A. Judul : Kajian Sosio-Yuridis Terhadap Munculnya “Obral Izin” Pertambangan Pasca Pemilukada Dalam Era Otonomi Daerah (Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda) B. Latar Belakang Pasca bergulirnya reformasi yang digelorakan pada tanggal 21 Mei 1998, 1 yang menitikberatkan kepada aspirasi daerah, yang selama ini terbendung oleh rezim pemerintahan orde baru yang sentralistik, akhirnya mampu menciptakan sebuah format baru dalam sturktur ketatanegaraan di Indonesia, yakni melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah yang bertujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan serta peran serta masyarakat daerah dalam upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat secara merata. 2 Dalam pelaksanaan otonomi daerah yang pada esensinya ialah memberikan kesempatan kepada daerah 1 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru (Bandung, 2000), hlm. xxv 2 Lihat Konsideran Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah 1
54
Embed
Obral Izin Pertambangan Batu Bara Samarinda- Syam Hadijanto FH UWG Malang
Izin merupakan instrumen pemerintah yang digunakan untuk memberikan pengelolaaan terhadap sebuah objek vital negara, dengan demikian ia memiliki sebuah urgensi yang harus dipenuhi dallam pengeluarannya, namun dewasa ini akibat sebuah quo vadis otoda mengakibatkan maraknya obral izin
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
A. Judul : Kajian Sosio-Yuridis Terhadap Munculnya “Obral Izin”
Pertambangan Pasca Pemilukada Dalam Era Otonomi Daerah
(Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda)
B. Latar Belakang
Pasca bergulirnya reformasi yang digelorakan pada tanggal 21 Mei
1998,1 yang menitikberatkan kepada aspirasi daerah, yang selama ini
terbendung oleh rezim pemerintahan orde baru yang sentralistik, akhirnya
mampu menciptakan sebuah format baru dalam sturktur ketatanegaraan di
Indonesia, yakni melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Otonomi Daerah yang bertujuan untuk lebih meningkatkan
pelayanan serta peran serta masyarakat daerah dalam upaya pemerataan
kesejahteraan masyarakat secara merata.2
Dalam pelaksanaan otonomi daerah yang pada esensinya ialah
memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengurus sendiri urusan
pemerintahan melalui otonomi seluas-luasnya, maka seyogyanya pasca
pelaksanaan otonomi daerah ini akan mampu memberikan sebuah
peningkatan yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat, namun fakta
yang ada cenderung bertentangan, di mana pasca pelaksanaan otonomi daerah
yang terjadi ialah meningkatnya tindakan kesewenang-wenangan pemerintah
daerah untuk menarik dana sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi
1 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru (Bandung, 2000), hlm. xxv
2 Lihat Konsideran Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
1
2
daerahnya.3 Khusus dalam bidang pertambangan, yang di mana merupakan
salah satu bidang dalam investasi yang diatur dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan sebagai berikut :
“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Melihat rumusan di atas maka bentuk penguasaan negara terhadap
kekayaan sumber daya alam ini merupakan sebuah wewenang yang berisi
wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau
pengusahaan, serta berisi kewajiban untuk mempergunakaannya sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat,4 maka sudah seharusnya pengelolaan sumber
daya pertambangan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pasca penerapan otonomi daerah kebijakan pengelolaan sumber daya
alam tidaklah lagi menjadi monopoli dari pemerintah pusat, karena melalui
penerapan otonomi daerah ini sebagian kewenangan dalam pengelolaan
sumber daya alam telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, sehingga di dalam pengelolaan tersebut pemerintah daerah dapat
melakukannya sendiri dan/atau menunjuk kontraktor, yang di mana
kedudukan pemerintah adalah sebagai pemberi izin kepada kontraktor yang
bersangkutan, dalam bentuk kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batu bara, dan kontrak production sharing.5
Selain kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang telah menjadi
3 http://green.kompasiana.com/penghijauan,otonomi daerah menteri makin tak bertaji, diakses tanggal 2 Mei 2013
4 H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta, 2007), hlm. 15 Ibid, hlm. 1-2
pemerintah daerah tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap
masyarakat dan cenderung keluar dari tujuan esensial sistem perizinan yang
menitikberatkan kepada upaya pengendalian/pengarahan, pencegahan bahaya
lingkungan, serta melindungi objek-objek tertentu.8 Dengan munculnya
fenomena “obral izin” pertambangan ini, maka sangatlah diperlukan sebuah
upaya perbaikan baik dari segi formulasi regulasi dan kebijakan, serta
perlunya sebuah perbaikan dalam konsepsi pelaksanaan otonomi daerah,
sehingga melalui pelaksanaan otonomi daerah dengan demokrasi yang
sesungguhnya mampu melahirkan pemimpin yang kaki dan tangannya tidak
terikat oleh kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya dan
mampu memperjuangkan kepentingan rakyat.
Beranjak dari pemaparan mengenai munculnya “obral izin”
pertambangan ini, maka penulis merasa perlu untuk melakukan sebuah kajian
terhadap faktor pendorong terjadinya “obral izin” pertambangan yang terjadi
di Kota Samarinda, agar dapat menciptakan sebuah mekanisme perizinan
pertambangan yang berpihak kepada masyarakat, serta dapat memberikan
sebuah pemahaman yang sesungguhnya terkait pelaksanaan otonomi daerah.
Hal inilah yang kemudian mendasari penulis untuk mengangkat permasalahan
tersebut dengan judul Kajian Sosio-Yuridis Terhadap Munculnya “Obral
Izin” Pertambangan Pasca Pemilukada Dalam Era Otonomi Daerah
(Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda).
C. Perumusan Masalah
8 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan (Jakarta, 2009), hlm. 11
5
Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam
penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang
kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi munculnya “obral izin”
pertambangan pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota
Samarinda ?
2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap munculnya “obral izin”
pertambangan pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota
Samarinda ?
D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak
dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya “obral izin” pertambangan pasca pemilukada dalam
otonomi daerah di Kota Samarinda.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap
munculnya “obral izin” pertambangan pasca pemilukada dalam
otonomi daerah di Kota Samarinda.
2. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada
semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
6
1) Diharapkan dengan penelitian ini dapat bermanfaat untuk
memberikan sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangan ilmiah
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
khususnya Hukum Perizinan terkait dengan izin pertambangan.
2) Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi tambahan khasanah
referensi dan literatur kepustakaan Hukum Perizinan berkaitan
dengan kajian izin pertambangan.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Masyarakat
a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kerangka dasar
acuan untuk melakukan sebuah evaluasi terhadap kebijakan
pemerintah daerah dalam pemberian izin pertambangan.
b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi
pihak yang tertarik meneliti pada bidang yang sama pada tahap
berikutnya.
2) Bagi Pemerintah
a) Hasil Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sebuah masukan
dalam mengevaluasi kebijakan izin pertambangan guna
memperbaiki sisi gelap penerbitan izin pertambangan pasca
pemilukada dalam otonomi daerah.
3) Bagi Universitas
7
a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih
dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan
terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sekilas Tentang Otonomi Daerah
Secara Historis pemerintahan daerah yang dikenal selama ini, berasal
dari perkembangan praktek pemerintahan di Eropa pada abad ke 11 (sebelas)
dan 12 (duabelas). Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut
pemerintahan daerah masih berasal dari yunani dan latin kuno.9 Pada saat itu
muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah kemudian
membentuk suatu lembaga pemerintahan, pada awalnya satuan-satuan
wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok
penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota),
country (kabupaten), commune/gementee (desa).10
Menurut Stoker munculnya pemerintahan daerah modern ini sangat erat
kaitannya dengan fenomena industrialisasi yang melanda Inggris, yang
menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota secara
besar-besaran, sehingga terjadi perubahan dalam corak wilayah.11 Dalam
praktek desentralisasi dan otonomi bersifat tumpang tindih, namun dalam
maknanya keduanya memiliki perbedaan. Desentralisasi merupakan sistem
9 Lihat Fatkhurohman dan Sirajuddin, Reading Material Hukum Administrasi Negara, “Organisasi Administrasi Negara”, 2005, di Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, hlm. 107
10 Sirajuddin, “Konsepsi dan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen”. (Makalah dalam Seminar Pemahaman Kecakapan konstitusi Malang, 31 Oktober 2009), hlm. 2
11 Ibid.
8
pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi, jika sentralisasi adalah
pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian dan
pelimpahan.12 Definisi desentralisasi menurut beberapa pakar terdapat
perbedaan redaksional, menurut Joeniarto,13 desentralisasi adalah
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal
untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah
tangganya sendiri.
Amrah Muslimin,14 mengartikan bahwa desentralisasi adalah
pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam
masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Irawan Soejito,15 mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan
kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Sementara
otonomi berasal dari kata autos dan nomos, yang bermakna memerintah
sendiri.16 Karena desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri
atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai desentralisasi dengan
sendirinya berarti membicarakan otonomi, sehingga esensi dari desentralisasi
adalah proses pengotonomian yakni proses penyerahan kepada satuan
pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengelola urusan
pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya, atau dengan kata lain
12 Luluk Saleh, “Keterbukaan Informasi Publik: Perangkat Baru Menciptakan Good Governance dalam Pemerintahan Lokal”, Jurnal Konstitusi, Universitas Widyagama Malang, No. 1/Vol III, Juni 2010, hlm. 145
13 Joeniarto, Perkembangan Pemerintah Lokal (Jakarta, 1992), hlm. 1514 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah (Bandung, 1986), hlm. 515 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah (Jakarta,
1990), hlm. 29 16 Luluk Saleh, Loc.Cit.
9
otonomi dan desentralisasi merupakn dua sisi dalam satu mata uang (both
sides of one coin.)17
Dalam sejarah Indonesia, diskursus masalah hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dalam hal penguatan kewenangan daerah seringkali
terbelenggu oleh kekhawatiran munculnya kecendrungan terbentuknya suatu
bentuk negara federal. Sistem federal yang pernah dipaksakan oleh politik
kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan wilayah Indonesia seperti
telah menjadi trauma sejarah bagi generasi sekarang.
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap menjadi pilihan yang
tepat sampai sekarang. Sementara itu, akibat dominasi pusat terhadap daerah
sangat berlebihan selama rezim Orde Lama dan Orde Baru telah
memunculkan perlawanan di berbagai daerah, maka reaksi dari praktek
pemerintah yang otoriter dan birokratik tersebut adalah menghilangkan
hegemoni kekuasaan pusat terhadap daerah.18
Dalam hubungan mengenai kewenangan antara pusat dan daerah didalam
sebuah negara kesatuan memunculkan sebuah konsep sentralisasi dan
desentralisasi, yang di mana sentralisasi merupakan sebuah pemusatan
seluruh kewenangan pemerintah pada satu titik yaitu pemerintahan pusat dan
tidak dapat dibagi kepada pejabat-pejabatnya didaerah dan/atau pada daerah
otonom, namun pada dasarnya tidak mungkin semua urusan pemerintahan
dapat diselenggarakan secara sentralisasi, yang pada akhirnya dilakukanlah
pelimpahan sejumlah wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan
17 Sirajuddin, Op.Cit., hlm. 318 Iwan Satriawan, Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan
Daerah, dalam http//www.google.com//Sistem Pemerintahan Daerah, diakses tanggal 6 Mei 2013
10
pemerintahan daerah, sehingga penerapan asas sentralisasi dan desentralisasi
dalam organisasi negara bangsa tidaklah bersifat dikotomis melainkan bersifat
kontinum.19
2. Sumber Daya Pertambangan Batu Bara
Sebagaimana diketahui bahwa batu bara merupakan salah satu dari bahan
pertambangan yang termasuk dalam golongan sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui atau sumber daya terhabiskan, yang dimana sumber daya
alam ini tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis dan terbentuk
melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat
dijadikan sebagai sumber daya alam yang siap diolah atau siap pakai dan
apabila dieksploitasi sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih
kembali seperti semula.20 Batu bara sendiri merupakan istilah yang
merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu coal, yang merupakan
campuran padatan yang yang heterogen dan terdapat di alam dalam
tingkat/grade yang berbeda dari lignit, subbtumine, antarasit.21
Batu bara merupakan salah satu bahan galian strategis yang sekaligus
menjadi sumber daya energi yang sangat besar. Indonesia pada tahun 2006
mampu memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton
diantaranya diekspor. Indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di
19 Sirajuddin, Op.Cit., hlm. 420 Marilang, Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah, Vol.11/No.1, Mei
2011, hlm. 321 Sukandarrumidi, Bahan Galian Industri (Yogyakarta, 1999), hlm. 26
11
Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu
bara berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi.22
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang sangat besar dan menduduki
posisi ke-4 di dunia sebagai negara pengekspor batubara. Di masa yang akan
datang batu bara menjadi salah satu sumber energi alternatif potensial untuk
menggantikan potensi minyak dan gas bumi yang semakin menipis.
Pengembangan pengusahaan pertambangan batu bara secara ekonomis telah
mendatangkan hasil yang cukup besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun sebagai sumber devisa, namun Walaupun secara sekilas
batu bara mempunyai kegunaan yang sangat startegis, namun keberadaan
industur pertambangan batu bara dapat menimbulkan dampak positif dan
negatif. Dampak positif merupakan pengaruh dari adanya pertambangan batu
bara terhadap hal-hal yang bersifat praktis (nyata) dan konstruktif
(membangun). Dampak positif dari industri pertambangan batu bara adalah:23
a. Membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan
dan pelabuhan.
b. Sumber devisa negara.
c. Sumber pendapatan asli daerah (PAD).
d. Sumber energi alternatif untuk masyarakat lokal.
e. Menampung tenaga kerja.
22 http://rhadenfatul.blogspot.com/2012/11/1-masalah-pertambanganbatubara.html, diakses tanggal 5 Juni 2013
sulawesi untuk membuka perkampungan di daerah tanah rendah. Maksud dan
tujuan dari kesultanan kutai untuk membuka perkampungan tersebut adalah
untuk sebagai pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering
melakukan perampokan di wilayah pantai kerajaan kutai kartanegara, selain
itu tujuan kesultanan kutai kartanegara membuka lahan perkampungan
tersebut ialah untuk memberikan suaka kepada masyarakat bugis akibat
peperangan di daerah asal mereka, tempat inilah yang kemudian diberi nama
oleh sultan kutai “sama rendah”, yang bermakna bahwa antara penduduk asli
dan pendatang berderajat sama dan tidak ada pembedaan antara orang bugis,
kutai, dan banjar serta suku-suku lainnya.33
Dari istilah inilah kemudian melahirkan lokasi pemukiman baru yakni
“samarenda” atau lama-kelamaan menjadi ejaan “samarinda”, yang sesuai
dengan keadaaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah
persawahan yang subur.
2. Gambaran Umum Kota Samarinda
Kota Samarinda sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)
memiliki luasan wilayah sebesar 71.800 Ha (sama dengan 718 km2). Kota
Samarinda merupakan salah satu diantara 14 kabupaten/kota yang berada
dalam wilayah Provinsi Kaltim, serta berbatasan langsung dengan Kabupaten
Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dilalui oleh sungai Mahakam yang
merupakan sungai terpanjang di Kaltim dengan lebar antara 300-500 meter
dan panjang mencapai 920 km.34
33 ibid34 Bappeda Kota Samarinda, “Profil Daerah Kota Samarinda”, dalam http//www.
bappedasamarinda.co.id, diakses tanggal 22 Juni 2013
20
Secara astronomis, Kota Samarinda terletak pada posisi antara
117003’00”– 117018’14” Bujur Timur dan 00019’02” – 00042’34” Lintang
Selatan. Pada tahun 2011, suhu di Kota Samarinda berkisar antara 22,20C
sampai 34,80C dengan kelembaban udara berada pada 75% sampai 94%.
Curah hujan pada tahun 2011 tergolong tinggi, curah hujan tertinggi berada
pada bulan Mei sebesar 388,6 mm dan terendah berada pada bulan Juni
sebesar 95,2 mm. Kota Samarinda beriklim Tropica Humida yaitu memiliki
iklim musim penghujan dan musim kemarau. Namun pada tahun-tahun
terakhir ini, keadaan musim tidak menentu, pada bulan-bulan yang
seharusnya turun hujan dalam kenyataanya tidak ada hujan sama sekali
ataupun sebaliknya.35
Wilayah administratif kota samarinda berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1996 telah mengalami pemekaran dari yang semula terdiri
dari 4 (empat) kecamatan menjadi 6 (enam) kecamatan, dan pada tahun 2010
dilakukan pemekaran kembali menjadi 10 kecamatan yakni, Kecamatan
Samarinda Ilir, Kecamatan Ulu, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan
Samarinda Seberang, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Palaran,
Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Kota, Kecamatan
Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang.36
Secara geografis Kota Samarinda memiliki wilayah yang berbatasan
dengan wilayah Kutai Kartanegara antara lain sebagai berikut :37
35 Ibid36 http://www.samarindakota.go.id//lima-prinsip, diakses tanggal 22 Juni 201337 http://www.samarindakota.go.id//dinas-pertambangan samarinda, diakses tanggal 22 juni
Dari segi kependudukan yang di mana faktor laju pertumbuhan penduduk
saat ini menjadi prioritas pemerintah kota samarinda, karena laju
pertumbuhan penduduk yang linier dengan angka kemiskinan atau
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data BPS,38 tahun 2011 jumlah penduduk Kota Samarinda
terjadi peningkatan sebesar 28.130 jiwa dari tahun 2010 menjadi 755.630
jiwa dengan kepadatan berkisar 1.052 jiwa/km2. Terhitung dalam kurun
waktu 2000- 2011 pertumbuhan penduduk Kota Samarinda sebesar 3,43 %.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya daya tarik lokal Provinsi
Kalimantan Timur (Kaltim) yang memiliki sumber daya alam berlimpah,
sehingga mendorong penduduk luar daerah untuk migrasi ke Kalimantan
Timur di mana sebagian besar memilih untuk berdomisili di ibu kota provinsi
yaitu Samarinda.
3. Potensi Sumber Daya Batu Bara Kota Samarinda
Usaha pertambangan di Kalimantan saat ini sedang mencapai puncak
kejayaan, hal ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan perusahaan yang
melakukan eksplorasi di wilayah Kalimantan Timur, khususnya Kota
Samarinda sektoral pertambangan merupakan sektor yang mendominasi
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Samarinda selain perdagangan
38 Bappeda Kota Samarinda, Ibid
22
dan jasa. Perkembangan sektoral pertambangan di Kota Samarinda ini
mengakibatkan Samarinda menjadi satu-satunya ibukota Provinsi yang
menjadi kota tambang, di mana hampir tiga perempat wilayah Kota
Samarinda sudah ditetapkan menjadi wilayah izin usaha pertambangan
(WIUP), atau setidaknya terdapat 68 perusahaan tambang yang beroperasi di
wilayah kota samarinda, di mana 63 izin dikeluarkan oleh pemerintah Kota
Samarinda, dan 1 perusahaan dikeluarkan izinnya oleh pemerintah Provinsi,
dan 4 lainnya oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).39
Perhitungan Sumber daya batu bara di daerah kota Samarinda didasarkan
hasil korelasi dan interpretasi data pemboran dan singkapan batu bara serta
kondisi topografinya. Penyebaran lapisan batu bara yang relatif stabil dan
menerus, maka sumberdaya batu bara dihitung dengan cara sederhana, yaitu
luas penyebaran batu bara dikalikan dengan ketebalan batu bara (rata-rata)
serta berat jenisnya (rata-rata), dengan memperhitungkan kemiringan lapisan
batu bara. Perhitungan dilakukan berdasarkan kedalaman batu bara dari
lapisan batu bara rata-rata permukaan tanah ke arah kemiringan batu bara,
yaitu untuk kedalaman vertikal 25 meter, 50 meter dan 75 meter. Berdasarkan
perhitungan tersebut potensi batu bara yang ada di Kota Samarinda dapat di
tampilkan ke dalam grafik berikut :40
39 Siti Kotijah, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batu Bara di Kota Samarinda, dalam http://www.kotijah.blogspot.com, diakses tanggal 18 Juni 2013
40 http://www.samarindakota.go.id//Potensi Pertambangan Samarinda, diakses tanggal 22 juni 2013
Soemitro, Rony Hanitijo, 1990. Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta; Ghalia Indonesia.
Soejito, Irawan. 1990. Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sri Pudyatmoko, Y, 2009. Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta, Grasindo.
Sukandarrumidi. 1999. Bahan Galian Industri. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Sunggono, Bambang, 2012. Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Rajawali Pers
MAKALAH, LAPORAN PENELITIAN, & JURNAL ILMIAH :
Fatkhurohman dan Sirajuddin, 2005. Reading Material Hukum Administrasi Negara, “Organisasi Administrasi Negara”, (Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang).
Marilang. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah, Vol.11 No.1, Mei 2011.
Saleh, Luluk. 2010. Keterbukaan Informasi Publik: Perangkat Baru Menciptakan Good Governance dalam Pemerintahan Lokal. Jurnal Konstitusi, Universitas Widyagama Malang,Vol III No. 1, Juni 2010.
Sirajuddin. 2009 Konsepsi dan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen. (Makalah dalam Seminar Pemahaman Kecakapan Konstitusi, Malang, 31 Oktober 2009).
WEBSITE :
Iwan Satriawan, Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan Daerah, dalam http//www.google.com//Sistem Pemerintahan Daerah, Diakses Tanggal 6 Mei 2013
Siti Kotijah, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batu Bara di Kota Samarinda, dalam http://www.kotijah.blogspot.com, diakses tanggal 18 Juni 2013