34. NYERI SENTRAL
OTAK: CIDERA ISKEMIK
Deskripsi Masalah Kebanyakan nyeri pasca stroke sentral (CPSP)
terjadi setelah stroke talamik, tapi cidera di daerah otak lainnya
dapat menimbulkan nyeri kronis termasuk cidera pada korteks (lihat
Gambar 34-1 dan 34-2.) Diagnoiss CPSP ditegakkan setelah
teridentifikasinya lesi di otak yang terdefinisi yang seiring
dengan gejala nyeri khas dan bukan merupakan hasil dari penyakit
perifer. Daerah yang nyeri kadang mewakili sebagian kecil daerah
tubuh, tapi biasanya luas, tanpa mempedulikan distribusi sklerotom,
dermatom dan miotom. CPSP seringnya bersifat ireversibel dan
pilihan terapi efektifnya maish terbatas. Tidak ada kualitas nyeri
yang patognomonik untuk nyeri sentral, tapi rasa terbakar dan sakit
yang konstan merupakan deskripsi umum yang bercampur dengan sensasi
tajam/menusuk yang akut dan berulang (lihat Tabel 34-1). Intensitas
nyeri biasanya tidak ekstrim tapi lumayan menjengkelkan dan
mengganggu.
Patofisiologi Nyeri Sebagian besar peneliti setuju bahwa CPSP
sentral disebabkan oleh gangguan sistem somatosensoris. Nyeri
sentral tidak bebas dari kelainan di fungsi otot, koordinasi,
pandangan, pendengaran, fungsi vestibuler dan fungsi kortikal yang
lebih tinggi. Gejala nonsensoris tidak diperlukan untuk
berkembangnya nyeri sentral. Dua mekanisme yang paling banyak
disebut untuk perubahan-perubahan sensoris ini adalah hipotesis
aktivitas ektopik dan perubahan neuroplastik, hipotesis
reorganisasi sinaptik. Mekanisme aktivitas ektopik meliputi
pelepasan spontan neuron yang terhubung dengan pemrosesan informasi
somatosensoris. Sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara input
neuronal sensoris dan hubungan sinaptik yang terganggu, pasien
merasakan ketidaknyamanan. Perubahan neuroplastik dan
hipersensitivitas menyatakan bahwa perubahan ini terjadi selama dan
setelah cidera saraf pada sistem somatosensoris yang berujung pada
aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) melalui asam amino
eksitatoris.
SKLEROSIS MULTIPELDeskripsi Masalah Bagian tubuh yang terlibat
dalam nyeri yang sedang berlangsung nantinya secara virtual selalu
menampilkan kelainan sensoris termal seringnya dengan alodinia
taktil atau dingin. Nyeri kronis pada pasien sklerosis multipel
sangat sering ditemui dan dipercaya berasal dari sistem saraf
pusat. Diperkirakan bahwa setidaknya 25% semua pasien dengan
sklerosis multipel menderita nyeri sentral Seperti sindrom nyeri
sentral lainnya, pasien mengeluhkan berbagai gejala dan bagian
tubuh yang berbeda. Kualitas nyerinya meliputi: rasa sakit, rasa
terbakar, rasa teriris, sensasi seperti kram, rasa tusukan dan
lain-lain. Gejalanya bisa disebut sebagai gejala yang dalam,
superfisil atau kombinasi keduanya. Gejala ini bisa intermiten tapi
kasus lain yang lebih parah bisa persisten. Lokasi nyeri bisa
bervariasi, tapi umumnya pasien melaporkan adanya gejala di
ekstremitas bawah dan melibatkan berbagai bagian tubuh dari
ekstremitas atas dan bawah distribusi nyeri di tulang belakang
juga. Neuralgia trigeminal juga merupakan tampilan klinis pada
pasien dengan sklerosis multipel. Patofisiologi Nyeri Diagnosis
nyeri sentral pada sklerosis multipel sebagian berdasarkan pada
eksklusi dan sebagian pada kriteria spesifik (sebagaimana
didefinisikan oleh Boivie). Nyeri sentral nontrigeminal dan durasi
nyeri yang lebih dari 6 bulan dan tidak ada penyebab lain yang
diketahui atau yang diduga menjadi penyebab nyeri Dikombinasikan
dengan kriteria diagnostik untuk sklerosis multipel seperti
pemerikasaan radiologi yang menunjukkan adanya lesi dan demielinasi
pada sistem saraf pusat (lihat Gambar 34-3) Pasien bisa mengalami
serangkaian gangguan neurologi tapi belum ada bukti yang mendukung
bahwa keparahan gejala neuromuskuler berhubungan dengan intensitas
dan insidensi nyeri Plak yang mengalami demielinasi dan merupakan
ciri khas sklerosis multipel bisa terjadi di sepanjang sistem saraf
usat dan sering juga ditemukan pada medulla spinalis Nyeri sentral
sklerosis multipel diduga merupakan dampak dari gangguan sinyal
dalam jalur lintas talamik spinal Lesi yang ditemukan pada pasien
sklerosis multipel diduga merupakan sumber dari nyeri yang sedang
berlangsung sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dan modulasi
neuronal informasi sensoris, khususnya di bagian yang melbatkan
nyeri dan/atau keterlibatan muatan abnormal dari serat sensoris dan
jalur yang berasal dari sistem saraf pusat.
MEDULLA SPINALIS
CIDERA ISKEMIK TRAUMATIK
Deskripsi Masalah Sensasi nyeri merupakan sekuel paraplegi dan
kuadriplegi akibat dari cidera medula spinalis, sering terjadi dan
bersifat mengganggu. Insidensi nyeri dalam populasi ini dilaporkan
sebesar 96%.. Nyeri berat yang melumpuhkan hanya ditemukan pada
sebagian kecil pasien tapi nyeri ini sering resisten terhadap
bermacam-macam intervensi terapetik. Sejumlah skema klasifikasi
untuk tipe-tipe sindrom nyeri berbeda telah dibuat selama
bertahun-tahun. Umunya, skema ini membagi sindrom menjadi
kategori-kategori yang berhubungan dengan gejala yang terjadi pada
tingkat cidera di bawah cidera medula spinalis dan akibat dari
perubahan patologi yang terjadi setelah trauma. Dari
sindrom-sindrom ini, sejauh ini nyeri disestetik sentral yang
paling sulit ditangani. Sindrom nyeri disestetik didefinisikan
sebagai timbulnya nyeri kaudal dari tempat cidera selama periode
berapa pun setidaknya 4 minggu pasca cidera dengan presentasi nyeri
awal yang muncul pada tahun pertama. Prevalensi nyeri disestetik
paling besar pada pasien dngan kuadriplegi inkomplit, dengan
sensasi nyeri yang umumnya dirasakan di ekstremitas bawah dan trunk
posterior di bawah zona cidera. Dengan menggunakan kuesioner nyeri
McGill, deskriptor sensasi yang paling sering digunakan meliputi:
sensasi nyeri seperti dipotong, dibakar, ditusuk, merambat, berat
dan persisten.
Patofisiologi Nyeri Hipotesis fisiologi mengenai perubahan
kondisi neurologis ini masih belum seberapa berubaha selama 40
tahun terakhir. Mekanisme-mekanisme ini meliputi: Hilangnya
keseimbangan antara kanal sensoris yang berbeda Hilangnya mekanisme
inhibisi spinal Adanya generator pola di dalam saraf tulang
belakang yang terkena Intinya adalah bahwa sejumlah
elektrofisiologi abnormal dan kelainan neurokimia tampak berperan
pada tiap pasien. Bermacam-macam sensasi abnormal mungkin saja
terjadi, beberapa berespon terhadap terapi tertentu, tapi banyak
lainnya yang resisten (lihat Tabel 34-1)
LESI MEDULA SPINALIS/SYRINGOMYELIA
Deskripsi Masalah Syringomyelia adalah salah satu dari beberapa
lesi medula spinalis yang sering menimbulkan nyeri sentral Tandanya
adalah berkembangnya kista postraumatik yang meluas dengan
peningkatan tingkat motoris dan sensoris, peningkatan gangguan
motoris, berkembangnya nyeri baru. Insidensi syringomyelia
bervariasi antara 1 dan 3,2% menggunakan kriteria klnis pada jaman
sebelum ada MRI dan ketika sudah ada MRI meningkat menjadi 59%.
Kelainan ini bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun untuk berkembang dan demikian adalah komplikasi
lambat yang khas pada cidera spinal. Pasien dengan masalah ini
biasanya mengeluhkan sakit dan nyeri terbakar setingkat lesi,
kadang-kadang meluas ke atas atau ke bawah tingkat lesi. Penilaian
fungsi motoris dan sensoris digabung pemeriksaan MRI akan membantu
penegakan diagnosis. Peningkatan intensitas nyeri yang kontinyus
merupakan perjalanan nyeri alami yang berhubungan dengan
syringomyelia. Intervensi bedah untuk mendekompresi kista bisa saja
tidak mengurangi nyeri.
Patofisiologi Nyeri Terlepas dari banyaknya hipotesis,
patofisiologi syringomyelia masih belum begitu dipahami. Penemuan
teknik MRI sangat memfasilitasi penegakan diagnosis penyakit ini.
Nyeri yang timbul diduga berhubungan dengan gangguan aparatus
somatosensoris spinal dan seluruh gangguan neurofisiologi juga
terlibat di dalamnya.
PENDEKATAN TERHADAP TERAPI SINDROM NYERI SENTRAL
TERAPI ANTIKONVULSAN
Obat-obatan antikonvulsan menjadi pilihan utama dalam manajemen
sindrom nyeri neuropati secara umum. Dengan pengecualian
gabapentin, sebagian besar obat antikonvulsan diduga mengurangi
gejala nyeri neuropati melalui blokade kanal natrium. Obat kejang
terbaru memiliki profil efek samping yang lebih baik dibandingkan
obat generasi yang lebih tua dan juga memiliki tingkat analgesi
yang serupa. Nantinya pasien akan semakin memerlukan dosis obat
yang lebih tinggi dari yang biasanya diperlukan demi mengurangi
nyeri. Obat-obatan seperti gabapentin, lamotrogine dan topimarate
merupakan contoh obat yang berujung pada meningkatnya penggunaan
antikonvulsan untuk nyeri cidera saraf. Obat generasi tua seperti
carbamazepine, phenitoin dan asam valproat memang masih digunakan,
tapi biasanya sebagai alternatif lini kedua dan ketiga. Sayangnya,
tidak ada studi kontrol pada banyaknya penggunaan obat ini setelah
cidera medula spinalis dan pada sinfrom nyeri sentral lainnya, tapi
buktinya kuat bahwa nyeri cidera saraf responsif terhadap terapi
ini. Tidak ada rasional yang jelas untuk memilih antara satu obat
dan yang lainnya sebagai terapi awal, tapi gabapenting telah
menjadi antikonvulsan pilihan lini depan dalam banyak praktek
kedokteran di seluruh dunia.
OBAT-OBAT ANTIDEPRESAN Sebelum ditemukannya obat-obat
antikonvulsan generasi kedua, obat-obat antidepresan trisiklik
merupakan lini terdepan terapi nonopioid untuk mengendalikan nyeri
sentral. Jarang sekali ada pasien dengan sindrom nyeri sentral atau
gejala nyeri neuropati perifer yang teratasi dengan satu agen saja.
Polifarmasi merupakan metode yang dianut dan obat-obatan
antidepresan harus disertakan dalam regimen. Sejajar dengan
antikonvulsan, antidepresan yang lebih baru dengan efek samping
yang lebih sedikit memang telah dipasarkan, tapi laporan mengenai
potensi analgesik yang setara atau lebih bagus dibanding obat lama
masih belum begitu jelas. Sehingga, amitriptilin, nortriptilin dan
desiprimin tetap menjadi obat yang paling diresepkan untuk
mengatasi nyeri sentral. Agen-agen ini diduga memodulasi jalur
somatosensoris dengan menguatkan menurunan sistem inhibitoris.
Beberapa pasien juga bisa mendapat manfaat dari efek perubah mood
positif yang ditemukan pada rentang dosis yang lebih tinggi.
OBAT-OBAT ANTIARITMIA Agen antiaritmia anestesi oral telah
terbukti efektif dalam mengatasi lesi nyeri neuropati dalam
berbagai studi kontrol, tapi obat-obat ini, misal mexiletine, tidak
ditoleransi dengan begitu bagus dan dapat bersifat proaritmia pada
populasi tertentu. Mexiletine sebaiknya menjadi pilihan ketiga atau
keempat dalam mengembangkan strategi terapi.
OPIOID Ada banyak kontroversi mengenai penggunaan analgesik
opioid untuk manajemen kronis sindrom nyeri neuropati. Sindrom
nyeri sentral cenderung refraktoris dan memerlukan dosis yang lebih
tinggi untuk mengurangi nyeri, dan opioid juga demikian. Sejumlah
studi telah menunjukkan efektifitas opioid dalam mengatasi sindrom
nyeri neuropati, tapi masih sedikit studi sistematisnya.
Obat-obatan opioid bila dibandingkan dengan terapi lainnya,
termasuk pendekatan nonfarmakologi, mendapatkan kepuasan tertinggi
diantara pasien sklerosis multipel. Opioid memiliki beberapa tempat
analgesik potensial di medula spinalis dan di otak dari sistem
saraf pusat. Keputusan terapi mengenai pemakaian opioid adalah,
untuk sebagian besar kasus, berdasarkan laporan kasus dan
pengalaman klinis, tapi konsensus diantara spesialis manajemen
nyeri menunjukkan bahwa sah-sah saja menggunakan kelas medikasi ini
untuk secara kronis menangani nyeri sentral. Penting untuk diingat
bahwa pasien dengan sindrom nyeri sentral cenderung menunjukkan
resistensi yang lebih besar terhadap terapi analgesik jika
dibandingkan dengan pasien neuropati perifer. Opioid merupakan obat
yang paling sering digunakan pada pasien sklerosis multipel.
STIMULASI LISTRIK
Stimulasi Saraf Listrik Transkutan (TENS) Terapi stimulasi saraf
telah lama dipelajari untuk pasien dengan nyeri akibat cidera
medula spinalis. Unit TENS, transcutaneous electrical nerve
stimulation, terbukti efektif pada pasien yang mengalami nyeri di
tingkat cidera. Teknik ini kurang efektif jika di bawah tempat
cidera. Kesimpulan ini berdasarkan laporan anekdot dalam serial
kasus kecil, tapi terapi ini lumayan mahal dan tidak berhubungan
dengan risiko signifikan apapun pada pasien dalam penelitian.
Stimulasi Kolom Dorsal (Dorsal Column Stimulation) Stimulator
medula spinalis yang tertanam telah digunakan dengan baik. Data
yang dipublikasikan menyebutkan bahwa pendekatan ini mungkin tidak
diindikasikan karena hasilnya hingga saat ini masih mengecewakan.
Diperlukan penelitian lebih lanjut.
TERAPI ANALGESIK INTRATEKAL
Infus obat-obatan intratekal secara terus menerus digunakan
dalam kasus-kasus tertentu, khususnya nyeri sentral akibat cidera
medula spinalis yang dibuat. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk memvalidasi manfaatnya. Ada beberapa studi yang
dipublikasikan dan menunjukkan penurunan akut gejala setelah
pemberian morfin dan klonidin. Klonidin yang paling bermanfaat
ketika spasme yang dibarengi dengan gejala yant timbul nyeri.
ANTAGONIS RESEPTOR NMDA
Blokade reseptor dan sistem secondary messenger ini dapat
mencegah dan membalikkan kondisi hipersensitifitas pada sediaan
binatang Meski tidak seberhasil antikonvulsan, agen yang memiliki
efek blokade reseptor NMDA telah digunakan secara klinis dengan
sedikit keberhasilan.
DORSAL ROOT ENTRY ZONE LESIONING
Terapi operasi untuk lesi medula spinalis telah banyak digunakan
selama bertahun-tahun. Teknik Dorsal Root Entry Zone (DREZ)
lesioning adalah yang paling sering Hingga saat ini, prosedur ini
masih belum terbukti efektif dan sebaiknya tidak dipertimbangkan
hingga pendekatan lainnya telah digunakan.
GAMMA KNIFE RADIAL SURGERY
Untuk kasus-kasus berat, beberapa institusi menggunakan gamma
kinfe radial surgery (GKS) untuk menangani neuralgia trigeminal
terkait sklerosis multipel. Jika berhasil, teknik ini mungkin akan
diperluas ke gangguan nyeri sentral lainnya.
PENDEKATAN ALTERNATIF LAIN UNTUK TERAPI
Sejumlah terapi alternatif telah dipelajari untuk pasien seperti
ini seperti akupuntur, masase, relaksasi dan teknik chiropractic.
Karena terapi tradisional belum terbukti efektif untuk sebagian
besar pasien dengan gangguan nyeri sentral yang berat, sejumlah
signifikan pasien mencari pendekatan alternatif untuk meredakan
gejalanya. Cannabinoid merupakan sebagian dari agen-agen yang
sedang diperiksa untuk menanggulangi penyakit yang sulit dan
mengganggu ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui
manfaat terapi.
35. SINDROM NYERI REGIONAL KOMPLEKS
RIWAYAT
Pada tahun 1864, Dr. Silas Mitchell dan rekannya mendiskripsikan
sindrom nyeri kronis dengan nyeri seperti terbakar yang berat dan
karena cidera pada saraf perifer akibat luka tembak yang didapat
ketika Perang Sipil. Mitchell menjelaskan apa yang sekarang kita
ketahui sebagai chronic regional pain syndrome (CRPS) Tipe II,
causalgia atau nyeri terbakar. Rene Leriche, seorang dokter bedah
Prancis, kemudian menghubungkan sistem saraf simaptetik pada
causalgia setelah mengetahui bahwa simpatektomi meredakan rasa
nyeri pada banyak pasiennya. Istilah reflex sympathetic dystrophy,
atau CRPS Tipe I digunakan untuk sindrom yang serupa dengan
causalgia namun tidak ada lesi saraf yang spesifik. Namun, Reflex
sympathetic dystrophy (RSD) merupakan istilah yang kurang pas
karena RSD merupakan mekanisme refleks yang berhubungan dengan
sistem saraf simpatetik (SNS) yang hiperaktif dan percobaan pada
binatang menunjukkan bahwa neuromodulasi yang berubah,
hipereksitabilitas saraf dan sensitisasi sentral juga bisa
berkontribusi pada CRPS. Untuk mendapatkan bukti patofisiologi yang
baru dan membuat terminologi dan kriteria diagnostik yang seragam,
International Association for the Study of Pain (IASP) mengusulkan
taksonomi yang mengelompokkkan gangguan dalam istilah complex
regional pasin syndrome. CRPS Tipe 1 sesuai dengan RSD dan terjadi
tanpa ada lesi saraf yang dapat diidentifikasi. Tipe II (causalgia
sebelumnya) merupakan hasil dari cidera saraf spesifik. Kriteria
diagnositk untuk CRPS Tipe I dan II meliputi: Regional, nyeri
spontan, allodynia, atau hiperalgesia yang tidak terbatas pada
daerah saraf perifer tunggal dan tidak sesuai dengan kejadian yang
timbul. Ditemukan edema, perubahan dalam aliran darah di kulit,
atau aktivitas sudomotor abnormal di bagian yang sakit. Adanya
kejadian yang membahayakan atau yang menyebabkan imobilisasi (tidak
ada pada 5-10% pasien). Tidak ada kondisi lain yang dapat
berhubungan dengan derajat nyeri dan disfungsi. Mampu membedakan
CRPS dari status nyeri neuropati lainnya dengan melihat adanya
edema, dan disfungsi vasomotr maupun sudomotor. Gejala
somatosensoris CRPS Tipe II meluas melebihi jalur saraf perifer
yang terkena, sehingga sindrom ini berbeda dengan mononeuropati
perifer terisolasi.
EPIDEMIOLOGI
CRPS bisa dipicu beberapa hal, seperti trauma, pemebdahan,
inflamasi, stroke, cidera saraf dan imobilisasi. Sindrom ini
seringnya terjadi pada dewasa muda dan lebih sering pada wanita
dibanding pria. Tidak ada hubungan antara keparahan cidera dan
nyeri yang ditimbulkan oleh sindrom ini. Pasien dengan neoplasma
tertentu di paru, payudara, SSP dan ovarium serta pasien yang
menderita stroke atau infark miokard bisa timbul tanda dan gejala
CRPS. Bahkan stresor psikologi dan kemampuan coping yang lemah
dapat mempengaruhi riwayat alami dan keparahan CRPS.
MEKANISME PATOFISIOLOGI
Meski beberapa mekanisme patofisiologi telah dipostulasikan
untuk CRPS, penyakit ini masih sangat kurang dipahami. Banyak yang
percaya bahwa disfungsi sistem saraf simpatetik dan/atau
upregultion adrenoseptor memainkan peran penting dalam sindrom ini.
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa cidera saraf perifer memicu
munculnya serat sarat simpatetik disekitar neuron sensoris di
dorsal root ganglion. Pada beberapa model cidera saraf, allodynia
mekanik dan hiperalgesia termal mengalami peningkatan melalui
pembedahan atau simpatektomi kimia. Kemunculan saraf yang abnormal
dan eksitasi C-fiber oleh sistem saraf simpatetik mungkin
menjelaskan muatan abnormal yang ditemukan pada saraf perifer
setelah terjadi kerusakan saraf. Penelitian pada manusia tidak
seberapa jelas melibatkan SNS. Nyatanya, variasi respon terhadap
blokade simpatetik dan tingginya angka relaps malah menimbulkan
pertanyaan mengenai peran simpatetic dalam patofisiologi CRPS.
Peneliti berpostulat bahwa perubahan sentral yang terjadi
bersama-sama di dorsal horn medula spinalis nantinya akan
berkontribusi dalam menjaga kondisi hipereksitabel CRPS. Generasi
sensitisasi sentral dan aktivasi lanjutan reseptor
N-methyl-D-aspartate (NMDA) dapat mempertahankan hipereksitabilitas
neuronal ini setelah terjadi cidera saraf. Terlebih lagi, antagonis
NMDA dapat melemahkan kaskade neurokimia yang berujung pada
sensitisasi sentral. Hiperalgesia yang dipicu NMDA dan hilangnya
kontrol inhibisi spinal dapat menjelaskan fenomena pada nyeri
neuropati.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang menderita CRPS memiliki heterogenitas gejala yang
besar. Tanda dan gejala CRPS mencerminkan perubahan dalam sistem
sensoris, autonom dan motoris. Pasien sering menyebut mengalami
nyeri seperti terbakar dan tajam. Banyak laporan hiperestesi
terhadap stimulus kutan biasa semisal kontak dengan pakian atau
udara dingin. Terlebih lagi, pasien sering mengaitkan nyeri dari
stimulus yang tidak menyakitkan (allodynia) atau respon berlebih
terhadap stimulus yang menimbulkan rasa nyeri (hiperalgesia).
Perubahan temperatur dalam lingkungan dapat menimbulkan eksaserbasi
nyeri. Istilah nyeri lainnya seperti aching, shooting, squeezing
dan throbbing. Pasien-pasien tertentu bahkan melindungi bagian yang
terkena dari stimulasi kutaneus ataupun termal dengan mengenakan
sarung tangan atau kaos kaki atau dengan membuat postur yang
protektif. Gangguan vasomotor dalam CRPS meliputi asimetri suhu
dan/atau perubahan warna kulit. Pasien kadang mengeluhkan bahwa
ektremitasnya terasa hangat dan tampak merah atau terasa dingin dan
tampak abu-abu atau kusam. Perubahan sudomotor tampak sebagai
asimetri dari hiperhidrosis atau kekeringan di bagian yang nyeri.
Pasien bisa mengalami edema di tungkai yang terkena dan tampak
berkilau atau halus. Disfungsi motoris bisa bermanifestasi sebagai
distonia, spasme otot, tremor atau lemah otot. Pada beberapa kasus
yang parah, atau CRPS, dapat menyebabkan atrofi otot dan
kontraktur. Kadang-kadang, pasien melaporkan adanya gerakan
mioklonik atau mengelukan nyeri miofasial di daerah yang terkena.
Gangguan pertumbuhan di tungkai yang terkena bisa muncul sebagai
perubahan pada kulit, kuku atau pola rambut. Jika blokade
simpatetik selektif tanpa disertai blokade somatis malah meredakan
nyeri dan/atau allodynia, pasien dianggap memiliki komponen
sympathetically maintained pain (SMP) . Jika blokade simpatetik
gagal mengurangi nyeri terkait CRPS, sindrom ini dianggap sebagai
sympathetically independent pain. Namun, hasil blokade simpatetik
perlu diawasi dengan hati-hati, sebab berpotensi timbul positif dan
negatif palsu. Telah dibuat trias stage (akut, distrofi dan trofi)
berdasarkan progresifitas tanda dan gejala dalam CRPS, namun sebuah
studi prospektif pada lebih dari 800 pasien dengan diagnosis
RSD/causalgia tidak menampakkan progresi sindrom. Dalam sebuah
studi pada 113 pasien, cluster analysis menunjukkan bahwa tiga
subgrup berdasarkan homogenitas tanda, gejala dan durasi CRPS. Yang
menarik adalah, tiga subgrup tidak memiliki durasi CRPS yang
berbeda, yang bertentangan dengan progresi kronologi penyakit.
Misal, subgrup dengan CRPS berat (stage III) memiliki durasi
penyakit terpendek dari tiga kelompok. Kebanyakan peneliti percaya
bahwa perubahan emosi dan perilaku sering menyertai CRPS. Banyak
pasien yang mengalami depresi, gelisah dan ketakutan. Tidak ada
studi yang cukup bagus yang menghubungkan gejala-gejala psikologi
ini pada penyebab atau hasil sindrom, distres psikologi CRPS
umumnya diakibatkan oleh nyeri yang terus menerus dan kecacatan
yang diderita.
DIAGNOSIS Kriteria IASP untuk diagnosis CRPS tidak menyertakan
jumlah tanda dan gejala yang diperlukan utuk membuat diagnosis.
Penelitian validitas internal dan eksternal kriteria IASP berujung
pada pembuatan kriteria yang lebih baik sehingga pasien setidaknya
mengalami satu gejala sensoris (hiperestesi), vasomotor (perubahan
warna kulit atau temperatur), sudomotor/edema (berkeringat atau
adema asimetri di tungkai yang terkena), atau gejala motoris/trofi
(perubahan trofi atau disfungsi motoris) dan setidaknya satu gejala
obyektif dalam dua atau lebih kategori berikut ini: sensoris
(hiperalgesia atau allodynia), sudomotor/edema (edema atau muncul
keringat), atau motoris/trofi (kelemahan, tremor, distonia;
peruahan rambut, kuku, kulit). Diagnosis CRPS masih klinis, meski
pemeriksaan dapat membantu menambahkan infromasi. Pasien dengan
CRPS dapat mengalami berbagai macam disfungsi termasuk SMP atau
nyeri independen, perubahan otonom dan neuropati. Pemeriksaan dapat
mengklarifikasi adanya SMP dan disfungsi otonom atau dapat
menyingkirkan kelainan yang menyerupai CRPS. Misal, penelitian
vaskuler dapat menyingkirkan DVT atau insufisiensi vaskuler,
EMG/NCT dapat menyingkirkan neuropati perifer, radiografi dan MRI
dapat menyingkirkan patologi pada tulang, diskus atau jaringan
lunak, dan pemeriksaan darah dapat menyingkirkan infeksi, selulitis
atau penyakit rematik. Pemeriksaan lain dapat memperkuat diagnosis
CRPS dengan mendeteksi kelainan aktivitas simpatetik atau aliran
darah pada tungkai yang terkena. Perhaitkan bahwa hasil penelitian
masih belum mendukung nilai prognostik atau terapetik dari
pemeriksaan-pemeriksaan ini. Pemeriksaan yang umum dijelaskan
seperti berikut ini.
TERMOGRAFI
Pengguna ntermometer inframerah untuk mendeteksi perubahan suhu
kutaneus pada dua ekstremitas Perbedaan 1OC dianggap
signifikan.
PEMERIKSAAN SENSORIS KUANTITATIF
Ukur intensitas stimulus yang dibutuhkan untuk menimbulkan
sensasi seperti sentuhan, vibrasi, hangat, sejuk, panas dan dingin.
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu mendeteksi kelainan
sensoris yang berhubungan dengan hiperestesi, hiperalgesia,
allodynia, dan perubahan temperatur yang beruhubungan dengan nyeri
neuropati.
FOTO POLOS
Muncul patchy osteopenia 2-3 minggu setelah onset CRPS. Seiring
berkembangnya sindrom, ground-glass appearance pada anatomi tulang
mencerminkan osteopenia generalisata dan erosi kortikal.
THREE-PHASE BONE SCINTIGRAPHY
Pemberian intravena technetium-(99mTc)-labeled diphosphonate
atau polifosfat akan mendeteksi kelainan osseus pada tungkai yang
terkena lebih cepat dari film polos. Pemeriksaan ini dibagi jadi
tiga fase (pencitraan angiografi, regional blood pooling dan bony
uptake of 99mTc) Pada pasien CRPS, fase ketiga akan menampilkan
peningkatan abnormal uptake sendi yang difus pada ekstremitas yang
terasa sakit.
PEMERIKSAAN SUDOMOTOR
Resting sweat output test mengukur output keringat dari kulit
yang tidak distimulasi pada kedua tungkai baik yang sakit maupun
yang tidak. Quantitative sudomootr axon reflex test mengukur otuput
keringat yang diprovokasi melalui arus listrik kemudian melalui
pengolesan metakolin atau asetilkolin di kulit. Pada pasien CRPS,
latensi setelah stimulasi arus listrik dan keringat yang
berkepanjangan akan lebih pendek pada ekstremitas yang terkena.
BLOK SIMPATETIK
Blokade anestesi lokal rantai simpatetik (blok ganglion stelat
untuk ekstremitas atas dan blok simpatetik lumbal untuk ekstremitas
bawah) merupakan alat diagnositik yang penting, khususnya jika
blokade akan meredakan nyeri. Namun respon positif (penurunan
nyeri) tidak diperlukan untuk mendiagnosis CRPS, Pasien dengan CRPS
dan SMP yang mengalami perbaikan simtomatik setelah pemberian blok
simpatetik dengan anestesi lokal, nantinya akan mendapat manfaat
dengan menjalani serangkaian blok yang diterapkan pada regimen
terapi pasien itu. Karena risiko positif palsu dan negatif palsu
yang berhubungan dengan prosedur-prosedur ini, blok simpatetik
dengan farmakologi menggunakan fentolamin dapat digunakan untuk
mendiagnosis komponen CRPS secara simpatetis. Fentolamin merupakan
antagonis reseptor -adrenergik nonspesifik yang diberikan secara
intravena 1 mg/kg selama 10 menit. Respon positif (penurunan nyeri)
menandakan keterlibatan mekanisme adrenergik saat nyeri
terjadi.
TERAPI
Terapi CRPS yang berhasil bergantung pada pendeketan
multidisiplin yang agresif dan berfokus pada penurunan nyeri,
rehabilitasi fisik, dan pengendalian disfungsi psikologi.
TERAPI FISIK
Terapi fisik merupakan bagian penting terapi CRPS. Namun, masih
belum ada RCT yang melaporkan dampak baiknya terhadap CRPS.
Terapinya terdiri atas desensitisasi progresif setelah sebelumnya
diberikan analgesi yang adekuat. Hal ini biasany ameliputi
penggunaan suhu panas, dingin, vibrasi, masase dan contrast baths.
Ketika pasien telah mampu mentolerir intervensi ini, kemudian
diperkenalkan latihan penguat isometrik. Akhirnya, modalitas terapi
lebih agresif yang memfasilitasi mobilisasi dan pelanjutan
aktivitas pada tungkai yang terkena : latihan ROM, penguatan
isotonis, dan latihan aerobik. Pasien mungkin memerlukan waktu
berbulan-bulan untuk menyelesaikan proses ini dan juga mungkin
mengalami peningkat nyeri dan bengkak sesaat di awal
fisioterapi.
AGEN FARMAKOTERAPI
Beberapa placebo-controlled trial telah dilakukan untuk menilai
efikasi terapi pada pasien CRPS. Namun, beberapa obat telah
diteliti dalam controlled trials untuk terapi nyeri yang
berhubungan dengan neuralgia pascaherpetik dan neuropati
diabetik.
KORTIKOSTEROID Banyak penelitian yang telah melaporkan
efektifitas terapi CRPS menggunakan kortikosteroid. Steroid dapat
menekan muatan neural ektopik yang dipicu oleh CRPS dan juga dapat
menurunkan komponen inflamasi sindrom ini. Namun, penggunaan
steroid yang lama tidak direkomendasikan karena rasio
risiko:manfaat yang semakin memburuk.
ANTIDEPRESAN TRISIKLIK Kelas medikasi ini dapat menurunkan
nyeri, meringankan depresi dan membantu tidur pada pasien dengan
CRPS> RCT memberikan bukti bahwa antidepresan digunakan untuk
terapi nyeri neuropati pada pasien dengan nerualgia pascaherpetik
dan neuropati diabetik. Mekanisme aksinya bisa berhubungan dengan
inhibisi reuptake norepinefrin dan serotonin dalam sistem saraf
pusat. Neurotransmiter ini dapat memicu efek penurunan, jalur
antinosiseptif dalam SSP. Inhibitor reuptake serotonin selektif
kurang efektif dalam menangani nyeri neuropati. Antidepresan
trisiklik dapat menimbulkan gangguan konduksi, efek samping
antikolinergi, hipotensi ortostatik dan sedasi.
ANTIKONVULSAN Antikonvulsan (khususnya fenitoin dan
karbamazepin) efektif dalam menangani nyeri neuropati yang
berhubungan dengan neuralgia trigeminal dan neuropati diabetik. FDA
baru-baru ini menyetujui gabapentin sebagai agen untuk terapi
neuralgia pascaherpetik. Penelitian telah menemukan bahwa
gabapentin efektif dalam mengangani nyeri akibat neuralgia
pascaherpetik dan nyeri neuropati diabetik. Hanya serial kasus dan
observasi klinis yang menebutkan bahwa gabapentin bisa untuk terapi
CRPS.
OPIOID Nyeri neuropati kurang seberapa berespon terhadap terapi
opioid; oleh kaerna itu, opioid hanya ditambahkan ketika nyeri
terkait CRPS kurang berespon terhadap terapi obat lain. Karena
antagonis reseptor NMDA efektif untuk terapi nyeri neuropati,
metadon merupakan opioid lini pertama untuk CRPS karena sifat
blokade reseptor NMDA-nya, yang diikuti sediaan opioid long-acting
lainnya seperti morfin, oksikodon, atau fentanil. Opioid membantu
pasien dengan nyeri terkait CRPS yang berat untuk lebih
berpartisipasi dalam terapi fisik dan rehabilitasi.
AGEN TOPIKAL Lidokain tempel berguna untuk mengatasi komponen
allodynia CRPS pada area nyeri fokal. Capsaicin dapat menghasilkan
analgesi pada CRPS dan neuropati perifer melalui release and uptake
inhibition of substance. Sayangnya, pasien tidak dapat mentolerir
sensasi terbakar ketika diterapi dengan Capsaicin.
TERAPI OBAT LAINNYA RCT masih belum mengkonfirmasi efikasi
calcium channel blockers, bifosfonat, agen -adrenergik oral
(prazosin, phenoxy-benzamine), kalsitonin, ketamine, klonidin, atau
muscle relaxants. Namun, baclofen intratekal mungkin berguna dalam
menerapi distnoia atau refleks fleksor nosiseptif yang berhubungan
dengan CRPS.
BLOK SIMPATETIK
Blokade simpatetik dengan anestesi lokal untuk alasan diagnostik
atau terapetik telah banyak digunakan selama bertahun-tahun sebagai
komponen penting dalam rencana terapi CRPS. Literatur anekdot
menyebutkan adanya efikasi, tapi systematic review (meta-analysis)
menunjukkan bukti yang lemah mengenai blokade simpatetik sebagai
modalitas terapi karena kurang dari sepertiga pasien yang mengalami
penurunan nyeri. Terlebih lagi, tidak ada satupun dari studi ini
yang memungkinkan dilakukannya estimasi durasi penurunan nyeri
diantara pasien yang berespon terhadap blokade simpatetik awal.
Terlepas dari temuan ini, pasien yang mengalami penurunan nyeri
dari diagnostic sympathetic block (SMP) akan mendapatkan
serangkaian blok ganglion simpatetik dengan anastesi lokal selama
beberapa minggu. Blok simpatetik servikal atau lumbal dilakukan
secara intermiten atau dalam lerial. Blok semacam itu sebaiknya
mengembalikan fungsi sensoris dan motoris, sehingga pasien bisa
berpartisipasi lebih banyak dalam terapi fisik dan rehabilitasi.
Jika timbul relaps atau jika blok berulang hanya menimbulkan
penurunan nyeri sementara, surgical sympathectomy, radiofrequency
lesioning, atau chemical neurolysis dapat dijadikan pertimbangan.
Pada pasien yang gagal berespon terhadap blok simpatetik, blok
epidural atau somatis (pleksus brachialis atau lumbalis) dapat
membantu.
BLOKADE REGIONAL DAN NEURAXIAL Injeksi anestesi lokal di daerah
lumbal, brachial atau epidural juga akan memblok saraf simaptetik
yang terkait. Mirip dengan blok simpatetik, blok somatis dapat
dilakukan dalam serial atau secara intermiten. Harus diperhatikan
dengan baik supaya ROM-nya sesuai ketika terapi fisik karena
tungkai yang terkena sedang dianestesi selama anestesi regional
atau neuraxial.
NEUROMODULASI
Mekanisme spinal cord stimulation (SCS) masih belum begitu
dipahami tapi mungkin melibatkan inhibisi fungsi simpatetik dan
perubahan dalam neurokimia GABA supra spinal ataupun spinal.
Penggunaan SCS untuk terapi CRPS masih kontroversial. RCT pada 36
pasien dengan CRPS yang tidak berespon terhadap terapi menunjukkan
adanya penurunan nyeri yang signifikan ketika menggunakan SCS.
Pasien yang mendapatkan SCS merasakan penurunan nyeri yang
signifikan tapi tidak ada perbaikan dalam status fungsional. Pada
pasien CRPS yang diskrining secara hati-hati dan dalam konteks
terapi multidisiplin, SCS dapat memperbaiki kualitas kehidupan
pasien. Klonidin epidural atau intratekal yang diberikan pada
pasien CRPS akan menurunkan nyeri yang timbul.
KESIMPULAN
Sebagian besar ahli setuju bahwa hanya sebagian teka-teki CRPS
yang berhasil dipecahkan. Banyak penulis bertanya-tanya apakah
binatang percobaan untuk SMP dapat secara akurat menggambarkan
kompleksitas nyeri yang bermanifestasi pada manusia. Kriteria
klinis CRPS harus dibenahi untuk memperbaiki sensitifitas dan
spesifitas diagnosis. Terapi CRPS bermacam-macam, tapi tidak ada
terapi tunggal yang efektif. Direkomendasikan pendekatan
multidisiplin untuk meringankan nyeri dan restorasi fungsi yang
meliputi satu modalitas atau lebih seperti obat-obatan, blokade
simpatetik/somatis, terapi fisik, intervensi psikologi,
neuromodulasi dan analgesi neuraxial.