OTONOMI DAERAH DAN EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DI BALI Oleh: Wayan Gede Suacana Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and a freedom misinterpreted, the result is anarchy. (Mahathir Mohamad, “Achieving True Globalization, 2004). Pendahuluan Pelaksanaan otonomi daerah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka pengakuan dan penguatan integrasi nasional, disamping perkembangan paradigma pemerintahan saat sekarang yang mulai menuju pada prinsip Clean Government dan Good Governance. Prinsip pertama menginginkan agar struktur pemerintahan menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang berasal dari rakyat, serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power and authority). Sedangkan prinsip kedua, menghendaki adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial. Disamping itu, pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasar: service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat dan setepat mungkin serta melaksanakan demokrasi di/ dari bawah (grassroot democracy). Kedua prinsip tersebut hendak meletakkan pemerintah tidak lagi sebagai inisiator aktivitas pada tataran masyarakat, namun sebagai organisator aktivitas yang muncul dari masyarakat. Beberapa butir pengembangan secara implisit tampak dalam penekanan implementasi otonomi daerah yang dianut dalam UU 32/ 2004, seperti: demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keragaman daerah. Otonomi Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32/ 2004 sangat diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini selain karena tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis, tetapi juga ikut mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kedudukan dan kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan pelayanan umum serta meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah yang berkelanjutan. Dalam mewujudkan amanat tersebut diatas berbagai persoalan dan kendala masih banyak dijumpai. Diantaranya, adalah masih banyak aparat pemerintah daerah sebagai implementator kebijakan tersebut, maupun masyarakat umum yang belum memahami makna otonomi daerah yang diperluas ini. Sebagai akibatnya, masih terjadinya kebingung aparat di daerah dalam mengatur wilayah dan sumber-sumber pendapatannya, munculnya konflik-konflik kepentingan antar daerah, ketiadaan melakukan “diskresi”, karena harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, dan sebagainya. Segala persoalan dan kendala tersebut praktis akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah. Dalam pada itu, semangat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan juga hasil amandemen UUD 1945 pasal 18 b ayat (2) dengan tegas telah memberikan peluang untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali otonomi asli dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Dengan begitu, sangat memungkinkan bagi Bali—tentu, setelah melalui kajian mendalam, untuk menonjolkan atau mengangkat keberadaan desa pakraman menjadi desa seperti yang dimaksudkan oleh UU no. 32 tahun 2004. Hal ini didukung oleh sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa saat sekarang,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
OTONOMI DAERAH DANEKSISTENSI DESA PAKRAMAN
DI BALIOleh: Wayan Gede Suacana
Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and a freedom misinterpreted, the result is anarchy.(Mahathir Mohamad, “Achieving True Globalization, 2004).
Pendahuluan
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka pengakuan dan
penguatan integrasi nasional, disamping perkembangan paradigma pemerintahan saat sekarang yang mulai
menuju pada prinsip Clean Government dan Good Governance. Prinsip pertama menginginkan agar struktur
pemerintahan menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang berasal dari rakyat, serta menghindari terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power and authority). Sedangkan prinsip kedua,
menghendaki adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya
keadilan sosial. Disamping itu, pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasar:
service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat
dan setepat mungkin serta melaksanakan demokrasi di/ dari bawah (grassroot democracy).
Kedua prinsip tersebut hendak meletakkan pemerintah tidak lagi sebagai inisiator aktivitas pada tataran
masyarakat, namun sebagai organisator aktivitas yang muncul dari masyarakat. Beberapa butir pengembangan
secara implisit tampak dalam penekanan implementasi otonomi daerah yang dianut dalam UU 32/ 2004, seperti:
demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keragaman daerah.
Otonomi Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32/ 2004 sangat diharapkan dapat memberikan
manfaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini selain karena tujuan
utamanya adalah untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis, tetapi juga ikut mendorong upaya
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kedudukan dan kemampuan pemerintah daerah,
meningkatkan pelayanan umum serta meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah yang
berkelanjutan.
Dalam mewujudkan amanat tersebut diatas berbagai persoalan dan kendala masih banyak dijumpai.
Diantaranya, adalah masih banyak aparat pemerintah daerah sebagai implementator kebijakan tersebut,
maupun masyarakat umum yang belum memahami makna otonomi daerah yang diperluas ini. Sebagai
akibatnya, masih terjadinya kebingung aparat di daerah dalam mengatur wilayah dan sumber-sumber
pendapatannya, munculnya konflik-konflik kepentingan antar daerah, ketiadaan melakukan “diskresi”, karena
harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, dan sebagainya. Segala
persoalan dan kendala tersebut praktis akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah.
Dalam pada itu, semangat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan juga hasil amandemen UUD
1945 pasal 18 b ayat (2) dengan tegas telah memberikan peluang untuk membangkitkan atau menghidupkan
kembali otonomi asli dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Dengan begitu, sangat
memungkinkan bagi Bali—tentu, setelah melalui kajian mendalam, untuk menonjolkan atau mengangkat
keberadaan desa pakraman menjadi desa seperti yang dimaksudkan oleh UU no. 32 tahun 2004. Hal ini
didukung oleh sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa saat sekarang, yang ternyata sangat
menekankan aspek politis terbukti dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam rangka menjamin
pelaksanaan demokrasi di/ dari bawah (grassroot democracy). Tetapi, apakah tataran konseptual ini sudah
didukung oleh kondisi riil dalam tataran praksis ?
Kondisi Riil Otonomi Daerah Pasca UU 32/2004
Implementasi otonomi daerah sebagai konsekuensi pemberlakukan UU 32/ 2004 tidak terlepas dari azas
desentralisasi yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintah daerah. Sejak awal 1980-an beberapa
pakar desentralisasi dan administrasi pembangunan, seperti Diana Conyers, Dennis Rondinelli dan G. Shabbir
Cheema, telah memelopori pembahasan desentralisasi di negara-negara berkembang. Bank Dunia juga sangat
mendorong negara-negara penerima donor untuk melaksanakan desentralisasi. Konsekuensinya, hampir semua
negara sedang berkembang menyatakan diri melaksanakan paham desentralisasi, walaupun dalam prakteknya
tidak atau belum bisa dikategorisasikan sebagai desentralisasi.
Desentralisasi sering dimaknai sebagai prinsip pembelahan wilayah negara menjadi wilayah-wilayah yang lebih
kecil, dan wilayah-wilayah itu dibentuk institusi administrasi untuk melayani kebutuhan orang atau masyarakat
disatu tempat. Hal ini penting dilakukan sebab pada dasarnya pemerintah melaksanakan tiga fungsi dasar:
service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat
dan setepat mungkin. Untuk dapat mewujudkan desentralisasi, setidaknya diperlukan: resources, structures,
technology, support dan leadership, serta tiga kondisi berikut:
1. Pengakuan terhadap pluralisme masyarakat, yang tercermin dari kerelaan atau keikhlasan pemerintah
nasional menyerahkan wewenang pemerintahan;
2. Membuka kesempatan masyarakat di daerah untuk mengatur diri sendiri melalui local self-government,
sebab fokus aktivitas pemerintahan adalah untuk mensejahterakan rakyat;
3. Pengetrapan model pembangunan sesuai dengan kekhasan daerah.
Pulau Bali sebagai salah satu daerah pengemban amanat otonomi daerah tentu saja secara relatif juga
membutuhkan ketiga kondisi seperti tersebut diatas agar implementasi otonomi daerah dapat terlaksana dengan
baik. Pasca dua kali peledakan bom di Kuta dan Jimbaran beberapa tahun lalu hendaknya tidak menjadikan
“semangat” pemerintah dan masyarakat untuk membangun daerahnya juga sirna. Sebaliknya, segenap
komponen pemerintah dan masyarakat Bali harus segera bangkit, atau setidaknya mampu menumbuhkan
kesadaran bersama (collective conciousness) bahwa otonomi mestinya segera dilaksanakan secara proaktif dan
penuh inisiatif untuk bisa segera membangun Bali kembali dengan ketersediaan sumber daya alam, manusia
dan dana yang dimiliki.
Dari berbagai bentuk persoalan otonomi yang dihadapi Bali, salah satu isu strategis yang perlu mendapatkan
perhatian secara serius adalah berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.
Persoalan ini menjadi semakin penting karena telah menimbulkan diskursus yang hangat dan kontreversial,
namun sampai saat ini belum juga ada kesepahaman pendapat sebagai kristalalisasi pilihan yang dapat
disepakati dan diterima oleh berbagai pihak.
Apabila alur perkembangan pemikiran tentang sistem penyelenggaraan desa di Bali ini diikuti secara cermat,
maka setidaknya ada empat ranah/ aliran pemikiran yang pernah mengemuka dan muncul ke permukaan, yaitu:
Pertama, Kelompok pemikiran yang menghendaki sistem pemerintahan dan kehidupan desa di Bali dibiarkan
seperti apa adanya sekarang ini . Desa Dinas dan Kelurahan bertugas mengurus hal-hal yang berhubungan
dengan masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan, sedangkan Desa Pakraman
menangani hal-hal yang berhubungan dengan adat Bali dan Agama Hindu. Kedua, Kelompok pemikiran yang
merupakan reaksi dari kelompok pemikiran pertama, yang bernada emosional dan menghendaki penghapusan
desa dinas dan kelurahan serta menyerahkan segala urusan desa kepada desa pakraman. Ketiga, merupakan
bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran yang pertama. Kelompok pemikiran ini menghendaki agar kedua
desa tetap dipertahankan dan hidup berdampingan sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Namun,
dituntut adanya ketegasan batas wilayah kewenangan dan anggaran yang disediakan bagi masing-masing desa
sehingga tidak muncul kesan bahwa desa dinas dianakemaskan dan desa pakraman dianaktirikan. Keempat,
boleh dikatakan sebagai bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran kedua. Dalam hal ini dikemukakan
bahwa di Bali hanya ada satu desa, yaitu desa adat/ pakraman. Desa ini dikendalikan oleh perangkat prajuru,
dengan pucuk pimpinan yang disebut bendasa adat. Perangkat desa adat/ pakraman terdiri atas dua bidang,
yaitu: (1) Bidang Agama Hindu dan Adat Bali (AHA), (2) Bidang Administrasi Pemerintahan (AP). Bila pendapat
ini yang dipilih berarti dualisme desa hilang. Di Bali hanya akan ada satu desa yaitu desa adat/ pakraman.
Tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh desa dinas/ kelurahan, selanjutnya akan menjadi urusan Bidang
Administrasi Pemerintahan (AP) dalam satu desa pakraman.
Setiap ranah/ aliran pemikiran tersebut, mempunyai kelompok pendukung dengan dasar pembenar dan
argumentasinya masing-masing. Prinsip-prinsip demokrasi yang dianut sekarang ini, jelas memberikan peluang
yang sangat besar bagi variasi dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Tetapi, prinsip-prinsip tersebut
masih memungkinkan untuk bersifat akomodatif yang bermuara pada sebuah kesepahaman dan kesepakatan,
karena jelas semua “kebenaran” yang diperdebatkan relatif sifatnya. Perubahan situasi dan kondisi merupakan
faktor determinan yang bisa mengalihkan “kebenaran” ranah/ aliran pemikiran yang satu ke ranah/ aliran lainnya.
Dengan begitu, upaya dialog, kajian dan penelitian secara lebih intensif dan mendalam atas berbagai ranah/
aliran pemikiran tersebut masih dibutuhkan dengan melibatkan lebih banyak pemerhati, dan praktisi desa
pakraman.
Beberapa ranah/ aliran pemikiran tersebut, sedikit banyak masih mengandung muatan dan nuansa romantisme
yang menyelimuti alam pemikiran pikiran penggagasnya, karena pada dasarnya mereka berobsesi
memberdayakan dan melestarikan desa pakraman dengan mengangkat eksistensi ke tingkat “republik desa”
lengkap dengan sistem yang berlaku didalamnya seperti sistem “kolegial konsensus”. Bagi ranah/ aliran
pemikiran yang menginginkan pemunculan kembali nilai-nilai lokal sebagai dasar pijak penyelenggaraaan
pemerintahan desa, semestinya juga menyadari dan bertindak selektif bahwa beberapa dari “nilai-nilai” lokal
tersebut sesungguhnya sudah banyak yang terdistorsi secara mendasar di masa kolonialisme dulu dan banyak
dimanfaatkan untuk kepentingan status quo pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan apa yang
dianggap sebagai nilai tradisional adalah justru produk intervensi kolonial.
Satu hal yang juga patut mendapatkan perhatian semua pihak adalah munculnya kekhawatiran bahwa
kebangkitan nilai-nilai lokal akan mengarah kepada gejala primordialisme yang bermuatan kekerasan serta
kembalinya kultur feodalisme yang tidak demokratis. Rasa khawatir seperti ini memang perlu diperhatikandan
cukup beralasan, sehingga perlu direspon dengan melakukan berbagai upaya pengkajian yang lebih seksama
agar tugas mulia untuk memberdayakan desa pakraman, tidak justru membawa desa pakraman ke arah
penyelenggaran pemerintahan dengan semangat primordialisme sempit yang merupakan pengingkaran
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Sesungguhnya tidaklah cukup kalau ranah/ aliran pemikiran yang dipilih nantinya sekadar memberikan harapan
dan sanjungan yang terlalu besar pada keberadaan desa pakraman, tanpa disertai oleh kajian obyektif tentang
keberadaannya. Dalam kenyataannya, sebagian besar desa pakraman memang sudah bisa dikategorikan
sebagai lembaga tradisional yang kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai hempasan perubahan sosial,
tetapi kondisi yang juga harus diakui adalah masih banyak diantara desa-desa pakraman yang ada pada saat ini
masih dalam keadaan kurang berdaya (empowerlesness) dalam menghadapi perkembangan jaman. Bahkan
upaya dari pemerintah Provinsi Bali untuk mengayomi desa pakraman dengan memberlakukan Perda Nomor 3
tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagai pengganti Peraturan Daerah Nomor 06 tahun 1986 tentang
Kedudukan, Fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang sudah dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, belumlah dapat dikatakan memberikan jaminan bahwa desa
pakraman pasti akan menjadi lebih berdaya. Bahkan dapat dikatakan untuk sementara ini, justru Perda Nomor 3
tahun 2001 tentang Desa Pakraman telah menimbulkan rasa kebingunan-kebingunan baru bagi prajuru desa
pakraman. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses pembuatan Perda yang terkesan “tergesa-gesa”, serta
kurangnya penyerapan aspirasi dari desa-desa pakraman pada proses pembuatan perda tersebut. Di samping
itu, masih adanya kecenderungan untuk mengatur keberadaan desa pakraman, yang karena keunikan tata
kehidupannya, semestinya Perda semacam ini cukup hanya memberikan pengakuan saja atas segala keunikan
yang dimiliki tersebut.
Berbagai Kendala di Tingkat Desa
Beberapa kendala untuk menjadikan desa pakraman sebagai penyelenggara tunggal pemerintahan dan
menurunkan konsep otonomi di tingkat desa pakraman antara lain:
1. Landasan filosofis religius Desa Pakraman, berkaitan dan mencerminkan keberadaan lembaga yang
bernafaskan agama Hindu, sehingga akan menyulitkan peluang bagi warga non-Hindu menjadi anggota atau
warga desa pakraman.
2. Dalam hal teritorial, disamping adanya ketidakseimbangan luas wilayah, juga terdapat beberapa wilayah di
Bali yang berada di luar kekuasaan desa pakraman.
3. Organisasi Desa Pakraman bersifat tradisional, lokal, hanya sampai di tingkat desa, tidak ada
hubungannya dengan desa lainnya. Kesannya memang mandiri/ otonom, tetapi di balik semua itu desa
pakraman kerdil bagaikan bonzai, terisolir dan rawan konflik.
4. Sebagai warisan masa lalu, struktur kepengurusan Desa Pakraman masih sangat sederhana, fungsi-fungsi
atau jabatan-jabatan yang ada misalnya kesinoman, petajuh, prajuru dan lain-lainnya hanya mampu
melaksanakan tugas/ peran sederhana kurang lebih sebatas tugas upacara yadnya. Begitupun manajemennya
masih sangat lemah, sederhana/ tradisonal, masih jauh tertinggal dari manajemen modern dengan teknologinya
yang canggih. Disamping itu, cara pemilihannya, cara kerjanya dan olih-olihannya, hampir semua berjalan
dengan kuna dresta serta adanya kecenderungan menghindar menjadi pengurus (prajuru) makin melemahkan
kepemimpinan desa pakraman.
5. Sumber daya manusia yang ada di desa pakraman, bukan sekedar diragukan kualitasnya, namun jumlah
mereka juga semakin menurun. Hal ini merupakan akibat logis dari mobilitas sosial yang merupakan produk
modernisasi. Warga desa yang terdidik, profesional dan terampil karena berbagai macam alasan, jarang
menetap di desa karena kurangnya lapangan kerja. Kondisi seperti ini jelas akan sangat menyulitkan bagi desa
pakraman untuk berotonomi.
6. Keterbatasan awig-awig, karena pada dasarnya hanya mengatur warganya (Hindu) dan yang unik dalam
batas-batas teritorialnya
7. Ketiadaan jaringan desa pakraman dan adanya fanatisme desa pakraman yang berlebihan, menyebabkan
kesulitan dalam melakukan hubungan koordinasi antar desa pakraman, sehingga mudah memicu selisih paham
dan konflik antara desa pakraman satu dengan lainnya.
8. Kelambatan dalam pengambilan keputusan dalam menghadapi persoalan yang semakin kompleks karena
keadaan sistem sosial yang rumit.
9. Demokrasi dijalankan secara parsial, karena tidak melibatkan krama perempuan.
10. Belum terbiasa membicarakan potensi konflik secara terbuka. Membahas potensi dan manajemen konflik
masih dianggap tabu.
11. Bagaimana menempatkan dan mengharmoniskan hubungan desa pakraman yang masih bersifat tradisional
di satu pihak, dengan negara modern yang bersifat demokratis di pihak lain (terjadi perbenturan antara nilai
kebersamaan versus nilai perbedaan)
12. Akibat dari semua itu kondisi desa pakraman menjadi marginal, tidak mampu berbuat banyak bagi
warganya, tidak mampu membangun dan mengembangkan dirinya secara konseptual dan strategis, sebaliknya
justru menjadi obyek pembangunan.
Berbagai kendala tersebut juga diperkuat oleh tingginya tingkat diferensiasi sosial masyarakat Bali yang juga
sangat rentan terhadap berbagai potensi konflik. Beberapa potensi konflik, bukan saja yang bersifat laten,
melainkan yang sudah termanifestasi secara empirik dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali antara lain:
1. Konflik antar etnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali yang menguat pasca bom Bali I dan II. Potensi ini
semakin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang semakin membuat tembok
pembatas antara ‘kekitaan’ dengan ‘kemerekaan’ (we-ness dengan other-ness) seiring dengan implementasi
kebijakan penertiban penduduk pendatang oleh pecalang akhir-akhir ini. Beberapa wacana sosial juga sudah
menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali
serta meningkatnya in-migrasi dari luar pulau.
2. Konflik antar-kelas, yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa
termaginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya pengusaha
(investor). Tindakan anarkhi pun sempat menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh/
karyawan di berbagai industri pariwisata, serta pawai ogoh-ogoh yang sempat dipaksakan masuk ke hotel
karena warga merasa masih kurangnya ‘uang kompensasi’ hotel yang diberikan bagi keperluan desa pakraman.
3. Konflik antar kelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi
egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar kelahiran
(keturunan). Di pihak lain, kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo
hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai
konflik kasta (walaupun secara akademis istilah ini kurang tepat).
4. Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dengan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu
menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentang antara penganut Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus
besar dengan penekanan Bali, dengan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep
‘back to Veda’ , yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai ‘aliran baru’. Kristalisasi indikator kontemporer
masalah ini ditambah dengan butir poin ketiga di atas sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisadha
Bali yakni Parisadha versi Campuhan dan Besakih yang belum juga bisa disatukan hingga kini.
5. Konflik internal desa pakraman yang seringkali dipicu oleh persoalan-pesoalan pribadi menyangkut
pelaksanaan hak dan kewajiban seorang warga di desa pakraman. Konflik ini tidak jarang berujung pada
tindakan pengusiran (kasepekang) dari desa pakraman terhadap warga yang dianggap melanggar ketentuan
awig-awig atau tidak aktif dalam aktivitas adat.
Berkaitan dengan berbagai potensi konflik tersebut, makin menyadarkan kita bahwa kehidupan sosial
masyarakat Bali tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi, apalagi dalam masyarakat
Bali yang pemilahan, fragmentasi serta polarisasi sosialnya cukup tinggi. Mengikuti teori integrasi sosial Furnivall
sejumlah properti hubungan-hubungan sosial yang biasa kita temukan sebagai konsekuensi dari struktur
masyarakat yang multikultur adalah: 1) kecenderungan berkembangnya perilaku konflik di dalam hubungan-
hubungan antar berbagai komunitas atau kelompok; 2) berkembangnya kecenderungan para pelaku konflik
melihat konflik bukan sebagai suatu game melainkan sebagai suatu total war; dan 3) berkembangnya proses
integrasi sosial berdasarkan dominasi oleh suatu komunitas atau kelompok di atas komunitas atau kelompok
lain.
Dalam sistem sosial yang tingkat pemilahannya tidak lagi bersifat membaur (cross cuting) akan tetapi bahkan
bersifat kumulatif, maka toleransi dan demokrasi akan sulit untuk dipelihara, sebab biasanya konflik yang
ditimbulkannya tidak lagi bersifat memusat (centripetal) akan tetapi bersifat memencar (centrifugal). Dalam
situasi konflik yang sifatnya memusat maka konflik akan menjadi sangat sulit diselesaikan.
Kondisi diferensiasi sosial yang demikian serta berbagai ancaman potensi konflik yang menyertainya makin
menyadarkan kita bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai
kebersamaan dalam masing-masing masyarakat desa pakraman di Bali adalah merupakan sebuah keniscayaan.
Beberapa Alternatif Pemikiran
Berhubung dengan berbagai kendala dan persoalan tersebut, ada beberapa alternatif pemikiran untuk lebih
memberdayakan peranan Desa Pakraman, antara lain:
1. Restrukturisasi desa pakraman dilakukan dengan cara melepaskan dari belenggu isolasi yang selama ini
dialami, membuka jalur informasi dan komunikasi baik vertikal maupun horisontal, sehingga tidak lagi bersifat
tertutup dan lokal, melainkan harus bersifat terbuka dan regional meliputi seluruh daerah Bali.
2. Pemberdayaan desa pakraman dalam rangka bottom up strategy dan peningkatan partisipasi krama desa.
Dalam upaya ini, kekhasan ragam/ diversifikasi budaya dari masing-masing wilayah desa pakraman agar tetap
dipertahankan dan dijaga keberadaannya agar berkelanjutan menurut konsep desa, kala dan patra. Disamping
itu, “jabatan” prajuru tidak lagi sekadar ngayah untuk kepentingan adat dan agama, tetapi juga sebuah jabatan
profesional (mendapat penghasilan dan fasilitas).
3. Desa Pakraman harus tetap memiliki kemampuan sebagai wahana integrasi sosial, yang memupuk serta
mengembangkan solidaritas/ kolektivisme krama adat, dan tidak justru sebagai wahana bagi terpeliharanya
potensi konlik laten. Dalam rangka mamanajemeni potensi konflik, beberapa konsep, seperti: sagilik-saguluk
salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya perlu direvitalisasi. Konsep perbedaan tetap dikembangkan
tetapi bermuara pada kebenaran dan tujuan bersama.
4. Perlu dibentuk forum komunikasi antar Desa Pakraman sebagai sarana untuk memperlancar interaksi antar
Desa Pakraman yang sampai sekarang memang sangat minim, serta untuk mengatasi berbagai kendala,
kelemahan dan tantangan yang dihadapi Desa Pakraman ke depan. Di samping itu peran dan kinerja Majelis
Desa Pakraman (MDP) Provinsi Bali dan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) di masing-masing kabupaten
bisa lebih dioptimalkan.
5. Perlu peningkatan kualitas pemimpin/ prajuru Desa Pakaraman pada masa mendatang, yang tidak semata-
mata bermodalkan kejujuran dan pengetahuan adat/ Agama Hindu semata, tetapi juga memiliki kualitas
pendidikan, wawasan politik, ekonomi keluarga dan pengetahuan umum yang memadai.
6. Peningkatan peranan Desa Pakraman dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial budaya, pariwisata,
hukum, keagamaan dan lain-lain. Bila di sektor moneter peranan Desa Pakraman, melalui Lembaga Perkreditan
Desa (LPD), sudah mulai menampakkan hasil, maka pemberdayaan ekonomi Desa Pakraman di sektor riil perlu
ditingkatkan melalui Badan Usaha Milik Desa Pakraman (BUMDP), seperti: Koperasi Desa Pakraman, Pasar
Desa Pakraman hingga akhirnya dapat membantu usaha-usaha kecil lainnya, sehingga ekonomi rakyat dapat
lebih diberdayakan. Demikian juga misalnya lembaga keamanan, menurut catatan tahun 2003 jumlah Desa
Pakraman di Bali seluruhnya 1404. Kalau tiap Desa Pakraman memiliki 1 peleton pecalang, maka jumlah
seluruhnya menjadi 1404 peleton pecalang, cukup untuk mengamankan Bali. Masalahnya sekarang adalah
bagaimana menggali potensi itu dan me-manage dengan baik agar efektif dan efisien dalam tugas pengamanan.
7. Hubungan krama Desa Pakraman dengan LSM/ NGO yang peduli/ bernafaskan adat, budaya dan agama,
perlu dijaga agar masing-masing tetap berdiri sendiri, saling menghormati. Biarkan LSM/ NGO itu tumbuh dan
berkembang di luar organisasi krama adat. Para anggotanya adalah pemikir kritis dan kreatif yang sangat peduli
pada pembangunan Bali, karena itu wajib didukung eksistensinya. Desa Pakraman mengharapkan pengabdian
yang tulus dari LSM/ NGO, bebas dari kepentingan pribadi, kelompok dan aliran politik.
8. Mempererat hubungan antara Desa Pakraman dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang
memang sedari dulu bersifat sangat substansial, karena totalitas kehidupan masyarakat adat didasarkan, dijiwai
oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip Agama Hindu disamping seluruh Krama Adat adalah umat Hindu. Hubungan
yang sangat hakiki ini menjadikan Desa Pakraman dan PHDI seakan-akan menyatu, saling membutuhkan dan
saling mengisi.
Penutup
Dalam era demokrasi dan otonomi yang sangat luas sekarang ini, diharapkan peran aktif semua pihak yang
berkompeten, dalam rangka menemukan format pemerintahan desa yang paling tepat dan sesuai dengan
kondisi riil kemasyarakatan di Bali. Hal ini, demi untuk peningkatan keberdayaan desa pakraman, yang sampai
saat sekarang masih tetap diharapkan tetap sebagai “benteng” terakhir bagi kelangsungan budaya, adat Bali
serta Agama Hindu. Jangan sampai kebebasan berdemokrasi dan berotonomi itu lalu ‘kebablasan’ menjadi
tindakan anarki yang merusak eksistensi desa pakraman sebagaimana diingatkan oleh Mahathir Mohamad
mantan Perdana Menteri Malaysia pada bagian awal tulisan ini.
J U M A T , 0 2 J U L I 2 0 1 0
Prospek Kebijakan Otonomi Daerah Bagi Daerah Istimewa dan Desa Menurut UU No 22/1999
Abstract:Lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada hakekatnya telah memberi keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan secara otonom. bahkan, desa yang menurut UU Nomor 5 tahun 1974 lebih merupakan wilayah administrasi, akan dikembalikan kepada otonomi aslinya. Demikian pula dengan keberadaan suatu daerah istimewa (cq. Yogyakarta). Dengan adanya perubahan kebijakan ini, tentu akan membawa implikasi-implikasi tertentu baik pada desa maupun pada daerah istimewa. Secara prediktif dapat disimpulkan bahwa prospek pengembangan daerah istimewa dan desa menurut UU Nomor 22 tahun 1999 sangat baik, karena secara historis memiliki hak asal-usul yang melekat padanya sejak sebelum terbentuknya Negara Indonesia. Dan kenyataan inilah yang sedang berkembang dalam wacana publik dewasa ini.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, tuntutan daerah untuk diberi (baca: memiliki) otonomi yang seluas-luasnya makin menonjol. Bahkan, beberapa daerah memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RIdan mendirikan negara baru, misalnya
Sulawesi Selatan dan Aceh. Kondisi seperti ini oleh sebagian orang dinilai sebagai benih-benih terjadinya disintegrasi bangsa. Sebaliknya, oleh sebagian orang lainnya dinilai bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya ini merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mempertahankan integrasi nasional.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, fenomena tentang daerah yang memiliki otonomi seluas-luasnya tadi sesungguhnya bukan hal yang baru – bahkan terlebih lagi bukan sesuatu yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Demikian pula, keberadaan desa-desa adat yang memiliki susunan asli ternyata tidak menimbulkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari unit pemerintahan yang lebih luas. Oleh karena itu, otonomi luas sesungguhnya bukan paradoksi bagi integrasi bangsa dan sebaliknya. Artinya, cita-cita memberdayakan daerah melalui kebijakan otonomi luas tidak perlu disertai dengan sikap syak wasangka yang berlebihan tentang kemungkinan perpecahan bangsa. Kekhawatiran ini justru akan menunjukkan bahwa pemerintah pusat memang kurang memiliki political will yang kuat untuk memberdayakan daerah.
Dengan demikian, ide untuk kembali menyeragamkan sistem pemerintahan daerah dengan alasan untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa – antara lain melalui penghapusan ‘daerah istimewa’ dan penyeragaman pemerintah desa, adalah sangat tidak kontekstual dan tidak konseptual.
Mengingat hal tersebut, maka makalah ini mencoba membaca ke depan mengenai prospek daerah-daerah yang memiliki hal asal-usul serta susunan asli, yang oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai ‘daerah istimewa’. Pembahasan akan difokuskan kepada kasus DIY serta prospek otonomi desa pada umumnya, yang disesuaikan dengan norma yuridis baru sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Prospek Otonomi pada Daerah Istimewa (Kasus DIY)
Harus diakui bahwa sebagian masyarakat kita kurang mengetahui secara persis mengapa DIY memiliki hak-hak khusus yang membedakannya dengan propinsi lain di Indonesia. Bahkan seorang gubernurpun (c.q. Suwardi) sangat terlihat tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Saat menjabat Gubernur Jawa Tengah, Suwardi mengemukakan ide penggabungan DIY ke dalam Propinsi Jawa Tengah. Ide ini dianggap sebagai gugatan terhadap eksistensi DIY, yang jika dipenuhi akan menyebabkan hilangnya sebutan, sifat dan kedudukan istimewa bagi DIY.
Dengan kata lain, hak-hak asal usul yang dimiliki oleh DIY akan musnah dengan serta merta, sementara UUD 1945 secara eksplisit mengakui dan menjamin keberlangsungan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Oleh karena itu, pertanyaan yang paling mendasar dalam konteks ini adalah, bagaimana prospek daerah istimewa – khususnya DIY – pada masa-masa yang akan datang?
Pertanyaan ini penting diajukan karena semakin lama orang semakin kurang menghayati makna dan latar belakang historis, dan ini akhirnya membawa kepada pemikiran untuk menghapuskan status daerah istimewa.
Memang patut dimaklumi, keberadaan DIY yang merupakan bagian integral dari NKRI sering mengundang kecemburuan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya hak-hak istimewa yang dimiliki DIY seperti dalam hal pengangkatan Kepala Daerah, bidang pertanahan, dan sebagainya.
Dalam berbagai bidang tadi, terdapat kesan seolah-olah DIY memiliki legitimasi untuk “berbeda”. Pada gilirannya, berbagai exclusivisme tadi memunculkan pertanyaan, apakah tidak menjadikan berkembangnya anggapan “negara dalam negara” serta mengaburkan pengertian negara kesatuan? Untuk menjawab permasalahan ini, maka pertama sekali harus diketahui tentang ketentuan daerah istimewa serta latar belakang historis yang melekat pada DIY.
Pada dasarnya, terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan oleh dua faktor pokok, yaitu hak asal-usul dan susunan asli, serta peran historis dalam perjuangan kemerdekaan RI.
Mengenai hal asal-usul dan susunan asli ini, pasal 18 UUD 1945 secara tegas menyebutkan sebagai berikut: "..... dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Ini berarti bahwa UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di daerahnya.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18 disebutkan bahwa: Oleh karena Negara Indonesia itu adalah eenheidstaat, maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga … Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbestuurende-landschappen … daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Berdasarkan ketentuan itu, secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat dua macam hak, yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon) atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia, dan hak yang dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah.
Perwujudan dari hak-hak asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu dapat berupa hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan tertentu, hak untuk memberikan beban kewajiban tertentu kepada masyarakat, hak untuk menentukan sendiri cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan daerah, dan lain-lain. Mempertahankan susunan asli juga termasuk hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa. Adapun makna susunan asli sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 18 angka II, adalah susunan yang sudah berlaku sejak semula. Meski demikian bukan berarti bahwa selama-lamanya tidak boleh diadakan perubahan terhadap organisasi Daerah Istimewa tersebut.
Uraian dibawah ini akan semakin memperlihatkan bahwa sejak awal berdirinya, sebenarnya Yogyakarta sudah merupakan suatu “negara”, sehingga tidak bisa dilebur begitu saja pada saat berintegrasi dengan RI.
Pada masa penjajahan Belanda, Kasultanan Yogyakarta diperlakukan sebagai negara kecil, sehingga kedudukannya tidak diatur secara sepihak dalam ordonantie, melainkan diatur dalam sebuah perjanjian antara Gubernur Jenderal sebagai wakil Pemerintah Hindia Belanda dan Sri Sultan sebagai wakil Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian yang harus diperbaharui setiap kali terjadi pergantian Sultan ini disebut politiek - contract.
Menurut politiek-contract terakhir tanggal 18 Maret 1940 (Stb. 1941 No. 47), Kasultanan Yogyakarta masih mempunyai kekuasaan (kewenangan atau urusan) yang banyak, misalnya mempunyai peradilan sendiri sebagai badan yudikatif meskipun hanya berwenang mengadili perkara-perkara dari keturunan Sultan Yogyakarta mulai graad satu sampai dengan graadempat, baik meliputi perkara sipil maupun kriminal. Bahkan sebelum keluarnya Petunjuk Gunseikan tanggal 1 Agustus 1942, Kasultanan Yogyakarta memiliki beberapa kelompok prajurit bersenjata sebanyak hampir 1000 orang.
Selanjutnya, dibidang perindustrian, jika daerah diluar DIY berlaku peraturan Hinder Ordonantie (HO) yaitu setiap usaha yang menimbulkan kebisingan atau mengganggu masyarakat sekitarnya harus mendapat ijin HO, maka di DIY terdapat peraturan yang disebut Pranatan Reridhu yang tertuang dalam Rijksblad Kasultanan. Dibidang pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung, DIY sudah memiliki dinas PDG (Pengairan, Djalan dan Gedung), sedang diluar DIY berlaku aturan Algemene Water Reglement (AWR) tahun 1934.
Kewenangan-kewenangan otonom seperti inilah yang dimaksud dengan hak asal-usul atau hak yang bersifat autochtoon, yang merupakan awal mula timbulnya hak istimewa dalam Negara Kesatuan RI.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, kiranya dapat dimengerti apabila dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, pasal 4 ayat (4) dinyatakan bahwa: “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain dari pada yang tersebut dalam ayat (1), yang dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk menurut UU ini, dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang”.
Ketentuan ini tidak terdapat pada UU Pembentukan Propinsi lain, sebab pada waktu pembentukannya propinsi-propinsi itu belum mempunyai kewenangan apapun, sehingga kekuasaannya harus diisi oleh Pemerintah Pusat. Dan karena sebelumnya tidak memiliki kewenangan dalam urusan tertentu, maka dalam UU Pembentukannya-pun tidak diperlukan adanya ketentuan peralihan seperti tersebut diatas.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa eksistensi DIY sampai saat ini tidak perlu diperdebatkan. Masalahnya adalah, bagaimana prospek ke depan khususnya dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999?
Bicara masalah prospek, berarti bicara sekitar perlu tidaknya penghapusan sebutan, kedudukan, dan hak-hak yuridis sebuah daerah istimewa dalam Negara Kesatuan RI. Hal ini akan dielaborasi lebih lanjut pada paparan di bawah ini.
Pada prinsipnya, daerah istimewa sebagai struktur dan sifat organisasi yang spesifik, suatu saat dapat ditiadakan bila perkembangan keadaan memang menghendaki demikian. Organisasi sebagai alat mencapai tujuan juga senantiasa harus selalu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, sehingga pada saat tertentu perlu diadakan perubahan struktur organisasi pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah.
Sejarah ketatanegaraan di Indonesia sendiri pernah mempraktekkan perubahan sebuah Daerah Istimewa menjadi daerah otonom biasa, yakni yang terjadi pada kasus Daerah Istimewa Surakarta. Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran sebagai daerah swapraja berubah menjadi Karesidenan yang bersifat istimewa, sebab residennya berada langsung dibawah pemerintah Pusat RI dan Karesidenan Surakarta itu bersifat otonom. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Surakarta gagal mempertahankan diri sebagai daerah istimewa, bahkan kemudian diintegrasikan kedalam wilayah propinsi Jawa Tengah.
Dengan demikian, di satu sisi penghapusan daerah istimewa membawa pengaruh positif yakni terciptanya keseragaman dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Disisi lain, sebuah daerah istimewa yang tinggal “namanya” saja tanpa memiliki implikasi tertentu, sama artinya dengan terjadinya inkonsistensi daerah istimewa. Lagi pula, apakah keseragaman itu merupakan satu-satunya kondisi yang dapat melancarkan roda pembangunan serta menciptakan stabilitas nasional, masih perlu dikaji lebih lanjut.
Dalam kaitan ini, kalimat “kedudukan pemerintah daerah sejauh mungkin diseragamkan” yang terdapat dalam konsiderans Menimbang huruf c. jo. Penjelasan UU Nomor 5 tahun 1974 bagian I angka 4a (6), harus ditafsirkan bahwa penyeragaman daerah tidaklah wajib sifatnya, tetapi yang harus diperhatikan juga adalah kondisi dinamis suatu daerah. Jadi, istilah penyeragaman mengandung sifat supel dan dinamis, artinya meskipun secara nasional telah ada peraturan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun dalam hal-hal tertentu dapat dimungkinkan penyimpangan oleh suatu daerah. Dengan kata lain, cita-cita penyeragaman itu adalah keseragaman dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, yakni keseragaman yang mengindahkan keragaman.
Terlepas dari pro dan kontra ide penyeragaman pemerintah daerah, sebelum pemerintah memutuskan untuk menghapuskan suatu daerah istimewa, hendaknya dipertimbangkan terlebih dahulu tanggapan masyarakat setempat, sehingga peristiwa penghapusan Daerah Istimewa Aceh pada tahun 9171 tidak terulang lagi.
Pada umumnya, masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah suatu Daerah Istimewa menginginkan agar kedudukan istimewa bagi daerahnya dipertahankan untuk waktu-waktu mendatang. Demikian pula di Yogyakarta, dengan keputusan DPRD DIY No.4/K/DPRD/ 1980 tentang sebutan dan kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta, terlihat sekali bahwa masyarakat Yogyakarta menghendaki terjaminnya kelestarian sifat dan kedudukan istimewa bagi DIY.
Kehendak, perasaan dan harapan warga Yogya akan kelestarian dan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terutama tercantum dalam Diktum
Keputusan DPRD DIY No.4/K/DPRD/1980, yang menghendaki agar Pemerintah Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dipertahankan sebagai suatu Pemerintah Daerah Istimewa yang monumental berdasarkan kenyataan sejarah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat nilai-nilai perjuangannya dimasa lalu baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, untuk diketahui dan dijadikan suri tauladan bagi generasi mendatang.
Melihat isi keputusan itu, jelaslah bahwa selain memilki latar belakang yang amat kuat, eksisitensi DIY juga memiliki latar depan strategis dalam arti untuk membekali generasi muda tentang nila-nilai historis bangsa. Oelah karena itu, agaknya tidak cukup alasan untuk menghapus DIY atau menggabungkannya dengan propinsi lain. Di samping itu, landasan konstitusional yang dipunyai DIY cukup menjamin kelangsungan hidupnya dengan segala hak-hak istimewa yang melekat padanya. Sebab mengubah status dan kedudukan DIY sama artinya dengan keharusan untuk mengubah terlebih dahulu ketentuan dan jiwa konstitusi yang ada. Dengan demikian, secara teoritis maupun praktis, kedudukan daerah istimewa pada umumnya dan DIY khususnya, masih layak dipertahankan pada masa-masa mendatang.
Prospek Otonomi Desa
Perubahan kebijakan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah (termasuk pemerintahan desa) dari UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 5 tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999, membawa implikasi yang sangat besar. Salah satu implikasi tersebut adalah bahwa Desa tidak sekedar merupakan wilayah administratif sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Pusat di Daerah (pelaksana asas dekonsentrasi), tetapi memiliki lebih merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki otonomi luas.
Sebagaimana halnya pada kasus DIY, otonomi yang luas pada desa sesungguhnya bukan hal yang baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Berdasarkan kerangka waktunya (time frame), perkembangan otonomi pada kesatuan hukum masyarakat terkecil (desa) mengalami pergeseran yang sangat fluktuatif, dimana pada satu Desa memiliki otonomi yang sangat luas (most decentralized), sedang disaat lain Desa tidak memiliki otonomi sama sekali dan hanya berstatus sebagai wilayah administratif (most centralized).
Pada awalnya, terbentuknya suatu komunitas bermula dari berkumpul dan menetapnya individu-individu di suatu tepat karena terdorong oleh alasan-alasan yang mereka anggap sebagai kepentingan bersama. Alasan-alasan untuk membentuk masyarakat yang masih bersifat sederhana atau tradisional ini adalah pertama untuk hidup, kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar, dan ketiga untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya (Kartohadikoesoemo, 1965: 5).
Kumpulan individu-individu yang membentuk desa dan yang merupakan sebuah daerah hukum ini, secara alami memiliki otonomi yang sangat luas, lebih luas
dari pada otonomi daerah-daerah hukum di atasnya yang lahir di kemudian hari, baik yang terbentuk oleh bergabungnya desa-desa dengan sukarela atau yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat. Otonomi atau kewenangan desa itu antara lain meliputi hak untuk menentukan sendiri hidup matinya desa itu, dan hak untuk menentukan batas daerahnya sendiri.
Selanjutnya Kartohadikoesoemo (1965: 214) menyebutkan bahwa masyarakat sebagai Daerah Hukum, menurut hukum adat mempunyai norma-norma sebagai berikut: berhak mempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah, berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak memilih dan mengangkat Kepala Daerahnya atau Majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumber keuangan sendiri, berhak atas tanah sendiri, dan berhak memungut pajak sendiri.
Berdasarkan otonomi desa yang mendapatkan landasan yuridis dalam Regeringsreglement 1854 pasal 71 itu, maka hak atas tanah sepenuhnya ada ditangan rakyat desa, tidak saja kekuasaan atas tanah pertanian, tetapi juga atas tanah yang belum digarap, hutan belukar dan gunung jurangnya (sa-satebane sa-jurang perenge).
Hak ulayat seperti ini oleh van Vollenhoven dinamakan beschikkingrechts, yakni hak kuasa desa yang dalam wilayahnya berhak mempergunakan tanah bagi kepentingan warganya atau kepentingan warga desa lain dengan terlebih dahulu membayar uang recognitie sebagai bukti bahwa dia di situ adalah orang asing atau sebagai bulu bekti / persembahan kepada pihak yang memiliki hak atas tanah itu. Adapun bagi warga desa setempat, dapat mempergunakan tanah itu dengan hak-hak perorangan: hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); hak wenang pilih, hak mendahulu (voorkeursrecht); hak menikmati hasil (genootsrecht); hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap (ontginningsrecht); hak imbalan jabatan (ambtelijke profijtsrecht) serta hak wenang beli (naastingsrecht). (Kartohadikoesoemo, 1965: 233; Sudijat, 1981: 6-8).
Dalam perkembangan selanjutnya terdapatlah satu gejala ketatanegaraan yakni berkembangnya komunitas sosial politik diatas kesatuan komunitas desa yaitu Sima, Wisaya, Watak, Mandala, dan pada masa kemudian lahirlah Istana sebagai pusat politik negara kerajaan. Dengan kata lain, terjadi proses penyatuan desa-desa menjadi wilayah yang lebih besar dan luas, yaitu negara kerajaan.
Peristiwa lahirnya kerajaan, menyebabkan otonomi desa mendapat pembatasan-pembatasan. Desa tidak lagi merupakan kesatuan yang otonom, tetapi menjadi kesatuan wilayah yang lebih luas tadi. Oleh karenanya, meskipun pada prinsipnya hak pertuanan / hak kuasa desa tetap berlaku, tetapi dalam lingkungan yang lebih luas itu desa dibebani hak pertuanan / hak milik raja atas wilayahnya. Hak pertuanan raja ini dengan cara dipaksanakan dapat mendesak kedudukan hak desa dan akhirnya mendapatkan tempat dalam hukum adat Jawa, bahwa tanah adalah milik raja.
Dalam masa-masa ini, otonomi desa menghadapi cobaan berat. Dan sejak saat itulah terjadi proses sentralisasi otonomi, dari otonomi desa menjadi otonomi kerajaan. Gejala seperti ini terus berlangsung hingga abad 19, yakni masa-masa munculnya pemikiran tentang emansipasi politik, kebebasan, demokrasi dan desentralisasi bagi negara-negara (unit kemasyarakatan) terjajah. Akhirnya,
gencarnya ide-ide pembebasan individu secara radikal mampu mengembalikan lagi otonomi desa yang sempat hilang.
Sebagai gambaran, dalam bidang agraria, Werner Roll (1983: 45) menulis bahwa reorganisasi atau reformasi agraria yang dilaksanakan antara tahun 1912 dan 1918 menghasilkan aturan-aturan baru, yakni: penghapusan sistem feodal beserta tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sudah membudaya; beberapa kesatuan tempat tinggal (desa; dukuh; kabekelan) digabung menjadi kesatuan administrasi baru seperti kelurahan atau desa praja; Raja melepaskan hak-hak mereka atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayah kesatuan administrasi ini, yang kemudian menjadi wewenang anggadhuh (hak milik pribumi) anggota masyarakat desa; serta diadakan pembagian baru dari persil-persil tanah dan tanah garapan untuk penduduk desa.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa desa kembali memiliki otonomi. Arah kebijaksanaan otonomi selanjutnya memang semakin mempercayakan penyelenggaraan urusan pemerintahan kepada kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil (baca: pemerintah daerah atau desa). Memang, masalah otonomi atau penyerahan / pengakuan wewenang / urusan ini merupakan lima masalah besar yang timbul dalam proses politik sepanjang masa. Empat masalah lainnya adalah tentang kewarganegaraan, fungsi dan tugas negara, sumber kekuasaan, serta kemampuan negara dalam hubungan-hubungan eksternal.
Selanjutnya pada masa pemerintahan RI, pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapat landasan yuridis pada pasal 18 UUD 1945 yang mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di wilayahnya. Ini berarti, desa secara teoritis juga memiliki hak yang bersifat autochtoon atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia. Namun dalam penyusunan peraturan tentang Pemerintahan Desa sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5/1979, kenyataannya Desa bukan lagi dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom, khususnya dalam masalah administrasi pemerintahan secara umum. Terlebih lagi dengan pembentukan kelurahan, maka kesatuan masyarakat “Desa” ini hanya berstatus wilayah administratif yang ditempatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah Pusat (pelaksana asas dekonsentrasi).
Dalam perkembangan saat ini, keberadaan pemerintahan desa tidak (belum) diatur terpisah atau tersendiri dalam suatu peraturan perundangan, tetapi melekat pada UU Pemerintahan Daerah. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999 ini, desa secara implisit memiliki otonomi yang cukup luas, sebagaimana diatur dari pasal 94 hingga pasal 108. Dan dikaitkan dengan konteks kemajuan masyarakat di tingkat desa yang selalu bergerak maju kearah kompleksitas dan trend globalisasi, maka otonomi luas yang saat ini dititikberatkan pada Kabupaten / Kota tidak mustahil harus dilimpahkan kepada kesatuan hukum masyarakat yang lebih rendah, yakni desa.
Dalam kaitan ini, terdapat hubungan tarik menarik antara Pusat dan Darah (termasuk desa) dalam hal penyerahan suatu kewenangan / urusan pemerintahan tertentu. Artinya, sesuatu urusan yang semula menjadi otonomi suatu daerah dapat ditarik menjadi urusan pusat jika ternyata urusan tersebut
telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan yang lebih luas. Sebaliknya, mungkin sekali sesuatu soal yang tadinya merupakan urusan negara dalam perkembangannya membutuhkan pengurusan yang lebih khusus yang hanya dapat dilakukan di lingkungan daerah. Hal ini selaras pula dengan asas kedaerahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni ketidakmampuan pemerintah untuk mengurus semua kepentingannya dikarenakan semakin berkembangnya masyarakat sehingga harus dilimpahkan sebagian kepada daerah.
Faktor eksternal berupa perkembangan masyarakat dengan tingkat kehidupan yang semakin maju seperti itulah yang pada akhirnya menyebabkan menumpuknya beban urusan di tingkat desa. Kemampuan desa yang terbatas baik dari sisi aparatur maupun sumber daya lainnya, jelas tidak akan mampu mengimbangi semakin tingginya tingkat kesulitan hubungan sosial politik warga di wilayahnya.
Di sinilah pada saatnya nanti dituntut keseriusan para pengambil keputusan untuk menyempurnakan sistem pemerintahan desa, baik dari segi administrasi, manajemen, maupun personalia dan keuangannya. Pemerintahan desa yang demikian, tidak lagi merupakan unsur pelayan publik yang berfungsi memberikan surat keterangan, penyuluhan maupun izin-izin tertentu; sebaliknya harus mampu memainkan peran sebagai “pembuka jalan” bagi pemenuhan permintaan masyarakat (public choice), sekaligus sebagai fasilitator yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara swadaya maupun swadana.
Disamping itu, masalah otonomi selalu merupakan pemilihan antara centralization dan local autonomy (otonomi daerah). Jika otonomi daerah yang dipilih, berarti pemerintah pusat harus menyelenggarakan desentralisasi (secara harfiah berarti melepaskan dari pusat).
Arti pentingnya desentralisasi bisa dilihat dari berbagai segi. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukkan pada satu pihak, dan merupakan tindakan pendemokrasian guna menarik partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Dari sudut administrasi, desentralisasi tidak lain adalah pendelegasian wewenang dari pucuk pimpinan kepada bawahannya yang menjadi aktivitas-aktivitas pemberian tugas, penyerahan wewenang, dan permintaan tanggung jawab. Dalam pengertian ini desentralisasi merupakan keharusan yang mesti terdapat pada semua organisasi.
Dari berbagai sudut pandangan yang ada, sangat menarik untuk disimak pemikiran dari segi sosio kultural. Adalah fakta bahwa tiap-tiap daerah memiliki kekhususan-kekhususan seperti corak geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, latar belakang sejarah dan budaya. Spesifikasi daerah ini mengharuskan penguasa dan aparatur daerah untuk benar-benar mengenalinya dan memanfaatkannya untuk pembangunan daerah secara optimal. Pandangan sosio kultural ini apabila digabung dengan sudut pandang teknis organisatoris akan dapat memberikan alasan yang jelas mengapa otonomi cenderung dilimpahkan kepada daerah yang lebih rendah tingkatannya.
Dilihat dari segi teknik organisatoris, desentralisasi adalah alat dan teknik untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi desentralisasi adalah cara atau metode untuk melancarkan tugas-tugas pemerintahan sekaligus mencapai tujuannya. Hal ini
logis, sebab rakyat dari suatu daerah itu sendirilah yang dalam babak pertama berkewajiban untuk memajukan daerahnya.
Kebijaksanaan penyerahan urusan kepada desa sebagai unit pemerintahan terkecil, akan membawa pengaruh positif berupa peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan kualitas aparatur negara, khususnya di tingkat desa. Hal ini dapat dicapai apabila dapat diidentifikasikan tiga kondisi, yaiu: 1) tingkat perkembangan masyarakat, pertumbuhan penduduk dan pergeseran arah pembangunan ke daerah terpencil; 2) kemungkinan positif dan negatif dari pelaksanaan titik berat otonomi pada desa; dan 3) hambatan baik dari segi sumber daya aparatur maupun kelembagaan di desa. Dengan identifkasi ketiga kondisi ini, barulah dipikirkan untuk memutuskan perlu tidaknya otonomi daerah.
Penutup
Perubahan sistem dan mekanisme pemerintahan (di) daerah dewasa ini merupakan suatu keniscayaan. Hal ini didorong oleh adanya fenomena bahwa penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah sebagai sub sistem dari penyelengga-raan Pemerintahan Nasional dan Pembangunan Nasional, saat ini menghadapi masalah yang sangat mendasar, yaitu bagaimana menampung dan memenuhi aspirasi serta kepentingan rakyat di daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi. Seiring dengan tuntutan jaman dan arah fenomena perubahan sosial yang meng-hendaki terciptanya suatu tatanan, kondisi, peluang dan kesempatan bagi masyarakat agar makin mampu mengembangkan kreativitas dan prakarsanya, maka keberadaan, tugas, peran dan tanggung jawab pemerintahan dalam arti luas, dirasakan semakin relevan untuk ditinjau kembali, dalam pengertian dilakukan revitalisasi organisasi.
Dalam hubungan ini, maka penghormatan terhadap bentuk-bentuk organisasi (kesatuan masyarakat hukum) asli sangat dibutuhkan. Hal ini sekaligus mencerminkan bahwa kebijakan otonomi yang dianut UU Nomor 22/1999 sekaligus membawa misi demokratisasi masyarakat lokal.
Daftar Pustaka
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Desa, Bandung: Sumur.Roll, Werner, 1983, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia: Studi Kasus Daerah
Catatan:Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Maret 1999.
Desentralisasi dan Otonomi desa Suatu Kajian dari Segi Implementasi Pembagian Kewenangan Antara Desa Dan Kabupaten.Kata kunci: desentralisasi, otonomi desa, implementasi pembagian kewenangan.
Haryanto, Samsi;Suprapti*)
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Penelitian, Dikti, Fundamental, 2006.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif yang mengambil lokasi Desa Blimbing Kecamatan Gatak
Kabupaten Sukoharjo ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui : (1) Bagaimana implementasi
pembagian kewenangan antara desa dan kabupaten, (2) Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab
tidak berjalannya implementasi pembagian kewenangan antara desa dan kabupaten, dan (3)
Kewenangan ideal apa saja yang justru dimiliki oleh desa dalam melaksanakan otonomi desa agar
dapat tercapai desa mandiri.
Dengan bersumber pada informan para implementer kebijakan pembagian kewenangan antara
desa dan kabupaten, dokumen-dokumen tertulis yang ada di Kabupaten dan desa, dan kondisi
desa penelitian, data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara mendalam, focus group
discussion, dan mengumpulkan data tertulis. Uji kredibilitas informasi dilakukan melalui penerapan
teknik triangulasi.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa :
1) Implementasi pembagian kewenangan antara desa dengan kabupaten di desa penelitian
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan pembagian kewenangan antara desa dan
kabupaten itu sendiri hingga penelitian ini berlangsung belum pernah dilakukan. Peraturan daerah
yang mengatur hal itu belum ada.
2) Faktor-faktor yang menjadi kendala tidak adanya implementasi pembagian kewenangan itu
sendiri amatlah kompleks, yakni menyangkut:
a. Belum adanya aturan hukum yang memadai yang menjadi dasar pembagian kewenangan.
Oleh karena itu implementasinya pun juga belum ada. Jika di desa telah dilaksanakan
kewenangan-kewenangan, hal itu semata-mata didasarkan pada rutinitas sebelumnya.
b. Kemampuan perangkat desa maupun anggota BPD relatif terbatas baik dalam hal tingkat
pendidikan formal, kemampuan khusus terkait dengan tuntutan juga fungsinya, maupun
pemahaman terhadap kewenangan desa itu sendiri.
c. Tingkat menghasilkan para perangkat desa dan anggota BPD belum memadai, sehingga
mengakibatkan dedikasi kerja tidak optimal. Rencana pemerintah untuk mengangkat Sekretaris
Desa menjadi PNS, di satu pihak disambut antusias oleh para perangkat desa oleh karena jelas
bisa meningkatkan penghasilan, namun di lain pihak justru merupakan masalah dan hambatan
besar bagi menguatnya otonomi desa menuju kemandirian.
3) Kewenangan ideal yang perlu dimiliki desa agar penguatan otonomi desa tercapai dan
akhirnya menuju desa mandiri adalah sebagai berikut :
a. Kewenangan untuk turut serta menentukan kebijakan Kabupaten
yang menyangkut desa.
b. Kewenangan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas dalam
melaksanakan otonomi desa dan mengelola sumber pendapatan
desa
c. Kewenangan untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak
sesuai dengan aspirasi dan daya dukung desa, dan penolakan
4) Berdasar pada hasil penelitian maka implikasi kebijakan yang perlu diambil disarankan
sebagai berikut:
1. Segera diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten tentang penyerahan urusan yang menjadi
kewenangan kabupaten yang perlu diserahkan kepada desa, agar menjadi pedoman yang jelas
bagi desa untuk mengimplementasikan kewenangan tersebut.
2. Diperlukan Kebijakan Pemerintah Kabupaten maupun Lembaga Profesional seperti Perguruan
Tinggi untuk : (a) meningkatkan profesionalitas perangkat desa dan anggota BPD agar mampu
menjalankan fungsi masing-masing, dan mampu mengelola sumber pendapatan desa secara
profesional, (b) memberi keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif
dalam menjalankan otonomi desa.
3. Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penghasilan aparat melalui alternatif : (a)
Pengembangan Badan Usaha Milik Desa, bagi desa yang profesional ke arah itu, atau (b)
mengangkat perangkat desa menjadi PNS untuk desa-desa yang profesional berkembang ke arah
perubahan status menjadi kelurahan.
PELAKSANAAN OTONOMI DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 DI KABUPATEN DEMAKPELAKSANAAN OTONOMI DESA BERDASARKANUNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004DI KABUPATEN DEMAK
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat HukumDosen Pengampu : H. Jawade Hafidz, SH.MH
Disusun oleh :KUSTI’AHMH.09.15.0794
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER (S2) ILMU HUKUMUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG2 0 1 0
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL iDAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang Masalah 1B. Rumusan Analisis 2C. Tujuan Analisis 3D. Manfaat Analisis 3
BAB II ANALISIS 4A. Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak 6B. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Otonomi Desa 7
BAB III PENUTUP 9A. Simpulan 9B. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahPengertian otonomi daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah sangat berkaitan erat dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menawarkan berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi keaneka ragaman dalam kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara lain :1. Kedaulatan rakyat2. Demokrasi3. Pemberdayaan Masyararakat4. Pemerataan dan KeadilanDengan diundangkannya Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk diterapkan sebagai payung hukum pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, dapat memberikan implikasi yang besar bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah termasuk juga pemerintahan desa.Konsep tentang definisi desa sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yaitu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa disertai pembeayaannya; yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan / atau Pemerintah Kabupaten / Kota; yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada Desa.
B. Rumusan AnalisisDari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimana pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ?2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan / atau penghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ?
C. Tujuan AnalisisTujuan dilaksanakannya analisis ini adalah :1. Untuk mengetahui pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan / atau penghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
D. Manfaat AnalisisAnalisis ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran akademis yakni diharapkan menemukan konsep-konsep baru dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan otonomi desa.
BAB IIANALISIS
Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian Otonomi Daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang sangat sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka menerapkan asas desentralisasi dalam Pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi diartikan sebagai pemerintahan kebebasan atas kemandirian (zelfstandigheid) bukan kemerdekaan (onafthankelijkheid), sedangkan otonomi daerah sendiri memiliki beberapa pengertian sebagai berikut :1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses penyejahteraan rakyat.
3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.
4. Pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan, Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreatifitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharakan dapat menjelma menjadi desa-desa otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.Keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa ditandai dengan semakin mampunya Pemerintah Desa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah, Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Melalui pengertian tersebut, prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan-keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah pedesaan.Selayaknya desa dipercaya untuk mengurus dirinya dalam unit wilayah kelola desa melalui peraturan yang dibuat secara mandiri. Ciri paling kuat pemerintahan desa-desa tradisional di Indonesia adalah adanya peranan dana swadaya dan gotong royong. Dua ciri tersebut merupakan modal sosial yang jauh lebih penting (dan potensial) ketimbang modal keuangan.Modal sosial sebagai potensi kemandirian dan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan adalah landasan berkembangnya ekonomi rakyat dan kemandirian desa guna mencapai otonomi.1. Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu bahwa secara materi hukum pemerintah Kabupaten Demak telah melaksanakan materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada dasarnya UU tersebut masih berlaku dan relevan pada saat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan telah dibuat / ditetapkannya 7 (tujuh) Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Ketujuh Peraturan Daerah (Perda) tersebut adalah :- Perda No. 1 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Penetapan dan Pengesahan Badan Permusyawaratan Desa.
- Perda No. 2 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, Pelantikan, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Kepala Desa.- Perda No. 3 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Perangkat Desa.- Perda No. 4 Th. 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Lelangan Tanah Desa dan Dana Perimbangan Keuangan Antar Desa di Wilayah Kabupaten Demak.- Perda No. 6 Th. 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.- Perda No. 8 Th. 2007 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa.- Perda No. 9 Th. 2007 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Otonomi Desa dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004a. Hal-hal positif yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan faktor-faktor yang mendukung Pelaksanaan Otonomi Desa adalah sebagai berikut :- Berkaitan dengan makna Desa bahwa Desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pengertian tersebut di atas sangatlah jelas bahwa pemerintahan desa tidak lagi diarahkan pada self governing community.- Berkaitan dengan kewenangan Desa bahwa Desa diberikan kewenangan untuk mengurusi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota dan tugas pembantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah.- Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Desa secara langsung yang berarti masyarakat dapat memilih Kepala Desanya sesuai yang dikehendaki yang mereka anggap mampu membawa desanya lebih maju dari sebelumnya.- Keberadaan Sekretaris Desa dari unsur PNS, dengan diambil / diangkatnya Sekretaris Desa dari unsur Pegawai Negeri Sipil, maka kegiatan kepemerintahan akan dapat dikelola sesuai prinsip manajemen pemerintahan yang baik.b. Hal-hal terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan faktor-faktor yang menghambat Pelaksanaan Otonomi Desa adalah sebagai berikut :- Pengaturan mengenai Desa dalam Undang-Undang yang baru dapat dianggap memiliki semangat sentralistik karena hanya memperkuat eksekutif (pemerintah desa) kemudian gagasan tentang otonomi desa akan menjadi semakin kabur.- Kekuasaan kepala desa yang selama ini menjadi ”raja kecil” akan dapat semakin kuat karena kewenangan kepala desa menjadi sangat besar dan tidak adanya kontrol dari rakyat yang selama ini menjadi salah satu fungsi Badan Perwakilan Desa. Kekhawatiran lain adalah berpindahnya fungsi kontrol ke tangan Camat selaku perangkat daerah bisa menimbulkan pola ABS (Asal Bapak Senang).- Terjadinya penghilangan hak otonomi rakyat karena adanya peluang desa menjadi kelurahan dan kekayaan desa tersebut menjadi kekayaan daerah yang dikelola oleh kelurahan.
BAB IIIPENUTUP
1. SimpulanSecara umum pelaksanaan otonomi desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah sesuai dengan materi yang telah ada, tetapi faktor utamanya terkait penentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan desa yang untuk
masa sekarang perlu melibatkan unsur Kecamatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah di wilayah, untuk disampaikan kepada pemerintah desa meskipun secara garis koordinasi kepala desa bertanggung jawab kepada Bupati.
2. Saran- Untuk masalah faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu disempurnakan.- Perlu adanya pembinaan aparat desa secara komprehensif secara rutin dan secara periodik dengan melibatkan aparat Kecamatan dan Kabupaten serta aparat terkait melalui pembentukan tim pembina desa dengan sasaran penggunaan dana perimbangan desa yang dirasa banyak sekali persoalan dalam pelaksanaannya serta penataan administrasi desa secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Saddu Wasistono, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah, Alqapriat Jatinangor Sumedang, h.6.
Bayu, Suryaningrat, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Ghalia Yayasan Beringin KORPRI Unit Depdagri, Bandung.
Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia (Hukum Administrasi Daerah 1903 – 2001), Sinar Grafika, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi, 2003, Manajemen Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Bhenyamin Hoessen, 1995, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II. Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara. Desertasi untuk Gelar Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1993 dan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, UI, Jakarta.
Pemerintah Kabupaten Demak, 2000, Perda Kabupaten Demak No. 20 Th 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Pemecahan dan Penggabungan Kelurahan, Bagian Hukum Kabupaten Demak.
Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Sekretariat Daerah, 2007, Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Demak Tahun 2007, Bagian Hukum Kabupaten Demak.
Bagian Hukum dan Perundang-Undangan Sekretariat Daerah Kabupaten Demak, 2006, Peraturan Pemerintah Daerah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Kelurahan, Dema
TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN OTONOMI DESA DI KABUPATEN BANGGAIJudul :TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN OTONOMI DESA DI KABUPATEN BANGGAIPengarang/Penulis :Asis Harianto, H.M. Djafar Saidi dan Faisal AbdullahAlamat/Sumber Jurnal :http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/07f508de53592473de5e935ee080bf4a.pdfReview Jurnal :Pelaksanaan otonomi desa pada daerah penelitian secara umum sudah dapat berjalan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 namun belum secara maksimal khususnya untuk pelaksanaan pembangunandi segala bidang di desa penelitian baik desa-desa yang ada di Kecamatan Toili maupun desa-desa yang ada di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai. Faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan otonomi desa pada desa-desa penelitian baik Kecamatan Toili maupun Luwuk Timur Kabupaten Bangai adalah sama persis, yaitu faktor penghambatnya adalah sarana dan prasarana sedangkan faktor pendukungnya adalah faktor dana, faktor koordinasi dan faktor komitmen.Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Bangai adalah meningkatkan gaji Kepala Desa dan perangkatnya, mengalokasikan dana yang cukup untuk bantuan pembangunan desa, terutama guna alat transportasi desa yang masih sangat kurang bahkan tidak ada.Diposkan oleh dylla kahar raden di
KATEGORI: DAERAH
Implementasi Otonomi Desa Menurut UU No 32/2004
Rivan Mubaroq.AmKL.SH Kamis, 27 Jan '11 21:24
Bagus +2
Beri Rating
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya, menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan keadilan disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.
2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.Desa atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mngurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau di bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan ataupun pedelegasian dari pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap Desa, geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang di bentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi daerah akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.Otonomi desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika saat ini kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb. Desa adalah basis masyarakat dengan segala problematiknya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi, sebagian besar penduduk indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian, slogan yang mengatakan membangun desa maka daerah dan negara maju bukan hanya slogan pepesan kosong tanpa argumen yang valid. Dalam kerangka konseptual pemikiran ini lah, maka konsep pengembangan otonomi desa adalah alternatif yang pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan nasional.Otonomi pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki sebuah ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau sempitnya kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan besaran otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat lokal.Namun, hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi desa, ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan telah lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai problematiknya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai bentuk strategis kebijakan pemerintah.Menyimak sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya komitmen untuk mengeyampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus berkembang dan berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa
sepertinya akan terus berlanjut.UU No 32/2004 yang mengantikan UU No 22/1999 mungkin cerita yang dapat diangkat.Pemerintah Desa berdasarkan UU No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar dengan pemerintah desa menurut UU No 22/1999. Di mana pengaturan desa yang tergambar dalam UU No 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah dan menghilangkan demokratisasi pemerintahan desa. hal ini mengingatkan pengaturan desa dalam UU No 5/1975.Selanjutnya menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat tiga sumber urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana di atur dalam Pasal 206 UU No 32/2004 yaitu :
1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.3. tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau
Pemerintah Kabupaten.Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan pasal 200 UU No 32/2004 yaitu :
1. Dalam pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
2. Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.
3. Desa di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA.
Pasal 206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa adalah urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa. Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintahan Kabupaten/Kota. Padahal dalam pasal 200dinyatakan bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan Desa. Istilah PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian dalam Pemerintahan Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada pembentukkannya.Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :Pertama : Tidak diaturnya sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa dalam batang tubuh UU No 32/2004. Sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desanya yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung-jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan laporan pertanggung-jawabannya.
Pengaturan semacam ini tidak tepat sasaran. Karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari penafsiran gramatikal ganda. Hal ini yang perlu dicermati yaitu pola laporan pertanggung-jawaban yang bersifat vertikal (ke atas)dan bukan horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD) akan menimbulkan perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan lebih loyalitas kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang memilihnya dan menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa menjadi alat politik pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung.Kedua : Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan PERDA berdasarkan Peraturan pemerintah dan pasal 208 UU No 32/2004 Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat UU tidak secara definitif menentukan tugas dan kewajiban kepala Desa. pengaturan semacam ini memberi ruang hampa pada pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di lain pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat terbatas berdasarkan pasal 209 UU No 32/2004 yaitu menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena kewenangan Kepala Desa sangat elistis dengan menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada PERDA.Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam UU No 32/2004 fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai penampung serta penyalur aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalamUU No 22/1999, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.mekanisme tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam UU No 32/2004 yaitu anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD) adalah respretatifdari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah desa. Sedangkan di dalamUU No 22/1999 yaitu anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh anggota. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Kepala
Desa menetapkan Peraturan Desa. Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat, Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.Selain itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme", kerabat-kerabat Kepala Desa menjadi kaum elit desa karena keangotaannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan pola ini dapat di anggap sebagai pengingkaran prinsip demokrasi langsung terhadap kedaulatan rakyat.Selanjutnya itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam UU No 32/2004terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris Desa di isi dariPegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang pengabdiaannya pun akan berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur pegawai negeri sipil di desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik baru.Di samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya jugaloyalitas ganda, satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus tunduk kepada Kepala Desa. namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri Sipil secara otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu Bupati/Walikota. Loyalitas ganda ini lah menyebabkan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang. Sebab masuknya birokrasi intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa. Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down (dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.Dari uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Mempercepat pemprosesan pembahasan dan pengesahan RUU Pemerintahan Desa menjadi UU Pemerintahan desa sebagai payung hukum manisfestasi prinsip demokratisasi perdesaan serta dalam sistem pertahanan nasional dalam kerangka NKRI.
2. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosesdur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat desa untuk menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya akan tetapi tetap memberi kesempatan kepada masyarakat/rakyat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang di maksud.
3. Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama para petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agrobisnis industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA).
gambar: diambil dari Google.
Kajian Kritis Terhadap PP 72/2005 Tentang DESA Jul 4, '07 12:20 AMuntuk semuanya
Otonomi Desa dan Pembangunan Desa
Ruang lingkup tanggung jawab dari birokrasi bukan hanya melakukan pelayanan publik secara universal dan optimal, melainkan birokrasi tentu harus mengupayakan pemerataan dalam kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan (dalam arti luas) kepada masyarakat. Akselerasi pembangunan memang telah dirasakan semenjak terselenggaranya reformasi di berbagai sektor , tetapi kita tidak bisa menafikan masih belum adanya keadilan dalam pembagian kue pembangunan mengakibatkan gap antar wilayah, utamanya di pedesaan.
Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah banyak dilakukan sejak dari dahulu hingga sekarang, tetapi hasilnya belum memuaskan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan seharusnya dilihat sebagai : (1) upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan (2) upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh.
Pembangunan pedesaan bersifat multiaspek oleh karena itu perlu keterkaitan dengan bidang sektor, dan aspek di luar pedesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud, dan non spasial).
Menurut Rahardjo Adisasmita1 tujuan pembangunan pedesaan jangka panjangadalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah meletakkan
dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Sehingga harus disadari bahwa hakekat dari pembangunan nasional secara komprehensif adalah dengan meletakkan pondasi atau penopang yang kokoh pada pembangunan di tingkat desa.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka seiring dengan bergulirnya era desentralisasi dan pemberlakuan otonomi daerah seharusnya mengalir pula kewenangan yang lebih luas kepada perangkat desa untuk berpartisipasi secara langsung dalam perencanaan pembangunan. Partisipasi ini hanya akan terwujud apabila otonomi daerah terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 Tentang “Desa” sebagai bentuk implementasi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang “Pemerintahan Daerah” maka dilegitimasilah kekuasaan pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Hal ini ditambah dengan dihargainya faktor-faktor heterogenitas, asal-usul, nilai-nilai tradisional, dan kearifan lokal.
Berdasarkan semua keistimewaan yang telah diberikan, tak ada alasan lagi bagi desa untuk tidak melaksanakan otonomi desa. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul, apakah semudah itu? Apakah desa telah siap untuk melaksanakan otonomi tersebut? Benarkah pemerintah telah concern untuk melaksanakan otonomi desa?
Satu hal lain yang harus kita cermati bahwa ternyata meskipun PP Nomor 72 Tahun 2005 telah memberikan ruang yang lebih luas kepada Kepala Desa dan seluruh perangkat desa lain untuk mengatur masyarakatnya, namun masih memerlukan penyempurnaan di beberapa pasal agar tercapai hakekat dari otonomi desa yang sesungguhnya.
Kajian Kritis terhadap PP 72 Tahun 2005 Tentang “Desa”
Reformasi dan otonomi daerah sebenarnya adalah harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Kalau dulu semua hal yang akan dilakukan oleh pemerintah desa harus melalui rute persetujuan kecamatan, untuk konteks sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Intervensi dari atas yang dulu sangat kental terasa kini sudah mulai berkurang. Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa.
Sementara itu dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi, dimana hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa.
Namun persoalannya, karena tidak adanya kewenangan dan tanggung jawab yang jelas mana ruang lingkup kewenangan desa dan mana yang menjadi kewenangan kabupaten, sumber daya ekonomi desa seringkali terserap dan pengelolaannya diklaim sepihak oleh kabupaten. Dari sisi ini secara ekonomi, desa pada akhirnya menjadi sangat tergantung kepada kabupaten. Antusiasme masyarakat desa untuk melakukan pembangunan berbasis pada kebutuhan lokal lagi-lagi terhambat oleh tidak adanya ketersediaan dana yang dapat digunakan sebagai tumpuan operasional pembangunan.
Permasalahan lain yang muncul adalah prilaku aparat birokrasi kabupaten yang tidak mau membuka diri dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan desa. Lemahnya sumber daya manusia yang ada di desa selalu menjadi justifikasi bagi pemerintah kabupaten untuk tidak memberikan peluang otonomi bagi desa. Lagi-lagi disini kita melihat adanya kesalah-kaprahan birokrasi dalam memahami paradigma otonomi.
Sebenarnya masih banyak persoalan lainnya dari otonomi desa yang menyimpan potensi tidak dapat terlaksananya otonomi desa secara utuh, murni dan konsekuen serta rawan deviasi (penyimpangan). Dan benang merah dari segala persoalan tersebut mengarah kepada kebutuhan akan diterbitkannya peraturan pemerintah yang baru yang lebih jelas dan memberikan kepastian hukum. Dengan asumsi demikian maka dari tinjauan aspek Hukum Tata Pemerintahan berikut beberapa pasal dalam PP 72 Tahun 2005 yang masih ‘bermasalah’ tersebut :
a. Pertanggung-jawaban Kepala Desa
Ditinjau dari sudut aliran pertanggung-jawaban (legal-accountability) penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No 32/2004 maupun PP No 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggung-jawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur kewenangan BPD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pengaturan kewenangan pengawasan oleh BPD.
b. Kedudukan BPD
PP No. 72/2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal pasal 202 ayat (1) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian pemerintah desa hanya terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Kemudian dilanjutkan dalam ayat (2) pasal yang sama bahwa yang dimaksud perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Tidak diperinci dan ditegaskan secara lebih jelas kedudukan BPD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintah desa.
c. Sistem Perencanaan
Menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak Negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.
Filosofi pembangunan yang bertumpu pada paradigma klasik (trickle down effect) yang diintroduksikan oleh Albert Hirschmann atau lebih lebih dikenal konsep top-down, telah menimbulkan masalah yang cukup serius seperti ketimpangan, kemiskinan, keterbelakangan, dan sikap masa bodoh atau ketidakpedulian (antar daerah dan antar golongan masyarakat). Pengaplikasian konsep itu secara empirik telah memperlihatkan terjadinya kecenderungan kurang memberikan perhatian kepada masyarakat lapisan bawah (grass root). Konsep semacam ini tidak aspiratif dan dianggap tidak bijaksana terhadap permasalahan yang dihadapi, pemanfaatan potensi masyarakat desa serta pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai penerima program pembangunan.
Meskipun kini pemerintah me-mercusuarkan program bottom up planning dengan kegiatan Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Desa), rapat LPM tingkat kecamatan, Rakorbang tingkat kabupaten dan propinsi hingga Rakornas tingkat pusat, namun kenyataannya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Bahkan kondisi riil di lapangan terkadang ditemukan usulan yang dirumuskan dari level bawah, diintervensi oleh kekuasaan yang berada setingkat di atasnya. Pada tingkat LPM dan Rakorbang juga seringkali ditemukan adanya dominasi sektoral dalam proses bargaining tanpa melihat dan mempertimbangkan usul yang muncul dari bawah.
Dalam akhir tulisan ini, penulis mendapat kesimpulan bahwa dengan adanya revisi UU 22/1999 menjadi UU 32/2004 belum menjawab tuntas permasalahan desa, karena tersirat dalam peraturan perundangan tersebut pemerintah pusat belum sepenuhnya memberikan otonomi yang luas. Begitupun paradigma orde baru nampaknya masih dipakai pemerintah pusat saat ini, yang menganggap desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
PP 72/2005 sebagai peraturan pelaksana dari UU 32 Tahun 2004 perlu dikaji lebih lanjut. Kelemahan peraturan ini sebagaimana paparan di atas harus segera dibenahi. Tujuannya tentu untuk menciptakan tata pemerintahan desa yang ideal sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat desa. Sebagaimana disampaikan Prof.DR. Ryaas Rasyid, MA. pakar otonomi daerah dalam acara kuliah umum di hadapan mahasiswa S1 PIN bahwa perlu dilakukan break-down terhadap UU 32/2004 menjadi tiga perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah pilkada, keuangan daerah, serta pemerintahan desa berikut pembenahannya.
Asumsi desa wajib diberdayakan karena dianggap bodoh, sudah usang. Idealnya yang perlu dibenahi oleh pemerintah pusat adalah melepas sekat-sekat penghalang bagi desa untuk berkembang. Sesungguhnya tidak tepat jika muncul ketakutan pemerintah, desa akan akan memisahkan diri dari NKRI apabila diberikan kekuatan (baca : kekuasaan) yang lebih besar, karena ketakutan tersebut sangat tidak mendasar.
Otonomi bukanlah bebas yang sebebas-bebasnya, tetapi bebas yang bertanggung jawab, bermartabat, dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat. Sikap dilema dan kegamangan desa seperti sekarang akan mengubah peluang menjadi hambatan ... Inikah yang kita kehendaki ? Kata kunci: artikel-koe
Permasalahan yang Timbul dalam Pelaksanaan Otonomi DaerahDiterbitkan Maret 25, 2012 Tugas Kuliah , Uncategorized 32 Komentar Kaitkata:disintegrasi, dprd, eksploitasi sumberdaya terhadap daerah, kepala daerah otonomi daerah, korupsi di pemerintahan daerah, masalah otonomi daerah, peran masyarakat dalam otonomi daerah, peraturan daerah, permasalahan otonomi daerah,permasalahan yang timbul, prinsip otonomi daerah, tujuan otonomi daerah