BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap individu pasti pernah mengalami nyeri
dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan alasan yang paling umum
orang mencari perawatan kesehatan. Walaupun merupakan salah satu
dari gejala yang paling sering terjadi di bidang medis, nyeri
merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami. Individu yang
merasakan nyeri merasa menderita dan mencari upaya untuk
menghilangkannya.
Nyeri terkait erat dengan kenyamanan karena nyeri merupakan
factor utama yang menyebabkan ketidaknyamanan pada seorang
individu. Pada sebagian besar klien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh
suatu cidera atau rangsangan yang cukup kuat untuk berpotensi
mencederai. Bagi dokter nyeri merupakan masalah yang membingungkan.
Tidak ada pemeriksaan untuk mengukur atau memastikan nyeri.dokter
hamper semata-mata mengandalkan penjelasan dari pasien tentang
nyeri dan keparahannya. Nyeri alas an yang paling sering diberikan
oleh klien ditanya kenapa berobat.1,2Sakit kronis merupakan nyeri
yang masih muncul bahkan lama setelah tubuh telah sembuh.
Kadang-kadang, orang yang memiliki sakit kronis tidak tahu apa
penyebabnya. Namun, nyeri ini sering muncul pada kondisi seperti
radang sendi, fibromyalgia dan kanker. Seiring dengan rasa tidak
nyaman, sakit kronis dapat menyebabkan rendah diri, depresi dan
kemarahan. Hal ini juga dapat mengganggu aktivitas harian.1,2,3
BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 DEFINISI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya. Menurut International Association for Study of Pain
(IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Suatu keadaan dikatakan nyeri kronik jika nyeri menetap lebih dari
6 bulan.3,4Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala
klinis yang jelas, sehingga patofisiologi yang mendasarinya
biasanya tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis.
Nyeri kronis dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial,
atau penyebab-penyebab neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi
nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna
(jinak). 2,3,5
2.2 KLASIFIKASIa. Nyeri kanker
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen
nyeri akut, intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada
tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor,
penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi
maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul
pada tempat metastase yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan
tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan
mukositis, gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang
berakitan.2,3,5 b.Nyeriinon-kanker
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiioooooooooo Nyeri kronis
non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama: nyeri neuropati
dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik
atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas
saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah
jeda waktu tertentu). Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan
menetap. Selain nyeri yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri
yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti
syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam,
seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti
disobek/robek, atau kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis
adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia
trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri
pada bagian tubuh yang telah diamputasi).2,4,5
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang,
persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh
jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal
kronik yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit
inflamasi otot misalnya polimyositis (penyakit jaringan ikat yang
ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan
dermatitis dan juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian
misalnya arthritis
Nyeri juga merupakan mekanisme protektif bagi tubuh. Nyeri
muncul ketika jaringan tubuh sedang dirusak sehingga tubuh
memberikan reaksi untuk menghilangkan atau menghindari rangsangan
nyeri tersebut, misalnya bila tangan menyentuh bara api maka pada
orang normal akan merasakan panasnya bara api kemudian secara
spontan akan menjauhkan tangan dari sumber panas tersebut jadi rasa
nyeri yang muncul membuat kerusakan jaringan yang lebih lanjut
dapat dihindari.3,5,6
2.3 FISIOLOGI NYERIReseptor nyeri adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer.2,3,5,6
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda.a. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan,
nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi
dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam
dua komponen yaitu :1. Reseptor A delta, merupakan serabut komponen
cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya
nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan.2. Serabut C, merupakan serabut komponen lambat
(kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih
dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.b.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.c.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal
dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak
sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.1,3,4Banyak teori berusaha untuk
menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak ada satu
teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri
ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi
nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut
ini:Resepsi : proses perjalanan nyeriPersepsi : kesadaran seseorang
terhadap nyeriReaksi : respon fisiologis & perilaku setelah
mempersepsikan nyeriFisiologi Nyeri :1. Transduksi adalah proses
dimana stimulus noksius aktivitas elektrik reseptor terkait. Pada
nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi
stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah
yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas
420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein
transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini
dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran yang menembus
membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan terminal
perifer. Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi
prostaglandin oleh siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau
proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat enzim COX-2.1,3,6
2. Transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf
yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla
spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang
menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak
dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus
dan cortex. Ada dua jenis transmisi saraf :a) Ionotropik dimana
mediator bekerja langsung pada pintu ion ke dalam sel. Ciri jenis
transmisi itu adalah (i) proses berlangsung cepat dan (ii) masa
proses singkat.b) Metabotropik dimana mediator bekerja lewat
perubahan biokimia pada membrane post-sinaps. Ciri transmisi cara
ini adalah (i) lambat dan (ii) berlangsung lama. Prostaglandin E 2
termasuk dalam golongan metabotropik; Hiperalgesia karena
prostaglandin E 2 terjadi lambat tapi berlangsung lama. Morfin dan
obat-opiat lainnya juga masuk golongan metabotropik, tetapi
obat-obat ini menghambat hiperalgesia bekerjanya juga lambat dan
berlangsung lama. Trauma mekanik rupa-rupanya langsung merusak
integritas membran dan tergolong ionotropik , bersama bradykinin.
Rasa nyeri timbul cepat dan berlangsung singkat, kecuali bila
kerusakan yang ditimbulkannya hebat tentu rasa nyeri dapat
berlangsung lama.3. Modulasi yaitu aktivitas saraf utk mengontrol
transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah diteruskan di sistem
saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di
medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat
analgetika seperti morfin (Dewanto). Pada fase modulasi terdapat
suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi nosisepsi
berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari
sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan
nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke
medulla spinalis.2,4,5
Analgesik endogen meliputi :- Opiat endogen- Serotonergik-
Noradrenergik (Norepinephric)Sistem analgesik endogen ini memiliki
kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior dan proses
desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior
diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah
terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini
dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status
emosional & kultur seseorang.2,3,6 4. Persepsi, Proses impuls
nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif
dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak yang
menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan
karena nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif
sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk memahaminya
(Dewanto). Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap
nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri,
maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini
menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian
individu itu dapat bereaksi.Fase ini dimulai pada saat dimana
nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan
thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal
ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel
sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi
emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat
sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan
emosi.3,4,6a. TEORI PENGONTROLAN NYERI (GATE CONTROL
THEORY)Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai
saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana
nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)
mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan
nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron
delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk
mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih
cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup
mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat
terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan
lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan
serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan
ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi,
konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan
endorfin.2,3,4,6
2.4 PATOFISIOLOGI NYERI KRONIKJaras paleosinoltalamikus adalah
sistem yang menjalarkan rasa nyeri terutama dari serabut tipe C
lambat-kronik perifer, walaupun jaras ini menjalarkan beberapa
sinyal dari serabut tipe A juga. Dalam jaras ini, serabut-serabut
perifer berakhir di dalam medula spinalis hampir di seluruhnya di
lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut
substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu
atau lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu
dorsalisnya sebelum terutama memasuki lamina A, juga di kornu
dorsalis. Di sini, neuron-neuron berakhir dalam rangkaian
merangsang akson-akson panjang yang sebagian besar menyambungkan
serabut-serabut dari jaras rsa nyeri cepat, yang mula-mula melewati
komisura anterior ke sisi berlawanan dari medula spinalis, kemudian
naik ke otak dalam jaras anterolateral.3,5Percobaan penelitian
menunjukkan bahwa ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki medula
spinalis mungkin mengeluarkan transmiter glutamat dan transmiter
substansi P. Substansi P dilepaskan lebih lambat. Walaupun secara
terperinci belum diketahui, sepertinya telah jelas kalau glutamat
berperan dalam menjalarkan rasa nyeri cepat ke dalam sistem saraf
pusat, dan substansi P berhubungan dengan rasa nyeri lambat
kronik.2,3,6Jaras paleosinotalamikus lambat-kronik berakhir secara
luas dalam batang otak. Hanya sepersepuluh sampai seperempat
serabut yang melewati seluruh jalur ke talamus. Namun demikian,
serabut-serabut ini kebanyakan berakhir di satu dari tiga derah
berikut: (1) nukleus retikularis medula, pons, dan mesensefalon (2)
area tektal dari mesensefalon dalam sampai kolikuli superior dan
inferior, atau (3) daerah periakueduktus substansia grisea, yang
mengelilingi aqueduktus sylvii. Daerah yang lebih rendah dari
batang otak ini tampatknya penting untuk merasakan rasa nyeri ,
karena hewan yang otaknya mengalami pemotongan di atas mesensefalon
untuk menghambat semua sinyal rasa nyeri dalam mencapai serebrum
masih menunjukkan dengan jelas bukti-bukti yang tidak dapat
disangkal dari rasa nyeri batang otak, banyak neuron berserabut
pendek yang memancarkan sinyal nyeri naik ke intralaminar dan
nukleus ventrolateral dari talamus dan ke dalam bagian tertentu
hipotalamus dan daerah basal lain dari otak.2,3,4
2.5 MANIFESTASI KLINISPasien dengan nyeri kronik tidak atau
kurang memperlihatkan hiperaktifitas autonom tetapi memperlihatakan
gejala iritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan konsentrasi.
Nyeri kronik sering mempengaruhi semua aspek kehidupan pengidapnya,
menimbulkan distress dan kegalauan emosi dan mengganggu fungsi
fisik dan social. Banyak factor terlibat dalam timbulnya nyeri
kronik, temasuk factor organic, psikologi, social dan
lingkungan.Sindrom nyeri kronik biasnya memiliki kausa organic,
tetapi kepribadian dan status psikologi pasien mempengaruhi
perkembagannnya. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan nyeri
kronik kausa organic sangat bervarisi, sindrom nyeri kronik sering
disertai oleh gejala rasa cemas, insomnia, dan depresi dengan
depresi dengan gejala tersering.1,2,4,6,7
KarakterisitkNyeri akutNyeri kronik
Awitan dan durasiAwitan mendadak, durasi singkat kurang dari 6
bulanAwitan bertahap, menetap, lebih dari 6 bulan
intensitasSedang sdampai parahSedang sampai parah
kausaSpesifik, dapat diidentifikasi secara biologisKausa mungkin
jelas mungkin tidak
Respon fisiologiHiperaktifitas outonom yang dapat diperkirakan :
meningktanya tekanan darah, nadi, dan nafas, dilatasi pupil, pucat,
mual muntahAktifitas autonom normal
Respon emosi/prilakuCemas, tidak mampu berkonsentrasi, gelisag,
mengalami distress tetapi optimis nyeri akan hilangDepresi dan
kelelahan, immobilisasi atau inaktifas fisik, menarik diri dari
lingkungan social, tidak melihat adanya harapan akan kesembuhan,
memperkirakan nyeri akan lama
Respon terhadap analgesikMeredakan nyeri secara efektifSering
kurang dapat meredakan nyeri
Tabel . Karakterisitik Nyeri Akut Kronik
2.6 TATALAKSANAa.iiTerapiiiFisik
Terapi fisik (Physical Therapy), dalam hubungannya dengan terapi
okupasi (Occupational therapy), memiliki peran penting dalam
restorasi fungsional untuk pasien dengan sindrom nyeri kronis.
Tujuan dari program PT adalah untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas secara bertahap dimulai dengan latihan meluncur
lembut . Pasien biasanya enggan untuk berpartisipasi di PT karena
nyeri intens.
Seorang diri diarahkan atau terapis-program yang diarahkan PT
adalah penting dan harus individual untuk kebutuhan setiap pasien
dan tujuan.
Teknik PT mencakup aplikasi panas atau dingin, posisi, latihan
peregangan, traksi, pijat, terapi ultrasound, stimulasi saraf
transkutan listrik (TENS), dan manipulasi. Panas, pijat, dan
peregangan dapat digunakan untuk mengurangi kontraksi otot berlebih
dan nyeri. Intervensi lainnya harus ditawarkan untuk memungkinkan
lebih percaya diri dan kenyamanan ketika pasien tidak kemajuan
dalam jumlah waktu yang wajar. Pengobatan dgn memberi pekerjaan
tertentu.2,6,7
PL sangat penting untuk memulai pengukuran aktif lembut dan
teknik desensitisasi awal dengan pasien yang memiliki sakit kronis,
sindrom nyeri terutama daerah kronis.
Terapi rekreasi dapat membantu pasien dengan nyeri kronis ambil
bagian dalam kegiatan menyenangkan yang membantu mengurangi nyeri.
Pasien menemukan kenikmatan dan sosialisasi dalam kegiatan rekreasi
yang sebelumnya hilang atau baru. Biasanya, pasien dengan nyeri
kronis adalah depresi karena rasa sakit. Rekreasi terapis mungkin
memainkan peran penting dalam proses pengobatan karena mereka
membantu memungkinkan pasien untuk menjadi aktif.2,3,6
b.iiFarmakoterapi Farmakoterapi terdiri dari terapi simtomatik
gagal (untuk menghentikan atau mengurangi keparahan eksaserbasi
akut) dan terapi jangka panjang untuk nyeri kronis. Awalnya, nyeri
dapat merespon OTC analgesik sederhana, seperti parasetamol,
ibuprofen, aspirin, atau naproxen. Jika pengobatan tidak memuaskan,
penambahan modalitas lain atau penggunaan obat resep dianjurkan.
Jika mungkin, hindari agonis opiat barbiturat atau. Juga, mencegah
penggunaan jangka panjang dan berlebihan dari semua analgesik
gejala karena risiko ketergantungan dan penyalahgunaan.
Tizanidine dapat meningkatkan fungsi penghambatan pada SSP dan
dapat memberikan bantuan terhadap nyeri. Amitriptyline (Elavil) dan
nortriptyline (Pamelor) adalah antidepresan trisiklik (TCA) yang
paling sering digunakan untuk mengobati nyeri kronis. Selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI) fluoxetine (Prozac), paroxetine
(Paxil), dan sertraline (Zoloft) umumnya diresepkan oleh banyak
dokter. Antidepresan lain, seperti doksepin, desipramin
protriptyline, dan buspirone, juga dapat digunakan.
Sebuah studi Perancis menemukan bukti bahwa botulinum tipe
toksin A (BoNT-A) memiliki efek analgesik langsung ketika diberikan
kepada pasien dengan nyeri neuropatik kronis (melakukan tindakan
yang independen efek pada otot). Akibatnya., Penulis studi tersebut
menyarankan bahwa BoNT-mungkin memiliki "indikasi baru"
dalamiianalgesia.3,7
Kroenke dkk mempelajari kombinasi intervensi farmakologis dan
perilaku untuk meningkatkan depresi dan rasa sakit. Pasien (n =
250) dengan punggung rendah, pinggul, atau sakit lutut selama 3
bulan atau lebih yang juga memiliki depresi moderat secara acak
ditugaskan untuk kombinasi terapi atau perawatan biasa. Terapi
kombinasi terdiri dari terapi antidepresan dioptimalkan (12
minggu), diikuti oleh intervensi untuk nyeri dalam fase pengelolaan
diri (12 minggu), dan fase lanjutan (6 bulan). Depresi ditingkatkan
dalam 37,4% dari kelompok terapi kombinasi (yaitu, 50% atau
penurunan lebih besar dalam depresi) dibandingkan dengan kelompok
dengan perawatan biasa (16,5%). Keparahan nyeri berkurang 30% atau
lebih pada kelompok kombinasi (41,5%) dibandingkan dengan kelompok
dengan perawatan biasa (17,3%).
Sebuah studi oleh Gianni dkk memandang sistem pengiriman
transdermal buprenorfin (BTDS) untuk efeknya pada kronis, nyeri
noncancer. Sementara tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
menguji nilai kognitif dan fungsional pada populasi lanjut usia
yang dirawat dengan BTDS, sebuah temuan sekunder terkait dengan
penggunaannya adalah aktivitas analgesik yang efektif dan
keselamatan BTDS pada pasien usia lanjut. Ada perbaikan dalam
suasana hati dan kembalinya sebagian kegiatan, tanpa berpengaruh
pada kemampuan kognitif dan perilaku.3,7
1. Analgesik Nonopioid/Perifer (NON-OPIOID
ANALGESICS)Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada
enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam
sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin.
Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada
daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator
nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2
inhibitors.Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini
adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya
disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis
besar.3,7
Gambar 2.1 : Origin and effects of prostaglandinsa.
SalicylatesAspirin mempunyai kemampuan menghambat biosintesis
prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara
ireversibel, pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang
biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung( intoleransi ).Efek
ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok ( minum aspirin
bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau
antasid).2,3,7
b. p-Aminophenol DerivativesAcetaminophen (Tylenol) adalah
metabolit dari fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin yang
lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-inflamasi
yang bermakna.Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang
seperti nyeri kepala,mialgia,nyeri pasca persalinan dan keadaan
lain.efek samping kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim
hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing,mudah terangsang,
dan disorientasi.c. Indoles and Related CompoundsObat ini lebih
efektif daripada aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin
terkuat. Efek samping menimbulkan efek terhadap saluran cerna
seperti nyeri abdomen,diare, pendarahan saluran cerna,dan
pankreatitis.serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi
kelainan hati.2,3,7d. Fenamates Merupakan turunan asam fenamat
,mempunyai waktu paruh pendek,efek samping yang serupa dengan
obat-obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang
melebihinya.obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral.
dikontraindikasikan pada kehamilan.e.Arylpropionic Acid
DerivativesTersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama
dagang.obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita
polip hidung ,angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap
aspirin. Efek samping,gejala saluran cerna.f. Pyrazolone
DerivativesUntuk pengobatan artristis rmatoid,dan berbagai kelainan
otot rangka.obat ini mempunya efek anti-inflamasi yang kuat. tetapi
memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis, anemia
aplastik,anemia hemolitik,dan nekrosis tubulus ginjal.2,3,7G.
Oxicam derivativesMerupakan AINS dengan struktur baru.waktu
paruhnya panjang untuk pengobatan artristis rmatoid,dan berbagai
kelainan otot rangka.efek sampingnya meliputi tinitus ,nyeri
kepala,dan rash.h. Acetic Acid Derivativesobat ini adalah
penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek
antiinflamasi,analgetik, dan antipiretik. waktu parunya pendek.
dianjurkan untuk pengobatan artristis rmatoid,dan berbagai kelainan
otot rangka.efek sampingnya distres saluran cerna, perdarahan
saluran cerna,dan tukak lambung. i. Miscellaneous Agentsobat ini
mempunyai waktu paruh yang panjang.obat ini memiliki beberapa
keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat AINS
lain.2,3,7
2. Analgetik opioidAnalgetik opiad merupakan golongan obat yang
memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opiad
yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh
karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:1.
Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin2. Tanpa bahaya
adiksiAnalgetik opiad mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat
kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat
(SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan perasaan
nyaman (euforia).. Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang
paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang
hebat.Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh
sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang
belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem ini
dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya
luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru
disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan
oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa
yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain:
enkefalin, endorfin, dan dinorfin.2,3,7Opioid endogen ini
berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan
kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid.
Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari
permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator
dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.Baik opioid endogen
dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan
analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.Ada beberapa
jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu
reseptor opioid , , , , . (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ
receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1)
receptor or orphan opioid receptor dan e-receptor, namum belum
jelas fungsinya).Reseptor memediasi efek analgesik dan euforia dari
opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor 2
memediasi efek depresan pernafasan.2,3,7Reseptor yang sekurangnya
memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan
berhubungan dengan toleransi terhadap opioid. reseptor telah
diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan
diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang
belakang. Reseptor dan reseptor menunjukan selektifitas untuk
ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor selektif untuk opioid
analgesic.Mekanisme umumnya :Terikatnya opioid pada reseptor
menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu
mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion
K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam
sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin,
dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.2,3Efek-efek yang
ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:
Analgesik medullary effect Miosis immune function and Histamine
Antitussive effect Hypothalamic effect GI effectEfek samping yang
dapat terjadi: Toleransi dan ketergantungan Depresi pernafasan
Hipotensi dllAtas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik
opioid dibagi menjadi:1. Agonis opioid menyerupai morfin (pd
reseptor , ). Contoh: Morfin, fentanil2. Antagonis opioid. Contoh:
Nalokson3. Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya
tinggi4. Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin,
buprenorfin, malbufin, butorfanol.3,61. Agonis Kuata.
FenantrenMorfin, Hidromorfin ,dan oksimorfon merupakan agonis kuat
yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri hebat. Heroin adalah agonis
yang kuat dan bekerja cepat .b. FenilheptilaminMetadon mempunyai
profil sama dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih
panjang. Dalam keadaan nyeri akut,potensi analgesik dan efikasinya
paling tidak sebanding dengan morfinLevometadil asetat merupakan
Turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada
metadonc. FenilpiperidinMeperidin dan Fentanil adalah yang paling
luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada ,mempunyai efek
antimuskarinik.subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari
sufentanil dan alventanil.d. Morfinan Levorfanol adalah preparat
analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin namun
manfaatnya tidak menguntungkan dari morfin.3,6
2.Agonis Ringan sampai sedanga.
FenantrenKodein,Oksikodoa,dihidrokodein, dan hidrokodon,semuanya
mempunyai efikasi yang kurang dibanding morfin,atau efek sampingnya
membatasi dosis maksimum yang dapat diberikan untuk memperoleh efek
analgesik yang sebanding dengan morfin,penggunaan dengan kombinasi
dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin atau asetaminofen
dan obat-obat lain.b. FenilheptilaminPropoksifen aktivitas
analgesiknya rendah,misalnya 120 mg propoksifen = 60 mg kodeinc.
FenilpiperidinDifenoksilat dan metabolitnya,difenoksin digunakan
sebagai obat diare dan tidak untuk analgesik,digunakan sebagai
kombinasi dengan atropin.Loperamid adalah turunan fenilpiperidin
yang digunakan untuk mengontrol diare.Potensi disalahgunakan rendah
karena kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.3,63. Mixed
Opioid AgonistAntagonists or Partial Agonistsa. FenantrenNalbufin
adalah agonis kuat reseptor kapa dan antagonis reseptor mu. pada
dosis tinggi terjadi depresi pernafasanBuprenorfin adalah turunan
fenantren yang kuat dan bekerja lama dan merupakan suatu agonis
parsial reseptor mu.Penggunaan klinik lebih banyak menyerupai
nalbufin,mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita
penyalahgunaan heroin.3,6b. MorfinanButorfanol efek analgesik
ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin, tetapi menghasilkan efek
sedasi pada dosis ekivalen ,merupakan suatu agonis reseptor kapa.
c. BenzomorfanPentazosin adalah agonis reseptor kapa dengan
sifat-sifat antagonis reseptor mu yang lemah.Obat ini merupakan
preparat campuran agonis-antagonis yang tertua.Dezosin adalah
senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan pentazosin,
mempunyai aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang
bereaksi dengan reseptor kappa,mempunyai efikasi yang ekivalen
dengan morfin.3,6 4. Antagonis Opioid Nalokson dan Naltrekson
merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi
N,mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu,dan
afinitasnya kurang berikatan dengan reseptor lain.Penggunan utama
nalokson adalah untuk pengubatan keracunan akut opioid,masa kerja
nalokson relatif singkat, Sedangkan naltrekson masa kerjanya
panjang,untuk program pengobatan penderita pecandu .individu yang
mengalami depresi akut akibat kelebihan dosis suatu opioid
,antagonis akan efektif menormalkan pernapasan,tingkat kesadaran,
ukuran pupil aktivitas usus,dan lain-lain.5. Drugs Used
Predominantly as AntitussivesAnalgesic opioid adalah obat yang
paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk menekan
batuk.Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang
diperlukan untuk menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah
Dekstrometrofan,Kodein, Levopropoksifen.3,6
BAB IIIKESIMPULAN
Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu:
tranduksi/ transduction, transmisi/transmission, modulasi/
modulation, dan persepsi/perception sedangkan dimensi nyeri
meliputi: dimensi fisiologi, sensori, afektif, cognitive, dan
behavior (perilaku) serta dimensi socialkultural sebagai dimensi
keenam dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Pemahaman yang
baik tentang mekanisme timbulnya nyeri dan dimensidimensi nyeri
secara holistik akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
memilih tindakan pengobatan dan perawatan yang tepat dalam
mengatasinyeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. International Association for the Study of Pain (IASP)
(2002). What causes cancer pain? Retrieved December 12, 2005, from
http://www.iasppain. org/PCU02-2.html2. Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 5. EGC.
Jakarta. 2002 3. Ropper, Allan H.. Adams and victors. Principles of
neurology. MCGRAW-Hill Medical Publishing Division. New York.
20054. Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. EGC.
Jakarta. 2002 5. Andersson HI, Ejlertsson G, Leden I, Schersten B.
Musculoskeletal chronic pain in general practice. Studies of health
care utilisation in comparison with pain prevalence. Scand Prim
Health Care 1999;6. Singh,Manish K, Chronic Pain Syndrome.
Retrieved August 1, 2011, from www.emedicine.com7. Katzung, Betram
G. Farmakologi Dasar dan Klinis. EGC. Jakarta. 2002
23