MAKALAH FISIKA KUANTUM “Operator Dalam Mekanika Kuantum dan Persamaan Nilai Eigen” Oleh Kelompok 4 : 1. Clara Sinta Saragih 2. Rita Deby 3. Sehati Winarsih 4. Wahyu Azhar Ritonga FISIKA NONDIK 2012
MAKALAH FISIKA KUANTUM“Operator Dalam Mekanika Kuantum dan Persamaan
Nilai Eigen”
Oleh Kelompok 4 :
1. Clara Sinta Saragih
2. Rita Deby
3. Sehati Winarsih
4. Wahyu Azhar Ritonga
FISIKA NONDIK 2012
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persamaan Schrődinger untuk atom yang hanya
mempunyai satu elektron dapat kita selesaikan secara
pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang
berelektron banyak dan juga molekul, karena dalam kedua
sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu
elektron dengan elektron lain. Untuk itu, kita butuh
metode lain untuk menyelesaikan persamaan Schrodinger
untuk atom berelektron banyak dan molekul..
Pengukuran besaran fisis (observabel) dalam
mekanika klasik dapat dilakukan dengan cara dan hasil
yang pasti dan tanpa mengganggu sistem yang
diukur observabelnya, serta dapat dilakukan pengukuran
besaran observabel secara serentak (pada saat yang
sama). Menurut mekanika kuantum, pengukuran
suatu observabel akan mempengaruhi dan mengubah keadaan
sistem: pengukuran beberapa besaran (misalnya posisi
dan kecepatan atau momentum) tidak dapat dilakukan
secara serentak denga hasil ukur yang pasti / eksak
(ketakpastiannya terbatasi oleh prinsip ketakpastian
Heisenberg). Mekanika kuantum merupakan teori
ii
kebolehjadian yang bersifat abstrak, seperti konsep
panjang gelombang, rapat kebolehjadian, operator, dan
lain-lain. Mekanika kuantum disusun di atas postulat-
postulat. Ada dua pendekatan formulasi mekanika
kuantum, yakni dengan Mekanika Gelombang
yang dikembangkan oleh Schrodinger, dan Mekanika
Matriks yang dikembangkan oleh Heisenberg. Jadi target
bab ini adalah membahas secara lebih mendalam mengenai
teorema mekanika kuantum.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui operator-operator dalam Fisika
Kuantum
2. Mempelajari nilai eigen dan fungsi eigen dari
operator Commute
3. Mengetahui teorema-teorema dalam operator
Hermit
4. Mengetahui postulat-postulat dalam mekanika
kuantum
5. Mempelajari fungsi eigen untuk operator posisi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengantar
Operator adalah suatu instruksi matematis yang
bila dikenakan atau dioperasikan pada suatu fungsi maka
iii
akan mengubah fungsi tersebut menjadi fungsi lain.
Untuk operator Oˆ dapat ditulis sebagai
O ( r,t )=❑' ( r,t )
(Tanda aksen ‘ bukan berarti diferensial atau turunan,
tapi hanya untuk membedakan dengan fungsi asalnya).
Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa
notasi integral yang akan dipergunakan. Definit
integral seluruh ruang atas operator sembarang yang
terletak di antara dua buah fungsi yaitu fm dan fn
biasanya ditulis:
∫fm¿ Afn d = ⟨fm|A|fn⟩ = (fm|A|fn) = ⟨m|A|n⟩
(1-1)
Notasi (1-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan
disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas juga
sering ditulis:
∫fm¿ Afn d = Am n (1-2)
Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah
fungsi fm dan fn ditulis:
∫fm¿ fn d = ⟨fm| fn⟩ = (fm| fn) = (1-3)
Karena [∫fm¿ fn ]¿ = ∫fm
¿ fn d, maka:
* = (1-4)
iv
d
dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (1-4) dapat
ditulis : * = .
Hal-hal lain yang perlu diingat adalah:
1. ∫fm¿ fn d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut
ternormalisasi. (1-5)
` ∫fm¿ fn d = 0 jika fm fn dan fungsinya disebut
ortogonal (1-6)
Catatan:
∫fm¿ fn d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta)
yang harganya = 0 jika fm fn dan berharga 1 jika
fm = fn
2. Jika : A = a dengan a bilangan konstan, maka
disebut fungsi eigen sedang a disebut nilai
eigen atau: jika adalah fungsi eigen terhadap
operator A , maka berlaku hubungan: A = a
dengan a adalah nilai eigen. (1-7)
2.2 Operator Hermit
Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat
kembali pengertian operator linear dan pengertian nilai
rata-rata. Operator linear adalah operator yang
mewakili besaran fisik, misal operator energi, operator
energi kinetik, operator momentum angular dan lain-
v
lain. Selanjutnya telah kita ketahui pula bahwa jika A
adalah operator linear yang mewakili besaran fisik A,
maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:
= ∫Ψ¿AΨ d (1-8)
dengan adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai
rata-rata selalu merupakan bilangan real, maka:
= *
atau: ∫Ψ¿AΨ d = ∫Ψ (AΨ )¿ d (1-9)
Persamaan (1-9) harus berlaku bagi setiap fungsi
yang mewakili keadaan tertentu suatu sistem atau
persamaan (1-9) harus berlaku bagi setiap fungsi
berkelakuan baik (well behaved function). Operator linear
yang memenuhi persamaan (1-9) itulah yang disebut
operator Hermit.
Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai
operator yang mengikuti persamaan:
∫f¿Ag d = ∫g(Af)¿ d (1-10)
untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat
secara khusus bahwa pada ruas kiri persamaan (1-10),
operator A bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan,
operator bekerja pada fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu
vi
jika f = g maka bentuk (1-10) akan tereduksi menjadi
bentuk (1-9).
2.2.1 Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit
Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan
operator Hermit, yaitu:
1.Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti
merupakan bilangan real.
2.Teorema 2: Dua buah fungsi 1 dan 2 berhubungan
dengan operator Hermit A dan baik 1 maupun 2
adalah fungsi eigen terhadap operator A dengan
nilai eigen yang berbeda, maka 1 dan 2 adalah
ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut mempunyai
nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak
ortogonal), maka selalu ada cara agar dijadikan
ortogonal.
2.2.2 Pembuktian Teorema 1
Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan
teorema 1 yaitu bahwa operator yang dipergunakan adalah
operator Hermit jadi harus mengikuti (1-9) dan ada
pernyataan eigen value, ini berarti bahwa fungsi yang
dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (1-7)
berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah ,
dan karena A adalah operator hermit, maka menurut (1-
9): ∫Ψ¿AΨ d = ∫Ψ (AΨ )¿ d
vii
atau:
∫Ψ¿AΨ d = ∫ΨA¿Ψ¿
d (1-11)
Menurut (1-7) : AΨ = a dengan a adalah nilai
eigen untuk
A¿Ψ¿ = a* * dengan a* adalah nilai
eigen untuk *
sehingga (1-11) dapat ditulis: a = a*
Menurut (1-5) nilai = = 1, jadi:
a = a*
Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.
2.2.3 Pembuktian Teorema 2:
Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap
operator misal operator A , maka berlaku:
A 1 = a1 1 dan A 2 = a2 2 (1-12)
Karena A adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2
maka menurut (1-10) berlaku:
∫Ψ1¿ AΨ2 d = ∫Ψ2 (AΨ1)¿ d
viii
atau: ∫Ψ1¿ AΨ2 d =
(1-13)
Substitusikan (1-12) ke dalam (1-13), menghasilkan:
a2 =
Menurut teorema I, harga a* = a, jadi:
a2 = (1-14)
Menurut (1-4), = , jadi persamaan (1-
14) boleh ditulis:
a2 =
atau: a2 -
atau: (a2 - )
(1-15)
Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (1-15)
tersebut (a2-a1) tidak mungkin nol, sehingga:
= 0 (1-16)
Karena = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.
Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen
mempunyai nilai eigen berbeda terhadap operator
ix
tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah, mungkinkah dua buah
fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen
yang sama? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus
degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi eigen yang
independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua
fungsi eigen yang degenerate atau yang nilai eigen-nya
sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal.
Dengan demikian, maka kita hanya boleh mengatakan bahwa
dua fungsi eigen yang berhubungan dengan operator
Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu
tidak degenerate.
Apakah Degenerate itu ?
Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih
fungsi eigen yang independen mempunyai nilai eigen
sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk
lebih memahami masalah degenerate ini, marilah kita
ingat kembali fungsi gelombang partikel dalam kotak
yang telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel
dalam kotak 3 dimensi dinyatakan sebagai:
= x y z dengan :
x = ; y = dan y =
jadi:
x
= (1-17)
Jika operator Hermit, misal operator Hamilton
dikenakan pada fungsi gelombang tersebut maka nilai
eigennya adalah energi yang besarnya:
E = Ex + Ey + Ez
dengan :
Ex = ; Ey = dan Ez = (1-18)
sehingga:
E =
Jika kotaknya kubus dengan rusuk L:
E = (1-19)
Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (1-19)
harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 = meskipun
eigen function-nya 1-1-2 1-2-1 2-1-1. Keadaan
seperti itulah contoh kasus degenerate. Untuk kasus
degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad
degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang
xi
berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu 1-1-2; 1-2-1 dan
2-1-1. Sudah barang tentu masih tak terhingga banyaknya
kasus degenerate untuk fungsi gelombang partikel dalam
kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1 dan 3-
1-1 dan masih banyak lagi.
Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu
ialah, bahwa jika fungsi-fungsi eigen yang degenerate itu
dikombinasilinearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen
yang baru.
Contoh: Jika fungsi adalah kombinasi linear dari 1-1-
2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan dalam bentuk:
= c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1
(1-20)
Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka
pasti merupakan fungsi eigen yang nilai eigennya sama
dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.
Yang harus diingat adalah bahwa jika adalah
kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1 sehingga dapat
ditulis: = c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (1-
21)
maka bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan
c2 1-3-1 pasti tidak sama.
Relasi (1-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen
penyusunnya degenerate sedang (1-21) bukan degenerasi.
xii
Jika kepada kita ditanyakan berapa energi pada (1-
20) maka jawabnya adalah E = .
2.2.4 Ortogonalisasi
Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang
degenerate, jadi nilai eigennya sama maka menurut
teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal.
Pertanyaannya adalah dapatkah kita membuatnya menjadi
ortogonal? Jawabnya adalah, dapat.
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus
degenerasi (yang fungsi-fungsinya tidak ortogonal),
dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita
mempunyai operator Hermit A dan dua buah fungsi eigen
independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang mempunyai
nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:
A f = s f ; A G = s G
Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti
tidak ortogonal. Agar diperoleh dua fungsi baru yang
ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:
Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang
merupakan kombinasi linear f dan G sehingga membentuk
misalnya:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan
c adalah konstanta.
xiii
Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2
ortogonal. Agar ortogonal harus dipenuhi syarat:
∫g1¿ g2 d = 0
atau:
∫f¿(G + c f ) d = 0
atau :
∫f¿G d + ∫ c f¿ f d = 0 atau:
∫f¿G d + c∫ c f¿ fd = 0
Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus:
c = -
∫f¿G∫f¿f
Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal
yaitu g1 dan g2 yaitu:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan
c = -
∫f¿G∫f¿f
Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi
Schmidt.
xiv
dd
dd
2.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear
Fungsi Eigen
Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi
eigen dari operator Hermit, sekarang akan kita
bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut;
sifat ini mengijinkan kita untuk mengubah bentuk
sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi-
fungsi eigen. Jika kombinasi linear fungsi eigen itu
adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih
singkat kita tulis saja dengan bentuk , maka
ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:
F(x) = (1-22)
dengan : an = (1-23)
Bagaimana mendapat (1-23) di atas ? Marilah kita ikuti
langkah-langkah berikut:
Kedua ruas (1-22) kita kalikan dengan m* sehingga
diperoleh:
m* F(x) = (1-24)
Jika kedua ruas (1-24) diintegralkan maka diperoleh:
xv
∫ m* F(x) dx = dx (1-25)
Telah kita ketahui bahwa :
= m n (1-26)
sehingga (1-25) dapat ditulis:
∫ m* F(x) dx = (1-27)
Ruas kanan (1-27) adalah:
= a1. m 1 + a2 m 2 + ....a m m m
+ a m +1 m (m+1) +...
= a1. 0 + a2 0 + ....a m 1
+ a m +1 . 0 +...
= am
Sehingga (1-27) dapat ditulis:
∫ m* F(x) dx = am atau am = ∫ m
*
F(x) dx (1-28)
Jika indek m pada (1-28) diganti n maka persamaan (1-
23) yang dicari diperoleh yaitu:
an =
xvi
Contoh:
Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x <
a/2
F(x) = 1- x untuk a/2 < x < a
Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel
dalam kotak satu dimensi yang panjang kotaknya = a.
Jawab:
Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi
dengan panjang kotak = a adalah:
n = (1-29)
Jadi bentuk ekspansinya menurut (1-22):
F(x) = = (1-30)
Menurut (1-23) :
an =
=
=
xvii
= +
= (1-31)
Jadi:
a1 = ; a2 = 0 ; a3 = - ; a4 = 0 ;
a5 = ; a6 = 0 dan seterusnya.
Kita masukkan (1-31) ke dalam (1-30), maka:
F(x) =
=
=
=
2.3.1 Pengertian Complete Set
Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat
diekspansi ke dalam bentuk kombinasi linear fungsi
xviii
gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini
himpunan fungsi disebut himpunan lengkap atau Complete
Set. Apakah semua n dapat digunakan untuk mengekspansi
fungsi F? Jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan
fungsi yang merupakan himpunan lengkap saja yang dapat
digunakan untuk mengekspansi fungsi F. Selanjutnya
mengenai himpunan lengkap, dibuat definisi sebagai
berikut:
Himpunan fungsi dapat disebut sebagai Himpunan
Lengkap jika himpunan fungsi tersebut dapat
digunakan untuk mengekspansi sembarang fungsi F
menjadi kombinasi linear dengan mengikuti
persamaan F(x) = dengan an adalah tetapan
sembarang.
Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan
himpunan lengkap adalah himpunan fungsi gelombang
elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari.
Meskipun kita tahu bahwa fungsi gelombang elektron atom
hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun jika
seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,)
maka fungsi tersebut tidak dapat diekspansi menjadi
kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa
hidrogen hanya berhubungan dengan energi diskrit
saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu
xix
ketika elektron dalam proses lepas dari sistem atom
menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n atom hidrogen
bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin
kita mengekspansi F(r,,) menjadi himpunan linear (n,
l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru disebut himpunan
fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi
gelombang yang berkorelasi dengan energi kontinum yang
biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang hidrogen
sudah dinyatakan secara lengkap seperti itu maka fungsi
F(r,,) dapat diekspansi, yaitu menjadi kombinasi linear
fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.
2.3.2 Teorema 3
Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi
eigen dari operator A dan jika fungsi F juga fungsi
eigen dari operator A dengan nilai eigen k (jadi A F =
k F) sedang F diekspansi dalam bentuk F = ∑iaigi , maka gi
yang ai nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga.
Jadi ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-
fungsi eigen yang mempunyai nilai eigen yang sama
dengan nilai eigen F. Selanjutnya sebagai rangkuman
dapat dinyatakan bahwa Fungsi-fungsi eigen dari
operator Hermite, membentuk himpunan lengkap ortonormal
dan nilai eigennya adalah real.
xx
2.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute
Jika fungsi secara simultan adalah fungsi eigen
dari dua buah operator A dan B dengan nilai eigen aj
dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan
pengukuran B menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan
B mempunyai nilai definit jika merupakan fungsi eigen
baik terhadap A maupun B .
Telah dinyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen
terhadap A dan B jika kedua operator tersebut commute
atau:
A i = ai i dan B i = bi i Jika :(1-
32)
[ A , B ] = 0 (1-
33)
Yang harus kita buktikan adalah: [ A , B ] = 0
Kita tahu: [ A , B ] = A B - B A (1-
34)
Jika dioperasikan pada i :
[ A , B ]i = A B i - B A i
= A ( B i ) - B ( A i )
= A bi i - B ai i
xxi
= bi A i - ai B i
= bi ai i - ai bi i
[ A , B ] = bi ai - ai bi = 0 (terbukti)
(1-35)
Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4
yang bunyinya:
Teorema 4: Jika Operator linear A dan B mempunyai
himpunan fungsi eigen yang sama maka A dan B
adalah commute.
Perlu diingat A dan B yang dimaksud oleh teorema
4 hanya A dan B yang masing-masing merupakan operator
linear. Jika A dan B bukan operator linear maka
keduanya bisa tidak commute meskipun seandainya
keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai
contoh (,) yang kita bahas, adalah fungsi eigen dari
operator Lx dan operator Ly tetapi kedua operator
tersebut non commute.
Teorema 5 : Jika operator Hermite A dan B adalah
commute, maka kita dapat memilih himpunan
lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu.
Pembuktiannya adalah sebagai berikut:
xxii
Anggap saja fungsi gi adalah fungsi eigen dari
operator A dengan nilai eigen ai maka kita dapat
menulis:
A gi = ai gi (1-
36)
Jika operator B dioperasikan pada kedua ruas (1-36) di
atas, maka:
B ( A gi ) = B (ai gi ) (1-
37)
Karena A dan B commute dan karena B linear maka:
A ( B gi) = ai ( B gi) (1-
38)
Persamaan (1-38) di atas menyatakan bahwa fungsi B
gi adalah fungsi eigen terhadap operator A dengan nilai
eigen ai, persis sama dengan fungsi gi yang juga fungsi
eigen terhadap operator A dengan nilai eigen ai.
Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa nilai
eigen dari operator A tersebut non degenerate, hingga
untuk sembarang harga nilai eigen ai yang diberikan
berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang
linearly independent. Jika ini benar, maka kedua fungsi
eigen gi dan B gi yang mempunyai nilai eigen sama yaitu
ai harus linearly dependent, yaitu, fungsi yang satu
harus merupakan kelipatan sederhana dari yang lain,
xxiii
B gi = ki gi (1-
39)
dengan ki adalah konstan. Persamaan (1-39) itu
menyatakan bahwa fungsi gi merupakan fungsi eigen dari
operator B sebagaimana yang hendak kita buktikan.
Jadi, jika A dan B commute dan fungsi gi adalah
fungsi eigen terhadap A maka gi juga merupakan fungsi
eigen dari B (Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari
Teorema 4)
Teorema 6: Jika gi dan gj adalah fungsi eigen dari
operator Hermite A dengan nilai eigen berbeda
(misal A gi = ai gi dan A gj = ajgj dengan ai ¿
aj), dan jika B adalah operator linear yang
commute terhadap A , maka:
< gj B gi > = 0 atau ∫s−r
gjB gid = 0 (1-
40)
dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah
sebagai berikut:
Karena A dan B commute, maka fungsi eigen
terhadap A adalah juga fungsi eigen terhadap B , meski
dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen
terhadap B , yang jika nilai eigennya dimisalkan ki
maka:
xxiv
B gi = ki gi (1-
41)
dengan demikian (1-40) boleh ditulis:
∫s−r
gj ki gid =
ki ∫s−r
gj gi = ki . 0 = 0 (terbukti)
2.5 Operator Paritas
Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal
dalam mekanika klasik, contohnya adalah operator
paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam
osilator harmonis, kita mengenal adanya fungsi genap
dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini
dikaitkan dengan operator paritas.
Operator paritas, ∏ ¿ ¿dapat dilihat dari efeknya
apabila ia bekerja pada sembarang fungsi. Operator ini
akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius,
sehingga kita boleh mendefinisikan: ∏ ¿ ¿ f ( x, y,
z ) = f (-x, -y, -z)
Contohnya: ∏ ¿ ¿ ( x2 - 2 x. e-2y + 3 z3 ) = { (-x)2 -2 (-
x). e2y + 3 (-z)3 }
= x2 + 2 x e2y - 3z3
Jika seandainya gi adalah fungsi eigen dari
operator paritas dengan nilai eigen ai maka kita dapat
xxv
menulis:∏ ¿ ¿gi = ai gi (1-
42)
Sifat paling penting dari operator ini adalah
kuadratnya:
∏ ¿2¿ f ( x, y, z ) = ∏ ¿ ¿ ∏ ¿ ¿ f ( x, y, z ) = ∏ ¿ ¿ f (-x, -y,
-z) = f ( x, y, z )
Karena f nya fungsi sembarang maka ∏ ¿2¿ adalah operator
satuan (unit Operator), jadi:
∏ ¿2¿ = 1 (1-
43)
Sekarang, bagaimana jika kita gunakan ∏ ¿2¿ untuk (1-
42) ? Hasilnya adalah:
∏ ¿2¿gi = ∏ ¿ ¿ ∏ ¿ ¿ gi = ∏ ¿ ¿ai gi = ai ∏ ¿ ¿gi = ai
2gi (1-
44)
Karena ∏ ¿ ¿adalah unit operator, maka (1-44) menjadi:
gi = ai2gi (1-
45)
atau: ai =
+ 1 (1-46)
xxvi
Karena ai adalah nilai eigen untuk ∏ ¿2¿, maka nilai
eigen untuk ∏ ¿2¿ adalah 1 dan -1. Perlu dicatat bahwa
hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya
merupakan operator satuan.
Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita
lihat kembali persamaan (1-42)
∏ ¿ ¿gi = ai gi
Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di
atas dapat ditulis:
∏ ¿ ¿gi = + 1 gi (1-
47)
Jika gi adalah g(x, y, z), maka:
∏ ¿ ¿g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (1-
48)
g (-x, -y, -z) = + 1 g(x, y, z ) (1-
49)
Jika nilai eigennya +1, maka:
g (-x, -y, -z) = g(x, y, z ) (1-
50)
jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = -1, maka:
g (-x, -y, -z) = -g(x, y, z ) (1-
51)
xxvii
jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa:
fungsi eigen dari operator
paritas adalah semua fungsi
well behaved yang mungkin baik
genap maupun ganjil.
Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan
operator Hamilton ?
Manakala operator paritas commute dengan operator
Hamilton maka semua fungsi yang eigen terhadap operator
Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita
ambil saja himpunan fungsi i adalah fungsi eigen
terhadap operator H . Kemudian, jika operator paritas
dan Hamilton commute, kita boleh menulis:
[∏ ¿ ¿, H ] = 0 (1-
52)
dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen
bagi operator paritas tidak peduli fungsi tersebut
ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,
[ H , ∏ ¿ ¿] = [ (-ℏ2
2m∂2
∂x2+ V
), ∏ ¿ ¿ ] = [-ℏ2
2m∂2
∂x2 ,∏ ¿ ¿ ] +
[ V, ∏ ¿ ¿ ]
xxviii
= -ℏ2
2m [∂2
∂x2 ,∏ ¿ ¿ ] + [ V, Π¿
] (1-
53)
Harga [∂2
∂x2 ,∏ ¿ ¿ ] adalah 0, ini dengan mudah dapat
dibuktikan sebagai berikut:
[∂2
∂x2 ,∏ ¿ ¿ ] F(x) = ∂2
∂x2 ∏ ¿ ¿F(x) - ∏ ¿ ¿∂2
∂x2 F(x)
= ∂2
∂x2 F(-x) - ∂
∂ (−x )∂
∂ (−x )
F(-x)
= ∂2
∂x2 F(x) - ∂2
∂x2 F(-x) =0
Dengan demikian (1-53) dapat ditulis:
[ H , ∏ ¿ ¿] = [ V, ∏ ¿ ¿ ] (1-
54)
Sekarang kita evaluasi ruas kanan (1-54):
[ V(x), ∏ ¿ ¿ ] F(x) = V(x) ∏ ¿ ¿F(x) - ∏ ¿ ¿ V(x) F(x)
= V(x) F(-x) - V(-x) F(-
x) (1-55)
xxix
Nilai (1-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial.
Jika fungsi energi potensial adalah fungsi genap, maka
V(x) = V(-x), maka (1-55) menjadi:
[ V(x), ∏ ¿ ¿ ] = 0 sehingga (1-54) menjadi:
[ H , ∏ ¿ ¿] = 0 (1-
56)
Ini berarti:
Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka H
dan ∏ ¿ ¿ adalah commute, sehingga kita dapat
memilih sembarang fungsi gelombang stasioner
baik genap maupun ganjil sebagai fungsi eigen
dari kedua operator tersebut.
Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi
eigen bagi kedua operator Hamilton dan paritas itu
disebut fungsi definit paritas.
Jika semua energi levelnya adalah nondegenerate
(umumnya memang benar untuk sistem partikel tunggal)
berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang
berhubungan dengan masing-masing energi level. Jadi
untuk kasus nondegenerate, maka fungsi gelombang
stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap
adalah definit paritas. Sebagai contoh fungsi gelombang
osilator harmonis adalah definit paritas karena fungsi
xxx
energi potensialnya ½ kx2 (fungsi energi potensial
genap).
Jika energi level degenerate, berarti tidak cuma
satu fungsi gelombang independen yang memiliki nilai
eigen tersebut. Dengan demikian kita memiliki banyak
sekali pilihan fungsi gelombang sebagai akibat dari
kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.
2.6 Pengukuran dan Keadaan Superposisi
Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu
cara untuk menghitung probabilitas dari berbagai
kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita
mempunyai fungsi (x,t) maka probabilitas hasil
pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x
dan x + dx dinyatakan oleh (x,t)2 dx
Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran
properti secara umum, misal besaran A. Untuk ini yang
dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan untuk
menghitung probabilitas masing-masing hasil pengukuran
A yang mungkin. Kita akan mengupas informasi apa saja
yang dikandung oleh yang merupakan jantungnya
mekanika kuantum. Subyek pembahasan kita adalah sistem
n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari
koordinat 3n. Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai
xxxi
eigen ai dari operator  lah yang merupakan kemungkinan
hasil pengukuran besaran A.
Dengan menggunakan gi sebagai fungsi eigen dari Â,
maka kita boleh menulis:
 gi(q) = ai gi(q) (1-
57)
Telah kita postulatkan pada sub bab 1.3 bahwa fungsi
eigen dari sembarang operator Hermite yang mewakili
besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap.
Karena gi adalah himpunan lengkap kita dapat
mengekspansi fungsi dalam suatu deret yang suku-
sukunya adalah gi jadi:
(q,t) = ∑icigi(q) (1-
58a)
Agar dapat menggambarkan bahwa adalah fungsi waktu,
maka koefisien ci harus merupakan fungsi waktu sehingga
(1-58a) lebih baik ditulis:
(q,t) = ∑ici
(t )gi(q) (1-
58b)
Karena 2 adalah rapat peluang (probability density)
maka:
∫* d = 1 (1-
59)
xxxii
Substitusi (1-58a) ke dalam (1-59) menghasilkan:
∫∑ici(t )
¿ gi¿ ∑
ici(t)
gid =
∫∑ici(t )
¿ gi¿ ∑
jcj(t)
gjd = 1 (1-
60)
Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:
∑j∑icj(t)
¿ ci(t) ∫gj¿ gi(q) d = 1 (1-
61)
Jika i = j, maka:
∑j∑icj(t)
¿ ci(t)= 1 atau:
∑j∑icj(t)
¿ ci(t)= 1 (1-
62)
Kita akan menguji signifikansi (1-62) secara singkat:
Ingat bahwa jika fungsi ternormalisasi, maka nilai
rata besaran A adalah:
< A > = ∫ * Â d
Dengan menggunakan (1-58), maka:
< A > = ∫∑
j∑icj(t)
¿ gj¿
 ci(t)gi(q ) d =
∑j∑icj(t)
¿ ci(t) ∫gj
¿ Agi d
atau:
xxxiii
< A > = ∑j∑icj(t)
¿ ci(t) ∫gj¿ aigi d =
∑j∑icj(t)
¿ ci(t)ai
∫gj¿ gi d
< A > = ∑j∑icj(t)
¿ ci(t)ai (1-
63)
Bagaimana menginterpretasi (1-63) ? Perlu diketahui,
bahwa nilai eigen suatu operator adalah kemungkinan
dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita
melakukan pengukuran terhadap besaran yang diwakili
oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran
terhadap besaran A, kita akan memperoleh salah satu
harga ai. Kemudian marilah kita ingat kembali teori
mengenai rata-rata yang kita pelajari dalam matematika.
Jika kita mempunyai n buah data X dengan rincian X1
sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-
rata X adalah :
< X > = n1X1+ n2X2...........niXi.
n = n1n X1 +
n1n X1 .....
nin Xi
= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:
< X > = ∑iPi Xi (1-
64)
xxxiv
Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A
diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka rata-rata
A adalah:
< A > = ∑iPi ai (1-
65)
dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai ai pada
pengukuran besaran A. Jika hanya ada sebuah fungsi
eigen independen untuk setiap nilai eigen
(nondegenerate) maka banyaknya eigen fungsi sama dengan
banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan membandingkan
(1-65) terhadap (1-63) maka dapat dipastikan bahwa
ci2 = Pi (1-
66)
yaitu probabilitas memperoleh harga ai ketika dilakukan
pengukuran terhadap besaran A.
Teorema 8: Jika ai adalah nilai eigen non degenerate
dari operator  dan gi adalah fungsi eigen
ternormalisasi (Â gi = ai gi) maka, manakala
besaran A diukur dalam sistem mekanika kuantum
yang fungsi statenya pada waktu diadakan
pengukuran adalah , probabilitas mendapatkan
hasil ai adalah ci2, dengan ci adalah
koefisien gi pada ekspansi = i ci gi. Jika
nilai eigen ai degenerate, probabilitas
xxxv
mendapatkan ai pada saat A diukur adalah
jumlah dari ci2 fungsi-fungsi eigen yang nilai
eigennya ai.
Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi
secara tepat? Kita dapat melakukan itu jika semua
koefisien pada ekspansi =icigi adalah nol kecuali
satu koefisien saja yaitu misalnya ck. Untuk kasus ini
maka (1-66) menjadi ck2 = Pk = 1. Artinya peluang
untuk mendapatkan nilai eigen seharga ak = 1, artinya,
nilai eigennya pasti ak.
Selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret
=icigi sebagai ekspresi bentuk umum fungsi yang
merupakan superposisi dari fungsi eigen gi dari
operator Â. Masing-masing fungsi eigen gi berhubungan
dengan nilai eigen ai milik besaran A.
Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci
sehingga pada akhirnya kita dapat menghitung ci2 ?
Caranya kita kalikan = i ci gi dengan g*j kemudian
integralkan ke seluruh ruang, sehingga diperoleh:
∫ g*j d = g∫ *
j i ci gi d = i ci g∫ *j gi.d =
cii g∫ *j gid
Jika ortonormal:
∫g*j d = ci
atau:
xxxvi
ci = ∫ . g*j d = g*
j > (1-
67)
Kuantitas < g*j > disebut amplitudo probabilitas.
Selanjutnya probabilitas mendapatkan nilai eigen non
degenerate ai pada pengukuran A adalah [lihat (1-66)]:
Pi = ci2 = ∫ . g*j d2 =< g*
j >2 (1-
68)
Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana
ditentukan oleh fungsi maka kita dapat menggunakan
(1-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai
kemungkinan hasil pengukuran besaran A.
Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika
kuantum yang fungsi statenya pada saat
pengukuran adalah , maka probabilitas dari
pengamatan nilai eigen aj dari operator Â
adalah <gj >2, dengan gj adalah fungsi eigen
ternormalisasi yang mempunyai nilai eigen aj.
Integral <gj > = ∫ g*j d akan mempunyai nilai
absolut substansial jika fungsi ternormalisasi gj dan
berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan
demikian harganya di daerah tertentu dalam ruangan
hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa terjadi gj
terlalu besar sedang terlalu kecil (atau sebaliknya)
sehingga hasil kali gj.selalu terlalu kecil.
xxxvii
Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil
sehingga probabilitas untuk mendapatkan nilai eigen ai
juga sangat kecil.
Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom
hidrogen yang fungsinya pada saat diadakan
pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil
pengukuran yang mungkin dan tentukan pula
probabilitas masing-masing hasil pengukuran.
Jawab:
a. 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(-1).
Jadi harga Lz yang mungkin adalah ℏ dan - ℏ karena
Lz adalah m ℏ .
b. Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita
ekspansi 2px atas fungsi-fungsi penyusunnya: 2px =
2-1/2 2p(+1) + 2-1/2 2p(-1).
Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas
2p(+1) dan 2p(-1) dengan koefisien c1 = c2 = 2-1/2.
Menurut teorema 8, probabilitasnya adalah: P1 = 2-
1/22 = ½ = P2. P1 adalah probabilitas mendapatkan Lz =ℏ sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan Lz = - ℏ
Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E)
bagi partikel dalam box yang panjangnya a dan
pada saat pengukuran dilakukan partikel berada
pada keadaan non stasioner = 301/2a-5/2x (a-x)
untuk 0 < x <
xxxviii
a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang mungkin dan
tentukan pula probabilitas masing-masing hasil
pengukuran
Jawab: Untuk partikel dalam box:
E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non
degenerate (karena 1 dimensi) sedang fungsi eigennya
adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung
probabilitasnya maka kita ekspansi saat itu atas n,
jadi:
= n cn n
Menurut (1-67) : ci = ∫ . g*j d
jadi: cn =
∫ . n d = 301/2a-5/2 (2/a)1/2 {x (a-x)}sin (n∫ /a) x
dx
= 2401 /2
n3π3 [ 1 - (-1)n ]
(Buktikan) (1-
69)
Pn = cn2 = 240n6π6 [ 1 - (-1)n ]2.
Catatan: Jika anda akan membuktikan (1-69) yang perlu
dicatat adalah bahwa cos n = (-1)n
xxxix
2.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum
Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari
mekanika kuantum, kita telah mengenal postulat-postulat
mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:
Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi
yang merupakan fungsi koordinat dan waktu.
Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi
gelombang yang memuat semua informasi mengenai
sistem. Selanjutnya juga dipostulatkan bahwa
harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi
dan quadratically integrable.
Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan
dengan operator Hermite linear. Untuk menurunkan
operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika
klasik dalam koordinat Cartessius, dan
hubungkanlah dengan komponen momentum linearnya,
kemudian gantilah setiap koordinat x dengan x¿
dan
setiap komponen px dengan −iℏ ∂
∂x
Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh
dari besaran fisik A hanyalah nilai eigen ai dalam
persamaan  gi = ai gi dengan  adalah operator
yang berhubungan besaran fisik A dan gi adalah
xl
fungsi eigen yang well behaved.
Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang
mewakili besaran fisik teramati tertentu, maka
fungsi gi dari operator  membentuk himpunan
lengkap.
Catatan:
Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai
postulat matematik artinya kurang bersifat postulat
fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama
sekali terhadap postulat ini. Karena tidak ada
pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan,
maka kita harus berasumsi terhadap kelengkapannya.
Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi
gelombang untuk sembarang keadaan sebagai superposisi
dari fungsi-fungsi eigen ortonormal dari sembarang
operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam
bentuk:
= i ci gi (1-
70)
Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang
mewakili suatu sistem pada saat t, maka nilai
rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:
xli
< A > = ∫* d
(1-71)
Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem
mekanika kuantum dinyatakan dengan menggunakan
persamaan Schrodinger bergantung waktu:
−ℏi
∂Ψ∂t = H (1-
72)
dengan H adalah operator Hamilton (Energi) sistem
itu
2.8 Pengukuran dan Interpretasi Mekanika Kuantum
Dalam mekanika kuantum perubahan suatu sistem
terjadi melalui dua macam cara. Yang pertama perubahan
yang terjadi secara berangsur-angsur dari waktu ke
waktu (reversibel). Perubahan jenis ini ditunjukkan
oleh persamaan Schrodinger bergantung waktu (1-72).
Cara kedua adalah perubahan yang terjadi secara spontan
(irreversibel), diskontinyu (tidak terus menerus) dan
probabilitas kejadiannya sangat fluktuatif dan
ditentukan oleh sistem itu sendiri. Jenis perubahan
spontan ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena
hasil pengukurannya juga tidak dapat diprediksi secara
pasti; hanya probabilitas kejadiannya saja yang dapat
xlii
diprediksi. Perubahan spontan dalam disebabkan oleh
pengukuran yang disebut reduksi fungsi gelombang.
Pengukuran terhadap besaran A yang menghasilkan ak
berakibat mengubah fungsi menjadi gk yaitu fungsi eigen
operator  yang nilai eigennya ak. Untuk lebih jelasnya
adalah sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali
pengukuran terhadap Lz elektron dalam atom hidrogen.
Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2 ℏ . Pada saat
ini fungsi gelombangnya tentu fungsi gelombang dengan m
= 2, sehingga secara umum fungsi gelombangnya adalah
( n, ℓ , 2) dengan ℓ > 2 dan n > ℓ +1. Selanjutnya misal
pada pengukuran kedua diperoleh Lz = - ℏ . Pada
pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal
dari fungsi gelombang hidrogen yang m = -1, sehingga
fungsi gelombangnya adalah (n, ℓ ,-1) dengan ℓ > 1 dan n >ℓ +1. Jadi tampak adanya perubahan fungsi gelombang
secara mendadak akibat adalah pengulangan pengukuran.
Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian
mengenai pengukuran adalah bahwa dalam mekanika
kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat
kontroversial. Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi
dalam kaitannya dengan reduksi pada saat terjadi
pengukuran sungguh sesuatu yang sangat tidak jelas. Ada
fisikawan yang berpendapat reduksi merupakan postulat
tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain
menyatakan bahwa reduksi merupakan teorema yang
xliii
diturunkan dari postulat lain. Para ahli saling berbeda
pendapat mengenai reduksi ini (L.E Balentine, 2004).
Balentine mendukung interpretasi ansemble statistika
pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh Einstein,
yang menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak
mendeskripsi keadaan sistem tunggal (sebagaimana dalam
interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi
statistikal terhadap sekelompok sistem (dalam jumlah
besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini maka
silang pendapat mengenai reduksi fungsi gelombang tidak
terjadi.
"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk
mendapatkan teori mekanika kuantum yang berhubungan
dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang
belum ada penyelesaiannya. Adanya perbedaan
pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran kuantum...
dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya
ketaksepahaman dalam menginterpretasi mekanika kuantum
secara global" (M. Jammer, 2003)
Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah
membuat para fisikawan bingung, termasuk di antaranya
Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai
mereka menyatakan bahwa mekanika kuantum belum
memberikan deskripsi yang memuaskan bagi realitas fisik.
Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum,
secara sederhana dapat dipandang sebagai refleksi dari
xliv
hukum deterministik yang beroperasi pada level sub
mekanika kuantum dan yang melibatkan variabel
tersembunyi (hidden variables). Sebuah analogi bagi kasus
ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak
Brown partikel debu di udara. Partikel-partikel
bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga
posisi dan geraknya tidak dapat ditentukan secara pasti
oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis pula,
gerak elektron dapat ditentukan oleh variabel
tersembunyi yang ada dalam level sub mekanika kuantum.
Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi
Copenhagen) yang dikembangkan oleh Heissenberg dan
Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan
menyatakan bahwa hukum mekanika kuantum memberikan
deskripsi lengkap bagi realitas fisik.
Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam
eksperimen tertentu yang melibatkan dua partikel yang
terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah
yang sama dalam ruangan, orang harus membuat beberapa
kemungkinan teori variabel tersembunyi untuk
memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh
mekanika kuantum. Dalam teori lokal, dua partikel yang
sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa
eksperimen sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan
hal ini memperkuat keyakinan mekanika kuantum untuk
melawan teori variabel tersembunyi lokal.
xlv
Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan
kawan-kawan menunjukkan bahwa hasil eksperimen ini
beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah
tidak kompatibel dengan pandangan dunia mengenai
realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut
obyektivitas) adalah doktrin yang menyatakan bahwa
realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat definitnya
adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang
kita amati. Sedang lokalitas adalah ke-instan-an aksi
pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh
terhadap yang lain ketika sistem itu harus melintas
dengan kecepatan yang tidak melebihi kecepatan cahaya.
Teori kuantum memprediksi dan eksperimen
mengkorfirmasi bahwa manakala pengukuran dilakukan pada
dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan
kemudian dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka
hasil pengukuran terhadap partikel yang satu
dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga
dipengaruhi oleh sifat kedua partikel yang diukur. Hal
ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum
adalah magic (D. Greenberger, 2004).
Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika
kuantum tidak arguabel, trtapi ternyata interpretasi
konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang
hangat dan menarik bagi para ahli, bahkan sampai saat
ini.
xlvi
2.9 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi
Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator
momentum linear dan momentum angular. Pertanyaan kita
sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator
posisi ?
Operator posisi ditulis x yang operasinya adalah x
kali atau
x = x.
Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai
eigennya a, maka:
x g(x) = a g(x) atau:
x g(x) = a g(x) atau (1-
73)
(x - a) g(x) = 0 (1-
74)
Dari (1-87) dapat disimpulkan bahwa :
untuk x = a g(x) ¿ 0 (1-
75)
untuk x ¿ a g(x) = 0 (1-
76)
Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran
mengenai sifat g(x), yaitu bahwa seandainya fungsi state
= g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka
xlvii
1/21
H(x)
x
kemungkinan hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika
probabilitas nya 2 adalah nol untuk x ¿ a agar
memenuhi (1-89). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi Heaviside step H(x)
yang definisinya (gambar 1-1)
Gambar 1.1: Fungsi Heaviside step
Dari gambar itu tampak bahwa:
H(x) = 1 untuk x > 0
H(x) = ½ untuk x = 0 (1-
77)
H(x) = 0 untuk x < 0
Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x)yang merupakan turunan dari fungsi Heaviside step.
(x) = d H(x) / dx (1-
78)
Dari (1-90) dan (1-91) diperoleh:
xlviii
(x) = 0 untuk x ¿ 0 (1-
79)
Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga
H(x), maka turunan tak terhingga, jadi:
(x) = ~ untuk x = 0 (1-
80)
Sekarang kita perhatikan (1-90). Jika x diganti x - a,
maka (1-90) akan menjadi lebih umum, yaitu dalam
bentuk:
H(x - a) = 1 untuk (x – a) > 0
H(x - a) = ½ untuk (x - a) = 0 (1-
81)
H(x - a) = 0 untuk (x – a )< 0
atau:
H(x - a) = 1 untuk x > a
H(x - a) = ½ untuk x = a (1-
82)
H(x - a) = 0 untuk x < a
Dengan demikian maka:
(x-a) = 0 untuk x ¿ a ; (x-a) = ~
untuk x = a (1-
83)
xlix
Sekarang perhatikan integral berikut:
∫−~
~
f(x) (x-a) dx
Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode
parsial U dV = UV - V dU dengan U =∫ ∫ f(x) sedang dV =
(x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx, maka V = H(x-a)
Jadi:
∫−~
~
f(x) (x-a) dx = [f(x) H(x-a) ]
−~~
- ∫
−~
~
H(x-a) f '(x) dx
∫−~
~
f(x) (x-a) dx = f (~) -∫
−~
~
H(x-a) f '(x) dx (1-
84)
Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (1-84) menjadi:
∫−~
~
f(x) (x-a) dx = f (~) -∫a
~
H(x-a) f '(x) dx (1-
85)
Suku ∫a
~
H(x-a) f '(x) dx pada (1-84) adalah V dU jadi (1-∫
84) menjadi:
∫−~
~
f(x) (x-a) dx = f(a) (1-
86)
l
Jika kita bandingkan (1-86) dengan persamaan j Cj ij =
Ci kita dapat melihat bahwa peran fungsi delta Dirac
dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam
jumlah atau sigma.
Jadi dapat dipastikan:
∫−~
~
(x-a) dx = 1 (1-
87)
Sifat dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (1-75)
dan (1-76), dari fungsi eigen posisi g(x). Dengan
demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi
eigen posisi adalah:
g(x) = (x-a) (1-
88)
li
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Operator adalah suatu instruksi matematis yang
bila dikenakan atau dioperasikan pada suatu
fungsi maka akan mengubah fungsi tersebut
menjadi fungsi lain.
2. Sifat pertama operator Hermit adalah bahwa
nilai-nilai operator itu adalah real.
3. Sifat kedua dari operator Hermit adalah bahwa
fungsi-fungsi eigennya adalah orthogonal.
4. Terdapat 9 teorema yang berhubungan dengan
operator Hermit.
lii
5. Jika operator berbentuk matriks, maka perkalian
dengan fungsi akan mengikuti cara-cara dalam
teori matriks.
6. Dalam mekanika kuantum, terdapat 6 postulat.
7. Postulat IV mekanika kuantum lebih bersifat
sebagai postulat matematik artinya kurang
bersifat postulat fisik, karena tidak ada
pembuktian matematik sama sekali terhadap
postulat ini. Karena tidak ada pembuktian
matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka
kita harus berasumsi terhadap kelengkapannya.
3.2 Saran
Kami berharap setelah pembahasan makalah ini akan
ada perbaikan atau saran- saran yang berdampak positif
untuk perkembangan pengetahuan setiap pemabaca untuk
topik bahasan tentang operator-operator dalam mekanika
kuantum dan fungsi eigen.
liii
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2014.http://kimia.unnes.ac.id/v4/wp/Bab-1-Teorema-
Mekanika-Kuantum-FIN.doc
Anonim. 2014.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/mgmp-fisika-
bantul.pdf
Sumardi,Yos. 2000. Pengantar Fisika Kuantum.Jakarta:
Universitas Terbuka
liv