Top Banner
1 Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI) ___________________ Korespondensi penulis: e-mail: [email protected] Telp. (021) 64700928, Fax. (021) 64700929 Penguatan Kearifan Lokal sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, Dian., et al) PENGUATAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI LANDASAN PENGELOLAAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM DARATAN DI SUMATERA STRENGTHENING OF LOCAL WISDOM AS THE BASIS OF INLAND FISHERIES MANAGEMENT IN SUMATRA Dian Oktaviani, Eko Prianto dan Reny Puspasari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Gedung Balitbang KP II Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur Jakarta Utara, 14430-Indonesia Teregistrasi I tanggal: 14 April 2014; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Februari 2016; Disetujui terbit tanggal: 17 Februari 2016 ABSTRAK Kearifan lokal merupakan suatu nilai budaya yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Indonesia dan diakui keberadaannya oleh hukum negara. Kearifan lokal yang masih berlaku di dalam kehidupan masyarakat Sumatera terkait dengan pengelolaan perikanan perairan umum daratan terdiri dari lelang lebak lebung (Sumatera Selatan), lubuk larangan (Jambi dan Sumatera Barat), rantau larangan (Riau), ma’uwo (Riau), dan upacara semah terubuk (Riau). Dari kelima kearifan lokal tersebut, lubuk larangan termasuk sistem pengelolaannya sudah menjadi salah satu kegiatan pemerintah sampai di tingkat nasional. Penguatan kearifan lokal dengan kajian ilmiah dapat menjadikan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan perikanan yang efektif dan efisien berbasis masyarakat. Kajian ilmiah terhadap kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan perikanan dapat didekati dengan etnobiologi (analisis emik dan analisis etik). Selanjutnya, kearifan lokal dapat diperkuat secara hukum dan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Kata Kunci: Etnobiologi; kearifan lokal; pengelolaan perikanan; Sumatera ABSTRACT Local wisdom is a cultural value that can not be separated from the life of the Indonesian people and its existence is recognized by state law. Local wisdoms found in Sumatra related to inland fisheries management are lebak lebung (South Sumatra), lubuk larangan (Jambi and West Sumatra), rantau larangan (Riau), ma’uwo (Riau), and upacara semah terubuk (Riau). Lubuk larangan including its management system has become one of the government’s activities to the national level. Strengthening local wisdom with scientific studies can make it is as part of effective and efficient community-based fisheries management system. Scientific studies on local wisdom related to fisheries management could be analyzed by applying ethnobiology approach (emic and etic analysis). Keywords: Ethnobiology; local wisdom; fisheries management; Sumatra Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jkpi e-mail:[email protected] JURNAL KEBIJAKANPERIKANAN INDONESIA Volume 8 Nomor 1 Mei 2016 p-ISSN: 1979-6366 e-ISSN: 2502-6550 Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015
12

Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

Nov 28, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

1

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

___________________Korespondensi penulis:e-mail: [email protected]. (021) 64700928, Fax. (021) 64700929

Penguatan Kearifan Lokal sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, Dian., et al)

PENGUATAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI LANDASAN PENGELOLAANPERIKANAN PERAIRAN UMUM DARATAN DI SUMATERA

STRENGTHENING OF LOCAL WISDOM AS THE BASIS OF INLANDFISHERIES MANAGEMENT IN SUMATRA

Dian Oktaviani, Eko Prianto dan Reny PuspasariPusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,

Gedung Balitbang KP II Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur Jakarta Utara, 14430-IndonesiaTeregistrasi I tanggal: 14 April 2014; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Februari 2016;

Disetujui terbit tanggal: 17 Februari 2016

ABSTRAK

Kearifan lokal merupakan suatu nilai budaya yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakatIndonesia dan diakui keberadaannya oleh hukum negara. Kearifan lokal yang masih berlaku didalam kehidupan masyarakat Sumatera terkait dengan pengelolaan perikanan perairan umumdaratan terdiri dari lelang lebak lebung (Sumatera Selatan), lubuk larangan (Jambi dan SumateraBarat), rantau larangan (Riau), ma’uwo (Riau), dan upacara semah terubuk (Riau). Dari kelimakearifan lokal tersebut, lubuk larangan termasuk sistem pengelolaannya sudah menjadi salah satukegiatan pemerintah sampai di tingkat nasional. Penguatan kearifan lokal dengan kajian ilmiahdapat menjadikan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan perikanan yang efektif danefisien berbasis masyarakat. Kajian ilmiah terhadap kearifan lokal yang berhubungan denganpengelolaan perikanan dapat didekati dengan etnobiologi (analisis emik dan analisis etik).Selanjutnya, kearifan lokal dapat diperkuat secara hukum dan perundang-undangan yang berlakusecara nasional.

Kata Kunci: Etnobiologi; kearifan lokal; pengelolaan perikanan; Sumatera

ABSTRACT

Local wisdom is a cultural value that can not be separated from the life of the Indonesian peopleand its existence is recognized by state law. Local wisdoms found in Sumatra related to inland fisheriesmanagement are lebak lebung (South Sumatra), lubuk larangan (Jambi and West Sumatra), rantaularangan (Riau), ma’uwo (Riau), and upacara semah terubuk (Riau). Lubuk larangan including itsmanagement system has become one of the government’s activities to the national level. Strengtheninglocal wisdom with scientific studies can make it is as part of effective and efficient community-basedfisheries management system. Scientific studies on local wisdom related to fisheries managementcould be analyzed by applying ethnobiology approach (emic and etic analysis).

Keywords: Ethnobiology; local wisdom; fisheries management; Sumatra

Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jkpi

e-mail:[email protected]

JURNALKEBIJAKANPERIKANANINDONESIAVolume 8 Nomor 1 Mei 2016

p-ISSN: 1979-6366

e-ISSN: 2502-6550Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015

Page 2: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.8 No.1 Mei 2016:

2

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

1-12

PENDAHULUAN

Pengelolaan sumber daya ikan saat ini masihdiprioritaskan pada pengendalian upaya penangkapan,pemahaman dinamika perikanan serta pengelolaannelayan, sedangkan konsep pengelolaan berbasismasyarakat dan co-management ditempatkansebagai pelengkap (Banon & Nugroho, 2011). Peranaktif masyarakat di dalam pengelolaan perikananmerupakan bagian yang penting. Partisipasimasyarakat dapat didekati dengan memberdayakanbudaya yang berkembang di dalam komunitastersebut. Penerapan suatu budaya di dalampengelolaan perikanan akan memberikan nilai tambahdari sudut pandang efisiensi dan efektifitas dari sistempengawasan berbasis masyarakat.

Ketika masyarakat dapat mengekspresikan bahwakebutuhan mereka dapat dipenuhi dan diselesaikandengan budaya mereka maka pengetahuan dansistem manajemen tradisional menjadi krusial untukdipertahankan (White et al., 1994). Keadaan tersebutakan menjadi lebih efektif dan efisien daripada sistemyang datang dari luar. Oleh karena itu, penggaliankembali budaya yang terkait dengan pengelolaanperikanan mutlak diperlukan.

Suku-suku asli yang mendiami suatu tempatsangat mengenali lingkungannya (Indrawan et al.,2007), sehingga kehidupan masyarakat menggunakankebudayaan untuk memanfaatkan dan mengelolasumber daya alam yang diwujudkan dalam bentukkearifan lokal. Menurut Keraf (2002) dalam Stanis etal. (2007) kearifan lokal adalah semua bentukpengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasanserta adat kebiasaan atau etika yang menuntunperilaku manusia dalam kehidupan di dalamkomunitas ekologis. Pattiselanno & Mentansan (2010)menyatakan bahwa kearifan lokal identik denganistilah kearifan tradisional.

Pengelolaan sumber daya ikan yang berbasismasyarakat tidak boleh dipisahkan dari kearifan lokalmasyarakat yang memanfaatkannya secara langsung.Saat ini, keberadaan kearifan lokal masih dinilai hanyasebagai suatu hal yang unik dan patut dilestarikanyang cenderung dijadikan sebagai obyek wisatabudaya. Kearifan lokal tertentu merupakan suatukesepakatan yang berlaku turun temurun dari suatumasyarakat tertentu yang terhimpun di dalam sebuahlembaga masyarakat adat. Itu berarti kearifan lokaldapat dikatakan sebagai suatu bentuk peraturan yangberlaku dan dipatuhi. Hal itu sama artinya denganperaturan yang berlaku di pemerintahan. Deskripsi

dari dampak positif kearifan lokal di dalam pengelolaansumber daya ikan sangat kental terlihat di dalamkehidupan masyarakat di Sumatera Barat yang berupalubuk larangan (Kurniasari et al., 2013). Pemerintahdaerah Sumatera Barat bahkan menjadikan lubuklarangan sebagai bagian dari program kerja dalamkegiatan perikanan dan wisata. Deskripsi dampaknegatif yang muncul dari suatu kearifan lokal adalahterjadinya penangkapanyang berlebih (overexploitation)terhadap sumber daya ikan (Syafriyulis, 2011).

Apabila ditelaah lebih jauh, maka akan ditemukanbahwa unsur yang terkandung di dalam suatu kearifanlokal dapat diangkat menjadi salah satu unsur utamadi dalam pengelolaan sumber daya ikan, utamanyapengelolaan yang berbasis pada masyarakat.Penerapan suatu kearifan lokal dapat berdampakpositif, tapi ada juga dampak negatif terhadapkelestarian sumber daya ikan. Oleh karena itu,diperlukan suatu kajian ilmiah tentang dampak darikearifan lokal terhadap sumber daya ikan. Kearifanlokal yang terkait dengan pengelolaan sumber dayaikan mengandung suatu pengetahuan lokal yang dapatdiungkap melalui ilmu pengetahuan modern.Utamanya, ilmu pengetahuan yang berhubungandengan sumber daya hayati yaitu biologi. Tulisan inimendeskripsikan secara umum bahwa suatu kearifanlokal dapat diperkuat dari sudut pandang sains,sehingga dapat diterima sebagai bentuk pengelolaanyang berbasis ilmiah. Pembahasan difokuskan padainformasi deskriptif terhadap lima kearifan lokal darimasyarakat yang tinggal di sekitar perairan umumdaratan Sumatera. Data dan informasi berasal dari hasilwawancara yang diperkaya dengan studi pustaka.

BAHASAN

Ragam Kearifan Lokal dalam PengelolaanPerikanan Perairan Umum Daratan di Sumatera

Hasil identifikasi kearifan lokal pengelolaan sumberdaya ikan perairan umum daratan di Sumateradiperoleh lima bentuk kearifan lokal (Prianto et al.,2013). Data dan informasi dikumpulkan selama tahun2013 dilakukan dengan pengamatan langsung,wawancara dan studi pustaka. Kearifan lokal terkaitdengan pengelolaan perikanan perairan umum daratanmasih berlangsung di dalam budaya masyarakat yangtinggal di Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat,dan Riau. Kearifan lokal yang ada secara umummemberikan dampak ekonomi dan sosial bagimasyarakat di sekitar, terutama kearifan lokalberkembang menjadi daya tarik wisata.Adapun bentukkearifan lokal yang teridentifikasi adalah sebagai berikut:

Page 3: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

3

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

1. Lebak Lebung di Sumatera Selatan

Lebak lebung merupakan kawasan perairan yangterdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungaiyang secara berkala atau terus menerus digenangiair dan secara alami merupakan tempat bibit ikan ataubiota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalahsistem penentuan akan hak pengelolaan perairanumum (lebak lebung) yang ditemukan di SumateraSelatan. Muthmainnah et al. (2012)mengklasifikasikan lelang lebak lebung sebagaikearifan lokal yang menjadi salah satu karakteristiksosial budaya. Sistem lelang lebak lebung dimulaiketika masa pemerintahan marga pada tahun 1630di jaman kerajaan Palembang Darussalamatau”keresidenan Palembang” (Ditya et al., 2014).Akan tetapi, laporan Dinas Perikanan Darat tahun1953 melaporkan bahwa berdasarkan catatan ResidenPruys vander Hoeven “verteg Jaren” (1873-1876)kebiasan melelangkan perairan dimulai tahun 1850(Nurfirmanephie, 2011).

Dalam proses lelang lebak lebung, setiappemenang lelang mempunyai izin untuk melakukanusaha penangkapan ikan di lokasi yang dilelang.Pelaksanaan lelang lebak lebung diatur dalam sistemkelembagaan tertentu yang lebih diarahkan untukmeningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daripada untuk kepentingan masyarakat nelayan(Nasution et al., 2012). Mekanisme lelang tersebutdari waktu ke waktu mengalami perubahan yangmemberikan dampak terhadap sumberdaya. Saat inimekanismenya lelang lebak lebung diatur oleh SuratKeputusan (SK) Gubernur Sumatera Selatan Nomor:705/KPTS/II/1982 (Pramoda, 2011; Nasution et al.,2012). Sampai saat ini, beberapa daerah di SumateraSelatan sebagian dari hukum adat tersebut masihdiberlakukan. Diantaranya adalah penerapan lelangyang diberlakukan di ekosistem dataran banjir (floodplain) yang lebih disebut Lelang Lebak Lebung. Adatiga kabupaten utama yang menerapkan lelang lebaklebung yaitu Kabuten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir,dan Musi Banyuasin. Peraturan terkait pelaksanaanlelang lebak lebung diatur berdasarkan peraturan yangberlaku di masing-masing kabupaten. Hasil lelanglebak lebung selain sebagai sumber ekonomimasyarakat, juga menjadi sumber PAD. KabupatenOKI sebagai kabupaten yang paling banyak memilikiperairan yang dilelang mendapat nilai PAD dari lelanglebak lebung pada tahun 2011 hampir mencapai nilai6 milyar rupiah (Firdaus & Shafitri, 2013).

Dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan,implementasi lelang lebak lebung saat inimemberikan dampak terhadap keberlanjutansumberdaya ikan. Kawasan lebak lebung pada musim

hujan (air tinggi) berperan sebagai kawasan pemijahanbagi banyak jenis ikan dan berfungsi sebagaipenyumbang stok bagi perairan di sekitarnya. Upayapemanfaatan yang dilakukan oleh pemenang lelang(pengemin) cenderung over exploitasi sehinggakelestarian sumberdaya ikan terancam (Syafriyulis,2011).

2. Lubuk Larangan

Sistem pengelolaan lubuk larangan yang telahditerapkan oleh masyarakat merupakan sebuahkearifan masyarakat yang bersifat partisipatif, adaptifdan berkelanjutan dalam pelestarian sumberdayaperikanan sungai khususnya ikan lokal. Pengelolaanseperti ini sangat efektif dan efisien karenamasyarakat secara otonomi menjaga danmengelolanya sehingga masyarakat tersebut lebihmemiliki dan rasa tanggung jawab atas sumberdayayang ada disekitarnya (Veraliza et al., 2010). Referensiyang mengkaji tentang lubuk larangan sebagian besarberlokasi di Sumatera Barat dan beberapa lokasi diProvinsi Riau. Lokasi-lokasi tersebut antara lain:Kabupaten Lima Puluh Koto (Hendrik, 2007;Kurniasari et al., 2013; Yulianty & Priyatna, 2014),Kabupaten Dharmasraya (Pawarti et al., 2012),Kabupaten Agam (Hendrik, 2007), KabupatenPasaman (Hendrik, 2007) dan Kabupaten KuantanSingingi (Provinsi Riau) (Suhana, 2008; Veraliza etal., 2014). Jumlah lubuk larangan di Sumatera Baratpada tahun 2009 sebanyak 734 buah yang tersebardi 18 kabupten sedangkan di Provinsi Riaukeberadaan lubuk larangan banyak terdapat dikabupaten Kampar dan Kuantan Singingi.

Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuklarangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliransungai. Wilayah yang relatif tenang aliran sungainyaditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan, sementarayang lebih cepat aliran sungainya tidak ditetapkansebagai wilayah lubuk larangan. Pengetahuan lokaldalam penentuan batas wilayah tersebut menunjukanbahwa masyarakat setempat tahu bahwa ikansebagian besar menyukai wilayah perairan yang relatiftenang. Secara ekologi, sumber makanan ikantersebut lebih banyak di wilayah perairan sungai yangrelatif lebih tenang (Suhana, 2008).

Isti lah lubuk larangan juga dikenal olehmasyarakat lokal di Jambi (DKP Prov. Jambi, 2014).Lubuk larangan berasal dari kata yaitu lubuk danlarangan. Kamus Besar Bahasa Indonesiamenjabarkan bahwa “lubuk” berarti cekungan dasarperairan yang dalam dari sungai dan “larangan” berartiperintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan. Jadi,lubuk larangan dapat diartikan lubuk yang dilarang

Penguatan Kearifan Lokal sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, Dian., et al)

Page 4: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.8 No.1 Mei 2016:

4

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

untuk dilakukan suatu perbuatan (yaitu menangkapikan). Sedangkan Suhana (2008) menyatakan bahwalubuk larangan merupakan wilayah aliran sungaitertentu sebagai wilayah yang terlarang untuk diambilhasil ikannya selama jangka waktu tertentu.

Lubuk larangan dianggap sebagai bentuk kearifanlokal yang bertujuan menjamin pemanfaatan danperlindungan sumber daya ikan (terutama sumberdaya ikan di perairan umum daratan). Parwati (2012)mengemukakan bahwa ada tiga komponen yangberlaku di dalam pengelolaan lubuk larangan: mitos,ketentuan hukum adat dan kelembagaan adat. Bentukpengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasismasyarakat tersebut dilakukan dengan carapenutupan musim atau area dalam waktu tertentu.Peraturan dan pembatasan penangkapan di lubuklarangan meliputi:

a. Areal atau kawasan diberi batasan dan tanda yangjelas

b. Setiap Lubuk Larangan memiliki areal yangdilindungi terbatas

c. Pengaturan secara adat ada sanksi (uang,barangatau hukuman lainnya)

d. Larangan menangkap ikan dengan alat yangdilarang

e. Larangan menangkap ikan saat memijahf. Pengaturan waktu pemanenan

Dalam penerapan lubuk larangan ini masyarakattelah melakukan penzonasian agar batas-bataspengelolaan terlihat dengan jelas. Sebagai contohlubuk larangan Desa Pangkalan Indarung terdiri daridua zona (Veraliza et al., 2014) yaitu:

a) Zona Pelestarian dan Pemanfaatan

Zona Pelestarian dan Pemanfaatan atau disebutjuga sebagai kawasan lubuk larangan sudah terbentuksejak dahulu dan merupakan warisan dari pemuka-pemuka adat terdahulu dengan luas kawasanmencapai 25 Ha. Pada zona ini ikan dilindungi dantidak boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan,pencemaran, ataupun kegiatan kegiatan lain yangdapat mengganggu populasi ikan hingga waktu yangtelah ditentukan untuk pemanenan ikan. Selainberguna sebagai tempat pemijahan ikan danperkembangan benih ikan, kawasan ini juga dijadikansebagai kawasan wisata saat acara panen rayadilakukan atau yang dikenal dengan isti lahmamucuak/mancokau. Acara panen ikan hanyadilakukan sekali setiap tahunnya. Kawasan lubuklarangan biasanya dibuka selama dua hari dan setelahitu ditutup kembali. Setelah acara panen raya, makadilakukan kegiatan penebaran benih ikan-ikan lokal

(restocking) ke kawasan lubuk larangan gunamenjaga keberlangsungan populasi ikan yang ada.Untuk mempertahankan populasi ikan yang ada, makadiberlakukan atau ditetapkan beberapa aturan-aturanoleh pemangku adat di Desa Pangkalan Indarungsebagai upaya penyelamatan lingkungan perairan dansumberdaya genetik ikan-ikan lokal serta upayapelestarian sumberdaya ikan yang berkelanjutan padakawasan lubuk larangan.

b) Zona Bebas

Pada zona ini ikan bebas ditangkap olehmasyarakat desa dengan menggunakan peralatan-peralatan yang ramah lingkungan. Ikan boleh diambiluntuk pemenuhan kebutuhan lauk-pauk masyarakatDesa Pangkalan Indarung. Zona ini terdapat disebelahhulu dan sebelah hilir dari batas zona Pelestarian danPemanfaatan yang merupakan kawasan lubuklarangan.

Penerapan lubuk larangan ini di beberapa perairanmemberikan beberapa manfaat (Suhana, 2008;Veraliza et al., 2014), diantaranya:

a. Segi Ekonomi: menambah biaya pembangunanmesjid dan sarana ibadah lainnya, sebagai sumberperbendaharaan dan pemasukan kas desa, danmenjadi sumber pangan bagi masyarakat.

b. Segi Ekologi: pelestarian ikan dari kepunahan,pembibitan dan pengembangan ikan-ikan lokal,dan mencegah segala aktivitas-aktivitasmasyarakat yang menyebabkan terjadinyapencemaran sungai dan tersedianya sumberhayati perikanan ikan-ikan lokal yang dapatdijadikan sebagai ekowisata.

c. Segi Sosial: membantu anak yatim piatu,mempererat tali silaturahmi atau menumbuhkansemangat kebersamaan diantara anggotamasyarakat, menumbuhkan partisipasi dalammenjaga dan memelihara lubuk larangan,menumbuhkan rasa saling percaya sesamaanggota masyarakat, sebagai sarana hiburan danberkumpul, dan melatih atau mengkader generasibaru dalam mengelola lubuk larangan danmenyediakan sumber protein bagi masyarakatdesa melalui ketersediaan ikan-ikan lokal yangbisa dipanen sekali dalam setahun.

Pengakuan terhadap eksistensi lubuk larangan ditingkat nasional adalah penghargaan melalui suatupenilaian terhadap pengelolaan lubuk larangan.Penghargaan tersebut, seperti: juara pertama tingkatnasional diberikan kepada kelompok lubuk laranganAiaAngek di Kabupaten Tanah Datar pada tahun 2006;juara pertama tingkat nasional diberikan kepada

1-12

Page 5: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

5

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

kelompok lubuk larangan Sosa di KabupatenLimapuluh Kota pada tahun 2012; dan juara keduanasional diberikan kelompok lubuk laranganNago Sakti di Kabupaten Limapuluh Kota pada tahun2014 (Anonimous, 2015).

3. Rantau Larangan

Rantau larangan merupakan salah satu modelpengelolaan perikanan di perairan umum daratan yangpenerapannya di Kabupaten Rokan Hulu kecamatanIV Koto tepatnya di sungai Rokan dan sekitarnya.Penerapan rantau larangan bertujuan untukmelestarikan sumber daya ikan di wilayah tersebut.Rantau larangan biasanya diterapkan di wilayahsungai, seperti Sungai Mentawai, Sungai Subayang,Sungai Bio (DAS Kampar). Para pemangku adat atauninik mamak membuat suatu area dengan panjangyang telah disepakati dan dilarang untukmengambilnya dengan cara apapun sebelum acaraadat panen dilaksanakan. Mantra dan do’a pembataspun ditanam di sungai larangan tersebut yang kononjika ada yang mengambil ikan di wilayah larangantersebut maka ia akan tertimpa bala berupa penyakitnon medis yang hanya bisa disembuhkan melaluiupacara adat ninik mamak. Pagar mantera dan do’atadi juga seola-olah mampu menjadikan ikan-ikanyang masuk ke daerah larangan ini menjadijinak.Peraturan adat yang ketat tersebut mampumempertahankan ekosistem sungai tetap terjaga.

Penerapan rantau larangan memberikankesempatan kepada ikan-ikan yang hidup didalamnya untuk tumbuh besar dan berkembang biak.Secara ekologis penerapan rantau larangan ini berartimelindungi area pemijahan ikan. Hal ini bisaditerapkan bagi pengembangan kawasan rantaularangan menjadi kawasan konservasi perikanan.

4. Ma’uwo

Ma’uwo merupakan salah satu kearifan lokal yangberasal dari Kabupaten Kampar tepatnya di DanauBakuok dan Danau Sembat. Model pengelolaan danauini, dimana penangkapan ikan dilakukan sekali setahun(sekitar bulan September setiap tahunnya), yangdisebut dengan ma’uwo. Sepanjang masa di luar harima’uwo, masyarakat dan siapa pun dilarangmenangkap ikan di danau ini. Lebih tegasnya, bolehdikatakan Danau Bakuok dan Danau Sembat inidisebut sebagai Danau Larangan. Pengaturanlarangan menangkap ikan, waktu penangkapan ikan,pemanfaatan hasil tangkapan ikan, dan kegiatan apayang akan dilaksanakan di danau ini dikendalikanPemangku Adat Kenegerian Tambang. Apabila ada

yang melanggar (menangkap ikan di luar masama’uwo) akan dikenakan denda biasanya 1 ekorkerbau.

Pada prinsipnya model pengelolaan sistemma’uwo hampir sama dengan lubuk larangan, dimanasumberdaya ikan tidak boleh ditangkap pada waktutertentu. Namun pada sistem penangkapan ikannyaantara lubuk larangan dan ma’uwo berbeda. Tradisilubuk larangan seperti terdapat di Sumatera Barat danKabupaten Kuantan Singingi, pemanenan ikandilakukan secara bersama-sama dan hasilnya dibagirata sedangkan pada Ma’uwo ikan hasil tangkapanmenjadi hak para penangkapnya. Dalam tradisima’uwo, siapa yang banyak menangkap ikan dialahyang akan beruntung. Dalam hal ini terdapat sistemkompetisi bagi masyarakat yang menangkapnam un harus m em perhat ikan ta ta carapenangkapan yang menggunakan alat tangkapyang ramah lingkungan.

Kondisi ini telah berlangsung puluhan bahkanratusan tahun.Semula kegiatan ini dilaksanakan padaskala kecil, setingkat kenegerian. Seiring denganperkembangan masyarakat, hal ini semakin maju dandikenal luas, bahkan hingga ke luar kenegerianTambang. Tak kalah pentingnya, bahkan telahdikembangkan menjadi acara tahunan pesta rakyatyang dilengkapi berbagai kegiatan selain kegiatanma’uwo yang menjadi soko aktivitas dan dibuka olehpejabat setempat. Hasil tangkapan dari ma’uwomelimpah ruah dengan mendapatkan 50 —100 kg pernelayan dan menjadi hak miliki nelayan tersebut.Akantetapi, saat ini hasil tangkapan ikan sudah berkurangjauh yaitu 5 kg per nelayan. Penurunan hasiltangkapan tersebut diduga karena jumlah ikan yangdiambil tidak dibatasi dengan kurun waktu penutupanyang pendek (1 tahun), serta penurunan kualitaslingkungan perairan yang dipengaruhi aktifitasantropogenik yang negatif di luar kawasan (misal:polusi dan sedimentasi).

Penjagaan kawasan suaka adat, Danau Bakuokdilakukan oleh masyarakat dengan penjagaan secarakolektif. Salah satu bagian danau terdapat bangunanyang menjadi tempat pelaksanaan upacara ma’wuodan pada salah satu sisi danau terdapat jalan rayayang dapat dilalui kendaraan. Tidak terdapat papannama yang menyatakan bahwa lokasi tersebutsebagai kawasan konservasi adat serta belummemiliki dasar hukum sebagai dasar penetapannya.Belum ada dokumentasi yang menyebutkanbatasan-batasan yang jelas Danau Bakuok sertapembagian zona sebagai layaknya kawasankonservasi.

Penguatan Kearifan Lokal sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, D., et al)

Page 6: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.8 No.1 Mei 2016:

6

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

5. Upacara Semah Terubuk

Ikan terubuk, Tenualosa macrura (Bleeker, 1852)merupakan kelompok ikan laut yang siklus hidupnyabersifat anadromous (bertelur dan menetas di perairantawar dan dewasa di perairan laut). Ikan terubuk hidupdi perairan laut, namun ketika akan memijah ikan-ikan dewasa dengan telur yang sudah matang akanmasuk ke perairan muara dan terus ke sungai, untukkemudian melepaskan telurnya di sungai.Anakan ikanterubuk yang sudah cukup umur baru akan kembalike laut. Penangkapan ikan terubuk biasanyadilakukan di muara-muara sungai, dimana nelayanmenangkap ikan terubuk yang sedang bermigrasiuntuk bertelur di sungai, sehingga ikan yangtertangkap adalah ikan-ikan yang matang gonad.

Ikan terubuk di Indonesia terdistribusi di perairanKabupaten Bengkalis, Kebupaten Kepulauan Meranti,dan Kabupaten Siak. Masyarakat Riau sangatmengenal ikan terubuk bahkan menyatu dengankehidupan mereka. Gambaran bahwa ikan terubuksangat kental dengan kehidupan mereka tercermindari sebuah upacara yang disebut Semah Terubuk.Buku yang berisikan kumpulan syair di dalam upacaraitu ditulis oleh UlulAzmi pada tahun 2006. Azmi (2014)menyatakan bahwa syair tersebut hanya sebagaisuatu isyarat dari cerita kegagalan penaklukankerajaan maritim di Semenanjung Melayu terhadapkerajaan agraris di Sumatera. Simbol yang digunakanadalah ikan terubuk sebagai pangeran dari kerajaanlaut yang akan melamar putri Puyu-Puyu dari kerajaanair tawar.

Pada akhirnya, syair yang terkandung di dalamsyair tersebut dipercaya mempunyai kekuatan dapatmemanggil ikan terubuk dari Selat Malaka untukdatang ke perairan Bengkalis. Upacara semah terubukdiadakan oleh masyarakat Bengkalis terutama paranelayan ikan terubuk. Upacara ini mengandungsebuah peraturan bahwa satu bulan sebelum dan satubulan sesudah pelaksanaan upacara tidak bolehmenangkap ikan terubuk.

Saat ini, upacara semah terubuk sudah lama tidakdilaksanakan. Beberapa faktor penyebabnya adalah:(1) sulitnya memenuhi persyaratan dalammelaksanakan upacara ini, seperti menghadirkansejumlah keturunan Datuk Laksamana Raja Di Lautyang pada saat ini sudah tidak ada lagi, (2) besarnyabiaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakanupacara semah tersebut dan (3) kurangnyakepercayaan orang saat ini bahwa upacara semahakan meningkatkan kelimpahan ikan terubuk. Padahaldari semah terubuk ini tersimpan nilai-nilai pelestarian

atau konservasi terhadap ikan terubuk yang sudahdilakukan oleh orang-orang terdahulu.

Hasil wawancara dengan pemerintah daerahdiketahui bahwa saat ini pemerintah pusat dan daerahberusaha untuk merevitalisasi kearifan lokal semahterubuk. Semah terubuk akan direvitalisasi menjadisuatu acara tahunan yang akan dikaitkan denganpotensi pariwisata budaya, namun tetap mengadopsinilai-nilai upacara semah.

Kearifan Lokal di Dalam Peraturan Pemerintah

Istilah kearifan lokal ditemukan di dalamperaturan yang dikeluarkan oleh pemerintahIndonesia. Aspek hukum negara Indonesia jugamendefinisikan kearifan lokal. Menurut Undang-undang Nomor: 3 tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikankearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlakudalam tata kehidupan masyarakat untuk antaralainmelindungi dan mengelola lingkungan hidupsecara lestari. Oleh karena itu, dapat dikatakanbahwa negara mengakui kearifan lokal dapatmenjadi dasar di dalam upaya untuk melindungi danmengelola sumber daya alam (non-hayati dan hayati).

Beberapa peraturan lain terkait denganpengelolaan perikanan juga mencantumkan kearifanlokal yang jadi pertimbangan di dalam sistempengelolaan, antara lain adalah:

1. Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentangPerikanan yang telah diperbaharui dengan Undang-undang nomor 45 tahun 2009 pada Pasal 6 ayat(2), disebutkan bahwa pengelolaan perikanan untukkepentingan penangkapan dan pembudidayaanikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peranserta masyarakat. Selain itu, pada Pasal 52disebutkan bahwa pemerintah mengatur,mendorong, dan/atau menyelenggarakanpenelitian dan pengembangan perikanan untukmenghasilkan pengetahuan dan teknologi yangdibutuhkan dalam pengembangan usaha perikananagar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saingtinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargaikearifan tradisi/budaya lokal.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Pasal 9 ayat(1) butir 2, disebutkan bahwa penetapan kawasankonservasi perairan dilakukan berdasarkan kriteriasosial dan budaya, meliputi tingkat dukunganmasyarakat, potensi konflik kepentingan, potensiancaman, kearifan lokal serta adat istiadat.

1-12

Page 7: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

7

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

Undang-undang nomor 1 tahun2014 yangmerupakan perubahan dari Undang-undang nomor27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pulau-PulauKecil dan Wilayah Pesisir yang juga memberikanpeluang suatu kearifan lokal menjadi bagian darisistem pengelolaan perikanan. Masyarakat dapatberperan aktif dengan mengembangkan danmenjaga budaya dan kear ifan lokal dalampelestarian lingkungan hidup. Nilai-nilai kearifanlokal yang positif diakui dan dipertahankan olehmasyarakat, juga dapat berperan dalamperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.Adhuri (2002) menyatakan bahwa terdapatkesetaraan fungsi dari kearifan lokal berupa hukumadat dan peraturan pemerintah di tataran masyarakatlokal, contoh: hukum adat salah satu marga diKabupten Lahat, Sumatera Selatan.

Tercatat beberapa kearifan lokal yang diformalkandalam peraturan pemerintah daerah baik tingkatprovinsi, kabupaten, dan kota yang terkait denganpengelolaan sumber daya ikan perairan umumdaratan. Contoh bentuk kearifan lokal yang telahdiadopsi dan dilegalkan secara hukum negara, antaralain sebagai berikut:1. SK Bupati Pesisir Selatan Nomor 523 Tahun 2007

tentang Penetapan kawasan Konsevasi AdatPerairanAir Tawar (Lubuk Larangan) di Kab. PesisirSelatan.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Musi Banyuasinnomor18 tahun 2005 tentang Lelang LebakLebung Kabupaten Musi Banyuasin.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Iliryaitu Peraturan Daerah Kabupaten OganKomering Ilir Nomor 30 Tahun 2002 tentang LelangLebak Lebung Dalam Kabupaten Ogan KomeringIlir sebagaimana telah diubah dengan PeraturanDaerah Nomor 16 Tahun 2003 tentang PerubahanAtas Peraturan Daerah Kabupaten Ogan KomeringIlir Nomor 30 Tahun 2002 tentang Lelang LebakLebung dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir danPeraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2005 tentangPerubahan Kedua Atas Peraturan DaerahKabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 30 Tahun2002 tentang Lelang Lebak Lebung dalamKabupaten Ogan Komering Ilir.

Penguatan Kearifan Lokal Dari Sudut PandangSains

Kearifan lokal digunakan untuk menciptakanketeraturan dan keseimbangan antara kehidupansosial, budaya, dan kelestarian sumberdaya alam

yang diterapkan dalam bentuk hukum, pengetahuan,keahlian, nilai dan sistem sosial serta etika yangdisampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya(Pattiselanno & Mentansan 2010). Keberadaankearifan lokal semakin hari semakin tergerus(degradasi) dan dikhawatirkan akan hilang samasekali. Hal tersebut disebabkan oleh faktor internaldan faktor eksternal. Faktor eksternal terdiri atasmodernisasi, globalisasi, dan anggapan tidak adadasar pertimbangan ilmiah. Faktor internal yaitukearifan lokal mempunyai sifat tidak tertulis, abstrak,dan diwariskan. Menurut Nababan (2003),masyarakat adat umumnya memiliki sistempengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskandan ditumbuhkembangkan terus menerus secara turuntemurun.

Keberadaan kearifan lokal dapat memberikanpeluang baik bagi tatanan kehidupan modern karenamenurut Supriatna (2013) kearifan lokal mempunyaiempat fungsi sebagai berikut: (1) Konservasi danpelestarian sumber daya alam; (2) Pengembangansumber daya manusia; (3) Pengembangankebudayaan dan ilmu pengetahuan; dan (4) Sebagaipetuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.

Suhartini (2009) menyatakan bahwa prospekkearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi olehpengetahuan masyarakat, inovasi teknologi,permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestariankeanekaragaman hayati di lingkungannya sertaberbagai kebijakan pemerintah yang berkaitanlangsung dengan pengelolaan sumberdaya alam danlingkungan serta peran masyarakat lokal. Proseskeberadaan suatu kearifan lokal yang terkait denganpengelolaan perikanan dideskripsikan di dalamGambar 1.

Gambar 1. Diagram alir proses keberadaan kearifanlokal.

Figure 1. The diagram flow of local wisdom exiting.

Penguatan Kearifan Lokal sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, Dian., et al)

Page 8: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.8 No.1 Mei 2016:

8

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

Suatu kearifan lokal mengandung pengetahuanlokal berdasarkan pengalaman (experimental learning)tanpa melalui kaidah-kaidah ilmiah seperti dianut ilmupengetahuan modern (ilmu/sains). Disamping itu,kearifan lokal biasa diboboti dengan hal-hal yangirasional (misal: mitos dan kepercayaan terhadap hal-hal gaib). Yunita & Junaidi (2012) menyatakan bahwakearifan lokal atau pengetahuan lokal tidak hanyaterbatas pada hal-hal yang bersifat teknis, namun jugamenginterpretasikan dari sistem kepercayaan dannorma sosial yang diekspresikan dalam bentukbudaya, tradisi, dan mitos. Sebagaimana dinyatakanoleh Lubis (2005) dalam Parwati (2012), kearifan lokalsebagai bentuk budaya masyarakat diajarkan kepadagenerasi selanjutnya secara turun temurun melaluilembaga non formal (tidak diajarkan secara formal).Dengan demikian nilai-nilai dalam kearifan lokalsebagai warisan budaya dikhawatirkan semakinmenurun bahkan akan hilang. Selain itu, kemajuanpembangunan juga dapat menghilangkan nilai-nilaikearifan lokal.

Saat ini, telah berkembang satu bidang ilmu yangmencoba untuk menjembatani antara pengetahuanlokal yang berhubungan dengan sumber daya alamhayati dengan sains yaitu etnobiologi (ethnobiology).Etnobiologi adalah ilmu yang bertujuanmendokumentasikan, mempelajari, dan memberikannilai sistem pengetahuan di dalam pemanfaatansumber daya alam hayati (tumbuhan dan hewan) olehmasyarakat lokal berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah(Njoroge, 2010; Oktaviani, 2013). Kajian ilmiah suatukearifan lokal terkait dengan sumber daya alam hayati

dengan pendekatan etnobiologi terdiri dari duaanalisis yaitu emik (emic) dan etik (etic). Purwanto &Munawaroh (2002) mendefinisikan emik adalahanalisis yang menggali atau mengacu pada kerangkasistem pengetahuan lokal (pengetahuan yang dimilikimasyarakat), sedangkan etik adalah analisis yangmengacu pada kerangka teoritis atau kajianilmiah.

Pengetahuan masyarakat lokal terhadapekosistem di sekitar tempat tinggal mereka yangdidapatkan secara turun temurun diistilahkan sebagaipengetahuan ekologi tradisional (traditional ecologicalknowledge, TEK atau local ecological knowledge,LEK). Pendeskripsian terhadap TEK/LEK sesuaidengan yang dipahami masyarakat lokaldiklasifikasikan sebagai analisis emik. Sebaliknya,pendeskripsian terhadap TEK/LEK melalui uji cobadan studi literatur yang berbasis pada metodepenelitian ilmiah diklasifikasikan sebagai analisis etik.Hasil yang didapat merupakan perpaduan antara keduaanalisis tersebut pada akhirnya dapat memperkuatkedudukan kearifan lokal dari sudut pandang sains.Keunggulan dan kelemahan dari suatu kearifan lokaldapat diuji melalui metode ilmiah, sehingga dapatdiketahui apakah kearifan lokal tersebut layak ataumasih memerlukan penguatan agar dapat digunakansebagai perangkat sisem pengelolaan perikanan.Proses tersebut secara sederhana diuraikan padaGambar 2. Pengayaan kearifan lokal mengenaiekosistem disertai pengembangan institusi sosialdapat membantu mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (Winarto & Choesin, 2001).

Gambar 2. Proses penguatan/pengayaan kearifan lokal sebagai salah satu instrumen pengelolaan sumberdaya ikan.

Figure 2. Strengthening of local wisdom as one of the fish resources management tools.

1-12

Page 9: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

9

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

Kemampuan pemerintah untuk mengelola sumberdaya ikan di perairan umum daratan sangat terbatas,sehingga diperlukan suatu upaya pengelolaan yangmelibatkan masyarakat lokal sebagai bentukpengelolaan yang berbasis masyarakat. Masyarakatlokal memiliki sistem sendiri di dalam mengelolasumber daya alam yang berada di sekitar tempattinggal mereka. Penggalian terhadap nilai kearifanlokal yang ada atau pernah ada di dalam kehidupanmasyarakat lokal yang terkait dengan pengelolaandan konservasi sumber daya ikan mutlak diperlukanuntuk efektivitas dan efisiensi pengelolaan berbasismasyarakat (Hendrik, 2007; Kartamihardja et al.,2014). White et al. (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keterlibatanmasyarakat yang sukses dalam pengelolaan denganpendekatan berbasis masyarakat, sebagai berikut:

a. Pengetahuan ekologi yang umum dipahamimasyarakat (popular ecological knowledge)

b. Sistem manajemen tradisional (traditionalmanagement systems) yang dapat menjadi dasardalam sistem manajemen baru

c. Kepemilikan sumber daya (ownership of resources)d. Integrasi inisiif manajemen ( integration of

management initiatives)e. Tanggung jawab terhadap kebutuhan masyarakat

(response to community needs)f. Penerimaan oleh msyarakat (acceptance of

solution by the community)g. Efisiensi dan keefektifan manajemen (efficiency

and efficacy of management)h. Pemberdayaan masyarakat (community

empowerment)i. Keragaman pemecahan masalah (diversity of

solution)j. Keragaman budaya (cultural diversity).

Proses penggalian tersebut memerlukan kaidah-kaidah ilmiah, sehingga hasil kajian yang diperolehdapat dipertanggungjawabkan dan diterima dari sudutpandang sains modern. Yunita & Junaidi (2012)menguraikan bahwa kajian ilmiah terhadap suatukearifan lokal dapat berkontribusi positif di dalammemecahkan permasalahan di dalam teknologipemanfaatan lahan di ekosistem dataran rendah(contoh: rawa dan gambut). Amri et al. (2013)mendeskripsikan mekanisme operasional lubuklarangan sebagai upaya pelestarian sumber daya ikan.Sistem manajemen tradisional (traditionalmanagement systems) dapat menjadi dasar dalamsistem manajemen baru (White et al., 1994).

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat(Community Based Fisheries Management/CBFM)didefinisikan sebagai suatu proses pemberian

wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepadamasyarakat untuk mengelola sumberdayanya sendiridengan terlebih dahulu menentukan kebutuhan dankeinginan, tujuan serta aspirasinya sehingga merekadapat mengambil keputusan untuk menentukankesejahteraannya (Nikijuluw, 2002 dalamKartamihardja et al., 2014). King (1995) menyatakanbahwa ada hubungan erat antara sumber daya ikan(stok) dan pemanfaatan sumber daya ikan di dalamkonsep pengelolaan perikanan. Pernyataan Banon &Nugroho (2011) memperjelas bahwa suatupengelolaan perikanan selalu berhadapan denganpermasalahan dasar yaitu dimensi manusia (humandimension). Dalam hal ini, masyarakat lokal sebagaipemanfaat yang berhubungan secara langsungdengan sumber daya ikan. Pengelolaan berbasismasyarakat yang bekerja sama dengan pemerintahlokal umumnya lebih efektif dalam mencapai hasilyang diharapkan, sehingga partisipasi masyarakatmenjadi faktor penting di dalam pengelolaan kawasankonservasi dan keberlanjutan sumber daya ikan(Kartamihardja et al., 2014).

Kearifan lokal yang berkembang di masyarakatdapat dijadikan titik awal dari suatu sistempengelolaan (Oktaviani et al., 2011) dan penetapankawasan konservasi perairan. Attwood et al. (1997)danAlmany et al. (2010) menjelaskan bahwa kawasankonservasi perairan dapat berdampak padapeningkatan upaya konservasi biodiversitas danpengelolaan perikanan. Selain itu, kawasankonservasi perairan dapat memberikan dampak tidaklangsung berupa spillover ikan (McClanahan, 2007),sehingga dapat dimanfaatkan karena berada di luarkawasan konservasi (khususnya zona larangtangkap). Banyak contoh yang menjelaskan perankearifan lokal yang berdampak positif di dalampengelolaan sumber daya ikan dalam bentuk mitos(Hendrik, 2007; Oktaviani et al., 2011) dan peraturan/hukum adat (Kurniasari et al., 2013; Kartamihardja etal., 2014; Yuliaty & Priyatna, 2014).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan

Terdapat empat tipe kearifan lokal yangmendeskripsikan sistem pengelolaan sumber dayaikan yaitu: lelang lebak lebung, lubuk larangan, rantaularangan, dan ma’uwo. Sementara upacara semahterubuk sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya ikanmasih harus dikaji secara ilmiah. Apabila hasil kajiantersebut menunjukkan dampak yang positif makadapat direkomendasikan sebagai sistem pengelolaanyang bisa dipertahankan. Namun, apabila ternyataditemukan hal-hal yang berdampak negatif terhadapsumber daya ikan maka diperlukan suatu perbaikan

Penguatan Kearifan Lokal Sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, Dian., et al)

Page 10: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.8 No.1 Mei 2016:

10

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

di dalam sistem kearifan lokal tersebut atau tidakdirekomendasikan sebagai sistem pengelolaansumber daya ikan. Kajian ilmiah tersebut merupakansuatu bentuk penguatan kearifan lokal agar dapatditerima dari sudut pandang sains.

Sistem pengelolaan di dalam lubuk larangan,rantau larangan, ma’uwo, dan lelang lebak lebungmenyerupai pola pengelolaan pada sistem buka tutup(open close system) yang merupakan salah satusistem pengelolaan perikanan modern. Bila ditelaahlebih jauh keempat sistem pengelolaan tersebutmemiliki faktor-faktor yang lebih efektif dan efisienuntuk diterapkan daripada sistem yang datang dariluar (bersifat dari atas atau top down). Hanya sajamasih memerlukan kajian yang lebih mendalam,karena informasi yang didapatkan sebagian besardikelompokkan ke dalam analisis emik (berbasispengetahuan lokal) dari konteks etnobiologi dan lebihbanyak menggunakan pendekatan antropologi (sudutpandang manusia). Kearifan lokal pengelolaansumber daya ikan seharusnya juga memberikandampak yang nyata terhadap keberlanjutan populasidari spesies-spesies yang dimanfaatkan dan dikelola.Oleh karena itu, data dan informasi yang dapatdianalisis secara etik (berbasis ilmiah) di dalamkonteks etnobiologi sangat diperlukan, agarmendapatkan gambaran yang utuh dari kearifan lokaltersebut.

Rekomendasi

1. Penguatan dan pengayaan kearifan lokal melaluikajian ilmiah mutlak diperlukan, sehingga dapatberperan lebih baik dan diterima dalam konteksilmu pengetahuan modern.

2. Kajian ilmiah terhadap suatu kearifan lokal terkaitdengan pengelolaan sumber daya ikan dapatdidekati dengan etnobiologi melalui analisis emikdan analisis etik.

3. Kearifan lokal dapat diperkuat denganmenjadikannya sebagai peraturan yang diakui olehhukum nasional.

4. Deskripsi dari lima macam bentuk kearifan lokalyang ada di Sumatera menunjukkan bahwa lubuklarangan sebagai bagian dari sistem pengelolaanperikanan di perairan umum daratan berbasismasyarakat yang efektif dan efisien yangberkembang di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat.

5. Suatu kearifan lokal yang dijadikan sebagai bagiandari sistem pengelolaan perikanan sepatutnyadiikuti dengan kepatuhan masyarakat terhadaphukum adat setempat.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatanhasil riset Kajian Kebijakan Peningkatan Produksi danKonservasi Sumber Daya Ikan di Paparan Sunda, T.A.2013. Penulis mengucapkan terima kasih kepadasemua anggota tim peneliti dan semua pihak yangterkait di dalam menggali informasi kearifan lokaluntuk pengelolaan sumber daya ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adhuri, D & Supriani. (2002). Between village andMarga, A choice of structure: The local elites’behaviors in Lahat Regency, South Sumatera.Antropologi Indonesia, Special Volume, 44-55.

Almany, G.R., Hamilton, R.J., Williamson, D.H.,Evans, R.D., Jones, G.P., Matawai, M., Potuku,T., Rhodes, K.L., Russ, G.R & Sawynok, B. (2010).Research partnership with local community: twocase studies from Papua New Guinea andAustralia. Coral Reefs, 29, 567-576.

Amri, F., Saam, Z & Thamrin. (2013). Kearifan lokallubuk larangan sebagai upaya pelestariansumberdaya perairan di Desa Pangkalan IndarungKabupaten Kuantan Singingi. Pusat PenelitianLingkungan Hidup Universitas Riau, Pekanbaru:35-45. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=105818&val=5120&title=, 5September 2015, pk. 11.47 WIB.

Anonimous. (2015). Pemprov Sumbar: Pertahanekologi dengan lubuk larangan. http://metropadang.com/pariwara/pariwara­pemprov­sumbar­27­juli­2015­metropadang/, 04 September2015, pk. 10.01 WIB.

Attwood, C.G., Harris, J.M & Williams, A.J. (1997).International experience of marine protected areasand their relevance to South Africa. South AfricanJournal of Marine Science, 18, 311-332.

Azmi, U. (2014). Legenda ikan terubuk: Muatan politikdan magis dalam syair ikan terubuk. http://wisatabengkalisriauindonesia.wordpress.com/cerita-rakyat-2/lagenda-ikan-terubuk/, 8 Agustus2015, pk. 11.00 WIB.

1-12

Page 11: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

11

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

Banon, S.A & Nugroho, N. (2011). Upaya-upayapengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutandi Indonesia. J.Kebijak.Perik.Ind. 3(2), 101-113.

DKP Prov. Jambi (= Dinas Kelautan dan PerikananProvinsi Jambi). (2014). Pengelolaan LubukLarangan dan Suaka Berbasis Kearifan Lokal danDampaknya Terhadap Kelestarian Sumber DayaIkan Lokal dan Ikan Hias di Provinsi Jambi. BahanPresentasi dalam Focus Gorup Discussion BudayaKearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber DayaIkan di Indonesia taggal 22 April 2014. Jakarta.

Ditya, Y. C., Rais, A. H., Nurdawati, S & Wiadnyana,N. N. (2014). Peranan lebung sebagai sumberekonomi bagi nelayan dan sarana pengelolaansumber daya ikan rawa banjiran di SumateraSelatan. J.Sosek. KP. 8(1), 39–47.

Firdaus, M & Shafitri, N. (2013). Pola hubungan kerjanelayan perairan umum daratan di KabupatenOgan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.J.Sosek. KP. 3(2), 143–151.

Hendrik. (2007). Ikan larangan sebagai bentuk kearifanlokal dalam pemanfaatan sumber daya perairanumum: Studi kasus pada beberapa Nagari diSumatera Barat. Berkala Perikanan Terubuk,35(1), 27–36.

Indrawan, M., Primack, R. B & Supriatna, J. (2007).Biologi konervasi. Edisi Revisi (p xviii, 626).Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kartamihardja, E. S., Umar, C & Aisyah. (2014).Pembelajaran dari pengelolaan dan KonservasiSumber Daya Ikan Arwana Merah (Scleropagesformosus, Muller and Schlegel, 1844) BebasisMasyarakat di Danau Empangau, KalimantanBarat. J.Kebijak.Perikan.Ind. 6 (2), 55 – 64.

King, M. (1995). Fisheries biology: assessment andmanagement (p. ix + 341 hlm). Fishing NewsBooks. Blackwell Science Ltd, Oxford.

Kurniasari, N., Yulisti, M & Yuliaty, C. (2013). Lubuklarangan: Bentuk perilaku ekologis masyarakatlokal dalam pengelolaan sumber daya perikananperiaran umum daratan (tipologi sungai). J.Sosek.KP. 8(2), 241 – 249.

McClanahan, T.R. (2007). Management of area andgear in Kenyan Coral Reefs. Dalam: McClanahan,T. R. & J. C. Castilla (eds.). 2007. Fisheriesmanagemet: progress towards sustainability (p.166—185). Blackwell Publishing Ltd. Oxford.

Muthmainnah, D., Dahlan, Z & Susanto, R. H. (2012).Pola pengelolaan rawa lebak berbasis keterpaduanekologi-ekonomi-sosial-budaya untukpemanfaatan berkelanjutan. J.Kebijak.Perikan.Ind. 4(2), 59 – 67.

Nasution, Z. T. Sumarti, Adiwibowo, S &Tjondronegoro, S. M. P. (2012). Efektivitas danalternative kelembagaan pengelolaan sumber dayaperikanan perairan umum “lelang lebak lebung”(studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir,Sumatera Selatan). J. Kebijak.Perikan.Ind. 4(1),49 – 57.

Nababan. (2003). Pengelolaan sumberdaya alamberbasis masyarakat adat, tantangan dan peluang.http://www.ulayat.or.id/artikel/pengelolaan-sumberdaya-alam-berbasis-masyarakat-adat/, 15September 2015, pk. 12.03 WIB.

Njoroge, G.N. (2010). Ethnobiology and development:relevance of traditional knowledge in the growth ofnatural product industry and sustainableenvironmental management. The JournalAgriculture, Science, and Technology. 12(2),3-19.

Nurfirmanephie. (2011). Lelang lebak, lebung, sungaidan tanah nyurung. http://nurfirmanephie.wordpress.com/2011/03/31/lelang-lebak-lebung/. 18 Maret 2014, pk 11.20 WIB.

Oktaviani, D., Dharmadi & Puspasari, R. (2011).Upaya konservasi keanekaragaman hayati ikanperairan umum daratan di Jawa.J.Kebijak.Perikan.Ind. 3(1), 27-36.

Oktaviani, D. (2013). Etnozoologi, biologi reprpduksi,dan pelestar ian ikan lema Rastre l l igerkanagurta (Cuvier, 1816) di Teluk Mayalibit,Kabupaten Raja Ampat , Papua Bara t .Disertasi. Program Studi Biologi. ProgramPascasarjana FMIPA. Universitas Indonesia,Depok: xxi + 128 hlm.

Parwati, A., Purnaweni, H & Anggoro, D. D. (2012).Nilai Pelestraian lingkungan dalam kearifan lokallubuk larangan Ngalau Agung di Kampung SurauKabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat.Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan SumberDaya Alam dan Lingkungan 11 September 2012(p. 98 – 103), Semarang.

Pattiselanno, F & Mentansan, G. (2010). Kearifantradisional Suku Maybrat dalam perburuan satwa

Penguatan Kearifan Lokal Sebagai ......... Perairan Umum Daratan di Sumatera (Oktaviani, Dian., et al)

Page 12: Nomor Akreditasi: 626 / AU2 / P2MI-LIPI / 03/2015 ...

J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.8 No.1 Mei 2016:

12

Copyright © 2016, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI)

sebagai penunjang pelestarian satwa. MakaraSosial Humaniora. 14(2), 75-82.

Pramoda, R. (2011). Implementasi Peraturan DaerahOgan Komering Ilir (OKI) Nomor 9 tahun 2008terhadap pengelolaan periaran umum daratan.Jurnal Borneo Administrator. 7(3), 308–324.

Prianto, E., Kartamihardja, E. S., Puspasari, R.,Kasim, K., Sulaiman, P. S., Zulfia, N & Karyabudhi,E. (2013). Kajian Kebijakan Peningkatan Produksidan Konservasi Sumber Daya Ikan di PaparanSunda. Laporan Teknis (p.109). Pusat PenelitianPengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan,Jakarta.

Purwanto, Y. & Munawaroh, E. (2002). Pendekatankuantitatif dalam studi etnomedicinal. ProsidingSimposium Nasional II Tombuhan Obat danAromatik, Bogor: 130—144.Stanis, S.,Supriharyono & A.N. Bambang. 2007.Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut melaluipemberdayaan kearifan lokal di KabupatenLembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. JurnalPesisir Laut. 2(2), 67-82.

Suhana. (2008). Pengakuan Keberadaan KearifanLokal Lubuk Larangan Indarung, KabupatenKuantan Singingi Provinsi Riau Dalam Pengelolaandan Perlindungan Lingkungan Hidup (p.7). PusatKajian Pembangunan Kelautan dan PeradabanMaritim (PK2PM).

Suhartini. (2009). Kajian kearifan lokal masyarakatdi dalam pengelolaan sumber daya alam danlingkungan. Prosiding Seminar NasionalPenelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA (pp.B206—B218). Universitas Negeri Yogyakarta,Yogyakarta.

Supriatna, J. (2013). Peran kearifan lokal dan ilmu-ilmu kepribumian dalam pelestarian alam. http:spe.dbp.gov.my/spmp/bahan/2013/seminarmabbim/bahan terbit/peran.pdf., 25 Maret 2014,pk 10.45 WIB.

Syafriyulis. (2011). Pengelolaan perikanan lebaklebung di Kab. OKI berbasis ekonomi kerakyatan.Prosiding Forum Periaran Umum Indonesia VIII.Balai Penelitian Perikanan Periaran Umum (pp.41 – 54), Palembang.

Veraliza, Z., Saam & Thamrin. (2014). ManajemenKearifan Lokal Lubuk Larangan Desa PangkalanIndarung Kabupaten Kuantan Singingi ProvinsiRiau. Jurnal Ilmu Lingkungan. 8(2), 180 – 196.

White, A. T., Hale, L. Z., Renard, Y & Cortesi, L.(1994). The need for community-based coral reefmanagement. In White,A. T., L. Z. Hale, Y. Renard& L. Cortesi (eds.). Collaborative Community-Based Management Coral Reefs: Lessons FromExperience (p. 1– 18). KumarianPress, Conecticut.

Winarto, Y.T & Choesin, E.M. (2001). Pengayaanpengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial:Pengelolaan Sumber dayaAlam dalam Kemitraan.Jurnal Antropologi Indonesia. 25(64), 91-106.

Yuliaty, C & Priyatna, F. N. (2014). Lubuk larangan:Dinamika pengetahuan lokal masyarakat dalampengelolaan sumber daya perikanan perairansungai di Kabupaten Lima puluh Kota.J.Sosek.KP. 9(1), 115–125.

Yunita & Junaidi, Y. (2012). Developing local wisdomas the basic of intergrated extension model inpaddy cultivation at lowland ecosystem in SouthSumatra. 2nd International Conference onBiotechnology and Environment Management (pp.15 – 19). IPCCBEE 2.

1-12