Top Banner
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari Laporan Akhir III -1 BAB 3 : FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KETIDAKLESTARIAN EKOSISTEM DAS BATANGHARI 3.1 FAKTOR FISIK DASAR 3.1.1 Faktor Tanah Dan Vegetasi Penutup Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem, yang kondisinya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu tanah (kelerengan tanah dan kepekaan tanah terhadap erosi), vegetasi (khususnya kondisi penutupanya), dan air (terutama curah hujan). Ketiga faktor tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi. Perubahan salah satu faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi faktor yang lain. Dalam kondisi keseimbangan ekosistem, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor tidak akan terjadi, kecuali dalam kondisi ekstrim tertentu, misalnya, peningkatan curah hujan yang jauh di atas rata-rata normal. Dalam kondisi normal, erosi tanah berada pada tingkat yang rendah atau pada tingkat yang normal di mana jumlah tanah yang tererosi kurang lebih adalah sama dengan jumlah pembentukkan tanah yang baru. Curah hujan yang jatuh di wilayah DAS tidak akan menimbulkan banjir karena daya resap lahan terhadap air hujan cukup baik sehingga limpahan air hujan yang masuk ke sungai terkendali. Dalam kondisi keseimbangan ekosistem terganggu, misalnya luas penutupan vegetasi yang rendah, potensi terjadinya bencana alam tersebut cukup besar. Erosi dan banjir mudah terjadi pada wilayah DAS bervegetasi terbatas, dan pada wilayah dengan curah hujan tinggi, serta pada lahan dengan kelerengan tinggi dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi. Sebagai contoh, banjir terjadi karena daya tampung sungai tidak mampu mengalirkan air yang
36

P3_DASbatanghari_Bab3

Jan 01, 2016

Download

Documents

Beni Raharjo
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 1

BAB 3 :FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP KETIDAKLESTARIAN EKOSISTEM DAS BATANGHARI

3.1 FAKTOR FISIK DASAR

3.1.1 Faktor Tanah Dan Vegetasi Penutup Lahan

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem, yang kondisinya

dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu tanah (kelerengan tanah dan kepekaan

tanah terhadap erosi), vegetasi (khususnya kondisi penutupanya), dan air

(terutama curah hujan). Ketiga faktor tersebut saling terkait dan saling

mempengaruhi. Perubahan salah satu faktor tersebut akan mempengaruhi

kondisi faktor yang lain.

Dalam kondisi keseimbangan ekosistem, bencana alam seperti banjir dan

tanah longsor tidak akan terjadi, kecuali dalam kondisi ekstrim tertentu,

misalnya, peningkatan curah hujan yang jauh di atas rata-rata normal. Dalam

kondisi normal, erosi tanah berada pada tingkat yang rendah atau pada

tingkat yang normal di mana jumlah tanah yang tererosi kurang lebih adalah

sama dengan jumlah pembentukkan tanah yang baru. Curah hujan yang jatuh

di wilayah DAS tidak akan menimbulkan banjir karena daya resap lahan

terhadap air hujan cukup baik sehingga limpahan air hujan yang masuk ke

sungai terkendali.

Dalam kondisi keseimbangan ekosistem terganggu, misalnya luas penutupan

vegetasi yang rendah, potensi terjadinya bencana alam tersebut cukup besar.

Erosi dan banjir mudah terjadi pada wilayah DAS bervegetasi terbatas, dan

pada wilayah dengan curah hujan tinggi, serta pada lahan dengan kelerengan

tinggi dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi. Sebagai contoh, banjir

terjadi karena daya tampung sungai tidak mampu mengalirkan air yang

Page 2: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 2

berasal dari daerah hulu dalam waktu yang singkat. Kelebihan aliran air

tersebut disebabkan lahan tidak mempunyai daya resap air yang baik

sehingga tidak mampu menampung air hujan yang jatuh. Akibatnya, volume

air limpasan permukaan (run off) lebih besar dibanding dengan volume air

yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi). Apabila hal ini terjadi secara

bersamaan di setiap Sub-DAS maka volume air yang masuk sungai akan

meningkat dengan cepat, melebihi daya tampung sungai sehingga terjadilah

banjir di sepanjang aliran sungai tersebut.

Terdapatnya lahan kritis merupakan salah satu indikator telah terjadinya

kerusakan lahan pada suatu DAS. Lahan kritis pada umumnya merupakan

lahan bekas atau sedang dikerjakan untuk budidaya pertanian dan non

pertanian dan umumnya terjadi di daerah yang penduduknya relatif padat.

Proses terjadinya lahan kritis sebagian besar dimulai di daerah hulu dengan

penutupan vegetasi yang minim, tanah yang rentan terhadap erosi, tingkat

kemiringan lereng yang relatif curam, dan curah hujan yang tinggi. Menurut

kesesuaian lahannya memang sebenarnya daerah tersebut peruntukannya

sebagai bukan untuk pertanian semusim, tetapi pada umumnya diperuntukan

sebagai kawasan lindung atau lahan usaha yang mempunyai fungsi

konservasi lahan yang baik seperti tanaman pertanian tahunan atau tanaman

keras seperti perkebunan, hutan produksi atau hutan lindung.

Perubahan kawasan lindung menjadi kawasan non hutan terjadi karena makin

meningkatnya permintaan akan lahan budidaya karena pertambahan

penduduk, sehingga persediaan lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian

makin menyempit. Akibat desakan untuk mempertahankan hidup maka

masyarakat sekitar kawasan lindung mencari lahan baru yang dekat dengan

tempat tinggalnya tetapi apabila lahan disekitarnya sudah habis maka mereka

akan mencari tempat yang lain ke daerah konservasi.

Perluasan pembukaan lahan untuk budidaya pertanian di bagian hulu suatu

DAS akan mempercepat perluasan lahan kritis. Kawasan berhutan pada

umumnya mempunyai topografi dengan lereng yang curam dan jenis tanah

Page 3: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 3

yang rentan terhadap erosi. Apabila diolah untuk lahan pertanian musiman

tanpa menggunakan kaidah konservasi, maka akan terjadi erosi dan daya

resap air kawasan tersebut menurun. Dalam jangka panjang kondisi tersebut

akan menyebabkan terjadinya penipisan solum tanah dan selanjutnya akan

mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas lahan. Disamping itu

dampak negatif lain yang terjadi adalah meningkatnya banjir di daerah hilir

karena daya resap kawasan hulu makin menurun. Kondisi ini telah terjadi di

DAS Batanghari.

Terjadinya lahan kritis ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan lahan

yang tidak sesuai dengan peruntukannya, illegal logging dan penjarahan

lahan untuk perladangan, lahan pertanian dan perkebunan rakyat (Anonim,

2003).

Ada beberapa faktor fisik yang dapat mempengaruhi terjadinya lahan kritis,

yaitu, tingkat kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi penutupan lahan dan

pengelolaan lahan. Penilaian terhadap faktor yang berperan terhadap

terjadinya lahan kritis tersebut didasarkan pada asumsi yang berkaitan

dengan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap konservasi lahan.

a. Kemiringan Permukaan Lahan

Kondisi kemiringan permukaan lahan DAS Batanghari sebagian besar

(58,01%) termasuk kemiringan lereng permukaan lahan kelas datar sampai

landai (0-15%), dan agak curam sampai sangat curam (>15%) yang

mencapai 41,99% luas DAS. Walaupun demikian, sebagian besar lerengnya

landai, jenis tanah dan kondisi tutupan lahan serta cara pengelolaan lahan

akan sangat mempengaruhi terjadinya lahan kritis di DAS Batanghari.

b. Kepekaan Tanah terhadap Erosi

Kondisi kepekaan lahan terhadap erosi selain dipengaruhi oleh jenis tanah,

kemiringan lahan dan tutupan lahan. Di wilayah DAS Batanghari klasifikasi

lahan dengan tingkat kepekaan terhadap erosi sedang sampai sangat peka

mencapai 53,52%. Hal ini harus diwaspadai, terutama pada musim hujan,

Page 4: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 4

karena tidak hanya akan menyebabkan lahan menjadi kurang subur, tetapi

juga dapat mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor.

c. Tutupan Permukaan Lahan

Kondisi penutupan permukaan lahan DAS Batanghari relatif baik. Hal ini

karena wilayah yang prosentase penutupan lahannya termasuk klasifikasi

baik sampai sangat baik masih seluas ± 58,94%. Penutupan lahan tersebut

terdiri dari lahan berhutan dengan kondisi sangat baik dan lahan belukar

dengan kondisi baik. Sedangkan jenis penggunaan lahan yang klasifikasi

penutupan lahannya sedang sampai sangat buruk seluas ± 41,06% terdiri dari

semak (kondisi sedang), lahan kering, permukiman, sawah dan tanah terbuka.

Kondisi tersebut belum menjadi faktor penyebab kerusakan DAS Batanghari.

Akan tetapi hal ini harus tetap diwaspadai karena lahan semak belukar

sebesar ± 57,32% dari luas DAS cenderung beralih fungsi menjadi budidaya

pertanian atau non pertanian. Pada Tabel 3.1 menunjukkan faktor tanah dan

vegetasi penutup lahan di DAS Batanghari.

Tabel 3.1Faktor Tanah dan Vegetasi PenutupLahan Di DAS Batanghari

Tutupan Lahan Kemiringan Lahan Kepekaan LahanTerhadap Erosi

Luas (%) KlasifikasiLuas(%)

KlasifikasiLuas(%)

Klasifikasi

35.65 Sangat Baik 47.07 Datar 12,67 Tidak Peka

23.29 Baik 1 0.94 Landai 33,81 Agak Peka

34.03 Sedang 8.51 Agak Curam 34,09 Sedang

6,83 Buruk 3.14 Curam 8,79 Peka

0.20 Sangat Buruk 30.35 Sangat Curam 10,64 Sangat Peka

Sumber : Peta tanah sekala 1 : 1000.000 , LPT, Bogor 1965. dan Dep Kimpraswil 2003Tabel 2.23 ; 2.26; dan 2.2 7;

d. Faktor Pengelolaan Lahan

Pengelolaan lahan yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai suatu

sistem teknologi dan/perencanaan yang bertujuan untuk mengintegrasikan

Page 5: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 5

faktor sosial, ekonomi dan politik dengan ekologi dalam pengelolaan lahan

pertanian.

Pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan prinsip konservasi akan

menyebabkan tanah mudah tererosi, dan selanjutnya akan berpengaruh

terhadap terjadinya lahan kritis. Contohnya di Kabupaten Solok dan Kerinci

banyak dijumpai pengelolaan lahan budidaya tanaman semusim yang tidak

menggunakan sistem terassering (sejajar garis kontur) tetapi tegak lurus garis

kontur. Contoh lain dari pengelolaan lahan yang buruk adalah tanah dibiarkan

terbuka, tidak ada drainase atau diterlantarkan.

Dibagian hulu DAS Batanghari banyak dijumpai lahan-lahan kritis seperti di

bukit-bukit yang berada sekitar Kecamatan Hiliran Gumanti (Kabupaten Solok

Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Kerinci, Kabupaten Sarolangun dan

Kabupaten Merangin (Provinsi Jambi). Berdasarkan data BP DAS

Batanghari tahun 2002, lahan kritis di Provinsi Jambi mencapai 581.539 Ha,

tersebar di Kabupaten Kerinci 62.959 Ha, Kabupaten Merangin 160.840 Ha,

Kabupaten Sarolangun 169.846 Ha, Kabupaten Bungo 112.895 Ha,

Kabupaten Tebo 36.304 Ha, Kabupaten Batanghari 9.553 Ha, Kabupaten

Muaro Jambi 6.833 Ha, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur 16.657Ha

(Nusantara, 17 Desember 2003). Sementara di Provinsi Sumatera Barat,

lahan kritis di Kabupaten SoloK (termasuk Solok Selatan) seluas 19.481,55

Ha dan di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung 1.827,46 5Ha (RTRW Provinsi

Sumatera Barat 2002-2017, diolah).

3.1.2 Faktor Hidrologi

Banjir merupakan masalah utama di DAS Batanghari yang dalam tiga tahun

terakhir ini cenderung mengalami peningkatan. Banjir merupakan kejadian

alam yang secara relatif dapat diprediksi sebelumnya. Faktor utama penyebab

banjir secara umum dapat dibedakan menjadi dua, faktor fisik (kondisi alam)

dan faktor manusia. Lebih lanjut faktor manusia dapat dibedakan menjadi tiga;

yaitu faktor kebijakan, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya. Faktor

kebijakan dapat dibedakan menjadi dua, faktor kesalahan kebijakan dan

Page 6: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 6

faktor kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan. Faktor kesalahan dalam

pelaksanaan kebijakan ini umumnya berakibat ttimbulnya konflik kepentingan

baik antar wilayah maupun antar sektor. Prediksi faktor-faktor penyebab banjir

di DAS Batanghri seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1Skema Prediksi Faktor-Faktor Penyebab Banjir Wilayah Das Batanghari

Kondisi alam atau faktor fisik penyebab banjir di wilayah DAS Batanghari

secara umum dikarenakan oleh volume curah hujan yang tinggi terutama di

daerah hulu DAS, selain ketidaksiapan infrastruktur terutama di daerah

tengah dan hilir. Terakumulasinya air hujan yang mengakibatkan banjir pada

setiap wilayah DAS Batanghari ini berbeda penyebabnya. Dari kajian hidrologi

secara umum penyebab banjir wilayah DAS Batanghari dapat diuraikan

seperti berikut. :

a. DAS Batanghari Hulu

Catatan :: faktor dominan penyebab banjir pada wilayah DASBatanghari

KEJADIAN ALAM

BANJIR

MANUSIA

CURAH HUJAN TINGGI

KESALAHAN PELAKSANAAN

KEBIJAKAN

KONDISI TOPOGRAFI

ANTAR WILAYAH

KONFLIK KEPENTINGAN

ANTAR SEKTOR

KESALAHAN KEBIJAKAN

Page 7: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 7

Terjadinya akumilasi air hujan di DAS Batanghari hulu sebagai penyebab

banjir disebabkan oleh : a) volume curah hujan yang relatif tinggi didaerah

pegunungan, dan b) waktu konsentrasi ke puncak (tc) dan waktu penurunan

(tl) air hujan yang relatif cepat akibat berkurangnya penutupan lahan pada

wilayah ini.

Faktor fisik utama penyebab banjir pada DAS Batanghari hulu adalah curah

hujan tinggi seperti diuraikan diatas. Konsentrasi hujan yang tinggi pada DAS

Batanghari Hulu ditunjukkan dengan rata-rata curah hujan bulanan yang relatif

kontinyu diatas 300 mm. Dari pencatatan Stasiun Lubuk Gadang dan Muara

Labuh curah hujan bulanan tinggi terjadi pada bulan Nopember tahun 1994

mencapai 1.032 mm dan 1026 mm. Sampai dengan pencatatan tahun 2002

curah hujan ini belum pernah berulang, tetapi dapat dipastikan akan berulang.

Curah hujan bulanan yang diperkirakan kontinyu berulang lima tahunan

sebesar r 736 mm. Curah hujan bulanan yang diperkirakan kontinyu

berulang tiga tahunan sebesar r 620 mm. Curah hujan bulanan yang

diperkirakan kontinyu berulang satu tahunan sebesar r 350 mm.

Faktor tutupan lahan di DAS Batanghari hulu juga turut andil terjadinya banjir

yang terjadi selama. Kerusakan sistem tata air DAS Batanghari ditunjukkan

oleh nilai Koefisien Rezim Sungai (KRS) r 274 yang mengindikasikan buruk,

dan nilai coefisisen varian (CV) r 29 yang mengindikasikan kondisi buruk.

Selain itu juga dipicu oleh kenyataan dilapangan yang menunjukkan sebagian

besar tutupan lahan di wilayah DAS Batanghari hulu kondisinya sudah rusak.

b. DAS Batanghari Tengah

Di wilayah DAS Batanghari tengah terakumulasinya air hujan penyebab banjir

diduga berkaitan dengan ketidaksiapan dan/atau keterbatasan daya tampung

sungai maupun saluran-saluran yang ada. Dari pencatatan curah hujan tahun

1993 - 2002, curah hujan yang selama ini terjadi di wilayah DAS Batanghari

tengah relatif stabil yaitu sebesar r 252 mm/bulan. Dari pencatatan di

Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun curah hujan bulanan yang

Page 8: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 8

tinggi terjadi pada bulan Mei dan April tahun 2002. Kondisi ini

mengindikasikan banjir yang selama ini terjadi di wilayah DAS Batanghari

tengah dipengaruhi oleh kiriman air dari hulu. Dari pencatatan di Stasiun

Tanggo Rajo Kota Jambi, menunjukkan bahwa dengan debit sungai harian

maksimum mencapai 12.190 m3/dt pada tanggal 17 Desember 2003.

Mengkaji dari kondisi debit sungai pada DAS Batanghari Tengah yang relatif

selalu tinggi, diduga banjir yang selama ini terjadi disebabkan kemampuan

daya tampung saluran seperti sungai dan jaringan drainase lainnya yang

relatif rendah.

c. DAS Batanghari Hilir

Terakimulasinya air hujan di wilayah DAS Batanghari hilir terutama

disebabkan oleh ketidaksiapan dan/atau keterbatasan infrastruktur dalam

pengatusan. Karakteristik wilayah DAS Batanghari hilir banyak dipengaruhi

oleh kondisi daerah hulu dan muara sungai. Banjir yang selama ini terjadi di

wilayah DAS Batanghari hilir diduga berkaitan dengan terjadinya

pendangkalan alur sungai, dan masuknya air laut (back water) akibat dari air

pasang.

Kondisi tutupan lahan di wilayah DAS Batanghari hulu yang kurang baik

(rusak) mengakibatkan air hujan yang jatuh di wilayah tersebut saat turun ke

hilir sekaligus membawa seluruh materi yang ada di wilayah tersebut,

ditambah dengan materi yang terbuang di sepanjang aliran DAS Batanghari

tengah. Seluruh materi yang ada ikut terbawa saat air mengalir dari hulu ke

hilir. Apabila tidak memungkinkan air tersebut langsung masuk ke laut, maka

seluruh materi yang terbawa akan diendapkan di wilayah hilir. Kondisi ini

diperkirakan akan menyebabkan saluran di wilayah DAS Batanghari hilir

tersumbat, dan menyebabkan pendangkalan muara, yang selanjutnya akan

menyebabkan air laut pasang yang masuk ke sungai (back water) di wilayah

hilir dan akan sulit untuk mengalir kembali ke laut saat air laut surut.

Pada Gambar 3.2 ditunjukkan skema perjalanan air hujan dari hulu ke hilir di

wilayah DAS Batanghari.

Page 9: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 9

Gambar 3.2Skema Perjalanan Air Hujan Pada Das Batanghari

tc tinggi /tl tinggi time lag rendah time lag rendah

HULU TENGAH HILIR LAUT� CH tinggi � KRS tinggi � RUN OFF

Tinggi� CV tinggi

REBOISASI PENAMPUNGAN SUDETAN PENGERUKAN

3.1.3 Faktor Prasarana dan Sarana Wilayah

Meningkatnya permasalahan banjir di Provinsi Jambi dan daerah-daerah lain

di Pulau Sumatera ataupun wilayah lain di Indonesia merupakan salah satu

dampak negatif dari kebijakan pembangunan infrastruktur yang sampai saat

ini masih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan

aspek kelestarian lingkungan (pembangunan berpola business as usual). Hal

ini akan menghasilkan ketidakserasian (uncompatibility) dan ketidakselarasan

(unharmony) antar aspek terkait termasuk sumber daya air dan manusia di

dalamnya. Hal ini merupakan gambaran masih kurang diperhatikannya

rencana tata ruang wilayah sebagai acuan pelaksanaan pembangunan.

Penataan ruang dalam rangka pembudidayaan/pemanfaatan secara optimal

di dataran banjir, belum memasukkan sumber daya air sebagai faktor

x Hujan kiriman dr hulu

x Daya tampung salu ran(sungai, dll) rendah

x Pendangkalan saluran

x Air laut pasang

x Pendangkalan Muara

x Air laut surut

Page 10: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 10

pembatas sehingga kurang mengantisipasi adanya resiko banjir. Permasalah

banjir semakin meningkat sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya lahan

dataran banjir menjadi kawasan budidaya, baik budidaya konvensional seperti

pertanian, permukiman dan lain-lain maupun nonkonvensional seperti

ekonomi, perdagangan maupun industri. Hal ini ditandai dengan

perkembangan permukiman yang pesat dengan kesesuaian lahan yang

terbatas.

Pembangunan yang selama ini dilaksanakan lebih mengutamakan

pencapaian target fisik, termasuk pembangunan prasarana dan sarana fisik

pengendali banjir dan sistem drainase dibandingkan dengan aspek

pembinaan dan pengaturan yang merupakan tugas umum pemerintahan.

Upaya untuk mengatasi permasalahan banjir sampai kini masih

mengandalkan upaya konvensional/tradisonal yang berupa rekayasa struktur

di sungai (in stream) seperti pembangunan chek dam, tanggul dan lain-lain,

yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan, bersifat represif/spot dan

kurang menyentuh akar permasalahannya. Hal ini disebabkan oleh masih

lemahnya Reserch and Development dan Sumber Daya Manusia (SDM)

terkait dengan pemahaman terhadap permasalahan banjir dan

pengembangan Sumber Daya Air (SDA) secara keseluruhan.

Faktor prasarana dan sarana wilayah yang terkait dengan banjir dan longsor,

adalah sebagai berikut :

1. Curah hujan yang tinggi, serta curah hujan yang muncul berdasarkan

siklus berbeda, akan dapat menimbulkan banjir karena rencana semua

prasarana drainase yang tidak dibangun untuk menampung semua curah

hujan dari semua siklus.

2. Kurangnya chek dam dan embung-embung/bangunan penampung air

yang dibangun untuk mengantisipasi peralihan pemanfaatan ruang yang

walaupun terkendali diperkirakan akan menambah volume air limpasan

permukaan.

Page 11: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 11

3. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemanfaatan bantaran

sungai secara liar di daerah terutamanya di perkotaan, yang dapat

mengakibatkan kapasitas pengaliran sungai menjadi berkurang dan

sekaligus menambah resiko bencana banjir bagi penduduk yang

memanfaatkan bantaran sungai.

4. Kurangnya kapasitas pengaliran sungai di bagian hilir karena terjadi

pengendapan pada alur sungai akibat erosi daerah hulu dan sampah

perkotaan sehingga terjadi penyempitan alur sungai dan pembentukan

delta di muara sungai.

5. Kondisi drainase perkotaan yang kurang baik atau tidak berfungsi

optimal akibat daerah tangkapan air (retarding basin) yang dirubah

peruntukkannya untuk bangunan gedung atau fasilitas umum dan

ekonomi sehingga saluran pembuangan terhambat.

6. Dalam rencana pembangunan infrastruktur perlu memperhatikan

dampak dari struktur geologi seperti struktur sesar yang umumnya

berarah barat laut-tenggara dan sesar utama yang melalui daerah ini

ialah sesar Sumatera yang memanjang sepanjang Pulau Sumatera,

sehingga perlu dipertimbangkan terhadap pembangunan jalan, bendung,

dan bangunan lainnya.

3.1.4 Faktor Pemanfaatan Ruang

a. Perubahan Kebijakan Pembangunan Spasial Sebagai Dampak dari

Otonomi Daerah

Pemekaran wilayah kabupaten telah dilaksanakan di Provinsi Jambi dan

Sumatera Barat. Provinsi Jambi sesuai UU No 54/1999, telah dilakukan

pemekaran wilayah dari 5 kabupaten dan 1 kotamadya menjadi 9 kabupaten

dan 1 kota. Pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang

masuk dalam DAS Batanghari diatur melalui UU No 38/2003, antara lain

Kabupaten Solok dimekarkan menjadi Kabupaten Solok dan Solok Selatan,

serta Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung menjadi Kabupaten Sawahlunto

Page 12: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 12

/Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya. Hal tersebut berdampak terjadinya

perubahan struktur ruang wilayah yang disebabkan oleh :

x Naiknya hirarki beberapa kota di wilayah DAS Batanghari, seperti kota

kecamatan yang berubah fungsi menjadi kota kabupaten.

x Berubahnya batas wilayah pada kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.

Lebih lanjut, hal tersebut akan berdampak pada perlunya dilakukan revisi

RTRW baik provinsi maupun kabupaten atau pembuatan RTRW baru bagi

kabupaten hasil pemekaran. Proses pembuatan RTRW membutuhkan waktu

yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Proses revisi RTRW dan pembuatan

RTRW baru yang membutuhkan waktu ini, akan membuka peluang terjadinya

perubahan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali selama proses

penyusunan RTRW. Contohnya adalah makin maraknya pembangunan

fasilitas sosial ekonomi di sepanjang sempadan Sungai Batanghari, terutama

di perkotaan (salah satunya adalah didirikannya pusat kegiatan perdagangan

ditepi sungai Batanghari di Kota Jambi)

b. Ketidak Optimalan Pemanfaatan Ruang

Kebijakan pemberian hak pengelolaan lahan pada perusahaan swasta besar

baik berupa HTI maupun HGU tidak diimbangi dengan monitoring dan

evaluasi keberadaannya. Tidak sedikit lahan yang sudah diberi hak/ijin

pengusahaan banyak yang dibiarkan/ditelantarkan. Menurut KKI Warsi

(2003) lahan seluas 14.228 Ha di Desa Pakuaji Kecamatan Batin XXIV dan

Desa Sungairuan serta Desa Sungailingkar Kecamatan Maro Sebo Ulu

ditelantarkan begitu perusahaan mendapatkan ijin pemanfaatan lahan.

Ketidak optimalan pemanfaatan ruang ini telah memicu konflik di masyarakat,

dan menghalangi masyarakat untuk memanfaatkannya secara ekonomis

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Masih banyaknya lahan-lahan terlantar yang dapat dioptimalkan

pemanfaatannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga

perambahan hutan untuk membuka lahan baru atau pembalakan hutan

secara liar (illegal logging) dapat dihindari. Dari data tutupan lahan eksisting

Page 13: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 13

(2002) terlihat luas lahan semak belukar dan lahan terbuka sebesar 57,32%

dari luas DAS Batanghari. Selanjutnya perubahan tutupan lahan tahun 1997-

2002 memperlihatkan terjadinya peningkatan prosentase tutupan lahan

semak dan belukar sebesar 27,12%. Di Jambi luas lahan yang ditelantarkan

oleh perusahaan pemegang ijin pembukaan perkebunan mencapai 182.029

Ha tersebar di Kabupaten Batanghari, Muaro jambi, Tebo, Bungo,

Sarolangun, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat (Kompas 9

Januari 2004). Di Provinsi Sumatera Barat tahun 2001, lahan semak belukar

di Kabupaten Solok (termasuk Solok Selatan) mencapai 14.947,66 Ha dan

Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung (termasuk Dharmasraya) mencapai 17.300

Ha (RTRW Provinsi Sumatera Barat 2002-2017).

c. Ketidaksesuaian Pemanfaatan Ruang

Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di DAS Batanghari terjadi baik antara

RTRW dengan pemanfaatan lahan eksisting, maupun antara fungsi kawasan

berdasarkan kriteria fisik lahan dengan pemanfaatan lahan eksisting (2002).

Salah satu ketidak sesuaian pemanfaatan lahan adalah terjadinya fragmentasi

pemanfaatan lahan berupa enclave di kawasan lindung untuk kegiatan

permukiman, jalan, atau kegiatan lain yang dapat menjadi pemicu

meningkatnya perubahan pemanfaatan lahan dari kawasan lindung menjadi

kawasan budidaya. Contohnya di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS),

terdapat permukiman penduduk yang merupakan enclave, seperti di

Pelompek/Rawa Bento di Lembah Kerinci dan Renah Pemetik di Dataran

Tinggi Kerinci.

3.2 FAKTOR SOSIAL EKONOMI

Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kondisi ekosistem DAS

Batanghari, diantaranya adalah jenis dan komposisi penggunaan lahan,

kependudukan, perekonomian wilayah, kebiasaan mengolah lahan, dan

sarana prasarana wilayah. Jika dikelola dengan baik, faktor sosial ekonomi

Page 14: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 14

tersebut dapat menjaga kelestarian ekosistem DAS tetapi kalau salah

pengelolaan akan menjadi penyebab kerusakan ekosistem DAS.

Hasil pengumpulan data dan informasi di lapangan menunjukkan bahwa

faktor sosial ekonomi tersebut belum dikelola dengan baik. Lahan pertanian

tersedia cukup luas, penduduk tidak padat dan sarana transportasi memadai

namun belum dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga menimbulkan

tekanan terhadap sumberdaya lahan.

Tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan telah dikenal masyarakat

sebagai faktor utama terjadinya deforestasi, yang selanjutnya merupakan

penyebab utama terjafinya erosi tanah dan banjir. Tekanan penduduk di

daerah pedesaan yang terisolasi dan berdekatan dengan hutan cenderung

lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan yang berakses baik ke

daerah perkotaan (Soemarwoto, 1985). Tekanan penduduk tersebut

merupakan akibat lahan pertanian di suatu daerah tidak cukup untuk

mendukung kehidupan penduduk pada tingkat kehidupan yang dianggap

layak. Dalam kondisi lahan yang terbatas, penduduk yang tinggal berdekatan

dengan hutan cenderung untuk mendapatkan tambahan pendapatan dengan

membuka lahan baru, sedangkan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan

cenderung pergi ke kota mencari pekerjaan di luar bidang pertanian

(Soemarwoto,1985).

Nilai tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan (khususnya hutan)

dihitung dengan membandingkan (membagi) standar luas pemilikan lahan

pertanian yang dianggap mampu mendukung kehidupan petani (hektar per

KK) dengan luas pemilikan lahan (hektar per KK). Jika hasil perhitungan

menununjukkan nilai tekanan penduduk lebih kecil dari 1 (<1) maka tekanan

penduduk terhadap sumberdaya alam dianggap rendah, jika lebih besar dari 1

(> 1) maka tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam dianggap tinggi.

Secara nasional, standar luas lahan yang dianggap layak untuk mendukung

kehidupan keluarga petani adalah 2 ha per KK, sesuai dengan standar

minimum luas lahan pertanian yang diberikan pada transmigran (Permana,T.,

Page 15: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 15

1980). Standar luas pemilikan ini ditentukan dengan asumsi bahwa lahan

pertanian diusahakan secara intensif.

Nilai tekanan penduduk di tiap kabupaten di DAS Batanghari yang dihitung

berdasarkan standar luas pemilikan lahan 2 hektar sebagaimana dapat dilihat

pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2Luas Pemilikan Lahan Pertanian dan Tekanan Penduduk di

DAS Batanghari Tahun 2002

No Kabupaten/KotaKepemilikan Lahan Pertanian

Per KK(ha/KK) Tekanan Penduduk

1 Tanjab Timur 3.09 0.65

2 Muaro Jambi 5.64 0.35

3 Batanghari 4.17 0.24

4 Kota Jambi 0.65 3.09

5 Tebo 3.80 0.52

6 Bungo 5.61 0.36

7 Merangin 3,99 0.50

8 Sarolangun 3.49 0.57

9 Kerinci 2,18 0.92

10 Solok 5,14 0.39

11 Sawah/Sijunjung 2,40 0.83

12 Inderagiri Hulu ta Ta

Rata-Rata 3.83 0.52

Sumber : Tabel 3.23 dan 3.24Keterangan : Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya .

Tabel tersebut menunjukkan bahwa di Kota Jambi, luas pemilikan lahan

hanya 0,65 ha per KK dan nilai tekanan penduduk 3,09 yang jauh lebih besar

dari 1. Hal ini berarti tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan sangat

tinggi. Meskipun demikian, diperkirakan tidak menimbulkan deforestasi

karena di Kota Jambi tersedia beragam jenis pekerjaan di luar sektor

pertanian dan lokasi penduduk dengan hutan cukup jauh.

Page 16: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 16

Sedangkan di kabupaten lainnya, luas pemilikan lahan jauh lebih besar dari 2

ha per KK dan nilai tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan jauh lebih

kecil dari 1, artinya tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan sangat

rendah. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tekanan

penduduk terhadap sumberdaya lahan sangat tinggi. Menurut Laporan Balai

Pengelolaan DAS Batanghari (2002), banyak areal di kawasan hutan telah

menjadi belukar muda, areal kosong bersemak, tanaman karet muda, dan

lahan-lahan yang secara teknis tidak produktif. Okupasi oleh masyarakat

untuk dijadikan kebun atau ladang tersebut terus menunjukkan peningkatan,

terutama di kawasan hutan konversi dan areal penggunaan lain.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa nilai tekanan

penduduk terhadap sumberdaya lahan yang dihitung dengan standar luas

pemilikan tersebut (2 ha per KK) tidak dapat digunakan sebagai parameter

penyebab kerusakan DAS Batanghari karena lahan pertanian, kecuali lahan

sawah, umumnya diusahakan tidak intensif.

Lahan perkebunan rakyat yang umumnya ditanami karet banyak yang

dibiarkan terlantar sehingga produktifitasnya rendah. Hal ini terlihat dari kebun

karet yang telah berubah menjadi hutan karet.

Lahan ladang sebagian besar dibiarkan terlantar (dipusokan) agar secara

alami kesuburannya pulih kembali dan dapat digunakan untuk rotasi

perladangan berikutnya. Pembukaan ladang dilakukan dengan cara tebas,

tebang, bakar dan menanami ladang tersebut dengan tanaman pertanian

yang diinginkan. Masa produktif ladang adalah 2 - 3 tahun. Setelah tidak

produktif, ladang ditinggalkan dan mereka membuka ladang yang baru.

Dalam kondisi yang demikian, standar pemilikan lahan seluas 2 Ha jelas tidak

memadai. Kebutuhan lahan untuk perladangan, misalnya, sangat ditentukan

oleh rotasi perladangan dan luas ladang yang diolah setiap tahun. Jika rotasi

perladangan adalah 8 tahun (diperlukan untuk memulihkan kesuburan lahan),

kebutuhan ladang yang diolah adalah 2 ha per KK per tahun dan ladang

hanya produktif selama 2 tahun maka kebutuhan lahan ladang adalah 8 Ha

Page 17: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 17

per KK atau lebih luas dari rataan pemilikan lahan penduduk (3,83 Ha per

KK). Jika kebutuhan lahan tersebut dijadikan standar luas lahan yang

dianggap layak untuk mendukung kehidupan petani yang tinggal di dalam dan

di sekitar hutan maka nilai tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan

dapat dipastikan lebih besar dari 1. Artinya, peluang masyarakat merambah

hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah besar.

Kecenderungan terjadinya perambahan lahan hutan untuk dijadikan lahan

pertanian dan perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian

terlihat dari terjadinya perubahan pemanfaatan lahan selama kurun waktu

tahun 2000 - 2002. Selama kurun waktu tersebut telah terjadi perubahan

pemanfaatan lahan berupa :

a. Perubahan pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan bukan hutan

(pertanian, dan non pertanian),

b. Perubahan pemanfaatan lahan ladang menjadi sawah dan pemanfaatan

lahan non pertanian,

c. Perubahan pemanfaatan sawah menjadi pemanfaatan lahan pertanian

(ladang, perkebunan) dan non pertanian (perumahan /permukiman).

Untuk lebih jelasnya dapat ilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3Prosentase Perubahan Lahan Hutan di DAS Batanghari

Lahan Hutan Berubah Menjadi

JumlahNo Kabupaten A(%)

B(%)

C(%)

D(%)

E(%) Ha %

1 TJ Jabung Timur 4,09 81,86 0,51 0 13,54 783,0 2,01

2 Muaro Jambi 14,95 9,01 0,04 0 76,00 6.803,0 17,46

3 Batanghari 81,45 1,42 0,75 16,38 0 2.809,0 7,21

4 Kota Jambi 0,24 0,48 94,50 4,78 0 83,6 0,21

5 Tebo 97,80 1,49 0,71 0 0 7.067,5 18,14

6 Bungo 50,45 0,05 1,11 0 48,40 4.194,5 10,77

7Sarolangun 87,95 0 0,02 0 12,03

10.476,0

26,89

8 Merangin 73,40 23,94 1,09 0,90 0,67 1.783,5 4,58

Page 18: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 18

9 Kerinci 97,59 0 0 2,41 0 83,0 0,21

10 Solok 92,02 2,07 0,42 0,07 5,42 1.395,3 3,58

11Sawahlunto/Sijunjung

93,78 1,73 0 0 4,49 3.474,4 8,92

Rata-rata 70,63 4,92 0,59 1,24 22,62 38.952,8 100,00

Sumber: StatistikPotensi Desa Provinsi Jambi dan Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Barat 2003 (diolah).

Keterangan : A = Lahan pertanian bukan sawah; B = sawah; C = perumahan; D = industri;E = Lahan non pertanian lain (fasilitas sosial ekonomi, perkantoran, jalan, saluran dll)Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya

Dari tabel tersebut pemanfaatan lahan hutan cenderung berubah menjadi

pemanfaatan lahan non hutan, seperti ladang, kebun, perkebunan (70,63%).

Hal ini terutama terjadi di bagian hulu DAS Batanghari seperti Kabupaten

Kerinci, Merangin, Sarolangun, Solok, Sawahlunto/Sijunjung. Demikian pula

beberapa Kabupaten yang merupakan bagian hulu dan tengah DAS

Batanghari seperti Kabupaten Tebo, dan Batanghari. Sedangkan di bagian

hilir DAS Batanghari, hutan cenderung berubah menjadi menjadi lahan non

pertanian (perumahan dan fasilitas penunjangnya), seperti terlihat di

Kabupaten Muaro Jambi (76%), dan kota Jambi (94,50%). Di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur yang merupakan hilir DAS Batanghari, hutan

cenderung berubah menjadi sawah (81,86%).

Selain hutan, ladang pun cenderung berubah menjadi lahan non pertanian

Selanjutnya perubahan lahan ladang menjadi pemanfaatan lain dapat dilihat

pada tabel 3.4

Tabel 3.4Prosentase Perubahan Lahan Ladang di DAS Batanghari

Ladang Berubah Menjadi

JumlahNo Kabupaten B

%C%

D%

E% Ha %

1 TJ Jabung Timur 27,99 53,93 0,87 17,21 4.573 48,96

2 Muaro Jambi 40,33 51,30 5,08 3,29 334,7 3,58

3 Batanghari 14,39 69,78 1,44 14,39 69,5 0,74

4 Kota Jambi 0 100 0 0 212 2,27

5 Tebo 0 81,93 0 18,07 177,1 1,90

6 Bungo 1,64 15,11 2,00 81,25 1.250,4 13,39

7 Sarolangun 7,46 2,51 0 90,02 1.233 13,20

8 Merangin 31,24 57,78 0,54 10,45 933,1 9,99

Page 19: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 19

9 Kerinci 8,34 49,20 7,80 34,67 205,1 2,20

10 Solok 29,91 47,62 4,61 17,86 190,9 2,04

11 Sawahlunto/Sijunjung 22,64 71,17 0 5,58 161,2 1,73

Rata-Rata 20,77 44,00 1,21 34,02 9.340 100,00

Sumber: Sumber: Statistik Potensi Desa Provinsi Jambi dan Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Barat 2003 (diolah).Keterangan : A = Lahan pertanian bukan sawah; B = sawah; C = perumahan; D = industri;E = Lahan non pertanian lain (fasilitas sosial ekonomi, perkantoran, jalan, saluran dll)Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya

Pada tabel tersebut terlihat ladang cenderung berubah menjadi perumahan

(44%) dan kegiatan non pertanian lainnya, yaitu pembangunan sarana dan

prasarana serta fasilitas sosial ekonomi (34,02%), serta berubah menjadi

sawah (20,77%). Perubahan ladang menjadi perumahan juga terjadi secara

intensif di Kabupaten Kerinci, Merangin, Solok, dan Sawahlunto/Sijunjung

yang merupakan bagian hulu DAS Batanghari. Hal ini tentunya membawa

dampak terhadap luas kepemilikan lahan pertanian, yang merupakan

tumpuan terbesar sumber nafkah penduduk. Tekanan penduduk terhadap

lahan diperkirakan akan semakin besar sejalan dengan laju pertumbuhan

penduduk.

Selain ladang, lahan sawah sebagai tempat penghasil tanaman pangan,

cenderung berubah menjadi lahan kebun dan perkebunan. Hal ini selanjutnya

dapat dilihat pada Tabel 3.5

Tabel 3.5Prosentase Perubahan Lahan Sawah di Das Batanghari

A. Sawah Berubah Menjadi

No Kabupaten A (%)

C(%)

D (%)

E (%)

Jumlah (Ha)

%

1 Tanjung Jabung 78,69 19,09 0,76 1,46 15.800,0 68,10

2 Muaro Jambi 85,06 14,45 0 0,49 1.225,0 5,28

3 Kota Jambi 99,16 0,20 0,40 0,24 1.244,5 5,36

4 Batanghari 83,55 10,53 3,95 1,97 76,0 0,33

5 Tebo 80,20 19,11 0 0,69 728,0 3,14

6 Bungo 55,60 1,29 0 43,10 232,0 1,00

7 Merangin 76,99 22,82 0 0,19 1.067,0 4,60

8 Sarolangun 64,71 20,87 0,31 14,10 549,5 2,37

Page 20: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 20

9 Kerinci 14,93 7,66 30,43 46,98 2.045,6 8,82

10 Solok Selatan 40,45 41,73 0 17,82 232,9 1,00

Rata-Rata 73,54 17,06 3,24 6,16 23.201,3 100,0

Sumber: Sumber: StatistikPotensi Desa Provinsi Jambi dan Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Barat 2003 (diolah).Keterangan : A = Lahan pertanian bukan sawah; B = sawah; C = perumahan; D = industri;E = Lahan non pertanian lain (fasilitas sosial ekonomi, perkantoran, jalan, saluran dll)Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya

Dari tabel tersebut terlihat, lahan sawah cenderung berubah menjadi lahan

pertanian lain seperti ladang, kebun dan perkebunan (73,54%). Hal ini terjadi

terutama di bagian hilir DAS Batanghari, seperti di Kabupaten Muaro Jambi

(85,06%), Tanjung Jabung Timur (78,69%), serta di bagian tengah DAS

Batanghari seperti Kabupaten Bungo (80,20%), Tebo (83,55%) dan

Batanghari (99,16%). Perubahan ini diduga berkaitan dengan makin

bergairahnya masyarakat bertanam komoditi kelapa sawit. Di Bagian hulu

DAS Batanghari juga terjadi perubahan lahan sawah Perubahan menjadi

ladang, kebun dan perkebunan (55-77%) seperti di Kabupaten Kerinci,

Merangin, Sarolangun, Sawahlunto/Sijunjung. Perubahan sawah menjadi

daerah non pertanian, yaitu perumahan (20-41%) seperti Kabupaten Kerinci-

Sarolangun, Sawahlunto/Sijunjung. Perubahan sawah menjadi sarana

/prasarana serta fasilitas sosial ekonomi (43-46%) seperti di Kabupaten

Sarolangun, dan Solok.

Adanya perubahan pemanfaatan lahan dari hutan menjadi bukan hutan, serta

dari ladang dan sawah menjadi pemanfaatan non pertanian, menunjukkan

tekanan penduduk terhadap lahan di DAS Batanghari relatif kuat, terutama di

bagian hulu. Kondisi tersebut diperkirakan membawa dampak terhadap

kemampuan daerah hulu dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS

Batanghari. Selain tekanan penduduk, perubahan ini juga disebabkan belum

padunya kelembagaan pengelolaan DAS Batanghari yang memungkinkan

masyarakat leluasa merambah hutan.

3.3 FAKTOR KELEMBAGAAN

Page 21: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 21

Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan kelembagaan

dalam pengelolaan DAS Batanghari adalah kelembagaan pemerintah lebih

dominan. Dominasi tersebut memberikan indikasi bahwa strategi yang

diterapkan selama ini masih bersifat pendekatan dari “atas” (top down

approach). Dengan strategi demikian sangat diragukan pelembagaan

tercapai.

Hasil pengumpulan data dan informasi di lapangan menunjukkan belum

terpadunya kegiatan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan (stake

holder) yang terkait dengan pengelolaan DAS Batanghari. Kegiatan

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi

ditafsirkan dan dilaksanakan secara berbeda, terutama oleh Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah.

3.3.1 Koordinasi Antar Wilayah

Wilayah DAS Batanghari mencakup 3 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jambi

(80%), Provinsi Sumatera Barat (19%) dan Provinsi Riau (1%). Dengan

adanya UU No 22/1999 tentang otonomi daerah, maka secara tata ruang

koordinasi kewenangan pengaturan ruangnya berada di tiga wilayah provinsi

tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan implikasi terhadap pengelolaan

pemanfaatan ruang DAS Batanghari. DAS Batanghari bagian hulu berada di

Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi, sedangkan DAS

Batanghari bagian hilir seluruhnya berada di Provinsi Jambi. untuk menjaga

kelestarian ekosistem DAS bagian hulu akan dibutuhkan keterpaduan dan

kerjasama dalam mengelola tata ruang di ketiga provinsi, khususnya di

Kabupaten-kabupaten yang mengalami kerusakan lingkungan hidup. Untuk

itu diperlukan koordinasi antar sektor dan antar wilayah.

Selain persoalan koordinasi antar wilayah dalam penanganan masalah

kerusakan ekosistem DAS Batanghari, koordinasi antar sektor yang belum

berjalan dengan baik telah memberi andil terhadap ketidaklestarian ekosistem

DAS Batanghari. Belum baiknya koordinasi antar sektor telah mengakibatkan

terjadinya ketidak tegasan pemanfaatan ruang. Hal ini terlihat antara lain pada

Page 22: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 22

ketidaktegasan antara pemanfaatan kawasan lindung dengan budidaya.

Berdasarkan kriteria menurut Keppres No. 32/1990 suatu kawasan

seharusnya merupakan kawasan lindung, tetapi dalam rencana tata ruang

provinsi dan hasil padu serasi tidak dimasukkan sebagai kawasan lindung.

Contohnya Bupati Sarolangun telah meminta Departemen Kehutanan

menetapkan ± 56.000 Ha sebagai hutan lindung karena lerengnya > 50 0.

Selain masalah koordinasi antar sektor antar wilayah, diperlukan pula

koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Persoalan koordinasi

antara pemerintah dengan masyarakat, muncul dalam bentuk penentuan

batas wilayah di lapangan. Contohnya adalah masalah batas desa yang

belum jelas, kadangkala di lapangan klaim batas desa oleh masyarakat yang

didasarkan pada batas alam (seperti sungai) tidak selalu sesuai dengan batas

administrasi desa yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang

dipakai BPN. Hal ini menimbulkan konflik dalam pengambilan sumberdaya

hutan dan pembukaan ladang, serta memperparah terjadinya perambahan

hutan yang berada di daerah perbatasan dengan hutan lindung.

Kelemahan kelembagaan pengelolaan DAS dapat pula dilihat dari kelemahan

pengelolaan lahan negara dan pengelolaan lahan masyarakat yang ada di

DAS Batanghari. Pengelolaan lahan masyarakat telah dijelaskan pada sub

bab sebelumnya.

Uraian berikut hanya menjelaskan pengelolaan lahan negara di kawasan

lindung dan kawasan budidaya hutan dan Kebun (perusahaan perkebunan

yang mengelola HGU lahan perkebunan). Di kawasan ini, Pemerintah

merupakan pemangku kepentingan utama yang melaksanakan kegiatan

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

Lemahnya kelembagaan yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem DAS

Batanghari difokuskan pada pelaksanaan 3 Undang-Undang dan 6 kebijakan

kehutanan.

3.3.2 Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya Hutan

Page 23: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 23

Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk

menjamin kelestarian ekosistem DAS dan menghasilkan barang yang dapat

dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di DAS. Secara umum, hasil hutan

dapat dibedakan menjadi: (1) hasil hutan yang berupa barang seperti kayu,

rotan, buah-buahan (tengkawang, kemiri), getah-getahan (getah damar,

pinus, jelutung), makanan (binatang dan tumbuhan) dan gaharu, serta (2)

hasil hutan yang berupa jasa lingkungan seperti udara segar, air bersih,

sumber plasma nutfah, sarana rekreasi, pendidikan, pengembangan ilmu dan

pengetahuan. Semua hutan menghasilkan barang dan jasa tersebut. Akan

tetapi, hutan produksi peruntukan utamanya adalah untuk menghasilkan hasil

hutan yang berupa barang, sedangkan hutan konservasi peruntukan

utamanya adalah untuk menghasilkan yang berupa jasa lingkungan.

Agar potensi hasil hutan dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari maka

hutan dikelola sesuai dengan fungsi atau peruntukannya. Secara umum,

pengelolaan hutan dibedakan menjadi pengelolaan hutan konservasi atau

kawasan lindung (hutan lindung, hutan suaka alam, dan hutan suaka

margasatwa) dan pengelolaan hutan produksi.

a. Pengelolaan Kawasan Lindung di Hutan Konservasi

Prinsip pengelolaan kawasan lindung di hutan konservasi (hutan lindung,

hutan suaka alam, hutan pelestarian alam) adalah pendayagunaan potensi

kawasan lindung sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh,

pengelolaan hutan lindung dilakukan untuk pendayagunaan pemanfaatan air

dan perlindungan terhadap tanah; dan pengelolaan hutan suaka alam

dilakukan untuk pendayagunaan potensi flora dan fauna yang ada di

dalamnya. Pengelolaan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab

Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Balai-balai

Kehutanan yang dibentuk di daerah.

Kegiatan pokok pengelolaan kawasan lindung di hutan konservasi antara lain

adalah (a) pemantapan kawasan (pengukuhan status kawasan, pemeliharaan

tata batas, dan penataan kawasan), (b) penyusunan rencana pengelolaan, (c)

Page 24: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 24

pembangunan sarana dan prasarana, (d) pengelolaan potensi kawasan, (e)

perlindungan dan pengamanan hutan, dan (f) pemanfaatan jasa lingkungan

dan hasil hutan non kayu.

Kegiatan pokok pengelolaan kawasan konservasi yang sulit dilakukan adalah

perlindungan dan pengamanan hutan karena status kawasan belum mantap

(tata batas belum selesai dibuat) dan terbatasnya polisi hutan. Dengan luas

hutan konservasi 870.250 ha dan jumlah polisi hutan 168 orang maka

seorang polisi hutan rataan harus mengamankan hutan konservasi seluas

5.180 hektar.

Kesulitan melindungi dan mengamankan hutan konservasi tersebut

menyebabkan kegiatan pokok lainnya terabaikan. Pemanfaatan jasa

lingkungan masih terbatas pada apa yang yang diberikan oleh alam, belum

sampai pada tahap penggalian potensi yang dapat dimanfaatkan. Umumnya,

hutan konservasi masih dipandang sebagai penghasil barang (kayu, rotan

dan hasil hutan bukan kayu lainnya) seperti halnya hutan produksi. Potensi

jasa lingkungan, termasuk perlindungan terhadap tanah dan air, sangat besar

namun belum dihargai sehingga pemanfaatannya belum optimal dan bahkan

dalam kondisi rusak.

b. Pengelolaan Kawasan Budidaya di Hutan Produksi

Pengelolaan hutan produksi tetap dilakukan oleh pemegang IUPHHK (Ijin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), IPHHBK (Ijin Pemungutan Hasil

Hutan Kayu) dan IPHHBK (Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu)

berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari yaitu luas areal yang

ditebang/dipungut adalah sama dengan luas areal tanam dan luas areal

pemeliharaan. Selain itu, pemegang IUPHHK juga bertanggung jawab

terhadap pengamanan hutan di areal kerjanya. Untuk menjamin bahwa

pemegang IUPHHK melaksanakan kegiatannya maka dilakukan kegiatan

pengawasan oleh instansi kehutanan.

Potensi produksi kayu dari hutan produksi alam sangat besar. Dengan

asumsi 10% areal hutan produksi dikelola sebagai kawasan konservasi (areal

Page 25: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 25

di sekitar sungai, areal yang memiliki kelerengan tinggi dsb), potensi kayu

yang dapat ditebang (diameter 50 up) adalah 40-60m³ per Ha, dan rotasi

pengelolaan (dengan sistem TPTI) 35 tahun, maka dari hutan produksi seluas

1.278.700 Ha setiap tahun dapat dihasilkan kayu bulat (diameter 50 ke atas)

secara lestari sekitar 650.000 m³ - 1.000.000 m³.

Dalam 5 tahun terakhir (1998-2002), produksi kayu tertinggi adalah

550.000 m³ per tahun dan bahkan pada tahun 2002 produksi kayu hanya

sekitar 211.000 m³. Hal ini disebabkan sebagian besar IUPHHK tidak aktif

dan sebagian besar hutan tidak produktif akibat ilegal logging, perambahan

dan kebakaran hutan.

Selain kayu, hutan produksi juga potensial sebagai penghasil jasa lingkungan

yang dapat diandalkan. Setiap tahun hanya 1/35 luas hutan produksi yang

ditebang sehingga sebagian besar lainnya dapat berfungsi untuk

perlindungan tanah dan air.

3.3.3 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Lindung dan Budidaya Hutan

Kerusakan hutan akibat ilegal logging, perambahan dan kebakaran hutan

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketimpangan produksi dan permintaan

kayu bulat, ketidak pastian kawasan hutan, rendahnya kinerja IUPHHK,

rendahnya kemampuan pengamanan hutan, pengawasan produksi dan

peredaran kayu, rendahnya kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam

dan di sekitar hutan dan lemahnya penegakan hukum. Hal ini telah

berlangsung cukup lama dan diperparah dengan berbagai kebijakan yang

dikeluarkan menjelang dan di era otonomi daerah.

Ada 3 undang-undang yang menjadi acuan kebijakan kehutanan dalam

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di era otonomi daerah

yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan

(UUPK), UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.

25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah. Ketiga UU tersebut mengamanahkan pentingnya

Page 26: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 26

masyarakat diberi kesempatan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-

besarnya dari sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya.

Enam kebijakan yang mengacu pada UU tersebut dan diperkirakan

mempunyai dampak negatif (yang lebih besar dibanding dampak positif)

terhadap pengelolaan hutan dan DAS adalah sebagai berikut: (1) kebijakan

paduserasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW), (2) PP No.6 Tahun 1999 Tentang

Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi, (3)

Keputusan Menteri Kehutanan No.051 Tahun 2000 Tentang Kriteria dan

Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan

Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi, (4) Keputusan Menteri

Kehutanan No.4976 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan, (5)

Kebijakan soft landing atau jatah produksi kayu nasional dari hutan produksi

alam sekitar 6 juta m³ tahun 2004 dan 5 juta m³ tahun 2005 di mana jatah

produksi kayu di Provinsi Jambi adalah sekitar 200.000 m3 per tahun, dan (6)

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Tahun 1999 dan

perubahannya No. 645 Tahun 1999 Tentang Usaha Sawit Nasional.

Kebijakan yang diluncurkan dengan semangat reformasi dan otonomi daerah

serta memberi peluang kepada masyarakat di daerah untuk memperoleh

manfaat yang optimal dari sumber daya hutan tersebut, tidak sesuai dengan

harapan karena kelembagaan yang diperlukan tidak memadai atau tidak

disiapkan dengan baik. Hal ini justru menimbulkan dampak negatif yang

mengancam kelestarian hutan, sebagai berikut.

a. Paduserasi

Berdasarkan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), luas kawasan hutan di

Provinsi Jambi adalah 2.947.200 Ha di mana 726.900 Ha di antaranya adalah

hutan produksi yang dapat dikonversi (untuk usaha non kehutanan).

Berdasarkan paduserasi antara TGHK dan RTRWP (Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi) tahun 1999, luas kawasan hutan di Jambi adalah

Page 27: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 27

2.179.440 Ha, atau berkurang seluas 767.760 Ha. Selisih luas hutan antara

TGHK dan paduserasi tersebut menunjukkan areal berhutan (paling tidak

sebagian diantaranya) dengan status kawasan non hutan. Rincian luas hutan

berdasarkan TGHK dan Paduserasi disajikan pada Tabel 3.6.

Page 28: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 28

Tabel 3.6Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jambi Menurut Fungsi Berdasarkan TGHK dan

Paduserasi

Fungsi hutan TGHK Luas (Ha)Fungsi hutan Paduserasi

Luas (ha)

1.Hutan Suaka Alam dan 602.200 1. Hutan Suaka Alam 30.400

Hutan Wisata - Cagar Alam 3.940

- Suaka Margasatwa -

- Cagar Biosfir 26.460

2. Hutan Pelestarian Alam 648.720

- Taman Nasional 608.630

- Taman Hutan Raya 36.660

- Taman Wisata 430

- Hutan Penelitian 3.000

2. Hutan Lindung 181.200 3. Hutan Lindung 191.130

- Hutan Lindung 105.500

- Hutan Lindung Gambut 85.630

3. Hutan Produksi 2.163.100 4. Hutan Produksi 1.309.190

-Hutan Produksi Terbatas 363.100 - Hutan Produksi Terbatas 340.700

-Hutan Produksi Tetap 1.073.100 - Hutan Produksi Tetap 938.000

-Hutan Produksi Konversi 726.900 - Hutan Produksi Pola PM 30.490

Luas Kawasan Hutan 2.947.200 Luas Kawasan Hutan 2.179.440

Areal Penggunaan Lain 2.152.800 Kawasan Pert.dan non Pert.

2.920.560

Jumlah total 5.100.000 Jumlah total 5.100.000

Persentase kawasan hutan 57,79% Persentase kawasan hutan

42,73%

Sumber: Dinas Kehutanan (2002) dan Statistik Kehutanan (2001)

Secara formal, paduserasi tersebut menimbulkan dampak positif yaitu

kesamaan persepsi tentang kawasan hutan dan non hutan antara instansi

kehutanan dan instansi lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah daerah. Tanpa paduserasi, banyak kesulitan akan muncul,

terutama di era otonomi daerah.

Dalam prakteknya, hal ini justru menimbulkan ketidak pastian tentang

kawasan hutan. Terbatasnya waktu dan dana untuk merekonstruksi tata

batas menyebabkan tata batas yang baru, belum dibuat dan batas antara

kawasan hutan dengan kawasan non hutan menjadi tidak jelas. Secara

Page 29: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 29

potensial hal ini meningkatkan kerawanan pada sumberdaya hutan. Di era

otonomi daerah, hal ini terlihat dari banyaknya ilegal logging, tuntutan dan

klaim lahan oleh masyarakat setempat terhadap kawasan hutan.

b. Penerbitan IPHHK dan IUPHHK

Penerbitan IPHHK (Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) skala kecil (100 ha)

oleh Bupati dan penerbitan IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu) skala besar (maksimum 50.000 ha) oleh Bupati dan Gubernur,

dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada kelompok masyarakat

(seperti Koperasi) dan Badan Usaha di daerah untuk mendapatkan IPHHK

dan IUPHHK. Dengan kebijakan ini, pengurusan ijin tersebut tidak lagi ke

Pusat (Menteri Kehutanan) tetapi cukup di daerah (Gubernur atau Bupati).

Dalam prakteknya, kewenangan menerbitkan ijin tersebut dimanfaatkan untuk

meningkatkan pendapatan daerah dan kurang memperhatikan dampak

negatif yang ditimbulkannya. Sebelum otonomi daerah, IPHHK, yang ada di

kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, hanya diberikan kepada

perusahaan yang akan membangun usaha non kehutanan, khususnya

perkebunan. Kayu diambil dan pajaknya (PSDH-DR) dibayar, sedangkan

lahannya digunakan untuk pembangunan usaha non kehutanan. Setelah

otonomi daerah, IPHHK (yang ada di APL - areal penggunaan lain yang

berhutan), diberikan kepada perusahaan yang dianggap mampu melakukan

pemungutan kayu. Kayu diambil dan pajaknya (retribusi daerah) dibayar,

sedangkan lahannya tidak jelas penggunaannya. Dengan motif meningkatkan

pendapatan daerah (mendapatkan retribusi), pengawasan diperkirakan

menjadi lemah. Pemungutan kayu mungkin dilakukan di areal hutan yang

produktif jika potensi kayu di APL rendah dan tata batas antara APL dan areal

hutan tidak jelas. Hal ini diperkirakan juga berlaku untuk IUPHHK yang

diterbitkan oleh Bupati dan Gubernur.

Page 30: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 30

c. Penilaian Terhadap Kinerja IUPHHK

Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong agar pemegang IUPHHK

melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan dengan baik. IUPHHK dengan

kinerja buruk dicabut ijinnya, IUPHHK dengan kinerja kurang dibekukan

sementara ijin produksinya sampai perbaikan yang disyaratkan dipenuhi, dan

IUPHHK dengan kinerja baik diberi kesempatan untuk terus melaksanakan

kegiatannya.

Dalam prakteknya, kegiatan ini menimbukan kekosongan pengelolaan hutan

produksi. Pada tahun 2001, dari 1.278.700 Ha hutan produksi, 793.594 Ha

dikelola oleh 13 perusahaan IUPHHK, dan lainnya seluas 486.106 Ha

pengelolaannya dilimpahkan kepada PT Inhutani V (semula dikelola oleh

banyak perusahaan pemegang IUPHHK yang telah dicabut ijin usahanya).

Pelimpahan pengelolaan hutan kepada PT Inhutani V pada dasarnya bersifat

formalitas karena tidak ditindak lanjuti dengan penambahan tenaga kerja dan

peningkatan investasi usaha yang memadai. Pada tahun 2003, ijin usaha PT

Inhutani juga dibekukan karena kinerjanya dinilai buruk.

Pada tahun 2004, hanya 2 perusahaan IUPHHK yang aktif melakukan

kegiatannya dan mengelola areal hutan seluas 122.000 Ha, 11 perusahaan

lainnya dibekukan atau dicabut ijinnya. Hal ini menyebabkan lebih dari 1 juta

ha hutan produksi seolah tanpa pengelolaan atau menjadi lahan tidak

bertuan.

d. Soft Landing

Kebijakan soft landing adalah kebijakan yang menentukan jatah produksi

untuk setiap provinsi yang selanjutnya dihitung untuk setiap perusahaan.

Secara nasional, jatah produksi pada tahun 2004 dan 2005 ditetapkan

masing-masing ditetapkan sebesar 6,8 juta m³ dan 5,5 juta m³ atau sekitar

20% produksi lestari hutan produksi alam yang produktif. Untuk provinsi

Jambi, jatah produksi ditetapkan sekitar 200.000 m³ per tahun. Kebijakan ini

Page 31: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 31

dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada hutan yang rusak untuk

tumbuh dan menjadi produktif.

Dalam prakteknya, kebijakan ini dapat memicu maraknya ilegal logging

karena ketimpangan produksi dan permintaan kayu bertambah besar. Selain

itu, soft landing juga dapat menimbulkan kerugian usaha bagi IUPHHK.

Sementara ini, 2 perusahaan IUPHHK yang aktif masih dapat bernafas lega

karena soft landing tidak memotong jatah produksinya. Jika seluruh IUPHHK

yang pernah ada aktif kembali maka jatah produksi untuk setiap IUPHHK

sangatlah rendah. Akibatnya, marjin keuntungan yang diperoleh IUPHHK

tidak memadai untuk membiayai modal investasi mesin dan peralatan yang

berharga mahal.

e. Usaha Kelapa Sawit

Kebijakan ini memberi kesempatan kepada pengusaha yang melakukan

usaha perkebunan kelapa sawit untuk memperoleh HGU atas lahan negara

yang sebelumnya berstatus sebagai lahan hutan produksi konversi.

Berdasarkan kebijakan tersebut, Departemen Kehutanan berkewajiban untuk

mengeluarkan ijin usaha IPHHK (Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) setelah

memastikan bahwa areal yang dimohon untuk usaha tersebut tidak

bermasalah dan perusahaan pemohon memenuhi persyaratan yang

diperlukan. Selain itu, Instansi Kehutanan berkewajiban untuk memantau

pembayaran PSDH-DR atas kayu yang diproduksi dari areal tersebut.

Bersamaan dengan keluarnya IPHHK tersebut, status lahan hutan berganti

menjadi lahan non hutan atau tanggung jawab pengelolaannya beralih ke

instansi lain.

Dalam prakteknya, kebijakan ini banyak disalah gunakan untuk mendapatkan

kayu. Banyak areal hutan yang dikonversi untuk usaha pertanian

(perkebunan) dibiarkan terlantar dan sampai saat ini belum ada sangsi yang

diberikan kepada perusahaan yang menelantarkan lahan. Kawasan hutan

yang telah dilepas untuk pembangunan perkebunan seluas 344.932 Ha tetapi

Page 32: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 32

realisasi pembangunan perkebunan hanya 119.914 Ha atau 34,76% (Dinas

Kehutanan Provinsi Jambi, 2002).

f. Dampak Kebijakan

Dampak kebijakan kehutanan yang menimbulkan kerusakan ekosistem DAS

Batanghari, khususnya sumberdaya hutan, tercermin dari maraknya ilegal

logging, perambahan dan kebakaran hutan.

x IIlegal logging

Produksi dan permintaan kayu bulat selama beberapa tahun terakhir

menunjukkan ketimpangan. Pada Tabel 3.7 ditunjukkan produksi kayu bulat

dan bahan baku serpih selama 5 tahun terakhir yang masing-masing

sebanyak 543.729 m³ per tahun dan 2.440.242 m³.

Tabel 3.7Produksi Kayu Bulat dan Bahan Baku Serpih Tahun 1998/1999 — 2002

Tahun Kayu bulat (m3) Kayu bulat kecil (m3) BBS (m3)

1998/99 530.222 90.215 1.603.042

1999/2000 556.049 147.172 2.459.681

2000 436.141 130.256 2.105.459

2001 436.815 86.042 2.438.890

2002 211.526 94.207 3.594.141

Sumber: Dinas . Kehutanan Provinsi Jambi 2002

Selanjutnya Tabel 3.8 menunjukkan bahwa kebutuhan kayu bulat dan bahan

baku serpih untuk memenuhi permintaan industri kayu yang ada di Jambi

adalah 4.457.370 m³ dan 7.500.000 m³ (rendemen plywood dan kayu

gergajian adalah 50% dan rendemen pulp adalah 20%) sedangkan realisasi

penggunaan kayu bulat dan bahan baku serpih tahun 2002 adalah 1.561004

m³ dan 3.264.415 m³. Terlihat betapa timpangnya produksi dan permintaan

kayu bulat.

Page 33: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 33

Tabel 3.8Jumlah dan Kapasitas Terpasang IPKH dan Produksi Kayu Olahan Tahun 2002

No IPKH Unit KapasitasProduksi

(m½)

BahanBaku

Penggunaan bahan baku

1. Plywood 9 1.116.185 678.689 K.bulat 1.357.378

2. Kayu gergajian 118 1.100.000 95.698 K.bulat 191.396

3. Pulp tissue 1 1.500.000 652.883 BBS 3.264.415

4. Particle board 1 72.000 -

5. Pencil slate 1 12.500 6.115 K.bulat 12.230

6. Chop stick 1 6000 -

7. Lunch Box Sh. 1 7.200 -

8. Moulding 34 315.000 103.793 K.gerg.

Jumlah 166 4.128.885 1.537.178

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Jambi (2002)

Logisnya ketimpangan ini hanya dapat dipenuhi dengan mengimpor kayu dari

propinsi lain. Namun data peredaran kayu bulat menunjukkan hal yang

berbeda. Peredaran kayu dalam provinsi, kayu masuk dari provinsi lain dan

kayu yang diedarkan ke provinsi lain masing-masing sebesar 3.250.010 m³,

438.279 m³ dan 29.633 m³ (Dinas Kehutanan, 2002). Data produksi,

penggunaan dan peredaran kayu bulat tersebut sangat kontradiktif yang

menunjukkan adanya produksi dan peredaran kayu ilegal dalam jumlah yang

sangat besar.

Hasil wawancara dengan pejabat kehutanan di Jambi menunjukkan bahwa

produksi kayu bulat di Jambi dapat dibedakan menjadi kayu legal, kayu semi

legal dan kayu ilegal. Kayu legal adalah kayu yang dihasilkan dari hutan alam

(atau hutan tanaman) pada areal yang telah mendapat Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK - dulu disebut HPH atau Hak

Pengusahaan Hutan) di mana dalam peredarannya dilengkapi dengan

dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan), sebagaimana

dilakukan oleh PT Asia Log dan PT Duta Putra Wood.

Kayu semi legal adalah kayu yang dihasilkan dari penebangan hutan alam

yang tidak jelas lokasi tebangannya atau penebangan dilakukan melebihi

Page 34: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 34

luas tebangan yang diberikan, tetapi dilengkapi dengan dokumen SKSHH.

Kasus ini ditemukan dalam kasus IPHHK skala kecil (100 ha) yang

dikeluarkan oleh Bupati. Menurut Dinas Kehutanan Propinsi (2002) hampir

seluruh Kabupaten di Jambi menerbitkan Ijin Pengumpulan Hasil Hutan

Kayu. Kayu bulat hasil IPHHK skala kecil ini dipungut retribusinya, sedangkan

PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan DR (Dana Reboisasi) tidak

dipungut. Peraturan yang terkait dengan pemberian ijin ini belum jelas

(berbeda antara pusat dan daerah/kabupaten) sehingga pengawasannya

tidak optimal, arealnya mungkin tumpang tindih dengan areal IUPHHK yang

ditetapkan Pusat.

Kayu bulat ilegal adalah kayu yang dihasilkan dari penebangan di hutan alam

tanpa dilengkapi dengan dokumen SKSHH pada awal pengangkutannya.

Sebagian dari kayu bulat ini diangkut dan dijual ke industri kayu ilegal tanpa

dokumen SKSHH. Selanjutnya, kayu olahan diedarkan dengan atau tanpa

dokumen SKSHH. Sebagian lainnya diangkut dan dijual ke industri kayu legal

dan mendapat dokumen SKSHH setelah diolah. Pengadaan dokumen ini

akibat permainan cukong kayu dan atau industri kayu dengan oknum yang

berkaitan dengan penanganan dokumen kayu ini.

Secara umum kegiatan produksi dan peredaran kayu ilegal melibatkan

penduduk lokal, cukong kayu, industri kayu dan oknum pejabat pemerintah.

Penduduk lokal bertindak sebagai pemberi informasi tentang potensi kayu

yang ada di hutan, penebang dan penyarad kayu. Cukong adalah

penyandang dana dan industri sebagai penampung kayu. Sedangkan oknum

pemerintah sebagai penyedia dokumen.

Selain karena lemahnya penegakan hukum, ketidak jelasan peraturan dan

tata batas hutan, maraknya produksi dan peredaran kayu ilegal juga

disebabkan besarnya insentif untuk memproduksi kayu ilegal. Sebagai

contoh, biaya untuk PSDH dan DR adalah sekitar Rp 210.000,- per m³,

sedangkan total biaya untuk perijinan dan pengelolaan hutan dapat mencapai

Page 35: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 35

lebih dari Rp 300.000,- per m³. Selain menurunkan penerimaan negara,

produksi kayu ilegal atau semi ilegal juga mengancam kelestarian hutan.

Ilegal logging dimungkinkan oleh keadaan di mana pengamanan terhadap

kawasan hutan terbatas, tata batas hutan tidak jelas dan rendahnya kegiatan

pengelolaan di hutan produksi serta adanya areal eks-kawasan hutan yang

belum jelas tanggung jawab pengamannya.

Upaya mengatasi ilegal logging telah banyak dilakukan namun belum

berhasil. Secara nasional, Departemen Kehutanan telah melakukam

kerjasama dengan Departemen Perhubungan dan Departemen Perindustrian

dan Perdagangan dalam hubungannya dengan pengangkutan log di wilayah

perairan serta kerjasama dengan Kepolisian Indonesia dan Angkatan Laut,

masing-masing dalam Operasi Wanalaga dan Wanabahari. Hal ini belum

ditindak lanjuti di tingkat daerah karena terbatasnya dana. Di tingkat daerah

operasi pengamanan hutan juga telah dilakukan tetapi juga belum berhasil.

x Kebakaran dan perambahan hutan

Menurut Irawan, Ketua Walhi Jambi, kebakaran hutan di Jambi khususnya di

Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur, sejak satu bulan terakhir

sudah memusnahkan sekitar 40.000 hektar hutan dan lahan. Kebakaran

hutan masih belum dapat dikuasai. Di Sungai Gelam, api terus bergerak ke

perkebunan karet masyarakat dan bahkan mengancam pemukiman

penduduk. Juga dilaporkan bahwa 46 rumah transmigran di Sungai Gelam II

telah telah musnah terbakar (Kompas, 11 September 2004).

Namun Sekretaris Pusat Pengendalian Hutan dan Lahan Provinsi Jambi,

Frans Tandipau, menyatakan bahwa luas lahan yang terbakar hanya 1.150

hektar. Api yang berkobar di Taman Hutan Raya Kumpeh, Kabupaten Muaro

Jambi sudah menyeberang ke Taman Nasional Berbak bagian selatan.

Sedangkan api yang berkobar di Taman Nasional Berbak bagian utara telah

berlangsung selama tiga minggu dan belum berhasil dipadamkan meskipun

upaya pemadaman telah dilakukan selama 2 minggu (Kompas, 11

September, 2004).

Page 36: P3_DASbatanghari_Bab3

Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari

Laporan Akhir III - 36

Kebakaran hutan meningkatkan jumlah penderita infeksi saluran pernafasan

atas (ISPA). Menurut laporan dari beberapa rumah sakit di Jambi, jumlah

penderita ISPA pada 15 Agustus - 9 September 2004 tercatat sebanyak 224

orang. Kebakaran hutan ini terjadi antara lain karena pembakaran hutan dan

lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit (Kompas, 11 September 2004).

Pembakaran hutan dan lahan untuk pembangunan kebun memang murah

namun hal ini bukan satu-satunya alasan utama pembakaran lahan. Alasan

lainnya adalah perambahan hutan dan lahan. Pembangunan kebun rakyat

sudah menjadi bisnis yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Dengan

membangun kebun berarti memperoleh lahan di mana klaim masyarakat atas

lahan lebih mudah didapatkan. Menurut informasi, pembakaran lahan untuk

kebun dilakukan tidak hanya oleh petani yang ingin mempunyai kebun tetapi

juga oleh masyarakat yang bermaksud menjual kebun yang dibangun di atas

lahan tidak bertuan.

x Kerusakan ekosistem DAS

Kerusakan hutan akibat illegal logging, perambahan dan kebakaran hutan

berarti berkurangnya luas penutupan areal bervegetasi (berpohon). Hal ini

menurunkan kemampuan kawasan lindung dan kawasan budidaya hutan

maupun wilayah DAS untuk menampung air hujan yang jatuh di wilayah

tersebut sehingga meningkatkan potensi terjadinya banjir. Selain itu,

rusaknya penutupan lahan juga menyebabkan tanah tidak terlindung dan air

hujan yang jatuh akan langsung menjadi aliran permukaan. Hal ini

menyebabkan aliran permukaan semakin tinggi sehingga pengikisan tanah

juga akan semakin tinggi. Jika hal ini terus terjadi maka lapisan humus akan

hilang dan lahan menjadi kritis.