i OPTIMASI KOMPOSISI ETANOL DAN AIR DALAM PROSES MASERASI HERBA PEGAGAN (Centella asiatica [L.] Urban) DENGAN APLIKASI SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Laurensia Utami Susanti NIM : 068114050 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
106
Embed
OPTIMASI KOMPOSISI ETANOL DAN AIR DALAM PROSES … filei optimasi komposisi etanol dan air dalam proses maserasi herba pegagan (centella asiatica [l.] urban) dengan aplikasi simplex
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
OPTIMASI KOMPOSISI ETANOL DAN AIR DALAM PROSES
MASERASI HERBA PEGAGAN (Centella asiatica [L.] Urban) DENGAN
APLIKASI SIMPLEX LATTICE DESIGN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Laurensia Utami Susanti
NIM : 068114050
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
OPTIMASI KOMPOSISI ETANOL DAN AIR DALAM PROSES
MASERASI HERBA PEGAGAN (Centella asiatica [L.] Urban) DENGAN
APLIKASI SIMPLEX LATTICE DESIGN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Laurensia Utami Susanti
NIM : 068114050
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
iii
iv
v
God has already planned everything
beautifully, so that everyone of us can
succeed…but it only applies to those who
try..
Kupersembahkan
untuk
Bapak
Ibu
Mas Wawan
Mas Indra
aLmaMaterku
vi
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat serta berkatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Optimasi Komposisi Etanol dan Air dalam Proses Maserasi Herba Pegagan
(Centella asiatica [L.] Urban) dengan Aplikasi Simplex Lattice Design” dengan
baik.
Penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik karena adanya bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma.
2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, waktu, kritik, dan saran
selama proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
3. Agatha Budi Susiana Lestari, M.Si., Apt., yang telah memberikan bimbingan
dan dukungan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.
4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan
dan saran yang membangun bagi penulis.
5. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto, Mas Andri, Mas Bimo, Pak Parlan,
Mas Kunto, Mas Agung, dan Mas Otok atas bantuan yang diberikan pada
penulis selama penelitian berlangsung.
6. Bapak dan Ibu tercinta yang selama ini penuh kasih sayang dan selalu
memberikan dukungan moril maupun materiil.
viii
7. Mas-masku tersayang, Thomas Aquinas Maswan Susinto dan Severinus Indra
Wijaya, yang selalu memberikan kasih sayang, doa, motivasi, dan dukungan.
8. Ignatius Bagus Putra Widiyanto, yang selama ini selalu menemani,
membantu, memberikan kasih sayang dan dukungan.
9. Sahabat-sahabat mungilku, Yola, Dewi, dan Shinta yang telah bersama-sama
mewujudkan persahabatan yang indah.
10. Teman-teman sekelompok yang telah berbagi suka dan duka, Nika, Pita, dan
Rudi untuk kebersamaan yang penuh perjuangan dari awal hingga penelitian
ini dapat diselesaikan dengan baik.
11. Semua teman-teman FST A 2006, Yola, Shinta, Nika, Boim, Robby, Pita,
Rudi, Dani, Adit, dan Aya, yang telah melalui hari-hari penuh keceriaan,
kebersamaan, dan kerjasama yang baik selama ini.
12. Semua teman-teman Farmasi angkatan 2006 yang untuk dukungan dan
Lia, Reta, Titin, Anna, Meli, Berta, Citra, Mayke, dan Adel).
14. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis menyelesaikan laporan akhir ini.
ix
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Yogyakarta, 9 Maret 2010
Penulis
x
xi
INTISARI
Pegagan (Centella asiatica [L.] Urban) merupakan salah satu tumbuhanyang banyak dieksplorasi untuk mengatasi berbagai penyakit. Pada penelitian inidilakukan optimasi komposisi etanol 96% dan air sebagai cairan penyari dalamproses maserasi herba pegagan dengan aplikasi Simplex Lattice Design. Penelitianini bertujuan untuk menemukan komposisi optimum etanol 96% dan air untukmendapatkan ekstrak dengan kandungan asiatikosid terbesar. Asiatikosidmerupakan zat aktif saponin triterpen pentasiklis yang diketahui dapatmenunjukkan efek antiinflamasi.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni menggunakanSimplex Lattice Design (SLD). Penelitian diawali dengan determinasi simplisia,pembuatan serbuk, dan penyarian secara maserasi. Maserasi dilakukan pada suhu30°C, 40°C, dan 50°C. Analisis kualitatif maserat dengan KLT silika gel F254 danfase gerak kloroform:metanol:air (65:25:4) serta deteksi bercak dengan pereaksiLiebermann-Burchard. Penetapan kadar asiatikosid dilakukan dengan mengukurluas area di bawah kurva (AUC) secara densitometri. Pengaruh suhu terhadapefisiensi ekstraksi dianalisis menggunakan ANOVA dengan tingkat kepercayaan95%. Data kadar yang diperoleh dibuat persamaan SLD untuk tiap-tiap suhu.Validitas persamaan SLD diperoleh dengan menggunakan uji statistik F dengantaraf kepercayaan 95%.
Hasil menunjukkan bahwa suhu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak berpengaruhpada kadar asiatikosid yang tersari dan etanol 96% merupakan cairan penyarioptimum untuk mendapatkan kandungan asiatikosid terbesar dalam herbapegagan.
Gotu Kola (Centella asiatica [L.] Urban) is one of the plants which isextensively explored to cure many diseases. In this research, it is done theoptimization of 96% ethanol and water composition as solvents in the process ofmaceration of Centella asiatica herb with the application of Simplex LatticeDesign. This research aims at discovering the optimum composition of 96%etanol and water to obtain extract with the most asiaticoside compound.Asiaticoside is an active substance of triterpenoid pentacyclic saponin compoundwhich can show an anti-inflamatory effect.
This research is a pure experimental research using Simplex LatticeDesign (SLD). The research starts with plant determination, powderisation, andmaceration. Maceration is done in the temperature of 30°C, 40°C, and 50°C.Qualitative analysis of macerat is done using TLC silica gel F254 and the mobilephase of chloroform:methanol:water (65:25:4) and detection of the spot withLiebermann-Burchard. The determination of asiaticoside concentration is donewith measuring the area under curve densitometrically. The temperature effectupon the eficiency of extraction is analysed using ANOVA with confidence levelof 95%. The data of the obtained level is equated with SLD for the respectivetemperature. The validity of SLD equation is obtained by using analysis of Fstatistics with confidence level of 95%.
The results show that the temperature of 30°C, 40°C, and 50°C do notaffect on the concentration of asiaticoside and the 96% ethanol is the optimumsolvent to obtain the most asiaticoside concentration in Centella asiatica herb.
Key words : Gotu Kola (Centella asiatica [L.] Urban), asiaticoside, maceration,Simplex Lattice Design, TLC-densitometry
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....... vi
PRAKATA ................................................................................................ vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................... x
INTISARI .................................................................................................. xi
ABSTRACT ................................................................................................ xii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xix
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
1. Perumusan Masalah ................................................................ 3
Determinasi simplisia pegagan dilakukan oleh Merapi Farma Herbal, Kaliurang.
2. Pembuatan serbuk simplisia herba pegagan
a. Sortasi Kering
Sortasi kering dilakukan dengan cara memisahkan herba pegagan dari
pengotor lain, seperti adanya rumput, tanah, atau kerikil.
b. Pembuatan serbuk
Herba tanaman pegagan hasil sortasi dikeringkan di bawah sinar matahari
secara tidak langsung. Setelah bahan kering, diserbuk menggunakan grinder
(mesin penyerbuk).
3. Pembuatan ekstrak herba pegagan secara maserasi dengan variasi
komposisi etanol dan air
Ekstrak dibuat secara maserasi, menggunakan pelarut dengan berbagai komposisi
(Tabel I).
Tabel I. Perbandingan komposisi etanol dan air yang digunakan pada prosesmaserasi
Percobaan Etanol 96% (ml) Air (ml)
I 50 0
II 37,5 12,5
III 25 25
IV 12,5 37,5
V 0 50
25
Lima gram (satu bagian) serbuk herba pegagan dimasukkan ke dalam maserator,
ditambah 10 bagian pelarut, diaduk terus selama 24 jam. Suhu yang digunakan
saat maserasi adalah 300C, 40°C, dan 500C. Maserat dipisahkan dan proses
maserasi diulang 2 kali dengan prosedur yang sama. Semua maserat dikumpulkan
dan diuapkan dengan penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Replikasi
dilakukan sebanyak 3 kali.
4. Analisis kualitatif asiatikosid
Analisis kualitatif kandungan asiatikosid dilakukan dengan KLT menggunakan
fase diam silika gel F254 dan fase gerak kloroform:metanol:air (65:25:4). Pelat
KLT tersebut kemudian disemprot dengan pereaksi Liebermann-Burchard,
dipanaskan dalam oven pada temperatur 105ºC selama 10 menit.
5. Validasi metode analisis
a. Pembuatan larutan baku
Larutan baku TECA 4 mg/ml dibuat dengan menimbang kurang lebih
seksama 20 mg baku TECA dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5,0 ml dan
diencerkan dengan metanol hingga tanda.
b. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum
Panjang gelombang yang menghasilkan serapan maksimum (panjang
gelombang serapan maksimum) ditentukan dengan cara menelusuri 3 bercak
(dengan konsentrasi rendah, tengah, dan tinggi) pada panjang gelombang 200
nm–700 nm.
26
c. Pembuatan kurva baku dan penetuan linearitas kadar asiatikosid
Larutan baku TECA (4 mg/ml) ditotolkan pada lempeng silika gel F254 dengan
pipa mikro kapiler, dengan jumlah totolan masing-masing 1µl, 2µl, 4µl, 6µl,
dan 8µl, di mana masing-masing totolan tersebut mengandung seri jumlah
asiatikosid sebanyak 1,6672 µg; 3,3344 µg; 6,6688 µg; 10,0032 µg; dan
13,3376 µg. Kemudian dielusi dengan fase gerak kloroform:metanol:air
(65:25:4) dengan jarak pengembangan 15 cm. Selanjutnya dilakukan
pengukuran luas area di bawah kurva (AUC) bercak menggunakan metode
densitometri. Kemudian ditentukan persamaan kurva baku y = Bx + A antara
seri baku dengan luas area dan ditentukan pula linearitas asiatikosid (nilai r).
Replikasi dilakukan 3 kali.
d. Penentuan presisi
Larutan baku TECA (4 mg/ml) yang direplikasi 3 kali ditotolkan pada pelat
KLT yang sama sebanyak 1 µl. Kemudian dielusi dengan fase gerak
kloroform:metanol:air (65:25:4). Selanjutnya dilakukan pengukuran luas area
di bawah kurva (AUC) bercak menggunakan metode densitometri.
Presisi ditentukan dengan nilai koefisien variasi (CV).
CV
27
6. Analisis kuantitatif asiatikosid dalam ekstrak herba pegagan
Ditimbang 100 mg ekstrak, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dilarutkan
dalam 1 ml metanol. Masing-masing sebanyak 2 l larutan uji dan larutan TECA
baku dalam metanol dengan konsentrasi yang berbeda ditotolkan. Pemisahan
dilakukan dengan KLT dengan fase diam silika gel F254 dan fase gerak
kloroform:metanol:air (65:25:4). Kadar asiatikosid diketahui dengan
memasukkan luas area di bawah kurva (AUC) bercak yang ditetapkan dengan
metode densitometri sebagai nilai Y dalam persamaan kurva baku.
7. Analisis Hasil
a. One-way analysis of variance (ANOVA)
Data kuantitatif kadar asiatikosid herba pegagan yang diperoleh dianalisis
menggunakan Anova untuk membandingkan pengaruh suhu terhadap efisiensi
ekstraksi, yaitu berdasar respon kadar asiatikosid yang diperoleh dari masing-
masing suhu. Untuk dapat dianalisis dengan Anova, data harus memenuhi
syarat yaitu distribusinya normal.
Sebelumnya ditentukan terlebih dahulu, hipotesis alternatif (Hi) yang
menyatakan bahwa rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C, 40°C, dan 50°C
berbeda, sedangkan H0 merupakan negasi dari Hi yang menyatakan rata-rata
kadar asiatikosid dari suhu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak berbeda. Hi diterima
dan H0 ditolak bila harga F hitung lebih besar dari F tabel. F tabel diperoleh
dari Fα (numerator, denominator) dengan taraf kepercayaan 95 %. Derajat
28
bebas dan interaksi sebagai numerator yaitu 2, dan derajat bebas experimental
error sebagai denominator yaitu 12, sehingga diperoleh harga F tabel untuk
interaksi pada semua respon adalah F0,05(2,12) = 3,68.
b. Analisis hasil kadar asiatikosid dengan Simplex Lattice Design
Data kadar asiatikosid dari tiap percobaan dianalisis dengan pendekatan
Simplex Lattice Design untuk menghitung koefisien a, b, ab sehingga
didapatkan persamaan Y = a(A) + b(B) +ab(A)(B). Dari persamaan ini
kemudian dapat dibuat suatu profil yang menggambarkan sifat fisik dengan
berbagai komposisi etanol dan air. Hasil profil yang diperoleh berdasarkan
rumus digunakan untuk menentukan komposisi cairan penyari yang optimal.
Tiap persamaan yang diperoleh dari tiap formula dihitung validitasnya
menggunakan metode statistik, yaitu uji F dengan taraf kepercayaan 95%.
8. Uji kualitas ekstrak herba pegagan
a. Penentuan susut pengeringan
Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam
botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu
1050C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan
dalam botol timbang dengan bantuan pengaduk hingga merupakan lapisan
setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm. Kemudian dimasukkan ke dalam
ruang pengering, dibuka tutupnya, dan dikeringkan pada suhu 1050C hingga
29
bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan
tertutup mendingin dalam desikator hingga suhu kamar (Anonim, 2000).
Botol timbang kembali dimasukkan ke dalam oven dan setiap 1 jam
ditimbang sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih
dari 0,25% (Anonim, 1995).
Kandungan lembab ditentukan dengan rumus :
Kandungan lembab
b. Penetapan kadar abu
Lebih kurang 2g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama,
dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian
diratakan. Ekstrak tadi dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan, kemudian ditimbang hingga tercapai bobot tetap. Kadar abu
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 2000).
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Determinasi Simplisia
Pada penelitian ini simplisia yang digunakan didapatkan dari industri jamu
godhog Merapi Farma Herbal di daerah Kaliurang. Keaslian simplisia dibuktikan
dengan adanya surat keterangan resmi dari industri jamu godhog Merapi Farma
Herbal (lampiran 1). Menurut keterangan, simplisia yang digunakan adalah Centella
asiatica yang berasal dari daerah Magelang. Determinasi yang telah dilakukan oleh
Merapi Farma Herbal tersebut memberikan kepastian bahwa simplisia yang
digunakan sesuai dengan yang dimaksud, juga untuk menghindari terjadinya
kekeliruan terhadap simplisia lain.
B. Pembuatan Serbuk Simplisia Herba Pegagan
Herba pegagan yang telah disortasi kering selanjutnya dikeringkan. Bagian
yang digunakan adalah keseluruhan herba pegagan, karena kandungan kimia utama
dari tanaman ini terdapat di seluruh bagian herba (Anonim, 2009a).
Pengeringan dimaksudkan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak sehingga dapat disimpan lebih lama, sebab dalam pengeringan ini terjadi
pengurangan kadar air sampai tingkat tertentu dan reaksi enzimatik akan terhenti.
Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutupi
31
kain hitam bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan atau dekomposisi
kandungan kimia dalam tanaman itu sendiri.
Simplisia yang telah kering tersebut selanjutnya diserbuk dengan
menggunakan grinder (mesin penyerbuk) dengan ayakan nomor mesh 50 agar
diperoleh serbuk halus. Penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk
simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas. Kontak yang luas
dengan cairan penyari terjadi karena serbuk berukuran kecil. Dengan ukuran yang
kecil, maka luas permukaan spesifiknya meningkat.
Kemudian serbuk disimpan dalam wadah tertutup rapat agar melindungi isi
dari masuknya debu maupun partikel lain. Selain itu, juga untuk mencegah
kehilangan bahan selama penyimpanan. Silica gel ditambahkan dalam wadah untuk
mencegah masuknya lembab ke dalam serbuk.
C. Pembuatan Ekstrak Herba Pegagan Secara Maserasi dengan Variasi
Komposisi Etanol dan Air
Ekstrak dibuat secara maserasi dengan cara merendam serbuk dalam etanol
dan air dengan perbandingan tertentu. Cairan penyari yang digunakan adalah etanol
dan air. Aglikon triterpen dari asiatikosida bersifat nonpolar lebih larut dalam etanol
(Pramono, 2004). Menurut penelitian Somchit (2004), disebutkan bahwa asiatikosid
juga dapat diekstraksi dengan air. Asiatikosid mengandung glikosida yang bersifat
polar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penyarian, dapat digunakan campuran
32
penyari antara etanol dan air dalam maserasi dengan adanya perbandingan etanol dan
air tertentu sesuai dengan metode Simplex Lattice Design (SLD).
Suhu yang digunakan dalam proses maserasi adalah suhu 300C, 40°C, dan
500C untuk mencegah penguapan dari cairan penyari. Perendaman akan
menyebabkan cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya sifat like dissolve like
dengan penyari yang digunakan. Pada maserasi ini dilakukan pengadukan untuk
meratakan kontak antara serbuk dengan cairan penyari. Kontak yang cukup besar dan
merata menghasilkan penarikan zat aktif yang lebih optimal, sehingga asiatikosid
dapat tersari secara merata di seluruh bagian pelarut yang digunakan dalam proses
maserasi.
Setelah dimaserasi selama 24 jam, larutan disaring untuk mendapatkan
maserat. Proses maserasi dilakukan dua kali dengan tujuan untuk mengoptimalkan
penarikan asiatikosid yang ada di dalam serbuk herba pegagan. Maserat yang
dihasilkan selanjutnya dikeringkan. Suhu yang digunakan saat pengeringan tidak
lebih dari 50°C, hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya zat aktif yang
terkandung dalam ekstrak.
Ekstrak yang memiliki kandungan air yang lebih besar bersifat lebih liat dan
basah jika dibandingkan dengan ekstrak yang kandungan etanolnya lebih besar. Hal
ini dikarenakan sifat etanol yang mudah menguap.
33
D. Analisis Kualitatif Asiatikosid
Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). Tahap ini dilakukan untuk memastikan bahwa ekstrak yang dihasilkan
mengandung asiatikosid, dengan membandingkan bercak baku asiatikosid dengan
bercak yang dihasilkan pada ekstrak, melalui nilai Rf.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel F254 yang bersifat polar, karena
silika gel F254 disusun oleh silanol yang bersifat polar. Silika gel F254 merupakan fase
diam yang cocok digunakan untuk pemisahan senyawa terpenoid. Fase gerak yang
digunakan adalah kloroform: metanol: air (65:25:4) dengan sifat kepolaran campuran
yang lebih lemah daripada fase diam, sehingga dapat mengelusi asiatikosid yang
bersifat nonpolar. Penggunaan campuran dari ketiga komponen fase gerak ini
bertujuan untuk mendapatkan pemisahan yang optimum, sehingga asiatikosid dapat
terpisah dengan bercak lainnya.
Analisis kualitatif asiatikosid dilakukan dengan menotolkan sampel ekstrak
dan baku asiatikosid pada lempeng silika gel F254 yang sama, kemudian dielusi
dengan fase gerak kloroform: metanol: air (65:25:4) yang telah dijenuhkan
sebelumnya. Pendeteksian bercak dilakukan dengan pereaksi semprot Liebermann-
Burchard (LB). Melalui pereaksi semprot LB dapat dideteksi adanya senyawa yang
merupakan golongan triterpenoid yang ditunjukkan dengan timbulnya bercak
berwarna biru-ungu setelah dipanaskan dengan oven pada suhu 105°C. Selain itu,
adanya pereaksi LB dapat membantu untuk mengetahui posisi, bentuk, dan ukuran
34
bercak dari asiatikosid yang tidak memiliki kromofor ini, sehingga AUC-nya dapat
ditetapkan dengan densitometer (Jork, 1990).
Asiatikosid merupakan bercak yang kedua (2). Baku yang digunakan dalam
penelitian ini adalah TECA yang terdiri atas asiatikosid, asam madekasat, dan asam
asiatikat dengan komposisi asiatikosid yang terbesar yaitu 41,68% (Soegiharjo,
1995). Penentuan bercak asiatikosid ini berdasarkan pada luas bercak yang terbesar di
antara ketiga bercak yang muncul (Gambar 3).
(3)
(2)
(1)
Gambar 3. Kromatogram baku asiatikosid dan ekstrak herba pegagan hasilmaserasi dengan suhu 30°C deteksi Liebermann-Burchard
Keterangan:Fase diam : silika gel F254
Fase gerak : kloroform: metanol: air (65:25:4)Deteksi : Liebermann Burcharda : baku TECA 1 (1 µl)b : baku TECA 2 (2 µl)c : baku TECA 3 (4 µl)d : baku TECA 4 (6 µl)e : baku TECA 5 (8 µl)f : baku TECA 6 (10 µl)
g : baku TECA 7 (12 µl)h : sampel etanol : air = 0 : 50i : sampel etanol : air = 12,5 : 37,5j : sampel etanol : air = 25 : 25k : sampel etanol : air = 37,5 : 12,5l : sampel etanol : air = 50 : 0(1) : asam asiatikat(2) : asiatikosid(3) : asam madekasat
35
Tabel II. Harga Rf baku asiatikosid dan sampel ekstrak dengan deteksiLiebermann-Burchard
d 6,6540x10-3 8,5882x10-3 0,0136 9,6141x 103 0,0035
e 9,7115x10-3 3,6316x10-3 9,0623x10-3 7,4685x10-3 0,0033
40°C
a 0,184 0,0862 0,1375 0,1359 0,0489
b 0,1899 0,1719 0,1305 0,1641 0,0304
c 0,1596 0,0486 0,0781 0,0945 0,0575
d 0,0108 0,0104 0,026 0,0157 0,0089
e 0,0203 0,0379 8,394x10-3 0,0222 0,0148
50°C
a 0,1138 0,1556 0,2157 0,1617 0,0512
b 0,1346 0,164 0,1427 0,1471 0,0152
c 0,0887 0,1042 0,096 0,0963 0,0075
d 0,0253 0,0244 0,0207 0,0235 0,0024
e 0,0112 8,5847x10-3 0,0114 0,0104 0,0016
Keterangan :a : sampel etanol : air = 50 : 0b : sampel etanol : air = 37,5 : 12,5c : sampel etanol : air = 25 : 25d : sampel etanol : air = 12,5 : 37,5e : sampel etanol : air = 0 : 50
Berdasarkan tabel VI, diketahui bahwa rata-rata kadar asiatikosid terbesar
didapatkan pada percobaan a yaitu proses maserasi herba pegagan dengan 50 ml
etanol 96% dengan suhu percobaan 30°C.
G. Analisis Hasil
Data kadar yang diperoleh berdasarkan percobaan selanjutnya diolah dengan
menggunakan Anova untuk mengetahui apakah perlakuan suhu yang berbeda akan
40
menghasilkan kadar yang berbeda pula. Proses maserasi ini dilakukan pada 3 suhu
yang berbeda, yaitu 30°C, 40°C, dan 50°C. Aplikasi suhu yang berbeda ini
diharapkan memberikan pengaruh pada efisiensi ekstraksi herba pegagan. Kenaikan
suhu akan meningkatkan efisiensi ekstraksi, karena dengan suhu yang semakin tinggi
akan meningkatkan kelarutan zat aktif. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius
yang secara matematik menghubungkan laju reaksi dengan suhu dan menyatakan
adanya peningkatan laju reaksi menjadi dua kali semula dengan meningkatnya suhu
sebesar 10°C (Petrucci, 1985). Adanya suhu yang lebih tinggi akan memberikan
energi yang lebih besar, sehingga tumbukan yang terjadi antara asiatikosid dengan
penyari yang digunakan semakin tinggi dan kelarutannya meningkat.
Dalam penggunaan Anova, syarat yang harus dipenuhi adalah data yang akan
dianalisis harus menunjukkan distribusi normal. Berdasarkan analisis data dengan
SPSS data rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C ,40°C, dan 50°C menunjukkan
distribusi normal (lampiran 13).
H0 : rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C , 40°C, dan 50° tidak berbeda
H1 : rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C, 40°C, dan 50°C berbeda.
Analisis dilakukan dengan membandingkan rata-rata kadar dari masing-
masing percobaan pada setiap suhu (Tabel VII).
Tabel VII. Hasil analisis dengan ANOVASources of
ErrorSS dF MS Fhitung Ftabel
Between 0,0004 2 2x10-4
0,030 3,68Within 0,0777 12 6,475x10-3
Total 0,0781 14
41
Nilai F hitung sebesar 0,030, lebih kecil dari F tabel sehingga H0 diterima.
Dengan demikian rata-rata kadar asiatikosid untuk maserasi dengan suhu 30°C, 40°C,
dan 50°C tidak berbeda. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa suhu
pada proses maserasi, yaitu suhu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak memberikan pengaruh
yang signifikan pada kadar asiatikosid yang tersari.
Selanjutnya, dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design, 2
komponen penyari yang digunakan (etanol 96% dan air) dicari komposisi
optimumnya berdasarkan kadar asiatikosid yang terukur. Dalam metode SLD dengan
2 komponen, setelah data kadar diperoleh, terlebih dahulu dilakukan perhitungan
persamaan SLD untuk tiap-tiap suhu (Tabel VIII).
Tabel VIII. Persamaan SLDPersamaan SLD
Suhu 30°C Y = 0,2534 (X1) + 0,0075 (X2) – 0,15 (X1)(X2)
Suhu 40°C Y = 0,1359 (X1) + 0,0222 (X2) + 0,0616 (X1)(X2)
Suhu 50°C Y = 0,1617 (X1) + 0,0104 (X2) + 0,0408 (X1)(X2)
Persamaan SLD tersebut kemudian diuji validitasnya dengan menggunakan uji F
untuk melihat apakah ada perbedaan bermakna respon kadar antara hasil percobaan
dengan hasil yang dihitung dari persamaan SLD.
Tabel IX.Perhitungan validitas persamaan SLD
Suhu 30°C Suhu 40°C Suhu 50°C
Fhitung 10,2351 3,5824 12,8261
Ftabel 3,89 3,89 3,89
Kesimpulan valid tidak valid valid
Berdasarkan perhitungan Fhitung, didapatkan hasil persamaan SLD untuk kadar
asiatikosid dengan maserasi pada suhu 30°C dan 50°C valid, sedangkan untuk suhu
40°C tidak valid. Hal ini menunjukkan bahwa data rata-rata kadar asiatikosid yang
42
dihasilkan pada proses maserasi dengan suhu 30°C dan 50°C dapat digunakan untuk
menemukan komposisi etanol dan air yang optimum.
Gambar 5.Respon proporsi etanol vs kadar asiatikosid hasil maserasi pada suhu30°C dengan persamaan Y = 0,2534 (X1) + 0,0075 (X2) – 0,15 (X1)(X2)
Gambar 6. Respon proporsi etanol vs kadar asiatikosid hasil maserasi padasuhu 50° dengan persamaan Y = 0,1617 (X1) + 0,0104 (X2) + 0,0408 (X1)(X2)
43
Gambar 5 dan 6 menunjukkan profil kadar asiatikosid dari ekstrak herba
pegagan. Kedua profil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi etanol,
kadar asiatikosid yang terukur juga semakin tinggi pula. Dapat juga dikatakan bahwa
semakin polar penyari yang digunakan, semakin kecil kadar asiatikosid yang tersari.
Hal ini menunjukkan bahwa aglikon triterpen dari asiatikosid tersebut bersifat
nonpolar, sehingga walaupun berikatan dengan 3 molekul gula masih tetap kecil
kelarutannya dalam air.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, untuk mendapatkan kadar asiatikosid yang
tertinggi, dipilih cairan penyari yang optimum, yaitu etanol 96%. Sesuai dengan hasil
analisis tersebut, selanjutnya dipilih suhu 30°C dalam proses maserasi karena
penanganan dengan suhu 30°C lebih mudah. Selain itu, jika dibandingkan dengan
suhu 50°C, kerusakan dari zat aktif akibat suhu yang lebih tinggi dapat dihindari.
H. Penetapan Susut Pengeringan dan Kadar Abu
Di dalam parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat, disebutkan banyak
sekali parameter yang dipersyaratkan, baik parameter spesifik maupun nonspesifik.
Parameter spesifik salah satunya adalah dengan penentuan kadar zat aktif, sedangkan
parameter nonspesifik ekstrak, di antaranya penentuan susut pengeringan dan kadar
abu.
Penentuan susut pengeringan dilakukan untuk mengetahui kualitas dari
ekstrak yang dihasilkan, yaitu mencakup kadar air yang terkandung dalam ekstrak.
44
Sebelum menetapkan kadar asiatikosid dalam ekstrak herba pegagan, perlu dilakukan
penentuan susut pengeringan. Dengan kandungan air yang rendah, maka
pertumbuhan bakteri maupun kapang tidak ada, sehingga stabilitas ekstrak tetap
terjaga. Pada monografi ekstrak (Anonim, 2004b) disebutkan bahwa untuk ekstrak
herba pegagan kadar airnya tidak lebih dari 7,6 %.
Tabel X. Susut pengeringan
Besarnya susut pengeringan Rata-rata
Replikasi 1 4,6729 %4,7667 %
± 0,0842Replikasi 2 4,8358 %
Replikasi 3 4,7916 %
Berdasarkan data tersebut, ekstrak yang dihasilkan pada maserasi pada suhu 30°C
dengan pelarut etanol 96% memenuhi persyaratan susut pengeringan.
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Pada suhu yang tinggi (600°C) zat organik habis terbakar dan air juga menguap
karena adanya pembakaran, sehingga sisa yang dihasilkan hanya unsur anorganik
saja. Kandungan abu tergantung pada kandungan mineral suatu bahan. Mineral dalam
suatu bahan dapat berupa dua macam garam, yaitu garam organik (NaCl, KCl) dan
garam anorganik seperti garam fosfat, karbonat, sulfat, dan nitrat.
Tabel XI. Kadar abu
Besarnya kadar abu Rata-rata
Replikasi 1 6,8836 %6,6819 %
± 0,5182Replikasi 2 7,0689 %
Replikasi 3 6,0931 %
45
Sesuai dengan monografi ekstrak herba pegagan, kadar abu dinyatakan tidak
lebih dari 16,6 %, maka ekstrak yang dihasilkan tersebut memenuhi standar yang
telah ditetapkan.
Penentuan susut pengeringan dan kadar abu dapat menggambarkan
kandungan dan kemurnian ekstrak. Adanya lembab dan kandungan mineral yang
cukup tinggi tentunya berpengaruh pada bobot ekstrak yang akan ditetapkan kadar zat
aktifnya secara kuantitatif.
46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Suhu pada proses maserasi, yaitu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak berpengaruh pada
kadar asiatikosid yang tersari.
2. Komposisi optimum cairan penyari untuk mendapatkan ekstrak dengan
kandungan asiatikosid terbesar adalah 0% air dan 100% etanol 96%.
B. SARAN
Perlu dilakukan standarisasi ekstrak secara lengkap sesuai dengan parameter standar
umum ekstrak tumbuhan obat.
47
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, 34-39, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 105-123, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 16-17, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 1036, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1998, Kamus Saku Kedokteran Dorland, 556, EGC, Jakarta
Anonim, 1999, WHO Monographs on Selected Medicinal Plants, Vol 1, 77-83,
World Health Organization, Geneva
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 3-6, 13-14,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2004a, Guidelines for the Validation of Analytical Methods for Active
Constituent, Agriculture and Veterinary Chemical Products, 4-5,