-
i
“KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM
BUDAYA
PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR”
Oleh :
Ekawati Suzanty Mbiliyora
NIM : 712010049
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi
Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar
Sarjana
Sains Teologi
( S.Si-Teol )
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA 2017
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
-
vi
Motto
“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan
tidak ada rencana-Mu yang Gagal”
- Ayub 42 : 2 -
Persembahan
Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Kedua orang tua saya
Bapak Silas Mbiliyora dan Ibu Agustina Dingu serta kedua adik saya
Yurinius Mbiliyora dan Christine R.I Mbiliyora, trima
kasih untuk begitu banyak kasih sayang yang telah dengan tulus
diberikan.
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan
Yesus Kristus yang sudah
menyertai perjalanan kehidupan penulis, khususnya dalam proses
penyelesaian studi hingga
sampai pada tahap ini. Banyak hal yang sudah penulis lalui
selama menuntut ilmu di kampus ini.
Penulis menyadari bahwa sampai pada tahap ini bukan berarti
tanggung jawab juga selesai,
namun semakin mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap-tahap
selanjutnya. Banyak pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku Dekan Fakultas Teologi
Universitas Kristen
Satya Wacana.
2. Bapak Pdt. Izak Lattu, P.HD selaku Ketua Program Studi
Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana.
3. Bapak Dr. David Samiyono selaku dosen pembimbing I dan Ibu
Feriningsih B.P
Hagni, M.Th selaku pembimbing II untuk bimbingan serta arahan
yang sudah
diberikan, untuk waktu yang sudah diluangkan kepada penulis
selama proses
penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan limpah trima
kasih untuk
bantuannya selama ini.
4. Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel dan Ibu Pdt. Cindy
Quartyamina. Terima kasih
untuk waktu dan juga ketelitian sebagai reviewer yang telah
membaca dan
memberikan masukan-masukan positif untuk penulisan Tugas Akhir
ini.
5. Bapak Dr. David Samiyono selaku wali studi penulis, trima
kasih atas
bimbingannya sejak awal bergabung bersama teman-teman Teologi
2010.
6. Seluruh dosen UKSW yang telah membekali penulis dengan ilmu
pengetahuan
serta seluruh civitas akademika UKSW.
7. Masyarakat Kecamatan Kota Waingapu yang sudah bersedia
meluangkan waktu
untuk membantu penulis dalam proses wawancara dan memberikan
data, guna
menyusun tugas akhir ini.
8. Kedua orang tua terkasih Bapa Silas Mbiliyora dan Mama
Agustina Dingu untuk
kasih sayangnya, dan untuk segala bentuk dukungan yang tidak
dapat penulis
balas, trima kasih banyak. Untuk kedua adik Yurinius Mbiliyora
dan Cristine R.I
-
viii
Mbiliyora trima kasih atas segala bentuk dukungan yang tidak
pernah berhenti
diberikan.
9. Untuk keluarga besar di Sumba, Alm. Martha J. Terinate, Opa
Markus Mbiliyora,
Nenek Rambu Ippu Huka Pati, Bapak Yunus Osa Dingu dan Alm. Ibu
Maria
Gella, Bapak No Alfons dan Ibu Fransina Dingu, trima kasih
banyak untuk segala
bentuk dukungan baik moril maupun materil yang diberikan bagi
penulis selama
ini.
10. Jefrison Y. Taralandu yang selalu menolong penulis selama
proses penyelesaian
Tugas Akhir ini, memberikan dukungan yang luar biasa untuk
penulis. Trima kasih
banyak kaka.
11. Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
khusunya cabang
Salatiga untuk kebersamaannya selama ini, baik teman-teman
maupun senior
GMKI yang sudah berbagi ilmu dan wawasan selama melakukan
diskusi-diskusi
dalam organisasi, trima kasih telah menjadi keluarga untuk
penulis selama di
Salatiga. Trima kasih secara khusus bagi Kecab (Apet Jomblo),
Elyan Mesak Kowi
(adik laki-laki dengan segala cita-citanya), Juni ( Erik Bura),
Eten (Stenly Musa),
Albert Lobo dan Chatrine Rambu Oroe serta abang Fredi B. Guti,
trima kasih
untuk jalinan persaudaraan yang luar biasa.
12. Keluarga persekutuan SSBS, Kak Ranja, Kak Yermi, Kak Felix,
Kak Nurti, Kak
Gery, Kak Sari, Okal, Meka, Novin, Titin dan Andri Tanggu Mara
serta kakak-
kakak yang lain yang sudah berbagi pengalaman spiritual selama
mengadakan
ibadah bersama.
13. Sahabat terdekat Novin Budjalemba dan Ulat Bulu (Beatriks
Hia) trima kasih
untuk persahabatan kita selama di Salatiga. Sekalipun nanti kita
tak berpijak pada
pulau yang sama, tetaplah saling merindukan. Saya mengasihi
kalian berdua.
Untuk kakak terkasih K Yayie (Sary Rambu Pedi Mosa) trima kasih
banyak sudah
jadi kakak yang luar biasa.
14. Untuk sahabat satu pulau since MMX, Aldoni Riwan Waluwandja,
Rusdianto Turu
Paita, Melvian Umbu Nggaba dan Yosito Kameo terima kasih untuk
persahaban
kita, trima kasih sudah jadi saudara laki-laki yang baik dan
serba berkekurangan
untuk saya. Saya mengasihi kalian.
-
ix
15. Persatuan Warga Sumba di Salatiga yang sudah membantu
penulis beradaptasi
dengan lingkungan yang baru sejak awal datang ke Salatiga,
secara khusus
angkatan 2010.
16. Teman-teman Teologi 2010, kakak-kakak angkatan dan adik-adik
angkatan, untuk
kebersamaannya bersama penulis selama menuntut ilmu di UKSW,
khususnya
Leri Mardani Butar-Butar, Harsie Rambi, Brigivita Marulin, Tasya
Tarigan dan
Manasye Indra Kusuma.
17. Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan Tugas Akhir
ini hingga
selesai.
-
x
Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan
faktor-faktor perempuan tidak
berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur.
Diharapkan melalui
penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab
perempuan tidak turut
berperan dalam kebudayaan Pahamang. Adapun metode penelitian
yang digunakan oleh penulis
untuk penelitian ini yaitu metode penelitian yang bersifat
deskriptif yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan,
gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala dan
gejala lain dalam
masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis
yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dan studi dokumentasi yang berhubungan dengan
budaya Pahamang. Melalui
wawancara penulis mencoba mendapatkan informasi melalui
komunikasi yang dilakukan oleh
penulis dan narasumber. Penulis juga akan menggunakan studi
dokumentasi yaitu suatu metode
pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku maupun
dokumen–dokumen yang
berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.
Dari penelitian yang dilakukan penulis menemukan bahwa
Kebudayaan Pahamang
sebagai salah satu tradisi yang ada dianut oleh masyarakat Sumba
turut menunjukkan perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih berperan
pada rana publik dan peran
perempuan hanya dibatasi pada rana dosmestik. Keterbatasan peran
perempuan dalam
kebudayaan merupakan hal yang wajar saja bagi masyarakat yang
ada di Sumba, dikarenakan
kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah turun temurun
dijalankan oleh masyarakat.
Konstruksi masyarakat membuat perempuan merasa dirinya tidak
mengalami apa yang disebut
dengan ketertindasan karena mereka telah larut dalam pengajaran
budaya yang secara turun
temurun diberikan.
Kata Kunci: Pahamang, Peran perempuan.
-
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Penggesahan …………………………………………………………….. i
Lembar Pernyataan Tidak Plagiat …………………………………………………. ii
Lembar Pernyataan Persetujuan Akses …………………………………………… iii
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………………………...
iv
Motto ……………………………………………………………………………… v
Kata Pengantar …………………………………………………………………….. vi
Abstrak ……...……………………………………………………………………... vii
Daftar Isi ….……………………………………………………………………….. viii
Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………………... ix
Bagian I. Pendahuluan ……………………………………………………………. 1
Latar Belakang …………………………………………………………….. 1
Bagian II. Teori Peran dan Teori – Teori Feminis ………………………………...
6
Kebudayaan Sebagai Bagian dari Masyarakat ……………………………. 8
Teori Peran ………………………………………………………………... 8
Peranan Perempuan dalam Mayarakat ……………………………………. 9
Gerakan – Gerakan Feminis ……………………………………………… 11
Feminis Liberal ……………………………………………………………. 11
Feminis Radikal …………………………………………………………… 13
Feminis Sosialis …………………………………………………………… 15
Bagian III. Budaya Pahamang dalam Adat Kematian dan Peran
Perempuan dalam
Budaya Sumba Timur ………………………………………………….. 16
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………………………………. 16
Masyarakat Sumba ………………………………………………………... 17
Budaya Masyarakat Sumba ……………………………………………….. 18
Kematian bagi Orang Sumba ……………………………………………… 19
Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur ………………...
20
Bagian IV. Peran Perempuan dalam Kebudayaan Pahamang ……………………..
26
Bagian V. Kesimpulan dan Saran …………………………………………………. 29
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………... 33
-
1
I. Pendahuluan
Latar Belakang
Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di bagian Timur
Indonesia. Pulau Sumba terdiri
dari empat kabupaten,yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah,
Sumba Barat, dan
Kabupaten Sumba Barat Daya. Keempat kabupaten ini memiliki
budaya yang cenderung sama
dan memiliki agama suku yang sama yaitu Marapu yang merupakan
kepercayaan terhadap Dewa
atau Ilah tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus
(roh-roh) dan kekuatan–
kekuatan sakti1 dan kepercayaan ini merupakan "kepercayaan asli"
yang masih hidup dan masih
dianut oleh sebagian masyarakat yang ada di Sumba.
Berbicara tentang masyarakat tentunya ada kebiasaan yang dianut
oleh masyarakat yang
kemudian menjadi kebudayaan dan turut membentuk nilai–nilai
dalam masyarakat dan nilai–
nilai ini dianut oleh setiap individu dalam masyarakat itu.
Kebudayaan itu sendiri merupakan
keseluruhan hasil kreatifitas manusia yang sangat kompleks,
didalamnya berisi struktur–struktur
yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang
berfungsi sebagai pedoman dalam
kehidupan.2 Budaya kemudian terbentuk menjadi aturan atau
norma–norma yang terus mengikat
masyarakat. Karena itu budaya turut mempengaruhi pola tingkah
laku bahkan sangat
berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang menganut
kebudayaan tersebut.
Budaya juga menolong masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara
bertindak dalam
masyarakat.
Kebudayaan setiap komunitas menunjukkan jati diri masyarakat
yang menganut
kebudayaan tersebut. Sekalipun kebudayaan dianut secara terus
menerus oleh masyarakat namun
budaya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
zaman. Demikian juga
yang terjadi pada masyarakat yang ada di Sumba, masih ada yang
melestarikan dan juga yang
telah meninggalkan kebudayaan yang ada. Sebagai contoh, yaitu
kepercayaan Marapu yang
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba. Sebagian
masyarakat Sumba yang telah
menganut agama Kristen Prostestan atau agama resmi lainnya telah
meninggalkan kepercayaan
ini, bagi masyarakat yang menganut agama Kristen yang menjadi
alasan mereka meninggalkan
kepercayaan ini dikarenakan bertentangan dengan Iman Kristen.
Salah satu ajaran yang
1 F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2004), 42.
2Drs.Tri Widiarto, M.Pd.Pengantar Antropologi
Budaya,(Salatiga:Widya Sari Press,2005), 11.
-
2
bertentangan yaitu tentang kepercayaan bahwa nasib manusia
ditentukan oleh roh–roh atau ilah–
ilah lain. Dalam ajaran agama Kristen, Tuhan Allah yang
menentukan nasib manusia dan bukan
oleh roh–roh leluhur3 seperti yang dipercayai oleh kepercayaan
Marapu. Kebudayaan yang juga
mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sumba yaitu upacara penarikan
batu kubur. Upacara
penarikan batu kubur yang dahulu nya ditarik oleh sekumpulan
orang kini telah disesuaikan
dengan kemajuan teknologi yaitu tidak ditarik melainkan diangkut
menggunakan alat–alat
berukuran besar. Bahkan sekarang kuburan–kuburan orang Sumba
tidak lagi memakai batu-batu
yang ditarik tetapi sudah dari bahan semen dan keramik.4
Beberapa kebudayaan telah ditinggalkan masyarakat Sumba namun
nilai yang
terkandung dalam kebudayaan itu sendiri masih terus dipegang
oleh masyarakatnya dan masih
ada kebudayaan yang terus dilestarikan. Salah satu bentuk
kebudayaan yang masih dilestarikan
oleh masyarakat Sumba Timur adalah Pahamang. Pahamang merupakan
bagian dari adat Sumba,
yaitu suatu keadaan dimana berkumpulnya keluarga besar (dalam
hal ini laki–laki atau bapak)
dalam rumah adat (tikar adat) untuk melakukan musyawarah bersama
dalam rangka mengambil
beberapa keputusan terkait dengan adat istiadat dan berbagai
macam hal yang berhubungan
dengan acara perkawinan atau acara penguburan. Pahamang sendiri
dilakukan pada acara
perkawinan dan juga acara kematian. Secara khusus penulis ingin
memfokuskan penelitian ini
pada Pahamang untuk kematian. Alasan penulis mengambil kematian
karena terdapat beberapa
fase kehidupan yang dipercayai oleh masyarakat Sumba
diantaranya, yaitu kelahiran, masa
kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan.5
Dilihat dari fase ini maka bisa
disimpulkan bahwa salah satu fase kehidupan terpenting bagi
masyarakat Sumba yaitu
kematian, masyarakat Sumba percaya bahwa kehidupan manusia
sepenuhnya bergantung pada
ilah tertinggi yang juga memegang nafas manusia. Oleh karena itu
kematian dipahami sebagai
panggilan dan kehendak ilah tertinggi sementara orang yang
meninggal kembali kepada
penciptanya.6 Melihat bagaimana pandangan orang Sumba tentang
kematian, maka dapat
disimpulkan bahwa adat kematian merupakan bagian penting bagi
masyarakat Sumba, karena
itulah penulis tertarik untuk meneliti Pahamang yang merupakan
bagian dari kebudayaan
masyarakat Sumba sendiri.
3 Wellem, 2004, 295.
4 Umbu Pura Woha,Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba
Timur, Kupang, Cipta Sarana Jaya, 2008)
5 Wellem, 2004, 55.
6 Wellem, 2004, 79.
-
3
Dalam suatu acara kematian Pahamang seringkali dilakukan karena
merupakan bagian
dari adat Sumba sendiri, adapun hal-hal yang dibicarakan pada
Pahamang untuk kematian adalah
tentang proses penguburan orang yang telah meninggal, berapa
hewan yang akan disembelih
(merupakan bagian dari adat) dan menentukan orang–orang yang
terlibat dalam adat kematian
dalam hal ini undangan bagi keluarga maupun kerabat terdekat
dari orang yang telah meninggal
dan masih banyak lagi hingga pada urusan teknis dalam
menjalankan upacara adat kematian,
penguburan dan setelah upacara adat penguburan.
Satu hal yang cukup menarik dalam proses ini yaitu dimana
kurangnya keterlibatan
perempuan didalamnya. Ketika proses Pahamang ini berjalan
sebagian besar yang terlibat yaitu
laki–laki dan setiap keputusan adat yang didapat dalam diskusi
ini bersifat mutlak yang berarti
harus diterima oleh semua keluarga. Dalam proses diskusi ini
perempuan tidak berada ditikar
adat bersama dengan laki–laki dan perempuan hanya boleh menunggu
di luar rumah adat
bersama anak–anak atau berada didapur untuk memasak makanan bagi
semua orang.
Penulis tertarik untuk mencari tahu mengapa hanya laki–laki yang
terlibat dalam proses
Pahamang, mengapa dalam proses pembagian kerja hanya laki–laki
saja yang terlibat dalam
ritual atau pada tikar adat (publik). Mengapa perempuan tidak
dapat mengambil bagian dalam
proses diskusi atau perundingan ini dan mengapa peran perempuan
hanya dibatasi pada hal-hal
yang bersifat privat seperti mengurus hal–hal yang bersifat
domestik contohnya memasak,
mengurus anak dan mengurus perlengkapan ritual.
Masyarakat Sumba sendiri menganut budaya patriaki yang merupakan
dominasi atau
kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya,
pekerjaannya, perannya dan
statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Pengertian ini kemudian dibakukan
dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki. Selain itu
sistem ini seakan-akan menjadi
ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi
dan peran antara laki-laki dan
perempuan.7 Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Sumba
laki-laki selalu memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat kalaupun perempuan
memiliki peran, hal itu tidak
akan melebihi atau mendominasi laki-laki. Adanya sistem tradisi
yang dihidupi terkadang
membuat perempuan Sumba larut dalam penguasaan kaum pria, bahkan
mereka merasa cukup
puas dengan keadaan, kebiasaan, atau tradisi yang dihidupi,
sebagian mereka tidak menyadari
7Robhe Modheh, “Membebaskan Perempuan dari Jerat Adat: Sebuah
Tinjauan Dari Ajaran Sosial Gereja”(12 Mei
2012), Diakses Februari 17, 2016,
ttp://elvismeo.blogspot.co.id/2012/05/meneropong-budaya-dan-tradisi.html
-
4
bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama
pria dalam setiap bidang
kehidupan.8
Jika kita berbicara tentang pembagian peran antara laki–laki dan
perempuan di Sumba
dalam sebuah keluarga tugas seorang perempuan adalah mengurus
hal–hal yang berkaitan
dengan kelangsungan hidup sehari-hari dari anggota keluarga
(tugas domestik), dan tugas laki–
laki adalah mengurus hal–hal yang berkaitan dengan cara
menaklukkan atau menyiasati
ancaman–ancaman yang datang dari luar rumah demi mempertahankan
kehidupan keluarga
tersebut (tugas publik) 9 laki-laki juga diidentikan dengan
pencari nafkah, pengambil keputusan
dalam keluarga sehingga secara tidak langsung membuat laki-laki
merasa lebih berkuasa dalam
keluarga. Laki-laki atau bapak sebagai tuan dalam keluarga. Jika
kita berbicara tentang peran
antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Sumba dapat
dilihat bagaimana seorang
imam atau tua adat dalam masyarakat Sumba yaitu orang yang sudah
tua dan laki–laki serta
berasal dari golongan bangsawan dan orang merdeka, perempuan
tidak akan menjadi imam
sekalipun ia menguasai ritus–ritus keagamaan.10
Dari apa yang dijelaskan di atas secara tidak
langsung perempuan telah diidentikkan dengan urusan domestik
yang berarti perempuan hanya
ada di belakang dan tidak diizinkan atau tidak mempunyai
kesempatan untuk berada dalam ruang
publik.
Perempuan terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang
tunduk, loyal, lembut
pasrah dan mengabdi, serta tempat yang dianggap sesuai untuk
perempuan adalah rumah, peran
yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus
urusan rumah tangga.11
Perempuan biasanya diidealisasikan, diharapkan untuk melayani
orang lain dan
mengesampingkan kebutuhan mereka sendiri. Karena berbagai faktor
penyebab perempuan sulit
untuk tidak melayani orang lain, sehingga sulit pula untuk
mengatakan apakah wanita secara
pribadi melayani karena pilihan atau karena tidak bisa
menggelaknya.12
8 Modheh, 2012.
9 Ir.John R.Lahade,Msc.Perempuan, Kuda dan Tenun,Kedudukan
Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat
Wewewa,Sumba,(Salatiga:Widya Sari Press,2011), .96 10
Wellem, 2004, 50. 11
Agnes Djarkasi, “Peran Perempuan dalam Kesetaraan Jender:Suatu
Tinjauan Historis di Sulawesi Utara”Women in Public Sector
”,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 115. 12
Anne Borrowdale,Tugas Rangkap Wanita Mengubah Sikap Orang
Kristen(Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia.
1993), 30.
-
5
Dari penjabaran di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh tentang peran
perempuan dalam Budaya Pahamang (untuk Kematian) di Sumba Timur
ditinjau dari kajian
Sosio-Feminis.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan
faktor-faktor perempuan tidak
berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur.
Diharapkan melalui
penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab
perempuan tidak turut
berperan dalam kebudayaan Pahamang.
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk
penelitian ini yaitu metode
penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat–sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan frekwensi atau
penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat13
Jenis penelitian pada penulisan ini yaitu jenis penelitian
kualitatif, yaitu suatu penelitian
ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam
konteks sosial secara alamiah
dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam
antara peneliti dengan
fenomena yang diteliti.14
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan
menggunakan
teknik wawancara dan studi dokumentasi. Menurut Stewart &
Cash, wawancara diartikan
sebagai sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran
atau berbagi aturan, tanggung
jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi.15
Melalui wawancara penulis mencoba
mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh
penulis dan narasumber.
Penulis memberikan pertanyaan dan narasumber akan diberikan
kebebasan untuk menjawab
pertanyaan sesuai dengan apa yang diketahui dan pengalaman
narasumber. Narasumber yang
digunakan penulis yaitu Tua–tua adat, beberapa masyarakat Sumba
yang mengerti tentang
budaya Sumba dan juga beberapa perempuan Sumba. Penulis juga
akan menggunakan studi
dokumentasi yaitu suatu metode pengumpulan data dengan melihat
atau menganalisis buku
maupun dokumen–dokumen yang berhubungan dengan apa yang diteliti
oleh penulis.16
Hal ini
juga berguna untuk menyusun landasan teori yang menjadi tolak
ukur dalam menganalisa data
penelitian untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai
oleh penulis.
13
Koentjaraninggrat,Metode – metode Penelitian Masyarakat (Jakarta
: Penerbit PT Gramedia,1981),42. 14
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu –
ilmu Sosial,(Jakarta:Salemba Humanika,2010),9 15
Herdiansyah, 2010,118. 16
Herdiansyah, 2010, 143.
-
6
Sistematika penulisan yang coba dibuat oleh penulis, yaitu:
Bagian pertama penulis
memaparkan latar Pendahuluan berupa latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian
dua penulis menjelaskan tentang
landasan teori. Bagian tiga penulis memaparkan hasil penelitian
lapangan yang berupa
masyarakat Sumba, gambaran umum budaya Pahamang dalam adat Sumba
Timur dalam hal ini
peran perempuan dalam budaya tersebut. Bagian keempat penulis
menganalisa data yang
diperoleh d lapangan dengan menggunakan teori yang terdapat pada
bagian kedua. Bagian lima
penulis akan menyimpulkan pembahasan dalam bagian sebelumnya dan
memberikan saran.
II. Teori Peran dan Teori-teori Feminis
Pada bagian selanjutnya penulis mencoba memaparkan teori yang
akan digunakan dalam
proses analisa terhadap data lapangan. Adapun teori yang dibahas
oleh penulis pada bagia ini,
yaitu: Kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat, teori peran
dan teori-teori feminis gelombang
pertama.
Kebudayaan sebagai bagian dari Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa
manusia sebagai
makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk keberlangsungan
kehidupannya, dari kenyataan
ini kemudian manusia membentuk hubungan yang beraneka ragam.
Keragaman itu kemudian
membentuk kelompok-kelompok dan pada tiap-tiap kelompok tersebut
terdiri dari kelompok-
kelompok yang lebih kecil. Apabila kelompok-kelompok kecil itu
mengadakan persekutuan
dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah apa yang kita
kenal dengan “masyarakat”.17
Ketika menjadi sebuah masyarakat maka ada kebiasaan-kebiasaan
dan kesepakatan-kesepakatan
yang terbentuk dalam masyarakat tersebut yang dibakukan menjadi
kebudayaan dan dianut oleh
masyarakat tersebut.
Kebudayaan itu sendiri terbentuk dari proses kehidupan yang
dialami manusia dalam
menghadapi dan mengatasi berbagai macam masalah hidupnya, baik
yang timbul dalam
hubungannya dengan sesama (sosial), dengan lingkungan
(natural/fisik), maupun dengan
berbagai hal yang sifatnya misteri dan gaib
(supranatural/metafisik).18
Sementara kebudayaan itu
17
H. Hartomo dan Dra. Arnicun Aziz. Ilmu Sosial Dasar.
(Jakarta:Bumi Aksara, 1990), 94 18
Victor Silaen. 2015. “Pembangunan Berbasis Identitas Budaya
Nasional”, PAX Humana Vol.II, No. 1(Januari), 12.
-
7
sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan
pengalamannya, serta
menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian
kebudayaan merupakan serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan
strategi-strategi yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan
digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud
dalam tingkah-laku dan
tindakan-tindakannya.19
Oleh karena itu masyarakat akan selalu menjadikan kebudayaan
yang
dianut sebagai tolak ukur dalam setiap tindakannya baik untuk
memenuhi kebutuhan hidup,
untuk menghadapi dan mengatasi masalah dalam hidupnya.
Kata “kebudayaan” sendiri menurut Koentjaraninggrat berasal dari
kata Sansekerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti “budi”
atau “ilmu”. Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan
akal. Istilah culture, yang
merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan
kebudayaan, berasal dari kata “colere”
yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu yang
dimaksud kepada keahlian
mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang
kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia
untuk mengolah dan mengubah
alam”.20
Seorang Antropologi bernama E.B Taylor memberikan definisi
mengenai kebudayaan
yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam
bermasyarakat.21
Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari dalam kehidupan
manusia (enkulturasi),
juga diwariskan secara sosial (bukan genetik) dari satu generasi
ke generasi berikutnya.22
Oleh
karena itu seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan itu
sendiri mengalami perubahan.
Namun sekalipun berubah kebudayaan sendiri tidak menghilang
karena terus dilestarikan melalui
tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu bentuk
pelestarian kebudayaan adalah
dengan mewariskannya dalam keluarga sebagai contoh para orang
tua akan menanamkan
pedoman-pedoman kebudayaan yang dipegangnya dengan mendidik,
mengajari, menanamkan
19
Richard G. Mayopu, ”Jurnalisme Antar Budaya Sebagai Jalan Menuju
Toleransi Berbangsa dan Bernegara ”, PAX Humana Vol.II,No.
3(September 2015), 223. 20
Koentjaraninggrat, Pengantar Antropologi Jilid I, (Jakarta:
PT.Rineka Cipta, 2003), 195. 21
Mayopu, 2015, 224. 22
Silaen, 2015, 13.
-
8
nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak-anaknya, selain secara
teori diturunkan dalam keluarga,
kebudayaan itu sendiri turun lewat pengalaman yang dialami dalam
masyarakat tempat ia berada.
Ketika kita berbicara tentang kebudayaan tentu hal ini tidak
terlepas dari apa yang di
sebut dengan adat istiadat. Dilihat dari peran dan fungsinya
adat merupakan “sesuatu” yang
digunakan oleh masyarakat dalam rangka memelihara keutuhan dan
keharmonisan hubungan
diantara sesama anggotanya.23
Adat dan kebudayaan merupakan kebiasaan dan berlaku dalam
konteks lingkungan sosial setiap masyarakat yang memilikinya,
oleh karena itu setiap adat dan
kebudayaan yang berlaku pada suatu tempat tidak akan sama dengan
tempat yang lain. Namun
kebudayaan itu sendiri juga turut berubah seiring dengan
perkembangan zaman dan perubahan-
peruban yang dialami oleh masyarakat tempat kebudayaan itu
dibentuk.
Berkaitan dengan judul yang akan dibahas oleh penulis tentang
peran perempuan dalam
kebudayaan, maka penulis mencoba membahas tentang teori peran
guna mendukung tulisan ini
dalam pembahasan selanjutnya.
Teori Peran
Manusia adalah makhluk sosial, yang biasanya manusia akan
menjadi apa dan siapa,
tergantung pada lingkungan sekitarnya atau pada siapa ia
bergaul. Manusia tidak bisa hidup
sendirian, sebab terdapat adanya rasa saling ketergantungan satu
sama lain. Dalam pergaulan
hidup, manusia menduduki fungsi yang bermacam-macam dan manusia
itu sendiri berperan
sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam keluarga maupun
dalam lingkungan masyarakat
tempat ia berada. Oleh karena itu maka setiap individu mempunyai
kumpulan peranan tertentu
ketika ia berhadapan dengan dengan orang-orang disekitarnya.
Istilah peranan sendiri dipinjam dari sandiwara, dimana seorang
pemain memainkan
suatu peranan sebagai pahlawan atau sebagai penjahat. Untuk
menjelaskan lebih jauh lagi
peranan apa yang dimainkan, sipemain ini memakai topeng. Topeng
ini masih dipakai oleh
penari Jawa atau Bali dan juga dulu dipakai oleh pemain Yunani.
Pada zaman itu topeng tersebut
dinamakan “persona”. Persona berarti pernyataan lahir,
pernyataan keluar seseorang atau dalam
bahasa Inggris “social self” ini diwujudkan dalam kumpulan
peranan atau “set of roles”
seseorang, dimana ia sebagai obyek menyesuaikan diri dengan
norma-norma yang berlaku.24
23
Silaen,2015, 17. 24
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan
Masyarakat, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), 22
-
9
Menurut Soejono Soekamto, Peran adalah suatu konsep perihal apa
yang dapat dilakukan
individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan
meliputi norma-norma yang
dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat,
peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan
yang membimbing
seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.25
Ini berarti bahwa peran yang dilakukan oleh
individu tidak hanya berasal dari dirinya sendiri tetapi juga
dipengaruhi oleh lingkungan tempat
ia bertumbuh.
Namun peran sendiri tidaklah bersifat dinamis melainkan ia
bersifat statis atau berubah-
ubah sesuai dengan tahap perkembangan hidup seseorang, contohnya
peran seseorang dari ketika
ia kecil, akan berubah ketika ia menjadi seorang remaja, dewasa
kemudian dalam keluarga dan
juga perannya dalam ligkungan dari rumah, sekolah kemudian
kantor tentu perannya akan
berbeda-beda. Perubahan peran seseorang tidak hanya berdasarkan
pada individu itu sendiri
tetapi juga berdasarkan pada perkembangan kebudayaan tempat ia
berada, seperti dari yang
primitif sampai yang canggih, dari yang tradisional sampai pada
yang modern.26
Karena itu
kumpulan peranan berubah tergantung tempat dan serta umur
individu tersebut.
Perilaku individu dalam kesehariannya, hidup bermasyarakat
berhubungan erat dengan peran
, karena peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani
seorang individu dalam
bermasyarakat. Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan
norma-norma yang berlaku juga di
masyarakat.
Adapun Tiga macam fungsi norma menurut Hommes, yaitu :
1. Mengatur cara pergaulan. Karena seringkali peranan berbentuk
pasangan yang saling
mempengaruhi, misalnya suami-istri; orang tua-anak; guru-murid
dan sebagainya. Jika
salah ,satunya tidak berperan, maka yang lain tidak bisa
berperan.
2. Mengendalikan anggota masyarakat dalam proses menyesuaikan
diri dengan norma-
norma yang pantas. Misalnya, kemauan seorang individu
dikendalikan demi
kewajibannya terhadap keadaan yang baik di masyarakat.
25
http://fahir-blues.blogspot.co.id/2013/06/teori-peran-dan-definisi-peran-menurut.html
Diakses September 05-2016 26
Hommes, 1992, 20.
http://fahir-blues.blogspot.co.id/2013/06/teori-peran-dan-definisi-peran-menurut.html
-
10
3. Meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan diri sendiri
pada masa depan.
Misalnya, seorang suami sudah mengharapkan isterinya akan
menyiapkan makanan
karena peranannya adalah memasak.27
Sistem peranan, menurut Hommes dapat menjamin kehidupan
masyarakat yang teratur
dan harmonis. Namun tidak dapat kita pungkiri juga bahwa seiring
dengan perubahan sosial
yang terjadi turut mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam arti
bahwa peran yang
dijalankan seseorang dapat berubah-rubah seperti yang layak dulu
bisa jadi tidak diterima
lagi pada masa kini.
Peranan Perempuan dalam masyarakat
Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan
pola tingkahlaku yang
berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua
makhluk ini. Pembagian peran
ini berfungsi melengkapi kekurangan-kekurangan kedua jenis
manusia ini, supaya persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang
lebih baik (Manwell).28
Masyarakat memahami secara mendasar, perempuan adalah ibu rumah
tangga. Pria adalah
pencari nafkah, perempuann adalah penjaga dan pembagi makanan.
Dia adalah seseorang yang
mengambil alih setiap persoalan. Seni mengasuh tunas bangsa
merupakan tugas utama
perempuan dan satu-satunya hak istimewa.29
Pemahaman tentang peran perempuan seperti ini
yang kemudian menyebabkan perempuan terus menganggap tempat
mereka mereka adalah
dalam bidang domestik dan mereka tidak berperan dalam rana
publik.
Berhubungan dengan peran laki-laki dan perempuan, secara hirarki
status laki-laki lebih
tinggi dari pada si perempuan. Misalnya, kedudukan seorang ibu
rumah tangga tetap berada
dibawah kedudukan seorang bapak, sebagai kepala keluarga.
Walaupun si ibu seorang
perempuan berkarir dia tetap dibebani dengan banyak kewajiban,
seperti membesarkan anak,
mengurus rumah tangga, serta mendampingi suaminya.
Adapun salah satu lingkungan terkecil dalam masyarakat yang juga
mempengaruhi
kehidupan seorang individu yaitu keluarga, keluarga merupakan
lingkungan pertama tempat
peran seseorang dimulai dan keluarga berfungsi memenuhi pelbagai
kebutuhan manusiawi mulai
dari kebutuhan primer (sandang, pangan serta papan), kebutuhan
rasa aman, kebutuhan untuk
27
Hommes, 1992, 21. 28
Arief Budiman, Pembagian Kerja secara Seksual, (Jakarta:
Gramedia, 1985), 24. 29
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 48.
-
11
mencintai serta dicintai, kebutuhan akan harga diri, sampai
dengan kebutuhan aktualisasi diri.
Banyak orang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup
dilingkungan rumah tangga.
Tugas alami yang kemudian dimiliki oleh perempuan adalah
melahirkan dan membesarkan anak-
anak di dalam lingkungan rumah tangga, serta memasak dan memberi
perhatian kepada
suaminya, supaya sebuah rumah tangga yang tenteram dan sejahtera
dapat diciptakan.30
Hal ini
tidak dapat kita pungkiri jika melihat dari peran perempuan yang
terbentuk dalam masyarakat
yang menganut budaya patriaki.
Perempuan selalu diberikan tanggung jawab untuk perawatan
sehari-hari kaum pria dan
anak-anak di tengah-tengah keluarganya sendiri maupun dalam
masyarakat. Mereka terus
menerus dituntut untuk mengutamakan kebutuhan orang lain di atas
kebutuhan mereka sendiri.
Naluri keibuan yang mengharuskan kesiapsediaan untuk
menyampingkan kebutuhannya sendiri
demi melayani orang lain.31
Perempuan adalah makhluk yang ditugaskan untuk menyediakan
semua kebutuhan rumah tangga, mendidik anak-anak dengan
mengesampingkan kepentingannya
sendiri. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan patriaki menjadi
semakin kuat dalam sebuah
keluarga.
Gerakan-gerakan Feminisme
Feminisme bukanlah istilah baru, sebaliknya istilah-istilah
feminis telah ditemukan
berabad-abad yang silam. Kata feminis berasal dari kata latin
feminia(perempuan) yang
mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan”, dan mulai dipakai
istilah tersebut pada tahun
1890an disebuah publikasi The Athenaeum, 27 April 1895. Walaupun
pada saat itu istilah
feminisme baru merupakan sebuah kesadaran dan belum merupakan
sebuah kesadaran politik
apalagi teoritis.32
Secara umum, Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan
karena yang melekat
dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan
mengalami ketidak adilan
karena jenis kelaminnya. Dibawah payung lebar berbagai feminisme
menawarkan berbagai
analisis mengenai penyebab, pelaku, dari penindasan
perempuan.33
Pemikiran-pemikiran
sosiologis, ekonomi, dan politik dapat dilihat secara mengental
di dalam teori-teori feminis
30
Budiman, 1985, 7. 31
Borrowdale, 1. 32
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku
Kompas,2006),412 33
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru,2002), 158.
-
12
Liberal, Radikal dan Marxisme, teori-teori ini kemudian
digolongkan sebagai teori-teori feminis
gelombang pertama, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan
bersifat sosiologis serta peranan
perempuan di dalamnya, dan juga telah mempermasalahkan kedudukan
dan posisi perempuan
dimasyarakat, terutama persoalan hak-hak sipilnya. Pada
gelombang kedua, pemikiran-
pemikiran feminisme bukan lagi memfokuskan diri pada
pertanyaan-pertanyaan melakukan
pergerakan politis seperti pada pertanyaan-pertanyaan melakukan
pergerakan politis seperti pada
gelombang pertama. Perspektif pada gelombang kedua kemudian
melahirkan “perempuan dan
laki-laki sama” atau setara. Perspektif ini ingin mendorong
masyarakat untuk menerima
perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki.
Adapun gerakan-gerakan feminis gelombang pertama yang dijadikan
penulis sebagai
landasan teori diantaranya yaitu, :
Feminis Liberal
Aliran ini mendasari prinsip-prinsip falsafah liberalisme yaitu
rasionalitas, bahwa semua
orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, setiap orang harus
punya kesempatan yang sama
untuk memajukan dirinya, dan berpendapat bahwa perempuan juga
sama rasionalnya dengan
laki-laki. Feminis liberal beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini
belum diberikan kepada wanita,
karena itu mereka menuntut supaya prinsip-prinsip ini segera
dilaksanakan sekarang
juga.34
Wanita harus sadar akan hak-haknya, wanita harus menuntut apa
yang menjadi haknya.
Tuntutan ini akan menyadarkan kaum laki-laki, dan kalau
kesadaran ini sudah merata maka
dengan kesadaran baru ini, manusia akan membentuk suatu
masyarakat baru dimana laki-laki
dan wanita bekerjasama atas dasar persamarataan.35
Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan
“masyarakat yang adil
dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam
masyarakat seperti itu, perempuan
dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa
mereka adalah golongan
tertindas. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan
rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga
harus diberi hak yang sama
juga dengan laki-laki.
34
Budiman, 1985, 36. 35
Budiman, 1985, 36.
-
13
John Stuart Mill dan Harriet Taylor (Mill) dalam tulisannya
mengikuti Wolstonecraft
dalam hal merayakan nalar, akan tetapi mereka memandang nalar
tidak saja secara moral,
sebagai kapasitas untuk mengambil keputusan secara otonom,
tetapi juga melalui pemikiran yang
hati-hati, sebagai pemenuhan diri atau penggunaan akal untuk
mendapatkan apa yang diinginkan.
Mill dan Taylor mengklaim cara yang biasa untuk memaksimalkan
kegunaan yang total
(kebahagiaan/kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap
individu untuk mengejar apa yang
mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau
menghalangi di dalam proses
pencapaian tersebut. Jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan
seksual, atau keadilan gender
maka masyarakat harus memberikan perempuan hak politik dan
kesempatan, serta pendidikan
yang sama yang dinikmati oleh laki-laki.36
National organization for Women (NOW, Organisasi Nasional untuk
Perempuan) mereka
menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian
hambatan berdasarkan adat
kebiasaan dam hambatan hukum, yang membatasi masuknya serta
keberhasilan perempuan pada
apa yang disebut dunia publik. Feminis liberal menekankan,
pertama-tama, bahwa keadilan
gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil,
sedangkan kedua, untuk
memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan
pelayanan bagi masyarakat
dirugikan secara sistematis; keadilan gender tidak menuntut kita
untuk memberikan hadiah bagi
pemenang dan yang kalah.37
Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari
peran gender yang
opresif-yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan
atau pembenaran untuk
memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan
tempat sama sekali, bagi
perempuan dalam lingkup publik. Mereka menekankan bahwa
masyarakat patriakal mencampur
adukkan seks dan gender, dan menganggab hanya
pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan
dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan.38
Feminis Radikal
Berdasarkan pada karya-karya Kate Millet dan Shulamith
Firestone
Gerakan ini beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab
pembagian kerja
secara seksual adalah sistem Patriakal. Feminis radikal
mengklaim bahwa sistem patriarkal
36
Rosemarie Putnam Tong. Feminis Thought, ed. Aquarini Priyatna
Prabasmoro(Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 23. 37
Tong, 1998, 36. 38
Tong, 1998, 48-49.
-
14
ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi.39
Sistem patriakal tidak dapat dibentuk
ulang, tetapi harus dicabut sampai akar dan cabang-cabangnya.
Bukan hanya struktur hukum dan
politis patriarki saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan
bagi pembebasan perempuan.
Lembaga sosial kultural (terutama keluarga, gereja dan akademi)
harus juga dicabut dari akar-
akarnya.40
Basis teori ini adalah bahwa sistem patriakal tersebut datang
dari perbedaan biologis
antar jenis kelamin, khususnya peran perempuan dalam reproduksi.
Intinya adalah penindasan
secara kelamin (seks), dimana perempuan ditindas oleh
laki-laki.
Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan
wanita yang berjuang didalam
realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya.
Karena itu gerakan ini terutama
mempersoalkan bagaimana caranya untuk menghancurkan patriarki
sebagai sebuah sistem nilai
yang melembaga di dalam masyarakat.41
Feminis radikal meyakini bahwa sistem seks/gender adalah
penyebab fundamental dari
penindasan terhadap perempuan. Menurut Alisom Jaggar dan Paula
Rothenberg, memberikan
penjelasan ketertindasan yang mendasar yang dialami kaum
perempuan, yaitu:
1. Bahwa perempuan secara historis merupakan kelompok yang
tertindas;
2. Bahwa ketertidasan perempuan sangat meluas dihampir seluruh
masyarakat manapun;
3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan yang paling dalam dan
bentuk ketertindasan
yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan
dengan perubahan-perubahan
sosial seperti penghapusan kelas tertentu;
4. Bahwa ketertindasan terhadap perempuan menyebabkan
kesengsaraan yang amat sangat
terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitaif,
walaupun kesengsaraan
tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan, baik yang
dilakukan oleh pihak
penindas maupun yang tertindas;
5. Bahwa penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan
model konseptual
untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan.42
39
Tong, 1998, 3. 40
Tong, 1998, 3. 41
Budiman, 1985, 42. 42
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku
Kompas,2006),5
-
15
Dapat disimpulkan bahwa aliran ini menekankan penindasan
terhadap perempuan terjadi
melalui kekuasaan seksualitas laki-laki yang diikuti upaya
laki-laki mengontrol tubuh
perempuan.
Dalam buku nya “Sexsual Politics”, Millet menyatakan bahwa
hubungan laki-laki dan
wanita di dalam masyarakat merupakan hubungan politik. Dia
mendefinisikan politik sebagai
hubungan didasarkan pada struktur kekuasaan suatu sistem
masyarakat di mana satu kelompok
manusia dikendalikan oleh kelompok manusia yang lainnya. Nama
struktur kekuasaan dimana
laki-laki mengendalikan wanita adalah Patriarki. Lembaga utama
dari sitem Patriarki ialah
keluarga. Millet melihat Patriarki sebagai sistem kebudayaan,
tapi dia terutama menekankan
aspek psikologisnya. Patriarki merupakan simpang pertemuan
antara psikologi (kebiasaan
rohani) dan kebudayaan (cara kehidupan).43
Menurut Millet: Harus dipahami bahwa arena revolusi seksual
terutama ada didalam kesadaran manusia, bukan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang diciptakan
manusia, meskipun lembaga-lembaga ini memainkan peran yang
penting, sistem
Patriakal di tanamkan di dalam diri manusia, dan sebuah struktur
kepribadian
tertentu diciptakan didalam diri baik laki-laki maupun wanita,
yang membuat sistem
patriakal ini menjadi sebuah kebiasaan rohaniah dan sebuah cara
kehidupan manusia.
Karena itu, patriarki kurang atau tidak tampak sebagai suatu
sistem politik yang
eksplisit, patriaki lebih tampak sebagai hakekat manusia itu
sendiri.44
Akan tetapi gerakan ini terlalu memusatkan perhatiannya pada
kenyataan bahwa laki-laki
mendapat banyak keuntungan dari sistem patriakal. Kaum feminis
radikal terlalu melihat laki-
laki sebagai musuh mereka yang utama. Karena itu, kaum feminis
radikal seakan tidak bisa atau
tidak mau melihat bahwa sistem patriakal juga menindas
laki-laki.45
Laki-laki diberi peran
didalam keluarga sebagai orang yang harus bekerja untuk
memperoleh penghasilan untuk
menjaga kestabilan ekonomi dari keluarganya, sehingga membuat ia
tidak bisa melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan uang.
Feminis Sosialis
Mendasarkan perjuangannya pada teori Engels atau lebih tepatnya
pada teori Marxis.
43
Budiman, 1985, 42. 44
Budiman, 1985, 38. 45
Budiman, 1985, 42.
-
16
Feminis Marxis dan sosialisasi mencoba menteorikan kapitalisme
dan patriarki secara
bersama-sama untuk mengeksplorasi hubungan antara
ketidaksetaraan kelas dan gender.46
Kaum feminis sosialis memberi perhatian yang besar pada kondisi
sosial ekonomi. Mereka
percaya, berdasarkan teori substruktur (dasar-dasar materil dari
masyarakat yakni sistem sosial
ekonomi dan masyarakat tersebut, dan siapa yang diuntungkan oleh
sistem ini) dan super struktur
(organisasi masyarakat yang mendukung sistem pembagian
hasil-hasil produksi yang pincang
ini, misalnya sistem nilai-nilai masyarakat tersebut, sistem
hukum yang ada dan sebagainya)
bahwa pembagian pekerjaan berdasarkan seksual hanyalah merupakan
bagian dari super struktur
yang akan hancur dengan sendirinya bila substrukturnya
berubah.47
Meskipun kaum feminis sosialis mengutamakan perjuangannya pada
perubahan sistem
sosial ekonomi, ini tidak berarti bahwa perjuangan melawan
patriarki tidak ada dalam daftar
perjuangan kaum-kaum feminis sosialis. Tapi pada dasarnya kaum
feminis sosialis menganggab
bahwa sistem patriakal bukanlah sesuatu yang mendapat prioritas
pertama dalam daftar
perjuangannya.48
Teori sosial Feminis memberi perhatian pada upaya memahami
ketidaksetaraan
yang mendasar antara laki-laki dan perempuan, juga analisis
terhadap kekuasaan laki-laki atas
perempuan. Dasar pemikirannya adalah dominasi laki-laki berasal
dari tatanan sosial, ekonomi,
dan politik yang khas dalam masyarakat tertentu.49
Marxisme menawarkan analisis mengenai penindasan sebagai sesuatu
yang sistimatis dan
menyatu dalam struktur masyarakat, karena ketertindasan
perempuan dilihat memiliki asal usul
sosial, dimana hal ini tidak terjadi secara alamiah dan bukan
pula dibentuk secara kebetulan
antara laki-laki dan perempuan.
Feminis Marxis dan sosialis mengklaim bahwa adalah tidak mungkin
bagi setiap orang
terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam
masyarakat yang berdasarkan
kelas, masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak
berkekuasaan (yang jumlahnya
banyak) berakhir ditangan berkekuasaan ( yang jumlahnya
sedikit). Refleksi dari keadaan ini
mengisyaratkan bahwa kapitalisme sendiri bukan hanya sekedar
aturan sosial yang lebih besar
yang lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan adalah
penyebab dari opresi
(penindasan) terhadap perempuan. Sistem kapitalis harus
digantikan oleh sistem sosialis yang
46
Joanne Hollows. Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer,
(Jalasutra, 2010), 11. 47
Budiman, 1985, 43. 48
Budiman, 1985, 44. 49
Stevi Jackson dan Jackie Jones. Teori-teori Feminis Kontemporer.
(Yogyakarta. Jala Sutra. 2009), 21.
-
17
akan mengatur alat produksi sebagai milik satu semua. Karena
tidak lagi bergantung secara
ekonomi pada laki-laki, maka perempuan akan menjadi sebebas
laki-laki. Feminis sosialis setuju
dengan feminis Marxis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi
terhadap perempuan, dan
dengan radikal feminis bahwa Patriarki adalah sumber dari opresi
terhadap perempuan.50
Dengan diterapkannya sistem kapitalisme menyebabkan kaum
perempuan tidak
mempunyai nilai ekonomi dalam keluarga dan masyarakat, sehingga
ia merasa tertindas dan
memiliki ketergantungan dengan laki-laki karena mereka adalah
kelas yang bekerja. Sehingga
menurut Marx, yang membawa perubahan bagi perempuan dan kaum
tertindas adalah aspek
material bukan ide, pikiran dan nilai-nilai manusia.51
Perempuan tidak dapat membentuk dirinya
sendiri apabila secara secara sosial dan ekonomi masih
bergantung pada laki-laki.
III. Budaya Pahamang dalam adat kematian dan Peran Perempuan
dalam Budaya
Sumba Timur
Gambaran Umum Lokasi Penelitan
Sumba Timur adalah salah satu kabupaten diantara empat kabupaten
yang ada di Pulau
Sumba yang diantaranya, yaitu Kabupaten Sumba Tengah, Sumba
Barat dan Sumba Barat Daya.
Sumba sendiri termasuk dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara
Timur.
Kabupaten Sumba Timur sendiri berada diantara 45 - 52 BT dan 16
- 20
LS. Luas Kabupaten Sumba Timur hingga kini yaitu 7.000,5 atau
700.050 Hektare (luas
daratan). Berdasarkan geografisnya, Kabupaten Sumba Timur
memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut :
1. Sebelah utara berbatasan dengan selat Sumba
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Hindia
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupatan Sumba Tengah
4. Sebelah Timur berbatasan dengan laut Sabu.
Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba
Timur memiliki 2 musim,
yaitu musim kemarau dan musim Hujan. Pada umumnya Sumba Timur
diguyur hujan pada bulan
Januari-April, sementara 8 bulan lainnya mengalami kemarau, oleh
karena itu wilayah Sumba
50
Tong, 1998, 6. 51
Tong, 1998, 6.
-
18
Timur tergolong wilayah kering serta keadaan tanah yang berbatu
dan keadaan wilayah yang
terjal.
Mayoritas penduduk Sumba Timur beragama Kristen Protestan dan
Katolik, namun ada juga
agama resmi lain yang ada di Sumba Timur diantaranya agama
Islam, Hindu danBudha.
Sementara masyarakat desa masih banyak yang menganut kepercayaan
asli orang Sumba, yaitu
kepercayaan Marapu.
Kabupaten Sumba Timur sendiri terdiri dari 22 Kecamatan. Adapun
tempat penelitian yang
dipilih oleh penulis yaitu Kecamatan Kota Waingapu dengan ibu
kota kecamatan yaitu Kota
Waingapu. Kecamatan ini berdiri sejak tahun 1970. Luas Wilayah
Kecamatan Kota Waingapu,
yaitu 73,8 . Batas wilayah Kecamatan Kota Waingapu, yaitu
sebelah Utara berbatasan
dengan Selat Sumba, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec.
Kambera, Sebelah Timur
berbatasan dengan Kec. Nggoa, dan sebelah Barat berbatasan
dengan Nggoa dan Kanatang.
Hingga kini Kecamatan Kota Waingapu terdiri dari 4 kelurahan dan
terdiri dari 3 desa,
diantaranya, yaitu: Kel. Hambala, Kel. Kamalaputi, Kel.
Kambajawa, Kel. Matawai, Desa
Lukukamaru, Desa Mbata Kapidu, dan yang terakhir yaitu Desa
Pambola Njara.
Jumlah penduduk untuk Kecamatan Kota Waingapu sendiri menurut
data statistik tahun
2014 adalah 38.084 orang yang terdiri dari laki-laki 19.650
orang dan jumlah Perempuan 18.434
orang.52
Dari data ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih
banyak dari jumlah
penduduk perempuan.
Penulis mengambil Kecamatan Kota sebagai tempat penelitian
dikarenakan masih banyak
masyarakat yang berada di Kecamatan Kota yang terus berusaha
mempertahankan budaya
Pahamang yang menjadi warisan kebudayaan Sumba dan berpendapat
bahwa budaya Pahamang
sebagai salah satu tradisi yang harus dijalankan oleh orang
Sumba ketika akan melakukan adat
perkawinan dan melakukan adat kematian.
Masyarakat Sumba
Ketika kita berbicara tentang masyarakat Sumba tentu masyarakat
ini tidak akan ada
begitu saja di Sumba, orang Sumba percaya bahwa para leluhur
semua orang Sumba diturunkan
di Malaka Tana bara (Semenanjung Malaka) sebelumnya mereka telah
secara bergelombang
52
Data statistik Kabupaten Sumba Timur tahun 2015
-
19
menyusuri pulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Flores yang kemudian tiba di
Tanjung Sasar pulau Sumba dan tinggal di pulau Sumba.
Masyarakat Sumba percaya bahwa daerah Haharu merupakan wilayah
yang pertama kali
orang Sumba mendarat dan mendiami pulau ini, serta bersepakat
tentang berbagai hal tentang
tata kehidupan (adat istiadat) sebelum mereka membentuk
kelompok-kelompok yang dikenal
sebagai kabihu-kabihu53
dan menyebar ke berbagai tempat di pulau Sumba yang kemudian
kabih-kabihu serumpun membangun Paraingu (kampung besar) pada
tempat yang akan didiami
dan berkembang biak hingga saat ini. Pada Paraingu inilah setiap
aktifitas masyarakat dimulai,
dan menjadi pusat kegiatan bagi masyarakat baik dalam melakukan
berbagi macam kegiatan
rumah tangga, kegiatan sosial, ekonomi, politik (pemerintahan)
hingga tempat adat istiadat dan
ritual-ritual keagamaan diselenggarakan
Hingga kini yang mendiami pulau Sumba tidak lagi hanya
orang-orang Sumba, namun
telah banyak juga ditempati oleh masyarakat dari berbagai etnis
yang ada di Indonesia
diantaranya, yaitu Sabu, Jawa, Flores, Timor, Alor, Cina, Bali
dan masih banyak lagi etnis
lainnya. Etnis Sumba adalah etnis yang mendominasi, sedangkan
etnis Sabu berada pada urutan
kedua.
Budaya Masyarakat Sumba
Kebudayaan yang dimiliki oleh orang Sumba sangat terkait dengan
kepercayaan asli
yang dianut oleh masyarakatnya, yaitu Kepercayaan Marapu.
Seluruh tatanan kehidupan orang
Sumba sangat berkaitan dengan pemahaman tentang Marapu.
Kepercayaan Marapu itu sendiri
adalah kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah
nenek moyang, makhluk-
makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti.54
Nooteboom berpendapat bahwa Marapu
adalah kekuatan kekuatan supranatural, baik yang bersifat oknum
maupun yang tidak, yang
tampil dalam berbagai macam bentuk.55
Marapu sendiri dapat diartikan suci, mulia, dan sakti
sehingga harus dihormati, oleh karena itu setiap adat istidat
dan kebudayaan yang dijalankan
oleh masyarakat Sumba tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan
Marapu. Sekalipun sebagian
besar masyarakat Sumba tidak lagi menganut kepercayaan Marapu,
namun adat istidat dan
53
Kabihu:suatu kelompok yang didasarkan pada persekutuan
geneologi, yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang
menjadi turunan dari satu leluhur. Jadi bisa dibilang kelompok
berdasarkan suku/marga. 54
Welem, 2004, 42 55
Wellem, 2004, 41
-
20
kebudaayaan yang ada di Sumba masih terus dipertahankan dan
dijalankan oleh orang Sumba.
Hal ini terlihat dari bagaimana pada acara perkawinan, kematian,
saat hendak menanam dan
melakukan panen hasil pertanian masih ada masyarakat di Sumba
yang melakukan upacara-
upacara adat guna meminta petunjuk, meminta izin maupun meminta
perlindungan dari Marapu
melalui ritual-ritual yang dilakukan.
Kematian bagi orang Sumba
Orang Sumba sendiri memahami kematian sebagai suatu peralihan
dari kehidupan yang
fana didunia ini ke suatu kehidupan yang lebih baik, makmur dan
damai sejahtera. Alam
kehidupan ini disebut negeri leluhur (Paraingu Marapu). Orang
Sumba percaya bahwa ditempat
ini orang mati akan hidup seperti ketika mereka berada didunia
dimana mereka melakukan
pekerjaan seperti bertani, beternak, makan dan juga minum. Hal
ini yang kemudian
menyebabkan pada upacara kematian dan penguburan dipotong banyak
hewan dan jenasah
dibungkus dengan banyak selimut atau sarung (kain Sumba) sebagai
bekal hidup di Paraingu
Marapu.56
Peristiwa kematian merupakan suatu peristiwa penting dalam
anggapan masyarakat
Sumba Timur, karena kematian merupakan saat penyerahan kembali
jiwa si mati kepada
Alkhalik dan upacara kematian dilakukan agar orang yang
meninggal mendapat tempat layak
diseberang kubur.
Kematian ditandai dengan berhentinya napas dan denyut jantung
seseorang. Adapun tahap-
tahap upacara adat kematian di Sumba Timur,yaitu :
1. Saat meninggal
Saat seseorang meninggal dunia hal ini tidak segera
diberitahukan kepada
keluarga. Terlebih dahulu Imam dipanggil untuk memastikan
mengenai mati tidaknya
seseorang. Imam memanggil nama orang yang meninggal empat kali
dan apabila tidak
ada sahutan maka resmilah kematian tersebut.
2. Pa hadangu ( Membangunkan)
Kepercayaan Marapu berkeyakinan bahwa yang meninggal sudah
kembali ke
negeri leluhur. Karena itu jenasah disimpan dengan cara duduk,
menyerupai keadaan
56
F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004),
79
-
21
semula ketika semasih didalam kandungan, setelah itu dililit
dengan berlapis kain Sumba
jika laki-laki dan sarung Sumba jika yang meninggal adalah
perempuan, dan kemudian
jenasah didudukkan diatas kursi dari kulit kerbau (keka
manulangu). Namun kini
kebiasaan mendudukkan jenasah tidak lagi dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat
Sumba, kini jenasah sudah ditidurkan dalam peti.
“Membangunkan” berarti membuat rohnya berada kembali dalam tubuh
atau
jenasahnya sehingga mulai dapat diberi sirih pinang dan makanan.
Sejak saat itupula
diadakana penjagaan mayat (“Pa Wala”, = Mete) dan gong mulai
dibunyikan siang dan
malam sebagai tanda berduka.
3. Membuat Kuburan
Bukan seperti sekarang dimana semua makam sudah dibangun dari
bahan semen,
pada masa lalu sebelum upacara pemakaman, keluarga dari orang
yang meninggal harus
terlebih dahulu mempersiapkan kuburan.
4. Dudangu (mengundang)
Mengundang kerabat atau keluarga untuk turut serta dalam upacara
kematian
selanjutnya, dan juga sebagai cara untuk memberitahukan keluarga
yang jauh tentang
berita kematian dari orang yang telah meninggal. Biasanya
keluarga mengutus dua orang
Wunang dan sebelum mereka berangkat biasanya mereka dilengkapi
dengan tata cara
penyampaian undangan secara adat dan kelengkapan undangan secara
adat.
5. Lodu Taningu
Upacara pemakaman yang dimulai dari penyambutan tamu yang
menghadiri acara
pemakaman, penguburan dan kemudian keluarga menjamu tamu sebelum
para tamu
kembali kekampungnya masing-masing.
6. Warungu Handuka (Berhenti berkabung)
Beberapa hari setelah penguburan semua keluarga dekat dan
tetangga dari orang
yang meninggal diundang lagi untuk bersama-sama mengikuti
penutupan “masa
berkabung”, dalam acara ini pihak keluarga menyampaikan ucapan
terima kasih atas
kebersamaan dan kegotong royongan dalam urusan pemakaman dan
didalam menerima
keluarga yang datang menghadiri upacara pemakaman.
-
22
7. Palundungu(Penyelesaian)
Upacara ini merupakan yang terakhir dimana “arwah orang yang
meninggal
dihantar ke alam bersyah” kenegeri dewa atau kayangan. Dalam
acara ini arwah simati
berangkat bersama-sama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri
Marapu. 57
Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur
Masyarakat Sumba terkenal dengan sistem kekerabatan yang sangat
kuat, sehingga dalam
seluruh kehidupan dan pekerjaannya, masyarakat Sumba selalu
menekankan pada nilai dan juga
ikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Salah satu contoh
kebudayaan yang menekankan pada
nilai kekerabatan dan kekeluargaan yang masih dipertahankan oleh
masyarakat Sumba hingga
kini yaitu Pahamang.
Pahamang sendiri memiliki arti berunding, berdiskusi atau
musyawarah bersama untuk
mencapai suatu keputusan bersama. Pahamang menjadi bagian yang
penting dalam adat Sumba
Timur karena masyarakat Sumba Timur menjunjung tinggi kebiasaan
untuk bermusyawarah
bersama dalam menanggapi dan membahas masalah-masalah yang
dihadapi dengan tujuan untuk
mendapat kesimpulan yang disetujui bersama dan menjadi keputusan
bersama. Masyarakat
Sumba pada umumnya sangat menghormati keputusan-keputusan yang
diambil berdasarkan
perundingan atau diskusi yang dilakukan bersama.58
Kebiasaan untuk melakukan musyawarah adat sendiri bukanlah hal
baru bagi orang
Sumba, sejak dahulu masyarakat Sumba telah terbiasa untuk
melakukan musyawarah adat.
Dilihat dari sejarah masyarakat Sumba setelah leluhur mendarat
di Haharu, para leluhur
membangun Paraingu dan melakukan musyawarah untuk menetapkan
tata kehidupan mereka dan
menentukan berbagai adat istidat serta peraturan yang akan
diberlakukan dalam tatanan
kehidupan masyarakat pada saat itu. Hal ini dilakukan sebelum
mereka menyebar ke berbagai
tempat di pulau Sumba.
Dari rumusan-rumusan hasil musyawarah masyarakat Sumba dahulu
kemudian masyarakat
mengembangkannya menjadi berbagai macam aturan-aturan yang
kemudian menjadi tradisi yang
mengatur tatanan kehidupan orang Sumba, dan kemudian menjadi
kebudayaan yang terus
dilestarikan oleh masyarakat Sumba.
57
F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004),
304-321 Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul
17.00 WITA
-
23
Pahamang sebagai bagian dari kebudayaan orang Sumba sering
dilakukan dalam
pelaksanaan adat baik dalam adat perkawinan maupun dalam adat
kematian. Secara khusus pada
tulisan ini penulis mencoba mengkaji Pahamang pada adat Kematian
karena masyarakat Sumba
sendiri percaya bahwa fase terpenting dalam kehidupan manusia
adalah kematian. Pahamang
menjadi bagian yang penting dalam adat orang Sumba Timur karena
salah satu cara masyarakat
Sumba menjaga kekerabatan dalam keluarga, melalui Budaya
Pahamang ini keluarga besar yang
berada pada tikar adat memiliki kesempatan untuk menyatakan
pendapat mereka dan agar
mereka dapat sepemahaman dalam membuat keputusan-keputusan.
Melalui diskusi ini apapun
yang menjadi pokok pikiran dan apa yang menjadi pendapat
masing-masing orang dapat
disampaikan. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya
konflik dalam keluarga karena
perundingan atau diskusi ini dilakukan untuk mencapai keputusan
bersama dan setiap keputusan
yang diambil dalam proses ini akan menentukan jalannya adat
selanjutnya. Pahamang sendiri
sebagai warisan dari kepercayaan Marapu tidak hanya dijalankan
oleh masyarakat yang masih
menganut kepercayaan Marapu, melainkan oleh masyarakat Sumba
telah menganut agama resmi
yang terus mempertahankan kebiasaan untuk melakukan
Pahamang.59
Pahamang sendiri biasanya dilakukan dirumah adat atau rumah
besar60
dari kabihu orang
yang meninggal. Dalam hal pelaksanaan adat Pahamang, jika
Pahamang dilakukan dirumah adat
keluarga yang menganut kepercayaan Marapu masih ada
ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh
tua-tua adat keluarga bersangkutan yang dipimpin oleh Ratu yang
berfungsi mengatur seluruh
jalannya ritual adat, sebelum memulai diskusi adat ini. Ketika
mengambil keputusan maupun
ketika mengakhiri musyawarah adat dalam keluarga Marapu, apa
yang menjadi keputusan
bersama harus dijalankan sesuai dengan kesepakatan dan pamali
jika dilanggar. Biasanya
keluarga tidak akan melanggar apa yang telah diputuskan dalam
adat karena hal itu sudah
bersifat mutlak dan harus dilaksanakan.
Namun jika Pahamang dilakukan oleh keluarga yang telah beragama
Kristen, Pahamang
biasanya juga dilakukan di rumah adat (Rumah besar, Rumah Marga)
jika yang menganut
kepercayaan Marapu masih terlebih dahulu melakukan ritual maka
bagi yang menganut agama
Kristen biasanya sebelum memulai diskusi adat ini keluarga telah
mengundang penatua dari
gereja untuk membuka musyawarah dengan doa bersama dan
menutupnya dengan doa. Setiap
59
Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00
WITA 60
Bentuk rumah adat yaitu rumah panggung dan bermenara (Uma
Barangu)
-
24
keputusan yang telah diambil dalam proses Pahamang ini tetap
dijalankan untuk menghargai
proses adat yang telah berlangsung maupun agar adat selanjutnya
dapat berlangsung dengan baik
dan lebih teratur.
Pahamang untuk kematian biasanya dilakukan dalam tiga tahap.
Tahap pertama diikuti oleh
keluarga inti dari orang yang meninggal yaitu keluarga-keluarga
dekat dari orang yang
meninggal dan yang menjadi topik pembahasan pada tahap pertama
ini yaitu menentukan marga-
marga atau kabihu-kabihu mana saja yang diundang untuk mengikuti
Pahamang. Tahap kedua,
biasanya yang diundang yaitu orang-orang yang memiliki hubungan
keluarga atau kerabat dekat
dari keluarga orang yang telah meninggal dan keluarga yang hadir
bisa dipastikan adalah
keluarga yang dapat membantu dalam berjalannya adat. Setelah
ditentukan kabihu mana saja
yang diundang untuk terlibat pada pahamang tahap ke dua dan
keluarga inti telah mencapai kata
sepakat maka tahap kedua dari Pahamang dapat dilakukan. Tahap
kedua dari pahamang ini
diikuti oleh keluarga besar yang terkait dengan keluarga dan
orang yang telah meninggal,
jumlahnya jauh lebih banyak dari tahap pertama dan pada tahap
kedua ini yang dibahas jauh
lebih banyak di antaranya yaitu :
a. Mengetahui kekuatan keluarga pengundang dengan melihat
kehadiran dalam
musyawarah yang dilakukan.
b. Penentuan jumlah marga dan siapa-siapa atau keluarga yang
jauh-jauh, sebagai keluarga
orang meninggal yang perlu mendapat undangan dan siapa yang
ditugaskan untuk
mengundang (ini adalah tugas laki-laki dalam hal ini yaitu
Wunang atau juru bicara
keluarga).
c. Menentukan tanggal penguburan.
d. Menentukan jumlah hewan yang harus dipotong dalam upacara
adat kematian hingga
pada penguburan.
e. Cara menerima tamu, seperti apa, makan minumnya seperti apa,
sirih dan pinang yang
harus disediakan.
f. Cara membalas jika ada keluarga yang datang dalam kematian
menggunakan adat seperti
apa.61
Hingga hal-hal teknis yang akan dilaksanakan dalam proses adat
kematian hingga penguburan
biasanya dibahas dalam Pahamang tahap kedua ini, dengan tujuan
agar adat kematian dapat
61
Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00
WITA
-
25
tertata dan berjalan dengan baik dan setiap orang yang terlibat
dalam adat kematian dapat
mengetahui tugas mereka masing-masing.
Orang-orang yang terlibat dalam Pahamang ini sendiri yaitu
laki-laki yang sebagian
besarnya merupakan kepala rumah tangga dan para orang tua
khususnya yang dituakan atau yang
dihormati oleh keluarga, yang mewakil keluarga mereka
masing-masing, sehingga yang
mengambil keputusan dalam diskusi adat ini adalah laki-laki.
Biasanya Pahamang ini dipimpin
atau dimoderator oleh satu orang yang ditunjuk bersama dalam
forum diskusi ini.
Setiap hal yang menjadi topik bahasan pada tahap kedua di atas
akan dibahas secara
terperinci oleh keluarga yang mengikuti diskusi adat ini, oleh
karena itu proses diskusi ini
biasanya berjalan sangat lama, karena jika belum mencapai
kesepakatan maka keluarga akan
tetap berdiskusi mencari jalan keluar bersama hingga keputusan
bersama dapat dicapai.62
Tahap ketiga pada adat Pahamang ini dilakukan setelah keluarga
melakukan penguburan
bagi orang yang meninggal, musyawarah ini dilakukan untuk
menutup masa berkabung dan
sebagai penutup segala rangkaian adat kematian yang telah
dilakukan oleh keluarga.
Dalam diskusi adat Pahamang ini kita akan melihat perbedaan
peran yang dilakukan oleh
laki dan perempuan, yang lebih dominan untuk mengambil keputusan
dan terlibat dalam adat
proses adat sudah pasti laki-laki. Jika berkaitan dengan
konsumsi disana yang lebih berperan
otomatis perempuan. “Dalam hal pengambilan keputusan pendapat
perempuan bukannya tidak
diakomodir namun yang mana dulu, kira-kira dari 10 keputusan
yang di bibicarakan dalam tikar
adat, mungkin satu atau dua hal saja yang bisa di ambil oleh
perempuan dan hal ini tidak akan
jauh dari segala hal yang bersifat domestik”.63
Dalam rumah adat ketika pahamang berlangsung hanya laki-laki
yang berada di tikar adat
tetapi dalam hal melayani sirih pinang, atur makan minum itu
sudah pasti dilakukan oleh
perempuan. Pembagian kerja dalam budaya pahamang dilihat dari
porsi kerjanya perempuan
lebih banyak berpikir tentang teknis hal-hal yang berkaitan
dengan konsumsi atau domestik,
sedangkan laki-laki lebih banyak memikirkan tentang publik
tentang mengundang orang, tentang
hewan-hewan yang harus disembelih dan yang akan diberikan kepada
orang-orang sebagai
balasan adat.64
Dalam pahamang sendiri perempuan tidak memiliki jeda dalam
menagatur urusan
62
Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00
WITA 63
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul
17.00 WITA 64
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul
17.00 WITA
-
26
dapur dan laki- laki memang lebih banyak berada pada tikar besar
atau pada tikar adat dan peran
ini tidak dapat diganggu gugat lagi. 65
Ketika proses Pahamang berlangsung perempuan belum begitu
berperan dalam mengambil
keputusan, dalam hal yang kecil-kecil mungkin bisa didengar
namun dalam hal-hal besar
pendapat perempuan belum didengar. Jika kita melihat peran
laki-laki dalam adat sendiri tidak
dapat digantikan oleh perempuan. Contohnya saja dalam hal
mengundang orang atau kabihu lain
hal ini biasa dilakukan oleh laki-laki dengan membawa alas
bicara (bawaan) biasanya berupa
kain, mamuli dan lulu amahu, dalam hal ini sama sekali tidak
boleh dilakukan oleh perempuan
karena kabihu atau marga lain akan merasa direndahkan. Salah
satu nara sumber mengatakan
“Saya pernah mencoba untuk mengundang namun bukan hanya orang
Sumba yang
mempertanyakan hal tersebut, karena dikatakan bahwa seumur
hidupun mereka belum pernah
melihat perempuan yang datang mengundang untuk
penguburan”.66
Hal ini menunjukkan bahwa
perempuan sudah berusaha membuat perubahan-perubahan kecil namun
hal ini tidak bisa
dilakukan karena orang akan mempertanyakan dimana laki-laki
mengapa harus perempuan yang
mengundang. Menurut mereka jika peran laki-laki diganti oleh
perempuan maka nilai yang ada
itu menjadi turun, dianggab tidak menghargai orang yang
diundang.67
Salah satu alasan ketidak terlibatan perempuan dalam adat sumba
dikarenakan perempuan
Sumba merasa tidak memiliki kemampuan untuk dapat berbicara
didepan umum, apalagi jika
perempuan itu sendiri tidak menempuh pendidikan tinggi atau
tidak sekolah. Maka ia akan
merasa semakin tidak percaya diri untuk dapat berbicara atau
memberikan pendapat didepan
umum.68
Dalam budaya Sumba sendiri perempuan tidak mempunyai kedudukan
dalam urusan adat
maupun dalam upacara keagamaan, meskipun perempuan mempunyai
peranan tetapi dengan
adanya pemahaman masyarakat Sumba bahwa urusan adat merupakan
bagian dari laki-laki.
Sama halnya dengan urusan dapur merupakan urusan perempuan,
sehingga laki-laki tidak
mempunyai kedudukan/diterima disitu. Pandangan ini berasal dari
pemahaman bahwa laki-laki
adalah kepala rumah tangga, sehingga yang mengambil keputusan
dalam rumah adalah laki-
65
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul
17.00 WITA 66
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul
17.00 WITA 67
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul
17.00 WITA 68
Wawancara dengan Nn. Ratih Rambu 20 Desember 2016 pukul 10.00
WITA
-
27
laki/ayah. Sudah merupakan kewajiban seorang laki-laki untuk
berada ditikar adat. Laki-laki
sebagai perwakilan dari keluarga atau dari kabihunya.
Ketidak terlibatan perempuan dalam upacara atau pada proses adat
juga sebagai bentuk
penghargaannya terhadap laki-laki dalam hal ini suami yang telah
membelisnya. Ketika seorang
perempuan Sumba telah dibelis ia sudah dengan sendirinya tahu
bahwa tugasnya yaitu berada
didapur mengurus urusan rumah, memasak, melahirkan dan mengurus
anak-anak.69
Dalam
budaya masyarakat Sumba, perempuan diposisikan sebagai pemberi
kehidupan, karena melalui
perempuan akan lahir generasi penerus dari keluarga atau kabihu
tempat ia berada. Disini berarti
perempuan menjadi pokok kehidupan dalam sebuah rumah tangga atau
keluarga dalam
masyarakat Sumba. Jadi, dalam rumah tangga kaum perempuan
berperan menopang rumah
tangga, misalnya memasak, merawat dan mendidik anak. Dengan
demikian peranan perempuan
dalam keluarga hanya dibatasi pada sektor domestik dan peranan
dalam sektor publik hanya
sedikit.
Peran perempuan yang terbatas ini merupakan tradisi yang telah
diterapkan dalam
masyarakat sejak dulu dan seperti kita lihat diatas bahwa jika
ada yang mencoba untuk
merubahnya maka akan dipertanyakan oleh masyarakat dan akan
dianggab tidak sesuai dengan
aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Keterbatasan
peran perempuan dalam
budaya Sumba sendiri sudah merupakan hal yang wajar bagi
perempuan dan laki-laki karena
sudah merupakan tradisi yang ada dalam masyarakat dan hal ini
tidak menimbulkan kesan
negatif bagi kedua belah pihak baik bagi laki-laki dan
perempuan. Sekalipun perannya dibatasi
perempuan Sumba tetap merasa baik-baik saja dengan hal
tersebut.
IV. Peran Perempuan dalam kebudayaan Pahamang
Pada pembahasan bagian sebelumnya dapat kita lihat bahwa sebuah
masyarakat selalu
menyatu dengan kebudayaannya, dan bahwa kebudayaan itu sendiri
menyatu dalam diri
manusia. Karena itu budaya menjadi identitas dari suatu
masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan
manusia telah dibentuk oleh kebudayaan tempat ia berada dan
bertumbuh. Kebudayaan sebagai
sebuah identitas kemudian dihormati dijaga, dipegang dan
dilestarikan oleh masyarakat yang
menganut kebudayaan tersebut.
69
Wawancara dengan Ibu Elisabet, 27 Desember 2016 pukul 17.00
WITA
-
28
Masyarakat Sumba memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan
masyarakat Sumba
sangat terkait dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya
sejak dulu yaitu kepercayaan
Marapu. Hingga kini masyarakat Sumba masih terus mempertahankan
kebudayaan dan nilai-
nilai dari kebudayaan yang ada di Sumba secara turun temurun,
sekalipun sebagian besar
masyarakat tidak lagi menganut kepercayaan Marapu dan
berkembangnya kebudayaan itu sendiri
seiring dengan perkembangan zaman. Seperti dikatakan oleh E.B
Taylor, ia mendefinisikan
kebudayaan yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola
hidup dalam
bermasyarakat.70
Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Sumba dimana
kebudayaan yang
dianut oleh masyarakat Sumba telah mempengaruhi pola hidup
masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan sebagai bagian dari pembentukan identitas diri
seseorang, dimana
kebudayaan itu sendiri turut mempengaruhi peran yang dimiliki
oleh seseorang dalam
masyarakat tempat ia berada dalam artian bahwa masyarakat tempat
seseorang bertumbuh turut
mempengaruhi peran dan perkembangan seseorang. Demikian juga
yang terjadi dalam
masyarakat Sumba, peran yang diemban oleh individu dipengaruhi
oleh masyarakat tempat
orang itu bertumbuh, dan masing-masing orang terikat pada
norma-norma yang telah ditentukan
dalam masyarakat. Hommes mendefinisikan peranan sebagai petunjuk
kelakuan yang diatur
menurut norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh seorang
perempuan Sumba yang belum
menikah memiliki status sebagai anak dan ia berperan sesuai
nilai dan norma yang mengatur
bagaimana anak seharusnya berperilaku kepada orang tua dan
masyarakat. Setelah perempuan
menikah maka ia akan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang
mengatur bagaimana ia harus
berperan. Salah satu bentuk penting dari peranan menurut Hommes
yakni meramalkan perbuatan
dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.71
Sejak kecil laki-laki dan perempuan
sudah diberikan peran masing-masing, dan lewat pengamatan dengan
melihat peran yang
dilakukan oleh orang dewasa sudah terekam dalam memori mereka
berdasarkan pengamatan
terhadap orang dewasa akan peran mereka ketika menjadi dewasa.
Seperti seorang anak
perempuan yang melihat ayahnya sebagai kepala rumah tangga, yang
lebih banyak beraktifitas
pada rana publik dan ibunya yang bekerja didapur, mengurus
rumah, menjaga anak- anak atau
70
Lihat pada bagian III 71
Lihat Teori Peran pada bagian II.
-
29
berada pada rana domestik, maka ketika seorang anak perempuan
menikah ia akan menjadikan
ingatan tentang ayah dan juga ibunya sebagai tolak ukur caranya
berperan dalam berumah
tangga. Ia akan melihat suaminya sebagai kepala rumah tangga,
sebagai seorang pemimpin
dalam rumah tangga dan yang lebih berperan pada ranah publik dan
ia juga akan menempatkan
diri seperti ibunya yang bekerja di dapur, mengurus urusan rumah
dan mengurus anak-anak atau
berada pada ranah domestik.
Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba, konstruksi
budaya dalam masyarakat
Sumba turut membentuk peran laki-laki dan perempuan. Tidak bisa
kita pungkiri bahwa budaya
patriaki memiliki peran yang besar bagi masyarakat yang ada di
Sumba. Contohnya saja dalam
rumah tangga masyarakat Sumba yang menjunjung tinggi pemahaman
bahwa laki-laki adalah
kepala rumah tangga yang memiliki hak untuk mengambil keputusan
dalam rumah tangga dan
juga sebagai pemimpin dalam keluarga tersebut. Dalam pemahaman
orang Sumba perempuan
tidak memilki kedudukan dalam urusan adat maupun dalam upacara
keagamaan, meskipun
perempuan mempunyai peranan tetapi dengan adanya pemahaman
masyarakat Sumba bahwa
urusan adat merupakan bagian dari laki-laki maka sudah
seharusnya dalam upacara adat ataupun
diskusi adat merupakan bagian laki-laki, perempuan hanya
mengurusi hal-hal yang bersifat
domestik saja.
Seperti ketika proses Pahamang ini berlangsung, perempuan turut
berperan hanya saja
perannya dibatasi pada urusan domestik, perempuan tidak akan
duduk bersama dengan laki-laki
di tikar adat karena mereka tahu bahwa tempat mereka adalah di
dapur untuk menyiapkan
makanan dan minum bagi semua orang. Keterbatasan peran perempuan
dalam diskusi adat
Pahamang sudah merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan
laki-laki, tanpa diarahkan
perempuan dan laki-laki sudah mengetahui tempatnya dimana. Hal
ini memang tidak dapat
diubah karena telah membudaya dalam masyarakat Sumba, dan jika
terjadi perubahan maka
orang-orang akan mempertanyakan hal tersebut. Sebagai contoh
dari hasil wawancara dengan
salah satu nara sumber perempuan yang mencoba membuat perubahan
dengan mencoba
mengganti peran laki-laki namun orang-orang mempertayakan hal
tersebut .
“Contohnya saja dalam hal mengundang orang atau kabihu lain hal
ini biasa dilakukan oleh
laki-laki dengan membawa alas bicara (bawaan) biasanya berupa
kain, mamuli dan lulu amahu,
dalam hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh perempuan,
karena kabihu atau marga
lain akan merasa direndahkan, “bahkan saya pernah mencoba untuk
mengundang namun
bukan hanya orang Sumba yang mempertanyakan hal tersebut, karena
dikatakan bahwa seumur
-
30
hidupun mereka belum pernah melihat perempuan yang datang
mengundang untuk
penguburan”.72
Hal ini menunjukkan bahwa setiap peran perempuan dan laki-laki
yang telah ditentukan dalam
suatu masyarakat tidak dapat diubah, karena masyarakat telah
berpegang pada tradisi yang
dihidupi selama ini.
Salah satu dari unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh
Konjaninggrat adalah organisasi
sosial yang merupakan bentuk pembagian peran dan menetapkan
fungsi dalam setiap kehidupan
anggota masyarakat.73
Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba setiap
anggota
masyarakat memiliki peran yang telah disesuaikan dengan
norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat Sumba, dan peran yang diembankan oleh masing-masing
orang harus sesuai dengan
norma-norma yang belaku. Sama halnya dalam budaya pahamang peran
laki-laki dan perempuan
telah ditentukan dimana laki-laki berkewajiban untuk berada
ditikar adat dan perempuan yang
mengurus segala urusan domestik. Hal ini yang kemudian
dipertahankan oleh masyarakat Sumba
dan menjadi tolak ukur mereka dalam mengambil perannya
masing-masing dalam masyarakat.
Keterbatasan peran perempuan dalam budaya pahamang merupakan hal
yang wajar saja bagi
masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan kebiasaaan ini sudah
merupakan tradisi dan telah
turun temurun dijalankan oleh masyarakat, sehingga masyarakat
Su