Top Banner
Pendahuluan Pertusis disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram- negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas. 1,2 Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. 1 Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis diharapkan dapat dicegah maupun ditangani dengan baik. 1,2 Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut. 1 Epidemiologi Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah
20

P3rtusissss.ext

Sep 27, 2015

Download

Documents

pertusis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Pendahuluan

Pertusis disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.1,2

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.1

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis diharapkan dapat dicegah maupun ditangani dengan baik.1,2

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.1

Epidemiologi

Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus terjadi pada bayi usia 7 tahun.1

Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers of Disease Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu

1

angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997 per 100.000.1

Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70% berusia 10-19 tahun. Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian.1,2

Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan

2

traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak-anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang.1,2

Bordetella pertusis merupakan suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet - Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis,

B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia.1,2,3 B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.2,3

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan toksin pertusis (TP) tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.2,3

TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis seperti sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis.2,3

Patogenesis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.2,3

3

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF) / Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.2,3,4

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.2,3,4

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.3,4

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.2,3,4

4

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.2,3,4

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.2,3,4

Manifestasi Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-10 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.1,5,6

Stadium kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinorea dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi.1,5

Stadium paroksismal/stadium spasmodik

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.1,5

5

Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.1,3,5

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.3,4,5

Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/L dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.2,4,5

6

Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.2,4

Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.2,5

Pemeriksaan foto toraks

Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau empisema.5,6

Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.5,6

Denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan pulse oxymetri dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan. Pengawasan batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat badan memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons5,6,7.

7

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor- faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut :4,5,6

Antibiotik

Antibiotik selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan agen dengan kemanjuran yang terbukti.4,5,6

Pencegahan

8

1. Imunisasi :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteri dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi

B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.5,6

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.5,6,7

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40,50 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.6,7

2. Profilaksis

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit.4,5,6

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat

9

eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.4,5,6

Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3% (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5% dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.4,5,6

Penutup

Pertusis disebut juga whooping cough adalah batuk yang berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.1,2

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis yang ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,2,3

Masa inkubasi pertusis 6-10 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 - 8 minggu atau lebih. Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan konvalesen.4,5

Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun penunjang. Isolasi dan pembiakan B. pertussis dari sekret nasofaring dapat dipakai untuk membuat diagnosis. PCR merupakan pemeriksaan penunjang yang memilki sensitifitas dan spesifitas yang akurat. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi dari pasien yang terinfeksi.4,5,6

Penatalaksaan medikamentosa pasien pertusis yaitu dapat diberikan antibiotik seperti Eritromicin atau yang lain seperti Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol. Untuk pencegahan yaitu melalui imunisasi dengan vaksin pertusis , serta penggunaan obat profilaksis untuk kontak dengan penderita pertusis.5,6,7

10