Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari Laporan Akhir III -1 BAB 3 : FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KETIDAKLESTARIAN EKOSISTEM DAS BATANGHARI 3.1 FAKTOR FISIK DASAR 3.1.1 Faktor Tanah Dan Vegetasi Penutup Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem, yang kondisinya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu tanah (kelerengan tanah dan kepekaan tanah terhadap erosi), vegetasi (khususnya kondisi penutupanya), dan air (terutama curah hujan). Ketiga faktor tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi. Perubahan salah satu faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi faktor yang lain. Dalam kondisi keseimbangan ekosistem, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor tidak akan terjadi, kecuali dalam kondisi ekstrim tertentu, misalnya, peningkatan curah hujan yang jauh di atas rata-rata normal. Dalam kondisi normal, erosi tanah berada pada tingkat yang rendah atau pada tingkat yang normal di mana jumlah tanah yang tererosi kurang lebih adalah sama dengan jumlah pembentukkan tanah yang baru. Curah hujan yang jatuh di wilayah DAS tidak akan menimbulkan banjir karena daya resap lahan terhadap air hujan cukup baik sehingga limpahan air hujan yang masuk ke sungai terkendali. Dalam kondisi keseimbangan ekosistem terganggu, misalnya luas penutupan vegetasi yang rendah, potensi terjadinya bencana alam tersebut cukup besar. Erosi dan banjir mudah terjadi pada wilayah DAS bervegetasi terbatas, dan pada wilayah dengan curah hujan tinggi, serta pada lahan dengan kelerengan tinggi dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi. Sebagai contoh, banjir terjadi karena daya tampung sungai tidak mampu mengalirkan air yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 1
BAB 3 :FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH
TERHADAP KETIDAKLESTARIAN EKOSISTEM DAS BATANGHARI
3.1 FAKTOR FISIK DASAR
3.1.1 Faktor Tanah Dan Vegetasi Penutup Lahan
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem, yang kondisinya
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu tanah (kelerengan tanah dan kepekaan
tanah terhadap erosi), vegetasi (khususnya kondisi penutupanya), dan air
(terutama curah hujan). Ketiga faktor tersebut saling terkait dan saling
mempengaruhi. Perubahan salah satu faktor tersebut akan mempengaruhi
kondisi faktor yang lain.
Dalam kondisi keseimbangan ekosistem, bencana alam seperti banjir dan
tanah longsor tidak akan terjadi, kecuali dalam kondisi ekstrim tertentu,
misalnya, peningkatan curah hujan yang jauh di atas rata-rata normal. Dalam
kondisi normal, erosi tanah berada pada tingkat yang rendah atau pada
tingkat yang normal di mana jumlah tanah yang tererosi kurang lebih adalah
sama dengan jumlah pembentukkan tanah yang baru. Curah hujan yang jatuh
di wilayah DAS tidak akan menimbulkan banjir karena daya resap lahan
terhadap air hujan cukup baik sehingga limpahan air hujan yang masuk ke
sungai terkendali.
Dalam kondisi keseimbangan ekosistem terganggu, misalnya luas penutupan
vegetasi yang rendah, potensi terjadinya bencana alam tersebut cukup besar.
Erosi dan banjir mudah terjadi pada wilayah DAS bervegetasi terbatas, dan
pada wilayah dengan curah hujan tinggi, serta pada lahan dengan kelerengan
tinggi dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi. Sebagai contoh, banjir
terjadi karena daya tampung sungai tidak mampu mengalirkan air yang
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 2
berasal dari daerah hulu dalam waktu yang singkat. Kelebihan aliran air
tersebut disebabkan lahan tidak mempunyai daya resap air yang baik
sehingga tidak mampu menampung air hujan yang jatuh. Akibatnya, volume
air limpasan permukaan (run off) lebih besar dibanding dengan volume air
yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi). Apabila hal ini terjadi secara
bersamaan di setiap Sub-DAS maka volume air yang masuk sungai akan
meningkat dengan cepat, melebihi daya tampung sungai sehingga terjadilah
banjir di sepanjang aliran sungai tersebut.
Terdapatnya lahan kritis merupakan salah satu indikator telah terjadinya
kerusakan lahan pada suatu DAS. Lahan kritis pada umumnya merupakan
lahan bekas atau sedang dikerjakan untuk budidaya pertanian dan non
pertanian dan umumnya terjadi di daerah yang penduduknya relatif padat.
Proses terjadinya lahan kritis sebagian besar dimulai di daerah hulu dengan
penutupan vegetasi yang minim, tanah yang rentan terhadap erosi, tingkat
kemiringan lereng yang relatif curam, dan curah hujan yang tinggi. Menurut
kesesuaian lahannya memang sebenarnya daerah tersebut peruntukannya
sebagai bukan untuk pertanian semusim, tetapi pada umumnya diperuntukan
sebagai kawasan lindung atau lahan usaha yang mempunyai fungsi
konservasi lahan yang baik seperti tanaman pertanian tahunan atau tanaman
keras seperti perkebunan, hutan produksi atau hutan lindung.
Perubahan kawasan lindung menjadi kawasan non hutan terjadi karena makin
meningkatnya permintaan akan lahan budidaya karena pertambahan
penduduk, sehingga persediaan lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian
makin menyempit. Akibat desakan untuk mempertahankan hidup maka
masyarakat sekitar kawasan lindung mencari lahan baru yang dekat dengan
tempat tinggalnya tetapi apabila lahan disekitarnya sudah habis maka mereka
akan mencari tempat yang lain ke daerah konservasi.
Perluasan pembukaan lahan untuk budidaya pertanian di bagian hulu suatu
DAS akan mempercepat perluasan lahan kritis. Kawasan berhutan pada
umumnya mempunyai topografi dengan lereng yang curam dan jenis tanah
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 3
yang rentan terhadap erosi. Apabila diolah untuk lahan pertanian musiman
tanpa menggunakan kaidah konservasi, maka akan terjadi erosi dan daya
resap air kawasan tersebut menurun. Dalam jangka panjang kondisi tersebut
akan menyebabkan terjadinya penipisan solum tanah dan selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas lahan. Disamping itu
dampak negatif lain yang terjadi adalah meningkatnya banjir di daerah hilir
karena daya resap kawasan hulu makin menurun. Kondisi ini telah terjadi di
DAS Batanghari.
Terjadinya lahan kritis ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukannya, illegal logging dan penjarahan
lahan untuk perladangan, lahan pertanian dan perkebunan rakyat (Anonim,
2003).
Ada beberapa faktor fisik yang dapat mempengaruhi terjadinya lahan kritis,
yaitu, tingkat kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi penutupan lahan dan
pengelolaan lahan. Penilaian terhadap faktor yang berperan terhadap
terjadinya lahan kritis tersebut didasarkan pada asumsi yang berkaitan
dengan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap konservasi lahan.
a. Kemiringan Permukaan Lahan
Kondisi kemiringan permukaan lahan DAS Batanghari sebagian besar
(58,01%) termasuk kemiringan lereng permukaan lahan kelas datar sampai
landai (0-15%), dan agak curam sampai sangat curam (>15%) yang
mencapai 41,99% luas DAS. Walaupun demikian, sebagian besar lerengnya
landai, jenis tanah dan kondisi tutupan lahan serta cara pengelolaan lahan
akan sangat mempengaruhi terjadinya lahan kritis di DAS Batanghari.
b. Kepekaan Tanah terhadap Erosi
Kondisi kepekaan lahan terhadap erosi selain dipengaruhi oleh jenis tanah,
kemiringan lahan dan tutupan lahan. Di wilayah DAS Batanghari klasifikasi
lahan dengan tingkat kepekaan terhadap erosi sedang sampai sangat peka
mencapai 53,52%. Hal ini harus diwaspadai, terutama pada musim hujan,
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 4
karena tidak hanya akan menyebabkan lahan menjadi kurang subur, tetapi
juga dapat mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor.
c. Tutupan Permukaan Lahan
Kondisi penutupan permukaan lahan DAS Batanghari relatif baik. Hal ini
karena wilayah yang prosentase penutupan lahannya termasuk klasifikasi
baik sampai sangat baik masih seluas ± 58,94%. Penutupan lahan tersebut
terdiri dari lahan berhutan dengan kondisi sangat baik dan lahan belukar
dengan kondisi baik. Sedangkan jenis penggunaan lahan yang klasifikasi
penutupan lahannya sedang sampai sangat buruk seluas ± 41,06% terdiri dari
semak (kondisi sedang), lahan kering, permukiman, sawah dan tanah terbuka.
Kondisi tersebut belum menjadi faktor penyebab kerusakan DAS Batanghari.
Akan tetapi hal ini harus tetap diwaspadai karena lahan semak belukar
sebesar ± 57,32% dari luas DAS cenderung beralih fungsi menjadi budidaya
pertanian atau non pertanian. Pada Tabel 3.1 menunjukkan faktor tanah dan
vegetasi penutup lahan di DAS Batanghari.
Tabel 3.1Faktor Tanah dan Vegetasi PenutupLahan Di DAS Batanghari
Tutupan Lahan Kemiringan Lahan Kepekaan LahanTerhadap Erosi
Luas (%) KlasifikasiLuas(%)
KlasifikasiLuas(%)
Klasifikasi
35.65 Sangat Baik 47.07 Datar 12,67 Tidak Peka
23.29 Baik 1 0.94 Landai 33,81 Agak Peka
34.03 Sedang 8.51 Agak Curam 34,09 Sedang
6,83 Buruk 3.14 Curam 8,79 Peka
0.20 Sangat Buruk 30.35 Sangat Curam 10,64 Sangat Peka
Sumber : Peta tanah sekala 1 : 1000.000 , LPT, Bogor 1965. dan Dep Kimpraswil 2003Tabel 2.23 ; 2.26; dan 2.2 7;
d. Faktor Pengelolaan Lahan
Pengelolaan lahan yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem teknologi dan/perencanaan yang bertujuan untuk mengintegrasikan
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 5
faktor sosial, ekonomi dan politik dengan ekologi dalam pengelolaan lahan
pertanian.
Pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan prinsip konservasi akan
menyebabkan tanah mudah tererosi, dan selanjutnya akan berpengaruh
terhadap terjadinya lahan kritis. Contohnya di Kabupaten Solok dan Kerinci
banyak dijumpai pengelolaan lahan budidaya tanaman semusim yang tidak
menggunakan sistem terassering (sejajar garis kontur) tetapi tegak lurus garis
kontur. Contoh lain dari pengelolaan lahan yang buruk adalah tanah dibiarkan
terbuka, tidak ada drainase atau diterlantarkan.
Dibagian hulu DAS Batanghari banyak dijumpai lahan-lahan kritis seperti di
bukit-bukit yang berada sekitar Kecamatan Hiliran Gumanti (Kabupaten Solok
Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Kerinci, Kabupaten Sarolangun dan
Kabupaten Merangin (Provinsi Jambi). Berdasarkan data BP DAS
Batanghari tahun 2002, lahan kritis di Provinsi Jambi mencapai 581.539 Ha,
tersebar di Kabupaten Kerinci 62.959 Ha, Kabupaten Merangin 160.840 Ha,
Kabupaten Sarolangun 169.846 Ha, Kabupaten Bungo 112.895 Ha,
Kabupaten Tebo 36.304 Ha, Kabupaten Batanghari 9.553 Ha, Kabupaten
Muaro Jambi 6.833 Ha, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur 16.657Ha
(Nusantara, 17 Desember 2003). Sementara di Provinsi Sumatera Barat,
lahan kritis di Kabupaten SoloK (termasuk Solok Selatan) seluas 19.481,55
Ha dan di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung 1.827,46 5Ha (RTRW Provinsi
Sumatera Barat 2002-2017, diolah).
3.1.2 Faktor Hidrologi
Banjir merupakan masalah utama di DAS Batanghari yang dalam tiga tahun
terakhir ini cenderung mengalami peningkatan. Banjir merupakan kejadian
alam yang secara relatif dapat diprediksi sebelumnya. Faktor utama penyebab
banjir secara umum dapat dibedakan menjadi dua, faktor fisik (kondisi alam)
dan faktor manusia. Lebih lanjut faktor manusia dapat dibedakan menjadi tiga;
yaitu faktor kebijakan, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya. Faktor
kebijakan dapat dibedakan menjadi dua, faktor kesalahan kebijakan dan
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 6
faktor kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan. Faktor kesalahan dalam
pelaksanaan kebijakan ini umumnya berakibat ttimbulnya konflik kepentingan
baik antar wilayah maupun antar sektor. Prediksi faktor-faktor penyebab banjir
di DAS Batanghri seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1Skema Prediksi Faktor-Faktor Penyebab Banjir Wilayah Das Batanghari
Kondisi alam atau faktor fisik penyebab banjir di wilayah DAS Batanghari
secara umum dikarenakan oleh volume curah hujan yang tinggi terutama di
daerah hulu DAS, selain ketidaksiapan infrastruktur terutama di daerah
tengah dan hilir. Terakumulasinya air hujan yang mengakibatkan banjir pada
setiap wilayah DAS Batanghari ini berbeda penyebabnya. Dari kajian hidrologi
secara umum penyebab banjir wilayah DAS Batanghari dapat diuraikan
seperti berikut. :
a. DAS Batanghari Hulu
Catatan :: faktor dominan penyebab banjir pada wilayah DASBatanghari
KEJADIAN ALAM
BANJIR
MANUSIA
CURAH HUJAN TINGGI
KESALAHAN PELAKSANAAN
KEBIJAKAN
KONDISI TOPOGRAFI
ANTAR WILAYAH
KONFLIK KEPENTINGAN
ANTAR SEKTOR
KESALAHAN KEBIJAKAN
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 7
Terjadinya akumilasi air hujan di DAS Batanghari hulu sebagai penyebab
banjir disebabkan oleh : a) volume curah hujan yang relatif tinggi didaerah
pegunungan, dan b) waktu konsentrasi ke puncak (tc) dan waktu penurunan
(tl) air hujan yang relatif cepat akibat berkurangnya penutupan lahan pada
wilayah ini.
Faktor fisik utama penyebab banjir pada DAS Batanghari hulu adalah curah
hujan tinggi seperti diuraikan diatas. Konsentrasi hujan yang tinggi pada DAS
Batanghari Hulu ditunjukkan dengan rata-rata curah hujan bulanan yang relatif
kontinyu diatas 300 mm. Dari pencatatan Stasiun Lubuk Gadang dan Muara
Labuh curah hujan bulanan tinggi terjadi pada bulan Nopember tahun 1994
mencapai 1.032 mm dan 1026 mm. Sampai dengan pencatatan tahun 2002
curah hujan ini belum pernah berulang, tetapi dapat dipastikan akan berulang.
Curah hujan bulanan yang diperkirakan kontinyu berulang lima tahunan
sebesar r 736 mm. Curah hujan bulanan yang diperkirakan kontinyu
berulang tiga tahunan sebesar r 620 mm. Curah hujan bulanan yang
diperkirakan kontinyu berulang satu tahunan sebesar r 350 mm.
Faktor tutupan lahan di DAS Batanghari hulu juga turut andil terjadinya banjir
yang terjadi selama. Kerusakan sistem tata air DAS Batanghari ditunjukkan
oleh nilai Koefisien Rezim Sungai (KRS) r 274 yang mengindikasikan buruk,
dan nilai coefisisen varian (CV) r 29 yang mengindikasikan kondisi buruk.
Selain itu juga dipicu oleh kenyataan dilapangan yang menunjukkan sebagian
besar tutupan lahan di wilayah DAS Batanghari hulu kondisinya sudah rusak.
b. DAS Batanghari Tengah
Di wilayah DAS Batanghari tengah terakumulasinya air hujan penyebab banjir
diduga berkaitan dengan ketidaksiapan dan/atau keterbatasan daya tampung
sungai maupun saluran-saluran yang ada. Dari pencatatan curah hujan tahun
1993 - 2002, curah hujan yang selama ini terjadi di wilayah DAS Batanghari
tengah relatif stabil yaitu sebesar r 252 mm/bulan. Dari pencatatan di
Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun curah hujan bulanan yang
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 8
tinggi terjadi pada bulan Mei dan April tahun 2002. Kondisi ini
mengindikasikan banjir yang selama ini terjadi di wilayah DAS Batanghari
tengah dipengaruhi oleh kiriman air dari hulu. Dari pencatatan di Stasiun
Tanggo Rajo Kota Jambi, menunjukkan bahwa dengan debit sungai harian
maksimum mencapai 12.190 m3/dt pada tanggal 17 Desember 2003.
Mengkaji dari kondisi debit sungai pada DAS Batanghari Tengah yang relatif
selalu tinggi, diduga banjir yang selama ini terjadi disebabkan kemampuan
daya tampung saluran seperti sungai dan jaringan drainase lainnya yang
relatif rendah.
c. DAS Batanghari Hilir
Terakimulasinya air hujan di wilayah DAS Batanghari hilir terutama
disebabkan oleh ketidaksiapan dan/atau keterbatasan infrastruktur dalam
pengatusan. Karakteristik wilayah DAS Batanghari hilir banyak dipengaruhi
oleh kondisi daerah hulu dan muara sungai. Banjir yang selama ini terjadi di
wilayah DAS Batanghari hilir diduga berkaitan dengan terjadinya
pendangkalan alur sungai, dan masuknya air laut (back water) akibat dari air
pasang.
Kondisi tutupan lahan di wilayah DAS Batanghari hulu yang kurang baik
(rusak) mengakibatkan air hujan yang jatuh di wilayah tersebut saat turun ke
hilir sekaligus membawa seluruh materi yang ada di wilayah tersebut,
ditambah dengan materi yang terbuang di sepanjang aliran DAS Batanghari
tengah. Seluruh materi yang ada ikut terbawa saat air mengalir dari hulu ke
hilir. Apabila tidak memungkinkan air tersebut langsung masuk ke laut, maka
seluruh materi yang terbawa akan diendapkan di wilayah hilir. Kondisi ini
diperkirakan akan menyebabkan saluran di wilayah DAS Batanghari hilir
tersumbat, dan menyebabkan pendangkalan muara, yang selanjutnya akan
menyebabkan air laut pasang yang masuk ke sungai (back water) di wilayah
hilir dan akan sulit untuk mengalir kembali ke laut saat air laut surut.
Pada Gambar 3.2 ditunjukkan skema perjalanan air hujan dari hulu ke hilir di
wilayah DAS Batanghari.
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 9
Gambar 3.2Skema Perjalanan Air Hujan Pada Das Batanghari
tc tinggi /tl tinggi time lag rendah time lag rendah
HULU TENGAH HILIR LAUT� CH tinggi � KRS tinggi � RUN OFF
Tinggi� CV tinggi
REBOISASI PENAMPUNGAN SUDETAN PENGERUKAN
3.1.3 Faktor Prasarana dan Sarana Wilayah
Meningkatnya permasalahan banjir di Provinsi Jambi dan daerah-daerah lain
di Pulau Sumatera ataupun wilayah lain di Indonesia merupakan salah satu
dampak negatif dari kebijakan pembangunan infrastruktur yang sampai saat
ini masih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan
aspek kelestarian lingkungan (pembangunan berpola business as usual). Hal
ini akan menghasilkan ketidakserasian (uncompatibility) dan ketidakselarasan
(unharmony) antar aspek terkait termasuk sumber daya air dan manusia di
dalamnya. Hal ini merupakan gambaran masih kurang diperhatikannya
rencana tata ruang wilayah sebagai acuan pelaksanaan pembangunan.
Penataan ruang dalam rangka pembudidayaan/pemanfaatan secara optimal
di dataran banjir, belum memasukkan sumber daya air sebagai faktor
x Hujan kiriman dr hulu
x Daya tampung salu ran(sungai, dll) rendah
x Pendangkalan saluran
x Air laut pasang
x Pendangkalan Muara
x Air laut surut
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 10
pembatas sehingga kurang mengantisipasi adanya resiko banjir. Permasalah
banjir semakin meningkat sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya lahan
dataran banjir menjadi kawasan budidaya, baik budidaya konvensional seperti
pertanian, permukiman dan lain-lain maupun nonkonvensional seperti
ekonomi, perdagangan maupun industri. Hal ini ditandai dengan
perkembangan permukiman yang pesat dengan kesesuaian lahan yang
terbatas.
Pembangunan yang selama ini dilaksanakan lebih mengutamakan
pencapaian target fisik, termasuk pembangunan prasarana dan sarana fisik
pengendali banjir dan sistem drainase dibandingkan dengan aspek
pembinaan dan pengaturan yang merupakan tugas umum pemerintahan.
Upaya untuk mengatasi permasalahan banjir sampai kini masih
mengandalkan upaya konvensional/tradisonal yang berupa rekayasa struktur
di sungai (in stream) seperti pembangunan chek dam, tanggul dan lain-lain,
yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan, bersifat represif/spot dan
kurang menyentuh akar permasalahannya. Hal ini disebabkan oleh masih
lemahnya Reserch and Development dan Sumber Daya Manusia (SDM)
terkait dengan pemahaman terhadap permasalahan banjir dan
pengembangan Sumber Daya Air (SDA) secara keseluruhan.
Faktor prasarana dan sarana wilayah yang terkait dengan banjir dan longsor,
adalah sebagai berikut :
1. Curah hujan yang tinggi, serta curah hujan yang muncul berdasarkan
siklus berbeda, akan dapat menimbulkan banjir karena rencana semua
prasarana drainase yang tidak dibangun untuk menampung semua curah
hujan dari semua siklus.
2. Kurangnya chek dam dan embung-embung/bangunan penampung air
yang dibangun untuk mengantisipasi peralihan pemanfaatan ruang yang
walaupun terkendali diperkirakan akan menambah volume air limpasan
permukaan.
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 11
3. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemanfaatan bantaran
sungai secara liar di daerah terutamanya di perkotaan, yang dapat
mengakibatkan kapasitas pengaliran sungai menjadi berkurang dan
sekaligus menambah resiko bencana banjir bagi penduduk yang
memanfaatkan bantaran sungai.
4. Kurangnya kapasitas pengaliran sungai di bagian hilir karena terjadi
pengendapan pada alur sungai akibat erosi daerah hulu dan sampah
perkotaan sehingga terjadi penyempitan alur sungai dan pembentukan
delta di muara sungai.
5. Kondisi drainase perkotaan yang kurang baik atau tidak berfungsi
optimal akibat daerah tangkapan air (retarding basin) yang dirubah
peruntukkannya untuk bangunan gedung atau fasilitas umum dan
ekonomi sehingga saluran pembuangan terhambat.
6. Dalam rencana pembangunan infrastruktur perlu memperhatikan
dampak dari struktur geologi seperti struktur sesar yang umumnya
berarah barat laut-tenggara dan sesar utama yang melalui daerah ini
ialah sesar Sumatera yang memanjang sepanjang Pulau Sumatera,
sehingga perlu dipertimbangkan terhadap pembangunan jalan, bendung,
dan bangunan lainnya.
3.1.4 Faktor Pemanfaatan Ruang
a. Perubahan Kebijakan Pembangunan Spasial Sebagai Dampak dari
Otonomi Daerah
Pemekaran wilayah kabupaten telah dilaksanakan di Provinsi Jambi dan
Sumatera Barat. Provinsi Jambi sesuai UU No 54/1999, telah dilakukan
pemekaran wilayah dari 5 kabupaten dan 1 kotamadya menjadi 9 kabupaten
dan 1 kota. Pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang
masuk dalam DAS Batanghari diatur melalui UU No 38/2003, antara lain
Kabupaten Solok dimekarkan menjadi Kabupaten Solok dan Solok Selatan,
serta Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung menjadi Kabupaten Sawahlunto
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 12
/Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya. Hal tersebut berdampak terjadinya
perubahan struktur ruang wilayah yang disebabkan oleh :
x Naiknya hirarki beberapa kota di wilayah DAS Batanghari, seperti kota
kecamatan yang berubah fungsi menjadi kota kabupaten.
x Berubahnya batas wilayah pada kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.
Lebih lanjut, hal tersebut akan berdampak pada perlunya dilakukan revisi
RTRW baik provinsi maupun kabupaten atau pembuatan RTRW baru bagi
kabupaten hasil pemekaran. Proses pembuatan RTRW membutuhkan waktu
yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Proses revisi RTRW dan pembuatan
RTRW baru yang membutuhkan waktu ini, akan membuka peluang terjadinya
perubahan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali selama proses
penyusunan RTRW. Contohnya adalah makin maraknya pembangunan
fasilitas sosial ekonomi di sepanjang sempadan Sungai Batanghari, terutama
di perkotaan (salah satunya adalah didirikannya pusat kegiatan perdagangan
ditepi sungai Batanghari di Kota Jambi)
b. Ketidak Optimalan Pemanfaatan Ruang
Kebijakan pemberian hak pengelolaan lahan pada perusahaan swasta besar
baik berupa HTI maupun HGU tidak diimbangi dengan monitoring dan
evaluasi keberadaannya. Tidak sedikit lahan yang sudah diberi hak/ijin
pengusahaan banyak yang dibiarkan/ditelantarkan. Menurut KKI Warsi
(2003) lahan seluas 14.228 Ha di Desa Pakuaji Kecamatan Batin XXIV dan
Desa Sungairuan serta Desa Sungailingkar Kecamatan Maro Sebo Ulu
ditelantarkan begitu perusahaan mendapatkan ijin pemanfaatan lahan.
Ketidak optimalan pemanfaatan ruang ini telah memicu konflik di masyarakat,
dan menghalangi masyarakat untuk memanfaatkannya secara ekonomis
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Masih banyaknya lahan-lahan terlantar yang dapat dioptimalkan
pemanfaatannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga
perambahan hutan untuk membuka lahan baru atau pembalakan hutan
secara liar (illegal logging) dapat dihindari. Dari data tutupan lahan eksisting
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 13
(2002) terlihat luas lahan semak belukar dan lahan terbuka sebesar 57,32%
dari luas DAS Batanghari. Selanjutnya perubahan tutupan lahan tahun 1997-
Sumber: StatistikPotensi Desa Provinsi Jambi dan Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Barat 2003 (diolah).
Keterangan : A = Lahan pertanian bukan sawah; B = sawah; C = perumahan; D = industri;E = Lahan non pertanian lain (fasilitas sosial ekonomi, perkantoran, jalan, saluran dll)Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya
Dari tabel tersebut pemanfaatan lahan hutan cenderung berubah menjadi
pemanfaatan lahan non hutan, seperti ladang, kebun, perkebunan (70,63%).
Hal ini terutama terjadi di bagian hulu DAS Batanghari seperti Kabupaten
Kerinci, Merangin, Sarolangun, Solok, Sawahlunto/Sijunjung. Demikian pula
beberapa Kabupaten yang merupakan bagian hulu dan tengah DAS
Batanghari seperti Kabupaten Tebo, dan Batanghari. Sedangkan di bagian
hilir DAS Batanghari, hutan cenderung berubah menjadi menjadi lahan non
pertanian (perumahan dan fasilitas penunjangnya), seperti terlihat di
Kabupaten Muaro Jambi (76%), dan kota Jambi (94,50%). Di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur yang merupakan hilir DAS Batanghari, hutan
cenderung berubah menjadi sawah (81,86%).
Selain hutan, ladang pun cenderung berubah menjadi lahan non pertanian
Selanjutnya perubahan lahan ladang menjadi pemanfaatan lain dapat dilihat
pada tabel 3.4
Tabel 3.4Prosentase Perubahan Lahan Ladang di DAS Batanghari
Ladang Berubah Menjadi
JumlahNo Kabupaten B
%C%
D%
E% Ha %
1 TJ Jabung Timur 27,99 53,93 0,87 17,21 4.573 48,96
2 Muaro Jambi 40,33 51,30 5,08 3,29 334,7 3,58
3 Batanghari 14,39 69,78 1,44 14,39 69,5 0,74
4 Kota Jambi 0 100 0 0 212 2,27
5 Tebo 0 81,93 0 18,07 177,1 1,90
6 Bungo 1,64 15,11 2,00 81,25 1.250,4 13,39
7 Sarolangun 7,46 2,51 0 90,02 1.233 13,20
8 Merangin 31,24 57,78 0,54 10,45 933,1 9,99
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Sumber: Sumber: Statistik Potensi Desa Provinsi Jambi dan Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Barat 2003 (diolah).Keterangan : A = Lahan pertanian bukan sawah; B = sawah; C = perumahan; D = industri;E = Lahan non pertanian lain (fasilitas sosial ekonomi, perkantoran, jalan, saluran dll)Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya
Pada tabel tersebut terlihat ladang cenderung berubah menjadi perumahan
(44%) dan kegiatan non pertanian lainnya, yaitu pembangunan sarana dan
prasarana serta fasilitas sosial ekonomi (34,02%), serta berubah menjadi
sawah (20,77%). Perubahan ladang menjadi perumahan juga terjadi secara
intensif di Kabupaten Kerinci, Merangin, Solok, dan Sawahlunto/Sijunjung
yang merupakan bagian hulu DAS Batanghari. Hal ini tentunya membawa
dampak terhadap luas kepemilikan lahan pertanian, yang merupakan
tumpuan terbesar sumber nafkah penduduk. Tekanan penduduk terhadap
lahan diperkirakan akan semakin besar sejalan dengan laju pertumbuhan
penduduk.
Selain ladang, lahan sawah sebagai tempat penghasil tanaman pangan,
cenderung berubah menjadi lahan kebun dan perkebunan. Hal ini selanjutnya
dapat dilihat pada Tabel 3.5
Tabel 3.5Prosentase Perubahan Lahan Sawah di Das Batanghari
A. Sawah Berubah Menjadi
No Kabupaten A (%)
C(%)
D (%)
E (%)
Jumlah (Ha)
%
1 Tanjung Jabung 78,69 19,09 0,76 1,46 15.800,0 68,10
2 Muaro Jambi 85,06 14,45 0 0,49 1.225,0 5,28
3 Kota Jambi 99,16 0,20 0,40 0,24 1.244,5 5,36
4 Batanghari 83,55 10,53 3,95 1,97 76,0 0,33
5 Tebo 80,20 19,11 0 0,69 728,0 3,14
6 Bungo 55,60 1,29 0 43,10 232,0 1,00
7 Merangin 76,99 22,82 0 0,19 1.067,0 4,60
8 Sarolangun 64,71 20,87 0,31 14,10 549,5 2,37
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 20
9 Kerinci 14,93 7,66 30,43 46,98 2.045,6 8,82
10 Solok Selatan 40,45 41,73 0 17,82 232,9 1,00
Rata-Rata 73,54 17,06 3,24 6,16 23.201,3 100,0
Sumber: Sumber: StatistikPotensi Desa Provinsi Jambi dan Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Barat 2003 (diolah).Keterangan : A = Lahan pertanian bukan sawah; B = sawah; C = perumahan; D = industri;E = Lahan non pertanian lain (fasilitas sosial ekonomi, perkantoran, jalan, saluran dll)Solok digabung Solok Selatan, Sawahlunto/Sijunjung digabung Dharmasraya
Dari tabel tersebut terlihat, lahan sawah cenderung berubah menjadi lahan
pertanian lain seperti ladang, kebun dan perkebunan (73,54%). Hal ini terjadi
terutama di bagian hilir DAS Batanghari, seperti di Kabupaten Muaro Jambi
(85,06%), Tanjung Jabung Timur (78,69%), serta di bagian tengah DAS
Batanghari seperti Kabupaten Bungo (80,20%), Tebo (83,55%) dan
Batanghari (99,16%). Perubahan ini diduga berkaitan dengan makin
bergairahnya masyarakat bertanam komoditi kelapa sawit. Di Bagian hulu
DAS Batanghari juga terjadi perubahan lahan sawah Perubahan menjadi
ladang, kebun dan perkebunan (55-77%) seperti di Kabupaten Kerinci,
Merangin, Sarolangun, Sawahlunto/Sijunjung. Perubahan sawah menjadi
daerah non pertanian, yaitu perumahan (20-41%) seperti Kabupaten Kerinci-
Sarolangun, Sawahlunto/Sijunjung. Perubahan sawah menjadi sarana
/prasarana serta fasilitas sosial ekonomi (43-46%) seperti di Kabupaten
Sarolangun, dan Solok.
Adanya perubahan pemanfaatan lahan dari hutan menjadi bukan hutan, serta
dari ladang dan sawah menjadi pemanfaatan non pertanian, menunjukkan
tekanan penduduk terhadap lahan di DAS Batanghari relatif kuat, terutama di
bagian hulu. Kondisi tersebut diperkirakan membawa dampak terhadap
kemampuan daerah hulu dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS
Batanghari. Selain tekanan penduduk, perubahan ini juga disebabkan belum
padunya kelembagaan pengelolaan DAS Batanghari yang memungkinkan
masyarakat leluasa merambah hutan.
3.3 FAKTOR KELEMBAGAAN
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 21
Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan kelembagaan
dalam pengelolaan DAS Batanghari adalah kelembagaan pemerintah lebih
dominan. Dominasi tersebut memberikan indikasi bahwa strategi yang
diterapkan selama ini masih bersifat pendekatan dari “atas” (top down
approach). Dengan strategi demikian sangat diragukan pelembagaan
tercapai.
Hasil pengumpulan data dan informasi di lapangan menunjukkan belum
terpadunya kegiatan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan (stake
holder) yang terkait dengan pengelolaan DAS Batanghari. Kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
ditafsirkan dan dilaksanakan secara berbeda, terutama oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
3.3.1 Koordinasi Antar Wilayah
Wilayah DAS Batanghari mencakup 3 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jambi
(80%), Provinsi Sumatera Barat (19%) dan Provinsi Riau (1%). Dengan
adanya UU No 22/1999 tentang otonomi daerah, maka secara tata ruang
koordinasi kewenangan pengaturan ruangnya berada di tiga wilayah provinsi
tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan implikasi terhadap pengelolaan
pemanfaatan ruang DAS Batanghari. DAS Batanghari bagian hulu berada di
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi, sedangkan DAS
Batanghari bagian hilir seluruhnya berada di Provinsi Jambi. untuk menjaga
kelestarian ekosistem DAS bagian hulu akan dibutuhkan keterpaduan dan
kerjasama dalam mengelola tata ruang di ketiga provinsi, khususnya di
Kabupaten-kabupaten yang mengalami kerusakan lingkungan hidup. Untuk
itu diperlukan koordinasi antar sektor dan antar wilayah.
Selain persoalan koordinasi antar wilayah dalam penanganan masalah
kerusakan ekosistem DAS Batanghari, koordinasi antar sektor yang belum
berjalan dengan baik telah memberi andil terhadap ketidaklestarian ekosistem
DAS Batanghari. Belum baiknya koordinasi antar sektor telah mengakibatkan
terjadinya ketidak tegasan pemanfaatan ruang. Hal ini terlihat antara lain pada
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 22
ketidaktegasan antara pemanfaatan kawasan lindung dengan budidaya.
Berdasarkan kriteria menurut Keppres No. 32/1990 suatu kawasan
seharusnya merupakan kawasan lindung, tetapi dalam rencana tata ruang
provinsi dan hasil padu serasi tidak dimasukkan sebagai kawasan lindung.
Contohnya Bupati Sarolangun telah meminta Departemen Kehutanan
menetapkan ± 56.000 Ha sebagai hutan lindung karena lerengnya > 50 0.
Selain masalah koordinasi antar sektor antar wilayah, diperlukan pula
koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Persoalan koordinasi
antara pemerintah dengan masyarakat, muncul dalam bentuk penentuan
batas wilayah di lapangan. Contohnya adalah masalah batas desa yang
belum jelas, kadangkala di lapangan klaim batas desa oleh masyarakat yang
didasarkan pada batas alam (seperti sungai) tidak selalu sesuai dengan batas
administrasi desa yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang
dipakai BPN. Hal ini menimbulkan konflik dalam pengambilan sumberdaya
hutan dan pembukaan ladang, serta memperparah terjadinya perambahan
hutan yang berada di daerah perbatasan dengan hutan lindung.
Kelemahan kelembagaan pengelolaan DAS dapat pula dilihat dari kelemahan
pengelolaan lahan negara dan pengelolaan lahan masyarakat yang ada di
DAS Batanghari. Pengelolaan lahan masyarakat telah dijelaskan pada sub
bab sebelumnya.
Uraian berikut hanya menjelaskan pengelolaan lahan negara di kawasan
lindung dan kawasan budidaya hutan dan Kebun (perusahaan perkebunan
yang mengelola HGU lahan perkebunan). Di kawasan ini, Pemerintah
merupakan pemangku kepentingan utama yang melaksanakan kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Lemahnya kelembagaan yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem DAS
Batanghari difokuskan pada pelaksanaan 3 Undang-Undang dan 6 kebijakan
kehutanan.
3.3.2 Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya Hutan
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang di DAS Batanghari
Laporan Akhir III - 23
Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk
menjamin kelestarian ekosistem DAS dan menghasilkan barang yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di DAS. Secara umum, hasil hutan
dapat dibedakan menjadi: (1) hasil hutan yang berupa barang seperti kayu,