1 BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa tersusun dari bunyi, yang kemudian membentuk kata dan kata merupakan simbol benda atau gagasan, atau kenyataan lain yang terekam oleh kesadaran manusia. Melalui bahasa, mula-mula bahasa lisan – kemudian bahasa tulis – manusia melakukan komunikasi dengan manusia lain. Bahasa merupakan kemampuan manusiawi yang membedakan manusia dari binatang, bahasa merupakan alat komunikasi yang dominan karena salah satu fungsi bahasa adalah alat untuk mengadakan interaksi dan adaptasi sosial (Keraf, 1985:5). Bahasa merekam pengalaman-pengalaman manusia dan sarana untuk menyampaikan kepada manusia lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar pemikian manusia ada dalam arus bahasa (manusia berpikir verbal, menurut struktur bahasanya), dengan bukti adanya berbagai macam bahasa di dunia maka ada berbagai macam kebudayaan (Dahler dan Chandra, 1991:89) Evolusi bahasa lisan, seperti diketahui, merupakan suatu titik yang menentukan dalam pra-sejarah manusia. Berbekal bahasa, manusia dapat menciptakan berbagai jenis dunia baru di alam: dunia kesadaran yang mawas diri (introspective consciousness) dan dunia yang diciptakan serta dinikmati bersama orang lain yang disebut “budaya”. Bahasa menjadi alat manusia dan budaya ruang tempat manusia hidup (Leakey, 2003:155) Bahasa menciptakan jurang pemisah antara Homo sapiens dan alam selebihnya. Kemampuan manusia menghasilkan bunyi-bunyian atau fonem yang jelas hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan kera: manusia mempunyai 50 fonem,
21
Embed
orang lain yang disebut “budaya”. Bahasa menjadi alat ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94763/potongan/S3-2016... · b. lobus temporalis yang terdapat pusat pengertian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa tersusun dari bunyi, yang kemudian membentuk kata dan kata
merupakan simbol benda atau gagasan, atau kenyataan lain yang terekam oleh
kesadaran manusia. Melalui bahasa, mula-mula bahasa lisan – kemudian bahasa
tulis – manusia melakukan komunikasi dengan manusia lain. Bahasa merupakan
kemampuan manusiawi yang membedakan manusia dari binatang, bahasa
merupakan alat komunikasi yang dominan karena salah satu fungsi bahasa adalah
alat untuk mengadakan interaksi dan adaptasi sosial (Keraf, 1985:5).
Bahasa merekam pengalaman-pengalaman manusia dan sarana untuk
menyampaikan kepada manusia lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian
besar pemikian manusia ada dalam arus bahasa (manusia berpikir verbal, menurut
struktur bahasanya), dengan bukti adanya berbagai macam bahasa di dunia maka
ada berbagai macam kebudayaan (Dahler dan Chandra, 1991:89)
Evolusi bahasa lisan, seperti diketahui, merupakan suatu titik yang
menentukan dalam pra-sejarah manusia. Berbekal bahasa, manusia dapat
menciptakan berbagai jenis dunia baru di alam: dunia kesadaran yang mawas diri
(introspective consciousness) dan dunia yang diciptakan serta dinikmati bersama
orang lain yang disebut “budaya”. Bahasa menjadi alat manusia dan budaya ruang
tempat manusia hidup (Leakey, 2003:155)
Bahasa menciptakan jurang pemisah antara Homo sapiens dan alam
selebihnya. Kemampuan manusia menghasilkan bunyi-bunyian atau fonem yang
jelas hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan kera: manusia mempunyai 50 fonem,
2
kera mempunyai sekitar 12 bunyi. Meskipun demikian, kegunaan fonem dalam
kehidupan manusia dibilang tak terbatas. Fonem-fonem itu bisa disusun dan
disusun lagi untuk memberi manusia umumnya 100.000 kosakata, dan semua itu
bisa dipadukan dalam kalimat-kalimat yang tak terhitung banyaknya. Akibatnya,
kemampuan Homo sapiens untuk berkomunikasi dengan cepat, cermat, dan sarat
makna, tak tertandingi di seluruh dunia (Leakey, 2003:159)
Hanya manusia yang mempunyai kemampuan untuk berbahasa dan
berbicara. Kemampuan berbahasa merupakan komponen perilaku manusia yang
paling luhur, karena ciri khas manusia adalah mencurahkan isi pikiran dan
perasaannya melalui fungsi berbicara dan berbahasa (Kusumoputro, 1992:1)
Kemampuan berbahasa ini selanjutnya memperbesar kemampuan
kualitatif otak manusia purba. Secara genetis perkembangan ini tercermin dalam
korteks (otak depan), yang menyebabkan ukuran otak menjadi lebih besar. Makin
tinggi tingkat evolusi manusia tampak bahwa bagian frontal tengkorak menjadi
semakin besar (Markam, 1991:24).
Bentuk tengkorak manusia purba, dahinya masih sangat rendah,
menyerupai golongan kera. Kemampuan berbahasa pun belum berkembang.
Makin tinggi tingkat evolusi tampak bahwa bagian frontal tengkorak menjadi
makin besar. Tengkorak homo lembah Neander, misalnya sudah lebih besar di
bagian dahinya, tetapi tetap lebih rendah daripada dahi homosapiens (Markam,
1992:23-24)
Perkembangan ini bukan berarti penambahan isi atau volume otak saja,
melainkan juga perubahan dalam struktur intern dan fungsional otak. Menurut
Glinka (1987:41), perkembangan khusus pada otak, dialami antara lain oleh:
3
a. lobus frontalis yang terdapat pusat motoris bicara dan koordinasi berpikir,
b. lobus temporalis yang terdapat pusat pengertian bahasa yang dibicarakan,
c. lobus oksipitalis yang terdapat pusat penglihatan serta pusat ingatan
bahasa tulis dan ingatan optis,
d. lobus parietalis terdapat pusat koordinasi, asosiasi dan intelegensi umum,
yang memungkinkan fungsi berpikir serta pusat kecakapan motoris
berkembang, misal kecakapan menulis,
e. thalamus, terdapat pusat emosi,
f. serebelum, menanggung koordinasi seluruh badan.
Dominansi hemisfer kiri untuk perilaku berbahasa sudah dibuktikan secara
klinis, oleh neurolog seperti Paul Broca dan Carl Wernicke, yang menemukan
kerusakan area tertentu pada otak berhubungan dengan kehilangan kemampuan
linguistik pada penderita yang dirawatnya (Crystal, 1992:260). Hemisfer kiri
mempunyai daerah atau area yang memegang perilaku tertentu, dengan kata lain
fungsi bahasa dilateralisasikan. Istilah lateralisasi dipakai untuk fungsi kognisi
yang dilokalisasikan (Fromkin dan Rodman, 2003:37).
Pierre Paul Broca (neurolog Prancis), merawat seorang penderita stroke
yang kehilangan daya bicara (hanya mampu mengucapkan “tan-tan”). Setelah
meninggal penderita diotopsi dan ditemukan adanya kerusakan di lobus frontalis
kiri belakang bawah, yang kemudian disebut area Broca. Area Broca terletak di
depan bagian korteks motorik yang mengurus gerakan-gerakan otot muka, rahang,
lidah, palatum molle dan laring, yaitu otot-otot yang mengeluarkan bunyi
(Markam, 1991:22).
4
Carl Wernicke (neurolog Jerman), merawat penderita stroke yang dapat
berbicara meskipun dengan kesalahan tetapi daya atau kemampuan memahami
bicara orang lain terganggu. Setelah diotopsi, ditemukan kerusakan di lobus
temporalis kiri belakang atas, kemudian disebut area Wernicke (Markam,
1991:22).
Gangguan berbahasa disebut afasia dan pengetahuan afasia disebut
afasiologi. Pola gangguan bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kerusakan otak
ini selanjutnya perlu ditekuni bersama oleh bidang lain, seperti linguistik,
psikologi, pendidikan, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Hal ini berkaitan
dnegan latar belakang berbagai budaya dan dialek yang ada pada bahasa
Indonesia. Afasiologi adalah pengetahuan yang multidisiplin (Kusumoputro,
1992:2).
Salah satu penyebab afasia adalah stroke, dan angka kejadian stroke dari
hari ke hari semakin meningkat, sebagai hasil peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Stroke di Indonesia banyak menyerang pada usia produktif.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengakibatkan pola konsumsi makanan
berubah dan perilaku berubah. Makanan yang dimakan tidak sehat, banyak
mengandung lemak dan kolesterol, ditambah dengan malas bergerak atau
olahraga, sehingga terjadi peningkatan penyakit-penyakit neurologis. Namun,
karena sel-sel saraf merupakan sel berkualifikasi tinggi dan tidak mudah
melakukan regenerasi kalau rusak, maka angka kejadian kecacatan saraf
bertambah (salah satunya afasia). Stroke dapat menimbulkan kerusakan pada
salah satu hemisfer, maka secara teoretis, kemungkinan terjadi afasia adalah 25%
dari insidens stroke (Kusumoputro, 1992:1).
5
Radio BBC menyatakan, tingkat stroke iskemik meningkat sebesar 31%
dalam usia 5 sampai 14 tahun. Ada peningkatan sebesar 30% untuk orang berusia
15 sampai 34 dan 37% pada pasien antara usia 35 dan 44. Dalam semua kelompok
umur peningkatan lebih besar pada pria dibandingkan perempuan. Angka stroke
hemoragik menunjukkan penurunan, kecuali kelompok usia 5 sampai 14 tahun.
Lebih separuh dari usia 35-44 tahun mengalami stroke iskemik memiliki
hipertensi. (Depari, 2012).
Dr Lorna Layward, dari Stroke Association di Inggris, mengatakan
biasanya masyarakat menghubungkan stroke dengan orang tua, tetapi seperempat
angka kejadian stroke terjadi pada usia kerja, dan sekitar 400 anak mengalami
stroke setiap tahun di Inggris. Diketahui bahwa tekanan darah tinggi merupakan
faktor risiko terbesar untuk stroke, bersama dengan faktor lain seperti obesitas,
diet diabetes, miskin dan merokok. Penelitian ini, menekankan perlunya orang-
orang untuk menyadari bahwa stroke dapat mempengaruhi orang-orang muda, dan
semua orang, terlepas dari usia. Karena itu perlu kesadaran untuk memeriksa
tekanan darah dan menjalankan gaya hidup sehat (Depari, 2012).
Sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat di bangsal perawatan Ilmu
Penyakit Saraf Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf FK Unair/Rumah Sakit Dr Soetomo
Surabaya dari tahun 1991 sampai dengan pertengahan 1994, masih ditempati
infark otak dan pendarahan otak (Wibisono dkk, 1995:15).
Berdasarkan penelitian Satmoko (2009:25-28), dari tahun ke tahun
penderita stroke di Dep/SMF Ilmu Penyakit Saraf semakin meningkat, seperti
dipaparkan di bawah ini:
6
Saraf A Saraf B Unit Stroke total2004 741 272 - 10132005 659 300 136 10952006 479 357 268 11042007 520 352 206 10782008 782 489 235 1500
3181 1770 845 5790Tabel 1.1 Penderita Stroke di Dep/SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Stroke adalah penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Sekitar 700.000 kasus terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, 600.00 merupakan
stroke infark dan 100.000 merupakan stroke pendarahan. Belum ada angka pasti
penderita stroke di Indonesia (Machfoed dkk, 2011:45).
Usaha serius pada abad 19 dan awal abad 20, membangun linguistik sebagai
disiplin yang relevan dengan kajian afasia. Usaha pertama dilakukan oleh linguis
Roman Jakobson, di tahun 1940. Namun, pada jaman Noam Chomsky, linguistik
afasiologi baru muncul sebagai pelopor tata bahasa generatif dan memberi
pengaruh besar pada linguistik, psikologi kognitif dan filsafat (Tesak dan Code,
2008:179).
Kemampuan fonologis penderita afasia motorik lebih terganggu daripada
penderita stroke sensorik, namun di lain pihak penderita afasia sensorik lebih
terganggu pemahamannya daripada penderita afasia motorik. Secara garis besar
ada hubungan antara kemampuan fonologis dengan mekanisme produksi fonem
pada manusia. Penderita afasia motorik juga disebut penderita afasia Broca,
sedangkan penderita afasia sensorik juga disebut penderita afasia Wernicke.
Kemampuan bahasa lisan dengan Boston Diagnostic Aphasia Examination,
Goodglas & Kaplan (1983) dalam Croot (1997:33), menggunakan The Cookie
Theft Picture:
7
(18) penderita dengan demensia semantik:
They boy’s just giving some food and . . . the water’s pouring out there . . . well itlooks like it’s falling over . . . looks loe it’s gonna collapse (prompt) I supposeshe’s gotta . . . use that in the water, which is over . . . . running over, but that’swhat she (prompy) well it looks as though he’s trying to get something out therefor, for hand it down there, for her to eat.
(19) penderita non-fluent progresif afasia:
This is a picture of a woman . . . uh . . . who’s . . . uh . . . lookin’ out the . . . uh . . .[w i n] . . . uh . . . [w i n d S i] . . . uh . . . [w i n d I n d] and . . . uh . . . in thekitchen. And . . . uh . . . he’s . . . uh . . . she’s . . . uh . . . he’s dry, she is drying’ the. . . uh . . . plate while the water is comin’ out from the [s] . . . uh.. The watergoin’ on the floor . . . from the [k] kitchen whatever it is. [b i h a I d] her . . . There[|] boy is . . . is trying to [g o k] up on the top of the . . . drawer for [ k o ko k o ko k] oh . . . standing on a stool . . . which [w k s] looks it willfalls . . [s]. This. The girl is there [w o k I G] waiting for the cookie [ k k k]
Fonetik sebagai fisik dan fonologi sebagai mental sering tidak dapat dibatasi,
namun lebih cenderung, fonetik dan fonologi “bersemuka”. Perubahan-perubahan
bunyi dalam linguistik historis menunjukkan hal ini, proses fisik-motorik dan
perseptual-sensorik lewat perubahan bunyi berubah dari waktu ke waktu. Teori
neurolinguistik klasik menyatakan kesalahan fonetik (motoris bicara) disebabkan
gangguan lobus frontalis inferior kiri, sedangkan kesalahan fonologi (linguistik)
disebabkan pemilihan fonem dan gangguan kerusakan lobus temporalis.
Penemuan-penemuan awal abad 21 memunculkan dikotomi ini (Buckingham dan
Christman, 2008:128).
Code (2005) dalam Buckingham dan Christman (2008:129) memaparkan ada
empat ciri dalam sindrom gangguan fonologi, yaitu:
1. pemanjangan vokal dan konsonan, pada suku kata, kata, dan frase (meskipun
seringkali vokal dan konsonan sesuai dengan target bunyi),
2. pemanjangan durasi jeda antar segmen,
8
3. sering terjadi pergerakan, perpindahan dan lompatan dari artikulasi ke tuturan,
sehingga dapat menyebabkan gangguan persepsi fonem,
4. terjadi penggantian fonem yang terganggu.
Gangguan kemampuan morfologi yang dialami penderita afasia, biasanya
berkaitan dengan hanya munculnya kata tunggal untuk kalimat. Penderita
mengalami gangguan penemuan kata (word diffficulties retrieval). Penggantian
kata dengan kata lain, yang sama sekali tidak ada hubungan dengan kata yang
diganti. Beberapa hal, gangguan kemampuan morfologi (Jarema, 1998:221-222)
1. gangguan proses kata tunggal,
2. defisit morfologis terjadi pada semua modalitas berbahasa,
3. perangkaian kata dengan imbuhan, sangat terganggu,
4. penggantian kata dengan kata lain,
5. gangguan morfologis pada pembuatan kalimat,
6. penderita tidak mampu merangkai kalimat,
7. dalam proses membaca, makna kata sering diganti dengan kata lain,
8. kerumitan abstraksi kata, kelas kata, baik fonologis maupun ortografis.
Jarema (2008:138), mengungkapkan beberapa penelitian menunjukkan
kata kerja lebih sulit diproses daripada kata kerja. Penderita dengan gangguan
pada hemisfer kiri, mengalami kesulitan memakai kata-kata infleksi pada kata
kerja. Penderita afasia Broca menuturkan sedikit sekali kata kerja, dibandingkan
dengan kata benda. Kajian menggunakan kata kerja dan kata benda yang homofon
(he judges, the judges), menunjukkan penderita lebih susah memproduksi kata
kerja daripada kata benda. Penderita menuturkan kata benda lebih baik daripada
kata kerja, dalam menuturkan kalimat.
9
Gangguan sintaksis pada penderita afasia, sering disebut agramatisme.
Agramatisme merupakan kesulitan membuat kalimat sesuai kaidah bahasa yang
dikuasai oleh penderita Masalah tata bahasa yang kacau, penggunaan imbuhan
yang tidak tepat, sampai dengan penggunaan kata yang tidak tepat dilakukan oleh
penderita afasia (Kolk, 1998: 250).
1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang
akan dijawab dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a. Bagaimana gangguan produksi bunyi ujaran penderita afasia motorik?
b. Bagaimana gangguan produksi bunyi ujaran penderita afasia sensorik?
c. Bagaimana perbandingan gangguan produksi bunyi ujaran penderita afasia
motorik dengan produksi fonem penderita afasia sensorik?
Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada gangguan produksi bunyi
ujaran penderita afasia karena stroke dan perbandingan gangguan produksi bunyi
ujaran penderita afasia karena stroke. Informan sebagai sumber data hanya
dibatasi pada penderita afasia karena stroke yang dirawat di Dep/SMF Ilmu
Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya, selama penelitian berlangsung.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini
sebagai berikut, pertama penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan produksi fonem penderita afasia karena stroke. Hasilnya
10
berupa produksi fonem penderita afasia karena stroke, berdasarkan diagnosis
dokter yang merawat penderita. Selanjutnya, penelitian ini membandingkan
produksi fonem penderita afasia motorik (Broca) dan penderita afasia sensorik
(Wernicke). Bila dirincikan satu per satu, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan dan menginterpretasikan produksi fonem penderita
afasia sensorik.
2. Mendeskripsikan dan menginterpretasikan produksi fonem penderita
afasia.
3. Membandingkan produksi fonem penderita afasia sensorik dan
produksi fonem penderita afasia motorik.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat dari sisi teori dan sisi praktis. Penelitian
dari sisi teori, bermanfaat untuk melihat produksi fonem penderita afasia karena
stroke, serta perbandingannya. Sehingga penelitian ini diharapkan bisa
memberikan paparan secara ringkas proses gangguan pengenalan dan produksi
fonem pada afasia.
Dengan demikian, peneliti atau pembaca yang berminat pada bidang
psikolinguistik dan neurolinguistik, bisa menjadikan penelitian ini sebagai
perbandingan atau referensi penelitian-penelitian selanjutnya.
Secara praktis, diharapkan dari perbandingan gangguan produksi fonem
penderita stroke dengan afasia motorik dan afasia sensorik, didapatkan gambaran
11
derajat keparahan penderita afasia dari perspektif linguistik, utamanya produksi
fonem.
Deskripsi produksi fonem penderita afasia, diperlukan untuk terapi bicara
penderita afasia. Deskripsi produksi fonem menentukan derajat keparahan
penderita serta fonem dominan yang terganggu. Dengan deksripsi kemampuan
fonologis ini, penderita afasia diterapi sesuai dengan derajat keparahan.
1.4 Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian neurolinguistik, namun tetap
menggunakan tahapan penelitian pada umumnya. Tiga langkah tahapan
penelitian:
- pengumpulan data,
- analisis data,
- penyajian hasil analisis data.
Sebelum melakukan pengumpulan data, perlu dipahami penelitian afasia
merupakan penelitian neurolinguistik. Penelitian neurolinguistik menggunakan
dua jenis data, data primer adalah data linguistik, sedangkan data sekunder adalah
data keadaan (status) penderita afasia karena stroke.
1.4.1 Pengumpulan Data
Penelitian neurolinguistik ini sesuai dengan pernyataan Kesuma (2007:
25), bahwa data sebagai objek plus konteks, karena data adalah objek penelitian
beserta konteksnya, baik lingual maupun non-lingual yang dapat dipandang
sebagai realitas lain, yang menentukan identitas objek penelitian. Data juga bisa
dipisahkan menjadi data dasar dan data penunjang; data dasar adalah data yang
12
dianalisis sedangkan data penunjang adalah data yang dimanfaatkan untuk
menunjang kerja analisis.
Peneliti pertama-tama melihat status penderita yang dirawat di Bangsal
Sarat SMF/Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr, Soetomo Surabaya. Penderita dengan
status berdasar diagnosis dokter, menderita afasia karena stroke, dicatat dan
kemudian berkonsultasi dengan dokter yang merawat untuk pengambilan data
pemeriksaan dokter.
Peneliti mengunjungi penderita afasia karena stroke, untuk mendapatkan
persetujuan keluarga penderita. Persetujuan keluarga penderita diperlukan untuk
pengambilan data, baik untuk pemeriksaan dokter, dan juga repetisi daftar kata.
Data tuturan/ujaran penderita afasia karena stroke berasal dari:
1. perbincangan dokter dan penderita afasia karena stroke selama
pemeriksaan pagi hari. Merekam perbincangan dokter dan penderita
menggunakan rekaman audio dan audio visual. Serta, bila dokter perlu
memeriksa ulang di waktu lain, sesuai dengan keperluan pemerolehan
data, ini merupakan data alami yang dipakai sebagai data utama,
2. perbincangan peneliti dan penderita saat melakukan repetisi, baik
persiapan, saat melakukab repetisi dan penutup. Repetisi dilakukan
oleh penderita berdasar instruksi peneliti, menggunakan daftar kata
yang sudah disiapkan. Daftar kata repetisi, ini merupakan data
pendukung produksi fonem penderita afasia.
Data yang digunakan dalam penelitian ialah data lisan yang berbentuk
tuturan atau ujaran penderita stroke dengan afasia, dan sebagai bahasan analisis
adalah data segemental saja. Data segmental akan dianalisis untuk melihat
13
gangguan produksi bunyi ujaran penderita afasia, mulai dari fonem yang
diproduksi, diganti, dihilangkan dan ditambahi fonem. Selain itu akan dicari pola
penggantian, penghilangan dan penambahan fonem, dan perbandingannya antara
penderita afasia motorik dan afasia sensorik.
Peneliti menyiapkan daftar kata untuk repetisi. Daftar repetisi dimulai dari
FORMULIR PENELITIAN, untuk memperoleh data pendukung status penderita.
DAFTAR KATA merupakan daftar kata untuk repetis penderitas afasia,
menggunakan elisitasi/pemancingan. Penderita afasia karena stroke, diminta
mengulang yang diujarkan peneliti, direkam. Perekaman ini dilakukan di Bangsal
Saraf Dep/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo.
Daftar kata bedasar distribusi fonem vokal dan konsonan, posisi awal
tengah dan akhir. Selain itu untuk mengetahui kemampuan fonologis dalam
membedakan fonem yang berbeda, digunakan pasangan minimal. Daftar kata
untuk repetisi disusun berdasarkan distribusi fonem dan pasangan minimal.
Distribusi fonem vokal dan konsonan, menggunakan 53 kata, dengan distribusi
fonem vokal sejumlah 16 kata dan distribusi fonem konsonan sejumlah 37 kata.,
Pasangan minimal yang dipakai sebagai repetisi berjumlah 34 pasangan minimal,
dengan 68 kata dengan dua suku kata; fonem vokal berjumlah 20 pasangan
minimal dan fonem konsonan berjumlah 14 pasangan minimal. Daftar kata dan
pasangan minimal yang dipakai dalam penelitian ini, merupakan pengembangan
dari skripsi Luita Aribowo kepada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia,
tahun 1995 yang berjudul “Deskripsi Ujaran Penderita Stroke dengan Afasia
Motorik dan Afasia Sensorik di Bangsal Saraf Lap/UPF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Dr Soetomo Surabaya”. Penyusunan dan penggunaan kata dalam Daftar
14
Kata Fonem Vokal dan Konsonan, serta Pasangan Minimal, disusun Luita
Aribowo, dengan arahan dan bimbingan dr. Troeboes Poerwadi, DSS dan dr
Wiyoto, DSS, saat itu sebagai dokter pembimbing penelitian.
Penderita yang mengalami stroke pertama, mempunyai kemampuan
berbahasa yang berbeda dengan penderita dengan stroke kedua. Kemungkinan
stroke yang kedua, bisa berpindah lokasi atau lokasi tetap, namun keadaan
penderita lebih berat. Kriteria ini juga berpengaruh pada penderita yang sudah
mendapatkan terapi bicara, karena kalau penderita sudah mendapatkan terapi
bicara, kemampuan bicara akan lebih baik daripada yang belum mendapatkan
terapi bicara. Hal ini akan mempengaruhi pemerolehan data dalam penelitian ini.
Hambatan dalam penelitian ini, adalah keadaan fisik penderita yang belum
pulih sempurna. Penderita mempunyai keterbatasan konsentrasi atau ketahanan
untuk melakukan perintah dokter atau peneliti. Hambatan ini, karena kondisi fisik
penderita, karena itu peneliti membatasi diri. Bila penderita sudah lemah atau
lelah, peneliti menghentikan pemerolehan data, hal ini yang mengakibatkan
keterbatasan pemerolehan data.
Kumpulan informan atau populasi data yang diambil adalah semua
penderita afasia karena stroke yang ada selama penelitian berlangsung di Bangsal
Saraf Dep/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Kriteria
informan yang dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. sudah melewati usia kritis pemerolehan bahasa,
2. stroke serangan pertama,
3. belum mendapatkan terapi bicara,
15
4. sudah diketahui jenis afasia yang diderita (berdasar diagnosis dokter
yang merawat penderita),
5. rentang waktu pengambilan data dan MRS (Masuk Rumah Sakit) tidak
lebih dari 30 hari (1 bulan).
6. Batas waktu pemerolehan data, sesuai dengan pemeriksaan dokter
harian, atau paling lama 20 menit.
Penderita yang didapatkan selama rentang penelitian 14 penderita afasia
motorik dan 6 penderita afasia sensorik. Semua penderita yang didapatkan
disesuaikan dengan kriteria informan dan sesuai kode etik penelitian.
Semua tuturan/ujaran yang dihasilkan oleh penderita afasia karena stroke
ditranskripsi secara fonemis, dan ditulis dalam kartu data. Kartu data berukuran
5,5 cm dan 9 cm, karena kartu ini dapat ditemukan dengan mudah, seperti ukuran
kartu nama yang umum.
Kartu data terdiri dari dua warna, warna merah untuk data transkrisi
penderita afasia motorik, dan warna hijau untuk data penderita afasia sensorik.
Kartu data akan menunjukkan tentang produksi tuturan atau ujaran yang sehat
atau normal; penghilangan, penggantian, dan penambahan fonem. Contoh kartu
data sebagai berikut:
(4) kata kafan dituturkan /kEpan/, fonem /a/ diganti /E/ dan fonem /f/ diganti
fonem /p/ dituturkan olehpenderita afasia motorik
(5) kata gudeg dituturkan /gule/, fonem /d/ diganti /l/, dituturkan oleh penderita
afasia sensorik
16
Kartu data ini merupakan perwujudan ringkas dari formulir penelitian,
PAM atau PAS menunjukkan Penderita Afasia Motorik atau Sensorik, L/P
menunjukkan laki-laki atau perempuan, i/b menunjukkan infark atau bleeding,
data ujaran pada tengah kartu, dibawah data ujaran, kata ganti/hilang/tambah
dipakai untuk menunjukkan yang terjadi pada data. mrs menunjukkan tanggal
penderita masuk rumah sakit, dan data menunjukkan tanggal pengambilan data.
1.4.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan berdasarkan aspek fonologi dan gangguan
produksi bunyi ujaran. Data diklasifikasikan berdasarkan klasisikasi fonem, vokal
dan konsonan, serta distribusinya. Penelitian ini mendeskripsikan gangguan
produksi bunyi ujaran penderita afasia karena stroke, mulai penggantian,
penghilangan, dan penambahan serta pola yang terjadi.