-
OPTIMASI PEMUCATAN (BLEACHING) MINYAK HASIL SAMPING
PENGALENGAN IKAN LEMURU (Sardinella sp.) MENGGUNAKAN
ADSORBEN
BENTONIT, ZEOLIT, DAN KARBON AKTIF
SKRIPSI
Oleh:
PINGKY PUTRI ERNES
135100101111015
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
ii
HALAMAN JUDUL
OPTIMASI PEMUCATAN (BLEACHING) MINYAK HASIL SAMPING
PENGALENGAN IKAN LEMURU (Sardinella sp.) MENGGUNAKAN
ADSORBEN
BENTONIT, ZEOLIT, DAN KARBON AKTIF
Oleh:
PINGKY PUTRI ERNES
NIM 135100101111015
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
iii
LEMBAR PESETUJUAN
Judul Skripsi :Optimasi Pemucatan (Bleaching) Minyak Hasil
Samping
Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella sp.) Menggunakan
Adsorben Bentonit, Zeolit, dan Karbon Aktif
Nama Mahasiswa : Pingky Putri Ernes
NIM : 135100101111015
Jurusan : Teknologi Hasil Pertania Pertanian
-
iv
LEMBAR PENGESAHAN
-
v
RIWAYAT HIDUP
Pingky Putri Ernes dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal
23 Januari 1995. Penulis merupakan putri pertama Almarhum
Sunaryo dan Sumini. Memiliki satu saudara perempuan Ajeng
Mimbi Masprilia. Pendidikan TK penulis adalah di TK Dharma
Wanita Banyuwangi, pendidikan SD di SDN 1 Cantuk
Banyuwangi, pendidikan SMP di SMPN 1 Genteng Banyuwangi,
dan pendidikan SMA di SMAN 1 Genteng Banyuwangi. Penulis
melanjutkan studi
program S-1 angkatan 2013 di program studi Ilmu dan Teknologi
Pangan, jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya
Malang melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN).
Pada masa perkuliahan penulis aktif di organisasi English for
Specific Purposes
(ESP) FTP UB tahun 2014-2016. Pada tahun 2016 penulis diberikan
amanah untuk
menjadi Pengurus Harian ESP FTP UB sebagai Sekretaris 2 dan
diamanahi kembali
untuk menjadi Pengurus Harian sebagai sekretaris 1 tahun 2017.
Kepanitiaan yang
pernah dijalankan antara lain staf divisi sponsorship dalam ESP
Great Present (EGP)
2014, staf divisi kestari dalam Olimpiade Brawijaya 2014,
koordinator sekretaris
dalam ESP Great Present (EGP) 2015 dan ESP Organization Training
2016. Selain
aktif berorganisasi, penulis juga aktif di kegiatan Asisten
Praktikum dalam kampus
diantaranya asisten praktikum kimia dasar, asisten praktikum
mikrobiologi umum.
Pada tahun 2017 penulis telah berhasil menyelesaikan
pendidikannya dan
mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Jurusan
Teknologi Hasil
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Malang.
-
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan terselesaikannya laporan skripsi ini saya
resmi
memperoleh gelar S-1. Awali segala sesuatu dengan bismillah dan
niatkan
semua yang kita lakukan semata-mata hanya untuk beribadah kepada
Allah
SWT. Jangan takut untuk berkata dan berperilaku jujur karena
pasti ada
jalan. Permudahlah urusan orang lain, insyaAllah urusanmu
dipermudah oleh
Allah SWT.
Semoga semua kegiatan saya selama menempuh kuliah S-1 dapat
bermanfaat, baik bagi diri saya sendiri maupun lingkungan
sekitar. Saya juga
mohon maaf atas segala kesalahan yang saya lakukan khususnya
selama
masa perkuliahan dan seluruh umur hidup saya.
-
vii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama Mahasiswa : Pingky Putri
Ernes
NIM : 135100101111015
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi :Optimasi Pemucatan (Bleaching) Minyak Hasil
Samping
Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella sp.) Menggunakan
Adsorben Bentonit, Zeolit, dan Karbon Aktif
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis
tersebut di atas. Apabila di
kemudian hari terbukti ini tidak benar, saya bersedia menerima
sanksi sesuai hukum
yang berlaku.
Malang, 22 September 2017
Pembuat Pernyataan,
Pingky Putri Ernes
NIM 135100101111015
-
viii
PINGKY PUTRI ERNES. 135100101111015. Optimasi Pemucatan
(Bleaching) Minyak Hasil Samping Pengalengan Ikan Lemuru
(Sardinella sp.) menggunakan Adsorben Bentonit, Zeolit, dan Karbon
Aktif. SKRIPSI. Pembimbing: Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP.
RINGKASAN
Minyak ikan berpotensi sebagai sumber omega-3 PUFA
(Polyunsaturated Fatty Acids) yang memiliki pengaruh positif untuk
kesehatan. Proses pengalengan lemuru yang terdapat di daerah Muncar
Banyuwangi mempunyai hasil samping berupa minyak ikan namun belum
banyak dimanfaatkan karena kualitasnya masih rendah, sehingga perlu
dilakukan pemurnian meliputi degumming, netralisasi, dan pemucatan
(bleaching) menggunakan adsorben. Konsumen menyukai minyak yang
pucat dan jernih sehingga perlu dikaji lebih mendalam mengenai
proses bleaching. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
optimum serta karakteristik fisikokimia dan komposisi asam lemak
minyak hasil samping pengalengan lemuru yang diberi perlakuan
pemucatan menggunakan adsorben bentonit, zeolit, dan karbon aktif.
Metode penelitian dirancang menggunakan RSM (Response Surface
Methodology) desain percobaan CCD (central Composite Design). Dalam
penelitian ini terdapat tiga faktor yaitu suhu (50, 70 dan 900C),
waktu (5, 10, dan 15 menit), dan konsentrasi adsorben (5, 10, dan
15% b/b) dengan respon kecerahan (L) dan kejernihan (Absorbansi).
Minyak ikan hasil optimasi dari masing-masing adsorben
dikarakterisasi lebih lanjut untuk penentuan perlakuan terbaik
menggunakan Metode Multiple Atribute.
Solusi optimasi yang diprediksikan oleh program yaitu suhu,
waktu proses, dan konsentrasi adsorben masing-masing sebesar
66,750C; 19,63 menit; dan 5,7% dengan nilai respon kecerahan 26,36
dan kejernihan 0,52 untuk bentonit, 76,070C; 19,26 menit; dan 9,05%
dengan nilai respon kecerahan 26,51 dan kejernihan 0,51 untuk
zeolit; 69,400C; 22,89 menit; dan 9,48% dengan nilai respon
kecerahan 25,63 dan kejernihan 0,83 untuk karbon aktif. Hasil
verifikasi data pada ketiga adsorben masuk dalam rentang nilai PI
(Prediction Interval) dan CI (Confident Interval) sehingga sesuai
untuk diterapkan. Karakteristik minyak ikan setelah pemucatan pada
ketiga adsorben memenuhi standar IFOMA dan memiliki hasil lebih
baik dibandingkan minyak ikan kasar kecuali bilangan peroksida,
namun belum layak konsumsi karena tingginya produk oksidasi
sehingga belum memenuhi standar IFOS. Pemucatan menggunakan
adsorben zeolit memiliki kualitas yang paling baik dengan
karakteristik yang diperoleh meliputi nilai kecerahan (L)
26,55±0,21, kejernihan (Absorbansi) 0,50±0,001, bilangan asam
0,52±0,004, asam lemak bebas 3,65±0,026%, bilangan peroksida
16,83±0,15 mek/kg, bilangan p-anisidin 5,45±0,52, total oksidasi
6,85, kadar air tidak terdeteksi, rendemen 82,45±0,21%, EPA 8,38%
area.
Kata Kunci: Adsorben, Bleaching, Minyak Ikan Lemuru, Respon
Surface Methodology
-
ix
PINGKY PUTRI ERNES. 135100101111015. Optimization of Fish Oil
Bleaching from Lemuru (Sardinella sp.) Canning By-Product Using
Bentonite, Zeolite, and Activated Carbon Adsorbent. Minor Thesis.
Advisor: Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP.
SUMMARY
Fish oil has the potential to become the source of omega-3
PUFA
(Polyunsaturated Fatty Acids) that has a positive effect on
health. The lemuru canning process in Muncar Banyuwangi yields fish
oil of by-product but has not been widely used because of its low
quality, therefore it must go through purifying process which
consists of degumming, neutralization, and bleaching using
adsorbent. Consumers prefer fish oils with bright and clear visual
therefore it is necessary to conduct a further study on fish oil
bleaching process. The aim of this research is to know the optimum
condition, physicochemical characteristics and fatty acid
composition of fish oil by-product that are treated with bleaching
using bentonite, zeolite and activated carbon adsorbent. The
research method was designed using RSM (Response Surface
Methodology) with CCD (Central Composite Design). In this study
there were three factors: temperature (50, 70 and 90 0C), time (5,
10, and 15 minutes), and concentration of adsorbent (5, 10, and 15%
w/w) with brightness (L) and clarity (Absorbansi) responses. The
optimized fish oil from each adsorbent was further characterized to
determine the best bleaching treatment using Multiple Atribute
Method.
Optimizing solutions predicted by the program were temperature,
processing time, and adsorbent concentration with respective value
for each adsorbent of 66,750C; 19.63 minutes; And 5.7% with
brightness response value 26,36 and clarity 0,52 for bentonite,
76,070C; 19.26 minutes; And 9,05% with brightness response value
26,51 and clarity 0,51 for zeolite; 69,400C; 22.89 minutes; And
9.48% with brightness response value 25.63 and clarity 0.83 for
activated carbon. The results of data verification on the three
adsorbents were within the range of PI (Prediction Interval) and CI
(Confident Interval) values therefore the conditions were
applicable. Characteristics of fish oil after bleaching on three
adsorbents complied IFOMA standarts and had better results than
crude fish oil except peroxide numbers, but not yet feasible for
consumption due to high oxidation products that were not within the
IFOS standards. The bleaching using zeolite adsorbent had the best
quality with characteristics obtained include brightness (L) 26.55
± 0.21, clarity (Absorbansi) 0,50 ± 0,001, acid number 0,52 ±
0,004, free fatty acid 3,65 ± 0,026%, peroxide number 16,83 ± 0.15
meq/kg, p-anisidine number 5.45 ± 0.52, total oxidation 6.85,
moisture content is not detected, yield 82.45 ± 0.21%, EPA 8.38%
interval.
Keywords: Adsorbent, Bleaching, Lemuru Fish Oil, Response
Surface Methodology
-
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah,
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
skripsi yang berjudul
“Optimasi Pemucatan (Bleaching) Minyak Hasil Samping Pengalengan
Ikan
Lemuru (Sardinella sp.) menggunakan Adsorben Bentonit, Zeolit,
dan Karbon
Aktif” dengan baik.
Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk
memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya.
Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada seluruh pihak
yang telah membantu, mendukung, dan membimbing dalam
penyelesaian laporan
skripsi ini, terutama kepada:
1. Keluarga besar yang selalu mendoakan saya.
2. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih., STP, MP. selaku dosen
pembimbing skripsi dan
ketua jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya
Malang.
3. Fish Oil Squad dan Pengurus Harian ESP 2015/2016 yang
membantu dari sisi
teknis maupun nonteknis.
4. Teman-teman THP angkatan 2013.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki kekurangan
sehingga
diharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan laporan ini.
Penyusun berharap
semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak
yang
membutuhkan.
Malang, September 2017
Penulis
-
xi
DAFTAR ISI
-
xii
-
xiii
DAFTAR TABEL
-
xiv
-
xv
DAFTAR GAMBAR
-
xvi
-
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
-
1
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim
yang
sangat melimpah dengan luas wilayah territorial berdasarkan
konvensi PBB tahun
1982 sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu
kurang lebih 5,4 juta
km2 . Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia (2017),
total hasil perikanan tangkap laut pada tahun 2013 di seluruh
provinsi di Indonesia
mencapai 13.313.838 ton yang didominasi oleh komoditas ikan
pelagis kecil dan
ikan pelagis besar. Hal tersebut berpotensi memberikan
kontribusi yang signifikan
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia apabila dimanfaatkan
seoptimal mungkin.
Komoditas perikanan banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku
industri
pengalengan dan penepungan terutama ikan sarden/ lemuru yang
hidup dan
berkembang biak di perairan pantai, khususnya di selatan
perairan Jawa Timur
dan Bali (Poppo dkk, 2008).
Pada proses pengalengan lemuru di daerah Muncar Banyuwangi
Jawa
Timur mempunyai hasil samping berupa minyak ikan namun belum
banyak
dimanfaatkan terutama di bidang pangan karena kualitas minyak
ikan yang ada
masih terbatas untuk pakan ternak dengan harga jual rendah.
Menurut Gamez-
Meza et al (1999), asam lemak yang paling berlimpah dalam minyak
ikan sarden
mentah adalah asam lemak esensial EPA 20% dan DHA 13%. Oleh
karena itu,
minyak sarden dapat dianggap sebagai sumber penting dari omega-3
PUFA
(polyunsaturated fatty acids) yang baik untuk perkembangan bayi,
jantung, dan
dementia (Sahena, 2010), pencegahan penyakit kardiovaskular,
rheumatoid
arthritis, fungsi kekebalan tubuh dan kanker (Mantzioris et al.,
2000; Li et al., 2003;
Cleland et al., 2006). Berdasarkan data statistika, diketahui
nilai impor Indonesia
terhadap minyak ikan sebesar 4.666 ton dengan nilai nominal
17.555 juta dolar
Amerika, sedangkan nilai ekspornya sendiri adalah sebesar
183,407 ton atau
setara dengan 589,132 juta dolar Amerika (KKP, 2012). Tingginya
nilai impor
memperlihatkan permintaan pasar dalam negeri terhadap minyak
ikan belum
mampu dipenuhi oleh industri di Indonesia sehingga dapat menjadi
salah satu
tantangan sekaligus peluang bagi produsen minyak ikan untuk
memproduksi
minyak ikan dengan kualitas yang baik. Menurut Copeland and
Maurice (2005),
terdapat 4 tahap pemurnian minyak ikan yaitu degumming,
netralisasi, pemucatan
(bleaching), dan deodorisi. Minyak hasil samping pengolahan ikan
mudah
-
2
mengalami oksidasi yang dipicu oleh besi dari hemoglobin, suhu
pemanasan yang
terlalu tinggi, dan adanya oksigen selama proses produksi
sehingga terbentuk
warna gelap (Frankel, 2005). Selain pengotor yang hilang,
konsumen menyukai
minyak dengan warna cerah dan jernih sehingga perlu dikaji lebih
mendalam
mengenai pemucatan (bleaching).
Sebelum dilakukan pemucatan (bleaching) perlu didahului
tahapan
degumming dan netralisasi supaya proses bleaching lebih efektif.
Degumming
pada suhu 800C dengan menambahkan 1% asam fosfat 85% (Crexi et
al., 2010;
Sathivel et al., 2003), netralisasi dengan konsentrasi 20 oBe,
konsentrasi NaOH
sebanyak 12,6 g (Abdillah, 2008; Sathivel et al., 2003), mampu
memperbaiki
karakteristik minyak ikan dari limbah pengolahan ikan.
Karakteristik minyak hasil
samping proses pengalengan ikan lemuru mengalami peningkatan
mutu dan
penurunan jumlah asam lemak jenuh setelah pemurnian dengan
menggunakan
variasi bahan pemucat yaitu arang aktif dan zeolit sebanyak 5%
(Astutik, 2012),
dan pemakaian bentonit dengan konsentrasi 5% (Crexi et al.,
2010). Oleh karena
itu perlu dilakukan uji coba tiga jenis adsorben dengan
konsentrasi yang berbeda
pada tahapan bleaching (pemucatan). Selain adsorben, faktor lain
perlu
dipertimbangkan karena adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu
konsentrasi adsorben, waktu adsorpsi, dan suhu (Nurnafisah,
2016). Berdasarkan
penelitian pendahuluan Nurnafisah (2016), suhu dan waktu yang
tepat untuk
proses pemucatan menggunakan adsorben Miracle Filter Powder
(MFP) yaitu
suhu 50, 70, 900C dan waktu 5, 10, 15, 20 menit. Pemurnian
minyak ikan
menggunakan adsorben zeolit 15% pada suhu 400C selama 30 menit
mampu
meningkatkan kualitas pada minyak ikan hasil samping pengalengan
lemuru
(Ahmadi dkk, 2007).
Penentuan titik optimum dari faktor-faktor tersebut diperlukan
agar
diperoleh minyak ikan yang berkualitas pangan. Metode permukaan
respon dapat
menentukan titik-titik optimal setiap faktor dengan jumlah
perlakuan dan waktu
yang lebih singkat (Nurnafisah, 2016). Moreno et al. (2013)
menggunakan metode
permukaan respon pada optimasi pemucatan (bleaching) minyak ikan
lemuru.
Namal dan Sahidi (2002) menyatakan bahwa metode permukaan respon
telah
berhasil diaplikasikan di berbagai industri untuk riset optimasi
proses.
-
3
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang maka rumusan masalah yang akan
dibahas
antara lain:
1. Bagaimana kondisi optimum pemucatan minyak hasil samping
pengalengan
lemuru menggunakan adsorben zeolit, bentonit, dan karbon
aktif?
2. Bagaimana pengaruh penambahan variasi jenis dan konsentrasi
adsorben
serta suhu dan lama waktu pemucatan terhadap karakteristik
fisik, kimia, dan
komposisi asam lemak minyak ikan hasil pemucatan?
3. Apa jenis adsorben yang paling baik dalam pemucatan minyak
hasil samping
pengalengan lemuru?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kondisi optimum pemucatan minyak hasil samping
pengalengan
lemuru menggunakan adsorben zeolit, bentonit, dan karbon
aktif.
2. Mengetahui pengaruh penambahan variasi jenis dan konsentrasi
adsorben
serta suhu dan lama waktu pemucatan terhadap karakteristik
fisik, kimia, dan
komposisi asam lemak minyak ikan hasil pemucatan.
3. Pemilihan jenis adsorben yang paling baik dalam pemucatan
minyak hasil
samping pengalengan lemuru berdasarkan sifat fisik, kimia, dan
komposisi
asam lemak.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai
kondisi optimum pemucatan minyak hasil samping pengalengan
lemuru untuk
menghasilkan minyak ikan murni yang memiliki kualitas lebih
baik.
1.5. Hipotesis
1. Diduga ada perbedaan solusi optimasi proses Bleaching
menggunakan
adsorben bentonit, zeolit, dan karbon aktif.
2. Terdapat pengaruh nyata faktor suhu, waktu, dan konsentrasi
adsorben
terhadap respon kecerahan (L) dan kejernihan (Absorbansi)
3. Minyak hasil samping pengalengan lemuru setelah bleaching
telah sesuai
dengan standar pangan yang ditetapkan oleh IFOS.
-
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Lemuru
Lemuru merupakan ikan yang termasuk golongan pelagis kecil dalam
famili
clupeidae pemakan fitoplankton dan zooplankton (terutama
copopeda). Sebaran
S. Lemuru terdapat di Samudra Hindia timur (Phuket, Thailand,
Pantai Selatan
Jawa Timur dan Bali, Australia Barat). Lemuru hidup bergerombol
pada perairan
laut dangkal di daerah pesisir. Lemuru dapat ditangkap secara
musiman yakni
mulai awal musim penghujan di sekitar Selat Bali (bulan
September-Oktober)
dengan puncak migrasi pada bulan Desember sampai dengan Januari
(FAO,
2017).
Sebutan Sardinella longiceps oleh Whitehead tahun 1965 yang
digunakan
sebagai nama ilmiah ikan lemuru yang tertangkap di perairan
Selat Bali diganti
menjadi Sardinella lemuru. Hasil revisi klasifikasi dilakukan
oleh Wongratana tahun
1980. Sardinella lemuru dalam bahasa Inggris dinamakan Bali
Sardinella,
sedangkan nama ilmiah dalam deskripsi asli adalah Sardinella
lemuru (FAO,
2017). Hal yang membedakan Sardinella lemuru dengan S. longicep
adalah
bagian kepala yang lebih pendek (26 sampai 29% dari panjang
standar; S.
longicep 29-35%) dan memiliki selaput insang yang lebih sedikit
(77 sampai 188
pada ikan ukuran 6,5 sampai 22 cm; pada S. longiceps 150-253
pada ukuran 8 –
15.5 cm). Panjang badan S. lemuru 20-23 cm, berwarna keperakan
dengan biru
gelap pada bagian belakang (posterior), terdapat sedikit bercak
emas di belakang
lubang insang dan di sepanjang garis tengah badan, terdapat
bercak hitam di
belakang penutup insang, memiliki 8 sirip pinggul (FAO,
2017).
Menurut Bleeker (1853), ikan lemuru dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sumbphylum : Vertebrata
Superclass : Gnathostomata
Class : Actinopterygii
Subclass : Neoptrygii
Superorder : Clupemorpha
Order : Clupeiformes
Suborder : Clupeoidei
Family : Clupeidae
-
5
Gambar 2.1 Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru) (Sumber: FAO,
2017)
Subfamily : Clupeinae
Genus : Sardinella
Spesies : Sardinella lemuru (Bali sardinella)
2.1.1. Komposisi Gizi Ikan Lemuru
Ikan lemuru merupakan salah satu jenis ikan tropis yang
mengandung
komponen asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal
ini
dikarenakan ikan lemuru di alam banyak memakan plankton-plankton
maupun
mikro alga yang banyak memproduksi komponen asam lemak omega-3.
Ikan
lemuru mengandung 13,7% EPA, 8,9% DHA, dan 26,8 % total omega-3
dari total
minyak (Estiasih, 2009). Ikan sarden mengandung EPA
(eicosapentaenoic acid)
1,381 mg/100 gram dan DHA (docohexanoic acid) 1,138 mg/100 gram
(Ghufran
2011). Komposisi kimia daging ikan lemuru dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
-
6
Tabel 2.1 Komposisi Kimia dalam 100 gram Daging Ikan Sarden
Jumlah/100g Satuan
Energi 185 KKal Total lemak 10,45 g Protein 20,86 g Karbohidrat
0,54 g Air 66,86 g Gula 0,43 g Serat 0,1 g Kalsium 240 mg Fosfor
336 mg Besi 2,3 mg Magnesium 34 mg Natrium 414 mg Kalium 341 mg
Zinc 1,4 mg Vit C 1 mg Thiamine 0,04 mg Riboflavin 0,233 mg Niacin
4,2 mg Vit B-6 0,123 Mg Folate 24 µg Vit B-12 9 µg Vit A, RAE 34 µg
Vit A IU 151 IU Vit E (alpha-tocopherol) 1,38 µg Vit D (D2+D3) 2,38
µg Vit D 193 IU Vit K 0,4 µg Asam Lemak Jenuh 2,684 g Asam Lemak
Tak Jenuh Tunggal 4,818 g Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk 2,111 g
Kolesterol 61 µg
Sumber: USDA (2017)
2.2. Minyak Ikan
Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan
yang
telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Lemak atau minyak
didefinisikan sebagai
senyawa yang mengandung asam lemak oleh karena itu sifat-sifat
asam lemak
penting untuk dipahami dalam memahami sifat-sifat minyak ikan.
Minyak ikan
mempunyai jenis asam lemak yang lebih beragam dibandingkan jenis
minyak
nabati dan lemak hewan darat (Estiasih, 2009). 2-5% minyak ikan
kasar terdiri dari
sterol (meliputi kolesterol), kolesterol teresterifikasi asam
lemak, dan asam lemak
bebas. Komponen lain yang terdapat dalam minyak belum dimurnikan
meliputi
vitamin A, D, E dan beberapa asam amino larut air, peptida, dan
mineral (Farooqui,
2009). Kandungan minyak dalam ikan berbeda-beda. Hal ini
tergantung dari
makanan, jenis spesies, kematangan gonad, jenis kelamin, musim,
lokasi, serta
suhu lingkungan (Aidos et al., 2003). Ikan yang ditangkap pada
perairan dingin
-
7
mengandung asam lemak omega-3 yang lebih tinggi daripada ikan
yang ditangkap
di perairan tropis (Eskin, 2002).
Minyak ikan yang dimurnikan dapat dikonsumsi dalam bentuk
obat
(Omacor™, Lovaza™), kapsul minyak ikan, atau ditambahkan ke
dalam berbagai
jenis makanan seperti roti, jus jeruk, dan yogurt untuk
meningkatkan kandungan
n-3 PUFA (Breivik, 2007). Menurut Rizliya and Mendis (2014),
minyak ikan
digunakan dalam berbagai jenis produk makanan seperti roti, pie,
sereal, yogurt,
produk keju, dairy product beku, produk daging, cookies,
cracker, snack (makanan
ringan), condiment (rempah-rempah), saus, campuran sup.
2.2.1. Karakteristik Minyak Ikan
Asam lemak yang dominan dalam minyak ikan adalah asam lemak
omega-
3 terutama EPA dan DHA yang atom karbonnya berjumlah 20 (C20)
dan 22 (C22)
serta bersifat tak jenuh karena memiliki 5 dan 6 ikatan rangkap
pada molekulnya.
Asam lemak omega-3 merupakan golongan asam lemak tak jenuh
ganda
(Polyunsaturated Fatty Acid/ PUFA) yang memiliki ikatan rangkap
pada karbon
nomor 3 dihitung dari ujung gugus metal (CH3) atau karbon omega.
Ikan yang
dapat dianggap sebagai sumber penting dari omega-3 PUFA
(polyunsaturated
fatty acids) yaitu minyak ikan sarden/ lemuru (Estiasih, 2009).
Struktur kimia dari
EPA dan DHA dapat dilihat pada Gambar 2.2. serta kadar EPA dan
DHA yang
pernah diamati oleh Standsby (1982) dapat dilihat pada Tabel
2.2
Gambar 2.2 Struktur Kimia EPA dan DHA (Sumber: Ackman, 1982)
-
8
Tabel 2.2 Kadar asam lemak omega-3 dari beberapa jenis ikan
Jenis Ikan Kadar Lemak (%) Asam Arakhidonat (g) EPA (g) DHA
(g)
Tuna 6.8 0.14 0.63 1.70 Hering 6.2 0.03 0.33 0.58 Mackerel 9.8
0.12 0.85 1.10 Salmon 13.2 0.06 1.00 0.72 Cod 0.73 0.02 0.08 0.15
Sardine 10.2 0.22 1.7 0.64
Sumber: Standby (1982)
Tabel 2.3 Komposisi Lemak dalam 100 gram Minyak Ikan Sarden
Jumlah/100g Satuan
Asam Lemak Jenuh 29,892 G Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal 33,841 G
Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk 31,867 G Kolesterol 710 µg
Sumber: USDA (2017)
Minyak ikan juga mengandung antioksidan larut lemak seperti
karoten dan
vitamin E yang mampu mengikat radikal bebas, namun minyak ikan
laut sangat
tidak jenuh dan sangat rentan terhadap oksidasi bila terkena
oksigen, cahaya, dan
panas. Selain itu stabilitas oksidatif dan hidrolisis bisa
sangat berbeda antar
spesies ikan (Wu and Bechtel, 2008). Standar mutu minyak ikan
dapat dilihat pada
Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Standar Minyak Ikan
No Parameter IFOS CAC CRN EP IFOMA
1 Kadar Air (%)
-
9
2.3. Minyak Hasil Samping Pengalengan Ikan Lemuru
Pengalengan ikan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan
yang
dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan
benda asing
lainnya) dalam suatu wadah yang kemudian disterilkan secara
komersial untuk
membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit pada
manusia
khususnya) dan mikroba pembusuk (penyebab kebusukan atau
kerusakan bahan
pangan) (Fadli, 2011). Tahapan proses pengalengan ikan
berdasarkan Canadian
Food Inspection Agency (1997), dapat dilihat pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3 Tahapan Pengalengan Ikan (Sumber: Canadian Food
Inspection Agency, 1997)
Pada beberapa proses pengolahan ikan, yaitu pemindangan,
penepungan,
dan pengalengan dihasilkan cairan hasil samping pengolahan yang
mengandung
Filling
Raw Material
Penyiangan
Pencucian
Pre-cooking (dikukus)
Pemotongan
Kaleng
Pencucian H2O2
Pengeringan
Exhausting
Penambahan medium Brine / Saus
Seaming
Sterilisasi
Pendinginan
Pemeraman
Labelling dan Packing
Ikan Kaleng
Limbah Cair
Evaporasi Air
Minyak Ikan
Air dingin
-
10
minyak ikan, namun yang telah banyak diteliti minyak hasil
samping penepungan
dan pengalengan sedangkan pemindangan belum banyak dieksplorasi.
Mutu
minyak ikan hasil samping pengalengan lebih tinggi daripada
penepungan karena
bahan baku penepungan tersebut berasal dari ikan yang tidak
masuk mutu ikan
untuk pengalengan serta bagian kepala, ekor, dan isi perut
(Estiasih, 2009).
Pengawetan ikan dengan cara pengalengan jauh lebih bagus
dibandingkan
pengawetan cara lain, namun dibutuhkan penanganan yang lebih
intensif serta
ditunjang dengan peralatan yang serba otomatis (Wulandari dkk.,
2009).
Pada industri pengalengan ikan, saat pemasakan dengan uap air
panas
(precooking) dihasilkan cairan hasil samping cairan dari fraksi
minyak, fraksi air,
dan padatan tersuspensi. Sebagian besar penggunaan fraksi minyak
tersebut
bukan untuk pangan (petis, pakan ternak, dan industri kulit) dan
masih jarang
dimanfaatkan sebagai sumber asam lemak omega 3 (Estiasih, 2009).
Pada tahap
pre-cooking proses pengalengan ikan lemuru menghasilkan minyak
ikan sebanyak
5% (Yunizal, 2002). Menurut Kompiang et al. (1981) dalam Sari et
al. (2015) dari
ikan lemuru sebanyak 100 kg akan diperoleh minyak ikan lemuru
sebanyak 20 kg.
Minyak hasil samping pengolahan ikan mudah mengalami oksidasi
yang
dipicu oleh besi dari hemoglobin, suhu pemanasan yang terlalu
tinggi, dan adanya
oksigen selama proses produksi (Frankel, 2005). Produk oksidasi
tidak hanya
memiliki rasa dan warna gelap yang tidak diinginkan tetapi juga
memiliki pengaruh
cytotoxic, genotoxic, low density lipoprotein cytotoxicity,
atherogenesis dan
atherosclerosis (Oliveira and Miller, 2014). Hal tersebut
membuktikan pentingnya
dilakukan proses pemurnian untuk mengontrol kualitas dan
stabilitas oksidatif
minyak ikan. Jika ikan yang dikalengkan merupakan sumber asam
lemak omega
3 seperti lemuru, maka minyak hasil samping pengalengan juga
mengandung
asam lemak omega 3 dalam kadar yang tinggi sehingga perlu
diproses lebih lanjut
untuk mendapatkan mutu yang baik (Estiasih, 2009). Karakteristik
fisik, kimia, dan
komposisi asam lemak minyak hasil samping pengalengan lemuru
sebelum diberi
perlakuan Bleaching dapat dilihat pada Tabel 2.5
-
11
Tabel 2.5 Karakteristik Fisik, Kimia, dan Komposisi Asam Lemak
Sebelum Bleaching
No Parameter Minyak Kasar1
Minyak Hasil Degumming2
Minyak Hasil Netralisasi3
1 Asam Lemak Bebas (%)
5,49 3.93 0,56
2 Bilangan asam 7,78 5,58 0,79 3 Bilangan Peroksida
(mek/kg) 10,48 9,6 7,18
4 Bilangan P-anisidin 64,02 62 12,22 5 Bilangan Total
Oksidasi 76,05 81,9 26,59
6 Kadar air (%) 0,17 0,06 0 7 Komposisi Asam
Lemak (EPA) (%) 4,85 3,08 23,1
8 Rendemen (%) - 95,48 80,57 9 Kecerahan (L) 25,5 25,5 25,55 10
Kejernihan
(Absorbansi) 1,999 1,999 1,999
Sumber: 1: Iqbal (2017) 2: Kurniawan (2017) 3: Ramzy (2017)
2.4. Analisa Sifat Fisik dan Kimia Minyak Ikan
2.4.1 Kejernihan
Tingkat kekeruhan dapat ditentukan dengan spektrofotometer
pada
panjang gelombang 380-700 nm, absorbansi pada 460 nm dipakai
sebagai indeks
warna minyak (Miyagi dkk, 2001). Spektrofotometri adalah suatu
penetapan kadar
atau konsentrasi suatu larutan yang berwarna, berdasarkan
pengukuran
penyerapan sinar dengan panjang gelombang terbatas. Jika sinar
monokromatik
dilewatkan melalui suatu larutan, perbandingan intensitas sinar
keluar (I) terhadap
sinar masuk (I0) disebut transmittance (T). Spektrofotometri
menyiratkan
pengukuran jauhnya penyerapan energi cahaya oleh suatu sistem
kimia sebagai
fungsi dari panjang gelombang radiasi, demikian pula dengan
pengukuran
penyerapan pada suatu panjang gelombang tertentu (Sulistiawati
dkk, 2012).
Spektrum Cahaya Tampak dan Warna-warna Komplementer dapat
dilihat pada
Tabel 2.6.
-
12
Tabel 2.6 Spektrum Cahaya Tampak dan Warna-warna
Komplementer
Panjang Gelombang (nm) Warna Warna Komplementer
400-435 Violet Kuning-Hijau 435-480 Biru Kuning 480-490
Hijau-Biru Oranye 490-500 Biru – Hijau Merah 500-560 Hijau Ungu
560-580 Kuning – hijau Violet 580-595 Kuning Biru 595-610 Oranye
Hijau - biru 610-750 Merah Biru-Hijau
Sumber: Day and Underwood (2002)
2.4.2. Warna
Warna merupakan parameter penting dari produk pangan.
Perubahan
warna pada minyak dapat mengindikasi terjadinya perubahan akibat
proses
maupun terjadinya oksidasi. Zat warna dalam minyak terdiri dari
dua golongan.
Pertama adalah warna alami yang ikut terekstrak saat proses
ekstraksi minyak
seperti beta karoten. Kedua adalah warna yang muncul akibat
hasil degradasi zat
warna alami akibat proses oksidasi yang menyebabkan warna gelap
pada minyak
Warna gelap dapat terjadi selama proses pengolahan dan
penyimpanan, yang
disebabkan oleh suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu
pengepresan
dengan cara hidraulik atau expeller, sehingga sebagian minyak
teroksidasi yang
juga dipercepat dengan adanya logam Fe, Cu, dan Mn (Ketaren,
2008).
Warna pada minyak dapat diamati secara kuantitatif menggunakan
alat
Color Reader dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai
pengukuran yaitu L*,
a* dan b*. Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan minyak,
semakin cerah minyak,
maka nilai L* mendekati 100 dan semakin gelap nilai L akan
mendekati nilai 0.
Nilai a* dan b* secara berturut-turut menunjukkan warna campuran
merah-hijau
dan kuning-biru (Hutching, 1999).
2.4.3. Asam Lemak Bebas
Salah satu penyebab kerusakan minyak adalah adanya kandungan
asam
lemak bebas yang disebabkan karena adanya proses hidrolisis pada
minyak yang
mampu memecah molekul induk seperti trigliserida dan fospolipid.
Hidrolisis lemak
terjadi akibat adanya sejumlah air dan peningkatan aktivitas
enzim lipase pada
jaringan (Oliveira and Miller, 2014). Keberadaan asam lemak
bebas dijadikan
sebagai indikator awal adanya kerusakan pada minyak. Asam lemak
bebas lebih
-
13
mudah teroksidasi jika dibandingkan dalam bentuk esternya (Dewi,
2013). Adapun
reaksi terbentuknya asam lemak babas tertera pada Gambar
2.4.
2.4.4. Bilangan Peroksida
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan
derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat
mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.
Peroksida yaitu
produk awal dari reaksi oksidasi yang bersifat labil, reaksi ini
dapat berlangsung
bila terjadi kontak antara oksigen dengan minyak (Ketaren,
2008). Oksidasi terjadi
pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Pada suhu kamar sampai
dengan suhu
100°C, setiap satu ikatan tidak jenuh mengikat 2 atom oksigen,
sehingga terbentuk
persenyawaan peroksida yang bersifat labil. Proses pembentukan
peroksida ini
dipercepat oleh adanya cahaya, suasana asam, kelembapan udara
dan katalis.
Bilangan peroksida dinyatakan dengan miliequivalen peroksida
dalam 1000 gram
(Sudarmadji, 1976 dalam Fauziah, 2013). Secara umum reaksi
pembentukan
peroksida pada minyak seperti pada Gambar 2.5.
Prinsip kerja metode ini adalah kemampuan senyawa peroksida
yang
terbentuk dari oksidasi lemak dalam mengoksidasi ion fero (Fe2+)
dalam larutan
FeCl2 menjadi ion feri (Fe3+). Ion feri kemudian dapat
mengompleks senyawa
Trigliserida Asam Lemak Gliserol
Gambar 2.4 Reaksi Pembentukan Asam Lemak Bebas (Sumber:
Fessenden, 1997)
Gambar 2.5 Reaksi pembentukan peroksida (Sumber: Ketaren,
2008).
-
14
tiosianat dalam larutan ammonium tiosianat (NH4SCN) menjadi
kompleks besi (III)
tiosianat (FeSCN) yang berwarna merah. Kepekatan senyawa besi
(III) tiosianat
dapat diukur absorbansinya secara optimal dengan
spektrofotometer VIS pada
panjang gelombang 500 nm (Dobarganes and Velasco, 2002). Metode
penentuan
bilangan peroksida dengan metode spektrofotometri berdasarkan
standar IDF
(International Dairy Federation) nomor 74A:1991 merupakan metode
yang
mudah, cepat, dan sensitif karena dapat mendeteksi konsentrasi
senyawa
peroksida hingga ketelitian 0.1 mgrek/kg (Shanta and Decker,
1994). Reaksi yang
terjadi pada analisis bilangan peroksida dapat diamati pada
Gambar 2.6
2.4.5. Analisa Bilangan p-Anisidin
Nilai anisidin merupakan parameter oksidasi lemak yang
mengukur
produk oksidasi sekunder lemak yang dikarakterisasi oleh
degradasi lemak yang
diinisiasi oleh hidroperoksida, sehingga menghasilkan produk
sampingan karbonil
yang yang bersifat non-volatile (Aidos et al., 2003). Prinsip
penentuan bilangan
anisidin adalah berdasarkan pada reaksi antara anisidin dengan
α- dan β- aldehid
tidak jenuh yang tidak volatil. Aldehid merupakan produk
dekomposisi dari oksidasi
asam lemak bebas. Aldehid tersebut dapat digunakan sebagai
sebuah tanda untuk
menentukan berapa banyak komponen-komponen peroksida yang telah
mulai
terpecah (Stier, 2001). Nilai bilangan anisidin merupakan nilai
dari pengukuran
produk oksidasi sekunder yang dihasilkan dari proses dekomposisi
hidroperoksida
sehingga menghasilkan aldehida, keton, asam, alkohol, komponen
hidroksi,
hidrokarbon dan senyawa polimer lainnya yang merupakan produk
oksidasi
sekunder (Panagan et al, 2011). Reaksi yang terjadi pada
analisis bilangan p-
anisidin dapat dilihat pada Gambar 2.7
Fe2+ + Peroxide → Fe3+
Fe3+ (yellow) + NH4SCN → FeSCN2+ (red) + NH4+
Gambar 2. 6 Reaksi Pembentukan Ferri-tiosianat Sumber: (Decker,
2005 )
-
15
2.4.6. Bilangan Total Oksidasi
Nilai totoks adalah jumlah total oksidasi primer dan sekunder
yang
didapatkan dengan menjumlahkan dua kali nilai peroksida dengan
nilai anisidin
(Perrin, 1996).
2.4.7. Bilangan Asam
Bilangan asam atau Acid value sangat erat sekali hubungannya
dengan
nilai asam lemak bebas (FFA). Bilangan asam dapat digunakan juga
untuk
mengukur jumlah ALB yang terdapat dalam minyak. Metode yang
dilakukan
adalah dengan melarutkan sejumlah minyak ke dalam alkohol eter
dan diberikan
indikator phenolphthalein. Campuran tersebut kemudian dititrasi
dengan larutan
KOH 0.5 N sampai terjadi perubahan warna merah jambu yang
permanen
(Ketaren, 2008).
2.4.8. Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan
Komposisi asam lemak minyak ikan dapat dianalisa menggunakan
GC-MS.
Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) merupakan suatu
metode
pemisahan komponen dimana cuplikan berkesetimbangan diantara 2
fasa, yaitu
fasa gerak sebagai pembawa cuplikan dan fasa diam sebagai
penahan cuplikan
secara selektif. Hasil dari kromatografi gas (KG) dinyatakan
dengan parameter
waktu retensi (Rt) yaitu waktu yang digunakan untuk mengelusi
komponen
cuplikan sampai menghasilkan kromatogram (Sastrohamidjojo, 1985
dalam Dewi
2013).
Prinsip kerja Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (KG-SM)
yaitu,
cuplikan diinjeksikan ke dalam injektor. Aliran gas dari gas
pengangkut akan
Gambar 2. 7 Reaksi Pengikatan Aldehid oleh p-Anisidin Sumber:
(Hamilton, 1994)
-
16
membawa cuplikan yang telah teruapkan masuk kedalam kolom. Kolom
akan
memisahkan komponen-komponen dari cuplikan. Komponen komponen
tersebut
terelusi sesuai dengan urutan semakin membesarnya senilai
koefisien partisi (K),
selanjutnya masuk dalam spektrofotometer massa (MS). Pada
spektroskopi
massa komponen cuplikan ditembaki dengan berkas elektron dan
diubah menjadi
ion-ion muatan positif yang bertenaga tinggi (ion-ion molekuler
atau ion-ion induk)
dan dapat pecah menjadi ionion yang lebih kecil (ion-ion anak
pecahan atau ion-
ion induk), lepasnya elektron dari molekul/ komponen-komponen
menghasilkan
radikal kation. Ion-ion molekul, ion-ion pecahan, dan ion-ion
radikal pecahan
dipisahkan oleh ion pembelokan dalam medan magnet yang berubah
sesuai
dengan massa dan muatannya. Perubahan tersebut menimbulkan arus
(arus ion)
pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatifnya.
Kemudian dicatat
sebagai spektra massa yang merupakan gambaran antara limpahan
relatif dengan
rasio massa/muatan (m/z) (Sastrohamidjojo, 1985 dalam Fauziah
2013).
2.5. Pemurnian (Refining) Minyak Ikan
Pemurnian adalah proses yang bertujuan menghilangkan rasa dan
bau
yang tidak enak, warna tidak menarik dan untuk memperpanjang
umur simpan
sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam
industri
(Ketaren, 2008). Proses pemurnian minyak terdiri dari 4 tahap,
yaitu: a) proses
degumming, b) netralisasi, c) pemucatan (bleaching), dan d)
deodorisasi yang
merupakan proses penghilangan asam lemak bebas dan komponen
penyebab
bau tidak sedap seperti peroksida, keton dan senyawa hasil
oksidasi lemak lainnya
(Copeland and Maurice, 2005).
1.5.1 Degumming
Proses degumming bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang
larut
dan tidak larut seperti protein, fosfolipid, lilin, logam.
Degumming dilakukan dengan
mencuci minyak dengan larutan hidrofilik yang berasal dari asam
organik seperti
asam sitrat atau asam fosfat di bawah kondisi sedikit panas
(Oliveira and Miller,
2014). Proses degumming dibedakan menjadi water degumming, dry
degumming,
enzymatic degumming, membrane degumming, dan acid degumming
(H3PO4,
H2SO4 dan HCl) (Dijkstra and Opstal, 1987; Zufarov et al.,
2008). Penelitian ini
menggunakan acid degumming minyak ikan dengan asam fosfat 85%.
Acid
-
17
degumming dengan asam fosfat dimaksudkan untuk memisahkan
fosfatida yang
merupakan sumber rasa dan warna yang tidak diinginkan (Madya and
Azis, 2006).
Prinsip degumming adalah hidrasi fosfatida dan komponen
pengotor
berlendir. Degumming dilakukan dengan menambahkan air sebanyak
75% dari
kadar fosfatida dalam minyak yang umumnya berkisar 1-1,5%. Suhu
yang
digunakan pada proses degumming tidak terlalu tinggi, sekitar
50-80 0C. Pada
prinsipnya suhu yang digunakan adalah suhu saat viskositas
minyak cukup rendah
untuk memudahkan fosfatida terhidrasi. Setelah proses hidrasi
selesai, fosfatida
dan gum yang terhidrasi dipisahkan dari minyak dengan cara
sentrifugasi
(Estiasih, 2009). Menurut O`Brien (2004), asam yang biasanya
digunakan adalah
asam fosfat 85%, didispersikan dalam minyak pada suhu 80-1000C
sebanyak
0,05-1,2% berat minyak. Reaksi dari proses pemisahan gum dengan
asam dapat
diamati pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Reaksi yang terjadi pada proses degumming Sumber:
(Deffense, 2009)
2.5.2. Netralisasi
Metode netralisasi adalah metode yang bertujuan untuk
meningkatkan
kualitas minyak ikan dengan mengurangi asam lemak bebas dan
kandungan
bahan pengotor (impurities) yang terkandung dalam minyak
dengan
menambahkan suatu basa seperti NaOH (Huang and Sathivel, 2010),
KOH (Haas
et al., 2000). Menurut Estiasih (2009), prinsip netralsasi
adalah alkali dapat
bereaksi dengan asam lemak bebas membentuk sabun kemudian sabun
dan
fraksi tersabunkan dipisahkan. Jumlah, jenis dan konsentrasi
alkali yang
digunakan harus tepat untuk mencegah hidrolisis trigliserida dan
membentuk
sabun yang berlebihan serta menurunkan rendemen. Penggunaan
alkali yang
lemah seperti natrium karbonat sulit menurunkan kadar asam lemak
bebas sampai
dibawah 0,1%. Berdasarkan hasil analisis Dewi (2013) dapat
diketahui bahwa
limbah minyak ikan dengan pemberian perlakuan NaOH memberi
pengaruh cukup
-
18
baik terhadap nilai dari sifat fisik, kimia dan komposisi asam
lemak dibandingkan
dengan KOH.
Pada proses pemurnian minyak dengan menggunakan alkali dapat
berlangsung melalui 3 tahapan proses. Proses pertama adalah
pencampuran
minyak dengan larutan alkali dan diaduk dalam waktu yang telah
ditentukan.
Tahap kedua hidrasi yang bertujuan untuk memudahkan pemisahan
fraksi
tersabunkan dan fraksi tidak tersabunkan. Pada proses hidrasi,
air yang
ditambahkan tidak boleh berlebihan karena dapat membentuk
emulsi, akan tetapi
jika terlalu sedikit maka proses hidrasi tidak berjalan sempurna
sehingga masih
banyak pengotor tertinggal. Setelah proses hidrasi selesai, maka
dilakukan
pemisahan antara fraksi tersabunkan dan fraksi tidak tersabunkan
atau minyak.
Teknik pemisahan yang dapat dilakukan adalah dekantasi,
sentrifugasi namun
pemisahan yang terbaik menggunakan sentrifugasi karena waktu
pemisahan lebih
cepat (Estiasih, 2009). Faktor–faktor yang mempengaruhi proses
netralisasi
adalah konsentrasi alkali, suhu, pengadukan. dan pencucian (Sari
dkk, 2015).
Reaksi yang terjadi selama proses netralisasi dapat diamati pada
Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Reaksi Penyabunan Asam Lemak oleh NaOH Sumber:
(Mardiyah, 2011)
2.5.3. Pemucatan (Bleaching)
Pemucatan adalah suatu proses pemurnian minyak yang bertujuan
untuk
menghilangkan atau memucatkan warna yang tidak disukai,
menghilangkan getah
(gum) atau residu sabun hasil proses netralisasi, dan diserap
pula fosfolipid,
logam, suspensi koloid serta hasil degradasi minyak seperti
peroksida yang ada
dalam minyak (May, 2007). Faktor yang mempengaruhi pemucatan
adalah suhu,
waktu, dan tekanan (Sari dkk, 2015). Banyak konsumen
menginginkan warna
minyak yang jernih sehingga perlu dilakukan pemucatan.
Ada dua metode umum pemucatan yaitu metode fisika adsorpsi
dan
metode pemucatan kimiawi. Metode kimiawi jarang digunakan dan
merupakan
metode penghilangan warna dengan cara mengoksidasi pigmen
menjadi senyawa
Asam lemak Basa Sabun (garam) Air
-
19
tidak berwarna. Metode ini tidak digunakan untuk minyak makan
dan memiliki efek
merugikan minyak juga dapat teroksidasi (Estiasih, 2009).
Metode fisika adsorpsi dilakukan dengan menggunakan
adsorben.
Adsorpsi adalah suatu pengikatan molekul dari suatu fluida ke
permukaan benda
padat. Zat yang diserap disebut adsorbat. Proses adsorpsi
biasanya dilakukan
dengan cara mengontakkan larutan/ gas dengan padatan, sehingga
komponen
larutan/ gas diserap pada permukaan padatan (Kahar, 2007).
Berdasarkan
sifatnya adsorpsi ada dua yaitu adsorpsi secara fisik
(physiosorption) dan adsorpsi
secara kimia (chemisorption). Adsorpsi fisik adalah adsorpsi
yang melibatkan gaya
intermolekul (gaya Van der Walls dan ikatan hidrogen) antar
adsorbat dan substrat
(adsorben) (Atkins, 1999). Pada adsorpsi ini adsorbat tidak
terikat kuat pada
permukaan adsorben sehingga dapat bergerak dari satu bagian ke
bagian lain
dalam adsorben. Sifat adsorpsinya adalah reversible yaitu dapat
dilepaskan
kembali dengan adanya penurunan konsentrasi larutan dan
membentuk lapisan
multilayer (Lilik, 2008). Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang
melibatkan ikatan
kovalen sehingga partikel dapat melekat pada permukaan. Ikatan
tersebut terjadi
sebagai hasil dari pemakaian bersama elektron oleh adsorben dan
adsorbat. Sifat
adsorpsinya adalah irreversible dan membentuk lapisan monolayer
(Atkins, 1999).
Daya adsorbsi disebabkan karena adsorben memiliki pori dalam
jumlah besar dan
adsorbsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi potensial
antara adsorben
dengan zat yang akan diserap. Penyerapan terhadap warna akan
lebih efektif jika
adsorben tersebut memiliki bobot jenis yang rendah, ukuran
partikel halus, dan pH
adsorben mendekati netral (Ketaren, 2008). Menurut Berbesi
(2011), selama
proses pemucatan adsorpsi terjadi beragam mekanisme yang
melibatkan berbagai
interaksi fisik (melalui daya tarik permukaan yang melibatkan
kekuatan van der
Waalls) dan kimia ("chemisorption" oleh ikatan elektrokimia ke
permukaan
adsorben), mekanisme ini meliputi:
1. Penyerapan
Mekanisme dimana pori-pori intra-granular diisi dengan
beberapa
cairan terutama minyak dan pada gilirannya kontaminan apa pun
ikut
dengannya. Retensi minyak terjadi melalui dua cara: Penurunan
berat
dengan ekstraksi Soxhlet (heksana digunakan sebagai pelarut),
dan
penentuan bahan organik total dengan ashing. Total retensi
minyak
bergantung pada sejumlah variabel yaitu jumlah adsorben,
karakteristik
-
20
adsorben (distribusi, ukuran partikel dan jenis mineral),
permeabilitas
saringan, kualitas bahan baku, kebersihan filter.
2. Penyaringan
Dengan saringan molekuler yang menjebak kontaminan di bawah
tekanan di dalam pori-pori adsorben selama penyaringan. Tindakan
fisik
untuk menyaring adsorben yang ditangguhkan yang secara
bersamaan
menghilangkan kontaminan minor yang teradsorbsi ke partikel
adsorben.
3. Katalisis
Mekanisme dimana kontaminan terdegradasi oleh interaksi
dengan
adsorben. Sebagai contoh, peroksida secara efektif dikurangi
(dipolimerisasi dan / atau didekomposisi menjadi produk samping
oksidasi
yang mudah menguap) melalui interaksi adsorben dengan minyak.
Panas
dan oksidasi yang berlebihan menyebabkan pigmen membentuk
senyawa
warna yang sulit dikeluarkan atau dikatakan "tetap." Jika
terjadi fiksasi
warna, warna merah lebih sulit dikeluarkan oleh adsorben dan
tahan
terhadap degradasi termal.
Pemurnian minyak ikan secara fisika yang telah dilakukan antara
lain
dengan adsorben zeolit (Ahmadi dkk., 2007), arang aktif
(García-Moreno et al.,
2013), bagasse (Wannahari et al., 2012), dan sentrifugasi
(Tambunan et al., 2014).
Berdasarkan penelitian pendahuluan Nurnafisah (2016), suhu dan
waktu yang
tepat untuk proses pemucatan menggunakan adsorben Miracle Filter
Powder
(MFP) yaitu suhu 50, 70, 900C dan waktu 5, 10, 15, 20 menit.
2.6. Adsorben
Adsorben adalah bahan yang memiliki banyak pori-pori yang
umumnya
berdiameter sangat kecil sehingga permukaan dalamnya menjadi
beberapa kali
lebih besar dari permukaan luarnya (Jauhar, 2007). Secara
spesifik, jika ukuran
pori adsorben semakin kecil maka kemampuan adsorpsinya semakin
besar
dengan anggapan komponen yang teradsorpsi dapat memasuki rongga
porinya.
Selain itu makin banyak jumlah adsorben akan memberi kesempatan
kontak yang
makin besar dengan molekul-molekul adsorbat (Sembodo, 2006).
Jenis-jenis adsorben yang termasuk kedalam kelompok tanah
pemucat
antara lain atapulgit, montmorilonit, bentonit, dan zeolit.
Selain tanah pemucat,
adsorben lain yang digunakan adalah karbon atau silika yang
sudah diaktivasi
(Estiasih, 2009). Adsorben bentonit, zeolit, dan karbon aktif
telah digunakan untuk
-
21
pemurnian minyak goreng bekas oleh Wardani (2014), pemurnian
minyak kayu
putih oleh Hesty (2013), serta digunakan untuk pemucatan minyak
hasil
pengalengan dan penepungan tuna oleh Budiadnyani (2015) dengan
ukuran
partikel 60-100 mesh konsentrasi 5, 10, 15%.
2.6.1. Adsorben Zeolit
Zeolit adalah mineral kristal alumina silikat berpori terhidrat
yang
mempunyai struktur kerangka tiga dimensi terbentuk dari
tetrahedral [SiO4]4- dan
[AlO4]5-. Kedua tetrahedral tersebut dihubungkan oleh atom-atom
oksigen,
menghasilkan struktur tiga dimensi terbuka dan berongga yang
didalamnya diisi
oleh atom-atom logam biasanya logam-logam alkali atau alkali
tanah dan molekul
air yang dapat bergerak bebas (Breck, 1974; Chetam, 1992; Scot
et al., 2003
dalam Laila, 2016). Secara sistematik struktur kerangka zeolit
tertera pada
Gambar 2.10.
Gambar 2. 10 Struktur Kerangka Zeolit
(Sumber: Astutik, 2012)
Zeolit merupakan adsorben yang unik, karena memiliki ukuran pori
yang
sangat kecil dan seragam jika dibandingkan dengan adsorben yang
lain seperti
karbon aktif dan silika gel, sehingga zeolit hanya mampu
menyerap molekul-
molekul yang berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter
celah rongga,
sedangkan molekul yang diameternya lebih besar dari pori zeolit
akan tertahan
dan hanya melintasi antar partikel. Dalam keadaan normal ruang
hampa dalam
kristal zeolit terisi oleh molekul air yang berada disekitar
kation. Bila zeolit
dipanaskan maka air tersebut akan keluar. Zeolit yang telah
dipanaskan dapat
berfungsi sebagai penyerap gas atau cairan (Khairinal, 2000).
Zeolit memiliki sifat
fisik dan kimia yaitu derajat hidrasi tinggi, ringan, penukar
ion yang tinggi, ukuran
saluran yang uniform, menghantar listrik, mengadsorbsi uap dan
gas, mempunyai
sifat katalitik (Sutarti, 1994).
-
22
Zeolit dengan kemampuan yang tinggi diperoleh melalui aktivasi.
Aktivasi
zeolit alam dapat dilakukan baik secara fisika maupun secara
kimia. Aktivasi
secara fisika dilakukan melalui pengecilan ukuran butir,
pengayakan, dan
pemanasan pada suhu tinggi, tujuannya untuk menghilangkan
pengotor-pengotor
organik, memperbesar pori, dan memperluas permukaan. Sedangkan
aktivasi
secara kimia dilakukan melalui pengasaman. Tujuannya untuk
menghilangkan
pengotor anorganik. Pengasaman ini akan menyebabkan terjadinya
pertukaran
kation dengan H+ (Ertan, 2005).
2.6.2. Adsorben Bentonit
Bentonit merupakan istilah dalam dunia perdagangan untuk clay
yang
mengandung monmorilonit. Kandungan utama bentonit adalah
mineral
monmorilonit (80%). Bentonit berasal dari perubahan hidrotermal
dari abu vulkanik
yang disimpan dalam berbagai air tawar (misalnya, danau alkali)
dan cekungan
laut (fosil laut yang melimpah dan batu kapur), ditandai dengan
energi
pengendapan yang rendah oleh lingkungan dan kondisi iklim sedang
(Utracki,
2004). Mineral-mineral montmorillonit umumnya berupa butiran
halus/ sedang,
lapisan-lapisan penyusunnya tidak terikat dengan kuat. Dalam
kontaknya dengan
air, mineral-mineral tersebut menunjukkan pengembangan antar
lapis yang
menyebabkan volumenya meningkat menjadi dua kali lipat atau
lebih. Potensi
mengembang dan mengerut, dan adanya muatan negatif yang tinggi
merupakan
penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam
serta kation-
kation organik (Arifin dan Sudrajat, 1997).
Bentonit merupakan mineral alumina silikat hidrat yang termasuk
dalam
pilosilikat, atau silikat berlapis yang terdiri dari jaringan
tetrahedral (SiO4)2- yang
terjalin dalam bidang tak hingga membentuk jaringan anion
(SiO3)2- dengan
perbandingan Si/O sebesar 2/5 (Megawati, 2008). Adanya atom-atom
yang terikat
pada masing-masing lapisan struktur montmorillonit memungkinkan
air atau
molekul lain masuk di antara unit lapisan. Akibatnya kisi akan
membesar pada
arah vertikal. Selain itu karena adanya pergantian atom Si oleh
Al menyebabkan
terjadinya penyebaran muatan negatif pada permukaan bentonit.
Bagian inilah
yang disebut sisi aktif (active site) dari bentonit dimana
bagian ini dapat menyerap
kation dari senyawa-senyawa organik atau dari ion-ion senyawa
logam (Zamroni
dan Las, 2003). Struktur bentonit dapat dilihat pada Gambar
2.11.
-
23
Menurut (Megawati ,2008), bentonit dibagi dua yaitu:
a. Natrium Bentonit
Bentonit jenis ini disebut juga bentonit type Wyoming atau
drilling bentonit
mengandung ion Na+ relative lebih banyak jika dibandingkan
dengan ion Ca2+
dan
ion Mg2+
. Natrium bentonit mempunyai sifat mengembang apabila dicelupkan
ke
dalam air hingga delapan kali lipat dari volume semula, sehingga
keadaan
suspensi akan lebih kental. pH suspensi bernilai 8,5-9,8
(bersifat basa). Mineral ini
sering dipergunakan untuk lumpur pemboran, penyumbat kebocoran
bendungan,
bahan pencampur pembuatan cat, bahan baku farmasi, dan perekat
pasir cetak
pada industri pengecoran logam.
b. Kalsium bentonit
Bentonit jenis ini disebut Mg, Ca-bentonit. Jenis ini mengandung
kalsium (CaO)
dan magnesium (MgO) lebih banyak dibandingkan natriumnya dan
mempunyai
sifat sedikit menyerap air sehingga apabila didipersikan dalam
air akan cepat
mengendap (tidak membentuk suspensi). pH kalsium bentonit
4,0-7,0 (bersifat
asam). Mineral ini dipergunakan untuk bahan pemucat warna untuk
minyak.
Kemampuan adsorpsi bentonit terbatas namun dapat diatasi
melalui
proses aktivasi menggunakan asam (HCl, H2SO4 dan HNO3) sehingga
dihasilkan
lempung dengan kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi (Bath et
al., 2012).
Gambar 2. 11 Bentonit (a) Diagram skematik struktur
montmorrilonite (Lambe, 1953).
(b) Struktur atom montmorrilonite (Grim, 1959 dalam Chittoori,
2008).
-
24
2.6.3. Adsorben Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan karbon amorf dari pelat-pelat datar
disusun oleh
atom-atom C yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi
heksagonal datar
dengan satu atom C pada setiap sudutnya. Berasal dari
bahan-bahan yang
mengandung karbon yang diperlakukan dengan proses aktivasi. Luas
permukaan
arang aktif berkisar antara 300-3500 m2/gram. Arang aktif dapat
mengadsorpsi gas
dan senyawa-senyawa kimia tertentu, tergantung pada besar atau
volume dan
luas permukaan pori-pori. Daya serap arang aktif sangat besar,
yaitu 25-100%
terhadap berat arang aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003). Volume
pori-pori karbon
aktif biasanya lebih besar dari 0,2 cm3/gram dan bahkan
terkadang melebihi 1
cm3/gram (Pujiyanto, 2010). Menurut Lempang (2014), Sifat dari
karbon aktif
antara lain:
A. Sifat Kimia
Arang aktif tidak hanya mengandung atom karbon saja, tetapi
juga
mengandung sejumlah kecil oksigen dan hidrogen yang terikat
secara kimia dalam
bentuk gugus-gugus fungsi yang bervariasi, misalnya gugus
karbonil (CO),
karboksil (COO), fenol, lakton, dan beberapa gugus eter. Oksigen
pada
permukaan arang aktif, kadang-kadang berasal dari bahan baku
atau dapat juga
terjadi pada proses aktivasi dengan uap (H2O) atau udara.
Keadaan ini biasanya
dapat menyebabkan arang bersifat asam atau basa (Brennan et al.,
2001). Pada
umumnya bahan baku arang aktif mengandung komponen mineral.
Komponen ini
menjadi lebih pekat selama proses aktivasi arang.
B. Sifat Fisika
Arang aktif berupa padatan yang berwarna hitam, tidak berasa,
tidak
berbau, bersifat higroskopis, tidak larut dalam air, asam, basa
ataupun pelarut-
pelarut organik (Hassler, 1974). Di samping itu, arang aktif
juga tidak rusak akibat
pengaruh suhu maupun penambahan pH selama proses aktivasi.
Struktur karbon aktif digambarkan sebagai jaringan yang tumpang
tindih,
karbon dapat menyerap substansi terlarut ke dalam porinya. Ada
banyak dari
dataran lapisan karbon dengan ikatan silang oleh gugus jembatan
alifatik. Hal ini
memeberikan suatu sifat yang unik, disebut struktur pori
internal yang mudah
dipenetrasi (Agustina, 2006). Struktur karbon aktif dapat
dilihat pada Gambar 2.12.
-
25
Gambar 2.12 Ilustrasi Struktur Kimia Karbon Aktif (Sudibandriyo,
2003)
Keistimewaan lain dari karbon aktif adalah gugus fungsional
pada
permukaannya. Gugus kompleks oksigen di permukaan karbon aktif
akan
membuat permukaan karbon aktif menjadi reaktif secara kimiawi
dan menentukan
sifat adsorpsinya seperti sifat hidrofobik, keasaman dan
potensial negatif. Adsorpsi
oleh karbon aktif bersifat fisik, artinya adsorpsi terjadi jika
gaya tarik Van der Waals
oleh molekul-molekul di permukaan lebih kuat daripada gaya tarik
yang menjaga
adsorbat tetap berada dalam fluida. Sifat ini menguntungkan
karena karbon aktif
dapat dipakai ulang melalui proses regenerasi (Roop et al.,
2005). Jenis-jenis
arang aktif berdasarkan perbedaan yang dipertimbangkan dalam
pembuatan dan
penggunaan karbon aktif menurut Kirk-othmer (1992) adalah
sebagai berikut:
1. Fase liquid
Karbon-karbon aktif umumnya ringan dan halus berbentuk seperti
serbuk.
2. Fase atau Penyerap uap
Karbon-karbon aktifnya keras, berbentuk butiran atau pil.
2.7. RSM (Response Surface Methodology)
RSM merupakan teknik statistik dan matematik yang digunakan
untuk
pengembangan, perbaikan dan optimasi proses dalam respon utama
yang
diakibatkan oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah optimasi
respon (Bas
and Boyaci, 2007). RSM dapat digunakan pada beberapa desain
dasar
diantaranya Central Composite Design (CCD). CCD dipilih karena
memiliki
rotatability atau pada semua titik x yang berada pada jarak yang
sama dari titik
tengah desain akan memiliki nilai (y(x)) yang sama. Hal ini
penting karena tujuan
dari RSM adalah untuk optimasi dan lokasi yang optimal tidak
diketahui sehingga
dibutuhkan suatu desain yang menyediakan presisi perkiraan yang
tinggi di semua
arah. CCD rotatable dengan adanya α. Nilai α tergantung dari
jumlah titik pada
bagian factorial desainnya. Pada umumnya, α= (nf)1/4 dimana nf
adalah jumlah
titik uji yang digunakan pada bagian faktorial desain
(Subangkit, 2012).
-
26
Model yang baik sebaiknya memenuhi beberapa kriteria yaitu
signifikansi
model, signifikansi lack of fit, adjusted R-square, dan
predicted R-square. Kriteria-
kriteria tersebut dapat dilihat pada analisis ragam atau ANOVA.
Signifikansi model
dilihat dari nilai probabilitas atau Prob>F. Probabilitas
merupakan peluang atau
probability nilai F. Nilai probabilitas tersebut didapatkan dari
tabel probabilitas pada
derajat bebas error dan derajat model tertentu yang menunjukkan
letak nilai F.
Nilai F merupakan hasil perhitungan dari mean square atau rataan
kuadrat dibagi
dengan rataan error kuadrat atau residual mean square. Jika
nilai probabilitas
kurang dari nilai α (5%) maka dapat dikatakan faktor berpengaruh
nyata atau
signifikan terhadap respon pada taraf signifikansi 5%. Lack of
fit menunjukkan
ketidaksesuaian model dengan data. Jika nilai lack of fit kurang
dari nilai α (5%)
atau signifikan maka model dikatakan tidak sesuai dengan data
yang ada. Model
yang baik memiliki nilai lack of fit yang tidak signifikan atau
lebih dari nilai α (5%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa model yang didapatkan sesuai
dengan data
yang ada atau dapat memodelkan data secara tepat (Montgomery,
2001).
Adjusted R-square dan predicted R-square merupakan R-square atau
R2.
R-square atau R2 menunjukkan variasi data disekitar rataan data
yang dijelaskan
oleh model dalam hal ini model atau persamaan masing-masing
respon sensori.
Jika nilai R-square atau R2 tinggi (mendekati 1) maka data tidak
terlalu bervariasi
atau sedikit pencilan (outlier). Adjusted R-square adalah
R-square hitung
berdasarkan data yang diperoleh sedangkan predicted R-square
adalah R-square
prediksi. Jika selisih nilai kedua R2 kurang atau sama dengan 2
maka dikatakan
data in reasonable agreement yang berarti tidak banyak data
pencilan atau nilai
respon prediksi sesuai dengan nilai respon aktual sehingga model
yang diperoleh
dapat memodelkan data dengan baik (Montgomery, 2001).
PRESS atau Predicted Residual Sum of Squares merupakan
jumlah
kuadrat residu prediksi yang digunakan untuk memperkirakan
jumlah kuadrat
residu setiap titik uji. Total SS atau sum of square merupakan
total jumlah kuadrat
deviasi yang diperoleh pada analisis ragam. Jika nilai PRESS
lebih besar dari nilai
total SS maka nilai predicted R-square menjadi bernilai negatif
(-). Hal tersebut
secara tidak langsung menunjukkan data yang diperoleh lebih
tidak bervariasi dari
prediksi. SS error adalah jumlah kuadrat deviasi residu. SS
model adalah jumlah
kuadrat deviasi model. Df merupakan derajat bebas. Selain
keempat kriteria
tersebut, ada kriteria tambahan yaitu Adeq Precision. Adeq
Precision atau
adequate precision merupakan ukuran rentang nilai respon
prediksi yang
-
27
dihubungkan dengan error. Nilai Adequate Precision menunjukkan
presisi data.
Nilai adeq Precision yang baik adalah lebih dari 4 yang berarti
presisinya baik
(Montgomery, 2001).
-
28
III METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2016-Maret 2017. Tempat
yang
digunakan untuk penelitian antara lain:
1. Laboratorium Rekayasa dan Pengolahan Pangan Hasil Pertanian,
Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas
Brawijaya.
2. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Hasil Pertanian
Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Brawijaya.
3. Laboratorium Instrumen Analitik, Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.
4. Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan
Alam, Universitas Gajah Mada.
3.1.1. Alat dan Bahan
3.1.2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain corong
pemisah, bulb,
tube centrifuge, spatula, pengaduk kaca, botol kaca gelap, color
reader (merk
Minolta CR-100), sentrifuse, thermometer, hot plate stirrer,
baskom, plastik,
desikator (merk Simax), oven listrik (merk Memmert tipe U,30
kapasitas 2200C),
perangkat titrasi (merk Metrohm Herisau Multi Burrete E 485),
kurs porselin, cawan
petri, kompor listrik (merk Maspion), corong, vortex, timbangan
analitik (merk
Denver Instrument M 310 dan Mettler Toledo), refrigerator (merk
Electrolux),
thermometer, shaker water bath (merk Memmert), gelas ukur 100 ml
(merk Pyrex),
labu ukur 500 ml, pipet tetes, pipet ukur 1 ml, 5 ml, 10 ml
(merk Pyrex), gelas
beaker 50 ml, 250 ml, 500 ml (merk Pyrex), Erlenmeyer 250 ml
(merk Pyrex),
tabung reaksi (merk Pyrex), aluminium foil, tisu, kertas label,
kertas saring,
spektrofotometer visible (merk oLabomed), spektrofotometer
UV-Vis (merk
Shimadzu).
3.1.3. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak
ikan hasil
samping pengalengan lemuru yang diambil tanggal 25 Juli 2016
dari industri
-
29
pengolahan ikan lemuru PT Visindo di Kabupaten Banyuwangi.
Minyak ikan
dimasukan dalam botol cokelat yang tidak tembus cahaya dan
tertutup rapat.
Pencegahan terhadap oksidasi dilakukan dengan cara menyimpan
sampel di
freezer (atau suhu minus 3-40C) (Boran et al., 2006). Bahan
kimia yang digunakan
untuk proses degumming yaitu asam fosfat 85% (teknis). Bahan
kimia yang
digunakan untuk proses netralisasi yaitu NaOH 14,36% (teknis),
akuades. Bahan
yang digunakan untuk proses bleaching yaitu adsorben zeolit yang
berbentuk
granul, bentonit jenis kalsium bentonit yang berbentuk serbuk,
dan arang aktif yang
berbentuk serbuk. Adsorben zeolit dan bentonit yang dibeli di
toko Panadia dalam
keadaan belum aktif sehingga harus diaktivasi terlebih dahulu,
sedangkan karbon
aktif sudah siap pakai.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa kadar ALB dan bilangan
asam
yaitu bahan analisa dengan kemurnian p.a (pro analysis) antara
lain: NaOH 0,1 N
dan etanol 95% (Merck), kecuali bahan kimia indikator
phenolphthalein.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa kadar air yaitu toluena
teknis.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa bilangan peroksida
dengan
kemurnian p.a yaitu benzene, metanol, H2O2, amonium tiosianat,
ferro sulfat, HCl
37%, FeCl3.6H2O dan HCl 10 N (Merck) sedangkan bahan analisa
dengan
kemurnian teknis adalah akuades.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa bilangan anisidin
dengan
kemurnian p.a adalah reagen p-anisidin, kecuali bahan dengan
kemurnian teknis
yaitu akuades.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa senyawa bioaktif dengan
GC-
MS EPA dan DHA dengan kemurnian p.a adalah metil klorida, NaOH
0,5 N, BF3
14%, metanol, dan akuades.
3.2. Rancangan Percobaan
Metode yang digunakan untuk optimasi bleacing menggunakan
adsorben
pada penelitian ini adalah metode RSM (Response Surface
Metodology) dalam
program Design Expert DX 7.1.5 dengan rancangan CCD (Central
Composite
Design) karena metode ini dianggap sebagai metode paling efektif
digunakan
dalam optimasi dan monitoring proses pengolahan makanan (Granato
et al, 2014).
Optimasi dilakukan pada pemucatan MHS (Minyak Hasil Samping)
pengalengan
lemuru dengan menggunakan 3 jenis adsorben yang sudah diaktivasi
yaitu
bentonit, zeolit, dan arang aktif. Dalam penelitian ini terdapat
tiga faktor yaitu suhu
-
30
(50, 70 dan 900C) yang dinyatakan sebagai variabel X1, lama
pemucatan (5, 10,
dan 15 menit) sebagai variabel X2, dan konsentrasi adsorben (5,
10, dan 15% b/b)
sebagai variable X3. Melalui tiga peubah tersebut, maka
ditentukan nilai-nilai tiap
level dan dibuat desain matriks untuk penentuan kondisi terbaik
yang menjadi titik
optimal pada setiap faktor. Tiga faktor tersebut telah diketahui
nilainya dari
penelitian terdahulu/ studi literatur. Respon yang diharapkan
dari penelitian ini
yaitu kecerahan (L) dengan nilai maksimum dan kejernihan
(Absorbansi) yang
memiliki nilai minimum. Kejernihan diukur menggunakan
spektrofotometer
sehingga didapatkan nilai absorbansi, yang mana nilai absorbansi
yang rendah
menandakan bahwa sedikit pengotor yang terdapat di dalam minyak
sehingga
semakin jernih. Besarnya kemampuan pemucatan berbanding terbalik
dengan
nilai absorbansi yang diberikan, minyak dengan absorbansi yang
rendah setelah
pemucatan berarti bahwa daya pemucatan adsorbennya tinggi.
Kombinasi dari
perlakuan (X1, X2, X3) dapat dilihat pada Tabel 3.2 sesuai
dengan Rancangan
Komposit Pusat (Montgomery, 2001) ordo kedua untuk tiga
faktor.
Tabel 3. 1 Variabel Rancangan Percobaan untuk Masing-Masing
Adsorben
Variabel -1,682 -1 0 +1 +1,682
Suhu (0C) X1 36,36 50 70 90 103,64 Waktu (menit) X2 3,18 10 20
30 36,82 Konsentrasi (%) X3 1,59 5 10 15 18,41
Tabel 3. 2 Rancangan Percobaan Metode Permukaan Respon
Std
Variabel Sebenarnya Variabel Terkode Respon
Suhu
(0C) Waktu (Menit)
Konsentrasi (% B/B)
X1 X2 X3 Kecerahan
(L)
Kejernihan (Absorbansi λ 660 nm)
1 50 10 5 -1 0 -1 2 90 10 5 +1 0 -1 3 50 30 5 -1 +1 -1 4 90 30 5
+1 +1 -1 5 50 10 15 -1 0 +1 6 90 10 15 +1 0 +1 7 50 30 15 -1 +1 +1
8 90 30 15 +1 +1 +1 9 36,36 20 10 -1,68 0 0
10 103,64 20 10 1,68 0 0 11 70 3,18 10 0 -1,68 0 12 70 36,82 10
0 1,68 0 13 70 20 1,59 0 0 -1,68 14 70 20 18,41 0 0 1,68 15 70 20
10 0 0 0 16 70 20 10 0 0 0 17 70 20 10 0 0 0 18 70 20 10 0 0 0 19
70 20 10 0 0 0 20 70 20 10 0 0 0
-
31
Dipanaskan sampai suhu 700C dalam shaker
Waterbath
3.3. Pelaksanaan Penelitian
3.3.1. Aktivasi Asorben Bentonit dan Zeolit
Aktivasi bentonit dilakukan dengan cara 320 g bentonit direndam
dalam 1L
larutan H2SO4 34% selama 7 jam kemudian dicuci akuades hingga
netral, setelah
netral dipanaskan suhu suhu 900C hingga kering (Makhoukhi et
al., 2009). Aktivasi
zeolit dilakukan dengan cara 500 g zeolit direndam dalam 300 ml
larutan HCl 25%
selama 2 jam kemudian dicuci akuades hingga netral, setelah
netral dipanaskan
suhu 3000C selama 3 jam (Ahmadi, 2007).
3.3.2. Degumming
Proses penghilangan gum dilakukan dengan cara minyak hasil
samping
diaduk terlebih dahulu, ditimbang sebanyak 250 gram dalam gelas
kimia (beaker
glass) 250 ml kemudian dipanaskan sampai suhu 700C. Setelah itu
ditambahkan
asam fosfat dengan konsentrasi 85% (v/v) sejumlah 1% dari berat
minyak dan
dilakukan pengadukan selama 30 menit pada suhu 800C, minyak
kemudian
didinginkan pada suhu kamar selama ± 15 menit. Setelah itu akan
terbentuk tiga
lapisan yaitu minyak kotor, gum, dan air yang selanjutnya
dipisahkan dengan cara
disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm. Proses degumming
minyak kasar
secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut ini.
250 gram MHS pengalengan lemuru
Asam fosfat 85% v/v (1% jumlah MHS)
Diaduk selama 30 menit pada suhu 800C
Didinginkan selama 15 menit
Minyak Hasil Degumming
Dipisahkan Minyak, air dan gum dengan cara
disentrifugasi (5000 rpm) selama 10 menit
Gambar 3.1 Diagram alir degumming (Estiasih, 2009)
-
32
3.3.3. Netralisasi
Minyak yang dihasilkan dari proses degumming ditimbang sebanyak
250
gram dalam gelas kimia (beaker glass) 250 ml kemudian dipanaskan
hingga suhu
minyak mencapai 600C sambil diaduk perlahan-lahan. Setelah suhu
tercapai,
dimasukkan larutan NaOH yang telah ditentukan jumlahnya sesuai
perhitungan
berbasis kadar asam lemak bebas, kemudian dipanaskan sampai suhu
700C
sambil diaduk dengan cepat selama 10 menit. Setelah pencampuran
selesai,
minyak dipisahkan dari sabun dengan corong pemisah dan
didinginkan hingga
suhu minyak ± 400C. Jika minyak sulit untuk dipisahkan,
dilakukan sentrifugasi
selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Setelah pemisahan
sabun
dilakukan pencucian minyak dengan cara disemprot air panas
sampai minyak
bebas dari sabun. Pencucian dilakukan dengan menambahkan air
hangat bersuhu
70-80ºC sebanyak 5% dari bobot minyak, dikocok kuat-kuat dan
didiamkan sampai
air cucian terpisah dari minyak (± 24 jam). Pencucian dilakukan
berulang hingga
diperoleh air cucian yang netral. Setelah pencucian selesai,
minyak didiamkan
selama 24 jam di dalam corong pemisah, kemudian dipisahkan
antara air, sabun
dan minyak yang diperoleh.
Penentuan jumlah NaOH dilakukan dengan melakukan analisis
kandungan
asam lemak bebas dari sampel MHS yang telah dihilangkan
kandungan gumnya.
Analisis asam lemak bebas (ALB) dapat dilihat di lampiran 1.
Jumlah NaOH yang
ditambahkan pada minyak pada proses netralisasi dinyatakan
sebagai treat dan
perhitungannya dapat dilihat pada lampiran 2. Proses netralisasi
minyak hasil
degumming secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.2.
-
33
250 gram Minyak Hasil Degumming
Diaduk selama 10 menit,
suhu dinaikan sampai
700C
Dipanaskan sampai suhu
600C
Didinginkan selama 15
menit
Dipisahkan air dengan
minyak
Didiamkan selama 24 jam
Dimasukkan ke dalam
corong pemisah
Dicuci dengan air hangat
(t 700C, 5% bobot
minyak)
Air cucian dicek dengan
kertas lakmus
Ya
Minyak hasil Netralisasi
Air cucian
netral Tidak
Larutan NaOH 14,36% (sesuai perhitungan)
Gambar 3.2 Diagram alir proses Netralisasi (Estiasih, 2009)
-
34
3.3.4. Pemucatan (Bleaching)
Proses bleaching dilakukan dengan cara menimbang minyak ikan
setelah
dinetralisasi sebanyak 25 gram dalam erlenmeyer 25 ml kemudian
dipanaskan
hingga mencapai suhu yang diinginkan dan ditambahkan adsorben
dengan jenis
yang telah ditentukan. Adsorben bentonit, zeolit, dan arang
aktif yang telah
diaktivasi dan diayak menggunakan ayakan 60 mesh dioven terlebih
dahulu satu
jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit sebelum
digunakan,
setelah itu masing-masing adsorben ditimbang dan dimasukkan
kedalam 25 gram
minyak dengan konsentrasi tertentu. Setelah minyak dan adsorben
tercampur
dilakukan pengadukan campuran minyak dan adsorben pada suhu dan
waktu
tertentu dalam shaker waterbath. Minyak ikan dengan adsorben
bentonit, zeolit,
dan arang aktif diberi kondisi panas, waktu pengadukan, dan
konsentrasi adsorben
sesuai perlakukan optimasi dalam RSM (Response Surface
Methodology) Tabel
3.2. Selanjutnya campuran minyak dan adsorben tersebut
dipisahkan melalui
sentrifugasi pada kecepatan 5.000 rpm selama 10 menit pada suhu
ruang (±
290C).
Minyak ikan yang telah dipisahkan dari adsorben dianalisis
respon berupa
kecerahan (L) yang diukur menggunakan color reader dan
kejernihan (Absorbansi)
yang diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
500-700
nm yang didasarkan pada warna minyak awal yang hitam kemerahan
hingga
didapatkan hasil dengan nilai absorbansi yang paling besar dan
panjang
gelombangnya dicatat sebagai panjang gelombang optimum.
Spektrofotometer
non Uv-Vis memiliki nilai absorbansi tertinggi 1,999 sehingga
penentuan λ
dilakukan dengan cara memilih panjang gelombang saat menunjukkan
nilai
absorbansi 1,999 kemudian jika menggunakan di bawah panjang
gelombang
tersebut nilai absorbansi
-
35
3.3.5. Verifikasi Data Kondisi Optimum
Verifikasi merupakan tindakan pengecekan apakah hasil dari
perhitungan
suhu, waktu, dan konsentrasi yang optimum dalam RSM pada proses
pemucatan
25 gram minyak hasil
Netralisasi
Dipanaskan pada suhu dan waktu
sesuai rancangan RSM
menggunakan shaker waterbath
Disentrifuge 5.000 rpm 10
menit
Minyak Hasil Bleaching
Didinginkan selama 15
menit
Adsorben sesuai
rancangan RSM (b/b)
Analisis:
-kecerahan (L)
-kejernihan (Absorbansi)
Analisis:
-kecerahan (L)
-kejernihan (Absorbansi)
-kadar asam lemak bebas
-bilangan peroksida
-bilangan p-anisidin
-bilangan total oksidasi
-bilangan asam
-kadar air
-uji komposisi asam lemak
dengan gc-ms
-rendemen
Verifikasi sesuai prediksi
RSM
Minyak Hasil Bleaching
Kondisi Optimum
Gambar 3.3 Diagram alir proses Bleaching (Estiasih, 2009).
-
36
dapat memberikan respon (kecerahan (L) dan kejernihan
(Absorbansi)) yang
optimum juga. Verifikasi dilakukan dengan bleaching minyak hasil
samping
pengalengan lemuru menggunakan tiga jenis adsorben dengan suhu,
waktu, dan
konsentrasi sesuai hasil prediksi model sebanyak dua kali
ulangan kemudian
dilakukan analisa kecerahan (L) dan kejernihan (Absorbansi).
Perbandingan
ketetapan antara prediksi dan hasil penelitian didasarkan pada
nilai PI (Prediction
Interval) dan CI (Confident Interval) pada taraf signifikasi 5%,
jika hasilnya tidak
berbeda nyata (tingkat kesalahan
-
37
3.4.3. Analisa Data
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan metode
permukaan
respon diolah dengan program software Design Expert 7.1.5. trial
version. Tahap
pertama dalam menentukan kondisi optimum yaitu pemilihan model
statistika
untuk menentukan model yang sesuai dalam menggambarkan
fenomena
signifikasi dari hasil penelitian. Pemilihan model dilakukan
berdasarkan uraian
jumlah kuadrat (Sequential Model Sum of Squares) dan ringkasan
model statistik
(Summary of Statistic). ‘Sequential Model Sum of Squares’
didasarkan pada nilai
tertinggi derajat polinomial dengan syarat model diterima
apabila nilai p
-
38
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Optimasi Bleaching Menggunakan Adsorben Bentonit
Data hasil pengamatan respon kecerahan (L) dan Kejernihan
(Absorbansi)
dari minyak hasil samping pengalengan lemuru yang telah diberi
perlakuan
pemucatan (bleaching) menggunakan adsorben bentonit disajikan
lengkap pada
Tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Data Hasil Pemucatan dengan Bentonit
Std
Variabel Sebenarnya Variabel Terkode Respon
Suhu
(0C) Waktu (Menit)
Konsentrasi (% B/B)
X1 X2 X3 Kecerahan
(L)
Kejernihan (Absorbansi λ 660 nm)
1 50 10 5 -1 0 -1 24,90 0,76 2 90 10 5 +1 0 -1 25,30 0,60 3 50
30 5 -1 +1 -1 25,83 0,96 4 90 30 5 +1 +1 -1 25,56 1,76 5 50 10 15
-1 0 +1 25,16 1,90 6 90 10 15 +1 0 +1 24,60 0,68 7 50 30 15 -1 +1
+1 25,36 0,97 8 90 30 15 +1 +1 +1 25,03 0,59 9 36,36 20 10 -1,68 0
0 24,70 0,43
10 103,64 20 10 1,68 0 0 25,70 0,56 11 70 3,18 10 0 -1,68 0
23,93 1,38 12 70 36,82 10 0 1,68 0 23,80 0,63 13 70 20 1,59 0 0
-1,68 26,33 0,53 14 70 20 18,41 0 0 1,68 26,06 0,51 15 70 20 10 0 0
0 26,46 0,49 16 70 20 10 0 0 0 26,30 0,55 17 70 20 10 0 0 0 26,56
0,52 18 70 20 10 0 0 0 25,96 0,51 19 70 20 10 0 0 0 26,13 0,52 20
70 20 10 0 0 0 26,30 0,50
4.1.1. Optimasi Bleaching Menggunakan Adsorben Bentonit
Respon
Kecerahan (L)
Data hasil pengamatan (Tabel 4.1) menunjukkan bahwa perlakuan
titik
pusat yaitu suhu proses 700C selama 20 menit dengan konsentrasi
adsorben 10%
menghasilkan respon kecerahan (L) tertinggi jika dibandingkan
dengan respon
pada perlakuan lainnya. Selanjutnya dilakukan analisis pemilihan
model yang
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
-
39
Tabel 4.2 Sequential Model Sum of Squares Bleaching dengan
Bentonit Respon Kecerahan (L)
Sum of Squares Df
Mean Square F Value
p-value Prob > F
Mean 0,02 1,00 0,02 Linear 0,51 3,00 0,17 0,22 0.8786 2FI 0,20
3,00 0,07 0,07 0.9743 Quadratic 10,72 3,00 3,57 28,43 < 0.0001
Suggested Cubic 0,89 4,00 0,22 3,58 0.0801 Aliased
Residual 0,37 6,00 0,06 Total 12,70 20,00 0,64
Berdasarkan analisis Sequential Model Sum of Squares, didapatkan
hasil
bahwa model yang dapat dipilih untuk menggambarkan fenomena
pengaruh suhu,
waktu, dan konsentrasi adsorben bentonit terhadap respon
Kecerahan (L) adalah
desain model kuadratik. Model kuadratik pada optimasi adsorben
bentonit memiliki
nilai p sebesar
-
40
berarti menunjukkan adanya korelasi positif atau keeratan
hubungan antara faktor
suhu, waktu, konsentrasi adsorben terhadap respon kecerahan (L)
sebesar 81%.
Setelah selesai pemilihan model, dilakukan analisis ragam
(ANOVA) respon
kecerahan (L) yang dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4. 4 ANOVA Bleaching dengan Bentonit Respon Kecerahan
(L)
Source Sum of Squares Df
Mean Square F Value
p-value Prob > F
Model 11,43 9 1,27 10,10 0.0006 Significant A-SUHU 0,06 1 0,06
0,49 0.5008 not significant B-WAKTU 0,19 1 0,19 1,51 0.2475 not
significant C-KONSENTRASI 0,26 1 0,26 2,06 0.1814 not significant
AB 0,02 1 0,02 0,19 0.6748 not significant AC 0,13 1 0,13 1,06
0.3270 not significant BC 0,04 1 0,04 0,32 0.5844 not significant
A2 1,68 1 1,68 13,39 0.0044 Significant B2 9,53 1 9,53 75,82 <
0.0001 Significant C2 0,00 1 0,00 0,02 0.9021 not significant
Residual 1,26 10 0,13 Lack of Fit 1,02 5 0,20 4,30 0.0676 not
significant
Pure Error 0,24 5 0,05
Cor Total 12,68 19 Keterangan: A: Variabel X1= suhu (50, 70 dan
900C)
B: Variabel X2= waktu pemucatan (5, 10, dan 15 menit) C:
Variabel X3= konsentrasi adsorben (5, 10, dan 15% (b/b)). AB, AC,
BC, A2, B2, C2: interaksi antar perlakuan
Model dengan nilai p sebesar 0,0006; nilai p suhu (kuadratik)
sebesar
0,0044; waktu (kuadratik) sebesar
-
41
Berdasarkan hasil analisis ragam diperoleh persamaan L= 17,13 +
0,14X1 + 0,37X2
+ 0,08X3 -0,000271X1X2 – 0,001292X1X3 – 0,001417X2X3 –
0,000854X12 –
0,008132X22 + 0,000471X32.
Hubungan antara suhu, waktu, dan konsentrasi adsorben proses
bleaching
terhadap respon kecerahan (L) dapat dilihat pada Gambar 4.1;
4.2; 4.3. Pada
gambar (a) kontur plot terlihat garis-garis kontur melengkung
dengan titik merah di
daerah berwarna oranye menunjukkan nilai respon kecerahan (L)
yang dihasilkan
semakin besar. Kombinasi faktor dengan nilai yang berbeda akan
menghasilkan
respon yang sama sepanjang garis kontur yang sama pula. Gambar
(b) kurva tiga
dimensi berbentuk parabola terbuka ke bawah menunjukkan model
kuadratik yang
mana semakin tinggi nilai kecerahan (L) akan naik namun di saat
tertentu akan
turun.
(a) (b) Gambar 4.1 (a) Kontur Plot dan (b) Kurva 3D Pengaruh
Suhu dan Waktu Bleaching
dengan Bentonit terhadap Respon Kecerahan (L)
(a) (b)
Gambar 4.2 (a)Kontur Plot dan (b)Kurva 3D Pengaruh Konsentrasi
Adsorben Bentonit dan Suhu Bleaching dengan Bentonit terhadap
Respon Kecerahan (L)
-
42
(a) (b) Gambar 4.3 (a) Kontur Plot dan (b) Kurva 3D Pengaruh
Konsentrasi Adsorben Bentonit
dan Waktu Bleaching dengan Bentonit terhadap Respon Kecerahan
(L)
Suhu dan waktu memberi pengaruh signifikan (Tabel 4.4) terhadap
respon
kecerahan (L) yang juga ditunjukkan pada Gambar 4.1 kontur plot
kurva terdapat
gradasi warna dari hijau ke oranye lalu ke hijau kembali pada
faktor waktu dan
gradasi warna dari kuning ke oranye lalu ke kuning kembali pada
faktor suhu.
Gambar 4.1 3D menunjukkan semakin tinggi suhu dan waktu akan
meningkatkan
respon kecerahan (L) karena semakin tinggi suhu dan waktu
mengakibatkan
destruksi karotenoid sehingga minyak menjadi pucat (Kaynak et
al., 2004). Tidak
hanya warna yang terserap namun juga logam. Pada minyak ikan
yang digunakan
mengandung pigmen heme yang terkompleks pada hemoglobin dan
myoglobin
dan didalam pigmen tersebut terdapat mineral logam Fe yang dapat
memacu
terjadinya oksidasi (Winarno, 2004).Selanjutnya pada saat yang
hampir sama
respon menurun dikarenakan pigmen dalam minyak mudah teroksidasi
yang
menyebabkan warna gelap pada suhu terlalu tinggi dan waktu
pemanasan lama.
Minyak ikan lemuru mengandung senyawa karotenoid yang tinggi
yaitu lunaxantin,
lutein dan zeaxantin (Sulistiawati dkk, 2000).
Konsentrsi adsorben tidak berpengaruh signifikan sedangkan
suhu
memberi pengaruh signifikan (Tabel 4.4) terhadap respon
kecerahan (L) yang juga
ditunjukkan pada Gambar 4.2 kontur plot kurva terdapat gradasi
signifikan dari
warna kuning ke oranye lalu ke kuning kembali pada faktor suhu
dan tidak terdapat
gradasi warna yang signifikan (dominan warna oranye) pada faktor
konsentrasi.
Gambar 4.2 3D menunjukkan semakin tinggi suhu akan meningkatkan
respon
karena pada suhu rendah hanya terjadi proses penyerapan fisik
yang membentuk
lapisan ganda sedangkan saat suhu tinggi terjadi penyerapan
fisik dan kimia yang
membentuk lapisan tunggal namun reaksinya bersifat irrevesible.
Meskipun
-
43
penyerapan fisik dan kimia mungkin terjadi secara simultan pada
suhu sedang,
namun lebih memberi pengaruh nyata saat suhu tinggi (Achife and
Ibernesi, 1989).
Pada suhu yang terlalu tinggi kecerahan (L) menurun karena
pigmen teroksidasi
yang menyebabkan warna gelap, sedangkan semakin tinggi
konsentrasi akan
menurunkan nilai kecerahan karena kondisi jenuh saat pemberian
adsorben yang
berlebihan sehingga tidak meningkatkan nilai respon. Menurut
Dimic et al., (1994),
jumlah adsorben yang terlalu besar akan memicu kehilangan banyak
tokoferol
yang mempengaruhi stabilitas minyak. Tokoferol merupakan sumber
vitamin E
yang merupakan antioksidan alama sehingga efektif dalam
melindungi minyak dari
oksidasi. Tokoferol yang teroksidasi akan menimbulkan warna
coklat pada minyak
(Winarno, 2004).
Waktu memberi pengaruh signifikan sedangkan konsentrsi adsorben
tidak
berpengaruh signifikan (Tabel 4.4) terhadap respon kecerahan (L)
yang juga
ditunjukkan pada Gambar 4.3 kontur plot terdapat gradasi
signifikan dari warna