I(OMPAS o Senin o Selasa o Rabu o Kamis • Jumat o Sabtu o Minggu 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 @ 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 17 18 19 20 OJan OPeb o Mar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep .Okt ONov ODes Lingkungan Rusak da ~- --- .KemiskinanDesa S etiap tahun pasca- Idul Fitti, Kota Bandung senantiasa diserbu ribuan pendatang baru dari desa yang menco- ba mengadu untung mencari kerja Mereka biasanya ikut saudara atau teman yang lebih dahulu bekeIja di kota Berdasarkan hasil operasi pe- meriksaan KTP oleh Dinas Kepen- dudukan dan Pencatatan Sipil Ko- ta Bandung, beberapa hari usai Idul Fitri, di empat pintu masuk Bandung, yaitu Terminal Cicahe- urn, Terminal Leuwipanjang, Sta- siun Bandung, dan Stasiun Kiara- condong, tercatat 1.489 pendatang baru tanpa KTP. Jumlah tersebut diduga baru sebagian kecil saja mengingat di Kota Bandung masih ada 20 pintu masuk lagi yang tidak terpantau petugas (Kompas, 20/9). Fenome- na urbanisasi ini dapat dicermati bahwa kini kondisi kehidupan di pedesaan semakin sulit. Akibat- nya, banyak penduduk pedesaan, kendati tingkat pendidikan dan keterampilan tidak memadai, ne- kat mengadu nasib mencari kerja di kota, yang sumber daya ekono- mi di kota pun terbatas. Ketimpangan desa-kota Pada umumnya penduduk pe- desaan di Indonesia, termasuk di Tatar Sunda, bermata pencarian utama sebagai petani. Karena itu, kehidupan penduduk pedesaan sa- ngat tergantung pada sumber daya alam di desanya. Pada masa silam, sebelum sis- tern ekonomi pasar masuk deras ke kawasan pedesaan, hubungan timbal balik penduduk desa de- ngan sumber daya alam dan ling- kungan umumnya berupa sistem kompleks corpus-cosmos-paraxi (bandingkan Iskandar, 2010). Jadi, sejatinya meski tingkat pendidik- an formal penduduk pedesaan umumnya rendah, dari segi peng- alaman dan kearifan ekologi yang berlandaskan budaya lokal, mere- ka cukup terdidik. Maka, penduduk desa umum- nya telah mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan secara berkelan- jutan. Penduduk pedesaan, misal- nya, mampu membangun sawah dengan sistem terasering (ngais gunun~ yang dapat menahan ero- si tanah. Sebagai adaptasi terhadap kondisi ketersediaan air berlim- pah, pada masa silam petani sawah di Tatar Sunda mampu mengelola sistem budidaya ikan di sawah (mi- na padi) dengan sangat mengun- tungkan wargadesa Jadi, berbagai pengalaman dan kearifan ekologi penduduk pede- saan di Tatar Sunda seyogianya da- pat dimanfaatkan dalam pengam- O/eh JOHAN ISKANDAR bilan keputusan bagi pembangun- an berkelanjutan, yang proling- kungan, prorakyat miskin, dan prolapangan pekerjaan. Namun, kini pembangunan yang dilakukan sangat bias kepentingan kota. Berbagai pembangunan terse- but cenderung lebih menguntung- kan kota dan menguras sumber daya alam desa, misalnya lahan-la- han sawah yang merupakan modal alam (natural capital) utama bagi penduduk desa sebagai penghasil pangan pokok padi di desa dan se- bagai pemasok pangan kota. Kini luas sawah di pedesaan kian me- nyusut sebab lahan-lahan sawah marak dialihfungsikan bagi perun- tukan lain, seperti perumahan dan industri. Padahal, hilangnya lahan-lahan sawah bukan saja hilangnya pro- duksi padi bagi pernili sawah dan berkurarignya pasokan di tingkat mikropedesaan dan makronasio- nal. Namun, hal itu dapat pula me- nyebabkan hilangnya sumber pendapatan bagi buruh tani seba- gai kelompok penduduk miskin di pedesaan. Ketidakadilan enirnpa pula petani sawah. Petani sawah, misal- nya, dituntut meningkatkan pro- duksi padi sawah secara maksimal, dengan membeli aneka asupan usaha tani, seperti pupuk dan pes- tisida dengan harga tinggi melalui mekanisme pasar bebas. Namun, harga gabah ditentukan pemerin- tah agar dapat menjarnin pasokan beras kepada penduduk kota de- ngan harga terjangkau. Ketika petani sawah ditimpa bencana alam, seperti produksi Kliping Humas Unpad 2010