NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT ADAT AMARASI DI JEMAAT GMIT PNIEL TEFNENO KORO’OTO (Sebuah Analisis Sosio Teologis) Oleh, Anarki Christian Rihi 712015703 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi : Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2019
38
Embed
NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA “SUBAT” DALAM MASYARAKAT
ADAT AMARASI DI JEMAAT GMIT PNIEL TEFNENO KORO’OTO
(Sebuah Analisis Sosio Teologis)
Oleh,
Anarki Christian Rihi
712015703
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi : Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2019
LEMBAR PENGESAHAI{
Nilai Sosial Budaya Upacara "Subat" Dalam Masyarakat Adat Amtrasi di Jemaat GMITPniel Tefneno Koro'oto ( sebuah analisis sosio teologis)
Oleh
Anarki Christian Rihi
7l20ts7A3
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sain bidangTeologi
ttt a ht.s istttrtlort haks0lLt nte nvcru Jt kct n) 0Ilg rto n-e lis I t r si f key, o t I abagi pihok Pengoj ar.saJa. pcne liti.nt asi Jtrit e re kt Itakntentiliki 0t0s tersebtrt.I h i lci'-tl /rr,r' -s,lrrl karyrthasil lia4 o coP):riohtnenguntpttlkanRepcts'i tori PerptLstakaan
tlun d.iketahui
PERI{YATAAN PERSETUJUAN PUBLIIGSITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah:Nama : Anarki Christian RihiN I M :712015703Program Studi : Ilmu TeologiFakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Janis Karya : Tugas Akhir
derni pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk tnetnberikan kepada
UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non erchsive royal4t.fi'ee rigltt) atas kat'ya
ilmiah saya berjudul:
Nilai Sosial Buadaya Upacara o'Subat" Dalam Masyarakat Adat Amarasi diJemaat GMIT Pniel Tefireno Koro'oto (Sebuah Analisis Sosio Teologis)
beserta perangkat 1,ang ada (jika perlu).Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak tneuyimpan,mengalihmedia/rnengalihfbnnatkan, niengeloia clalarn bentuk pangkalan data,
merar\,at, dan mempublikasikan tugas akhir saya. selama tetap ilencalttumkau iiaura
saya sebagai penulis/pencipta.Der-r-iikian pemyataan ini saya buat clengart sebeuarnl,a.
Dibuat di : SalatigaPacla tarrggal : 5 SeProqs;a- TotYYang menyatakan.
Christian Rihi
Mengetahui,
Pembimbing II
Dr. Rama Tulus Pilakoannu Pc1t. Cindy Quartyarnina l(oan. MA
D
v
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih
karunia dan kesempatan yang diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan
juga penulisan tugas akhir ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Adapun
penulisan tugas akhir ini sebagai persyaratan mencapai gelar Sarjana Sain dalam
bidang Teologi (S.Si.Teol).
Penulis menyadari bahwa sepanjang perjalan perkuliahan serta penulisan
tugas akhir ini bukanlah hal yang mudah. Meski demikian dengan hadirnya begitu
banyak pihak yang dipakai Tuhan Yesus secara luar biasa menjadi pendorong dan
sumber motivasi bagi penulis untuk terus berproses sampai pada titik akir ini.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati dan ketuluasan penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Bapa Piter A. Rihi dan Mama Maria M Lino yang
dengan sabar dan penuh kasih mendoakan dan memberikan motivasi bagi
penulis.
2. Istri tercinta Martha Rihi dan kedua buah hati kami, Eriel Rihi dan Samuel
Rihi yang menjadi sumber semangat dalam segala kondisi penulis.
3. Saudari terkasih Tika, Keren, Mbak kiky yang terus mendoakan penulis.
4. Mertua terkasih Mama Veronika yang terus mendoakan penulis.
5. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu dan Pdt. Cindy Quartyamina Koan. MA yang
telah membimbing, mendampingi, serta mengarahkan penulis.
6. K’Iren Ludji, Ibu Retnowati dan K’Izak Lattu, serta seluruh dosen Fakultas
Teologi UKSW yang telah menjadi guru, panutan dan orang tua bagi penulis
selama menjalani masa masa perkuliahan.
7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa yang angkatan 2009 dan 2015 yang telah
bersedia bekerja sama serta menjadi rekan seperjuangan penulis.
8. Seluruh masyarakat desa Nekmese, khususnya warga jemaat Pniel Tefneno
Koro’oto yang membuka diri menjadi tempat penulis melakukan penelitian.
9. Bapa Roni Bani dan keluarga besar yang banyak memberikan ide dan gagasan
mengenai penulisan ini.
vi
10. Keluarga besar Rihi, Lino, Winata, dan semua yang terkait didalamnya.
SUMBER LAIN .............................................................................................................. 29
1
Nilai Sosial Budaya Upacara “Subat” Dalam Masyarakat Adat Amarasi Di
Jemaat GMIT Pniel Tefneno Koro’oto
(Sebuah Analisis Sosio Teologis)
Anarki Christian Rihi
712015703
Pembimbing:
Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu
Pdt. Cindy Quartyamina Koan, MA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehidupan dan kematian merupakan siklus hidup manusia yang tidak pernah
luput dan terlepas dari tubuh jasmani manusia. Sebagai makhluk hidup manusia
memilki masa dimana ia harus menanggalkan tubuh jasmaninya dan kembali
kepada Sang Pencipta, dalam hal ini sering disebut sebagai kematian/ meninggal.
Proses yang dilakukan sebagai perwujudan dari penghargaan kepada mereka yang
sudah meninggal adalah upacara pemakaman.
Upacara pemakaman, dalam berbagai golongan agama dan masyarakat adat
dipandang sebagai sebuah tahap penting dalam kehidupan makhluk hidup itu
sendiri. Di seluruh Indonesia sejak zaman purbakala sampai pada masa sekarang
ini upacara sekitar kematian dan adat mengantar jenazah sangat diutamakan.
Meskipun patut diakui bahwa pemaknaan akan upacara-upacara ini semakin
bergeser ke arah yang lebih moderen seiring dengan perkembangan waktu serta
benturan-benturan kebudayaan yang terjadi saat ini. Bakker, juga mengatakan
bahwa upacara kematian, menjadi salah satu proses penting dalam mensyucikan
jenjang peralihan hidup, dimana manusia disatukan dengan alam atas menjadi
mendiang, kemudian menjadi satu dengan Sang Pencipta.1
Masyarakat adat Amarasi juga memiliki kepercayaan bahwa orang yang telah
meninggal dunia rohnya tidaklah mati (in asmanan, smanaf), ia tetap hidup
melainkan hidup di luar tubuhnya yang sudah mati.2 Bagi masyarakat Amarasi
1 J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Yogyakarta: Pradnyawidya,1976), 152. 2 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017
2
pada umumnya seorang yang telah meninggal atau mati, sesunguhnya masih ada di
sekitar lingkungan mereka dalam wujud roh. Ia masih menanti saat yang tepat
dimana ia dipanggil pulang oleh Sang Penciptanya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan yang terjadi baik dalam
masyarakat maupun ilmu pengetahuan serta teknologi. Membawa pengaruh yang
cukup kuat dalam keberlangsungan kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah
upacara pemakaman atau upacara subat. Pengaruh ini baik secara sengaja ataupun
tidak menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan tindakan budaya terhadap
upacara subat secara parsial. Hal ini menyebabkan terjadinya ambivalensi pada
generasi yang mengikuti perkembangan upacara subat itu sendiri. Ambivalensi ini
terjadi pada pemaknaan secara sosiologis, antropologis, serta teologis, khususnya
pada penganut penganut agama Abrahamik.
Pergeseran dalam tindakan budaya ini pada akhirnya menyebabkan adanya
perubahan sikap pada orang-orang yang berada di sekitar peristiwa kematian itu
sendiri. Jika dipandang dari perpektif sikap maka dapat digolongkan menjadi tiga
golongan orang yang terlibat dalam tindakan budaya ini. Golongan pertama dapat
dilihat sebagai golongan yang berusaha mempertahankan subat dalam keasliannya.
Golongan yang kedua adalah mereka yang mengkolaborasikan budaya subat
dengan modernisasi, dan golongan yang ketiga adalah golongan yang sudah
menutup diri terhadap kebudayaan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang kuno
struktural dipakai karena bagi penulis jenis wawancara ini sangat fleksibel untuk
14 Uwe Flick, Ernst von Kardorff, and Ines Steinke, "What Is Qualitative Research? An Introduction to the Field," in A Companion to Qualitative Research (London: SAGE Publications Ltd, 2004), 3. 15 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), 231.
6
membicarakan, mengembangkan sebuah tema tertentu karena dapat dikembangkan
sesuai dengan statement atau perkataan-perkataan orang yang diwawancarai.
Untuk memperlengkapi hasil dari wawancara yang dilakukan maka penulis
juga mengunakan teknik dokumentasi. Menurut Sugiyono dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental dari seorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari
penggunaan wawancara dalam penelitian kualitatif.16
Teknik pengambilan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
snowball. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dari sumber data,
yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-kelamaan menjadi besar. Hal ini
dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu
memberikan hasil yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat
digunakan sebagai sumber data.17
Lokasi dalam penelitian ini adalah Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto di Desa
Nekmese Kecamatan Amarasi Selatan Kabupaten Kupang. Jemaat ini dipilih
karena praktek ritual subat yang berlangsung di desa ini masih sering dilaksanakan
setiap kali terjadinya peristiwa kematian yang dialami oleh anggota jemaat atupun
keluarga yang terkait.
LANDASAN TEORI
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan dengan kata dasar budaya yang
berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”.18 Koentjaraningrat menerangkan lebih lanjut budaya
sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Cipta dalam hal ini
dipahami sebagai kerinduan manusia untuk mengetahui segala hal yang ada dalam
pengalamannya. Karsa merupakan kerinduan manusia untuk menyadari dari mana
asalnya dan kemana tujuan hidupnya, sedangkan rasa merupakan kerinduan
manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati
keindahan. Dengan demikian menurut Koentjaraningrat kebudayaan atau budaya
16 Sugiyono, Metode Penelitian, 240. 17 Sugiyono, Metode Penelitian, 219. 18 Keontjaranigrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000). 181.
7
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Koentjaraningrat membedakan kebudayaan dalam tiga wujud: (1) Wujud
kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan
dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat. (3) Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan tiga wujud kebudayaan ini
dapat dipahami bahwa kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang jadikan
sebagai sebuah gagasan atau pandangan dalam sebuah masyarakat.
Definisi menurut Koentjaraningrat ini menghantar kita pada pemahaman
bahwa kebudayaan merupakan salah satu hasil ciptaan manusia yang diyakini dan
dilaksanakan oleh manusia dalam sebuah masyarakat. Definisi dari
Koentjaraningrat ini belum cukup kuat untuk menjelaskan mengenai kebudayaan
yang dilaksanakan dalam masyarakat. Koentjaraningrat dalam penjelasannya
memfokuskan kebudayaan sebagai produk manusia yang dilaksanakan dan dihayati
oleh manusia itu sendiri.
Untuk mengkaji definisi kebudayaan lebih luas dalam kerangka masyarakat
maka penulis merasa perlu melihat pandangan dari Liliweri mengenai kebudayaan.
Menurut Liliweri kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang
dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima
tanpa sadar serta diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke
generasi berikutnya.19 Mengutip pendapat Taylor, Liliweri menjelaskan lebih jauh
bahwa definisi kebudayaan tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum
yang disebut sebagai adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum estetika, rekreasional, dan kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai bagian
dari masyarakat.20 Dapat disederhanakan bahwa, kebudayaan mencakup semua
yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat itu
sendiri. Liliweri dalam bukunya yang berbeda juga mengutip pandangan Herbig
dalam mendefinisikan kebudayaan. Kebudayaan menurutnya sebagai keseluruhan
19 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2002), 8. 20 Liliweri, Makna Budaya, 62.
8
dalam pandangan hidup, termasuk perilaku yang diharapkan, keyakinan, nilai-nilai,
bahasa dan praktek hidup bersama oleh anggota masyarakat.21
Kedua padangan di atas dengan cukup jelas menjelaskan mengenai definisi
kebudayan dalam dua ranah yang berbeda. Koentjaraningrat dengan jelas
menghantar kita pada definisi kebudayaan sebagai sebuah produk manusia yang
dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan Liliweri menghantar kita pada pemahaman
bahwa kebudayaan lahir karena kesepakatan-kesepakatan bersama dalam
masyarakat berdasarkan pandangan hidup anggota masyarakat.
Dari kedua pemahaman di atas kita diantar pada sebuah pemahaman bahwa
kebudayaan lahir dari cipta karsa dan rasa manusia yang dipelajari bersama dalam
masyarakat serta merupakan kesepakatan bersama oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini nilai sosial menjadi salah satu landasan lahirnya sebuah kebudayaan
dalam masyarakat. Nilai sosial juga menjadi tolak ukur untuk menilai sebuah
kebudayaan itu layak untuk dipertahankan ataukah ditinggalkan.
Nilai merupakan esensi yang melekat pada segala sesuatu yang dirasa
memiliki arti dan makna bagi kehidupan manusia. Khususnya dalam mengukur dan
menilai baik atau buruknya perilaku masyarakat. Nilai bersifat abstrak dan ideal.
Sebagai yang abstrak dan ideal nilai memiliki peranan yang penting serta berguna
dalam kehidupan kemanusiaan.
Rokeach mendefinisikan nilai sebagai salah satu unsur pembentukan orientasi
budaya. Nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai baik
atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek, bersih atau kotor,
berharga atau tidak berharga, cocok atau tidak, dan baik atau kejam.22 Nilai
dipandang sebagai salah satu tolak ukur untuk menjelaskan alasan sebuah
kebudayaan dilaksanakan.
Definisi di atas merujuk pada pedoman umum perilaku manusia, sehingga
nilai memiliki peranan yang penting dalam hal membimbing perilaku manusia
menuju ke arah yang lebih baik dalam berbagai cara, termasuk dalam praktek
kebudayaan. Salah satu wujud nilai dalam kebudayaan adalah nilai sosial budaya.
Hertz mendefinisikan upacara kematian adalah upacara yang dilaksanakan
manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakat yang
berwujud gagasan kolektif.32 Upacara kematian mengandung nilai-nilai budaya
yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan dan bekal bagi kehidupan
dikemudian hari. Upacara kematian menjadi masalah sosial karena bukan hanya
melibatkan anggota keluarga melainkan juga masyarakat sekitar. Baik itu
masyarakat adat, bahkan gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Oleh
karena jika terjadi kematian maka partisipasi masyarakat dan lembaga keagamaan
menjadi tidak terpisahkan.
Biasanya dalam upacara kematian terdapat 3 tahapan menurut Hertz yang
dilakukan oleh sebagian besar suku bangsa di Indonesia, yaitu: sepulture provisoire
atau pemakaman sementara dimana jenazah dimakamkan dalam dalam liang kubur
sambil menanti roh orang mati pergi menuju dunia nenek moyang. Periode
intermediaire atau waktu tertentu dimana keluarga harus mentaati beberapa
pantangan yang tidak boleh dilakukan serta menjaga roh orang mati dalam waktu
tertentu, dalam hal ini roh belum dilepaskan dari kedudukan sosialnya. Tahapan
yang terakhir adalah ceremonie finale yaitu upacara untuk mengantar peralihan
dunia menuju dunia nenek moyang. Tiga tahapan menurut Hertz ini merujuk pada
sebuah upacara yang memiliki nilai religius, gotong royong, serta kemanusiaan.
Berkaitan dengan kematian, Bakker mendefinisikan upacara kematian
sebagai salah satu proses penting dalam mensucikan jenjang peralihan hidup,
dimana manusia disatukan dengan alam atas menjadi mendiang, kemudian menjadi
satu dengan Sang Pencipta.33 Upacara kematian memerlukan perlakuan khusus baik
secara budaya untuk menghargai proses peralihan ini. Perlakuan khusus ini dapat
berupa rangkaian upacara yang dilaksanakan dengan penuh penghayatan akan
makna dan nilai dari upacara tersebut.
Victor Turner mengartikan upacara tidak hanya sebagai tingkah laku resmi
tertentu untuk sejumlah kesempatan yang tidak bersifat rutin, melainkan ada
kaitannya dengan berbagai kepercayaan akan makhluk atau kekuatan-kekuatan
32 Koenjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press,1982), 71. 33 Bakker, Agama Asli, 152.
13
mistik.34 Merujuk pada fungsi upacara maka dapat disadari bahwa upacara
merupakan sistem makna yang ditampilkan melalui manipulasi dan penetapan
obyek-obyek simbolik. Turner menekankan pada makna obyek-obyek upacara
yang lebih bersifat religius.
Berbeda dengan Turner, Edmun R. Leach mendefinisikan upacara tanpa
membedakan antara yang suci dan yang sekuler. Upacara yang sekuler adalah
upacara yang dipisahkan dari nilai-nilai kerohanian. Leach mengatakan apa yang
diucapkan dan dilakukan pada suatu upacara itu menyatu dalam suatu pengertian,
asalkan si pelaku menjalankan definisi mana yang diikutinya.35 Upacara memang
sering dipraktekan dalam konteks yang religius, karena pelaksanaan upacara selalu
berkaitan dengan berbagai kepercayaan. Meskipun demikian tidak semua upacara
harus berlandaskan pada alasan religius, perlu juga melihat rujukan nasional, etnik,
atau referensi lainnya. Hal ini disebabkan karena fungsi upacara merupakan sistem
makna yang ditampilkan oleh dan untuk para pelaku melalui manipulasi-manipulasi
simbolik. Pandangan upacara dalam hal ini mengacu pada pandangan Leach
sebagai dua golongan upacara yang sekuler dan suci. Upacara yang sekuler dan suci
hanya merupakan tipe-tipe ideal dari sebuah upacara, yang semestinya diperhatikan
unsur-usur utama yang mendasari kedua tipe upacara tersebut.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka usaha untuk menghubungkan diri dari
obyek-obyek yang dianggap sakral serta mempengaruhi dan menentukan masa
depan disebut sebagai upacara. Upacara juga menjadi upaya untuk membuktikan
sebuah keyakinan yang dipegang teguh oleh masyarakat. Sedangkan kematian
dipandang sebagai proses penting dalam masyarakat karena merupakan tahapan
peralihan dari alam manusiawinya menuju Sang Pencipta.
Sebagai sebuah kebudayaan maka upacara kematian yang dianggap sakral
dan penting tentunya tidak terlepas dari hasil karya manusia yang dipelajari dalam
masyarakat. Sebagai alat tolak ukur dalam meninjau perilaku masyarakat terkait
usaha mempelajari makna sebuah upacara kematian maka diperlukan adanya nilai
sosial yang fleksibel, memiliki daya guna fungsional, serta mampu diterima oleh
34 Victor Turner, The Forest Of Symbols, (Ithaca, 1967) 19, dikutip oleh David Hicks, Roh orang Tetun di Timor-Timor (Jakarta: PT Sinar Harapan,1985), 42. 35 Edmund R Leach, “Ritualization in Man in Relation to Conceptual and Social Development”, (New York: Harper Collins Publishers, 1979). 232-233.
14
seluruh anggota masyarakat. Nilai sosial budaya yang asosiatif menjadi acuan
penting dalam melihat nilai-nilai yang ada dalam sebuah upacara kematian. Ini
berkaitan erat dengan pelaksanaan upacara kematian yang diselangarakan dalam
rangka adat istiadat dan struktur sosial yang ada di tengah masyarakat. Dengan
demikian penghargaan akan makna dan nilai sebuah upacara kematian akan
berdampak pada penghayatan terhadap upacara kematian itu sendiri.
TRADISI SUBAT MASYARAKAT ADAT AMARASI
Jemaat Peniel Tefneno Koro’oto adalah salah satu jemaat anggota Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT), yang terletak di desa Nekmese, kecamatan Amarasi
Selatan, kabupaten Kupang. Secara administratif wilayah pelayanan jemaat ini
berada di wilayah pemerintah kabupaten Kupang. Tepatnya di kecamatan Amarasi
Selatan.
Kecamatan Amarasi Selatan merupakan salah satu dari 4 kecamatan hasil
pemekaran kecamatan induk yang disebut kecamatan Amarasi. Adapun 4
kecamatan hasil pemekaran yaitu kecamatan Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi
Selatan, dan Amarasi Timur. Walau demikian sebagai besar orang Amarasi tetap
menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yaitu masyarakat Dawan Amarasi
(masyarakat adat Amarasi).36 Hal ini dikarenakan keempat wilayah ini dulunya
merupakan satu kesatuan wilayah dan memiliki persamaan kebudayaan, suku, dan
etnis. Menurut kepala desa ke-8, Krisma J. Baok, Desa Nekmese terbentuk dari 4
temukung besar yaitu temukung Naet, Koro oto, Tuanmese, dan Timo Foasa yang
kemudian bersatu menjadi satu desa sejak Tahun 1971, dengan nama Nekmese yang
dalam kosakata bahasa Timor memiliki arti “Satu Hati”.
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa Nekmese adalah petani
ladang, peternak, kuli bangunan, dan buruh. Tingkat pendidikan masyarakat yang
tinggal di kawasan ini sebagai besar hanya sampai pada jenjang SMA. Hal ini
dikarenakan sebagian besar penduduk yang berpendidikan tinggi memilih untuk
keluar dari kampung dan mencari pekerjaan di wilayah lain seperti kota Kupang
dan sekitarnya.
36 Wawancara Mantan Sekretaris Dese Nekmese, tanggal 13 oktober 2018, di Desa Nekmese, 10.45 WITA
15
Masyarakat adat Amarasi di desa Nekmese percaya bahwa kematian adalah
sebuah hal yang sakral dan tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Menurut Roni
Bani salah seorang tokoh adat sekaligus penatua di Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto,
“masyarakat adat Amarasi percaya bahwa orang yang telah meninggal dunia,
rohnya (in asmanan, smanaf) tidaklah mati, oleh karena itu yang dikuburkan (suub
atau pafa’) adalah jenazah atau jasad (aof-ta’uf amates, uismina, amates).”37
Subat merupakan upacara penghormatan kepada jenazah yang telah
meninggal dunia oleh masyarakat adat Amarasi. Roni Bani juga mengatakan bahwa
orang Amarasi mempunyai satu istilah penting yang berhubungan dengan
kematian, maets ii prenat, (harafiah: kematian itu perintah).38 Maksudnya, segala
urusan yang berhubungan dengan kematian seseorang diserahkan kepada
pemerintah (desa/kuan). Ketika salah seorang warga meninggal maka, tetangga
sekitar akan berdatangan mempersiapkan segala sesuatu untuk keberlangsungan
upacara subat. Di saat yang sama pemerintah, tokoh masyarakat, serta lembaga-
lembaga masyarakat terdekat dihadirkan dalam kerangka ide maets ii prenat. Dalam
hal ini kematian menjadi urusan bersama antara keluarga, pemerintah, dan
masyarakat. Pemerintah dan tokoh adat mengemban tanggung jawab dari keluarga
untuk melaksanakan upacara subat.
Terdapat beberapa unsur penting dalam pelaksanaan subat yang dirangkum
dari sumber Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret
2017.39 Pertama, tuan duka (nuuk tuaf). Salah seorang anggota dari keluarga inti
(batih) akan diberi tugas untuk menetapkan waktu dan kesiapan material untuk
subat, menyerahkan seluruh pengurusan kepada pemerintah dan tokoh agama,
bertanggung jawab untuk segala urusan yang berkaitan dengan hal-hal intern
(ketersediaan material dan pembiayaan), dan perantara komunikasi antara
pemerintah dengan batih. Kedua, pemerintah (da/ana’prenat). Adapun beberapa
peran penting yang dimainkan oleh da adalah mempersiapkan lubang kubur (nopu
mnanun), mengadakan peti jenazah (noup paran), mengirim pembawa berita (haef)
kepada keluarga yang jauh, menyiapkan perlengkapan tenda beserta isinya,
menyediakan lokasi dan memobilisasi masyarakat untuk mengolah material
37 Wawancara dengan Heronimus Bani, tanggal 13 oktober 2018, di Desa Nekmese, 17.25 WITA 38 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 39 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017
16
konsumsi selama upacara berlangsung, serta melaporkan dan menyerahkan kembali
segala urusan kepada nuuk tuaf setelah subat selesai. Ketiga, pemangku agama/
tokoh keagamaan. Pemangku agama diistilahkan dalam subat sebagai ana’asmanaf
(yang memegang roh). Seiring perkembangan jaman dan pengaruh kekristenan
yang kuat posisi ini digantikan oleh amepu krei (pekerja gereja). Amepu krei
memiliki peranan untuk mendoakan jenazah sebelum ditangisi/diratapi (nana’at),
mempersiapkan segala hal berhubungan dengan upacara subat yang sesuai dengan
agama dan keyakinan orang yang sudah meninggal, melakukan ibadah penghiburan
pada malam-malam kedukaan (be’et, mete), memimpin upacara puncak dari Subat
dan pengucapan syukur. Keempat, utusan (haef), haef merupakan orang yang
ditunjuk da atas kesepakatan bersama pemerintah setempat. Haef bertugas
membawa kabar duka kepada keluarga yang jauh sesuai daftar nama yang diberikan
oleh da. Pesan duka yang dibawa haef selalu diakhiri dengan beberapa istilah dalam
bahasa daerah yaitu: kaki fuabona, (siram bunga), tarais tain (buat perkara
memang), tuna fuabona (letakan bunga), neik nain in faubona (bawa memang
bunganya). Istilah ini berisikan pesan bahwa keluarga menyediakan konsumsi
selama masa berkabung. Kelima, peratap (akurut-akaet), setelah jenazah didoakan
dan disemayamkan maka akan diikuti dengan tindakan menangis dan meratapi
jenazah oleh anggota keluarga, dalam subat tindakan ini digolongkan dalam dua
sikap, antara lain nkae (menangis dalam kesedihan semata) dan nain (berkisah
dalam tangis). Kisah dalam nain disampaikan dalam bahasa simbol yang
membutuhkan terjemahan makna. Keenam, melek mata (be’et/be’at). Selama masa
berkabung maka kalangan keluarga dan khalayak kampung maupun di luar
kampung berkumpul dimalam hari, untuk menghibur keluarga. Sepanjang be’et
berlangsung selalu diisi dengan berbagai kegiatan baik dengan bernyanyi bersama
dan bercerita. Tidak jarang be’et dibumbui dengan berbagai aktivitas perjudian
seperti kartu remi, bola guling (permaian judi lokal), dan lain sebagainya. Aktivitas
perjudian dalam be’et biasanya dilegalkan oleh pemerintah sampai 3 malam setelah
upacara Subat selesai. Perjudian ini dilegalkan dengan alasan untuk meringankan
beban keluarga dalam menanggung biaya penerangan serta menghibur khalayak
yang ikut dalam be’et.
17
Rangkaian panjang upacara subat sendiri tidak terlepas dari berbagai istilah
yang ada di dalamnya. Istilah-istilah ini sering dimunculkan dalam upacara subat
sebagai ungkapan yang sarat makna dan nilai. Istilah-istilah tersebut ialah: Ka nsae
naan fa se’et atau ka nsae naan fa see’t ee goen. Menurut Sem Saebesi (tokoh adat
serta majelis jemaat Peniel Koro’oto) jauh sebelum orang Amarasi mengenal
agama-agama, orang Amarasi sudah memiliki dogma dan ajaran tentang
kematiannya sendiri.40 Kesadaran akan kematian diistilahkan dalam bahasa simbol
yang sarat makna. Roni Bani juga menjelaskan lebih lanjut ka nsae naan fa se’et
atau ka nsae naan fa see’t ee goen, merupakan istilah yang diberlakukan kepada
orang tua yang sudah berada pada masa-masa akhir hayatnya.41 Pada masa tersebut
persiapan mengenai upacara subat sudah mulai dibicarakan oleh pihak keluarga,
disaat itulah istilah ini dimunculkan sebagai tanda bahwa orang tua tersebut sudah
tiba pada saat saat menyongsong kematian.
Subat memiliki lima istilah yang dipakai dalam penyebutan jenazah, masing
masing istilah memiliki kandungan makna yang berbeda-beda.42 Pertama, amates
artinya yang mati atau yang meninggal, yang napasnya sudah tidak ada lagi. Istilah
amates disematkan pada seluruh makhluk hidup yang mati. Kedua, Uismina, kata
ini merupakan bentukan dari kata usif dan mina, secara harafiah berarti tuan
minyak. Jauh sebelum orang Amarasi mengenal agama-agama Abrahamik, mereka
percaya bahwa orang yang mati harus dijagai, ditangisi, dan diratapi. Menjagai
dalam pemahaman orang Amarasi adalah bagaimana mengawetkan jasad orang
sudah meninggal dengan ramuan tertentu agar tidak rusak sebelum dimakamkan.
Uismina yang dijagai juga harus ditangisi dan diratapi sebagai wujud dari rasa
kehilangan. Ketiga, Atupas (secara harafiah di artikan sebagai sedang tidur). Istilah
ini berkaitan dengan pemahaman orang Amarasi mengenai kehidupan setelah
kematian. Atupas dimaknai sebagai saat dimana orang yang meninggal dianggap
sedang tidur untuk sementara, dan roh mereka diyakini pergi ke tempat lain untuk
berkumpul bersama para leluhur sembari mengamati kehidupan di dunia. Keempat,
asernenot (secara harafiah artinya sedang naik ke langit). Pengunaan istilah ini
40 Wawancara dengan Sem Saebesi , 15 Oktober 2018 di Gedung Gereja Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto, 11.15 WITA 41 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 42 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017
18
dipakai untuk menyebutkan para pembesar ke-usif-an (keturunan raja) atau kaum
bangsawan. Bagi orang Amarasi angota ke-usif-an yang telah meninggal akan naik
ke langit, tempat yang dianggap mulia. Kelima, Nitu, pada kepercayaan lama orang
Amarasi, orang yang mati maka rohnya akan berpindah dari tubuh dan tinggal di
balik bebatuan besar, atau di balik pepohonan besar (fatu bian hau bian).
Masyarakat adat Amarasi percaya bahwa ada dua jenis nitu, jenis yang pertama
adalah nitu yang baik yang suka menolong keluarganya yang masih hidup. Jenis
yang kedua adalah nitu jahat, yang sifatnya mengganggu.
Pemberian kepada jenazah disebut sofi.43 Pada masa lalu dalam sistem
kepercayaan suku, orang yang memberikan sofi percaya bahwa pemberian itu
diketahui oleh yang sudah meninggal. Rohnya akan mengunjungi orang-orang itu
pada waktu-waktu tertentu, terutama ketika ada yang membutuhkan. Praktik
memberikan sofi mencerminkan keyakinan masyarakat atoin’ meto’ mengenai
adanya kehidupan sesudah kematian. Sofi juga dimaksudkan sebagai cara yang
tepat untuk menghormati jenazah. Pada masa lampau para leluhur menyiapkan satu
motif yang disebut panbuat.44 Motif (‘kaif) ini dipakai oleh yang hidup pada waktu
melayat dan diberikan pula kepada yang meninggal. Motif panbuat yang diserahkan
kepada jenazah orang dewasa disebut panbua-ko’u, sedangkan kepada jenazah
anak-anak disebut panbua-ana’.45 Panbuat dipakaikan kepada jenasah sebagai
bentuk penghormatan terhadap jenazah. Dalam istilah lama orang Amarasi Panbuat
adalah nama lain dari peti jenazah.46 Sejalan dengan perkembangan jaman maka
motif panbuat sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan pakaian yang modern.
Sofi mulai kurang mendapat perhatian pada masyarakat adat Amarasi. Adanya
perubahan keyakinan bahwa dengan memberikan sofi akan membebani roh ke alam
lain. Roh orang yang sudah meninggal akan membawa beban berat berupa sofi yang
diberikan keluarganya yang masih hidup sepanjang perjalannya menuju alam lain.47
Paradigma dari pemberi sofi pun mulai bergeser sejalan dengan berkembangnya
pemikiran dan keyakinan akan agama-agama Abrahamik yang dianutnya. Sofi
43Wawancara dengan Sem Saebesi , 15 oktober 2018 di Gedung Gereja Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto, 11.15 WITA 44 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 45 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 46 Wawancara dengan Roni Bani, 15 oktober 2018 di desa Nekmese, 13.00 WITA 47 Wawancara dengan Osten Bani, 15 oktober 2018 di Desa Nekmese, 15.20 WITA
19
dipandang sebagai pemberian terakhir yang memiliki makna cinta kasih kepada
orang yang sudah meninggal. Sofi ditempatkan di samping tubuh yang kaku dalam
peti jenazah. Bentuk sofi pun semakin beragam sesuai dengan keinginan orang yang
memberi.
Nuu adalah wujud dari air mata para pelayat ketika mereka tiba di rumah
duka. Nuu biasanya diberikan dalam wujud pemberian berupa materi. Nuu juga
disebut sebagai manekat oleh orang Amarasi.48 Dewasa ini dalam setiap tenda duka
disediakan sebuah kotak di samping jenazah khusus untuk diisi dengan bingkisan
berupa uang sebagai wujud dari Nuu.
Tiis raru (tuang laru), sisa’en too mfaun (membubarkan orang banyak), kaki’
fuabona’ (siram bunga), dan tarais tain (berperkara memang).49 Keempat istilah ini
hendak membungkus maksud sebenarnya yaitu persiapan konsumsi/ makanan
untuk semua orang yang melayat dalam upacara subat, termasuk mereka yang
menyiapkannya. Masyarakat desa Nekmese, meyakini bahwa memberi makan pada
orang banyak yang melayat (pesta duka), akan berdampak pada roh orang yang
meninggal.50 Diyakini bahwa ketika ia tiba di dunia roh orang mati, mereka yang
telah meninggal terlebih dahulu membuat pengelompokan. Ada kelompok roh dari
orang yang telah dibuatkan pesta duka, dan orang yang belum dibuatkan pesta duka.
Pandangan inilah yag mendorong orang Amarasi membungkus pesta duka dengan
perbaikan kuburan, do’a tiga hari, empat puluh hari, dan lain-lain.
Lampu api padam (paku-ai nmaet). Istilah ini dipakai untuk menunjukkan
bahwa pada peristiwa duka yang dialami, tuan duka tidak mengadakan “pesta
duka”.51 Istilah ini sudah mulai usang dan ditinggalkan seiring berjalan majunya
waktu. Sering pula digunakan istilah lain yaitu suub aah ok (baca: subahok) artinya,
kubur diri begitu saja.52 Maknanya adalah tidak ada urusan konsumsi pada upacara
subat.
Kematian sebagai sebuah tahapan penting dalam kehidupan manusia. Di
Indonesia sendiri kematian selalu diidentikan dengan ritual-ritual khusus atau
48 Wawancara dengan Heronimus Bani , 15 oktober 2018 di Desa Nekmese, 13.00 WITA. 49 Wawancara dengan Roni Bani, 15 oktober 2018 di Desa Nekmese, 13.00 WITA. 50 Wawancara dengan Sem Saebesi , 15 oktober 2018 di Gedung Gereja Jemaat Pniel Tefneno Koro’oto, 11.15 WITA 51 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017 52 Heronimus Bani, Materi Pembekalan Presbiter Klasis Amarasi Timur Rayon 1, 28 Maret 2017
20
upacara-upacara khusus. Masyarakat adat Amarasi, khususnya yang berada di desa
Nekmese kecamatan Amarasi Selatan memiliki cara tersendiri untuk mensucikan
upacara kematian. Subat sebagai sebuah upacara yang dianggap sakral, tidak
terlepas dari berbagai elemen-elemen penting yang sarat akan makna dan nilai bagi
masyarakat Amarasi. Nilai-nilai yang tertanam dalam subat menjadi dasar hidup
dalam masyarakat khususnya dalam memaknai kehidupan bersama di dunia
manusia serta dunia orang mati yang dipercayai oleh masyarakat adat Amarasi.
Kematian adalah urusan bersama antara pemerintah, oleh karena itu hampir
seluruh urusan yang berkaitan mengenai kematian diserahkan kepada pemerintah
sebagai pemimpin tertinggi dalam desa atau kuan.53 Ketika ada orang yang
meninggal maka seluruh warga akan datang berkumpul untuk mempersiapkan
upacara kematian ini disebut sebagai roitan neu noup paran.
Sepanjang acara duka dilaksanakan maka seluruh masyarakat akan
berkumpul di malam hari dengan tujuan untuk menghibur keluarga yang berduka.
Aktifitas ini diistilahkan sebagai mete dalam bahasa melayu Kupang, sedangkan
bagi orang Amarasi sendiri istilah mete ini di sebut sebagai abe’et atau abe’at.
Sepanjang abe’at berlangsung warga sekitar, keluarga, kerabat, maupun tentangga
seputaran desa akan berkumpul bersama sepanjang malam di tenda duka. Menurut
salah seorang narasumber “baik atau tidaknya pergaulan orang yang meninggal
akan ditentukan dari banyak atau tidaknya orang yang datang berpartisipasi dalam
abe’et”.54
Kebiasaan lain yang ada dalam upacara subat ialah memberikan benda-benda
pemberian kepada jenazah sebagai tanda cinta kasih terhadap orang yang sudah
meninggal. Pemberian ini disebut sebagai sofi seperti yang sudah dijelaskan di
bagian III pemberian lain yang serupa dengan sofi disebut sebagai manekat. Meski
memiliki bentuk yang sama namun manekat biasanya ditujukan bagi keluarga dari
jenazah sebagai wujud air mata dari pelayat atas kedukaan yang dialami oleh
keluaraga.
Jenazah dalam upacara subat memiliki beragam penyebutan dengan berbagai
makna tertentu seperti yang sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Penyebutan
53 Wawancara dengan Heronimus Bani , 15 Oktober 2018 di Desa Nekmese, 13.00 WITA. 54 Wawancara dengan Sifyon Ora , 15 Oktober 2018 di Desa Nekmese, 20.10 WITA.
21
jenazah yang beragam ini diyakini oleh orang Amarasi sebagai bukti bahwa status
sosial serta cara meninggal seseorang merupakan salah satu syarat penting untuk
memperoleh kehidupan yang baik di alam nenek moyang. Makna lain dalam
penyebutan jenazah bagi orang amarasi juga tidak terlepas dari pandangan orang
amarasi mengenai harkat dan martabat manusia. Bagi orang uismina dipakai
sebagai kata untuk menyebut jenazah karena mereka percaya orang sudah
meninggal harus di perlakukan layaknya tuan yang harus dijaga, di tangisi, dan
diratapi. Hal ini dilakaukan tanpa memandang apapun jabatan yang sematkan pada
jenzah semasa dia hidup. Baik itu kaya atau miskin, mereka akan diperlakukan dan
dinamai dengan penyebutan yang sama.
Sebagai bentuk lain dalam penghargaan atas perjalanan hidup orang yang
sudah meninggal orang Amarasi memiliki kebiasaan untuk melakukan nkae
(menangis dalam kesedihan) dan nain (berkisah dalam tangis). Kebiasaan ini
dilakukan oleh orang yang disebut sebagai akurut-akaet (peratap). Isi dari
kebiasaan ini adalah menceritakan perbuatan perbuatan baik dari jenazah semasa ia
hidup.
ANALISIS NILAI SOSIAL BUDAYA UPACARA SUBAT
Upacara subat merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan oleh
masyarakat adat Amarasi sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah
meninggal. Dengan kata lain upacara ini dapat dikategorikan sebagai upacara
kematian. Hertz, mendefiniskan upacara kematian sebagai upacara yang
dilaksanakan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari
masyarakat yang berwujud gagasan kolektif.55 Dengan demikan upacara subat
dapat dikatakan sebagai sebuah masalah sosial yang muncul dalam kerangka
kebudayaan.
Sebagai sebuah masalah sosial subat bukan hanya melibatkan keluarga
melainkan masyarakat sekitar. Dalam hal ini pemerintah, masyarakat adat, dan
gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Berdasarkan sumber data yang
ditemukan di atas bahwa ketiga elemen sosial di atas memiliki peranan penting
dalam keberlangsungan upacara subat. Berdasarkan pemahaman bahwa mates ii
55 Koentjaraningrat, Sejarah Teori, 71.
22
prenat (kematian itu perintah) maka secara tidak langsung pemerintah sebagai
pemimpin tertinggi dalam masyarakat memiliki peranan sentral dalam
keberlangsungan upacara subat. Selain pemerintah masyarakat adat juga tidak
terlepas dari keberlangsungan upacara subat itu sendiri. Secara umum masyarakat
memiliki peranan penting dalam proses persiapan sampai keberlangsungan upacara
subat, dengan sikap gotong royong dan berbela rasa yang ditunjukan oleh
masyarakat melalui segala sumbangsi baik itu tenaga, materi, dan dukungan moril
bagi keluarga yang disebut sebagai roitan neu noup paran. Fungsi lainnya juga
diperankan secara baik oleh Gereja sebagai sebuah pranatra sosial dimana gereja
memberikan pendampingan serta penguatan secara spritual bagi keluarga yang
mengalami kedukaan. Menurut pandangan Hertz peranan yang dimainkan oleh
ketiga elemen ini dalam upacara subat merujuk pada sebuah upacara yang bernilai
kemanusiaan, gotong royong, serta religius yang dirangkum dalam sebuah model
kebudayaan asli milik masyarakat adat Amarasi.
Kebudayaan merupakan pandangan hidup bagi suatu masyarakat,
kebudayaan mencakup pola perilaku, nilai-nilai serta simbol yang diyakini suatu
golongan masyarakat serta diwariskan melalui proses komunikasi dari generasi
kegenerasi berikutnya. Bagi masyarakat adat Amarasi, kebudayaan adalah suatu
perilaku yang dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka yang
harus dipertahankan serta menjadi acuan dalam melaksanakan kehidupan. Salah
satu bentuk kebudayaan yang masih dipertahankan adalah upacara subat.
Masyarakat adat Amarasi percaya bahwa bentuk penghormatan terhadap orang
yang sudah meninggal harus dilaksanakan dengan sebuah upacara yang dinamakan
sebagai upacara subat.
Beberapa teori yang mendukung untuk menganalisis lebih jelas tentang nilai
sosial budaya upacara subat dalam masyarakat adat Amarasi agar hasil penelitian
ini mampu memberikan pemahaman baru terhadap penulisan tugas akhir ini, antara
lain :
Koentjaraningrat, yang memaparkan bahwa “kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan ‘hal-hal yang bersangkutan dengan
23
akal”.56 Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan
adalah segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, kemauan, dan perasaan
manusia, dalam rangka kepribadiannya. Dapat dikatakan bahwa manusia yang
melahirkan kebudayaan dan kebudayaan dilahirkan oleh manusia untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya agar kehidupannya dapat terarah.57
Alo Liliweri juga menegaskan bahwa “kebudayaan merupakan pandangan
hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbo-
simbol yang mereka terima tanpa sadar serta diwariskan melalui proses komunikasi
dari satu generasi ke generasi berikutnya”.58 Lanjutnya, “Kebudayaan juga
dipandang sebagai keseluruhan dalam pandangan hidup, termasuk perilaku yang
diharapkan, keyakinan, nilai-nilai, behasa dan praktek hidup bersama oleh angota
masyarakat”.59
Sebagai pandangan hidup masyarakat adat Amarasi kebudayaan tidak
terlepas dari nilai-nilai yang dikandungnya. Nilai dalam kebudayaan dengan jelas
diungkapkan oleh beberapa ahli berikut: Rokeach mendefinisikan “nilai sebagai
salah satu unsur pembentukan orientasi budaya, nilai melibatkan konsep budaya
yang menganggap sesuatu itu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau
tidak adil, cantik atau jelek, bersih atau kotor, berharga atau tidak berharga, cocok
atau tidak, dan baik atau kejam”.60 Secara tidak langsung nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara subat memegang peranan penting untuk meninjau
kembali penting atau tidaknya subat dipertahankan oleh masyarakat adat Amarasi.
Jika dihubungkan dengan kebudayaan yang adalah kesepakatan bersama
dalam suatu masyarakat maka nilai-nilai yang terkandung dalam upacara subat
merupakan nilai sosial budaya. Elizabeth K. Nothingham mendefinisikan “nilai
sosial sebagai nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai sosial merupakan
rangkaian nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun dengan
mempertimbangkan situasi yang terjadi dalam masyarakat”.61 Definisi ini diperkuat
oleh pandangan Hendropuspito yang “mendeskripsikan nilai sosial sebagai