BAB I PENDAHULUAN Salah satu dasar dari gerakan oikumene adalah doa Tuhan Yesus, demikian Aku berdoa: "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21 ). Dalam doa Tuhan Yesus ini ada beberapa pokok pikiran, a. Oikumene atau kesatuan adalah kehendak Allah. Penegasan ini penting supaya tidak ada pribadi atau lembaga apa pun mengklaim diri sebagai pencetus, penggagas, pembangun oikumene. Dengan demikian oikumene adalah konsisten sebagai gerakan yang dimulai dari pikiran Allah, sebagai impian atau visinya terhadap Tubuh Kristus di masa mendatang. b. Tritunggal adalah model nya. Oikumene yang diidamkan Tuhan harus memiliki model atau type. Ungkapan seperti “Engkau dan Aku” menunjukkan bahwa pola, model dan relasi dalam lembaga Tritunggal adalah model yang ideal membangun atau mewujudkan oikumene. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu dasar dari gerakan oikumene adalah doa Tuhan Yesus, demikian Aku
berdoa:
"...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan
Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa
Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21 ).
Dalam doa Tuhan Yesus ini ada beberapa pokok pikiran,
a. Oikumene atau kesatuan adalah kehendak Allah. Penegasan ini penting supaya
tidak ada pribadi atau lembaga apa pun mengklaim diri sebagai pencetus,
penggagas, pembangun oikumene. Dengan demikian oikumene adalah konsisten
sebagai gerakan yang dimulai dari pikiran Allah, sebagai impian atau visinya
terhadap Tubuh Kristus di masa mendatang.
b. Tritunggal adalah model nya. Oikumene yang diidamkan Tuhan harus memiliki
model atau type. Ungkapan seperti “Engkau dan Aku” menunjukkan bahwa pola,
model dan relasi dalam lembaga Tritunggal adalah model yang ideal
membangun atau mewujudkan oikumene.
c. Doa memegang peran sentral dalam oikumene. Kesatuan dalam Tubuh kristus
diletakkan dalam kontruksi konteks doa, bukan kebentulan. Pesan tegas ingin
disampaikan Tuhan, bahwa oikumene adalah ‘usaha’ Tuhan sendiri, dan doa
adalah factor dominan mewujudkan oikumene.
d. Okumene dan implikasinya. Ada target dan goal besar yang akan dihasilkan
sebagai implikasi dari oikumene.
Point-point ini akan dipertajam pada bab-bab berikutnya.
Alam berpikir pragmatis, suatu kecenderungan mencari factor-faktor simple dan
simpulnya saja.
Perbuatan konkret lebih menyimbolkan dalam pemaknaan.
Penerjemahan yang salah, tentu berakar dari persepsi pemaknaan yang juga salah,
sebab oikumene sering dipahami “suatu usaha untuk menyatukan seluruh gereja,
dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu
kuasa administratif. Pendek kata, menjadikan satu semuanya (uniformitas)”
Implikasi dari persepsi yang salah menyebabkan penjabaran berikutnya mengalami
distorsi. Maka sangat tidak mengherankan jika ada pemimpin gereja yang pesimis
bahwa oikumene adalah “SEBUAH KEMUSTAHILAN”. Mengapa mereka pesimis ?
karena mereka berpikir bahwa Keesaan atau oikumene adalah penyeragaman. Dari
awal “model oikumene” tidak dimaksudkan penyeragaman. Berarti oikumene adalah
usaha radikal yang mana “seluruh gereja, dengan berbagai latar belakang, berlainan
suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi dileburkan menjadi satu”.
Pada akhirnya oikumene harus dimaknai sebagai “suatu sikap iman yang
mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah
yang sama”.
Esensi oikumene tidak bisa dilepaskan dari akar kelahirannya bahwa Pada
hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja.
C. LATAR BELAKANG OIKUMENE
Para sarjana dan Sejarawan gereja tidak memiliki kata sepakat perihal titik tonggak
kelahiran gerakan oikumene yang bertalian dengan gereja. Seperti halnya dengan
kekristenan di Indonesia yang merupakan "barang impor" dari Eropa, demikian juga
dengan Oikumene. Oikumene merupakan warisan dari gereja-gereja di Eropa yang
kemudian mendarat di bumi Indonesia. Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai?
4
Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di
Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun
sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya,
di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan
kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh
1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori
Internasional. Nanti pada konperensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena
terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi.
Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan
pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah
gereja yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari,
khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda.
Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang
merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order.
Dewan ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di
dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia.
DGD (Dewan gereja-gereja sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene,
memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di
Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konperensi persiapan pembentukan
DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah SR X
th. 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan
Oikumene. Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di
Indonesia.
D. SIGNIFIKANSI OIKUMENE DALAM PERSPEKTIF EKLESIOLOGI
Topik ini akan dibahas di bab berikut, namun platform tentang nilai penting dan tujuan
oikumene sepantasnya dipetakan dari awal. Ada beberapa kisi yang menarik dalam
mempelajari ‘gerakan’ Oikumene :
5
Pertama, keragaman di Tubuh Kristus atau gereja, pada satu sisi sebagai
keindahan gereja,3 tapi di sisi lain juga sebagai ‘bom waktu’ yang bisa membumi
hanguskan eksistensi dan missi gereja.
Kedua, gereja bukan komunitas fiktif di dunia. Pergulatan gereja dalam
membangun eksistensinya di dunia, bukan saja untuk kepentingan pembangunan jati
dirinya, tetapi juga predikatnya sebagai “garam dan terang dunia”4 (Mat. 5:13-16). Jatuh
bangunnya gereja untuk meraih prestasi gemilang mewujudkan organisme yang
menerangi sangat menarik untuk dikaji.
3D. A. Carson, Gereja Jaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang : Gandum Mas, 1997), h. 55-56.
4John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF); band. John Stott, The Living Church, (Jakarta : BPK. Gunung Mulia) dan D. A. Carson, Gereja Jaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang : Gandum Mas, 1997), h. 31.
6
BAB II
TINJAUAN ALKITAB TENTANG OIKUMENE
Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan beberapa kali. Dalam septuaginta, kata
Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam
Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadang-
kadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi
(Lukas 2:1, bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan P.B. itu
sendiri. Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara teologis penuh, yaitu seluruh
dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada
dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh
dunia/oikumene (Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17,
band. Lukas 21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas
4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5; Wahyu
3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas. Jadi sebenarnya secara
harfiah arti istilah Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda dengan yang diartikan oleh
Gerakan Oikumene dewasa ini.
4.2. Keesaan menurut Yohanes 17:20-26
Tujuan utama Gerakan Oikumene yakni terwujudnya keesaan gereja. Dan sebagai landasan
Alkitabnya sering menggunakan Yohanes 17:21. Tetapi apakah memang Keesaan Gereja
yang telah dirumuskan itu sesuai dengan Yoh. 17:21?
Ada beberapa bagian Alkitab yang ada sangkut pautnya membicarakan mengenai keesaan
gereja. Salah satu di antaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20-26. Bagian ini
menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang percaya/gereja yang
universal. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan
kemuliaan Ilahi.
Tetapi apa yang dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya dibandingkan dengan
kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a). Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan
Perkembangan oikumene yang pada mulanya merupakan kesadaran pentingnya
keesaan gereja telah menjadi usaha dan model membangun keesaan gereja. Namun
sebelum mempelajari model oikumene di Indonesia, adalah masuk akal jika sisi
penghalang atau rintangan besar gereja di Indonesia dalam membangun oikumene di
Nusantara.
A. Tantangan Oikumene Di Indonesia
Usaha mewujudkan oikumene di Bumi Indonesia, bukan saja mengalami pasang
surut, tetapi juga memiliki tantangan yang “Bhineka”. Kajian ini bersifat historis dan
Indonesiawi, termasuk korektif (terbuka) terhadap kajian yang lebih bertanggung jawab
dan ilmiah.
Ada dua klasifikasi tantangan oikumenikal di Indonesia, Pertama adalah aspek
internal (dari dalam gereja), dan yang Kedua adalah aspek eksternal (dari luar
gereja).
i. Aspek Internal
a. Hubungan Katolik dan Kristen
Pasca reformasi gereja yang dimotori Marthin Luther pada tahun 1517, maka Potret
gereja yang tunggal “am” “Katolik” menjadi tidak utuh. Pembangkangan Luther melalui
95 dalilnya di gereja Wittenberb merupakan perlawanan terbuka terhadap otoritas dan
ajaran Gereja Katolik Roma. Perjuangan Luther bukanlah perjuangan pertama, karena
sebelum 1517 sudah ada ‘benih-benih” perlawanan5 yang dilakukan ‘kaum posisi
gereja” terhadap hegemoni gereja Katolik yang dianggap sudah menyimpang pada
5Gerakan reformasi (pembaruan) yang terjadi di Perancis yang dipimpin oleh Peter Waldo, yang di kemudian hari dikaitkan dengan gereja Waldensis (abad 12) yang peta persebarannya ada di Italia atau dikawasan yang banyak imigran Italia seperti Uruguay. John Hus (Yohanes Hus; 1369-1415) dari Bohemia (Cekozlovakia) pada era yang sama dengan Waldo juga bergerak dalam perjuangan reformasi yang sama. Yohanes Hus dan aliran yang didirikan di kemudian hari bergabung dengan gereja Calvin. Lih. Yahoo Answers. Band. Henk Ten Napel, Kamus Teologia (Jakarta : BPK. Gunung Mulia).
11
waktu itu. Harus diakui bahwa perbedaan antara Katolik dengan Protestan cukup
mendasar dan pada point vital, Pertama dalam konteks Penafsiran Alkitab. Selain
menganut paham SOLA SCRIPTURA, tapi juga SOLA GRATIA yang merujuk pada
Bapa Paus, Bishop dan Para Pastorlah yang berhak menafsirkan Kitab Suci6, karena
mereka mendapat sola gratia (rahmat). Kedua, perbedaan dasar pada Matius 16:18,
Gerja Katolik mengklaim batu karang “Petrus” adalah Santo Petrus, dan pada suksesi
berikutnya merujuk pada para Paus sebagai wakil Petrus. Sedangkan gereja Protestan
meyakini bahwa Batu karang7 sebagai dasar gereja adalah Tuhan Yesus Kristus
sendiri. Ketiga, gereja Protestan hanya mengakui Kitab Suci sebagai sumber
pengajaran gereja, tetapi gereja Katolik mengakui tradisi suci sebagai pendamping
Kitab Suci sebagai sumber pengajaran gereja. Keempat, pada symbol salib di
Protestan tidak ada Tubuh Kristus (corpus Christy), sedang Katolik sebaliknya. Kelima,
katolik mengakui ada 7 macam sakramen, yaitu Baptis, Krisma, tobat, ekaristi, imamat,
pernikahan dan sakramen pengurapan orang sakit. Protestan hanya memiliki dua
sakramen, yaitu Baptisan air dan Perjamuan Kudus. Keenam, gereja Katolik
merupakan Persekutuan para kudus (santa), dan mereka menjadi ‘perantara’ para umat
ber-devosi, asalkan tetap ditujukan kepada Tritunggal. Protestan menolak ajaran seperti
ini, karena hakekat gereja adalah “persekutuan orang percaya kepada Kristus” dan
hanya Kristus lah sebagai pusat iman (Kristosentris).
Pada posisi sepeti inilah, oikumene Protestan dengan Katolik berhadapan
dengan tembok besar dan tebal. Oikumene yang diakui Katolik adalah oikumene
homogeny (di dalam Tubuh Katolik). Hubungan Katolik dengan Protestan bukan saja
mengalami pasang surut, tetapi berat karena merupakan dua kekuatan besar aliran
dunia dalam hal religi.
b. Pluralitas di Tubuh Protestan
Pasca pemisahan diri dari gereja Katolik, aliran Protestan mengalami dinamika yang
luar biasa dan kompleks. Ketika gerakan reformasi masih berumur jagung, sudah
6Stefan Leks, Kanon Alkitab (Yogjakarta : Kanisius). 7Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru jilid I, III (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1994).
12
Nampak benih resistensi, para pelopor reformasi, sudah berselisih tentang doktrin,
seperti Marthin Luther dengan Zwingly.
Embrio perpecahan dari perbedaan, semakin kuat dan bias dengan munculnya
pengelompokan Methodis, Wesleyan, Lutheran, Baptis, Injili, Calvinis. Di perkembangan
selanjutnya Tubuh Protestan semakin membengkak dengan ‘menempelnya’ aliran
Pentakosta, Advent hari Ketujuh, Bala Keselamatan, dan terakhir adalah Kharismatik.
Jika dibedah dengan saksama maka Pluraliatas di tubuh Protestan umumnya
disebabkan atau juga dilatari karena : perbedaan teologi, Organisasi gereja, Orientasi
Missi, Pemerintahan Gereja, Liturgi dan Tradisi.
Aliran Protestan di Indonensia warnanya semakin terorganisir dengan tampilnya
organisasi Aras Nasional, seperti : PGI (Persekutua Gereja di Indonesia), PGLII
saudara itu kepada kasih karunia Tuhan” (Kis. 15:40b). di saat kelemahan, noda
22
kepemimpinan dan rapuhnya system serta miskinnya metode misi, suatu fakta yang
tak terbantahkan bahwa Allah sumber kasih karunia mengatasi problematika yang
kompleks tersebut. Kita tidak boleh terus menerus larut dalam kecemasan jika melihat
kelemahan di sana-sini, yang sepertinya akan merusak ‘proyek misi Allah’ sebab Dia
yang berdaulat dan memiliki ketetapan kekal pasti sanggup mengatasinya. Menjalankan
misi Allah pada hakekatnya menyerahkan segala sesuatunya ke dalam campur tangan
Allah yang kaya kasih karunia dan hikmat.
Pertanyaan Refleksi :
1. Secara sederhana apa pengertian oikumene ?
2. Mengapa gereja selalu terjebak dalam siklus sejarah, khususnya dalam hal
‘kesuaman rohani’ ?
3. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari gerakan Pantekosta !
4. Kapan kesadaran ber-oikumene muncul di kalangan Pantekosta ? jelaskan !
ii. Aspek Eksternal
23
Membedah gerakan atau usaha oikumene tidak hanya aspek internal yang kita
perhatikan, namun aspek eksternal juga perlu mendapat porsi perhatian, sehingga ada
keseimbangan. Kehidupan kebangsaan kita, akhir-akhir ini agak terganggu. Terorisme,
radikalisme dan intoleransi bukan saja menjadi ancaman bagi NKRI, tetapi juga
perkembangan oikumene di Indonesia.
Prof. B.J. Habibie15 “Bangsa Indonesia sejak awal adalah bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama dan budaya. Kondisi ini merupakan kekayaan berharga dan dapat mendorong berbagai inovasi dan produktivitas jika masyarakat pandai mengelolanya” (Kompas.com, Sabtu 4 Agustus 2012)
Namun kesadaran akan pluralitas hari-hari ini sedang terancam dengan tumbuhnya benih-benih intoleransi. Beberapa indicator yang muncul seperti,
Pertama, Tawuran. Pertikaian yang melibatkan kelompok (pelajar atau masyarakat) marak terjadi akhir-akhir ini. Sebuah fenomena social yang sebenarnya bukan baru, tetapi eskalasi yang meningkat sepantasnya membuat kita prihatin. Masyarakat kita menjadi sensitive dan sangat reaktif terhadap ‘perbedaan nilai’ atau apa pun. Krisis kearifan dan toleransi.
Kedua, Kekerasan Terhadap Minoritas. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, HKBP dan GKI Yasmin yang belum tuntas adalah ‘bom waktu’ yang membahayakan harmoni kebangsaan kita yang selama ini bercirikan toleransi. Pemerintah oleh berbagai kalangan dianggap “mandul & cuek” atas penjajahan modern ini.
Tentu masih ada indicator-indikator lain yang mungkin lebih ideal, bisa kita jadikan ukuran. Resistensi beberapa elemen masyarakat di Indonesia ketika Presiden SBY menerima penghargaan “World Statesman Award” dari Appeal Of Conscience Foundations (ACF) di New York pada tanggal 30 Mei 2013 menunjukkan ada “goresan luka” atau ketidakpuasan elemen masyarakat atas penanganan penindasan terhadap kemajemukan. Pemerintah dianggap ‘membiarkan’ adanya penindasan terhadap kaum minoritas yang berbeda dengan yang merasa berhak atas rumah kebangsaan ini.
Kehidupan kebangsaan kita, akhir-akhir ini agak terganggu. Terorisme, radikalisme dan
intoleransi bukan saja menjadi ancaman bagi NKRI, tetapi juga perkembangan
oikumene di Indonesia.
15Mantan Presiden Republik Indonesia, disampaikan pada acara SILATURAHMI DAN DIALOG CENDEKIAWAN LINTAS AGAMA, Jakarta 3 Agustus 2012.
24
a. Penganiayaan
Sejarah gereja merekam bahwa penganiayaan terhadap gereja nampaknya menjadi
pasangan yang serasi, atau sulit diceraikan dari keberadaan gereja. Ada banyak sebab
terjadinya penganiayaan,16 mulai dari politik, ekonomi, SARA dan social. Pada awal
perkembangannya, gereja sudah diwarnai ‘faksi-faksi’ (1 Kor. Ps. 1-3), perselisihan
Paulus dengan Barnabas (Kis. 15:35-41); Perselisihan Paulus dengan Petrus (Kitab
Galatia), termasuk pelaksanaan konsili gereja pertama kalinya di Yerusalem (Kis.
15), menyiratkan bahwa gereja rawan pecah, dan berat untuk padu. J. I. Packer
menyorot kerawanan ini berakar dari ‘sitz im lebben’ para murid Kristus mula-mula
yang berlatar Yahudi17. Pada zaman Kristus sendiri, Yudaisme sangat beragam
faksinya, ada Yudaime politis (Kaum Zelot), ada Yudasime Konservatif (Orang
Farisi dan ahli Taurat), namun juga ada Yahudi Moderat dan Liberal (Saduki).
Penganiayaan didesain oleh pembuatnya untuk memecah belah gereja,
membuat gereja tertekan dan hancur, tapi sebaliknya gereja justru ‘bersehati berdoa”
(Kis. 4:23-37 dan Yoh 20:19-29). Demikian pula dalam perjalanan sejarah gereja
modern di Indonesia pada periode 1995-2000, gereja di Indonesia mengalam
‘tekanan-tekanan’ besar dari Pemerintah maupun oposisi gereja, namun pada era ini
gereja bersatu, lahirlah organisasi-organisasi oikumenis atau organisasi-organisasi
gerejawi yang selama ini sectarian sempit, menjadi inklusif dan terbuka.18
b. Sekularisme
c. Sinkritisasi
d. Politis
e. Revolusi Islam
B. Model-model usaha Oikumene di Indonesia
i. Model Oikumene Gereja Mainstream
ii. Model Oikumene Gereja Tanpa Tembok
16Pada awal kekristenan, Penganiayaan menjadi alat uji kemurnian iman gereja. Agama Kristen dianggap sebagai religio Licita (agama liar), menjadi dasar hokum terjadinya aniaya besar dan sistematis terhadap gereja. Lih. Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama ( Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2012); band. DIETRICH Kuhl, Sejarah Gereja (Batuu : Penerbit YPPII).
17J.I. Packer & Merril C. Tenney, Dunia Perjanjian Baru (Surabaya : Penerbit YAKIN) 18Bamag Surabaya, Seminar Wawasan kebangsaan