Top Banner
i “KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR” Oleh : Ekawati Suzanty Mbiliyora NIM : 712010049 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi ( S.Si-Teol ) FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017
46

Oleh · 2017. 12. 20. · oleh roh–roh leluhur. 3. seperti yang dipercayai oleh kepercayaan Marapu. Kebudayaan yang juga mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sumba yaitu upacara penarikan

Feb 08, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    “KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA

    PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR”

    Oleh :

    Ekawati Suzanty Mbiliyora

    NIM : 712010049

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi

    Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana

    Sains Teologi

    ( S.Si-Teol )

    FAKULTAS TEOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA 2017

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

  • vi

    Motto

    “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang Gagal”

    - Ayub 42 : 2 -

    Persembahan

    Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Kedua orang tua saya Bapak Silas Mbiliyora dan Ibu Agustina Dingu serta kedua adik saya Yurinius Mbiliyora dan Christine R.I Mbiliyora, trima

    kasih untuk begitu banyak kasih sayang yang telah dengan tulus diberikan.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah

    menyertai perjalanan kehidupan penulis, khususnya dalam proses penyelesaian studi hingga

    sampai pada tahap ini. Banyak hal yang sudah penulis lalui selama menuntut ilmu di kampus ini.

    Penulis menyadari bahwa sampai pada tahap ini bukan berarti tanggung jawab juga selesai,

    namun semakin mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap-tahap selanjutnya. Banyak pihak

    yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Pada kesempatan ini,

    penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

    1. Ibu Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen

    Satya Wacana.

    2. Bapak Pdt. Izak Lattu, P.HD selaku Ketua Program Studi Teologi Universitas

    Kristen Satya Wacana.

    3. Bapak Dr. David Samiyono selaku dosen pembimbing I dan Ibu Feriningsih B.P

    Hagni, M.Th selaku pembimbing II untuk bimbingan serta arahan yang sudah

    diberikan, untuk waktu yang sudah diluangkan kepada penulis selama proses

    penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan limpah trima kasih untuk

    bantuannya selama ini.

    4. Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel dan Ibu Pdt. Cindy Quartyamina. Terima kasih

    untuk waktu dan juga ketelitian sebagai reviewer yang telah membaca dan

    memberikan masukan-masukan positif untuk penulisan Tugas Akhir ini.

    5. Bapak Dr. David Samiyono selaku wali studi penulis, trima kasih atas

    bimbingannya sejak awal bergabung bersama teman-teman Teologi 2010.

    6. Seluruh dosen UKSW yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan

    serta seluruh civitas akademika UKSW.

    7. Masyarakat Kecamatan Kota Waingapu yang sudah bersedia meluangkan waktu

    untuk membantu penulis dalam proses wawancara dan memberikan data, guna

    menyusun tugas akhir ini.

    8. Kedua orang tua terkasih Bapa Silas Mbiliyora dan Mama Agustina Dingu untuk

    kasih sayangnya, dan untuk segala bentuk dukungan yang tidak dapat penulis

    balas, trima kasih banyak. Untuk kedua adik Yurinius Mbiliyora dan Cristine R.I

  • viii

    Mbiliyora trima kasih atas segala bentuk dukungan yang tidak pernah berhenti

    diberikan.

    9. Untuk keluarga besar di Sumba, Alm. Martha J. Terinate, Opa Markus Mbiliyora,

    Nenek Rambu Ippu Huka Pati, Bapak Yunus Osa Dingu dan Alm. Ibu Maria

    Gella, Bapak No Alfons dan Ibu Fransina Dingu, trima kasih banyak untuk segala

    bentuk dukungan baik moril maupun materil yang diberikan bagi penulis selama

    ini.

    10. Jefrison Y. Taralandu yang selalu menolong penulis selama proses penyelesaian

    Tugas Akhir ini, memberikan dukungan yang luar biasa untuk penulis. Trima kasih

    banyak kaka.

    11. Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) khusunya cabang

    Salatiga untuk kebersamaannya selama ini, baik teman-teman maupun senior

    GMKI yang sudah berbagi ilmu dan wawasan selama melakukan diskusi-diskusi

    dalam organisasi, trima kasih telah menjadi keluarga untuk penulis selama di

    Salatiga. Trima kasih secara khusus bagi Kecab (Apet Jomblo), Elyan Mesak Kowi

    (adik laki-laki dengan segala cita-citanya), Juni ( Erik Bura), Eten (Stenly Musa),

    Albert Lobo dan Chatrine Rambu Oroe serta abang Fredi B. Guti, trima kasih

    untuk jalinan persaudaraan yang luar biasa.

    12. Keluarga persekutuan SSBS, Kak Ranja, Kak Yermi, Kak Felix, Kak Nurti, Kak

    Gery, Kak Sari, Okal, Meka, Novin, Titin dan Andri Tanggu Mara serta kakak-

    kakak yang lain yang sudah berbagi pengalaman spiritual selama mengadakan

    ibadah bersama.

    13. Sahabat terdekat Novin Budjalemba dan Ulat Bulu (Beatriks Hia) trima kasih

    untuk persahabatan kita selama di Salatiga. Sekalipun nanti kita tak berpijak pada

    pulau yang sama, tetaplah saling merindukan. Saya mengasihi kalian berdua.

    Untuk kakak terkasih K Yayie (Sary Rambu Pedi Mosa) trima kasih banyak sudah

    jadi kakak yang luar biasa.

    14. Untuk sahabat satu pulau since MMX, Aldoni Riwan Waluwandja, Rusdianto Turu

    Paita, Melvian Umbu Nggaba dan Yosito Kameo terima kasih untuk persahaban

    kita, trima kasih sudah jadi saudara laki-laki yang baik dan serba berkekurangan

    untuk saya. Saya mengasihi kalian.

  • ix

    15. Persatuan Warga Sumba di Salatiga yang sudah membantu penulis beradaptasi

    dengan lingkungan yang baru sejak awal datang ke Salatiga, secara khusus

    angkatan 2010.

    16. Teman-teman Teologi 2010, kakak-kakak angkatan dan adik-adik angkatan, untuk

    kebersamaannya bersama penulis selama menuntut ilmu di UKSW, khususnya

    Leri Mardani Butar-Butar, Harsie Rambi, Brigivita Marulin, Tasya Tarigan dan

    Manasye Indra Kusuma.

    17. Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan Tugas Akhir ini hingga

    selesai.

  • x

    Abstrak

    Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak

    berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui

    penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut

    berperan dalam kebudayaan Pahamang. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis

    untuk penelitian ini yaitu metode penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan

    menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,

    atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam

    masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan

    teknik wawancara dan studi dokumentasi yang berhubungan dengan budaya Pahamang. Melalui

    wawancara penulis mencoba mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh

    penulis dan narasumber. Penulis juga akan menggunakan studi dokumentasi yaitu suatu metode

    pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku maupun dokumen–dokumen yang

    berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.

    Dari penelitian yang dilakukan penulis menemukan bahwa Kebudayaan Pahamang

    sebagai salah satu tradisi yang ada dianut oleh masyarakat Sumba turut menunjukkan perbedaan

    peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih berperan pada rana publik dan peran

    perempuan hanya dibatasi pada rana dosmestik. Keterbatasan peran perempuan dalam

    kebudayaan merupakan hal yang wajar saja bagi masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan

    kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat.

    Konstruksi masyarakat membuat perempuan merasa dirinya tidak mengalami apa yang disebut

    dengan ketertindasan karena mereka telah larut dalam pengajaran budaya yang secara turun

    temurun diberikan.

    Kata Kunci: Pahamang, Peran perempuan.

  • xi

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul

    Halaman Penggesahan …………………………………………………………….. i

    Lembar Pernyataan Tidak Plagiat …………………………………………………. ii

    Lembar Pernyataan Persetujuan Akses …………………………………………… iii

    Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………………………... iv

    Motto ……………………………………………………………………………… v

    Kata Pengantar …………………………………………………………………….. vi

    Abstrak ……...……………………………………………………………………... vii

    Daftar Isi ….……………………………………………………………………….. viii

    Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………………... ix

    Bagian I. Pendahuluan ……………………………………………………………. 1

    Latar Belakang …………………………………………………………….. 1

    Bagian II. Teori Peran dan Teori – Teori Feminis ………………………………... 6

    Kebudayaan Sebagai Bagian dari Masyarakat ……………………………. 8

    Teori Peran ………………………………………………………………... 8

    Peranan Perempuan dalam Mayarakat ……………………………………. 9

    Gerakan – Gerakan Feminis ……………………………………………… 11

    Feminis Liberal ……………………………………………………………. 11

    Feminis Radikal …………………………………………………………… 13

    Feminis Sosialis …………………………………………………………… 15

    Bagian III. Budaya Pahamang dalam Adat Kematian dan Peran Perempuan dalam

    Budaya Sumba Timur ………………………………………………….. 16

    Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………………………………. 16

    Masyarakat Sumba ………………………………………………………... 17

    Budaya Masyarakat Sumba ……………………………………………….. 18

    Kematian bagi Orang Sumba ……………………………………………… 19

    Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur ………………... 20

    Bagian IV. Peran Perempuan dalam Kebudayaan Pahamang …………………….. 26

    Bagian V. Kesimpulan dan Saran …………………………………………………. 29

    Daftar Pustaka ……………………………………………………………………... 33

  • 1

    I. Pendahuluan

    Latar Belakang

    Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di bagian Timur Indonesia. Pulau Sumba terdiri

    dari empat kabupaten,yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan

    Kabupaten Sumba Barat Daya. Keempat kabupaten ini memiliki budaya yang cenderung sama

    dan memiliki agama suku yang sama yaitu Marapu yang merupakan kepercayaan terhadap Dewa

    atau Ilah tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan–

    kekuatan sakti1 dan kepercayaan ini merupakan "kepercayaan asli" yang masih hidup dan masih

    dianut oleh sebagian masyarakat yang ada di Sumba.

    Berbicara tentang masyarakat tentunya ada kebiasaan yang dianut oleh masyarakat yang

    kemudian menjadi kebudayaan dan turut membentuk nilai–nilai dalam masyarakat dan nilai–

    nilai ini dianut oleh setiap individu dalam masyarakat itu. Kebudayaan itu sendiri merupakan

    keseluruhan hasil kreatifitas manusia yang sangat kompleks, didalamnya berisi struktur–struktur

    yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman dalam

    kehidupan.2 Budaya kemudian terbentuk menjadi aturan atau norma–norma yang terus mengikat

    masyarakat. Karena itu budaya turut mempengaruhi pola tingkah laku bahkan sangat

    berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang menganut kebudayaan tersebut.

    Budaya juga menolong masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara bertindak dalam

    masyarakat.

    Kebudayaan setiap komunitas menunjukkan jati diri masyarakat yang menganut

    kebudayaan tersebut. Sekalipun kebudayaan dianut secara terus menerus oleh masyarakat namun

    budaya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Demikian juga

    yang terjadi pada masyarakat yang ada di Sumba, masih ada yang melestarikan dan juga yang

    telah meninggalkan kebudayaan yang ada. Sebagai contoh, yaitu kepercayaan Marapu yang

    merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba. Sebagian masyarakat Sumba yang telah

    menganut agama Kristen Prostestan atau agama resmi lainnya telah meninggalkan kepercayaan

    ini, bagi masyarakat yang menganut agama Kristen yang menjadi alasan mereka meninggalkan

    kepercayaan ini dikarenakan bertentangan dengan Iman Kristen. Salah satu ajaran yang

    1 F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 42.

    2Drs.Tri Widiarto, M.Pd.Pengantar Antropologi Budaya,(Salatiga:Widya Sari Press,2005), 11.

  • 2

    bertentangan yaitu tentang kepercayaan bahwa nasib manusia ditentukan oleh roh–roh atau ilah–

    ilah lain. Dalam ajaran agama Kristen, Tuhan Allah yang menentukan nasib manusia dan bukan

    oleh roh–roh leluhur3 seperti yang dipercayai oleh kepercayaan Marapu. Kebudayaan yang juga

    mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sumba yaitu upacara penarikan batu kubur. Upacara

    penarikan batu kubur yang dahulu nya ditarik oleh sekumpulan orang kini telah disesuaikan

    dengan kemajuan teknologi yaitu tidak ditarik melainkan diangkut menggunakan alat–alat

    berukuran besar. Bahkan sekarang kuburan–kuburan orang Sumba tidak lagi memakai batu-batu

    yang ditarik tetapi sudah dari bahan semen dan keramik.4

    Beberapa kebudayaan telah ditinggalkan masyarakat Sumba namun nilai yang

    terkandung dalam kebudayaan itu sendiri masih terus dipegang oleh masyarakatnya dan masih

    ada kebudayaan yang terus dilestarikan. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih dilestarikan

    oleh masyarakat Sumba Timur adalah Pahamang. Pahamang merupakan bagian dari adat Sumba,

    yaitu suatu keadaan dimana berkumpulnya keluarga besar (dalam hal ini laki–laki atau bapak)

    dalam rumah adat (tikar adat) untuk melakukan musyawarah bersama dalam rangka mengambil

    beberapa keputusan terkait dengan adat istiadat dan berbagai macam hal yang berhubungan

    dengan acara perkawinan atau acara penguburan. Pahamang sendiri dilakukan pada acara

    perkawinan dan juga acara kematian. Secara khusus penulis ingin memfokuskan penelitian ini

    pada Pahamang untuk kematian. Alasan penulis mengambil kematian karena terdapat beberapa

    fase kehidupan yang dipercayai oleh masyarakat Sumba diantaranya, yaitu kelahiran, masa

    kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan.5 Dilihat dari fase ini maka bisa

    disimpulkan bahwa salah satu fase kehidupan terpenting bagi masyarakat Sumba yaitu

    kematian, masyarakat Sumba percaya bahwa kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada

    ilah tertinggi yang juga memegang nafas manusia. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai

    panggilan dan kehendak ilah tertinggi sementara orang yang meninggal kembali kepada

    penciptanya.6 Melihat bagaimana pandangan orang Sumba tentang kematian, maka dapat

    disimpulkan bahwa adat kematian merupakan bagian penting bagi masyarakat Sumba, karena

    itulah penulis tertarik untuk meneliti Pahamang yang merupakan bagian dari kebudayaan

    masyarakat Sumba sendiri.

    3 Wellem, 2004, 295.

    4 Umbu Pura Woha,Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, Kupang, Cipta Sarana Jaya, 2008)

    5 Wellem, 2004, 55.

    6 Wellem, 2004, 79.

  • 3

    Dalam suatu acara kematian Pahamang seringkali dilakukan karena merupakan bagian

    dari adat Sumba sendiri, adapun hal-hal yang dibicarakan pada Pahamang untuk kematian adalah

    tentang proses penguburan orang yang telah meninggal, berapa hewan yang akan disembelih

    (merupakan bagian dari adat) dan menentukan orang–orang yang terlibat dalam adat kematian

    dalam hal ini undangan bagi keluarga maupun kerabat terdekat dari orang yang telah meninggal

    dan masih banyak lagi hingga pada urusan teknis dalam menjalankan upacara adat kematian,

    penguburan dan setelah upacara adat penguburan.

    Satu hal yang cukup menarik dalam proses ini yaitu dimana kurangnya keterlibatan

    perempuan didalamnya. Ketika proses Pahamang ini berjalan sebagian besar yang terlibat yaitu

    laki–laki dan setiap keputusan adat yang didapat dalam diskusi ini bersifat mutlak yang berarti

    harus diterima oleh semua keluarga. Dalam proses diskusi ini perempuan tidak berada ditikar

    adat bersama dengan laki–laki dan perempuan hanya boleh menunggu di luar rumah adat

    bersama anak–anak atau berada didapur untuk memasak makanan bagi semua orang.

    Penulis tertarik untuk mencari tahu mengapa hanya laki–laki yang terlibat dalam proses

    Pahamang, mengapa dalam proses pembagian kerja hanya laki–laki saja yang terlibat dalam

    ritual atau pada tikar adat (publik). Mengapa perempuan tidak dapat mengambil bagian dalam

    proses diskusi atau perundingan ini dan mengapa peran perempuan hanya dibatasi pada hal-hal

    yang bersifat privat seperti mengurus hal–hal yang bersifat domestik contohnya memasak,

    mengurus anak dan mengurus perlengkapan ritual.

    Masyarakat Sumba sendiri menganut budaya patriaki yang merupakan dominasi atau

    kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya dan

    statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pengertian ini kemudian dibakukan

    dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki. Selain itu sistem ini seakan-akan menjadi

    ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan

    perempuan.7 Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Sumba laki-laki selalu memainkan

    peran penting dalam kehidupan masyarakat kalaupun perempuan memiliki peran, hal itu tidak

    akan melebihi atau mendominasi laki-laki. Adanya sistem tradisi yang dihidupi terkadang

    membuat perempuan Sumba larut dalam penguasaan kaum pria, bahkan mereka merasa cukup

    puas dengan keadaan, kebiasaan, atau tradisi yang dihidupi, sebagian mereka tidak menyadari

    7Robhe Modheh, “Membebaskan Perempuan dari Jerat Adat: Sebuah Tinjauan Dari Ajaran Sosial Gereja”(12 Mei

    2012), Diakses Februari 17, 2016, ttp://elvismeo.blogspot.co.id/2012/05/meneropong-budaya-dan-tradisi.html

  • 4

    bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang

    kehidupan.8

    Jika kita berbicara tentang pembagian peran antara laki–laki dan perempuan di Sumba

    dalam sebuah keluarga tugas seorang perempuan adalah mengurus hal–hal yang berkaitan

    dengan kelangsungan hidup sehari-hari dari anggota keluarga (tugas domestik), dan tugas laki–

    laki adalah mengurus hal–hal yang berkaitan dengan cara menaklukkan atau menyiasati

    ancaman–ancaman yang datang dari luar rumah demi mempertahankan kehidupan keluarga

    tersebut (tugas publik) 9 laki-laki juga diidentikan dengan pencari nafkah, pengambil keputusan

    dalam keluarga sehingga secara tidak langsung membuat laki-laki merasa lebih berkuasa dalam

    keluarga. Laki-laki atau bapak sebagai tuan dalam keluarga. Jika kita berbicara tentang peran

    antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Sumba dapat dilihat bagaimana seorang

    imam atau tua adat dalam masyarakat Sumba yaitu orang yang sudah tua dan laki–laki serta

    berasal dari golongan bangsawan dan orang merdeka, perempuan tidak akan menjadi imam

    sekalipun ia menguasai ritus–ritus keagamaan.10

    Dari apa yang dijelaskan di atas secara tidak

    langsung perempuan telah diidentikkan dengan urusan domestik yang berarti perempuan hanya

    ada di belakang dan tidak diizinkan atau tidak mempunyai kesempatan untuk berada dalam ruang

    publik.

    Perempuan terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang tunduk, loyal, lembut

    pasrah dan mengabdi, serta tempat yang dianggap sesuai untuk perempuan adalah rumah, peran

    yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan rumah tangga.11

    Perempuan biasanya diidealisasikan, diharapkan untuk melayani orang lain dan

    mengesampingkan kebutuhan mereka sendiri. Karena berbagai faktor penyebab perempuan sulit

    untuk tidak melayani orang lain, sehingga sulit pula untuk mengatakan apakah wanita secara

    pribadi melayani karena pilihan atau karena tidak bisa menggelaknya.12

    8 Modheh, 2012.

    9 Ir.John R.Lahade,Msc.Perempuan, Kuda dan Tenun,Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat

    Wewewa,Sumba,(Salatiga:Widya Sari Press,2011), .96 10

    Wellem, 2004, 50. 11

    Agnes Djarkasi, “Peran Perempuan dalam Kesetaraan Jender:Suatu Tinjauan Historis di Sulawesi Utara”Women in Public Sector ”,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 115. 12

    Anne Borrowdale,Tugas Rangkap Wanita Mengubah Sikap Orang Kristen(Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia.

    1993), 30.

  • 5

    Dari penjabaran di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang peran

    perempuan dalam Budaya Pahamang (untuk Kematian) di Sumba Timur ditinjau dari kajian

    Sosio-Feminis.

    Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak

    berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui

    penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut

    berperan dalam kebudayaan Pahamang.

    Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk penelitian ini yaitu metode

    penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu

    individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekwensi atau

    penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat13

    Jenis penelitian pada penulisan ini yaitu jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian

    ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah

    dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan

    fenomena yang diteliti.14

    Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan

    teknik wawancara dan studi dokumentasi. Menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan

    sebagai sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggung

    jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi.15

    Melalui wawancara penulis mencoba

    mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh penulis dan narasumber.

    Penulis memberikan pertanyaan dan narasumber akan diberikan kebebasan untuk menjawab

    pertanyaan sesuai dengan apa yang diketahui dan pengalaman narasumber. Narasumber yang

    digunakan penulis yaitu Tua–tua adat, beberapa masyarakat Sumba yang mengerti tentang

    budaya Sumba dan juga beberapa perempuan Sumba. Penulis juga akan menggunakan studi

    dokumentasi yaitu suatu metode pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku

    maupun dokumen–dokumen yang berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.16

    Hal ini

    juga berguna untuk menyusun landasan teori yang menjadi tolak ukur dalam menganalisa data

    penelitian untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis.

    13

    Koentjaraninggrat,Metode – metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Penerbit PT Gramedia,1981),42. 14

    Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – ilmu Sosial,(Jakarta:Salemba Humanika,2010),9 15

    Herdiansyah, 2010,118. 16

    Herdiansyah, 2010, 143.

  • 6

    Sistematika penulisan yang coba dibuat oleh penulis, yaitu: Bagian pertama penulis

    memaparkan latar Pendahuluan berupa latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

    penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian dua penulis menjelaskan tentang

    landasan teori. Bagian tiga penulis memaparkan hasil penelitian lapangan yang berupa

    masyarakat Sumba, gambaran umum budaya Pahamang dalam adat Sumba Timur dalam hal ini

    peran perempuan dalam budaya tersebut. Bagian keempat penulis menganalisa data yang

    diperoleh d lapangan dengan menggunakan teori yang terdapat pada bagian kedua. Bagian lima

    penulis akan menyimpulkan pembahasan dalam bagian sebelumnya dan memberikan saran.

    II. Teori Peran dan Teori-teori Feminis

    Pada bagian selanjutnya penulis mencoba memaparkan teori yang akan digunakan dalam

    proses analisa terhadap data lapangan. Adapun teori yang dibahas oleh penulis pada bagia ini,

    yaitu: Kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat, teori peran dan teori-teori feminis gelombang

    pertama.

    Kebudayaan sebagai bagian dari Masyarakat

    Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa manusia sebagai

    makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk keberlangsungan kehidupannya, dari kenyataan

    ini kemudian manusia membentuk hubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu kemudian

    membentuk kelompok-kelompok dan pada tiap-tiap kelompok tersebut terdiri dari kelompok-

    kelompok yang lebih kecil. Apabila kelompok-kelompok kecil itu mengadakan persekutuan

    dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah apa yang kita kenal dengan “masyarakat”.17

    Ketika menjadi sebuah masyarakat maka ada kebiasaan-kebiasaan dan kesepakatan-kesepakatan

    yang terbentuk dalam masyarakat tersebut yang dibakukan menjadi kebudayaan dan dianut oleh

    masyarakat tersebut.

    Kebudayaan itu sendiri terbentuk dari proses kehidupan yang dialami manusia dalam

    menghadapi dan mengatasi berbagai macam masalah hidupnya, baik yang timbul dalam

    hubungannya dengan sesama (sosial), dengan lingkungan (natural/fisik), maupun dengan

    berbagai hal yang sifatnya misteri dan gaib (supranatural/metafisik).18

    Sementara kebudayaan itu

    17

    H. Hartomo dan Dra. Arnicun Aziz. Ilmu Sosial Dasar. (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), 94 18

    Victor Silaen. 2015. “Pembangunan Berbasis Identitas Budaya Nasional”, PAX Humana Vol.II, No. 1(Januari), 12.

  • 7

    sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

    digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta

    menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian

    aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas

    serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara

    selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan

    tindakan-tindakannya.19

    Oleh karena itu masyarakat akan selalu menjadikan kebudayaan yang

    dianut sebagai tolak ukur dalam setiap tindakannya baik untuk memenuhi kebutuhan hidup,

    untuk menghadapi dan mengatasi masalah dalam hidupnya.

    Kata “kebudayaan” sendiri menurut Koentjaraninggrat berasal dari kata Sansekerta

    buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti “budi” atau “ilmu”. Dengan demikian

    kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Istilah culture, yang

    merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere”

    yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu yang dimaksud kepada keahlian

    mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi

    culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah

    alam”.20

    Seorang Antropologi bernama E.B Taylor memberikan definisi mengenai kebudayaan

    yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

    adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia

    sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat.21

    Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari dalam kehidupan manusia (enkulturasi),

    juga diwariskan secara sosial (bukan genetik) dari satu generasi ke generasi berikutnya.22

    Oleh

    karena itu seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan itu sendiri mengalami perubahan.

    Namun sekalipun berubah kebudayaan sendiri tidak menghilang karena terus dilestarikan melalui

    tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu bentuk pelestarian kebudayaan adalah

    dengan mewariskannya dalam keluarga sebagai contoh para orang tua akan menanamkan

    pedoman-pedoman kebudayaan yang dipegangnya dengan mendidik, mengajari, menanamkan

    19

    Richard G. Mayopu, ”Jurnalisme Antar Budaya Sebagai Jalan Menuju Toleransi Berbangsa dan Bernegara ”, PAX Humana Vol.II,No. 3(September 2015), 223. 20

    Koentjaraninggrat, Pengantar Antropologi Jilid I, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), 195. 21

    Mayopu, 2015, 224. 22

    Silaen, 2015, 13.

  • 8

    nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak-anaknya, selain secara teori diturunkan dalam keluarga,

    kebudayaan itu sendiri turun lewat pengalaman yang dialami dalam masyarakat tempat ia berada.

    Ketika kita berbicara tentang kebudayaan tentu hal ini tidak terlepas dari apa yang di

    sebut dengan adat istiadat. Dilihat dari peran dan fungsinya adat merupakan “sesuatu” yang

    digunakan oleh masyarakat dalam rangka memelihara keutuhan dan keharmonisan hubungan

    diantara sesama anggotanya.23

    Adat dan kebudayaan merupakan kebiasaan dan berlaku dalam

    konteks lingkungan sosial setiap masyarakat yang memilikinya, oleh karena itu setiap adat dan

    kebudayaan yang berlaku pada suatu tempat tidak akan sama dengan tempat yang lain. Namun

    kebudayaan itu sendiri juga turut berubah seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan-

    peruban yang dialami oleh masyarakat tempat kebudayaan itu dibentuk.

    Berkaitan dengan judul yang akan dibahas oleh penulis tentang peran perempuan dalam

    kebudayaan, maka penulis mencoba membahas tentang teori peran guna mendukung tulisan ini

    dalam pembahasan selanjutnya.

    Teori Peran

    Manusia adalah makhluk sosial, yang biasanya manusia akan menjadi apa dan siapa,

    tergantung pada lingkungan sekitarnya atau pada siapa ia bergaul. Manusia tidak bisa hidup

    sendirian, sebab terdapat adanya rasa saling ketergantungan satu sama lain. Dalam pergaulan

    hidup, manusia menduduki fungsi yang bermacam-macam dan manusia itu sendiri berperan

    sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat

    tempat ia berada. Oleh karena itu maka setiap individu mempunyai kumpulan peranan tertentu

    ketika ia berhadapan dengan dengan orang-orang disekitarnya.

    Istilah peranan sendiri dipinjam dari sandiwara, dimana seorang pemain memainkan

    suatu peranan sebagai pahlawan atau sebagai penjahat. Untuk menjelaskan lebih jauh lagi

    peranan apa yang dimainkan, sipemain ini memakai topeng. Topeng ini masih dipakai oleh

    penari Jawa atau Bali dan juga dulu dipakai oleh pemain Yunani. Pada zaman itu topeng tersebut

    dinamakan “persona”. Persona berarti pernyataan lahir, pernyataan keluar seseorang atau dalam

    bahasa Inggris “social self” ini diwujudkan dalam kumpulan peranan atau “set of roles”

    seseorang, dimana ia sebagai obyek menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku.24

    23

    Silaen,2015, 17. 24

    Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), 22

  • 9

    Menurut Soejono Soekamto, Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan

    individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang

    dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat,

    peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing

    seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.25

    Ini berarti bahwa peran yang dilakukan oleh

    individu tidak hanya berasal dari dirinya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat

    ia bertumbuh.

    Namun peran sendiri tidaklah bersifat dinamis melainkan ia bersifat statis atau berubah-

    ubah sesuai dengan tahap perkembangan hidup seseorang, contohnya peran seseorang dari ketika

    ia kecil, akan berubah ketika ia menjadi seorang remaja, dewasa kemudian dalam keluarga dan

    juga perannya dalam ligkungan dari rumah, sekolah kemudian kantor tentu perannya akan

    berbeda-beda. Perubahan peran seseorang tidak hanya berdasarkan pada individu itu sendiri

    tetapi juga berdasarkan pada perkembangan kebudayaan tempat ia berada, seperti dari yang

    primitif sampai yang canggih, dari yang tradisional sampai pada yang modern.26

    Karena itu

    kumpulan peranan berubah tergantung tempat dan serta umur individu tersebut.

    Perilaku individu dalam kesehariannya, hidup bermasyarakat berhubungan erat dengan peran

    , karena peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani seorang individu dalam

    bermasyarakat. Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku juga di

    masyarakat.

    Adapun Tiga macam fungsi norma menurut Hommes, yaitu :

    1. Mengatur cara pergaulan. Karena seringkali peranan berbentuk pasangan yang saling

    mempengaruhi, misalnya suami-istri; orang tua-anak; guru-murid dan sebagainya. Jika

    salah ,satunya tidak berperan, maka yang lain tidak bisa berperan.

    2. Mengendalikan anggota masyarakat dalam proses menyesuaikan diri dengan norma-

    norma yang pantas. Misalnya, kemauan seorang individu dikendalikan demi

    kewajibannya terhadap keadaan yang baik di masyarakat.

    25

    http://fahir-blues.blogspot.co.id/2013/06/teori-peran-dan-definisi-peran-menurut.html

    Diakses September 05-2016 26

    Hommes, 1992, 20.

    http://fahir-blues.blogspot.co.id/2013/06/teori-peran-dan-definisi-peran-menurut.html

  • 10

    3. Meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.

    Misalnya, seorang suami sudah mengharapkan isterinya akan menyiapkan makanan

    karena peranannya adalah memasak.27

    Sistem peranan, menurut Hommes dapat menjamin kehidupan masyarakat yang teratur

    dan harmonis. Namun tidak dapat kita pungkiri juga bahwa seiring dengan perubahan sosial

    yang terjadi turut mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam arti bahwa peran yang

    dijalankan seseorang dapat berubah-rubah seperti yang layak dulu bisa jadi tidak diterima

    lagi pada masa kini.

    Peranan Perempuan dalam masyarakat

    Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan pola tingkahlaku yang

    berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. Pembagian peran

    ini berfungsi melengkapi kekurangan-kekurangan kedua jenis manusia ini, supaya persoalan

    yang dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik (Manwell).28

    Masyarakat memahami secara mendasar, perempuan adalah ibu rumah tangga. Pria adalah

    pencari nafkah, perempuann adalah penjaga dan pembagi makanan. Dia adalah seseorang yang

    mengambil alih setiap persoalan. Seni mengasuh tunas bangsa merupakan tugas utama

    perempuan dan satu-satunya hak istimewa.29

    Pemahaman tentang peran perempuan seperti ini

    yang kemudian menyebabkan perempuan terus menganggap tempat mereka mereka adalah

    dalam bidang domestik dan mereka tidak berperan dalam rana publik.

    Berhubungan dengan peran laki-laki dan perempuan, secara hirarki status laki-laki lebih

    tinggi dari pada si perempuan. Misalnya, kedudukan seorang ibu rumah tangga tetap berada

    dibawah kedudukan seorang bapak, sebagai kepala keluarga. Walaupun si ibu seorang

    perempuan berkarir dia tetap dibebani dengan banyak kewajiban, seperti membesarkan anak,

    mengurus rumah tangga, serta mendampingi suaminya.

    Adapun salah satu lingkungan terkecil dalam masyarakat yang juga mempengaruhi

    kehidupan seorang individu yaitu keluarga, keluarga merupakan lingkungan pertama tempat

    peran seseorang dimulai dan keluarga berfungsi memenuhi pelbagai kebutuhan manusiawi mulai

    dari kebutuhan primer (sandang, pangan serta papan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk

    27

    Hommes, 1992, 21. 28

    Arief Budiman, Pembagian Kerja secara Seksual, (Jakarta: Gramedia, 1985), 24. 29

    Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 48.

  • 11

    mencintai serta dicintai, kebutuhan akan harga diri, sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri.

    Banyak orang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup dilingkungan rumah tangga.

    Tugas alami yang kemudian dimiliki oleh perempuan adalah melahirkan dan membesarkan anak-

    anak di dalam lingkungan rumah tangga, serta memasak dan memberi perhatian kepada

    suaminya, supaya sebuah rumah tangga yang tenteram dan sejahtera dapat diciptakan.30

    Hal ini

    tidak dapat kita pungkiri jika melihat dari peran perempuan yang terbentuk dalam masyarakat

    yang menganut budaya patriaki.

    Perempuan selalu diberikan tanggung jawab untuk perawatan sehari-hari kaum pria dan

    anak-anak di tengah-tengah keluarganya sendiri maupun dalam masyarakat. Mereka terus

    menerus dituntut untuk mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.

    Naluri keibuan yang mengharuskan kesiapsediaan untuk menyampingkan kebutuhannya sendiri

    demi melayani orang lain.31

    Perempuan adalah makhluk yang ditugaskan untuk menyediakan

    semua kebutuhan rumah tangga, mendidik anak-anak dengan mengesampingkan kepentingannya

    sendiri. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan patriaki menjadi semakin kuat dalam sebuah

    keluarga.

    Gerakan-gerakan Feminisme

    Feminisme bukanlah istilah baru, sebaliknya istilah-istilah feminis telah ditemukan

    berabad-abad yang silam. Kata feminis berasal dari kata latin feminia(perempuan) yang

    mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan”, dan mulai dipakai istilah tersebut pada tahun

    1890an disebuah publikasi The Athenaeum, 27 April 1895. Walaupun pada saat itu istilah

    feminisme baru merupakan sebuah kesadaran dan belum merupakan sebuah kesadaran politik

    apalagi teoritis.32

    Secara umum, Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat

    dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidak adilan

    karena jenis kelaminnya. Dibawah payung lebar berbagai feminisme menawarkan berbagai

    analisis mengenai penyebab, pelaku, dari penindasan perempuan.33

    Pemikiran-pemikiran

    sosiologis, ekonomi, dan politik dapat dilihat secara mengental di dalam teori-teori feminis

    30

    Budiman, 1985, 7. 31

    Borrowdale, 1. 32

    Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku Kompas,2006),412 33

    Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,2002), 158.

  • 12

    Liberal, Radikal dan Marxisme, teori-teori ini kemudian digolongkan sebagai teori-teori feminis

    gelombang pertama, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan

    perempuan di dalamnya, dan juga telah mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan

    dimasyarakat, terutama persoalan hak-hak sipilnya. Pada gelombang kedua, pemikiran-

    pemikiran feminisme bukan lagi memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan melakukan

    pergerakan politis seperti pada pertanyaan-pertanyaan melakukan pergerakan politis seperti pada

    gelombang pertama. Perspektif pada gelombang kedua kemudian melahirkan “perempuan dan

    laki-laki sama” atau setara. Perspektif ini ingin mendorong masyarakat untuk menerima

    perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki.

    Adapun gerakan-gerakan feminis gelombang pertama yang dijadikan penulis sebagai

    landasan teori diantaranya yaitu, :

    Feminis Liberal

    Aliran ini mendasari prinsip-prinsip falsafah liberalisme yaitu rasionalitas, bahwa semua

    orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, setiap orang harus punya kesempatan yang sama

    untuk memajukan dirinya, dan berpendapat bahwa perempuan juga sama rasionalnya dengan

    laki-laki. Feminis liberal beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini belum diberikan kepada wanita,

    karena itu mereka menuntut supaya prinsip-prinsip ini segera dilaksanakan sekarang

    juga.34

    Wanita harus sadar akan hak-haknya, wanita harus menuntut apa yang menjadi haknya.

    Tuntutan ini akan menyadarkan kaum laki-laki, dan kalau kesadaran ini sudah merata maka

    dengan kesadaran baru ini, manusia akan membentuk suatu masyarakat baru dimana laki-laki

    dan wanita bekerjasama atas dasar persamarataan.35

    Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil

    dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam masyarakat seperti itu, perempuan

    dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.

    Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan

    tertindas. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah

    makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hak yang sama

    juga dengan laki-laki.

    34

    Budiman, 1985, 36. 35

    Budiman, 1985, 36.

  • 13

    John Stuart Mill dan Harriet Taylor (Mill) dalam tulisannya mengikuti Wolstonecraft

    dalam hal merayakan nalar, akan tetapi mereka memandang nalar tidak saja secara moral,

    sebagai kapasitas untuk mengambil keputusan secara otonom, tetapi juga melalui pemikiran yang

    hati-hati, sebagai pemenuhan diri atau penggunaan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

    Mill dan Taylor mengklaim cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan yang total

    (kebahagiaan/kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang

    mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses

    pencapaian tersebut. Jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual, atau keadilan gender

    maka masyarakat harus memberikan perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan

    yang sama yang dinikmati oleh laki-laki.36

    National organization for Women (NOW, Organisasi Nasional untuk Perempuan) mereka

    menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat

    kebiasaan dam hambatan hukum, yang membatasi masuknya serta keberhasilan perempuan pada

    apa yang disebut dunia publik. Feminis liberal menekankan, pertama-tama, bahwa keadilan

    gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, sedangkan kedua, untuk

    memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat

    dirugikan secara sistematis; keadilan gender tidak menuntut kita untuk memberikan hadiah bagi

    pemenang dan yang kalah.37

    Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang

    opresif-yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk

    memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi

    perempuan dalam lingkup publik. Mereka menekankan bahwa masyarakat patriakal mencampur

    adukkan seks dan gender, dan menganggab hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan

    dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan.38

    Feminis Radikal

    Berdasarkan pada karya-karya Kate Millet dan Shulamith Firestone

    Gerakan ini beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab pembagian kerja

    secara seksual adalah sistem Patriakal. Feminis radikal mengklaim bahwa sistem patriarkal

    36

    Rosemarie Putnam Tong. Feminis Thought, ed. Aquarini Priyatna Prabasmoro(Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 23. 37

    Tong, 1998, 36. 38

    Tong, 1998, 48-49.

  • 14

    ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi.39

    Sistem patriakal tidak dapat dibentuk

    ulang, tetapi harus dicabut sampai akar dan cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur hukum dan

    politis patriarki saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan bagi pembebasan perempuan.

    Lembaga sosial kultural (terutama keluarga, gereja dan akademi) harus juga dicabut dari akar-

    akarnya.40

    Basis teori ini adalah bahwa sistem patriakal tersebut datang dari perbedaan biologis

    antar jenis kelamin, khususnya peran perempuan dalam reproduksi. Intinya adalah penindasan

    secara kelamin (seks), dimana perempuan ditindas oleh laki-laki.

    Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan wanita yang berjuang didalam

    realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya. Karena itu gerakan ini terutama

    mempersoalkan bagaimana caranya untuk menghancurkan patriarki sebagai sebuah sistem nilai

    yang melembaga di dalam masyarakat.41

    Feminis radikal meyakini bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental dari

    penindasan terhadap perempuan. Menurut Alisom Jaggar dan Paula Rothenberg, memberikan

    penjelasan ketertindasan yang mendasar yang dialami kaum perempuan, yaitu:

    1. Bahwa perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas;

    2. Bahwa ketertidasan perempuan sangat meluas dihampir seluruh masyarakat manapun;

    3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan yang paling dalam dan bentuk ketertindasan

    yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan

    sosial seperti penghapusan kelas tertentu;

    4. Bahwa ketertindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat

    terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitaif, walaupun kesengsaraan

    tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan, baik yang dilakukan oleh pihak

    penindas maupun yang tertindas;

    5. Bahwa penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual

    untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan.42

    39

    Tong, 1998, 3. 40

    Tong, 1998, 3. 41

    Budiman, 1985, 42. 42

    Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku Kompas,2006),5

  • 15

    Dapat disimpulkan bahwa aliran ini menekankan penindasan terhadap perempuan terjadi

    melalui kekuasaan seksualitas laki-laki yang diikuti upaya laki-laki mengontrol tubuh

    perempuan.

    Dalam buku nya “Sexsual Politics”, Millet menyatakan bahwa hubungan laki-laki dan

    wanita di dalam masyarakat merupakan hubungan politik. Dia mendefinisikan politik sebagai

    hubungan didasarkan pada struktur kekuasaan suatu sistem masyarakat di mana satu kelompok

    manusia dikendalikan oleh kelompok manusia yang lainnya. Nama struktur kekuasaan dimana

    laki-laki mengendalikan wanita adalah Patriarki. Lembaga utama dari sitem Patriarki ialah

    keluarga. Millet melihat Patriarki sebagai sistem kebudayaan, tapi dia terutama menekankan

    aspek psikologisnya. Patriarki merupakan simpang pertemuan antara psikologi (kebiasaan

    rohani) dan kebudayaan (cara kehidupan).43

    Menurut Millet: Harus dipahami bahwa arena revolusi seksual terutama ada didalam kesadaran manusia, bukan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang diciptakan

    manusia, meskipun lembaga-lembaga ini memainkan peran yang penting, sistem

    Patriakal di tanamkan di dalam diri manusia, dan sebuah struktur kepribadian

    tertentu diciptakan didalam diri baik laki-laki maupun wanita, yang membuat sistem

    patriakal ini menjadi sebuah kebiasaan rohaniah dan sebuah cara kehidupan manusia.

    Karena itu, patriarki kurang atau tidak tampak sebagai suatu sistem politik yang

    eksplisit, patriaki lebih tampak sebagai hakekat manusia itu sendiri.44

    Akan tetapi gerakan ini terlalu memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa laki-laki

    mendapat banyak keuntungan dari sistem patriakal. Kaum feminis radikal terlalu melihat laki-

    laki sebagai musuh mereka yang utama. Karena itu, kaum feminis radikal seakan tidak bisa atau

    tidak mau melihat bahwa sistem patriakal juga menindas laki-laki.45

    Laki-laki diberi peran

    didalam keluarga sebagai orang yang harus bekerja untuk memperoleh penghasilan untuk

    menjaga kestabilan ekonomi dari keluarganya, sehingga membuat ia tidak bisa melakukan

    pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan uang.

    Feminis Sosialis

    Mendasarkan perjuangannya pada teori Engels atau lebih tepatnya pada teori Marxis.

    43

    Budiman, 1985, 42. 44

    Budiman, 1985, 38. 45

    Budiman, 1985, 42.

  • 16

    Feminis Marxis dan sosialisasi mencoba menteorikan kapitalisme dan patriarki secara

    bersama-sama untuk mengeksplorasi hubungan antara ketidaksetaraan kelas dan gender.46

    Kaum feminis sosialis memberi perhatian yang besar pada kondisi sosial ekonomi. Mereka

    percaya, berdasarkan teori substruktur (dasar-dasar materil dari masyarakat yakni sistem sosial

    ekonomi dan masyarakat tersebut, dan siapa yang diuntungkan oleh sistem ini) dan super struktur

    (organisasi masyarakat yang mendukung sistem pembagian hasil-hasil produksi yang pincang

    ini, misalnya sistem nilai-nilai masyarakat tersebut, sistem hukum yang ada dan sebagainya)

    bahwa pembagian pekerjaan berdasarkan seksual hanyalah merupakan bagian dari super struktur

    yang akan hancur dengan sendirinya bila substrukturnya berubah.47

    Meskipun kaum feminis sosialis mengutamakan perjuangannya pada perubahan sistem

    sosial ekonomi, ini tidak berarti bahwa perjuangan melawan patriarki tidak ada dalam daftar

    perjuangan kaum-kaum feminis sosialis. Tapi pada dasarnya kaum feminis sosialis menganggab

    bahwa sistem patriakal bukanlah sesuatu yang mendapat prioritas pertama dalam daftar

    perjuangannya.48

    Teori sosial Feminis memberi perhatian pada upaya memahami ketidaksetaraan

    yang mendasar antara laki-laki dan perempuan, juga analisis terhadap kekuasaan laki-laki atas

    perempuan. Dasar pemikirannya adalah dominasi laki-laki berasal dari tatanan sosial, ekonomi,

    dan politik yang khas dalam masyarakat tertentu.49

    Marxisme menawarkan analisis mengenai penindasan sebagai sesuatu yang sistimatis dan

    menyatu dalam struktur masyarakat, karena ketertindasan perempuan dilihat memiliki asal usul

    sosial, dimana hal ini tidak terjadi secara alamiah dan bukan pula dibentuk secara kebetulan

    antara laki-laki dan perempuan.

    Feminis Marxis dan sosialis mengklaim bahwa adalah tidak mungkin bagi setiap orang

    terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam masyarakat yang berdasarkan

    kelas, masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak berkekuasaan (yang jumlahnya

    banyak) berakhir ditangan berkekuasaan ( yang jumlahnya sedikit). Refleksi dari keadaan ini

    mengisyaratkan bahwa kapitalisme sendiri bukan hanya sekedar aturan sosial yang lebih besar

    yang lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan adalah penyebab dari opresi

    (penindasan) terhadap perempuan. Sistem kapitalis harus digantikan oleh sistem sosialis yang

    46

    Joanne Hollows. Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer, (Jalasutra, 2010), 11. 47

    Budiman, 1985, 43. 48

    Budiman, 1985, 44. 49

    Stevi Jackson dan Jackie Jones. Teori-teori Feminis Kontemporer. (Yogyakarta. Jala Sutra. 2009), 21.

  • 17

    akan mengatur alat produksi sebagai milik satu semua. Karena tidak lagi bergantung secara

    ekonomi pada laki-laki, maka perempuan akan menjadi sebebas laki-laki. Feminis sosialis setuju

    dengan feminis Marxis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi terhadap perempuan, dan

    dengan radikal feminis bahwa Patriarki adalah sumber dari opresi terhadap perempuan.50

    Dengan diterapkannya sistem kapitalisme menyebabkan kaum perempuan tidak

    mempunyai nilai ekonomi dalam keluarga dan masyarakat, sehingga ia merasa tertindas dan

    memiliki ketergantungan dengan laki-laki karena mereka adalah kelas yang bekerja. Sehingga

    menurut Marx, yang membawa perubahan bagi perempuan dan kaum tertindas adalah aspek

    material bukan ide, pikiran dan nilai-nilai manusia.51

    Perempuan tidak dapat membentuk dirinya

    sendiri apabila secara secara sosial dan ekonomi masih bergantung pada laki-laki.

    III. Budaya Pahamang dalam adat kematian dan Peran Perempuan dalam Budaya

    Sumba Timur

    Gambaran Umum Lokasi Penelitan

    Sumba Timur adalah salah satu kabupaten diantara empat kabupaten yang ada di Pulau

    Sumba yang diantaranya, yaitu Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

    Sumba sendiri termasuk dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur.

    Kabupaten Sumba Timur sendiri berada diantara 45 - 52 BT dan 16 - 20

    LS. Luas Kabupaten Sumba Timur hingga kini yaitu 7.000,5 atau 700.050 Hektare (luas

    daratan). Berdasarkan geografisnya, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas wilayah

    sebagai berikut :

    1. Sebelah utara berbatasan dengan selat Sumba

    2. Sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Hindia

    3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupatan Sumba Tengah

    4. Sebelah Timur berbatasan dengan laut Sabu.

    Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur memiliki 2 musim,

    yaitu musim kemarau dan musim Hujan. Pada umumnya Sumba Timur diguyur hujan pada bulan

    Januari-April, sementara 8 bulan lainnya mengalami kemarau, oleh karena itu wilayah Sumba

    50

    Tong, 1998, 6. 51

    Tong, 1998, 6.

  • 18

    Timur tergolong wilayah kering serta keadaan tanah yang berbatu dan keadaan wilayah yang

    terjal.

    Mayoritas penduduk Sumba Timur beragama Kristen Protestan dan Katolik, namun ada juga

    agama resmi lain yang ada di Sumba Timur diantaranya agama Islam, Hindu danBudha.

    Sementara masyarakat desa masih banyak yang menganut kepercayaan asli orang Sumba, yaitu

    kepercayaan Marapu.

    Kabupaten Sumba Timur sendiri terdiri dari 22 Kecamatan. Adapun tempat penelitian yang

    dipilih oleh penulis yaitu Kecamatan Kota Waingapu dengan ibu kota kecamatan yaitu Kota

    Waingapu. Kecamatan ini berdiri sejak tahun 1970. Luas Wilayah Kecamatan Kota Waingapu,

    yaitu 73,8 . Batas wilayah Kecamatan Kota Waingapu, yaitu sebelah Utara berbatasan

    dengan Selat Sumba, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Kambera, Sebelah Timur

    berbatasan dengan Kec. Nggoa, dan sebelah Barat berbatasan dengan Nggoa dan Kanatang.

    Hingga kini Kecamatan Kota Waingapu terdiri dari 4 kelurahan dan terdiri dari 3 desa,

    diantaranya, yaitu: Kel. Hambala, Kel. Kamalaputi, Kel. Kambajawa, Kel. Matawai, Desa

    Lukukamaru, Desa Mbata Kapidu, dan yang terakhir yaitu Desa Pambola Njara.

    Jumlah penduduk untuk Kecamatan Kota Waingapu sendiri menurut data statistik tahun

    2014 adalah 38.084 orang yang terdiri dari laki-laki 19.650 orang dan jumlah Perempuan 18.434

    orang.52

    Dari data ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah

    penduduk perempuan.

    Penulis mengambil Kecamatan Kota sebagai tempat penelitian dikarenakan masih banyak

    masyarakat yang berada di Kecamatan Kota yang terus berusaha mempertahankan budaya

    Pahamang yang menjadi warisan kebudayaan Sumba dan berpendapat bahwa budaya Pahamang

    sebagai salah satu tradisi yang harus dijalankan oleh orang Sumba ketika akan melakukan adat

    perkawinan dan melakukan adat kematian.

    Masyarakat Sumba

    Ketika kita berbicara tentang masyarakat Sumba tentu masyarakat ini tidak akan ada

    begitu saja di Sumba, orang Sumba percaya bahwa para leluhur semua orang Sumba diturunkan

    di Malaka Tana bara (Semenanjung Malaka) sebelumnya mereka telah secara bergelombang

    52

    Data statistik Kabupaten Sumba Timur tahun 2015

  • 19

    menyusuri pulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores yang kemudian tiba di

    Tanjung Sasar pulau Sumba dan tinggal di pulau Sumba.

    Masyarakat Sumba percaya bahwa daerah Haharu merupakan wilayah yang pertama kali

    orang Sumba mendarat dan mendiami pulau ini, serta bersepakat tentang berbagai hal tentang

    tata kehidupan (adat istiadat) sebelum mereka membentuk kelompok-kelompok yang dikenal

    sebagai kabihu-kabihu53

    dan menyebar ke berbagai tempat di pulau Sumba yang kemudian

    kabih-kabihu serumpun membangun Paraingu (kampung besar) pada tempat yang akan didiami

    dan berkembang biak hingga saat ini. Pada Paraingu inilah setiap aktifitas masyarakat dimulai,

    dan menjadi pusat kegiatan bagi masyarakat baik dalam melakukan berbagi macam kegiatan

    rumah tangga, kegiatan sosial, ekonomi, politik (pemerintahan) hingga tempat adat istiadat dan

    ritual-ritual keagamaan diselenggarakan

    Hingga kini yang mendiami pulau Sumba tidak lagi hanya orang-orang Sumba, namun

    telah banyak juga ditempati oleh masyarakat dari berbagai etnis yang ada di Indonesia

    diantaranya, yaitu Sabu, Jawa, Flores, Timor, Alor, Cina, Bali dan masih banyak lagi etnis

    lainnya. Etnis Sumba adalah etnis yang mendominasi, sedangkan etnis Sabu berada pada urutan

    kedua.

    Budaya Masyarakat Sumba

    Kebudayaan yang dimiliki oleh orang Sumba sangat terkait dengan kepercayaan asli

    yang dianut oleh masyarakatnya, yaitu Kepercayaan Marapu. Seluruh tatanan kehidupan orang

    Sumba sangat berkaitan dengan pemahaman tentang Marapu. Kepercayaan Marapu itu sendiri

    adalah kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-

    makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti.54

    Nooteboom berpendapat bahwa Marapu

    adalah kekuatan kekuatan supranatural, baik yang bersifat oknum maupun yang tidak, yang

    tampil dalam berbagai macam bentuk.55

    Marapu sendiri dapat diartikan suci, mulia, dan sakti

    sehingga harus dihormati, oleh karena itu setiap adat istidat dan kebudayaan yang dijalankan

    oleh masyarakat Sumba tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan Marapu. Sekalipun sebagian

    besar masyarakat Sumba tidak lagi menganut kepercayaan Marapu, namun adat istidat dan

    53

    Kabihu:suatu kelompok yang didasarkan pada persekutuan geneologi, yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang menjadi turunan dari satu leluhur. Jadi bisa dibilang kelompok berdasarkan suku/marga. 54

    Welem, 2004, 42 55

    Wellem, 2004, 41

  • 20

    kebudaayaan yang ada di Sumba masih terus dipertahankan dan dijalankan oleh orang Sumba.

    Hal ini terlihat dari bagaimana pada acara perkawinan, kematian, saat hendak menanam dan

    melakukan panen hasil pertanian masih ada masyarakat di Sumba yang melakukan upacara-

    upacara adat guna meminta petunjuk, meminta izin maupun meminta perlindungan dari Marapu

    melalui ritual-ritual yang dilakukan.

    Kematian bagi orang Sumba

    Orang Sumba sendiri memahami kematian sebagai suatu peralihan dari kehidupan yang

    fana didunia ini ke suatu kehidupan yang lebih baik, makmur dan damai sejahtera. Alam

    kehidupan ini disebut negeri leluhur (Paraingu Marapu). Orang Sumba percaya bahwa ditempat

    ini orang mati akan hidup seperti ketika mereka berada didunia dimana mereka melakukan

    pekerjaan seperti bertani, beternak, makan dan juga minum. Hal ini yang kemudian

    menyebabkan pada upacara kematian dan penguburan dipotong banyak hewan dan jenasah

    dibungkus dengan banyak selimut atau sarung (kain Sumba) sebagai bekal hidup di Paraingu

    Marapu.56

    Peristiwa kematian merupakan suatu peristiwa penting dalam anggapan masyarakat

    Sumba Timur, karena kematian merupakan saat penyerahan kembali jiwa si mati kepada

    Alkhalik dan upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal mendapat tempat layak

    diseberang kubur.

    Kematian ditandai dengan berhentinya napas dan denyut jantung seseorang. Adapun tahap-

    tahap upacara adat kematian di Sumba Timur,yaitu :

    1. Saat meninggal

    Saat seseorang meninggal dunia hal ini tidak segera diberitahukan kepada

    keluarga. Terlebih dahulu Imam dipanggil untuk memastikan mengenai mati tidaknya

    seseorang. Imam memanggil nama orang yang meninggal empat kali dan apabila tidak

    ada sahutan maka resmilah kematian tersebut.

    2. Pa hadangu ( Membangunkan)

    Kepercayaan Marapu berkeyakinan bahwa yang meninggal sudah kembali ke

    negeri leluhur. Karena itu jenasah disimpan dengan cara duduk, menyerupai keadaan

    56

    F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 79

  • 21

    semula ketika semasih didalam kandungan, setelah itu dililit dengan berlapis kain Sumba

    jika laki-laki dan sarung Sumba jika yang meninggal adalah perempuan, dan kemudian

    jenasah didudukkan diatas kursi dari kulit kerbau (keka manulangu). Namun kini

    kebiasaan mendudukkan jenasah tidak lagi dilakukan oleh sebagian besar masyarakat

    Sumba, kini jenasah sudah ditidurkan dalam peti.

    “Membangunkan” berarti membuat rohnya berada kembali dalam tubuh atau

    jenasahnya sehingga mulai dapat diberi sirih pinang dan makanan. Sejak saat itupula

    diadakana penjagaan mayat (“Pa Wala”, = Mete) dan gong mulai dibunyikan siang dan

    malam sebagai tanda berduka.

    3. Membuat Kuburan

    Bukan seperti sekarang dimana semua makam sudah dibangun dari bahan semen,

    pada masa lalu sebelum upacara pemakaman, keluarga dari orang yang meninggal harus

    terlebih dahulu mempersiapkan kuburan.

    4. Dudangu (mengundang)

    Mengundang kerabat atau keluarga untuk turut serta dalam upacara kematian

    selanjutnya, dan juga sebagai cara untuk memberitahukan keluarga yang jauh tentang

    berita kematian dari orang yang telah meninggal. Biasanya keluarga mengutus dua orang

    Wunang dan sebelum mereka berangkat biasanya mereka dilengkapi dengan tata cara

    penyampaian undangan secara adat dan kelengkapan undangan secara adat.

    5. Lodu Taningu

    Upacara pemakaman yang dimulai dari penyambutan tamu yang menghadiri acara

    pemakaman, penguburan dan kemudian keluarga menjamu tamu sebelum para tamu

    kembali kekampungnya masing-masing.

    6. Warungu Handuka (Berhenti berkabung)

    Beberapa hari setelah penguburan semua keluarga dekat dan tetangga dari orang

    yang meninggal diundang lagi untuk bersama-sama mengikuti penutupan “masa

    berkabung”, dalam acara ini pihak keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas

    kebersamaan dan kegotong royongan dalam urusan pemakaman dan didalam menerima

    keluarga yang datang menghadiri upacara pemakaman.

  • 22

    7. Palundungu(Penyelesaian)

    Upacara ini merupakan yang terakhir dimana “arwah orang yang meninggal

    dihantar ke alam bersyah” kenegeri dewa atau kayangan. Dalam acara ini arwah simati

    berangkat bersama-sama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri Marapu. 57

    Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur

    Masyarakat Sumba terkenal dengan sistem kekerabatan yang sangat kuat, sehingga dalam

    seluruh kehidupan dan pekerjaannya, masyarakat Sumba selalu menekankan pada nilai dan juga

    ikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Salah satu contoh kebudayaan yang menekankan pada

    nilai kekerabatan dan kekeluargaan yang masih dipertahankan oleh masyarakat Sumba hingga

    kini yaitu Pahamang.

    Pahamang sendiri memiliki arti berunding, berdiskusi atau musyawarah bersama untuk

    mencapai suatu keputusan bersama. Pahamang menjadi bagian yang penting dalam adat Sumba

    Timur karena masyarakat Sumba Timur menjunjung tinggi kebiasaan untuk bermusyawarah

    bersama dalam menanggapi dan membahas masalah-masalah yang dihadapi dengan tujuan untuk

    mendapat kesimpulan yang disetujui bersama dan menjadi keputusan bersama. Masyarakat

    Sumba pada umumnya sangat menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan

    perundingan atau diskusi yang dilakukan bersama.58

    Kebiasaan untuk melakukan musyawarah adat sendiri bukanlah hal baru bagi orang

    Sumba, sejak dahulu masyarakat Sumba telah terbiasa untuk melakukan musyawarah adat.

    Dilihat dari sejarah masyarakat Sumba setelah leluhur mendarat di Haharu, para leluhur

    membangun Paraingu dan melakukan musyawarah untuk menetapkan tata kehidupan mereka dan

    menentukan berbagai adat istidat serta peraturan yang akan diberlakukan dalam tatanan

    kehidupan masyarakat pada saat itu. Hal ini dilakukan sebelum mereka menyebar ke berbagai

    tempat di pulau Sumba.

    Dari rumusan-rumusan hasil musyawarah masyarakat Sumba dahulu kemudian masyarakat

    mengembangkannya menjadi berbagai macam aturan-aturan yang kemudian menjadi tradisi yang

    mengatur tatanan kehidupan orang Sumba, dan kemudian menjadi kebudayaan yang terus

    dilestarikan oleh masyarakat Sumba.

    57

    F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 304-321 Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA

  • 23

    Pahamang sebagai bagian dari kebudayaan orang Sumba sering dilakukan dalam

    pelaksanaan adat baik dalam adat perkawinan maupun dalam adat kematian. Secara khusus pada

    tulisan ini penulis mencoba mengkaji Pahamang pada adat Kematian karena masyarakat Sumba

    sendiri percaya bahwa fase terpenting dalam kehidupan manusia adalah kematian. Pahamang

    menjadi bagian yang penting dalam adat orang Sumba Timur karena salah satu cara masyarakat

    Sumba menjaga kekerabatan dalam keluarga, melalui Budaya Pahamang ini keluarga besar yang

    berada pada tikar adat memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka dan agar

    mereka dapat sepemahaman dalam membuat keputusan-keputusan. Melalui diskusi ini apapun

    yang menjadi pokok pikiran dan apa yang menjadi pendapat masing-masing orang dapat

    disampaikan. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dalam keluarga karena

    perundingan atau diskusi ini dilakukan untuk mencapai keputusan bersama dan setiap keputusan

    yang diambil dalam proses ini akan menentukan jalannya adat selanjutnya. Pahamang sendiri

    sebagai warisan dari kepercayaan Marapu tidak hanya dijalankan oleh masyarakat yang masih

    menganut kepercayaan Marapu, melainkan oleh masyarakat Sumba telah menganut agama resmi

    yang terus mempertahankan kebiasaan untuk melakukan Pahamang.59

    Pahamang sendiri biasanya dilakukan dirumah adat atau rumah besar60

    dari kabihu orang

    yang meninggal. Dalam hal pelaksanaan adat Pahamang, jika Pahamang dilakukan dirumah adat

    keluarga yang menganut kepercayaan Marapu masih ada ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh

    tua-tua adat keluarga bersangkutan yang dipimpin oleh Ratu yang berfungsi mengatur seluruh

    jalannya ritual adat, sebelum memulai diskusi adat ini. Ketika mengambil keputusan maupun

    ketika mengakhiri musyawarah adat dalam keluarga Marapu, apa yang menjadi keputusan

    bersama harus dijalankan sesuai dengan kesepakatan dan pamali jika dilanggar. Biasanya

    keluarga tidak akan melanggar apa yang telah diputuskan dalam adat karena hal itu sudah

    bersifat mutlak dan harus dilaksanakan.

    Namun jika Pahamang dilakukan oleh keluarga yang telah beragama Kristen, Pahamang

    biasanya juga dilakukan di rumah adat (Rumah besar, Rumah Marga) jika yang menganut

    kepercayaan Marapu masih terlebih dahulu melakukan ritual maka bagi yang menganut agama

    Kristen biasanya sebelum memulai diskusi adat ini keluarga telah mengundang penatua dari

    gereja untuk membuka musyawarah dengan doa bersama dan menutupnya dengan doa. Setiap

    59

    Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA 60

    Bentuk rumah adat yaitu rumah panggung dan bermenara (Uma Barangu)

  • 24

    keputusan yang telah diambil dalam proses Pahamang ini tetap dijalankan untuk menghargai

    proses adat yang telah berlangsung maupun agar adat selanjutnya dapat berlangsung dengan baik

    dan lebih teratur.

    Pahamang untuk kematian biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama diikuti oleh

    keluarga inti dari orang yang meninggal yaitu keluarga-keluarga dekat dari orang yang

    meninggal dan yang menjadi topik pembahasan pada tahap pertama ini yaitu menentukan marga-

    marga atau kabihu-kabihu mana saja yang diundang untuk mengikuti Pahamang. Tahap kedua,

    biasanya yang diundang yaitu orang-orang yang memiliki hubungan keluarga atau kerabat dekat

    dari keluarga orang yang telah meninggal dan keluarga yang hadir bisa dipastikan adalah

    keluarga yang dapat membantu dalam berjalannya adat. Setelah ditentukan kabihu mana saja

    yang diundang untuk terlibat pada pahamang tahap ke dua dan keluarga inti telah mencapai kata

    sepakat maka tahap kedua dari Pahamang dapat dilakukan. Tahap kedua dari pahamang ini

    diikuti oleh keluarga besar yang terkait dengan keluarga dan orang yang telah meninggal,

    jumlahnya jauh lebih banyak dari tahap pertama dan pada tahap kedua ini yang dibahas jauh

    lebih banyak di antaranya yaitu :

    a. Mengetahui kekuatan keluarga pengundang dengan melihat kehadiran dalam

    musyawarah yang dilakukan.

    b. Penentuan jumlah marga dan siapa-siapa atau keluarga yang jauh-jauh, sebagai keluarga

    orang meninggal yang perlu mendapat undangan dan siapa yang ditugaskan untuk

    mengundang (ini adalah tugas laki-laki dalam hal ini yaitu Wunang atau juru bicara

    keluarga).

    c. Menentukan tanggal penguburan.

    d. Menentukan jumlah hewan yang harus dipotong dalam upacara adat kematian hingga

    pada penguburan.

    e. Cara menerima tamu, seperti apa, makan minumnya seperti apa, sirih dan pinang yang

    harus disediakan.

    f. Cara membalas jika ada keluarga yang datang dalam kematian menggunakan adat seperti

    apa.61

    Hingga hal-hal teknis yang akan dilaksanakan dalam proses adat kematian hingga penguburan

    biasanya dibahas dalam Pahamang tahap kedua ini, dengan tujuan agar adat kematian dapat

    61

    Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA

  • 25

    tertata dan berjalan dengan baik dan setiap orang yang terlibat dalam adat kematian dapat

    mengetahui tugas mereka masing-masing.

    Orang-orang yang terlibat dalam Pahamang ini sendiri yaitu laki-laki yang sebagian

    besarnya merupakan kepala rumah tangga dan para orang tua khususnya yang dituakan atau yang

    dihormati oleh keluarga, yang mewakil keluarga mereka masing-masing, sehingga yang

    mengambil keputusan dalam diskusi adat ini adalah laki-laki. Biasanya Pahamang ini dipimpin

    atau dimoderator oleh satu orang yang ditunjuk bersama dalam forum diskusi ini.

    Setiap hal yang menjadi topik bahasan pada tahap kedua di atas akan dibahas secara

    terperinci oleh keluarga yang mengikuti diskusi adat ini, oleh karena itu proses diskusi ini

    biasanya berjalan sangat lama, karena jika belum mencapai kesepakatan maka keluarga akan

    tetap berdiskusi mencari jalan keluar bersama hingga keputusan bersama dapat dicapai.62

    Tahap ketiga pada adat Pahamang ini dilakukan setelah keluarga melakukan penguburan

    bagi orang yang meninggal, musyawarah ini dilakukan untuk menutup masa berkabung dan

    sebagai penutup segala rangkaian adat kematian yang telah dilakukan oleh keluarga.

    Dalam diskusi adat Pahamang ini kita akan melihat perbedaan peran yang dilakukan oleh

    laki dan perempuan, yang lebih dominan untuk mengambil keputusan dan terlibat dalam adat

    proses adat sudah pasti laki-laki. Jika berkaitan dengan konsumsi disana yang lebih berperan

    otomatis perempuan. “Dalam hal pengambilan keputusan pendapat perempuan bukannya tidak

    diakomodir namun yang mana dulu, kira-kira dari 10 keputusan yang di bibicarakan dalam tikar

    adat, mungkin satu atau dua hal saja yang bisa di ambil oleh perempuan dan hal ini tidak akan

    jauh dari segala hal yang bersifat domestik”.63

    Dalam rumah adat ketika pahamang berlangsung hanya laki-laki yang berada di tikar adat

    tetapi dalam hal melayani sirih pinang, atur makan minum itu sudah pasti dilakukan oleh

    perempuan. Pembagian kerja dalam budaya pahamang dilihat dari porsi kerjanya perempuan

    lebih banyak berpikir tentang teknis hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi atau domestik,

    sedangkan laki-laki lebih banyak memikirkan tentang publik tentang mengundang orang, tentang

    hewan-hewan yang harus disembelih dan yang akan diberikan kepada orang-orang sebagai

    balasan adat.64

    Dalam pahamang sendiri perempuan tidak memiliki jeda dalam menagatur urusan

    62

    Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA 63

    Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 64

    Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA

  • 26

    dapur dan laki- laki memang lebih banyak berada pada tikar besar atau pada tikar adat dan peran

    ini tidak dapat diganggu gugat lagi. 65

    Ketika proses Pahamang berlangsung perempuan belum begitu berperan dalam mengambil

    keputusan, dalam hal yang kecil-kecil mungkin bisa didengar namun dalam hal-hal besar

    pendapat perempuan belum didengar. Jika kita melihat peran laki-laki dalam adat sendiri tidak

    dapat digantikan oleh perempuan. Contohnya saja dalam hal mengundang orang atau kabihu lain

    hal ini biasa dilakukan oleh laki-laki dengan membawa alas bicara (bawaan) biasanya berupa

    kain, mamuli dan lulu amahu, dalam hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh perempuan

    karena kabihu atau marga lain akan merasa direndahkan. Salah satu nara sumber mengatakan

    “Saya pernah mencoba untuk mengundang namun bukan hanya orang Sumba yang

    mempertanyakan hal tersebut, karena dikatakan bahwa seumur hidupun mereka belum pernah

    melihat perempuan yang datang mengundang untuk penguburan”.66

    Hal ini menunjukkan bahwa

    perempuan sudah berusaha membuat perubahan-perubahan kecil namun hal ini tidak bisa

    dilakukan karena orang akan mempertanyakan dimana laki-laki mengapa harus perempuan yang

    mengundang. Menurut mereka jika peran laki-laki diganti oleh perempuan maka nilai yang ada

    itu menjadi turun, dianggab tidak menghargai orang yang diundang.67

    Salah satu alasan ketidak terlibatan perempuan dalam adat sumba dikarenakan perempuan

    Sumba merasa tidak memiliki kemampuan untuk dapat berbicara didepan umum, apalagi jika

    perempuan itu sendiri tidak menempuh pendidikan tinggi atau tidak sekolah. Maka ia akan

    merasa semakin tidak percaya diri untuk dapat berbicara atau memberikan pendapat didepan

    umum.68

    Dalam budaya Sumba sendiri perempuan tidak mempunyai kedudukan dalam urusan adat

    maupun dalam upacara keagamaan, meskipun perempuan mempunyai peranan tetapi dengan

    adanya pemahaman masyarakat Sumba bahwa urusan adat merupakan bagian dari laki-laki.

    Sama halnya dengan urusan dapur merupakan urusan perempuan, sehingga laki-laki tidak

    mempunyai kedudukan/diterima disitu. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa laki-laki

    adalah kepala rumah tangga, sehingga yang mengambil keputusan dalam rumah adalah laki-

    65

    Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 66

    Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 67

    Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 68

    Wawancara dengan Nn. Ratih Rambu 20 Desember 2016 pukul 10.00 WITA

  • 27

    laki/ayah. Sudah merupakan kewajiban seorang laki-laki untuk berada ditikar adat. Laki-laki

    sebagai perwakilan dari keluarga atau dari kabihunya.

    Ketidak terlibatan perempuan dalam upacara atau pada proses adat juga sebagai bentuk

    penghargaannya terhadap laki-laki dalam hal ini suami yang telah membelisnya. Ketika seorang

    perempuan Sumba telah dibelis ia sudah dengan sendirinya tahu bahwa tugasnya yaitu berada

    didapur mengurus urusan rumah, memasak, melahirkan dan mengurus anak-anak.69

    Dalam

    budaya masyarakat Sumba, perempuan diposisikan sebagai pemberi kehidupan, karena melalui

    perempuan akan lahir generasi penerus dari keluarga atau kabihu tempat ia berada. Disini berarti

    perempuan menjadi pokok kehidupan dalam sebuah rumah tangga atau keluarga dalam

    masyarakat Sumba. Jadi, dalam rumah tangga kaum perempuan berperan menopang rumah

    tangga, misalnya memasak, merawat dan mendidik anak. Dengan demikian peranan perempuan

    dalam keluarga hanya dibatasi pada sektor domestik dan peranan dalam sektor publik hanya

    sedikit.

    Peran perempuan yang terbatas ini merupakan tradisi yang telah diterapkan dalam

    masyarakat sejak dulu dan seperti kita lihat diatas bahwa jika ada yang mencoba untuk

    merubahnya maka akan dipertanyakan oleh masyarakat dan akan dianggab tidak sesuai dengan

    aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Keterbatasan peran perempuan dalam

    budaya Sumba sendiri sudah merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan laki-laki karena

    sudah merupakan tradisi yang ada dalam masyarakat dan hal ini tidak menimbulkan kesan

    negatif bagi kedua belah pihak baik bagi laki-laki dan perempuan. Sekalipun perannya dibatasi

    perempuan Sumba tetap merasa baik-baik saja dengan hal tersebut.

    IV. Peran Perempuan dalam kebudayaan Pahamang

    Pada pembahasan bagian sebelumnya dapat kita lihat bahwa sebuah masyarakat selalu

    menyatu dengan kebudayaannya, dan bahwa kebudayaan itu sendiri menyatu dalam diri

    manusia. Karena itu budaya menjadi identitas dari suatu masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan

    manusia telah dibentuk oleh kebudayaan tempat ia berada dan bertumbuh. Kebudayaan sebagai

    sebuah identitas kemudian dihormati dijaga, dipegang dan dilestarikan oleh masyarakat yang

    menganut kebudayaan tersebut.

    69

    Wawancara dengan Ibu Elisabet, 27 Desember 2016 pukul 17.00 WITA

  • 28

    Masyarakat Sumba memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan masyarakat Sumba

    sangat terkait dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya sejak dulu yaitu kepercayaan

    Marapu. Hingga kini masyarakat Sumba masih terus mempertahankan kebudayaan dan nilai-

    nilai dari kebudayaan yang ada di Sumba secara turun temurun, sekalipun sebagian besar

    masyarakat tidak lagi menganut kepercayaan Marapu dan berkembangnya kebudayaan itu sendiri

    seiring dengan perkembangan zaman. Seperti dikatakan oleh E.B Taylor, ia mendefinisikan

    kebudayaan yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

    moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan

    oleh manusia sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam

    bermasyarakat.70

    Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Sumba dimana kebudayaan yang

    dianut oleh masyarakat Sumba telah mempengaruhi pola hidup masyarakat itu sendiri.

    Kebudayaan sebagai bagian dari pembentukan identitas diri seseorang, dimana

    kebudayaan itu sendiri turut mempengaruhi peran yang dimiliki oleh seseorang dalam

    masyarakat tempat ia berada dalam artian bahwa masyarakat tempat seseorang bertumbuh turut

    mempengaruhi peran dan perkembangan seseorang. Demikian juga yang terjadi dalam

    masyarakat Sumba, peran yang diemban oleh individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat

    orang itu bertumbuh, dan masing-masing orang terikat pada norma-norma yang telah ditentukan

    dalam masyarakat. Hommes mendefinisikan peranan sebagai petunjuk kelakuan yang diatur

    menurut norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh seorang perempuan Sumba yang belum

    menikah memiliki status sebagai anak dan ia berperan sesuai nilai dan norma yang mengatur

    bagaimana anak seharusnya berperilaku kepada orang tua dan masyarakat. Setelah perempuan

    menikah maka ia akan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang mengatur bagaimana ia harus

    berperan. Salah satu bentuk penting dari peranan menurut Hommes yakni meramalkan perbuatan

    dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.71

    Sejak kecil laki-laki dan perempuan

    sudah diberikan peran masing-masing, dan lewat pengamatan dengan melihat peran yang

    dilakukan oleh orang dewasa sudah terekam dalam memori mereka berdasarkan pengamatan

    terhadap orang dewasa akan peran mereka ketika menjadi dewasa. Seperti seorang anak

    perempuan yang melihat ayahnya sebagai kepala rumah tangga, yang lebih banyak beraktifitas

    pada rana publik dan ibunya yang bekerja didapur, mengurus rumah, menjaga anak- anak atau

    70

    Lihat pada bagian III 71

    Lihat Teori Peran pada bagian II.

  • 29

    berada pada rana domestik, maka ketika seorang anak perempuan menikah ia akan menjadikan

    ingatan tentang ayah dan juga ibunya sebagai tolak ukur caranya berperan dalam berumah

    tangga. Ia akan melihat suaminya sebagai kepala rumah tangga, sebagai seorang pemimpin

    dalam rumah tangga dan yang lebih berperan pada ranah publik dan ia juga akan menempatkan

    diri seperti ibunya yang bekerja di dapur, mengurus urusan rumah dan mengurus anak-anak atau

    berada pada ranah domestik.

    Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba, konstruksi budaya dalam masyarakat

    Sumba turut membentuk peran laki-laki dan perempuan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa budaya

    patriaki memiliki peran yang besar bagi masyarakat yang ada di Sumba. Contohnya saja dalam

    rumah tangga masyarakat Sumba yang menjunjung tinggi pemahaman bahwa laki-laki adalah

    kepala rumah tangga yang memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga dan

    juga sebagai pemimpin dalam keluarga tersebut. Dalam pemahaman orang Sumba perempuan

    tidak memilki kedudukan dalam urusan adat maupun dalam upacara keagamaan, meskipun

    perempuan mempunyai peranan tetapi dengan adanya pemahaman masyarakat Sumba bahwa

    urusan adat merupakan bagian dari laki-laki maka sudah seharusnya dalam upacara adat ataupun

    diskusi adat merupakan bagian laki-laki, perempuan hanya mengurusi hal-hal yang bersifat

    domestik saja.

    Seperti ketika proses Pahamang ini berlangsung, perempuan turut berperan hanya saja

    perannya dibatasi pada urusan domestik, perempuan tidak akan duduk bersama dengan laki-laki

    di tikar adat karena mereka tahu bahwa tempat mereka adalah di dapur untuk menyiapkan

    makanan dan minum bagi semua orang. Keterbatasan peran perempuan dalam diskusi adat

    Pahamang sudah merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan laki-laki, tanpa diarahkan

    perempuan dan laki-laki sudah mengetahui tempatnya dimana. Hal ini memang tidak dapat

    diubah karena telah membudaya dalam masyarakat Sumba, dan jika terjadi perubahan maka

    orang-orang akan mempertanyakan hal tersebut. Sebagai contoh dari hasil wawancara dengan

    salah satu nara sumber perempuan yang mencoba membuat perubahan dengan mencoba

    mengganti peran laki-laki namun orang-orang mempertayakan hal tersebut .

    “Contohnya saja dalam hal mengundang orang atau kabihu lain hal ini biasa dilakukan oleh

    laki-laki dengan membawa alas bicara (bawaan) biasanya berupa kain, mamuli dan lulu amahu,

    dalam hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh perempuan, karena kabihu atau marga

    lain akan merasa direndahkan, “bahkan saya pernah mencoba untuk mengundang namun

    bukan hanya orang Sumba yang mempertanyakan hal tersebut, karena dikatakan bahwa seumur

  • 30

    hidupun mereka belum pernah melihat perempuan yang datang mengundang untuk

    penguburan”.72

    Hal ini menunjukkan bahwa setiap peran perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan dalam

    suatu masyarakat tidak dapat diubah, karena masyarakat telah berpegang pada tradisi yang

    dihidupi selama ini.

    Salah satu dari unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Konjaninggrat adalah organisasi

    sosial yang merupakan bentuk pembagian peran dan menetapkan fungsi dalam setiap kehidupan

    anggota masyarakat.73

    Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba setiap anggota

    masyarakat memiliki peran yang telah disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku dalam

    masyarakat Sumba, dan peran yang diembankan oleh masing-masing orang harus sesuai dengan

    norma-norma yang belaku. Sama halnya dalam budaya pahamang peran laki-laki dan perempuan

    telah ditentukan dimana laki-laki berkewajiban untuk berada ditikar adat dan perempuan yang

    mengurus segala urusan domestik. Hal ini yang kemudian dipertahankan oleh masyarakat Sumba

    dan menjadi tolak ukur mereka dalam mengambil perannya masing-masing dalam masyarakat.

    Keterbatasan peran perempuan dalam budaya pahamang merupakan hal yang wajar saja bagi

    masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah

    turun temurun dijalankan oleh masyarakat, sehingga masyarakat Su