Saat itu jam istirahat makan siang. Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di lantai satu paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di pojok belakang kantin. Untuk lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana aku bisa melihat langsung lapangan tenis. Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan roll yang kubeli dari kantin ini. Dan rasanya begitu damai. Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak mengajakku masuk ke alam mimpi. Para anggota Klub Tenis Putri memulai latihan pribadinya di siang hari, itu sebabnya mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka memukul bolanya lalu dengan heroik mengejar untuk mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali. Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di penghujung istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan ini lewat sedotan, dan bisa kurasakan hembusan angin sedang membuai diriku. Arah angin pun berubah. Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini dekat dengan laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari. Rasanya hampir seolah angin laut pagi hari sedang berhembus kembali ke arah asalnya. Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut membelai diriku, rasanya tidak buruk-buruk amat. "Eh? Hikki, ya?" Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku. Saat aku menoleh, kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil menggenggam roknya supaya tak tertiup angin. "sedang apa di sini?" "Aku biasa makan di sini." "Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau makan di kelas?"
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Saat itu jam istirahat makan siang.
Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di lantai satu
paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di pojok belakang kantin. Untuk
lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana aku bisa melihat langsung lapangan tenis.
Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan roll yang kubeli
dari kantin ini.
Dan rasanya begitu damai.
Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak mengajakku masuk ke
alam mimpi.
Para anggota Klub Tenis Putri memulai latihan pribadinya di siang hari, itu sebabnya
mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka memukul bolanya lalu dengan heroik
mengejar untuk mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.
Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di penghujung
istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan ini lewat sedotan, dan bisa
kurasakan hembusan angin sedang membuai diriku.
Arah angin pun berubah.
Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini dekat dengan
laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari. Rasanya hampir seolah angin laut
pagi hari sedang berhembus kembali ke arah asalnya.
Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut membelai diriku,
rasanya tidak buruk-buruk amat.
"Eh? Hikki, ya?"
Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku. Saat aku menoleh,
kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.
"sedang apa di sini?"
"Aku biasa makan di sini."
"Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau makan di kelas?"
"..."
Yuigahama tampak benar-benar bingung, tapi aku hanya menanggapinya dengan diam.
Kalau memang lebih nyaman di kelas, tak mungkin aku sampai makan di luar begini...
dasar, kenapa ia tak peka begitu?
Kita ganti saja topiknya.
"Lebih penting lagi, kenapa kau ada di sini?"
"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa dibilang ini
hukumannya."
"jadi hukumannya bicara denganku...?"
Memilukan sekali... rasanya ingin mati saja.
"Bu-bukan, bukan! Yang kalah harus membeli jus! Cuma itu!"
Yuigahama buru-buru mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal anggapanku.
Baguslah; padahal aku sempat ingin bunuh diri tadi...
Yuigahama mengelus dadanya karena lega, kemudian mendudukkan dirinya di
sebelahku.
"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi pula, apa untungnya
bagiku memenangkan permainan tak penting ini? Begitu katanya."
Untuk alasan tertentu, Yuigahama tampak berusaha meniru Yukinoshita. Sayangnya ia
gagal.
"Yah, ia memang seperti itu."
"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang, ya? Habis itu ia
setuju mau ikut."
"...yah, ia memang seperti itu."
Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika ada yang
menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung setuju mengikutinya sama
seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya dulu.
"Terus, waktu Yukinon menang, ia sedikit mengepalkan tangannya, lo... lucu banget,
deh..."
Yuigahama lalu menghela napas senang.
"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti permainan
hukuman."
"Jadi kau sudah sering memainkannya?"
Saat aku menanyakan itu, Yuigahama mengangguk.
"Ya, sering beberapa kali..."
Mendengarkannya tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. Di penghujung istirahat
makan siang, selalu saja ada pojok ruangan konyol yang meributkan permainan suten...
"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."
"Kok reaksimu jelek begitu? Kau enggak suka, ya?"
"Ya jelas, lah. Aku benci orang-orang yang membuat kumpulannya sendiri lalu bercanda
dengan sesamanya... ah, tapi aku suka perselisihan internal. Karena aku tak terlibat di
dalamnya!"
"Alasanmu enggak hanya suram, tapi terdengar sangat rendahan!"
"Berisik. Pergi saja sana..."
Yuigahama lalu tersenyum sambil memegangi rambutnya, menjaganya agar tak tertiup
angin. Ekspresi tadi tampak berbeda dengan yang biasanya ia perlihatkan sewaktu
bersama Miura dan kawan-kawannya di kelas...
Ahh, begitu. Kalau tidak salah, ia tak mengenakan riasan yang berlebihan. Wajahnya
jadi terlihat lebih alami. Mungkin perubahan tersebut baru saja ia lakukan, meski
begitu, bukan berarti aku jadi punya kebiasaan memandangi wajah perempuan... ah,
terserahlah.
Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya sedikit.
Mungkin itu dikarenakan riasan yang tak berlebihan di wajahnya, tetapi... saat
Yuigahama tersenyum, mata sayu dan wajah belianya itu jadi tampak semakin muda.
"Tapi masa, sih? Kupikir Hikki juga sudah terbiasa membuat kumpulan sendiri. Soalnya
waktu di ruang klub, kau selalu tampak senang jika mengobrol dengan Yukinon. A-aku
pun selalu merasa kalau aku enggak bakal bisa bergabung di perbincangan kalian..."
Sewaktu mengatakannya, Yuigahama merangkul kedua lututnya dan membenamkan
wajahnya di sana. Ia lalu melirik ke arahku.
"Yah, mungkin karena aku ingin ikut bergabung juga... ta-tapi bukan dalam artian yang
aneh-aneh lo, ya! Mak-maksudku, perbincangan yang juga melibatkan Yukinon!
Mengerti, 'kan?!"
"Jangan khawatir... aku bukan orang yang gampang salah paham kalau berurusan
dengan orang sepertimu."
"Maksudmu itu apa?!"
Yuigahama lalu mengangkat kepalanya, tampak kalau ia kesal. "Ah, sabar, sabar,
tenang dulu!" Kutahan dirinya dengan tanganku, kemudian berbicara.
"Yah, Yukinoshita itu lain cerita. Soalnya ia tak terelakkan."
"Maksudnya?"
"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau keadaan yang
mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf kalau aku memakai kata-kata sulit."
"Bukan! Aku sudah tahu artinya! Kau itu yang terlalu meremehkanku! Asal tahu saja, ya,
aku mengikuti ujian penerimaan dan berhasil masuk ke SMA Soubu, sama sepertimu!"
Yuigahama lalu melayangkan chop-nya tepat ke tenggorokanku. Sempurna mengenai
jakunku, hingga membuatku terbatuk. Kemudian Yuigahama menatapku sambil
menjauh dan bertanya dengan nada serius.
"...hei, bicara soal ujian penerimaan... kau masih ingat hari pertamamu masuk SMA,
enggak?"
"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu aku kecelakaan."
"Kecelakaan..."
"Iya. Saat hari pertamaku masuk SMA, aku berangkat sambil bersepeda, tahu-tahu ada
anjing milik orang bodoh yang lepas berkeliaran. Anjing itu hampir mau dilindas mobil,
jadi aku mengorbankan diri melindunginya... tentu saja, aksiku saat itu sangat keren
dan heroik."
Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak mungkin juga ada
orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu, paling-paling juga tak ada yang mau
membahasnya. Karena itu, di situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit
lebih keren.
Sewaktu ia mendengarnya, wajah Yuigahama menegang.
"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat wajahnya?"
"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah, yang jelas tak ada
kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."
"[Biasa-biasa saja... ya-yah, waktu itu aku memang tak memakai riasan, sih... rambutku
juga belum diwarnai, dan saat itu aku lagi memakai piyama sekenanya... oh, di piyama
itu juga ada gambar beruang kecil, jadi aku mungkin agak kelihatan seperti orang
bodoh waktu itu...]"
Suara Yuigahama begitu pelan sampai-sampai tak bisa kudengar — yang kulihat hanya
gerak bibirnya yang menggumamkan sesuatu sambil menatap ke lantai. Apa perutnya
itu sedang mual?
"Ada apa?"
"Enggak... enggak apa-apa, kok... benaran! Jadi Hikki memang enggak ingat sama
perempuan itu, ya?!"
"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh, tunggu.
Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"
"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi yang
kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini, perempuan itu!!"
"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"
Saat mengatakannya, Yuigahama hanya tertawa keras dan terdengar hampa, lalu
dengan senyum yang masih tertinggal di wajahnya itu, ia memalingkan muka ke arah
lapangan tenis. Spontan, aku pun ikut memalingkan muka.
Kurasa saat itu waktunya para anggota klub Tenis Putri untuk menghentikan latihan
mereka; mereka menyeka keringatnya lalu kembali ke kelas.
"Hei! Sai~~!"
Yuigahama memanggil sambil melambaikan tangan. Tampaknya ia sedang menegur
seseorang yang dikenalnya.
Perempuan itu melihat Yuigahama lalu berlari kecil menghampiri kami.
"Wah, lagi latihan, ya?"
"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus berlatih saat istirahat
makan siang... kami sudah berulang kali meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa
menggunakan lapangan ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya
memperbolehkannya. Oh, iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"
"Ahh, bukan apa-apa..."
Ujar Yuigahama sambil menoleh ke arahku seolah meminta pembenaran. Yah, aku juga
Saat mengatakannya, Yukinoshita berbalik dan dengan cepat menghilang ke arah
gedung sekolah. Totsuka memandang kepergiannya dengan raut gelisah.
"Apa aku... sudah mengatakan sesuatu... yang membuatnya marah...?"
"Tidak, kok. Ia memang selalu seperti itu. Asalkan ia tak menyebutmu bodoh atau tak
berbakat, berarti suasana hatinya masih sedang bagus."
"Bukannya cuma Hikki saja yang dikata-katai seperti itu?"
Padahal ia sendiri juga sering dikatai-katai begitu... cuma Yuigahama saja yang tidak
sadar.
"Apa mungkin ia... sudah lelah menghadapiku...? Aku belum begitu berkembang, dan
aku hanya bisa push-up sebanyak lima kali saja..."
Bahu Totuska terturun, dan ia menundukkan pandangannya ke tanah. Hmm... kurasa itu
tak begitu berbeda dengan yang biasanya Yukinoshita lakukan...
Meskipun begitu...
"Kurasa bukan itu deh masalahnya. Yukinon enggak bakal menelantarkan orang yang
minta bantuan padanya."
Ujar Yuigahama sambil memutar-mutar bola di tangannya.
"Yah, itu benar. Ia bahkan membantu Yuigahama dalam memasak. Jadi setidaknya kau
masih punya harapan. Aku ragu Yukinoshita sudah menyerah padamu."
"Apa maksudmu tadi?!"
Yuigahama mengambil bola yang ia mainkan tadi lalu melemparkannya ke kepalaku.
Bolanya tepat mengenai sasaran sampai menimbulkan bunyi dug!. Yang benar saja?
Kontrol lemparannya tadi benar-benar bagus. Aku takkan terkejut kalau ia bakal masuk
dalam daftar uji coba pemain inti.
Kuambil bola yang menggelinding di tanah itu lalu dengan pelan melemparkannya
kembali ke arah Yuigahama.
"Ia pasti akan datang. Jadi, mau dilanjutkan?"
"...oke!"
Jawab Totsuka bersemangat, dan ia pun kembali berlatih
Setelahnya, untuk sementara tak terdengar lagi ada keluhan maupun tangis air mata.
Totsuka sedang berusaha semampunya.
"Uh, capek banget~~ Hikki, gantikan aku, dong."
Nyatanya, justru Yuigahama yang mulai mengeluh...
Yah, walau sebenarnya aku tak begitu berbuat banyak.
Satu-satunya pilihan bagiku kini hanyalah kembali mengamati semut-semut.
Namun semut-semut tersebut sudah dibantai Zaimokuza, makanya sekarang aku merasa
bosan. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
"Boleh. Ayo gantian."
"Hore~~ eh, sekadar info, saat bola keenam nanti, rasanya bakal membosankan, lo. Jadi
siap-siap saja."
Bola keenam?! Cepat sekali. Seburuk itukah daya tahannya?
Sewaktu aku beranjak mengambil kumpulan bola dari Yuigahama, kulihat senyum yang
terpampang di wajahnya tadi berubah menjadi suram dan sedikit samar.
"Wah, lihat! Ada yang main tenis!"
Aku berbalik mengahadap sumber suara riang itu, dan kulihat ada segerombolan anak
dengan Hayama dan Miura sebagai pusatnya. Mereka berjalan menuju ke arah kami,
dan sewaktu melewati Zaimokuza, mereka tampak menyadari keberadaanku dan
Yuigahama.
"Eh... ada Yui..."
Ucap perempuan di sebelah Miura dengan suara pelan.
Miura sesaat memandang ke arahku dan Yuigahama sebelum mengabaikan kami lalu
beralih pada Totsuka. (Tampaknya ia benar-benar tak menyadari keberadaan
Zaimokuza.)
"Hei, Totsuka. Kami boleh ikutan main, enggak?"
"Miura, aku... tidak sedang bermain... aku sedang latihan..."
"Hah? Apa? Aku enggak dengar."
Ucapan Totsuka begitu pelan dan tampaknya Miura tak mendengarnya. Totsuka terdiam
mendengar balasan Miura. Bagaimana tidak, jika seseorang bertanya padaku dengan
cara seperti itu, aku pun pasti akan ikut terdiam. Perempuan itu benar-benar
mengerikan.
Totsuka mengumpulkan sedikit keberanian yang masih dipunyainya dan mencoba
menjawab kembali.
"A-aku sedang latihan..."
Tapi sang tuan putri tak tampak puas.
"Hmm... tapi kok, ada orang selain anggota Klub Tenis di sini? Jadi artinya, lapangan ini
enggak disediakan khusus buat anak-anak Klub Tenis saja, 'kan?"
"Me-memang benar, sih... tapi..."
"Kalau begitu enggak masalah kalau kita ikut main di sini. Iya, 'kan?
"...tapi..."
Setelah mengatakannya, Totsuka tampak panik dan melihat ke arahku. Eh, aku?
Yah, kurasa memang tak ada lagi orang yang bisa ia andalkan. Yukinoshita sedang pergi
entah ke mana, Yuigahama memalingkan pandangannya dengan wajah gelisah, dan tak
ada yang memedulikan keberadaan Zaimokuza... jadi kurasa memang cuma aku.
"Oh, maaf, tapi Totsuka sudah meminta izin guru untuk memakai lapangan ini. Jadi
orang lain tak boleh menggunakannya."
"Hah? Makanya tadi aku tanya, padahal kau bukan anggota Klub Tenis tapi kok boleh
menggunakannya?"
"Ah, eng... soalnya kami di sini membantu Totsuka latihan. Yah, semacam tenaga kerja
lepas begitu."
"Eh? Kau ini mengoceh apa? Menjijikkan, tahu."
Wuah, perempuan ini memang sama sekali tak punya niat mendengarkanku. Makanya
aku benci perempuan bispak macam begini. Primata macam apa yang tak mengerti
ucapan manusia? Anjing saja bisa mengerti. Ya, Tuhan.
"Sudah, sudah, jangan bertengkar."
Sela Hayama ingin menengahi.
"Bakal lebih seru kalau semuanya bisa ikut main. Begitu saja enggak apa-apa, 'kan?"
Kata-kata Hayama langsung mengusik pikiranku. Miura sudah mengokang senapannya
dan Hayama yang menarik pelatuknya.
Yah, aku hanya perlu balas menembak saja.
"Semuanya... apa-apaan itu? Itu sama saja seperti saat kau merengek meminta sesuatu
pada orang tuamu dan memakai alasan, Semuanya sudah punya, kok!Jadi siapa yang
kaumaksud semuanya itu...? Aku jarang berteman, jadi aku tak terbiasa dengan kalimat
itu..."
Itu adalah makna ganda antara kata tembak (撃つ) dan murung (鬱)! Sebuah kombinasi
yang mengagumkan!
Bahkan Hayama sekalipun harus mengalah karenanya.
"Ah, eng... bukan begitu maksudku. Eng... maaf, deh. Kalau memang ada yang mau
kaukatakan, bilang saja padaku."
Ucapnya ingin menenangkanku dengan begitu sigap.
Hayama memang orang yang baik. Aku hampir terharu dan hendak berterima kasih
padanya.
Tapi...
Jika aku bisa tertolong karena simpati murahan macam itu, maka dari awal aku tak
perlu ditolong. Jika permasalahanku bisa teratasi karena kata-kata barusan, berarti
sebenarnya aku tak punya masalah.
"...Hayama, aku hargai kebaikanmu. Aku tahu betul kalau kepribadianmu memang
bagus. Ditambah, kau pemain andalan Klub Sepakbola. Wajahmu pun cukup tampan, ya
'kan? Aku yakin kau cukup populer di kalangan anak perempuan!"
"Ke-kenapa kau berkata begitu...?"
Hayama jelas terguncang oleh sanjungan dadakanku. Bagus, bagus, biar ia puaskan
dirinya sendiri.
Aku yakin Hayama tak tahu soal ini.
Apa alasan seseorang sampai bisa memuji orang lain? Itu karena semakin orang itu
merasa tinggi, maka semakin keras jatuhnya.
Itulah yang disebut mati karena pujian.
"Kau begitu diberkati dan sangat bersinar, tapi kenapa masih saja mau merebut
lapangan tenis ini dari kami yang tak punya apa-apa ini? Apa kau tak malu berbuat
seperti itu?"
"Tepat sekali! Tuan Hayama! Yang kaulakukan itu benar-benar hina! Ini penjajahan!
Tunggu pembalasanku!"
Tanpa diduga, Zaimokuza datang dan mulai melontarkan kata-kata heboh.
"Kalau mereka bersama, situasinya malah jadi dua kali lebih suram dan menyedihkan..."
Yuigahama lalu tertegun berdiri di sebelah kami. Dan Hayama menggaruk kepalanya
sambil menghela napas.
"Hmm... yah, eng..."
Tanpa kusadari, seringai jahat terpampang di wajahku. Tepat sekali... Hayama
bukanlah orang yang suka membuat gara-gara di sembarang tempat. Dan saat ini,
di sembarang tempat itu ada dirinya, Zaimokuza, dan diriku. Disudutkan oleh suara
mayoritas, Hayama tak punya pilihan selain merelakan tempat ini.
"Ayo, dong, Hayato~~"
Suara memelas terdengar dari sebelah kami.
"Sedang apa sih di sana? Aku mau main tenis, nih."
Dan anak bodoh berambut ikal itu pun datang. Apa ada yang salah dengan sel otaknya?
Sial, harusnya ia menghargai orang bicara... jelas ia tipe orang yang sulit membedakan
antara pedal gas dengan rem, ya' kan?
Tentu saja, Miura sudah menginjak pedal gas ketimbang rem.
Karena komentarnya tadi, Hayama jadi punya sedikit waktu untuk berpikir. Sedikit jeda
barusan sudah cukup untuk menghidupkan mesin di otaknya.
"Hmm... baiklah, begini saja. Semua yang bukan anggota Klub Tenis akan bertanding.
Dan yang menang, mulai dari sekarang boleh memakai lapangan ini selama istirahat
makan siang. Tentu saja, yang menang akan membantu Totsuka berlatih. Pasti lebih
bagus kalau ia berlatih dengan pemain yang lebih baik, ya 'kan? Jadi semua bisa sama-
sama senang."
...ada apa dengan logika sempurna barusan? Apa ia seorang genius?
"Bertanding? ...wah, kedengarannya seru."
Miura tersenyum kejam layaknya Sang Ratu Api.
Dan semua pengikut mereka tampak begitu bersemangat oleh saran Hayama tadi.
Lalu, tersapu oleh panasnya pertarungan yang akan terjadi, di bawah hiruk-pikuk dan
kekisruhan, kami pun melaju ke fase tiga dari pelatihan tenis ini.
Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Intinya, kami mempertaruhkan
lapangan tenis lewat sebuah pertandingan.
Kenapa malah jadi begini...?
Aku sudah berusaha melucu dengan memakai kata-kata seperti hiruk-pikuk dankekisruhan, namun kata-kata itu justru menjadi kenyataan. Kini, ada beberapa orang sedang bersorak di sekitar lapangan tenis yang berletak di pojok halaman sekolah. Andai dihitung, mungkin mudahnya ada sekitar dua ratus orang di sini. Tentu saja sebagiannya adalah kelompok Hayama, tapi ada lebih banyak orang yang mungkin mendengar hal ini dari suatu tempat dan penasaran ingin mencari tahu. Sebagian besar penonton di sini adalah teman Hayama maupun penggemarnya. Sebagian besarnya adalah anak kelas dua, namun ada juga anak kelas satu yang berbaur, dan aku pun bisa melihat ada anak kelas tiga di sana-sini. Yang benar saja? Ia bahkan lebih populer dibanding politisi. "HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!" Para penonton bersorak untuk Hayama, dan mereka mulai membuat gelombang sorakan. Rasanya seperti sedang di tengah konser idola saja. Meski kurasa sebagian orang di sini bukanlah penggemar Hayama, tapi mereka kemari karena merasa ada sesuatu yang aneh sedang berlangsung... iya, 'kan? Aku justru lebih meyakini hal itu.
Intinya, bulu kudukku langsung merinding sewaktu melihat ke arah kerumunan. Rasanya seperti sebuah sekte keagamaan. Jemaat masa remaja memang menyeramkan. Dan di tengah wadah kekisruhan yang meleleh itu, Hayato Hayama dengan percaya diri maju ke tengah lapangan. Terlepas dari riuhnya penonton, ia tampak begitu tenang. Mungkin ia sudah terbiasa dengan perhatian sebanyak ini. Kini tak hanya pengikutnya saja yang mengerumuninya, namun juga beberapa anak lelaki dan perempuan dari kelas lain. Kami sudah benar-benar tertelan seutuhnya. Kami pun bolak-balik saling beradu tatap. Kupejamkan mataku, dan kurasakan diriku pening karena hiruk-pikuk yang memekakkan telinga itu. Hayama sudah menggenggam raketnya dan berdiri di sisi lapangan. Ia memandang kami dengan penuh ketertarikan, penasaran soal siapa di antara kami yang akan maju duluan. "Hei, Hikki. Bagaimana, nih?" "Bagaimana, ya..." Yuigahama tampak gelisah saat bertanya padaku tadi. Aku lalu memandang ke arah Totsuka, dan ia sudah terlihat seperti kelinci ketakutan yang baru saja dilepas di hutan yang asing. Bahkan sewaktu berbicara padaku, ia tampak begitu malu-malu sambil merapatkan kedua kakinya. Ya ampun, gemas sekali melihatnya. Bukan aku saja yang berpikir demikian. Saat Totsuka berjalan dengan lemahnya tadi, kudengar para perempuan di sekitar kami sudah menjeritkan, "Pangeran~~!!" ataupun "Sai~~!!" Namun setiap kali Totsuka mendengar itu, bahunya langsung terturun. Dan karena melihat hal itulah, para penggemar Totsuka semakin menggeliat kesenangan. Aku pun jadi sedikit ikut terbawa mereka. "Sepertinya Totsuka tak bisa ikut bertanding..." Hayama bilang kalau ini adalah pertandingan antara orang-orang dari luar Klub Tenis. Dengan kata lain, ini adalah pertandingan untuk memenangkan lapangan dan Totsuka itu sendiri. "...Zaimokuza, kau bisa main tenis?" "Serahkan saja padaku. Aku sudah selesai membaca seluruh jilidnya, bahkan aku sudah menonton drama musikalnya. Jadi aku cukup superior bila berurusan dengan tenisu." "Aku yang bodoh sudah bertanya padamu. Lagi pula, kalau mengucapkan tenis dengan cara begitu, harusnya kau juga konsisten sewaktu mengucapkan drama musikal tadi." "Yah, kalau begitu, berarti memang terserah padamu... terus bagaimana pengucapan drama musikal-nya?" "Benar juga, kurasa memang harus aku..."
"Menurutmu kau punya kesempatan menang? ...serius deh, bagaimana dengan pengucapan drama musikal-nya?!" "Sama sekali tak ada... sudahlah, jangan cerewet. Kalau memang tidak bisa, tinggal ubah saja karakter sialanmu itu. Parah sekali kelihatannya." "Be-begitu... Hachiman, memang pintar, ya?" Zaimokuza tampak terkesan. Rupanya masalah tentang dirinya tadi sudah bisa diatasi. Tapi tak satu pun dari masalahku sendiri sudah teratasi. Ah... bagaimana ini? Kubenamkan kepalaku dalam kedua tangan yang sedang menyilang. Saat melakukannya, kudengar sebuah suara kasar nan menjengkelkan. "Hei, bisa cepat enggak, sih?" Ya Tuhan. Perempuan bispak ini benar-benar menjengkelkan. Kutengadahkan kepalaku dan melihat Miura sudah menggenggam raket sambil memeriksanya. Hayama pun tampak merasa aneh saat melihat kelakuan perempuan itu. "Eh? Yumiko mau main juga?" "Hah? Ya, iyalah. Dari awal, yang mau main tenis itu sebenarnya aku. Masa lupa, sih?" "Aku tahu, tapi... tim di sebelah sana mungkin diwakili anak lelaki. Kau kenal, eng... Hikitani, 'kan? Anak itu. Kalau kau bermain dengannya, bakal enggak adil nanti." Siapa itu Hikitani? Yang bermain itu bukan Hikitani, tapi Hikigaya... mungkin. Setelah diingatkan oleh Hayama, Miura lalu termenung sambil memain-mainkan rambut ikalnya. "Ah, kalau begitu, main ganda campuran saja! Wah, aku ini pintar juga, ya? Tapi... memangnya ada perempuan yang mau main sama Hikitani? Haha, konyol banget!" Miura mulai mengeluarkan tawa vulgar bernada tinggi, lalu diikuti oleh tawa para penonton. Mau tak mau aku juga ikut menertawakan diriku sendiri. Ku ku ku, ku ku ku... uh, kuakui rasanya perih sekali, tapi yang tadi itu memang tepat sasaran. Bisa kurasakan diriku terjun bebas ke dalam kegelapan. "Hachiman, ini gawat. Kau sama sekali tidak punya teman perempuan. Dan tak ada anak perempuan yang mau membantu bajingan penyendiri berwajah datar sepertimu sekalipun kau memohon. Jadi bagaimana ini?" Zaimokuza ini tak mau diam. Tapi yang dikatakannya memang benar, makanya aku tak bisa menyangkalnya. Kita sudah melewati sebuah masa di mana aku bisa tinggal pergi sambil berkata,Ahahaha, maaf~~ sudah, kita lupakan saja soal ini. (kedip <3). Awalnya aku ingin meminta bantuan Zaimokuza, tapi ia hanya menoleh ke sana kemari dan mulai bersiul. Kuhela napasku, dan seolah tertular, Yuigahama dan Totsuka juga ikut menghela napas.
"..." "Hikigaya, maaf. Kalau saja aku anak perempuan, aku pasti akan senang bermain denganmu, tapi..." Benar sekali. Kenapa Totsuka bukan anak perempuan? Padahal ia begitu manis... "...tenang saja." Tak boleh kubiarkan kecemasan ini tampak di wajahku, karena itu lalu kubelai kepala Totsuka. "Dan juga... kau tak perlu mencemaskan ini. Kalau kau punya tempat untuk bernaung, maka kau harus melindungi tempat tersebut." Saat aku mengatakannya, bahu Yuigahama jadi gemetar. Ia gigit bibirnya dan melihatku dengan tatapan menyesal. Yuigahama punya kedudukan sendiri di kelasnya. Tak sepertiku, ia benar-benar hebat jika berurusan dengan pergaulan antarsesama. Itu sebabnya ia masih ingin bisa berakrab ria dengan Miura serta anak lainnya. Aku adalah penyendiri, tapi bukan berarti aku iri dengan orang-orang yang akrab dengan sesamanya. Bukan berarti pula aku mengharapkan hal buruk terjadi pada mereka... sungguh bukan itu. Aku tidak bohong. Bukan berarti kami ini sekumpulan teman atau semacamnya, dan aku juga takkan menganggap mereka sebagai teman. Kami hanyalah bentuk kekacauan dari sekelompok acak orang-orang yang berkumpul bersama, atau mungkin kami berkumpul di sini karena alasan yang acak pula. Yang mau kulakukan hanyalah ingin membuktikan sesuatu. Bahwa para penyendiri ada bukan untuk dikasihani, mereka sama bergunanya seperti yang lain. Aku sadar betul kalau itu adalah pemikiran yang egosentris. Tapi aku memang orang yang egosentris jika sedang sendirian. Bahkan aku bisa berteleportasi dan menghembuskan api saat sedang sendirian. Namun aku tak mau menolak masa laluku sendiri ataupun masa yang sedang kujalani ini. Aku takkan pernah percaya bahwa menghabiskan waktu seorang diri adalah sebuah dosa atau hal yang dianggap salah. Karena itu aku akan berjuang melindungi rasa keadilanku sendiri. Aku pun mulai maju ke lapangan sendirian. "...mau." Kudengar desahan lembut, amat sangat lembut hingga lenyap oleh riuhnya sorakan. "Hah?" "Kubilang, aku mau!" Yuigahama sedikit mengerang sewaktu wajahnya mulai memerah.
"Yuigahama? Bodoh. Kau ini bodoh, ya? Jangan main-main." "Kenapa aku dibilang bodoh?!" "Kenapa kau mau melakukannya? Kau ini bodoh, ya? Atau jangan-jangan kau suka padaku?" "E... eh? Ka-kau ini bicara apa? Bodoh! Dasar Bodoooooh!!" Wajah Yuigahama memerah selagi mengataiku bodoh berulang kali disertai kemarahan yang luar biasa. Ia lalu merebut raket dari tanganku dan mulai mengayunkannya ke sana kemari. "Ma-ma-ma-maaf! Maaf!" Aku langsung meminta maaf sambil menghindari ayunan raketnya. Mengerikan sekali saat mendengar suara ayunan raket yang begitu dekat dengan telingaku. Tapi sewaktu aku meminta maaf, kuperlihatkan rasa penasaran ini lewat ekspresiku. Yuigahama pun mengalihkan wajahnya dengan malu-malu. "...yah, bagaimana bilangnya, ya? Aku juga anggota Klub Layanan Sosial... jadi bukan hal aneh bagiku berbuat seperti ini... soalnya, itu tempatku bernaung." "Tunggu, tenang dulu. Perhatikan dulu sekitarmu. Ini bukanlah satu-satunya tempatmu bernanung, 'kan? Coba lihat, para perempuan dalam grup langgananmu sedang menatap ke arahmu." "Eh, serius?" Yuigahama menegang dan menoleh ke arah grup Hayama. Hampir bisa kudengar suara lehernya yang berderak sewaktu menolehkan kepala. Aku sempat mau menyarankannya agar memakai pelumas Kure 556 atau semacamnya. Grup perempuan di sekitar Hayama, dengan Miura sebagai pemimpinnya, sedang memandang kami. Sudah sewajarnya mereka berbuat demikian, mengingat apa yang sudah Yuigahama lantangkan tadi. Terasa aura permusuhan pada mata besar Miura yang sudah ditebali oleh maskara dan eyeliner. Gulungan rambut pirangnya yang mirip bor itu berayun tak senang. Memangnya ia itu Nyonya Kupu-Kupu apa? "Yui, asal kau tahu, kalau kau memihak sana berarti kau melawan kami. Kau paham, 'kan?" Layaknya seorang ratu, Miura menyilangkan lengan dan menghentakkan kakinya ke tanah. Itu adalah pose seorang ratu yang sedang marah. Merasa tertekan oleh pose tersebut, perlahan Yuigahama menundukkan pandangannya ke bawah. Ia lalu menggenggam keliman roknya. Mungkin ia merasa gugup — tangannya sudah gemetaran. Sorakan pernonton mulai berubah menjadi riuh rendahnya suara bisikan. Padahal ini bukan sebuah eksekusi di depan umum. Namun Yuigahama mengangkat kepalanya dan dengan tegas menatap ke depan.
"...bukan begitu... mauku. Tapi, klub... klub ini penting buatku! Jadi aku akan melakukannya." "Hmm... begitu. Jangan sampai kau malu sendiri, ya." Tanggap Miura singkat. Namun aku melihat sebuah senyum tersungging di wajahnya. Itu adalah senyuman api neraka yang berkobar. "Ayo ganti baju dulu. Biar kupinjamkan baju dari Klub Tenis Putri. Ayo ikut." Miura menolehkan kepalanya ke arah ruang Klub Tenis yang berada di dekat lapangan. Mungkin ia mencoba bersikap baik, tapi yang terdengar bagiku, ia seperti berkata, Akan kucekik kau di ruang klub nanti. Yuigahama pun mengikutinya dengan wajah tegang, dan semua anak di sekelilingnya memandang dirinya dengan tatapan iba. Yah... senang bisa kenal dengan dirinya... "Hei, Hikitani." Sewaktu aku mendoakan Yuigahama, Hayama mengajakku bicara. Ia pasti punya keahlian komunikasi yang cukup hebat hingga bisa bicara denganku. Meskipun ia salah mengucapkan namaku. "Ya?" "Aku masih belum begitu tahu peraturan tenis. Bermain ganda sepertinya juga cukup sulit. Jadi, apa kau keberatan kalau kita membuat beberapa peraturan sederhana?" "Boleh. lagi pula ini juga tenis untuk pemula. Kita pukul saja bolanya dan tetap hitung angkanya. Bagaimana? Ini mirip seperti bola voli." "Ah, itu lebih mudah dipahami. Aku setuju." Hayama tesenyum senang. Kubalas dirinya dengan tersenyum masam. Di saat bersamaan, dua perempuan tadi akhirnya kembali.
Wajah Yuigahama sudah memerah selagi ia susah payah membetulkan roknya. Satu
setelan dengan roknya, ia mengenakan kaos polo untuk bagian atasnya.
"Rasanya seragam tenis ini agak... bukannya rok ini terlalu pendek, ya?"
"Tapi rok yang kaupakai selalu sependek itu, kok..."
"Hah?! Apa maksudmu?! Ja-jangan bilang kalau kau selalu memerhatikanku!
Hampir kudengar suara *pop* sewaktu pipi Yukinoshita mulai tampak merah padam. Ia
genggam raket yang diambilnya dari Yuigahama tadi dan sekilas terlihat sedang
menundukkan wajah.
Itu terlihat begitu menggemaskan hingga cukup layak untuk diberi pelukan... oleh
Yuigahama.
"Yukinon!"
"Hentikan... jangan menempel begitu padaku. Aku jadi tak bisa bergerak..."
...eh? Bukankah ini titik di mana ia harusnya bersikap lembut padaku? Entah hanya aku,
atau ia cuma bersikap lembut pada Yuigahama saja? Harusnya tak begitu, bukan? Apa
kami sedang di dalam kisah komedi romantis di mana lelaki mendapat cinta lelaki lain
dan perempuan mendapat cinta perempuan lainnya?
Semua dewa komedi romantis memang konyol.
Setelah Yukinoshita berhasil melepaskan diri dari Yuigahama, ia berdeham beberapa
kali dan lanjut berbicara.
"Sungguh sebuah penyesalan bisa berpasangan dengan lelaki ini, tapi, yah... mau
bagaimana lagi? Aku terima permintaanmu. Aku hanya perlu memenangkan
pertandingan ini saja, bukan?"
"Sip! ...yah, aku juga enggak bisa berbuat banyak agar Hikki bisa menang."
"Maaf sampai membuatmu melakukan ini."
Kubungkukkan badan ini, tapi Yukinoshita hanya menatapku dingin.
"...jangan salah sangka. Aku melakukan ini bukan demi dirimu."
"Ha ha ha, kau memang tsundere."
Ha ha ha, ya ampun, ha ha ha ha... sudah lama aku tak mendengar hal seklise itu.
"Tsundere...? Entah kenapa, kata-kata itu membuat bulu kudukku merinding."
Ya, itu memang benar... kurasa sudah jelas kalau Yukinoshita takkan tahu apa
itu tsundere... terlebih, perempuan itu takkan berbohong — ia akan selalu berkata
sejujurnya, tak peduli betapa kejamnya itu. Jadi kemungkinan ia tak berbohong saat
berkata kalau ini bukan demi diriku.
Yah, bukan berarti aku ingin ia agar menyukaiku atau semacam itu, jadi ya, sudahlah.
"Yang penting, nanti perlihatkan padaku daftar yang kausebut tadi. Akan kuperiksa dan
kuperbagus untukmu."
Yukinoshita lalu tersenyum manis kepadaku, mengingatkanku akan sebuah bunga yang
mulai mekar. Tapi kenapa senyumnya tak sedikit pun menghangatkan hatiku...?
Aku justru merasa ketakutan. Rasanya seperti sedang ditatap seekor harimau.
Bila memang ada harimau di depanku... hmm... berarti ada serigala di belakangku.
Atau mungkin seekor kuda.
"Yukinoshita... ya? Maaf sebelumnya, tapi aku enggak akan menahan diri siapa pun
lawannya. Kau merasa seperti tuan putri, 'kan? Kalau enggak mau terluka, mending
pergi dan menyerah saja sana."
Aku berbalik dan melihat Miura sedang berdiri sembari memelintir gulungan vertikalnya
sewaktu melihat ke arah kami sambil tersenyum kejam. Miura bodoh... menantang
Yukinoshita sama saja mencari mati...
"Percayalah, aku yang akan menahan diri untukmu. Akan kuhancurkan kebanggaanmu
itu sampai berkeping-keping."
Ujar Yukinoshita sambil tersenyum seolah ia tak mungkin dikalahkan. Setidaknya ia
tampak tak terkalahkan di hadapanku.
Ia adalah musuh yang mengerikan, tapi hati akan sangat tenang jika berada di
pihaknya... aku sungguh kasihan pada pihak yang menjadikannya musuh.
Baik Hayama maupun Miura sudah mempersiapkan diri mereka. Senyum penuh makna
yang disunggingkan Yukinoshita pun tampak indah sekaligus cukup dingin untuk
membekukan orang lain.
"Cukup sudah kaulecehkan tema—"
Yukinsohita keceplosan bicara kemudian sedikit tersipu. Mungkin masih terasa
memalukan baginya untuk memakai kata itu, makanya ia diam-diam menggelengkan
kepalanya sebelum kembali berbicara.
"...cukup sudah kaulecehkan anggota klub kami. Bersiaplah... asal kau tahu, mungkin
kelihatannya saja begini, tapi aku adalah tipe pendendam."
Bukan, bukan mungkin lagi... tapi seratus sepuluh persen ia tipe pendendam.
Begitulah, semua pihak yang berhubungan dengan pertandingan tenis ini pun
berkumpul. Pertandingan ini akhirnya melaju ke fase final yang sesungguhnya.
Tim Hayama dan Miura yang pertama kali jalan. Nyonya Kupu-Kupu alias perempuan
gulungan vertikal alias Miura yang melakukan servis.
"Oh, iya, Yukinoshita. Entah kau tahu soal ini atau enggak, tapi aku benaran jago dalam
tenis."
Ujar Miura sewaktu berulang kali memantulkan bola tenis ke tanah lalu menangkapnya,
hampir seperti sedang mendribel bola basket. Tapi Yukinoshita bergeming; matanya
hanya menunggu kelanjutan aksi Miura.
Miura tersenyum. Senyumnya itu sungguh berbeda dengan senyum yang ditunjukkan
Yukinoshita sebelumnya... itu adalah senyum seekor hewan buas.
"Jangan salahkan aku kalau bolanya mengenai wajahmu."
...wuah, menakutkan. Ini pertama kalinya kudengar seseorang membuat prediksi
seperti itu.
Saat memikirkannya, kudengar suara *wuuuss* dan sedikit bunyi dari bola yang dipukul.
Bolanya melesat kencang ke sisi kiri Yukinoshita dan menyerempet garis sisi kiri
lapangan. Yukinoshita adalah pengguna tangan kanan, jadi pukulan itu ada di luar
jangkauannya.
"...gampang."
Bersamaan dengan kudengarnya bisikan itu, Yukinoshita sudah bersiap untuk
mengembalikan bola. Ia memancangkan kaki kirinya ke tanah dan menggunakannya
sebagai tumpuan, lalu ia berputar seolah sedang berdansawaltz. Itu
adalah backhand sempurna yang dilancarkan oleh raket yang digenggam tangan
kanannya.
Raketnya berayun layaknya pedang samurai, dan bola yang dikembalikannya melaju
kencang ke arah Miura.
Bolanya jatuh ke sisi Miura, dekat di kakinya, dan ia sedikit terpekik sewaktu bolanya
memantul kembali. Pengembalian cepat tadi membuat Miura tersentak.
"Entah kau tahu soal ini atau tidak, tapi aku juga benar-benar jago dalam tenis."
Yukinoshita menghunuskan raketnya ke arah Miura dan menatap dingin perempuan itu,
hampir seakan sedang melihat seekor serangga. Miura termundur ke belakang, menatap
balik Yukinoshita dengan rasa takut dan benci. Bibirnya sedikit menekuk dan ia mulai
melontarkan umpatan. Sampai bisa membuat Ratu Miura jadi terlihat seperti itu...
Yukinoshita memang luar biasa.
"...hebat juga kau bisa mengembalikan bola tadi."
Yukinoshita tak menunjukkan sedikit pun reaksi terhadap ekspresi menggertak yang
ditampakkan wajah Miura, melainkan hanya tertuju tepat pada satu titik.
"Wajah perempuan itu mirip sekali seperti wajah para senior yang dulu pernah
mengerjaiku. Mudah untuk mengetahui betapa rendahnya orang tersebut."
Yukinoshita menyunggingkan senyum kemenangan lalu mulai menyerang.
Bahkan pertahanannya adalah serangan. Ini tak seperti yang biasanya orang lawas
katakan, Pertahanan terbaik adalah menyerang — permainan bertahannya begitu
agresif. Ia akan menjatuhkan servis tepat ke sisi lapangan lawan sebagai balasannya,
dan setiap bola yang menuju ke arahnya akan dikembalikan sepenuh tenaga.
Para penonton pun menjadi kecanduan akan keindahan permainannya.
"Fuahaha! Anak buahku sungguh kuat! Ayo libas mereka semua!"
Zaimokuza terjebak dalam aroma kemenangan dan akhirnya kembali ke pihak kami, dan
kini ia benar-benar berada di pusat perhatian. Itu membuatku jengkel... tapi di sisi
lain, fakta bahwa Zaimokuza berada di pihak kami adalah tanda kalau keadaan sudah
berbalik.
Saat aku dan Yuigahama yang bermain tadi, kami merasa benar-benar sedang bermain
di kandang lawan, tapi perlahan kini para penonton berpihak ke sisi Yukinoshita.
Soalnya, semua anak lelaki kini tengah memandang Yukinoshita dengan menggebu-
gebu.
Yah, memang benar kalau Yukinoshita adalah spesies yang berbeda, dan tak banyak
yang tahu seperti apa sifat aslinya. Dan tentu saja ia juga begitu cantik. Ia juga punya
aura misterius yang mengelilinginya; kesan yang dipancarkannya bagai sekuntum bunga
yang tumbuh di puncak tertinggi sebuah gunung, yang tak mungkin untuk dipetik. Bukan
berarti kalau ia terlihat menakutkan, tapi dirinya terasa seperti sesosok makhluk yang
tak tersentuh yang tak boleh diajak bicara.
Sudah tentu Yuigahama punya keberanian yang besar hingga bisa sedikit
menembus penghalang itu... dan bisa jadi ia juga orang yang sangat bodoh.
Akan tetapi, sikap jujurnya yang kolot dan kebaikannya yang apa adanya itu mampu
menggetarkan hati Yukinoshita. Yuigahama satu-satunya manusia yang sanggup
meyakinkan Yukinoshita agar bisa datang kemari hari ini, dan Yukinoshita pun bermain
dengan segenap kemampuannya demi membalas keberanian Yuigahama itu. Ia mungkin
takkan datang andai aku yang memintanya.
—
Selisih angka kami yang besar perlahan menipis.
Sewaktu menyaksikan Yukinoshita yang berputar ke kiri dan ke kanan di tengah
lapangan, aku selalu membayangkan kalau ia tampak seperti seekor peri. Gerak kakinya
yang bagai tarian itu merupakan atraksi seorang bintang di atas panggung. Aku hanya
pemain figuran di sini, dan setiap kali menerima bola, aku merinding saat semua orang
menatapku. Seakan mereka ingin berkata, Jangan kau!
Namun harapan para penonton terkabulkan — kini giliran Yukinoshita yang melakukan
servis.
Ia cengekeram bolanya lalu melambungkannya ke udara. Bola itu hampir tampak
seperti terisap oleh langit biru sewaktu melayang ke tengah lapangan. Bola tersebut
tampak takkan jatuh di dekat posisi Yukinoshita berada.
Semua orang bakal mengira kalau bolanya luput, akan tetapi...
Yukinoshita terbang.
Ia melangkah ke depan dengan kaki kanannya, membuat dorongan dengan kaki kiri, lalu
melompat saat kedua kakinya sejajar. Itu merupakan langkah ringan layaknya staccato.
Kemudian ia melayang ke udara dengan anggunnya. Posisi tubuhnya bagai seekor elang
yang dengan halusnya meluncur ke angkasa, dan tak ada seorang pun yang tidak
terkejut oleh pemandangan tadi. Dirinya begitu gesit dan elok dipandang. Tak ada yang
berkedip sewaktu mereka merekam kejadian ini di ingatan mereka.
Suara melengking terpekik melalui udara, kemudian bolanya bergulir jauh di atas
tanah. Para penonton, aku, Hayama, Miura... tak seorang pun yang sanggup
menggerakkan diri.
"...ser... servis lompat..."
Ucapku, namun aku hampir kehilangan kata-kata. Menyaksikan hal tak masuk akal yang
dilakukan Yukinoshita itu membuatku tak bisa menutup mulut yang menganga ini. Kami
sempat jauh tertinggal, tapi ia dengan mudah mengejarnya. Bahkan kini kami unggul
dua angka, dan jika kami berhasil meraih angka lagi, maka kami akan memenangkan
pertandingan ini.
"Kau memang luar biasa. Tetap seperti itu dan kita menangkan ini dengan mudah."
Aku begitu yakin hingga bisa berkata begitu, namun Yukinoshita tiba-tiba merengut.
"Mauku memang begitu, tapi... rasanya itu mustahil."
Ingin kutanyakan alasan ia berkata begitu, namun kulihat Hayama sudah bersiap
melakukan servis.
...terserahlah... tampaknya kami akan menang begitu Yukinoshita melancarkan
pengembalian bola andalannya. Aku takkan lengah, aku yakin kalau kami akan menang
sewaktu bersiap menghadapi servis itu.
Hayama juga tampak kehilangan sedikit motivasi untuk bermain; servisnya tak ia
lakukan sekuat tenaga seperti sebelumnya. Servisnya memang cukup cepat, tapi itu
hanya servis biasa, dan bolanya melaju ke ruang di antara aku Yukinoshita.
"Yukinoshita."
Kupikir bola itu lebih baik kuserahkan padanya, makanya tadi aku memanggil namanya.
Namun ia tidak menanggapiku. Yang kudengar justru suara datar dari pantulan bola
yang jatuh di antara kami.
"He-hei!"
"Hikigaya... apa kau tak keberatan jika aku sedikit sesumbar?"
"Hah? Lagi pula, ada apa dengan permainanmu barusan?"
Yukinoshita tak tampak peduli dengan ucapanku, tetapi justru menghela napas panjang
dan menjatuhkan diri di tengah lapangan.
"Sejauh yang bisa kuingat, aku selalu bisa melakukan segala hal, karena itu aku tak
pernah berlama-lama menanganinya."
"Terus kenapa mendadak bicara begitu?"
"Bahkan dalam tenis, ada seseorang yang melatihku di olahraga tersebut, namun
setelah tiga hari aku bisa melampauinya... tidak, tidak hanya olahraga, bahkan musik
juga. Aku bisa menguasainya hanya dalam tiga hari saja."
"Wah, kau mirip kebalikan dari pengangguran tiga hari. Dan ternyata kau memang cuma
mau sesumbar! Jadi maksudnya semua ini apa?"
"Satu-satunya hal yang tak kuyakini adalah ketahanan fisikku."
Kudengar suara pantulan bola lainnya yang melesat dan berdesing di dekat Yukinoshita.
Sudah sangat terlambat mengatakan hal tersebut di saat seperti ini...
Karena Yukinoshita bisa melakukan segala hal, ia tak pernah terjebak dalam suatu hal,
dan ia tak pernah berlama-lama dalam hal apa pun. Itu berarti ketahanan fisiknya
adalah titik lemahnya. Pantas saja yang selalu ia lakukan hanyalah menonton kami
sedang latihan saat istirahat makan siang... yah, jika diingat kembali, ini memang
sudah kelihatan jelas. Jika ingin lebih baik dalam suatu hal, maka caranya adalah
dengan berlatih, dan semakin banyak berlatih, semakin kita bisa meningkatkan
ketahanan fisik kita.
Namun karena dari awal ia bisa melakukan segala hal dengan begitu baik, makanya ia
tak pernah berlatih. Dan itu sebabnya ketahanan fisik yang dimiliki perempuan itu
begitu lemah.
"Uh, tapi kau tak harus mengatakannya dengan suara sekeras itu, 'kan...?"
Aku menoleh ke arah Hayama dan Miura, lalu melihat Ratu Hewan Buas itu sedang
tersenyum bengis.
"Oh, tapi kami sudah dengar, lo~~"
Ujar Miura dengan agresif. Terlihat kalau semua kesulitannya baru saja sirna. Tepat di
sebelahnya, Hayama juga tertawa kecil.
Ini situasi yang paling buruk... sesaat setelah kami memimpin pertandingan, mendadak
perolehan angka menjadi deuce.
Kami memang pemain pemula dalam tenis yang memiliki peraturan aneh ini. Tapi kami
paham kalau dalam keadaan deuce, kemenangan bisa diraih kalau bisa memimpin
dengan selisih dua angka.
Andalan kami, Yukinoshita, sudah kehabisan seluruh staminanya dan kini hanya
terdiam. Tak hanya itu, lawan kami sudah sadar betul akan situasi ini. Buktinya,
servisku sudah tak ampuh lagi melawan mereka — mereka dengan mudah
mengembalikannya, dan akhirnya jadi seperti itu.
"Ia boleh saja mengganggu jalannya pertandingan tadi, tapi sepertinya semua sudah
berakhir, ya 'kan?"
Aku tak bisa membalas ucapan agresif Miura tadi. Yukinoshita pun masih terdiam...
malahan, ia sempat mengangguk. Ia tampak kelelahan. Apa-apaan itu? Memangnya ia
itu Hiei, apa?
Miura memandang angkuh ke arah kami dan tertawa dengan senangnya. Sepertinya ia
ingin segera mengakhiri ini. Aku merasa seperti sedang ditatap oleh seekor ular...
memangnya perempuan ini anaconda, apa?
Hayama merasakan suasana berbahaya ini dan mencoba menyela.
"Su-sudah, sudah, semuanya sudah berusaha keras... enggak usah terlalu serius. Lagi
pula pertandingannya menyenangkan, jadi kita anggap seri saja, ya?"
"Ap—? Hei, Hayato, kau itu bicara apa? Ini pertandingan, lo. Kita harus serius dan
melakukannya sampai selesai."
Dengan kata lain, mereka akan memenangkan pertandingan dan secara sah mengambil
alih lapangan ini dari Totsuka. Ditambah, ucapan, Melakukannya sampai selesai tadi...
mengerikan sekali. Kira-kira apa yang mau ia perbuat kepadaku... aku sama sekali tak
suka ini... jangan-jangan itu bakal menyakitkan? Aku tak suka saat semuanya jadi
terasa menyakitkan...
Seketika aku berdiri menunggu, kudengar ada seseorang yang berdecak.
"Bisakah kalian tenang dulu?"
Ujar Yukinoshita terdengar tidak senang. Ia lalu lanjut berbicara sebelum Miura sempat
menanggapinya.
"Anak ini yang akan mengakhiri pertandingannya. Jadi kalahlah dengan terhormat."
Semua yang di sini meragukan apa yang baru didengar mereka tadi. Tentu saja
termasuk diriku... malahan, akulah yang paling terkejut di sini.
Mendadak semua mata tertuju padaku. Hingga tadi, keberadaanku tidaklah diakui,
tidak pula diinginkan. Namun mendadak aku merasa keberadaanku kini begitu menguat.
Aku saling bertatapan dengan Zaimokuza. Untuk apa ia mengacungkan jempol segala?
Aku saling bertatapan dengan Totsuka. Untuk apa ia menatapku dengan penuh harap
begitu?
Aku saling bertatapan dengan Yuigahama. Kuharap ia berhenti menyorakiku, sial...
malu sekali rasanya.
Aku saling bertatapan dengan Yukinoshi— ah, ia sudah berpaling. Ia malah melemparkan
bola padaku.
"Kau tahu sendiri, bukan...? Kadang aku memang melontarkan hinaan maupun cacian,
tapi aku tak pernah menggembar-gemborkan kebohongan."
Angin pun terhenti, mungkin karena itu suaranya begitu jelas terlantang.
Ya, aku tahu itu... yang berbohong di sini hanyalah aku dan mereka saja.
Keheningan yang tak wajar menyelimuti lapangan. Satu-satunya yang bisa terdengar
hanyalah suara bola yang memantul di tanah.
Di tengah suasana tegang yang aneh itu, aku memaksa kesadaran yang ada jauh dalam
diriku.
Aku bisa... aku bisa... aku meyakinkan diriku — tidak, aku sudah yakin akan diriku.
Lagi pula, tak ada alasan bagiku untuk kalah di sini.
Aku adalah orang yang sudah bertahan seorang diri dari sia-sia, menyedihkan dan
menyakitkannya kehidupan sekolah, yang sudah menjalani pahit dan menderitanya
masa remaja ini seorang diri. Jadi tak ada alasan bagiku kalah dari mereka yang
menggantungkan diri pada orang banyak di setiap langkahnya.
Istirahat makan siang akan segera berakhir.
Biasanya di waktu seperti ini aku sudah menyantap habis makan siangku di dekat ruang
UKS di seberang lapangan.
Ingatan tentang pembicaraanku dengan Yuigahama di tempat itu, obrolan pertamaku
dengan Totsuka, semuanya terlintas di benakku.
Kubuka telingaku lebar-lebar.
Tak bisa kudengar suara mengejek Miura; tak bisa kudengar suara sorakan para
penonton...
Tapi aku mendengar suara itu... suara yang aku, dan mungkin hanya aku yang bisa
mendengarnya sepanjang tahun ini.
Di saat itu, kulancarkan sebuah servis.
Itu adalah servis ringan, mudah dan tak bertenaga yang melambung tinggi ke angkasa.
Kulihat Miura bergegas menuju ke arah bola. Kulihat Hayama dengan sigap
mengikutinya. Kulihat para penonton yang tampak merasa kecewa. Sekilas kulirik
Totsuka yang pandangannya sudah tertunduk ke tanah. Kuabaikan Zaimokuza yang
sedang mengepalkan tangannya. Aku saling bertatapan dengan Yuigahama yang mulai
berdoa. Lalu pandanganku pun tertuju pada senyum kemenangan yang disunggingkan
Yukinoshita.
Pukulan bolaku melayang ke arah yang tak tentu.
"Hyaaahh!!"
Miura menjerit layaknya seekor ular buas dan akhirnya sampai di posisi bola akan
mendarat.
Tepat pada saat itu, angin pun berhembus.
Miura mungkin tidak tahu...
...soal istimewanya angin laut yang berhembus di penghujung istirahat makan siang,
yang membuat unik SMA Soubu dan lingkungan sekitarnya.
Bolanya goyah dan tersapu naik ke atas oleh angin. Membuatnya menjauh dari Miura
dan memantul di tepi lapangan, tetapi hayama sudah berlari mengejar bolanya.
Hayama mungkin tidak tahu...
...kalau angin ini tak hanya berhembus satu kali saja.
Cuma aku satu-satunya yang tahu soal ini. Aku, yang sepanjang tahun duduk di sana
seorang diri, yang tak berbicara dengan siapa pun, yang hanya menghabiskan waktu
tanpa ada yang tahu... dan hanya angin itu satu-satunya yang tahu tentang masa-masa
tenang yang kuhabiskan seorang diri.
Dan itulah bola melengkung ajaib yang hanya aku, dan memang cuma aku, yang
sanggup melakukannya.
Hembusan angin yang kedua menyapu naik bolanya, meskipun bola itu telah memantul.
Setelah itu, bolanya jatuh ke tanah di pojok paling ujung lapangan kemudian
menggelinding.
Mulut semua orang pun terbungkam, telinga mereka pun terbuka lebar, dan mata
mereka pun terbelalak.
"Ah, kini aku ingat pernah mendengarnya... sebuah keahlian yang membuat
penggunanya bisa mengendalikan angin sesukanya, Pewaris Angin, Eulen Sypheed!"
Cuma Zaimokuza satu-satunya anak yang tak mendapat arahan dan malah berteriak
keras.
Kuharap ia berhenti menamai secara acak pukulanku barusan. Sial... suasananya malah
jadi rusak gara-gara dirinya.
"Eng-enggak mungkin..."
Miura tampak sangat syok. Gumamannya mulai memancing reaksi penonton; mulanya
mereka hanya berbisik-bisik, namun perlahan suara mereka berubah menjadi seruan,
"Eulen Sylpheed! Eulen Sylpheed!" Ya Tuhan, semoga itu tidak sampai jadi heboh...
"Kami gagal... yang tadi itu memang bola melengkung ajaib."
Hayama menghadapiku sambil tersenyum. Ia tersenyum layaknya kami sudah berteman
lama... sewaktu membalas senyumnya itu, kugenggam erat bola dan berdiri tanpa bisa
bergerak.
Aku benar-benar tak tahu harus seperti apa menanggapi situasi seperti ini.
Yang ada, aku malah memulai percakapan sia-sia.
"Hayama. Apa saat kecil kau pernah memainkan bisbol?"
"Iya. Aku sering memainkannya... kenapa?"
Hayama tampak kebingungan akan pertanyaan yang tiba-tiba kusodorkan padanya itu,
tapi ia tetap menjawabku tanpa ragu. Mungkin ia memang orang yang baik...
"Perlu berapa banyak orang supaya bisa memainkannya?"
"Eh...? Kalau enggak sampai delapan belas orang, kau enggak bisa bermain bisbol."
"Ya, sudah kuduga... tapi asal tahu saja, selama ini aku memainkannya seorang diri."
"Eh? Maksudmu?"
Tanya balik Hayama, tapi kupikir ia takkan mengerti andai kujelaskan.
Maksudku tadi bukanlah permainan bisbol tunggal.
Apa mereka mengerti deritanya mengayuh sepeda sendirian layaknya orang bodoh di
tengah teriknya matahari musim panas dan menusuknya hawa musim dingin? Yang
biasanya mereka alihkan dengan keluhan, Panas banget! Dingin banget! Gawat,
nih! Dan semua itu sudah kulalui seorang diri.
Memangnya mereka tahu... memangnya mereka mengerti betapa menakutkannya saat
tak bisa bertanya pada siapa-siapa mengenai bahan ujian yang akan datang, dan
akhirnya diam-diam belajar sendirian lalu menerima langsung akibatnya. Mereka bisa
sampai seperti ini karena mereka saling memeriksa jawaban masing-masing, saling
membandingkan nilai ujian mereka, saling membodoh-bodohi ataupun memuji satu
sama lain dan lari dari kenyataan, sementara aku menghadapi kenyataan itu seorang
diri.
Apa kira-kira pendapat mereka? Bukankah aku tampak seperti manusia paling tangguh?
Tersapu oleh emosi-emosi itu, aku bersiap melakukan servis.
Kutekuk satu kaki ke depan dan menarik kencang satu sisi tubuhku ke belakang
layaknya busur yang siap menembak. Lalu kulambungkan bola ke udara. Kugenggam
erat raketku dengan kedua tangan dan memosisikannya di belakang leherku.
Lagit yang biru, musim semi yang hendak berlalu, dan musim panas yang akan
menghampiri... aku sudah muak dan mengutuk semua itu.
"Masa Remaja, sialan!!!"
Dengan segenap kekuatan, seiring bola turun mendekatiku, kupukul bola ke udara
dengan ayunan ke atas.
Bolanya sampai menimbulkan bunyi *takk!* sewaktu tepat menghantam tepi rangka
raketku, yang kemudian melesat naik ke atas seakan langit yang mengisapnya.
Bola itu pun naik semakin tinggi. Pada titik tertentu, bolanya terlihat seperti bintik
yang lebih kecil dari sebutir beras.
"I-itu... sang roh kehancuran yang melambung tinggi menembus langit, Meteor Strike!"
Seru Zaimokuza sambil mencondongkan badannya ke depan. Lagi-lagi... kenapa ia harus
memberi nama untuk pukulanku?
"Meteor Strike..." Beberapa anak lain di antara para penonton pun mulai
membisikkannya. Ya ampun, kenapa mereka juga ikut-ikutan?!
Itu bukan perkara besar... itu hanya sekadar permainan pukul-tangkap.
Biar kujelaskan. Saat masih kecil, aku tidak punya banyak teman, maka dari itu
kukembangkan sebuah olahraga baru dari bisbol tunggal — aku melempar, memukul,
dan menangkap bolanya sendiri. Saat berusaha merancang skema agar permainan bisa
berlangsung lebih lama, aku sadar bahwa cara terbaik untuk memperlama irama
permainan adalah dengan skema pukul-tangkap itu sendiri.
Jika bolanya berhasil kutangkap, maka si pemukul dinyatakan out, dan jika bolanya
luput tapi bisa ditangkap setelah memantul, maka pukulan itu dianggap masuk. Jika
aku memukul bolanya terlalu jauh, maka itu kuhitung sebagai home run. Salah satu
kelemahan permainan ini adalah sekali aku memutuskan bermain di pihak mana (entah
sebagai pemukul atau penangkap), maka permainan akan cenderung berat sebelah.
Untuk memainkan bisbol ini, sangatlah penting untuk bersikap obyektif seolah sedang
bermain suten dengan diri sendiri. Yang seperti ini tak patut dicontoh; bermain dengan
teman-teman jauh lebih bijaksana.
Namun itulah simbol dari terasingnya diriku, dan itu pula yang menjadi senjata
terkuatku.
Itu adalah palu yang jatuh dari kehampaan dan menghancurkan mereka yang
mengagungkan masa remaja.
"A-apa itu?"
Miura mendongak ke atas sambil kebingungan. Hayama pun menatap tinggi ke angkasa,
namun ekspresinya mendadak berubah panik lalu berteriak.
"Yumiko! Mundur!"
Teriak Hayama pada Miura yang kini terpaku dengan wajah syok. Sudah kuduga,
Hayama sadar dengan yang sedang terjadi... sayangnya, ia sudah terlambat.
Bola tenis itu pun terus melaju ke atas, tapi kecepatannya berangsur berkurang akibat
pengaruh gravitasi, hingga dua daya itu mencapai titik keseimbangan lalu membuat laju
bola terhenti.
Ketika kemudian keseimbangan itu hancur, energi potensial bola berubah menjadi
energi kinetik. Bola itu pun mulai terjun bebas. Seketika menghantam tanah, energi
dari bola itu hendak meledak.
Setelah melayang begitu lama di angkasa, bola tersebut akhirnya memecut tanah
hingga menciptakan kepulan debu, lalu memantul kembali, melambung tinggi ke udara.
Bermaksud ingin memukul balik, Miura mengejar bola itu sambil menerobos kepulan
debu dengan langkah tak beraturan. Bolanya terbang tak menentu menuju pagar ram di
belakang lapangan.
Gawat... Miura akan menabrak pagar ram tersebut.
"Ugh!"
Hayama membuang raketnya dan berlari mengejar Miura.
Apa ia akan sempat?! Ataukah tidak sempat?!
Sesaat dua anak tersebut menghilang dari pandangan di antara kepulan debu.
Seketika suasana jadi sunyi senyap.
Kudengar suara seseorang menelan ludahnya... nyatanya, mungkin itu diriku sendiri.
Lalu kepulan debu tersebut perlahan menghilang, dan dua anak tadi kembali terlihat.
Punggung Hayama sudah menghantam pagar ram sambil memeluk Miura untuk
melindunginya. Wajah Miura tersipu sembari ia mencengkeram lembut baju Hayama.
Sesaat kemudian, suasana meledak dalam sorakan keras dan tepuk tangan yang
bergemuruh. Itu adalah apresiasi penuh seluruh penonton.
Hayama membelai kepala Miura untuk menenangkannya, dan wajah Miura pun semakin
memerah.
Sambil bersorak, para penonton pun mengelilingi Hayama dan Miura.
"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"
Dalam suasana gegap gempita itu, bel penanda berakhirnya istirahat makan siang pun
berbunyi. Rasanya benar-benar seperti menyaksikan adegan ciuman yang dilanjutkan
dengan kredit penutup dalam sebuah film.
Pada akhirnya semua orang sudah diliputi oleh rasa puas dan kelelahan. Mereka seperti
habis menonton sebuah film heroik yang menegangkan atau membaca sebuah komedi
romantis remaja yang menghibur.
Dan begitulah, para murid menyanjung dua anak itu dengan sorakan, "Hore! Hore!" Lalu
sosok mereka menghilang ke dalam gedung sekolah.
Tak lama setelah itu, hanya tinggal kami sendiri yang tersisa di lapangan. "Kurasa ini artinya kita memenangkan pertandingan tapi kalah dalam perang." Ujar Yukinoshita sedikit cuek, namun tanpa sadar aku tertawa. "Jangan Konyol... dari awal aku bukanlah tandingan mereka." Mereka yang mengagungkan masa remaja memang selalu dapat sorotan. "Yah, benar juga... bisa jadi seperti ini juga gara-gara ada Hikki. Diabaikan padahal kau
menang... sedih banget." "Hei, Yuigahama, hati-hati kalau bicara. Harusnya kau sadar, terkadang perasaan jujurmu itu bisa lebih menyakiti orang ketimbang kata-kata sinis." Aku memandang sinis ke arah Yuigahama, tapi ia sama sekali tampak tak menyesal. Yah, kurasa semua yang dikatakannya tadi memang benar, jadi tak ada alasan baginya untuk merasa menyesal. Sejak awal, Hayama dan Miura tak begitu peduli soal persaingan ataupun pertandingan macam tadi. Aku kagum mereka bisa menerima kekalahan dan menjadikannya kenangan berharga dari indahnya masa remaja. Apa-apaan itu? Sial... Masa Remaja, meledak saja sana! "Ah, sial... ada apa sebenarnya dengan Hayama itu... andai aku lahir dan dibesarkan dengan cara berbeda, paling-paling aku juga bakal seperti itu, sial..." "Jika begitu, bukankah kau justru jadi orang yang benar-benar berbeda...? Yah, memang benar kalau kau perlu menata ulang hidupmu." Ketus Yukinoshita sambil menatap dingin ke arahku, seakan ingin berkata, Mati saja sana! "...ta-tapi, eng... kurasa Hikki sudah bagus seperti ini, atau, eng... maksudnya, itu bukan hal yang buruk, eng..." Gumam Yuigahama, tapi aku sama sekali tak bisa mendengarnya. Kuharap ia bisa bicara dengan jelas. Ia mengingatkanku akan kejadian di toko baju saat pegawai tokonya mencoba bicara padaku. Biar begitu, tampaknya Yukinoshita mendengar apa yang dikatakan Yuigahama tadi; ia sedikit tersenyum sebelum menganggukkan kepala. "Ternyata ada beberapa orang yang sudah terselamatkan oleh tindakan menyimpangmu... sungguh disayangkan." Ujar Yukinoshita yang kemudian tiba-tiba mengalihkan pandangan. Saat kuikuti ke mana arah pandangannya itu, kulihat Totsuka berjalan pelan sembari berhati-hati akan luka di lututnya. Zaimokuza pun mengikutinya layaknya seorang penguntit. "Kerja bagus, Hachiman... rekanku memang hebat. Namun sayangnya, akan datang hari di mana kita harus menyelesaikan ini untuk selamanya..." Entah kenapa Zaimokuza mulai berbicara sendiri dengan mata berkaca-kaca. Kuabaikan dirinya dan bicara pada Totsuka. "Lututmu baik-baik saja?" "Iya..." Saat itu aku mendadak sadar kalau di sekelilingku hanya ada lelaki saja. Mungkin karena ada Zaimokuza di sini, tapi baik Yukinoshita maupun Yuigahama juga sudah menghilang entah ke mana. Hayama bisa mendapatkan perempuan-perempuan yang memanjakannya layaknya
James Bond, tapi aku justru dikelilingi oleh para lelaki. Jadi anak itu mendapat akhir seperti film James Bond, dan aku berakhir seperti film A-Team... sungguh tak adil. Kisah komedi romantis hanyalah mitos. "Hikigaya... eng... terima kasih." Totsuka berdiri di hadapanku dan tatapannya tertuju langsung ke arahku. Setelah mengatakan itu, ia lalu tampak tersipu dan mengalihkan pandangannya. Aku hampir ingin memeluk dan menciumnya, tapi aku segera tersadar kalau ia lelaki... Kisah komedi romantis ini sudah salah kaprah, begitu pula dengan jenis kelamin Totsuka. Lagi pula, Totsuka berterima kasih pada orang yang salah. "Aku tak berbuat apa-apa. Kalau mau berterima kasih, berterimakasihlah pada para perempuan itu..." Kucoba mencari sosok orang yang kubicarakan tadi sambil melihat ke sana kemari. Saat itu kulihat ada sepasang kucir dua berayun-ayun di sebelah ruang Klub Tenis. Rupanya mereka ke sana. Aku berjalan menuju ke arah ruang klub itu dengan niat ingin berterima kasih pada mereka. "Yukinoshi... ah..."