LAPORAN HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Oleh: Eko Sabar Prihatin (Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP) Dibiayai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TAHUN 2009
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN HASIL PENELITIAN
OTONOMI DAERAH DAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Oleh: Eko Sabar Prihatin
(Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP)
Dibiayai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG TAHUN 2009
HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN 1. a. Judul Penelitian : OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM 2. Ketua Peneliti :
a. Nama Lengkap : Eko Sabar Prihatin,SH,MS b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Gol./Pangkat/NIP : IVB/Pembina Tk.I/131458541 d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala e. Jabatan Struktural : - f. Bagian : Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNDIP
3. Jumlah Peneliti : 11 (sebelas) orang
a. Wakil Ketua : Untung Dwi Hananto, SH, MHum b. Sekretaris : Indarja,SH,M H c. Anggota : Lita Tyesta ALW, SH,MHum d. Anggota : Untung Sri Harjanto,SH,MH e. Anggota : Amiek Sumarmi,SH,MHum f. Anggota : Amalia Diamantina,SH, MHum g. Anggota : Fifiana Wisnaeni, SH, MHum h. Anggota : Retno Saraswati, SH, MHum i. Tenaga Pendukung : Susilo, SH j. Tenaga Pendukung : Triyono, SH, MH k. Tenaga Pendukung : Heru Setiyono, Ssi
4. Lokasi Penelitian : Jawa Tengah 5. Lama Penelitian : 2 (dua) bulan 6. Biaya yang diperlukan : Rp. 108.250.000,- (seratus delapan juta dua ratus lima puluh
rupiah )
Semarang, 28 Agustus 2009 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum UNDIP Ketua Peneliti, Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS Eko Sabar Prihatin,SH,MS NIP. 130 937 134 NIP. 131 458 541
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya penelitian dengan judul
“OTONOMI DAERAH DANPENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM” ini.
Pada kesempatan ini kami tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapaun sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan.
Tim peneliti juga menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Karenanya atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam hasil penelitian ini,
kami mohon maaf dan mengharapkan saran, kritik serta masukan agar hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya
Semarang, 28 Agsutus 2009
Tim Peneliti
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………..... ...... i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...... ii
ABSTRAK ………………………………………………………………….... . iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………........ 1
A. Latar Belakang Penelitian …………………………………........ 1
B. Rumusan Masalah..…………………………………................... 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………… ..... 6
D. Kontribusi Penelitian ………………………………………… ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...... 7
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………... 16
A. Metode Pendekatan ……………………………………………... 16
B. Spefikasi Penelitian ....................................................................... 16
C. Metode Pengumpulan Data …………………………………....... 16
D. Metode Penyajian Data ……………………………………......... 17
E. Metode Analisis Data ……………………………………............ 17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMABAHASAN ………………... 19
1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Pembangunan Berkelanjutan .......................................................... 19
2. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup........................................................................... 22
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam ..................................................... 34
4. Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era Otonomi Daerah.............. 47
ii
BAB V PENUTUP …………………………………………………… ........ 93
A. Kesimpulan …………………………………………………….. 93
B. Saran ………………………………………………………….... 95
DAFTAR PUSTAKA
iii
ABSTRAK
Banyak permasalahan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.
Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Permasalahannya adalah Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah? Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan? Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah? Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif. Metode yuridis digunakan sehubungan dalam penelitian ini yang diteliti adalah peraturan hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
Kata kunci : otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam
iv
BAB I
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG MASALAH
Otonomi Daerah adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah
dengan rakyat sehingga ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi menjadi terbuka.
Dengan dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat
kebijakan seharusnya, kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
daerah semakin besar. Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yang
terpusat, bahkan lebih menjamin adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan yang
seragam seperti pada masa orde baru), karena menghindari dominasi suatu kekuasaan
berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi
maka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan
sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, otonomi daerah berarti:
a. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.
b. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat didalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari.
c. Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi
(bioecoregion).
d. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan
menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya
dukung.
1
e. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang
paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan daerah dapat
memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan masyarakat setempat, maka
pelaksanaan otonomi harus memenuhi prasyarat sebagai berikut :
1) Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan kekuasaan pemerintah atau pun
legislatif, tetapi yang lebih penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan
rakyat. Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini
terpusat harus menjadi bagian dari proses demokratisasi yang dicirikan oleh adanya
pengembangan kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban secara
politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka oleh para pejabat daerah;
serta pengembangan kemampuan dan peluang rakyat setempat dalam melakukan
pengawasan.
2) Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-jawaban pemerintah daerah
dan DPRD maka sangatlah penting untuk mengubah sistem pemilihan umum.
Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik, sehingga para anggota
DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih bertanggung-jawab kepada para
pemilihnya dan bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, sistem
pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa/Lurah)
hingga pemerintah yang ada pada unit terkecil harus dilakukan dengan cara
pemilihan langsung. Ini akan menghindari munculnya persokongkolan antara partai
atau DPRD dengan kepala daerah, bahkan membuka peluang bagi rakyat untuk
2
mempersoalkan atau menggugat kebijakan pemerintah setempat yang merugikan
kepentingan rakyat.
3) Otonomi yang paling dasar haruslah ada pada tingkat komunitas masyarakat yang
terkecil seperti desa atau sejenis. Disini rakyatlah yang memutuskan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Rakyat diberi hak dan
jaminan hukum untuk ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di
desanya, misalnya soal penataan ruang atau kawasan, pemberian ijin investasi,
bahkan hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau menikmati hasil
pengelolaan sumberdaya alam setempat.
4) Agar otonomi terhindar dari sistem negara di dalam negara, maka pengelolaan
daerah-daerah otonom harus dilandaskan pada konstitusi nasional maupun pada
peraturan perundangan lainnya yang berlaku secara nasional dan universal yaitu
peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak azasi manusia,
moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan.
5) Daerah otonom juga harus menghormati hukum internasional yang telah disepakati
oleh banyak negara, misalnya konvensi tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak
dan perempuan; tentang keanekaragaman hayati; tentang perdagangan bahan beracun
berbahaya atau B3 (konvensi Basel); tentang perdagangan satwa (CITES); tentang
hak azasi manusia; tentang hak untuk berpindah dan menetap; diskriminasi etnik dan
ras, dan sebagainya.
6) Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat sipil (civil society) yang
terdiri dari berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu
berpikir kritis, dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap
3
penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
7) Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara kekuasaan di
daerah untuk benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benar-
benar meletakkan kepentingan dan suara masyarakat sebagai pijakan dari semua
kebijakan publik yang dibuat.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak masalah yang terkait
dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang
berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses
pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era
otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin
bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan
bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di
mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam
yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.
Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-
mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang
menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses
pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-
hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala
lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam
sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam
pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal
4
ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat
dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-
baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat
terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan
masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan
pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
b. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas peneliti merumuskan masalah
penelitian ini adalah:
1. Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang
pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan?
2. Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan
sumber daya alam di daerah?
3. Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses
perijinan?
4. Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan
instansi terkait dan stakeholders di daerah?
5
c. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam
sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
2. Mengetahui upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber
daya alam di daerah.
3. Mengetahui penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses
perijinan.
4. Mengetahui upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi
terkait dan stakeholders di daerah.
d. KONTRIBUSI PENELITIAN
a. Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan kajian lebih jauh
tentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.
b. Selain hal itu diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk menambah dan
melengkapi ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan
tentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan sumber daya alam termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan
dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya
berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem
pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi)
dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa
pengelolaan sumber daya alam, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri
sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh
pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
1. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam bidang
lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah
pusat kepada daerah:
• Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
• Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
• Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
• Menetapkan pendekatan kewilayahan.
7
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004,
pengelolaan sumber daya alam titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional
dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit RPJPN merumuskan program yang
disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu
mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang
lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan
hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi.
Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya
informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data
spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat
luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi
Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan
mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya,
sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien
dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-
kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang
tidak terkendali dan eksploitatif
8
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan
Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya
mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas
lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan,
serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya
kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan
yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem
hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup
yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya
kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan
didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya
penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam
dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
9
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya
sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
2. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Dengan pesatnya pembangunan nasional yang tujuannya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah
tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan
landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan
dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan
lingkungan hidup, sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh
karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas
lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan
penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan.
Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya
permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan
lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
1. Regulasi Perda tentang Sumber Daya Alam.
2. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
3. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
4. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan
hidup.
10
5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan
stakeholders
6. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
7. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
8. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
9. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan
yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi
penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan
keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan
terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang
penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam UUPLH, maka undang-undang ini
merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam
11
penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini
mengingat pengelolaan sumber daya alam memerlukan koordinasi dan keterpaduan
secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen
sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang
No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, UU No.
26 Th 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan
Gubernur.
Mengingat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan permasalahan yang
bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan daerah
diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang sejalan
dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya,
lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling
memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta
ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan.
Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta
penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk
mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan
berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada
slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa
yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari
waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal
12
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah dalam era otonomi
daerah antara lain sebagai berikut.
• Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan
sebagian kewenangan mengelola sumber daya alam di daerah belum mampu
dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, demikian juga ego sektor.
Pengelolaan sumber daya alam sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang
satu dengan sektor yang lain, tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan
menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan sumber
daya alam) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
• Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program
dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan
keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan
hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada
kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program
pengelolaan sumber daya alam, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN
yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam.
• Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan
sumber daya alam selain dana yang memadai juga harus didukung oleh
sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum
mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan
sumber daya alam (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara
baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
13
• Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi
ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian;
eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat,
aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta
menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan
hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang
Pengelolaan sumber daya alam selama ini yang telah mendatangkan berbagai
dampak dan permasalahan berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang
berkaitan dengan sumber daya alam memberikan legitimasi kepada praktek pemanfaatan
49
sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan
kepentingan masyarakat daerah. Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang
sumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain;
• Berorientasi pada ekspolitasi sumber daya alam untuk mengejar keuntungan
ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para pengusaha besar.
• Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara
sentralisitis.
• Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun
pengelolaan yang tumpang tindih.
• Mengabaikan keadilan terhadap masyarakat daerah setempat.
1. Regulasi Peraturan Daerah tentang Sumber Daya Alam.
Desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah
dengan rakyat. Dari sini ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi terbuka. Dengan
dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat peraturan
seharusnya, kontrol terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintahan daerah
semakin besar. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa kontrol baik
dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah terhadap peraturan perundang-
undangan yang muncul sebagai penjabaran UU diatasnya sangat lemah. Sehingga sangat
mungkin, peraturan-peraturan daerah ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU di
atasnya tersebut.
Hal-hal di atas terjadi walaupun advokasi kebijakan dan pengorganisasian serta
pendampingan rakyat telah dilakukan baik bersama ornop maupun oleh rakyat sendiri.
Refleksi beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kapasitas dan kualitas
50
pengawalan oleh rakyat beserta ornop dalam memulihkan kerusakan sosial dan ekologis
ini masih relatif lemah1. Pemahaman tentang pokok permasalahan relatif masih tidak
lengkap. Dalam banyak kasus, metode yang digunakan juga tidak dipahami secara kritis.
Akibatnya, seringkali, alih-alih menyelesaikan masalah, justru telah menimbulkan
masalah baru. Bahkan di beberapa wilayah ornop masih sibuk membenahi permasalahan
internal organisasinya. Hal ini diakui memang terjadi, selain faktor tidak seimbangnya
jumlah ornop yang ada (terlalu sedikit) dengan kerusakan-kerusakan yang harus
dipulihkan. Seharusnya, ornop bersama rakyat memperkuat dirinya dengan mendalami
substansi permasalahan juga metode untuk resolusi konflik. Selain itu pengorganisasian
harus diperkuat dan sikap kritis dipertajam sehingga peraturan-pearatran daerah yang
keluar dari pemerintahan daerah dapat mencerminkan aspirasi rakyat dan ditujukan untuk
memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama ini terjadi.
Sumber daya alam memang tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, yaitu
kepentingan negara, kepentingan modal dan kepentingan rakyat. Konflik antar
kepentingan ini selalu memposisikan rakyat sebagai pihak yang kalah. Agenda
desentralisasi yang dimaksudkan menyerahkan sejumlah kewenangan dari pemerintahan
pusat ke pemerintahan daerah seharusnya memposisikan rakyat sebagai pelaku utama
pengelolaan sumber daya alam. Namun, “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintah
pusat beralih ke pemerintahan daerah”. Selain landasan undang-undangnya sendiri yang
harus direvisi, political will dari pemerintah daerah dan DPRD belum muncul serta
struktur politik yang ada juga tidak memungkinkan perubahan.
1 Zakaria, Yando. 2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan
dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat”
51
Contoh ;Rekapitulasi Tema Perda di Jawa Tengah 1999-2004No. Daerah Kategori Jumla
hKelembagaan
Keuangan
Pajak
Retribusi
Kesehatan
Tenagakerja
Lainnya
1 Provinsi Jateng 12 13 6 17 3 4 17 72
2 Kota Semarang 7 11 8 9 2 1 8 46
3 Kudus 17 14 2 17 0 1 9 60
4 Pekalongan 17 11 5 12 0 1 5 51
5 Blora 11 7 2 13 1 2 0 36
6 Surakarta 9 14 1 14 2 0 4 44
7 Sragen 23 11 4 28 3 2 11 82
8 Purbalingga 27 15 2 15 2 3 5 69
9 Kebumen 20 10 1 25 2 1 29 88
10 Wonosobo 34 19 4 26 0 2 38 123
11 Cilacap 10 0 6 20 0 1 16 53
Jumlah 187 125 41 196 15 18 142 724
Sumber: Enny Nurbaningsih et al, Dinamika Implementasi Perda, 2006.
Sejalan dengan penyusunan dan pembahasan suatu Raperda Pengelolaan Sumber
Daya Alam maka dalam proses penyusunan dan pembahasannya memperhatikan aspek
demokrasi. Jika selama ini para stakeholders tidak dilibatkan secara optimal maka
sekarang untuk Raperda-PSDA dapat diikutsertakan. Keikutsertaan para stakeholders
yang meliputi antara lain pemerintah daerah, legislatif, kalangan dunia usaha, unsur dari
masyarakat lokal/adat, unsur pencinta lingkungan dan sebagainya akan dapat
memberikan masukan dan pertimbangan yang komprehensif terhadap substansi dan
materi Raperda-PSDA.
Dengan demikian proses penyusunan dan pembahasan Raperda secara demokratis
akan melahirkan Raperda yang mampu menampung berbagai kepentingan dari para
stakeholders dan sekaligus akan mengurangi kemungkinan masuknya substansi yang
bersifat diskriminatif.
dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung,
52
Melalui proses penyusunan dan pembahasan yang demokratis diharapkan
Raperda-PSDA yang akan mengatur kegiatan pengelolaan sumber daya alam di daerah
ini dapat mengandung muatan nilai keadilan. Dengan demikian tidak akan ada lagi
monopoli dari pihak tertentu dalam pengelolaan SDA. Semua kalangan dunia usaha
diberi kesempatan secara fair untuk ikut serta dalam pengelolaan sesuai aturan main yang
berlaku. Demikian juga daerah diberi kesempatan secara adil untuk dapat menikmati hasil
pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Selanjutnya aspek keadilan ini hendaknya juga meliputi keadilan dalam
kewenangan menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Jadi disamping
kewenangan yang dimiliki pusat hendaknya daerah juga diberikan kewenangan dalam
menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan aspirasi
masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah lebih mengetahui dan
memahami secara dekat dan langsung tentang kondisi daerah dan masyarakatnya.
Desentralisasi kewenangan kepada daerah akan membatasi dominasi berlebihan pusat
terhadap daerah.
Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan suatu prinsip mutlak
yang harus dimiliki oleh Raperda-PSDA yang akan disusun. Pengelolaan sumber daya
alam berkelanjutan yang dimaksudkan disini diadaptasi dari definisi pembangunan
berkelanjutan yang dikeluarkan oleh World Commmision on Environment and
Development (WCED) dalam Our Common Future yaitu ;
“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pemenuhan
generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang”.
Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
53
Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya
alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber daya
alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan baik sehingga
dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan SDA
yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi
sekarang.
Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari
masa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi
sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi mendatang
tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam yang baik untuk
diwariskan kepada generasi berikutnya.
Di Indonesia, instrumen hukum yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup pada masa lalu memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan
substansial seperti berikut:
Pertama, berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented)
sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya
alam. Hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk
mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan
pendapatan dan devisa negara;
Kedua, berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented),
sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan patensi-potensi
pekonomian masyarakat daerah;
54
Ketiga, menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat
pada negara pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi
pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
Keempat, manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral,
sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi
(ecosystem);
Kelima, corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan menyebabkan tidak adanya
koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
Keenam, tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama
hak-hak masyarakat daerah/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai
kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan
membuat undang-undang baru. seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang yang saat ini telah direvisi, dan (3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, persoalan mendasar dalam
pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun
implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahan-
kelemahan seperti berikut: Pertama, pemerintah masih mendominasi peran dalam
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);
kedua, keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah; ketiga, pendekatan dalam
pengelolaan sumber daya alam tidak komprehensif; keempat, hak-hak masyarakat
daerah/local atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara
55
utuh; kelima, ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
masih diatur sacara terbatas; keenam, transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada
publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.
Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994
tentang Pengesahaan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak
Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber
daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global
pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti: konservasi dan keberlanjutan fungsi
sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak
masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.
Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan mengenai
pengelolaan sumber daya alam yang berpotesi mengancam kebelanjutan fungsi
sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu
agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat,
transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam,
menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya
good environmental governance, adalah membentuk peraturan perundang-undangan
pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis,
dan berkelanjutan.
56
Dengan demikian masalah regulasi peraturan daerah tentang pengelolaan sumber
daya alam di daerah sangat berkaitan dengan:
1. Visi dan misi strategi pembangunan daerah tidak terpadu (Political will)
2. Kapasitas Kelembagaan dan Kebijakan “Good Environment Governance” (GEG)
Rendah
3. Menguatnya persepsi,sikap dan perilaku Egosentrisme/sektoral
4. Proses pembuatan Kebijakan tidak melibatkan semua elemen masyarakat
(stakeholders)
5. Eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan PAD tidak diimbangi upaya
konservasi
6. Memaksakan program yang tidak sesuai dengan peruntukan perencanaan tata
ruang dan aspirasi masyarakat.
7. Proses perijinan usaha tidak transparan
8. Munculnya Konflik Kepentingan/antar Daerah
9. Lemahnya Penegakan Hukum
10. Alokasi Dana Pengelolaan SDA/LH minim
Dengan memperhatikan aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam
penyusunan perda tentang pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai
permasalahan yang dialami dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini
dapat diatasi dengan baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.
57
2. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, seharusnya dilakukan
secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan 6 (enam) hal,
yaitu:
a. Lembaga Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif
(effective representative system);
b. Peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan
professional;
c. Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang
kokoh;
d. Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control
(public watchdog) dan penekanan (pressure);
e. Desentralisasi dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung oleh
local civil society yang juga kuat (democratic decentralization);
f. Adanya mekanisme resolusi konflik.
Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen kelembagaan di
tingkat global, yang tercantum dalam berbagai konvensi yang merupakan tindak lanjut
dari KTT di Rio de Janeiro. Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan
Berkelanjutan sebagai hasil WSSD dinyatakan di antaranya, bahwa Majelis Umum PBB
harus mensahkan pembangunan berkelanjutan sebagai satu unsur kunci dalam
menentukan kerangka kegiatan PBB khususnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pembangunan yang telah disepakati secara internasional, termasuk yang terdapat pada
Deklarasi Millenium dan harus memberikan arahan politik yang menyeluruh terhadap
pelaksanaan Agenda 21 dan pengkajiannya. Rencana tersebut menyatakan pula bahwa
58
Commission for Sustainable Development (CSD) harus terus menjadi komisi tingkat
tinggi mengenai pembangunan berkelanjutan dalam sistem PBB dan berfungsi sebagai
forum untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan integrasi ketiga dimensi
pembangunan berkelanjutan. CSD harus memberikan penekanan yang lebih pada
tindakan-tindakan yang mendukung pelaksanaan pada semua tingkatan, termasuk
memajukan dan memfasilitasi kemitraan yang melibatkan pemerintah, organisasi
internasional dan para pemangku kepentingan terkait untuk pelaksanaan Agenda 21.
Rencana tersebut di atas menekankan pula perlunya lembaga-lembaga internasional, baik
di dalam maupun di luar sistem PBB, termasuk lembaga keuangan internasional, WTO
dan GEF, untuk memperkuat, dalam mandatnya, usaha kerjasama mereka untuk
memajukan dukungan kolektif dan efektif bagi pelaksanaan Agenda 21 pada semua
tingkatan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan pula komitmen regional. Dalam Rencana
Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan dinyatakan bahwa pelaksanaan Agenda
21 dan hasil-hasil KTT harus secara efektif dilakukan pada tingkatan regional dan
subregional, melalui komisi-komisi regional dan badan-badan serta lembaga-lembaga
regional dan sub-regional lainnya. Komitmen regional di antaranya dapat dilihat dalam
Asean Environmental Program (ASEP).
Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan tercantum bahwa
setiap negara mempunyai tanggung-jawab utama terhadap pembangunan
berkelanjutannya, dan peran dari kebijakan nasional dan strategi pembangunan sangatlah
penting. Setiap negara harus memajukan pembangunan berkelanjutan pada tingkat
nasional dengan antara lain, memberlakukan dan menegakkan Undang-Undang yang
jelas dan efektif yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua negara harus
59
memperkuat lembaga-lembaga pemerintah, termasuk melalui penyediaan infrastruktur-
infrastruktur yang diperlukan dan dengan memajukan transparansi, akuntabilitas dan
lembaga-lembaga administrative dan lembaga-lembaga peradilan yang adil.
Dengan pencantumannya dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
dimulai dengan GBHN 1993 yang dipengaruhi oleh hasil UNCED pembangunan
berkelanjutan senantiasa menjadi kebijakan nasional, yang dijabarkan lebih lanjut dalam
berbagai produk legislative pada tingkat nasional dan tingkat daerah, diantaranya dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dimasukkannya ketentuan tentang pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional , serta Peraturan-
peraturan daerahnya masing-masing. Penerapan kebijakan tentang pembangunan
berkelanjutan ini dalam praktek menimbulkan deviasi yang cukup jauh, yang diakibatkan
oleh kurang singkronnya peraturan satu dengan yang lainnya dan oleh berbedanya
persepsi para aparat penegak hukum tentang suatu peraturan. Cukup banyak peraturan
yang ketentuan-ketentuannya dapat diinterpretasikan berbeda-beda (multi interpretable)
yang mempengaruhi pelaksanaan yang sering bertubrukan satu dengan yang lainnya.
Penguatan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam membawa kepada
keharusan adanya sinkronisasi pelaksanaan agar terdapat penanganan terpadu dengan
pendekatan lintas sector dan multi-serta interdisipliner.
Penguatan Kelembagaan Pengolaan sumber daya alam antara lain dilaksanakan
dengan:
a. Mendorong diterapkannya prinsip pembangunan berkelanjutan.
b. Meningkatkan “Political Will” dan kapasitas pengelolaan sumber daya
alam.
60
c. Meningkatkan keterlibatan & tanggung jawab semua pihak (Pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat).
d. Pengembangan berbagai kebijakan, norma, standar, pedoman dan
melakukan pembinaan dan supervisi.
e. Memperjelas urusan wajib pemerintahan daerah dalam “pengendalian LH”
berkaitan dengan SPM
f. Pengembangan pendelegasian sebagian kewenangan Pemerintah melalui
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
g. Pengembangan SDM-LH melalui Diklat.
h. Penataan sarana dan prasarana kerja.
i. Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi serta data base
kelembagaan sumber daya alam di Daerah.
j. Fasilitasi kerjasama antar Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.
k. Pembinaan pelaksanaan program pengelolaan sumber daya alam.
Sedangkan kendala dalam penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam
antara lain:
a. Fragmentaris – ego sektoral
b. Inkonsistensi – disharmoni
c. Political will lemah
d. Sumber daya manusia lemah
Pilar pilar penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dapat
digambarkan sebagai berikut:
61
3. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan
UU No 32/2004 meletakkan otonomi atas dasar lima landasan yaitu:
(1) demokrasi,
(2) partisipasi dan pemberdayaan,
(3) persamaan dan keadilan,
(4) pengakuan atas potensi daerah dan perbedaannya,
(5) penguatan parlemen lokal
Lima landasan tersebut apabila dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam
maka hal tersebut merupakan landasan dalam proses pemberian ijin pengelolaan sumber
daya alam di era otonomi daerah.
Perijinan pengelolaan sumber daya alam adalah usaha mengoptimalkan sumber
daya lokal yang melibatkan pemerintah, legislatif, dunia usaha, akademisi, masyarakat
lokal dan organisasi masyarakat madani (NGO) untuk mengembangkan ekonomi pada
suatu wilayah.
Proses perijinan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin.
Dalam proses perijinan ini diperlukan beberapa dokumen yang terkait.
62
Gambaran sekilas dokumen pengelolaan sumber daya alam:
a. Feasibility Study untuk memberikan justifikasi ilmiah dalam perumusan Rancangan
Peraturan Perundangan harus berpijak dari isu dan masalah lingkungan hidup yang
dikaji secara obyektif, metodologis, futuristik yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah
b. Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi penyelenggara kebijakan sesuai
paradigma Good Environment Governance (GEG)
c. Memberikan ruang aspirasi dan partisipasi semua pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam proses perencanaan, perumusan, penetapan dan implementasi
kebijakan
d. Memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pelaku
lingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.
21
Pengembangan dan Penguatan
Kemitraan
Pengumpulan Data
Analisis Data
PemetaanStatus
PEL
PenetapanFaktor
Pengungkit
Identifikasi Stakeholder
Penyusunan Rencana Tin
Penyusunan
PengelolaanSDA
Monitoring dan Evaluasi
Pengelolan SDA
TAHAPI
TAHAP II
TAHAP III
TAHAPIV
TAHAPV
RPJM/D
Dokumen Pengelolaan
SDA.LH
RKPD
APBD
IJIN PRINSIP
IJIN LOKASI
IJIN OPERASI1.FS2.AMDAL
RKL/RPL3. AUDIT L
OPERASIONAL
PENEGAKANHUKUM LEMAH
Bagan Proses Perijinan
63
Kumpulan dokumen yang sangat terkait dengan proses perijinan adalah Analisis
mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Amdal merupakan studi mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh
suatu rencana kegiatan atau usaha / studi ilmiah yang memberikan informasi ada/
tidaknya dampak negatif yang merupakan suatu kewajiban untuk terbitnya ijin. Amdal ini
berkaitan dengan perizinan/ Amdal merupakan bagian dari proses perizinan persepsinya
amdal itu sama dengan keputusan tata usaha negara.
Menurut UU No. 23/ 1997 Amdal adalah : Kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses terbitnya keputusan tentang penyelenggaraan usaha/ kegiatan.
Mengenai peraturan pemerintah yang mengatur tentang Amdal tersebut adalah PP No.
29/ 1986. Kemudian dicabut dengan PP No. 51/ 1993 dan terakhir dicabut lagi dan
diganti dengan PP No. 27/ 1999.
Amdal berguna untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak
lingkungan, melalui pengkajian Amdal, sebuah rencana usaha atau kegiatan
pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak
lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya
alam secara efisien. Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran
yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satu
syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi
Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.
64
Dokumen Amdal terdiri dari :
• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi
dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan ANDAL.
Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya,
kegiatan penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan.
Dokumen ANDAL mengkaji seluruh dampak lingkungan hidup yang
diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan dalam KA-
ANDAL. Rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk
mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL disusun
dalam dokumen RKL dan RPL.
Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai
Amdal. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan
tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu direkomendasikan untuk
diberi ijin atau tidak.
Dokumen Amdal harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memiliki kepastian
pengelolaan lingkungannya. Kewajiban menyusun dokumen Amdal didasarkan atas
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, sehingga tidak semua jenis kegiatan yang
membutuhkan ijin perlu menyusun Amdal.
65
Kriteria kewajiban Amdal pada dasarnya mencakup :
- potensi kegiatan menimbulkan dampak penting;
- tidak pastinya ketersediaan pengelolaan lingkungan dalam mengontrol dampak
penting tersebut.
Dalam penyusunan studi Amdal, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk
menyusunkan Amdal. Penyusun dokumen Amdal diharapkan telah memiliki sertifikat
Penyusun Amdal (lulus kursus AMDAL B) dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar
minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal
Nomor 09/2000. Berbagai pedoman penyusunan yang lebih rinci dan spesifik menurut
tipe kegiatan maupun ekosistem yang berlaku juga diatur dalam berbagai Keputusan
Kepala Bapedal.
Pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam Amdal adalah Komisi
Penilai, pemrakarsa, masyarakat terkena dampak, dan pemberi Ijin.
Komisi Penilai Amdal; Komisi Penilai Amdal adalah komisi yang bertugas menilai
dokumen Amdal. Di tingkat pusat berkedudukan di Bapedal, di tingkat Propinsi
berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat
Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup
Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat
yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan
komposisi keanggotaan Komisi Penilai Amdal ini diatur dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai Amdal di propinsi
dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
66
Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga
masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut
akan menjadi kelompok yang banyak diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok
yang banyak dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena
dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan atau kegiatan
tersebut.
Pemberi Ijin; adalah pejabat yang berwenang membuat keputusan tata usaha negara.
Kegiatan yang tidak wajib menyusun Amdal tetap harus melaksanakan upaya
pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)
Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; serangkaian
kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu
rencana usaha/kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Amdal; yaitu kegiatan yang
diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak penting.
Pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan terdiri dari
dua kategori, yaitu :
- harus melewati suatu kajian lingkungan terlebih dulu yang disebut Dokumen UKL-
UPL;
- tidak perlu melewati kajian lingkungan dalam Dokumen UKL-UPL.
Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting
tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih dulu sebelum dapat dipastikan upaya
pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya. Identifikasi dampak ini
dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas
dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian pengelolaan
dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya.
67
Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Dokumen ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara
sistematis, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan
dilaksanakan.
Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting yang frekuensi kegiatan dan
intensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak ada lagi ketidakpastian masalah
pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun Dokumen UKL - UPL, dan dapat
langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan upaya pemantauan lingkungan yang
sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.
Amdal adalah perangkat wajib yang penggunaannya diharapkan komplemen
dengan perangkat-perangkat lainnya.
Kaitannya dengan dokumen lingkungan wajib lainnya; ada beberapa dokumen
lingkungan maupun kajian lingkungan yang sifatnya diwajibkan. Pada dasarnya,
dokumen-dokumen lingkungan wajib seperti ini sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang
satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali ada kondisi-kondisi
khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Kepala Bapedal.
Dokumen-dokumen lingkungan wajib tersebut adalah Dokumen UKL-UPL, Audit
Lingkungan Wajib, Revisi RKL-RPL, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan
oleh Kepala Bapedal.
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan menyusun UKL-UPL tidak lagi diwajibkan
menyusun Amdal; kegiatan berjalan yang diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak
membutuhkan Amdal baru; pengubahan kegiatan yang hanya membutuhkan penyesuaian
RKL-RPL tidak perlu menyusun Amdal lagi.
68
Kaitannya dengan dokumen lingkungan sukarela yang dikenal; penyusunan
dokumen lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib Amdal tidak secara
otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen Amdal. Walau
demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa
karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan
sekaligus dapat "menambal" ketidaksempurnaan dokumen Amdal.
Dokumen-dokumen lingkungan yang sifatnya sukarela ini sangat bermacam-macam dan
terbukti amat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan
perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit
Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-
dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan
macam-macam lainnya.
Prosedur AMDAL di Indonesia terdiri dari :
• Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
• Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
• Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL
• Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
Proses penapisan; atau kerap juga disebut proses seleksi wajib AMDAL, yaitu
menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; berdasarkan Keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya
selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang
diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum
menyusun KA-ANDAL.
69
Proses penilaian KA-ANDAL; setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan
dokumen kepada Komisi Penilai Amdal untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama
waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan ANDAL,
RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati
(hasil penilaian Komisi Amdal). Setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan
dokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama
waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Sebagaimana disebutkan diatas, prosedur Amdal pada dasarnya terbagi dalam 4
bagian. Hal-hal yang harus diperhatikan dengan seksama oleh penyusun Amdal adalah:
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; walaupun tata cara pengumuman dan
konsultasi masyarakat tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam Keputusan Kepala
Bapedal Nomor 08/2000, pemrakarsa/penyusun Amdal bebas mengadopsi berbagai
teknik dan metodologi pengumuman dan konsultasi masyarakat yang telah dikenal,
selama tidak melanggar ketentuan minimal yang telah ditetapkan. Proses pengumuman
diharapkan memperhatikan keunikan bahasa dan pola komunikasi setempat yang efektif;
dan proses konsultasi masyarakat harus memperhatikan pola dan struktur sosial budaya
setempat.
World Bank, ADB, dan beberapa negara di dunia seperti Kanada menerapkan aturan
khusus pelaksanaan pengumuman dan konsultasi masyarakat dalam proses penyusunan
Environmental Assessment yang bisa dijadikan referensi. Diharapkan dalam waktu dekat
70
akan diterbitkan pedoman pelaksanaan konsultasi masyarakat dalam Amdal yang khas
Indonesia.
Proses penyusunan dokumen KA-ANDAL; secara garis besar, hal terpenting yang perlu
terangkum dengan baik dalam KA-ANDAL adalah hasil konsultasi masyarakat dan
masukan dari masyarakat. Hal-hal tersebut menentukan proses pelingkupan dan
penentuan isu pokok dari potensi dampak di lokasi rencana kegiatan tersebut. Hasil
pelingkupan adalah kunci dari KA-ANDAL, dimana hasil konsultasi dengan masyarakat
serta masukan masyarakat yang diberikan selama masa pengumuman menjadi sumber
informasi utama proses pelingkupan tersebut.
Pedoman pelaksanaan pelingkupan diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1992, walaupun sangat
disarankan untuk menggunakan referensi lain yang ada untuk menyempurnakan dan
melengkapi proses pelaksanaan tersebut.
Proses penilaian KA-ANDAL; tahap pengajuan dokumen KA-ANDAL dapat dilalui
dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam
lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000
2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai
Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan
3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak
jumlah yang ditetapkan sekretariat
4. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal
Proses penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan dokumen ANDAL,
RKL, dan RPL perlu mencermati kekhasan aspek, teknis kegiatan, dan ekosistem rencana
71
kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, pedoman penyusunan yang diatur dalam Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 tidak cukup. Berbagai pedoman
yang secara khusus membahas metodologi penyusunan ANDAL dari aspek sosial,
kesehatan masyarakat, valuasi ekonomi; dari tipe kegiatan seperti pemukiman terpadu;
dan dari tipe ekosistem seperti lahan basah dan kepulauan, telah diterbitkan dalam bentuk
Keputusan Kepala Bapedal. Sangat disarankan untuk melihat referensi-referensi
internasional lainnya dalam memperkaya penyusunan dokumen tersebut.
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; tahap pengajuan dokumen ANDAL, RKL,
dan RPL dapat dilalui dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam
lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000
2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai
Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan
3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak
jumlah yang ditetapkan sekretariat
4. Memastikan waktu pertemuan dengan tim teknis
5. Merangkum masukan dari tim teknis sebagai bekal dalam menghadapi Komisi
Penilai Amdal
6. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal
Istilah revisi RKL dan RPL tidak dikenal dalam prosedur resmi Amdal. Namun
demikian istilah ini sering disebut/dipergunakan untuk situasi perbaikan isi dokumen
RKL dan RPL saja untuk menyesuaikan atas perubahan pola pengelolaan dan
pemantauan lingkungan dari suatu kegiatan yang telah beroperasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai revisi RKL dan RPL adalah :
72
• Revisi RKL dan RPL bukan merupakan prosedur umum bagi sebuah kegiatan yang
membutuhkan perubahan atas pola pengelolaan dan pemantauan lingkungannya.
Penerapannya bersifat kasuistik.
• Revisi RKL dan RPL tidak selalu harus dinilai di Komisi Penilai AMDAL.
Penilaian dilakukan apabila ada situasi khusus yang menyebabkan perubahan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan kegiatan tersebut wajib dikomunikasikan
kepada seluruh pihak yang terkait.
• Penyempurnaan RKL dan RPL harus selalu dilakukan secara otomatis oleh
pemrakarsa sendiri untuk memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungannya.
Penyempurnaan yang bersifat sukarela ini tidak usah diproses secara formal apabila
memang tidak ada perubahan detail kegiatan yang berarti.
• Perubahan detail kegiatan pada dasarnya berimplikasi pada penyusunan AMDAL
baru. Keputusan untuk hanya mengubah RKL dan RPLnya saja harus diambil
setelah yakin bahwa studi AMDAL yang lama memang dianggap telah
mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak baru akibat perubahan kegiatan.
4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan
stakeholders
Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, maka kewenangan Pemerintahan Daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam sangat beragam. Dengan demikian penyelenggaraan
pengelolaan sumber daya alam pada era otonomi daerah menemui beberapa kendala,
khususnya untuk pengelolaan sumber daya alam lintas kabupaten/propinsi, karena
73
hambatan koordinasi dan integrasi program dalam pengelolaan sumber daya alam antar
kabupaten/kota propinsi. Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota
dalam pengelolaan sumber daya alam hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam
penyusunan rencana pengelolaan, dan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam
skala provinsi / kabupaten / kota. Penetapan pengelolaan sumber daya alam prioritas dan
penyusunan rencana pengelolaan sumber daya alam terpadu masih ditangani oleh
Pemerintah Pusat. Padahal, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara
terpadu dan menyeluruh dan harus dipandang sebagai satu sistem yang utuh dari hulu
sampai hilir, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di daerah
pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Mengingat hal tersebut, perlu adanya pembagian peran yang tepat dan selaras baik
antar wilayah kabupaten/kota dalam propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalam
kabupaten/kota (horisontal) secara harmonis.
Beberapa sektor atau departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam antara lain adalah kehutanan, pertambangan, pekerjaan umum,
lingkungan hidup, pertanian dan pertanahan. Sampai saat ini konsep yang mapan dan
jelas tentang pengelolaan sumber daya alam secara nasional belum dapat diwujudkan,
karena sifatnya masih bersifat sektoral sehingga pengelolaan sumber daya alam belum
merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapat
terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar sektor
dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam. Namun, pengaturan mengenai koordinasi
tersebut dapat ditemukan di sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lain.
74
Dalam pengelolaan sumber daya alam perlu adanya koordinasi antar sektor
terkait. Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yang
operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan. Koordinasi
dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan menjamin terjadinya
sinkronisasi pengelolaan sumber daya alam, Dengan adanya koordinasi dalam
penyusunan kebijakan diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak
berbenturan satu dengan yang lain.
Masalah koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam juga tidak hanya
menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja sama yang bersifat operasional tetapi juga
masalah koordinasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dua hal ini
memang tidak menjamin terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antar berbagai lembaga
yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai sumber daya alam, namun
berdasarkan aturan yang berlaku maka koordinasi dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam akan menghasilkan suatu
peraturan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya
dengan otonomi daerah, ternyata UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sama sekali tidak mengatur masalah koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan
sumber daya alam.
Pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah
peraturan dan kebijakan di sektor lain. Sektor dimaksudkan sebagai lingkungan kegiatan
atau dapat juga disebut sebagai ruang lingkup pekerjaan suatu departemen atau
kementerian tertentu.
75
a. Koordinasi Kelembagaan Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Alam
Beberapa departemen maupun sektor yang secara kelembagaan terkait erat dengan
pengelolaan sumber daya alam, antara lain adalah kehutanan, lingkungan hidup,
kimpraswil (pemukiman dan prasarana wilayah), kelautan dan pesisir, pertanahan,
pertambangan, pertanian dan perkebunan. Koordinasi pengelolaan sumber daya alam
antar departemen/sektor seharusnya dilakukan sejak proses perencanaan, pembahasan
sampai pada penetapan peraturan atau kebijakan.
Kewenangan departemen maupun sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya
alam diatur dalam Keputusan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen atau tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi)
Departemen, termasuk tupoksi 6 departemen yang berhubungan langsung dengan
pengelolaan sumber daya alam. Keenam departemen tersebut adalah:
1. dalam negeri;
2. energi dan sumberdaya mineral (ESDM);
3. pertanian;
4. kehutanan;
5. kelautan dan perikanan (DKP), serta
6. kimpraswil.
Selain departemen, terdapat juga Menteri Negara (Menneg) yang diatur dalam
Keppres tersendiri. Dari sepuluh Menneg yang diatur dalam Keppres ini ada dua Meneg
yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya alam yakni Menneg Lingkungan
Hidup (LH) dan Menneg Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
76
Pengaturan koordinasi antar departemen/sektor dalam menyusun peraturan perundang-
undangan dapat ditemukan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 18 ayat (1) UU ini mengatakan bahwa rancangan
undang undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan
lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung
jawabnya. Lebih jauh dikatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh
menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Oleh Keppres No. 102 Tahun 2001 tugas koordinasi tersebut dilimpahkan kepada
Menteri Kehakiman dan HAM, yang sekarang berganti nama menjadi Menteri Hukum
dan HAM. Tetapi metode, definisi, maksud dan tujuan koordinasi tidak diuraikan secara
jelas dalam Keppres ini.
Sebelum UU No. 10 Tahun 2004 lahir, aturan mengenai proses penyusunan
peraturan per-UU-an terdapat dalam Keppres 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Keppres ini juga menyinggung-nyinggung
perihal harmonisasi antar departemen/sektor. Namun, Keppres ini tidak menegaskan
bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan sarana menuju koordinasi.
Dengan begitu, sampai saat ini tak satupun peraturan perundangan yang secara terang-
terangan mengatur koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka penyusunan
peraturan per-UU-an. Departemen/sektor masih berpegangan pada tupoksi -nya masing-
masing. Sehingga departemen/sektor tidak melakukan inovasi dalam rangka koordinasi
karena takut akan menyalahi peraturan perundang-undangan.
77
b. Koordinasi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Uraian berikut ini akan menyajikan koordinasi dalam tingkat yang operasional
dengan memperhatikan dua faktor, yakni kebijakan yang dikeluarkan dan penegakan
hukum. Keduanya dilihat karena mempunyai andil besar dalam membentuk sistem
pemerintahan yang terpadu dan terintegrasi.
1. Koordinasi Kelembagaan dalam Merumuskan Kebijakan Operasional
Dalam melakukan koordinasi antar departemen/sektor ada dua hal yang menjadi
poin penting yakni lembaga yang melakukan koordinasi dan cara atau metode melakukan
koordinasi.
Untuk menjembatani koordinasi dan sinkronisasi antar sektor dalam pembuatan
kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu ketentuan yang termuat dalam Keppres
No. 100 tahun 2001 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Menteri Koordinator. Menurut
Keppres ini, Menteri Koordinator (Menko) mempunyai tupoksi membantu Presiden
dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan
serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara. Saat ini
terdapat 3 Menko yakni:
1) Menko Bidang Politik dan Keamanan disingkat Menko Polkam;
2) Menko Bidang Perekonomian disingkat Menko Ekuin; dan
3) Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat disingkat Menko Kesra.
Masing-masing Menko membawahi sejumlah departemen/sektor. Menko Polkam
mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar
Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri
78
Negara Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara,
Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan
Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian departemen/sektor/lembaga yang
berada di bawah Menko ini, tak satupun yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber
daya alam. Menko Perekonomian sendiri mempunyai kewenangan mengkoordinasikan
Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri
Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan,
Menakertrans, Menteri Kimpraswil, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian sektor/lembaga yang
disebutkan di atas, departemen/sektor yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber
daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Permukiman
dan Prasarana Wilayah, dan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Sedangkan Menko Kesra mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri
Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri
Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Meneg
Pemberdayaan Perempuan dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Departemen/
Sektor yang tupoksi-nya terkait langsung dengan sumber daya alam adalah Kementerian
Negara Lingkungan Hidup. Dengan begitu, secara keseluruhan, departemen/sektor yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan,
Kelautan dan Perikanan, Permukiman dan Prasarana Wilayah, Percepatan Pembangunan
Kawasan Timur Indonesia dan Lingkungan Hidup.
79
Menurut Pasal 30 Keppres No. 100 Tahun 2001 ada empat cara untuk melakukan
koordinasi yakni:
1) rapat koordinasi Menko atau rapat koordinasi gabungan antar Menko,
2) rapat-rapat kelompok kerja yang dibentuk oleh Menko sesuai dengan kebutuhan,
3) forum-forum koordinasi yang sudah ada sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
4) konsultasi langsung dengan para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan pimpinan lembaga lain yang terkait.
Khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak semua
kebijakan departemen/sektor dikoordinasikan oleh Menko untuk disinkronkan dengan
departemen/sektor lainnya. Pasal 2 Keppres No 100 Tahun 2001 hanya menyebut
“kebijakan tertentu dalam bidang pemerintahan negara”. Tetapi kebijakan tertentu itu
tidak diuraikan lebih lanjut dalam Keppres ini.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU atau Peraturan Pemerintah,
departemen/sektor menerbitkan Keputusan atau Peraturan Menteri. Karena sifatnya
sebagai kebijakan maka secara formal beberapa dari Keputusan, peraturan menteri
ataupun kebijakan lain yang lebih rendah tidak begitu patuh dengan beberapa kaidah
perundang-undangan seperti lex superior derogat legi inferiori (hukum yang
kedudukannya lebih tinggi membatalkan hukum yang kedudukannya lebih rendah), lex
specialis derogat legi generali (hukum yang berlaku khusus membatalkan hukum yang
berlaku umum) maupun lex posterior derogat legi inferior (hukum yang berlaku
kemudian membatalkan hukum yang ada sebelumnya). Selain itu, secara material
banyaknya kebijakan yang bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi dan juga
bertentangan dengan kebijakan lainnya disebabkan karena masing-masing departemen/
80
sektor merasa perlu untuk membuat kebijakan tentang suatu masalah yang sama tetapi
justru tidak saling mendukung. Misalnya, Keputusan Menhutbun No 317/KPTS-II/1999
Tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan
Produksi dengan Permen Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat mempunyai pengaturan yang sama tentang
Masyarakat Adat tetapi bertentangan satu sama lain. Dalam Keputusan Menhutbun
dikatakan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu
dinyatakan dan ditentukan atas Keputusan Bupati sementara hal yang sama oleh Permen
Agraria dikatakan bahwa keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh Peraturan Daerah.
Di sini terjadi perbedaan mengenai bentuk formal atas pengaturan mengenai keberadaan
masyarakat adat di daerah. Keputusan Menhutbun menghendaki wadah pengaturannya
dalam bentuk Keputusan Bupati yang umumnya dipakai untuk pengaturan materi yang
bersifat konkrit, terikat dengan ruang dan waktu tertentu. Sedangkan peraturan daerah
cenderung merupakan ketentuan yang bersifat lebih umum dan abstrak sehingga perlu
diterjemahkan lebih lanjut lewat ketetapan. Tetapi selain hal itu, perbedaan mendasar
antara Keputusan Bupati dengan Perda adalah pada kekuatannya dalam relasi hierarkhis
peraturan perundang-undangan. Keputusan Bupati adalah tindakan hukum bersegi satu
atau sepihak dari pejabat administrasi (Bupati) sehingga pencabutannya merupakan
kewenangan sepihak bupati. Sedangkan peraturan daerah merupakan ketentuan yang
dibentuk dengan melibatkan DPRD, Pemda dan masyarakat. Sehingga kelahirannya
melibatkan banyak pihak. Karena itu pencabutannya juga merupakan keputusan yang
harus melibatkan banya pihak. Dengan demikian kedudukan perda jauh lebih kuat
daripada Keputusan Bupati.
81
Selain koordinasi antar departemen yang umumnya berbentuk kebijakan,
koordinasi pengelolaan sumber daya alam juga dilakukan di dalam internal departemen.
Departemen Kehutanan misalnya, mencanangkan jangka waktu 20 sampai 30 tahun ke
depan sebagai era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam. Untuk itu Dephut telah
menetapkan lima kebijakan prioritas yaitu:
(1) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan;
(2) pemberantasan illegal logging;
(3) penanggulangan kebakaran hutan;
(4) restrukturisasi sektor kehutanan;
(5) penguatan desentralisasi kehutanan.
Tetapi Dephut dan Departemen ESDM baru-baru ini mengajukan Perpu No. 1
Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang pada
prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU Nomor 41 tahun 1999, yaitu Pasal 83 (a)
dan pasal 83 (b). Pasal 83 (a) mengatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di
bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian
tersebut. Tetapi, dalam Perpu ini penambangan yang dimaksud bukan berada pada
wilayah hutan produksi atau hutan pemanfaatan lainnya tetapi hutan kawasan lindung
yang secara substantif jelas berseberangan dengan undang-undang yang juga mengatur
soal hutan yakni UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
termasuk UU No 41 Tahun 1999. Selain hal itu, perpu tersebut juga berseberangan
dengan visi dan misi Dephut sendiri. Menindaklanjuti Perpu ini telah dikeluarkan
Keppres No. 41 Tahun 2004 yang member ijin bagi 13 perusahaan terkait untuk
82
melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Isi Keppres ini jelas-jelas
bertentangan dengan sejumlah UU yang kedudukannya berada di atasnya.
2. Koordinasi Dalam Penegakan Hukum
Koordinasi dalam hal penegakan hukum umumnya ditemukan pada ketentuan
yang mengatur mengenai penyidikan. Boleh dibilang, seluruh UU yang mengatur
mengenai pengelolaan sumber daya alam, memiliki bab mengenai ini. Ambil contoh pada
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya
Air dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penyidik yang dimaksud oleh
berbagai UU tersebut adalah penyidik dari kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS). Pelanggaran terhadap UU Perikanan dapat disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil, Perwira TNI AL dan pejabat polisi.
Meskipun dalam penegakan hukum atas pengelolaan sumber daya alam,
kepolisian dapat bekerja sama dengan sektor yang bersangkutan sebagaimana dijabarkan
dalam keempat undang undang di atas, dalam beberapa kasus, polisi justru sering
berseberangan dengan sektor terkait. Dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat oleh
tailing hasil limbah tambang emas PT Newmont Minahasa Raya telah terjadi perbedaan
pendapat antara Menneg LH dengan Mabes Polri. Kompas mencatat pernyataan Menneg
LH Nabiel Makarim yang menegaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukan Tim
Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa air di perairan Teluk Buyat,
Minahasa Sulawesi Utara, maupun ikan yang ada di perairan tersebut tidak tercemar. Hal
ini berseberangan dengan hasil penelitian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor)
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang secara tegas menyebutkan bahwa
pencemaran Teluk Buyat melebihi baku mutu.
83
Dalam penegakan hukum yang menyangkut masalah penebangan liar (illegal
logging) juga terjadi miskoordinasi antara Departemen Perindustrian, Departemen
Kehutanan dan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Di Kaltim misalnya, Kompas
mencatat bahwa industri kayu Malaysia sangat membutuhkan kayu dari Kalimantan yang
umumnya diperoleh lewat penyelundupan dan pencurian kayu. Tetapi, Departemen
Perindustrian belum melakukan tindakan apapun untuk mencegah mengalirnya kayu-
kayu dari penebangan liar di Kalimantan ke industri-industri pengolahan kayu di
Malaysia. Bahkan ada dugaan, bahwa maraknya illegal logging tidak terlepas dari
kebijakan instansi tertentu yang mengizinkan masuknya alat-alat berat seperti traktor dan
buldoser ke daerah perbatasan. Dugaan ini jelas ditujukan ke departemen perindustrian.
Di sisi lain, Dep Kehutanan baru sampai pada rencana mengeluarkan Perpu Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon Dalam Hutan Secara Illegal. Disini
tidak terlihat adanya titik temu antara beberapa lembaga tersebut yang diharapkan
menunjang penegakan hukum.
Konsep otonomi daerah yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah sebetulnya
bukan desentralisasi secara total. Dua konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan
dengan desentralisasi tersebut yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh UU No.
32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7).
Sedangkan dekonsetrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
(Pasal 1 angka 8). Adapun tugas pembantuan didefenisikan sebagai penugasan dari
Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa dari pemerintah Provinsi kepada
84
kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu (Pasal 1 angka 9). Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada bagian lain dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan begitu desentralisasi tidak
hanya berada dalam ruang lingkup kabupaten/kota tetapi juga provinsi. Dalam soal
pembagian kewenangan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:
(a) politik luar negeri,
(b) pertahanan,
(c) keamanan,
(d) yustisi,
(e) moneter dan fiskal nasional, dan
(f) agama.
Secara tersirat, Undang-Undang ini menyerahkan kewenangan urusan
pengelolaan sumber daya alam kepada daerah sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam
Pasal 17 yang mengatur hubungan pemanfaatan sumber daya alam antara pusat-daerah.
Bahkan dalam hal pengelolaan laut, pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan
tersebut kepada pemerintah daerah (pemda) secara utuh. Tetapi relasi pusat-daerah
tersebut disertai dengan catatan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi
85
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. UU ini juga mengatakan bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan
antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar
pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem
pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan harus memperhatikan keserasian
hubungan antara susunan pemerintahan. Terminologi “keserasian” dalam konteks ini
tidak begitu jelas, seperti apa dan bagaimana. Jika diinterpretasikan secara administratif
maka otonomi seluas-luasnya tetap dalam kerangka kewenangan administrasi pusat-
daerah, provinsi-kabupaten, dan kabupaten-desa.
Dengan melihat bingkai pembagian penyelenggaran pemerintahan seperti itu UU
ini potensial mengembalikan bandul kewenangan pengelolaan sumber daya alam ke pusat
(resentralisasi). Pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan daerah
dijabarkan dengan mengatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:
(a) pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi
kewenangan daerah;
(b) kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antar pemerintahan daerah; dan
(c) pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya.
Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengaturan desentralisasi juga terdapat
dalam sejumlah Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya
alam maupun pada sejumlah kebijakan. Instrumen kebijakan seringkali dipakai untuk
86
mendesetralisasikan pemberian izin seperti ijin peruntukan sumber daya alam, maupun
kewenangan mengurus dan mengatur pengelolaan sumberdaya alam.
c. Kewenangan Mengatur dan Mengurus Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh
Daerah
Sejak berlakunya Otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 hingga
direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, ada beberapa undang-undang yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tampil dengan semangat otonomi daerah.
Beberapa diantaranya adalah UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Perikanan.
Pada ketiga UU ini ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang
diserahkan kepada pemerintah daerah, yakni:
(1) kewenangan teknis pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan ini erat kaitannya
dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan
pengusahaan sumber daya alam di daerah; dan
(2) kewenangan mengatur dan mengurus sumber daya alam yang merupakan satu
kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/
pengelolaan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan
penegakan hukum.
Dalam UU Sumber Daya Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail
(Pasal 16 sampai 18). UU Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab
daerah atas pengelolaan sumberdaya air yakni dalam hal menetapkan kebijakan
pengelolaan sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan sumber daya air, menetapkan
rencana pengelolaan sumber daya air, menetapkan dan mengelola kawasan lindung
87
sumber air, melaksanakan pengelolaan sumber daya air, mengatur, menetapkan dan
memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air, membentuk
dewan sumber daya air, memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air dan
menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Dengan cara seperti itu, UU
Sumber Daya Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya
substantif maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan,
penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air
serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif adalah
delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai kewenangan
otonomi pengelolaan sumber daya alam.
Berbeda dengan UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan menyerahkan pengaturan
soal penyerahan kewenangan kepada daerah melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 66).
Adalah PP No 32 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur lebih jauh
dan detail soal penyerahan kewenangan tersebut. Oleh PP ini, desentralisasi tersebut
berlaku pada kewenangan dalam bentuk perijinan untuk usaha pemanfaatan kawasan
(Pasal 37), pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu (Pasal 38), dan usaha
pemanfaatan jasa lingkungan (Pasal 39). Ketiga izin di atas bisa diberikan oleh Gubernur,
Bupati dan Walikota. Sekalipun begitu, daerah tidak mempunyai kewenangan mengurus
dan mengatur hutan secara otonom. Dengan demikian, kewenangan daerah hanya
merupakan kewenangan perijinan.
Dalam bidang pertanahan, salah satu kebijakan desentralisasi bisa ditemukan pada
Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres
88
ini mengatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat 1). Kewenangan dimaksud
meliputi:
(a) pemberian ijin lokasi;
(b) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
(c) penyelesaian sengketa tanah garapan;
(d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
(e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee;
(f) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
(g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
(h) pemberian ijin membuka tanah;
(i) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Dari kewenangan-kewenangan yang didesentralisasikan ini beberapa diantaranya
adalah kewenangan yang sifatnya teknis dan operasional yang mengatur soal ijin dan
kebijakan-kebijakan administratif pertanahan. Tetapi di samping kewenangan administra-
tif langkah maju dalam Keppres ini adalah kewenangan yang sifatnya mengatur dan
mengurus yakni perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota dan
kewenangan land reform yang menyangkut redistribusi tanah, pemanfaatan dan
penyelesaian tanah kosong serta penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menyebut tentang
desentralisasi pengelolaan Minyak dan Gas Bumi ke daerah. UU ini hanya mengatakan
bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu
wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan
89
Pajak yang terdiri dari pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam hal ini daerah hanya mempunyai kewenangan
untuk menarik retribusi dari pengelolaan Minyak dan Gas yang ada di wilayahnya.
Pengelolaan minyak dan gas bumi secara keseluruhan belum didesentralisasikan. Salah
satu alasan karena kedua sumber daya tersebut masih dikontrol ketat dalam kewenangan
BUMN Pertamina yang memiliki pengaturan otonom, terlepas dari daerah. Selain hutan,
air dan tanah, pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,
yang secara eksplisit mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah adalah Panas
Bumi. Pengaturan mengenai Panas Bumi ditemukan pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang
Panas Bumi. UU ini menyebutkan bahwa Kewenangan kabupaten/kota dalam
pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi:
(a) pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas
Bumi di kabupaten/kota;
(b) pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
(c) pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
(d) pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota;
(e) inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di
kabupaten/kota;
(f) pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di
kabupaten/kota.
Dalam ketentuan ini secara tersurat ditegaskan bahwa daerah mempunyai
kewenangan untuk membuat peraturan pengelolaan panas bumi sendiri. Perkembangan
ini merupakan langkah maju karena dalam beberapa Undang-Undang lainnya
kewenangan membuat aturan sendiri tidak disebutkan secara tegas.
90
Dalam UU Perkebunan, desentralisasi juga diatur dalam beberapa hal, diantaranya
menyangkut perencanaan perkebunan. Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan
nasional, provinsi, kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan tersebut dilakukan oleh
pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
UU ini mengedepankan kepentingan masyararakat dan bukan struktur administrasi
pemerintahan sebagai dasar perencanaan. Sehingga, perkebunan dapat diharapkan
mewakili kepentingan masyarakat daerah ketimbang mengabdi kepada kewenangan
pusat. Tetapi segera terlihat bahwa kebutuhan masyarakat kemudian dibatasi oleh
beberapa patokan semisal kepentingan pasar.
UU Perikanan baru yang merevisi UU No. 9 Tahun 1985, juga mengatur soal
desentralisasi tetapi dengan sangat terbatas dan lagipula bertentangan dengan UU
Pemerintahan Daerah. UU ini menyebutkan bahwa penyerahan sebagian urusan
perikanan maupun penarikan kembali kepada pemerintah daerah ditetapkan dengan PP
(Pasal 65 ayat 1). Selanjutnya dikatakan kemungkinan pemberian urusan tugas
pembantuan di bidang perikanan kepada daerah. Tentu saja norma semacam itu
bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang secara tegas mengatakan bahwa
daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya
di wilayah laut (Pasal 18). Pembagian kewenangan pengelolaan laut juga diatur sangat
jelas. Kewenangan daerah meliputi:
(a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
(b) pengaturan administratif;
(c) pengaturan tata ruang;
(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
91
(e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
(f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Dengan demikian dalam desentralisasi pengelolaan sumber daya alam ada
berbagai bentuk dan jenis desentralisasi yang telah dijabarkan. Masing-masing
pengelolaan sumber daya alam diatur tersendiri dan berdiri sendiri yang sekaligus
menentukan jenis desentralisasi dan sejauh mana desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah itu direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri
itulah yang seringkali membedakan ukuran desentralisasi antara satu departemen/sektor
dengan departemen/sektor lainnya.
92
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya
alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan
dan kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang.
Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana
dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun
kuantitasnya. Sedangkan sumber daya alam yang non renewable tidak
dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi sekarang. Melalui
prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari masa ke
masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi
sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi
mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam
yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan memperhatikan
aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam penyusunan Perda tentang
pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai permasalahan yang dialami
dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini dapat diatasi dengan
baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.
2. Di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan
sumber daya alam baik yang sudah ada maupun yang sedang disusun belum
93
cukup memadai atau masih minim dalam memasukkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan.
3. Upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di
daerah sudah cukup memadai walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu
dieliminasi.
4. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan sudah
cukup baik secara prosedural, walaupun secara substansial masih perlu
peningkatan fungsi dokumen tersebut, yaitu tidak hanya sekedar sebagai syarat
keluarnya ijin.
5. Dalam mengelola sumber daya alam koordinasi antar departemen/sektor tidak
hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional
sifatnya tetapi juga koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang
tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang
memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya alam,
tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan
diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematis
dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya dengan otonomi
daerah, UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar
departemen/sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Karenanya
diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi
terkait dan stakeholders di daerah.
94
a. Saran
1. Perlunya pendekatan yang tidak fragmentaris dan ego sektoral dalam pengelolaan
sumber daya alam di daerah
2. Perlunya konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undang
mulai dari UU, PP sampai Perda di bidang pengelolaan sumber daya alam di
daerah
95
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 juli 2003
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan
Bebas, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000) ALW, Lita Tyesta. Proses Penyusunan Perda Tentang Pengelolaan Sumber Daya
Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
Ali, Achmad, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta : Yarsif
Watampone, 1998) Anu Lounela dan Yando Zakaria (eds), Berebut Tanah dalam Beberapa Kajian
Berperspektif Kampus dan Kampung, Insist Press, Jurnal Antropologi Universitas Indonesia dan Karsa, 2002.
Danusaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan I : Umum, (Jakarta : Binacipta, 1985) Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1999. Hadi, Sudharto P. Koordinasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era
Otonomi Daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Perlindungan Lingkungan (Konservasi Sumber
Daya Hayati dan Ekosistemnya), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991
______________________, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986
______________________, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1990
Hidayat, Arief. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Jogjakarta, 2003. Husein, M Harun, Lingkungan Hidup, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992) M. Arief Nurdu’a dan Nursyam B. Sudharsono, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, (Semarang : Satya Wacana,1991)
Mahfud, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan
Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Rahardjo, Satjipto, Hukum dalam Perpsektif Sosial, (Bandung : Alumni, 1981) Rangkuti, Siti Sundari Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Surabaya, Airlangga University Press, 1996 Salim, Emil, Pola Pembangunan Berkelanjutan dalam Hari Depan Kita Bersama,
(Jakarta : PT. Gramedia, 1988 ) Samekto, FX. Aji. Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Upaya
Memformulasikan Pengaturan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
Soemantri, Koesnadi Harja, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1987) Santoso, Edi, Penerapan Dokumen Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Proses
Perijinan, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
Susanto, I.S, Kejahatan Korporasi, (Semarang : Badan Penerbit Undip, 1995) Santosa, Mas Achmad, Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Jakarta: ICEL,1997) _________________ , Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta : ICEL,
2001)
Setianto, Benny D. Meng-Governance-kan Pengawas, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta :
Djambatan, 1991) Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan I dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, (Bandung, Alumni, 1996) Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,
(Jakarta : Sinar Grafika, 1992) Sembiring, Sulaiman, Hukum dan Advokasi Lingkungan, (Jakarta : ICEL, 1998) Soesilo, R., RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor : Politea, 1995) Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1985) Soemitro, Ronny Hanitijo, Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah
Sosial, (Semarang, Agung Press, 1989) Steni Bernadinus. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah, http://www.huma.or.id
Tobing, M.L, Ikhtisar Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta : Erlangga, 1985) Turtiantoro. Sosialisasi peraturan dan pengetahuan pengelolaan sumber daya alam
di daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009
University Press,1999) Zaidun, M., Pengendalian dampak Lingkungan Melalui Pendekatan Pemberdayaan
masyarakat, (Semarang : Makalah, 1995) Zakaria, Yando. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang
disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi UU No 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan