milik orang lain.
Cerita terkait asteya…..
Seorang Ibu menggendong anaknya diatas bahunya ketika pergi
ke pasar. Seorang perempuan membawa keranjang buah lewat di
depannya. Anaknya mengambil sebuah pisang dari keranjang itu dan
mulai memakannya. Ibunya mengetahui hal ini, dan ketika diberitahu
bahwa dengan cerdik ia mengambil pisang itu dari penjual buah yang
lewat, ibunya memuji kecekatannya. Hal ini menyebabkan anak kecil itu
mempunyai kesenangan mencuri barang yang tidak seberapa harganya
dan setelah lebih besar mencopet kemudian benar-benar menjadi
maling dan kemudian ikut gerombolan perampok. Suatu kali ketika
sedang merampok, ia juga melakukan pembunuhan. Ketika ia ditangkap
dan dipenjarakan ia menyatakan keinginanya untuk betemu dengan
ibunya sebelum menjalani hukuman gantung. Ibunya yang menangis
meraung-raung dengan putus asa dibawa kehadapan putranya. Ia
tersedu-sedu menangisi nasib anaknya. Anaknya minta agar ibunya
mendekat. Tiba-tiba ia mencekik ibunya. Para pengawal memisahkan
mereka. anak itu berkata : “ Ia layak dihukum : karena ialah yang
menyebabkan kehancuranku. Jika saja ia menegurku ketika aku mencuri
pisang sewaktu masih berumur 2 tahun dan bukannya memujiku, aku
tidak akan terperosok melakukan perbuatan jahat.”