Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 1 Operasi Militer Indonesia 1959-1965 Periode Demokrasi Terpimpin Mata Kuliah Strategi Pertahanan Indonesia Pendahuluan: Operasi Militer Indonesia 1959-1965 Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini, penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia. Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan: (a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia. Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia. Definisi dan Konsepsi Operasi Militer Operasi militer adalah tindakan militer terkordinasi dari sbeuah negara yang merupakan respon/tanggapan terhadap sebuah perkembangan situasi. Tindakan ini dirancang sebagai sebuah rencana militer untuk mengatasi situasi di lapangan sesuai dengan aspirasi
13
Embed
Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin
Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini, penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia. Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan: (a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia. Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
1
Operasi Militer Indonesia 1959-1965
Periode Demokrasi Terpimpin
Mata Kuliah Strategi Pertahanan Indonesia
Pendahuluan: Operasi Militer Indonesia 1959-1965
Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat
secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi
ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi
oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada
periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan
sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini,
penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap
antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia.
Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan:
(a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin
militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia.
Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi
pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua
operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya
secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk
operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya
masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia.
Definisi dan Konsepsi Operasi Militer
Operasi militer adalah tindakan militer terkordinasi dari sbeuah negara yang
merupakan respon/tanggapan terhadap sebuah perkembangan situasi. Tindakan ini dirancang
sebagai sebuah rencana militer untuk mengatasi situasi di lapangan sesuai dengan aspirasi
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
2
negara.1 Operasi militer dapat berwujud kombat atau dalam bentukan non-kombat, dan
operasi militer dapat dinamakan sesuai dengan kode istilah demi menjamin keamanan dan
efektivitras operasi militer terkait. Operasi militer dalam hal ini dapat didefinisikan melalui
lingkup, skala kekuatan pasukan dan format penggelaran pasukan militer terkait dengan
tujuan spesifik yang ingin diraih oleh sebuah negara2:
Teater (Theatre): operasi ini merupakan sebuah upaya kontestasi pada area dan skala
besar, biasanya dalam skala benua dimana terlihat sekali adanya komitmen nasional
strategis, seperti operasi Barbarossa. Operasi militer tipe ini biasanya melinkupi juga
konsiderasi non-militer seperti efek ekonomis dan politis dari sebuah operasi.
Kampanye (Campaign): operasi ini merupakan bagian dari sebuah operasi teater,
dengan sebuah komitmen grografis dan operasional strategis yang terbatas seperti
pertempuran Inggris dimana terkadang totalitas komitmen nasional sebuah negara
terhadap konflik tersebut tidak terlalu dibutuhkan.Mirip dengan operasi pada lingkup
teater, operasi jenis kampanye juga dapat didasari konsiderasi dominan non-militer.
Pertempuran operasional: Jenis pertempuran seperti ini memiliki tujuan militer
spesifik dan merupakan sebuah bagian lebih kecil dari operasi militer berjenis
kampanye (campaign), seperti dicontohkan dalam pertempuran Gallipolli,
yangmerupakan kombinasi-kombinasi operasi angkatan bersenjata yang melibatkan
kurang lebih 480.000 pasukan sekutu. Konsiderasi militer menjadi faktor dominan.
Pelibatan (Engagement): operasi ini merupakan bagian terkecil yang biasanya
mendeskripsikan kontestasi taktikal untuk menguasai area spesifik atau tujuan militer
spesifik oleh unit-unit yang terlihat perbedaan jelasnya (distinct spesification of units).
Operasi jenis ini dicontohkan dengan the Battle of Kursk, dimana konsiderasi teknikan
militer menjadi corak utama operasi ini.
Doktrin dan Strategi Pertahanan Indonesia 1959-1965
Doktrin Pertahanan Indonesia 1959-1965
Di periode 1959-1965, terjadi konsistensi penggunaan doktrin pertahanan rakyat seperti
yang digunakan di periode sebelumnya. Doktrin yang mengikutsertakan seluruh rakyat dalam
1 http://www.dtic.mil/doctrine/jel/doddict/data/f/02222.html diakses pada 13/10/09 p.k. 15.30 WIB
2 http://www.globalsecurity.org/military/agency/navy/group.htm diakses pada 15/10/09 p.k. 00.30 WIB
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
7
yang dapat mengancam Indonesia di kemudian hari‟. Konflik ini sebetulnya bermula dari
ketidaksukaan Indonesia terhadap tindakan Malaysia yang dianggap melanggar perjanjian
kesepakatan dengan Indonesia perihal masa depan wilayah kekuasaanya dimana Mayasia
tidak menunggu hasi referendum para penduduk di daerah kalimantan sebelum
memasukannya menjdai bagian dari negara federasi Malaysia.12
Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, mendeklarasikan
bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia, dan bersiap memasuk
fase konflik bersenjata. Pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di
Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora)13
yang isinya:
(a) Tingkatkan ketahanan revolusi Indonesia
(b) Membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah,
untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia".
Operasionalisasi perang yang dilakukan oleh Indonesia berdasarkan pada dua macam strategi:
(a)penggunaan strategi perang gerilya dengan memanfaatkan mobilisasi masyarakat sebagai
pasukan ‟tidak resmi‟; dan (b)penggunaan pasukan resmi, dalam proyeksi perang untuk
merebut beberapa obyek vital-strategis, terutama untuk meraih center of gravity dari konflik
antara dua negara ini.
Pertama, penggunaan pasukan tidak resmi dalam konflik strategi gerilya. Sebelum
dibentuknya Komando Siaga (Koga) ataupun Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang
memungkinkan dimobilisasinya prajurit utama TNI secara optimal, pemerintah Indonesia
telah mengupayakan mobilisasi relawan dari masyarakat Indonesia yang simpatik dengan
casus belli yang ditodongkan Indonesia kepada Malaysia; dimana tersebut dianggap proyek
neo-kolonialisme lama yang akan mengancam Indonesia sebagai ’The New Emerging Force‟
di masa yang akan datang. Para relawan ini akan dibekali dengan pelatihan secukupnya untuk
selanjutnya disusupkan dalam belantara hutan Kalimantan dengan misi melakukan sabotase,
perlawanan gerilya dan mengganggu jalannya komunikasi dan suplai pasukan pro-Malaysia.
Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (bukan merupakan bagian dari ketentaraan resmi)
mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan
penyerangan dan upaya sabotase. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu
DiRaja bentrok dengan lima puluh gerilyawan Indonesia dan menyebabkan korban jatuh
12
David Easter, Keep the Indonesian pot boiling: western covert intervention in Indonesia, October 1965–March 1966, dalam jurnal Cold War History, Vol 5, No 1, February 2005. 13
G, Poulgrain, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945–1965, (London: C. Hurst &
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
8
secara signifikan di dua belah pihak. Pada ujungnya sepanjang perbatasan di Kalimantan
menjadi ajang peperangan perbatasan dimana pasukan ‟tak resminya‟ atau amatir Indonesia
dengan dukungan terbatas dari prajurit profesional kesatuan militer Indonesia terus mencoba
menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil yang memuaskan dimana hal ini berujung
pada terciptanya ’stalemate’.14
Dalam hal ini kita dapat melihat kuatnya pengaruh doktrin perjuangan semesta, yang
dalam hal ini dapat disebut juga ‟perang rakyat‟ dalam penggelaran operasi militer fase awal
terhadap Malaysia. Indonesia dalam hal ini tidak membatasi penggelaran konfliknya hanya
dengan menggunakan tentara resmi yang melakukan serangan langsung (direct attact) untuk
merangsek masuk ke dalam wilayah Malaysia. Indonesia dalam hal ini berupaya menciptakan
sebuah operasi militer yang berbasiskan perang gerilya, yang mengandalkan pasukan
penyusup ini untuk melakukan kontestasi tidak langsung (indirect approach) dalam
menghadapi pasukan pertahanan yang kemungkinan besar lebih kuat dari korps pasukan
sukarelawan. Memang terkait dengan konsepsi Arreguin-Toft terkait dalam interaksi strategi
militer, penggunaan strategi ‟indirect approach‟ dalam menghadapi peperangan yang tidak
seimbang (assymetric warfare) merupakan pilihan paling logis dan membnerikan leverage
point lebih tinggi bagi pasukan weak actor. Namun kenyataannya pasukan Indonesia pada
fase awal yang seharusnya mampu menimbulkan kebingungan dan ketakutan pada fase awal
nampaknya kurang berhasil (kalau tidak ingin disebut gagal) dalam menjalankan misinya.
Korban jiwa yang jatuh dari pihak Indonesia lebih besar dimana diperkirakan 590 orang
meninggal, 222 terluka dan 771 ditangkap dan dijadikan prisoner of war.15
Saya melihat salah satu dari faktor tidak berhasilnya Indonesia adalah environment of
war hutan Borneo yang sejatinya menyulitkan para pasukan relawan Indonesia. Pada titik ini,
kita harus mengingat kembali bahwa salah satu alasan yang dikemukakan Arreguin-Toft
ketika membahas mengenai keunggulan pasukan ’weak actor’ adalah keberadaan lingkungan
strategis perang yang menguntungkan bagi pasukan yang jumlahnya lebih kecil dan mampu
bergeraks ecara lebih cepat dan efisien.16
Dalam hal ini environment of war Malaysia
mungkin sebetulnya menguntungkan bagi pasukan gerilya relawan dari Indonesia, namun
mereka tidak dapat memanfaatkan keunggulan alam tersebut secara optimal karena
kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi alam sekitar, alam seperti dijelaskan oleh sang
maestro strategi perang Cina, Sun Tzu, hanya akan memberikan keuntungan bagi mereka
14
Chris Tuck, Borneo 1963–66: Counter-insurgency Operations and War Termination, Small Wars and
Insurgencies, dalam The military journal Vol 15, No 3, Winter 2004. 15
Michael Carver, Conventional Warfare in the Nuclear Age, dalam Peter Paret (ed), ‘The Makers of Modern Strategy: from Machiavelli to Nuclear Age, (Princeton: Princeton University Press, 1986) hal: 806
- 808 16
Arreguin-Toft
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
9
yang mengenal, mengerti dan mampu menafsirkan kondisi alam tempat peperangan
berlansung.17
Hal ini diperparah dengan kondisi prajurit gerilya relawan Indonesia yang tidak
dibekali secara cukup dan profesional, baik dari segi logistik dan intelijensi dan juga dari segi
pelatihan teknis dan cara-cara bertahan di hutan rimba. Pasukan amatir yang terdiri dari para
relawan Indonesia ini harus menghadapi pasukan elit Inggris, the Gurkhas, RAF, dan
beberapa elemen pasukan common wealth yang diatas kertas jauh lebih unggul, baik secara
teknologi dan persenjataan juga secara kualitas per individu kesatuan tentara pasukan Inggris
yang sudah mengalami banyak pengalaman berperang di Hutan akibat keterlibatannya di
konflik Burma dan pemberantasan insurgen komunis Malaysia sebelumnya. Hal inilah yang
menjadi kegagalan mengapa Indonesia tidak mampu menuntaskan misi operasi militer bagian
satunya secara optimal. Inggris dan sekutunya berbeda dengan Belanda, mereka mampu
memberikan perlawanan yang tangguh.18
Dan poin yang juga penting untuk dicatat, adalah, keberdaan brutalisme, terlihat pada
perang the long Jawi, dimana peristiwa itu merupakan pertama kalinya inkursi dilakukan oleh
divisi ketiga pasukan Indonesia, terjadi aksi tidak simpatik yang dilakukan oleh pasukan
Indonesia telah kehilangan rasa percaya dan simpati dari masyarakat lokal ketika melihat
brutalisme yang dilakukan pasukan Indonesia terhadap 7 orang border scout (polisi
perbatasan) yang disiksa guna kepentingan intelligence gathering. Hal ini sejatinya merusak
imej Indonesia, dan karena itulah pasukan Indonesia tidak dapat mengaplikasikan strategi
’win heart and mind’ masyarakat lokal.19
Hilangnya dukungan dari masyarakat lokal ini
berpengaruh kepada tidak didukungnya perjuangan pasukan Gerilya Indonesia yang smekain
mempersulit ruang gerak pasukan tersebut.
Kedua, mengenai penggunaan pasukan regular untuk merebut objek-objek vital
dan strategis. Pengerahan dan mobilisasi pasukan militer Indonesia dilakukan dengan
bertahap menunggu terkumpulnya kekuatan yang dianggap cukup dalam upaya merebut
target-target utama di wilayah Kalimantan milik Malaysia. Dalam hal ini, pasukan reguler
ikut mendampingi pasukan gerilyawan dalam proses infiltrasi dan ketika berkali-kali
mencoba melakukan aksi sabotase dan mengganggu jalur komunikasi dan logistik pasukan
gabungan pro-Malaysia. Namun dalam beberapa operasi lainnya pasukan reguler berada
terpisah dari pasukan relawan dalam operasi-operasi khusus yang dalam hal ini merupakan
proyeksi dari kontestasi strategis secara langsung (indirect approach). Pasukan utama
Indonesia pun tidak suskes merebut target-target vital seperti yang telah direncanakan karena
17
Sun Tzu, The Art of War, 18
Tom Pocock, Fighting General – The Public & Private Campaigns of General Sir Walter Walker, (London: Collins, 1973) hal. 233 19
„The Scourge of Sukarno‟ diambil dari http://www.historicaleye.com/sukarno.html diakses pada
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
10
aplikasi strategi Dwikora yang mirip dengan aplikasi strategi Trikora tidak lagi relevan
karena Indonesia tidak dapat menandingi ketangguhan pasukan aliansi yang terdiri dari
gabungan empat negara common wealth baik dari segi keunggulan kuantitas maupun
keunggulan keahlian.
Kesiapan Indonesia dalam mengkonsolidasi dan menggelar kekuatan tentara regulernya
terlihat sejak dibentuknya Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan
perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora) dibentuk bulan Mei 1964. Komando ini
kemudian berubah nama menjadi menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga
dipimpin oleh Laksamana Madya Udara Omar Dani sebagai Panglima Kolaga. Kolaga sendiri
terdiri dari tiga Komando yang terhubung secqara integral, yaitu Komando Tempur Satu
(Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD yang siap
digelar, termasuk tiga Batalyon pasukan penerjun dan satu batalyon pasukan KKO yang
merupakan elemen angkatan laut. Komando satu ini ditugasi untuk melaksanakan misi
dengan sasaran operasinya berada di kawasan Semenanjung Malaya dipimpin oleh Brigjen
Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di
Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO,
AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II.
Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga
KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau
dan Kalimantan Timur.20
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya untuk
melakukan serangan langsung demi merebut objek vital-strategis Malaysia. Pada 28 Juni,
mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan
berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed
Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang
melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus
dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah
menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68
Hari" oleh warga Malaysia.21
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas
Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia
mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit
20
Gelora Konfrontasi Mengganjang Malaysia, (Djakarta: Departemen Penerangan, 1964 (Contains Joint
Statements of the Manila Agreements, Indonesian presidential decrees and all transcripts of Sukarno's public speeches from July 1963 to May 1964 pertaining the Konfrontasi). 21
J.A.C Mackie, Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (Kuala Lumpur: Oxford
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
11
saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit
komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke
Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah
Inggris dan Australia terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba
membentuk pasukan pembantu gerakan pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan
terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, sayangnya 52 tentara mendarat di
Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan langsung dikalahkan dan berhasil ditangkap oleh
pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan sisa-sianya berhasil ditangkap
oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor. Ada
sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu.
Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu
perbatasan Indonesia. Majalah Angkasa (2006) mencatat sekitar 2000 pasukan khusus
Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas
setelah bertempur di belantara kalimantan.
Dalam tingkatan strategi konvensional yang tentara Indonesia coba terapkan tidak
mampu memberikan kemenangan cepat dan decisive seperti yang digambarkan para perumus
strategi operasi Ganyang Malaysia. Ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut:
(a)Indonesia menghadapi pasukan militer yang cukup tangguh, terlihat dari jumlah pasukan
yang dapat diturunkan dimana gabungan pasukan Malaysia, New Zealand, Australia dan
Inggris mampu membentuk pertahanan yang solid dan berlapis guna menghalau serangan
pasukan Indonesia baik secara head on maupun dengan perang gerilya; (b) Indonesia
melakukan salah perhitungan, karena tidak memperhitungkan faktor pengalaman dan
kemampuan pasukan elit Inggris dan sekutunya yang telah berpengalaman di matra hutan.
Komparasi Operasi Militer dalam Lingkungan Strategis Serupa
Dalam bahasan pada tahun yang sama (1959-1965), Vietnam memiliki lingkungan
strategis yang sama dengan Indonesia. Indonesia menolak semua hal yang berbau
kolonialisme dan imperialisme, serta anti Amerika. Vietnam juga menolak kolonialisme,
imperialisme dan anti Amerika.22
Indonesia berjuang untuk merebut kembali Irian Barat dari
tangan Belanda. Belanda ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara yang bisa dikontrol
olehnya. Vietnam juga berjuang untuk pembebasan Vietnam Selatan dikuasai oleh Amerika
Serikat. Oleh karena itu Vietnam Utara membentuk Front Pembebasan Nasional untuk
22
David G. Marr. History and Memory in Vietnam Today: The Journal "Xu'a & Nay". Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 31, No. 1 (Mar., 2000), p: 13.