Page 1
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG
DALAM SURAH AL-AHQĀF AYAT 13-17 (STUDI
KOMPARASI TAFSIR IBNU KAṠIR DAN TAFSIR AL-AZHĀR)
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Strata II
Pada Jurusan Magister Pendidikan Agama Islam
Oleh:
MUKHAMAD ALIUN
O100180036
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021
Page 5
1
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM
SURAH AL-AHQĀF AYAT 13-17 (STUDI KOMPARASI TAFSIR IBNU
KAṠIR DAN TAFSIR AL-AZHĀR)
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak apa
saja yang terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17 (studi komparasi tafsir
Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār). Kemudian mengetahui persamaan dan perbedaan
juga implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surah al-
Ahqāf ayat 13-17 dalam kehidupan kekinian. Sedangkan manfaatnya untuk
menambah wawasan keilmuan dalam bidang pendidikan, keagamaan dan bahan
bacaan khususnya yang berhubungan dengan penelitian tafsir. Penelitian tesis ini
merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang obyek
utamanya adalah buku-buku perpustakaan, artikel, jurnal ilmiah dan literatur-
literatur lainnya sebagai obyek analisisnya. Adapun sumber data primernya adalah
tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode tafsir muqāran, yaitu membandingkan antara tafsir Ibnu
Kaṡir dan tafsir al-Azhār mengenai surah al-Ahqāf ayat 13-17, dengan
perbandingan tersebut akan tampak sisi pesamaan dan perbedaan. Kemudian hasil
dari penjelasan kedua mufassir ini, penulis menyebutkan point-point yang
merupakan nilai-nilai pendidikan akhlak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17
(studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār) dalam tesis ini mengenai
ruang lingkupnya terbagi menjadi 3 bagian. Pertama: Akhlak kepada Allah,
meliputi; iman, raja’, berdoa, bersyukur dan bertaubat. Kedua: Akhlak pribadi,
meliputi; istiqamah dan syaja’ah. Ketiga: Akhlak dalam keluarga, meliputi; birr
al-Wālidain. Adapun persamaannya antara penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka
adalah keduanya sama-sama menggunakan metode tafsir ar-Riwāyah, sedangkan
perbedaan antara penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka adalah Ibnu Kaṡīr seorang
mufasir yang dalam tafsirnya lebih cenderung ke tafsir bi al-Ma’ṡur, sedangkan
Hamka adalah seorang mufasir yang dalam tafsirnya memiliki corak antara
riwayah dengan dirayah, karena Hamka memelihara sebaik-baiknya hubungan
antara naqal dengan aqal. Implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17 (studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir
dan tafsir al-Azhār) dalam kehidupan kekinian meliputi; Komitmen beriman
kepada Allah, anjuran bersikap istiqamah, anjuran bersikap syaja’ah, anjuran
bersikap birr al-Wālidain, anjuran berdoa, anjuran bersyukur, anjuran bertaubat
dan anjuran bersikap raja’. Strategi penanaman nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17 (studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir
dan tafsir al-Azhār) dalam kehidupan kekinian meliputi; Penanaman nilai iman
kepada Allah, penanaman nilai istiqamah, penanaman nilai syaja’ah, penanaman
nilai birr al-Wālidain, penanaman nilai doa, penanaman nilai syukur, penanaman
nilai taubat dan penanaman nilai raja’.
Kata Kunci: nilai, pendidikan akhlak, tafsir
Page 6
2
Abstract
The purpose of this study is to determine the values of moral education in surah
al-Ahqāf verses 13-17 (a comparative study of Ibn Kaṡīr's tafsīr and al-Azhār's
tafsīr), to know the similarities and differences as well as the implications of
moral education values contained in surah al-Ahqāf verses 13-17 in contemporary
life. This research is useful for adding scientific insight in the fields of education,
religion and reading materials, especially those related to interpretive research.
This thesis is a library research, which is research whose main object is library
books, articles, scientific journals and other literatures as the object of analysis.
The primary data sources are the tafsīr of Ibn Kaṡīr and the tafsīr al-Azhār. This
research approach uses the tafsīr muqāran method, which is to compare the tafsīr
of Ibn Kaṡīr and the tafsīr al-Azhār regarding surah al-Ahqāf verses 13-17. This
comparison will show the similarities and differences. Then the researcher will
conclude the points which are the values of moral education. The results showed
that the scope of moral education values in surah al-Ahqāf verses 13-17
(comparative study of Ibn Kaṡīr's tafsīr and tafsīr al-Azhār) is divided into 3 parts.
First: Morals to Allah, including; faith, Raja'(hope), pray, gratitude and repent.
Second: personal morals, including; istiqamah and syaja'ah (brave). Third: Morals
in the family, including; birr al-Wālidaīn. The similarities between the
interpretation of Ibn Kaṡīr and Hamka are that they both use the tafsīr ar-Riwāyah
method. Meanwhile, the difference between the interpretation of Ibn Kaṡīr and
Hamka is that Ibn Kaṡīr is a mufasir who in his interpretation tends to tafsir bi al-
Ma'ṡūr, while Hamka is a mufasir who in his interpretation has a pattern between
riwayah and dirayah. This is because Hamka maintains a good relationship
between naqal and aqal. The implications of the values of moral education
contained in surah al-Ahqāf verses 13-17 (comparative study of tafsīr Ibn Kaṡīr
and tafsīr al-Azhār) in modern life include commitment to believe in Allah,
encouragement to be istiqamah, syaja'ah, birr al- Wālidaīn and raja'. in addition to
the encouragement to pray, be thankful, and repent. in surah al-Ahqāf verses 13-
17 are mentioned several strategies to inculcate the values of moral education
(comparative study of tafsīr Ibn Kaṡīr and tafsīr al-Azhār) in modern life
including cultivating the values of faith in Allah, istiqamah, syaja'ah, birr al-
Wālidaīn, prayer, gratitude, repentance and raja'.
Keywords: values, moral education, interpretation
1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an dengan pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan,
pendidikan merupakan hal sangat penting sekali bagi kehidupan manusia.
Pendidikan memberi pengaruh yang besar bagi umat manusia, untuk membangun
Page 7
3
interaksi yang baik dengan sesamanya.1 Pendidikan yang tidak hanya berorientasi
pada ilmu pengetahuan (knowledge oriented) dan keterampilan (skill oriented),
namun juga berorientasi pada nilai (values oriented). Ini sebuah kewajiban yang
tidak bisa dielakkan dan dikesampingkan, bahwa dalam proses pendidikan harus
menekankan dan mengedepankan nilai-nilai etik dan akhlak. Karena pendidikan
adalah alat untuk mengembangkan tingkah laku manusia dan penataan tingkah
laku secara emosi berdasarkan agama Islam. Sedangkan al-Qur’an adalah sumber
utama dari pendidikan tersebut.2
Idealitanya, untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan dalam Islam, maka
harus kembali kepada al-Qur’an. Kembali kepada al-Qur’an berarti mendambakan
ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an
penuh dengan kedamaian. Ketika umat Islam menjauhi al-Qur’an atau sekedar
menjadikan al-Qur’an hanya sebagai bacaan keagamaan, maka sudah pasti al-
Qur’an akan kehilangan relevansinya terhadap realitas-reakitas semesta alam.
Tidak cukup hanya membaca al-Qur’an dengan lisan saja, tetapi lebih dari itu
maka al-Qur’an harus dimengerti, dipahami, dan dihayati makna isi
kandungannya, agar pesan dan nilai-nilai dari ayat-ayat yang dibaca dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terkhusus dalam hal ini adalah nilai-
nilai pendidikan akhlak.3
Namun realitanya, melihat fenomena yang terjadi di kehidupan umat
manusia pada saat ini, khususnya umat Islam mereka jauh dari nilai-nilai al-
Qur’an. Banyak sekali di kalangan umat Islam yang mampu membaca, bahkan
menghafal ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi banyak di antara mereka yang belum
memahami kandungan dan makna dari ayat-ayat yang mereka baca dan hafal
tersebut. Akibatnya banyak bentuk penyimpangan yang mudah ditemukan
1 Siti Shafa Marwah, Makhmud Syafe’i, Elan Sumarna, Relevansi Konsep Pendidikan
Menurut Ki Hadjar Dewantara Dengan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Tarbawy: Indonesian
Journal of Islamic Education, Vol. 5, No.1, 2018, hlm. 15. 2 Syamsirin, Pendidikan Berbasis Etika Menurut az-Zarnuji dalam Prespektif Kitab
Ta’lim al-Muta’allim Tariqa at-Ta’alum, dalam Jurnal at-Ta’dib, Vol. 5, No. 1 Shafar 1430 H,
hlm. 60. 3 M. Thoyyib, Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an (Telaah Surat al-Hujurat
Ayat 11-13), dalam Jurnal al-Hikmah, Vol. 2, No. 2, September 2012, hlm. 200-201.
Page 8
4
dilapisan masyarakat. Salah satunya yaitu penyimpangan akhlak dan dekadensi
moral.4
Banyak kasus anak dan remaja yang terjebak ke dalam dunia kelam seperti
narkoba, minuman keras, pencurian motor, ikut geng motor, dan tawuran5.
Kemudian kasus kekerasan yang dilakukan anak usia sekolah, pelecehan seksual,
aborsi dan kurangnnya nilai-nilai kesopanan terhadap orangtua.6 Mereka juga
sudah mengenal rokok, free sex, dan terlibat banyak tindakan kriminal lainnya
yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat dan berurusan
dengan hukum.7
Oleh sebab itu, dari permasalahan yang ada dan untuk memurnikan
kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan ajaran Islam tersebut, maka
satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara kembali kembali
kepada nilai-nilai yang ada dalam ajaran al-Qur’an, salah satunya yaitu dengan
menanamkan pendidikan akhlak.
Penanaman akhlak merupakan salah satu dari sekian banyak solusi yang
dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi, serta memutuskan mata rantai
kejahatan anak dan remaja, yang akan, sedang, maupun yang sudah terjadi.
Karena dengan cara itu, setidaknya seorang anak dapat terproteksi dengan pribadi
yang lebih kuat dan mulia. Penanaman akhlak sangat penting bagi kelangsungan
generasi di masa yang akan datang, maka dirasa sangat penting jika penanaman
akhlak dapat dicanangkan pada setiap wilayah perkampungan dengan beberapa
metode yang kreatif agar ke depannya generasi bangsa ini didominasi oleh
generasi emas yang memegang teguh nilai-nilai akhlaknya8
4 Ibid.
5 Gesang Ginanjar Raharjo, Keluarga Sarana Pembentukan Kepribadian Islam Bagi
Remaja, (Online), https://www.republika.co.id/berita/retizen/surat-pembaca/19/11/09/q0p65k349-
keluarga-sarana-pembentukan-kepribadian-islam-bagi-remaja diakses pada hari Sabtu 13 Juni
2020 pukul 22.15 WIB. 6 Tri Sukitman , Internalisasi Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran (Upaya
Menciptakan Sumber Daya Manusia Yang Berkarakter), dalam JPSD: Jurnal Pendidikan Sekolah
Dasar Vol. 2, No. 2 Agustus 2016, hlm. 86. 7 Nunung Unayah dan Muslim Sabarisman, Fenomena Kenakalan Remaja dan
Kriminalitas, dalam Jurnal Sosio Informa Vol. 1, No.02, Mei-Agustus, Tahun 2015, hlm. 123. 8 Zainal Abidin, Urgensi Penanaman Akhlak Di Tengah Maraknya Kasus Kenakalan
Remaja, dalam Research and Development Journal Of Education Vol. 5 No. 2 April 2019, hlm.
53-54.
Page 9
5
Akhlak merupakan salah satu ajaran Islam yang harus dimiliki oleh setiap
individu khusunya umat Islam, dalam menunaikan kehidupannya sehari-hari.
Akhlak yang baik merupakan perangai dari para rasul, orang terhormat, sifat
orang-orang yang bertakwa dan hasil perjuangan dari seorang hamba yang patuh
dan taat kepada Allah SWT. Sedangkan akhlak yang buruk merupakan racun,
kejahatan, dan keburukan yang menjauhkan diri dari Allah SWT.9
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tesis ini bermaksud untuk
mengkaji permasalahan akhlak dalam al-Qur’an dan memfokuskan penelitian
pada Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surah al-Ahqāf Ayat
13-17 (Studi Komparasi Tafsir Ibnu Kaṡir dan Tafsir al-Azhār).
2. METODE
Penelitian tesis ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu
penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku perpustakaan, artikel, jurnal
ilmiah dan literatur-literatur lainnya sebagai obyek analisisnya. Adapun sumber
data primernya adalah tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār. Pendekatan yang
digunakan dalam tesis ini adalah dengan menggunakan metode tafsir muqāran10
,
yaitu membandingkan antara tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār mengenai surah
al-Ahqāf ayat 13-17. Kemudian hasil dari penjelasan kedua mufassir ini, penulis
menyebutkan point-point yang merupakan nilai-nilai pendidikan akhlak.
Sementara itu dalam menganalisis penulis menggunakan pola berpikir
deduktif, penulis berpangkal pada suatu pendapat umum berupa teori, hukum atau
kaidah dalam menyusuri suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus, atau
dalam menarik suatu kesimpulan.11
dan induktif, penulis berpangkal pada
sejumlah fakta empirik untuk menyusun suatu penjelasan umum.12
Sedangkan
dalam penarikan kesimpulan, menggunakan metode induktif. Penulis menarik
9 Hamka, Akhlaqul Karimah, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2017), hlm. 1.
10 Tafsir muqāran adalah metode tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dengan cara
perbandingan atau disebut dengan metode komparatif (metode perbandingan), dengan perbandinga
tersebut akan tampak sisi pesamaan dan perbedaan. Lihat Abdul Mustakim, Metode Penelitian al-
Quran dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Sejahtera, 2015), hlm. 19. 11
Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 16. 12
Ibid., hlm. 18.
Page 10
6
sebuah kesimpulan atas dasar data-data yang bersifat teoritis untuk suatu
kesimpulan fakta yang bersifat khusus. Metode ini diharapkan menjadi
kesimpulan akhir yang merupakan hasil penelitian yang bersifat objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.13
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Yang Terkandung dalam Surah al-Ahqāf
Ayat 13-17 (Studi Komparasi Tafsir Ibnu Kaṡir dan Tafsir al-Azhār)
3.1.1 Iman
Hamka berpendapat bahwa surah al-Ahqāf ayat 13, menunjukkan keimanan
seseorang yang sangat kuat. Orang yang beriman artinya membenarkan dan
meyakini akan Allah, maka segala kegiatan, aktivitas, jalan pikiran, pertimbangan
semua tertuju kepada Allah dan seluruh sikap hidupnya hanya bergantung kepada
Allah.14
Ibnu Kaṡīr berpendapat mengenai surah al-Ahqāf ayat 13, bahwa orang-
orang yang beriman, yakni mereka yang memurnikan amal untuk Allah dan
beramal karena taat kepada Allah atas apa yang telah disyari'atkan-Nya kepada
mereka.15
Definisi iman adalah mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan
hati dan melaksanakan dengan anggota badan. Seseorang dinyatakan beriman
bukan sekedar percaya terhadap sesuatu saja, melainkan kepercayaan itu
mendorongnya untuk mengucapkan sekaligus melakukan sesuatu tersebut sesuai
dengan keyakinannya. Karena itu, iman bukan sekadar dipercaya dan diucapkan,
melainkan bersatu secara utuh dalam diri seseorang yang memberikan pengaruh
ke dalam segala aktivitas yang dilakukan manusia sehingga bernilai ibadah.16
Maka iman itu harus benar-benar mantap dalam jiwa yang disertai ketundukan
dan ketenangan hati. Beriman mampu menjauhkan diri dari keterbelengguan dan
13
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1989), hlm. 21. 14
Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. 8, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm. 296. 15
Ibnu Kaṡīr, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, (Beriut: Dār al-Fikr, 2009), hlm. 1706. 16
Abdul Kosim dan Fathurrohman, Pendidikan Agama Islam sebagai Core Ethical
Values untuk Perguruan Tinggi Umum, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2018), hlm.
116.
Page 11
7
keterbudakan oleh manusia, syaitan dan hawa nafsu, sehingga orang yang beriman
benar-benar hanya tunduk kepada Allah SWT dan syari’at-Nya.17
3.1.2 Istiqamah
Hamka berpendapat dalam surah al-Ahqāf ayat 13, bahwa setelah menunjukkan
sikap hidup hanya kepada Allah, yakni berkomitmen hanya untuk ketaatan kepada
Allah, kemudian orang yang beriman pun beristiqamah (teguh pada
pendiriannya). Dengan komitmen dan konsisten ini, maka akan menentukan corak
hidup, dan menjadi sebuah sistem hidup.
Ibnu Kaṡīr berpendapat bahwa orang-orang yang berkomitmen dengan
keimanannya kepada Allah, kemudian mereka beristiqamah (meneguhkan
pendirian) mereka. Yakni mereka konsisten dengan memurnikan amal untuk
Allah dan beramal karena taat kepada Allah atas apa yang telah disyari'atkan
kepada mereka. Maka jaminan bagi mereka adalah tidak ada kekhawatiran saat
menjalani peristiwa yang akan mereka hadapi, baik di kehidupan dunia maupun di
akhirat kelak.
Kata استقامة (istiqamah) adalah bentuk kata jadian (infitife noun) dari kata
kerja استقام (istaqamu) terambil dari kata قام (qama) yang pada mulanya berarti
lurus tidak mencong.18
Kata ini kemudian dipahami dalam arti konsisten dan setia
melaksanakan apa yang diucapkan. Sufyan ats-Tsaqafi meminta kepada Nabi
Muhammad SAW untuk diberi jawaban yang menyeluruh tentang Islam sehingga
ia tidak perlu bertanya lagi kepada orang lain. Beliau pun menjawab dengan
singkat: ثمه استقم Katakanlah aku beriman kepada Allah lalu) قل آمنت بالله
istiqamahlah). (HR. Muslim). Ucapan itu menandai tulusnya hati dan lurusnya
keyakinan, sedang istiqamah menunjukkan benar dan baiknya amal seseorang.19
Adapun pengertian istiqamah dalam Mu’jam Mufradãt al-Faz al-Qurãn
adalah jalan menuju kebenaran, semisal: إهدنا الصراط المستقيم (Tunjukilah kami jalan
yang lurus). Hal ini menunjukkan bahwa istiqamah akan menguatkan seseorang
17
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih, Risalah Islamiyah Bidang Akhlak, Cet.
Ke-1, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), hlm. 13-14. 18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, jilid
12, Cet. Ke-2, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 400. 19
Ibid., hlm. 51.
Page 12
8
kepada jalan yang lurus, yaitu tetap berusaha dalam kebenaran walaupun sedang
dihadapkan dengan berbagai rintangan.20
3.1.3 Syaja’ah (Pemberani)
Syaja’ah merupakan salah satu ciri yang dimiliki seseorang yang istiqamah (teguh
pada pendirian) berjuang di jalan Allah. Keberanian yang dimaksud bukan
keberanian tanpa dasar, tapi keberanian melakukan dan menegakkan kebenaran
berdasarkan nilai-nilai agama.21
Hamka berpendapat bahwa orang yang beriman dan beristiqamah akan
memunculkan sikap syaja’ah (pemberani). Dengan sikap syaja’ah ini, maka akan
menghilangkan semua rasa takutnya kepada siapa pun termasuk tentara Jepang
waktu itu. Seluruh rasa takut hanya tertumpu kepada Allah.22
3.1.4 Birr al-Wālidain (Berbakti kepada Kedua Orangtua)
Hamka berpendapat bahwa surah al-Ahqāf ayat 15 menunjukkan sebuah wasiat
dan perintah utama kepada manusia, sesudah perintah beriman kepada Allah
sebagai dasar kehidupan. Dengan percaya kepada Allah, ketika manusia hendak
menegakkan budi baik dalam dunia ini maka perintah kedua sesudah perintah
berbakti kepada Allah adalah perintah menghormati kedua orangtua, yaitu ibu dan
bapaknya. Sebab pertalian darah, pertalian keturunan, terutama ibu dan bapak
merupakan tabiat murni manusia, bahkan tabiat murni binatang. Mereka
menumpahkan kasih sayang dan cintanya yang murni tanpa mengharapkan
balasan dari putra yang lahir dari hubungan mereka.
Sedangkan Ibnu Kaṡīr berpendapat bahwa Allah SWT telah
memerintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtua,
yaitu ibu dan bapaknya. Allah perintahkan mereka supaya berbuat baik serta
berlemah lembut kepada keduanya. Sebab, ibunya telah mengandungnya dengan
susah payah, yakni menderita karena mengandungnya, seorang ibu mengalami
kesulitan dan kepayahan, seperti halnya mengidam, pingsan, rasa berat dan
20
Al-‘Allamah ar-Ragἱb al-Asfahani, Mujam Mufradat al-Faz al-Quran, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), hlm. 433. 21
Junaidah, Sovia Mas Ayu, Pengembangan Akhlak pada Pendidikan Anak Usia Dini,
dalam al-Idarah: Jurnal Kependidikan Islam Vol. 8 No. 2, Desember 2018, hlm. 218. 22
Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. 8, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm. 297.
Page 13
9
cobaan lainnya yang dialami oleh para wanita hamil pada umumnya. Demikian
pula susah payah saat melahirkan, dengan penuh kesulitan dan rasa sakit yang
teramat sangat. Maka wajiblah bagi seorang anak untuk berbakti kepada
orangtuanya dan harus bisa menerima keadaan orangtua.
Kata birr al-Wālidain berasal dari kata barra-yabirru-barran, yang
bermakna berbakti dan sopan, sedangkan al-Wālidain berasal dari kata walada-
yalidu-wilādatan, yang berarti melahirkan. Orang yang melahirkan manusia
adalah ibu, maka walada menjadi Wālidain yang berarti kedua orangtua.23
Jadi
birr al-Wālidain artinya berbakti kepada kedua orangtua ibu dan bapak. Hal ini
merupakan wujud syukur dan terima kasih kepada kedua orangtua yang telah
merawat dari kecil hingga dewasa.
3.1.5 Doa
Hamka berpendapat bahwa doa merupakan salah satu bentuk khidmat kepada
kedua orangtua semasa mereka hidup dan tetap mendoakannya setelah mereka
meninggal. Doa yang terdapat dalam surah al-Ahqāf ayat 15 telah memberikan
pesan dan pengaruh yang mendalam ke dalam jiwa Hamka. Ia merasakan betul
apa yang pernah dirasakan oleh ibu dan bapaknya, penderitaan, pengorbanan,
kasih sayang, kesukaran atau kemudahan hidup ketika membesarkanya. Oleh
sebab itu menurut Hamka, bertambah dewasa orang, harusnya bertambah pulalah
kasih sayang mereka kepada ibu dan bapaknya.
3.1.6 Bersyukur
Hamka berpendapat bahwa bersyukur adalah bentuk terimkasih kepada Allah atas
nikmat hidup dan fasilitas sarana-prasarana. Kemudian mensyukuri nikmat Allah
karena dilahirkan ke dunia melalui perantara ibu dan bapak yang baik-baik dan
mulia. Maka sebagai bentuk syukur atas karunia Allah tersebut, wajib kita berbuat
baik kepada ibu dan bapak dengan berkhidmat kepadanya dikala hidup maupun
setelah meninggal.
Mensyukuri nikmat Allah, yang telah diberikan kepada kita dan kedua ibu
bapak. Sebab, ibu telah mengandung dengan susah payah, sedangkan bapak
23
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 1997.
Page 14
10
berjasa dalam mencari nafkah dan menemani sang ibu saat hamil hingga proses
persalinan. Bentuk syukur itu menurut Ibnu Kaṡīr supaya kita dapat berbuat amal
shalih yang Allah ridai dan kebaikan dari amal shalih tersebut turun-temurun
hingga ke anak cucu.
Syukur merupakan pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah
dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak dan tuntunan dari
Allah.24
Ar-Ragib al-Asfahani berpendapat bahwa syukur berarti tasawwur an-
Ni'mah wa izharuha (menggambarkan nikmat dan menampakkannya) yang
merupakan lawan dari kufur (kufr) yang berarti nisyan an-Ni'mah wa satruha
(melupakan nikmat dan menutupinya).25
Dalam ilmu psikologi syukur disebut dengan gratitude. Syukur
digambarkan sebagai sebuah bentuk emosi yang berkembang menjadi suatu sikat
dan moral yang baik, kemudian menjadi kebiasaan yang membentuk kepribadian
dan akhirnya mempengaruhi individu dalam merespon terhadap segala sesuatu.
Dalam konseptual rasa syukur terbagi menjadi dua tingkat, yaitu keadaan (state)
dan sifat (trait). Dalam sebuah keadaan rasa syukur berarti perasaan subjektif
berupa kekaguman, rasa terimakasih, dan menghargai segala sesuatu yang
diterima. Sedangkan sebagai sifat, rasa syukur diartikan sebagai kecenderungan
individu untuk merasakan kebersyukuran dalam hidupnya.26
Adapun masalah
yang timbul akibat kurangnyapun rasa syukur adalah kurangnya Self-fullfilment,
kurang merasa puas dengan apa yang dimilikinya saat ini. Keadaan ini dapat
memicu kecemasan dan serta tidak dapat mencapai ketenangan dalam hidup.
Kata kunci dari syukur adalah suka berterima kasih, tahu diri, tidak mau
sombong, dan tidak boleh lupa Tuhan. Bagi seorang Muslim, kunci syukur itu
adalah ingat Allah. Kita ada karena Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. Di
sinilah, syukur seringkali disamakan dengan ungkapan rasa “terima kasih” dan
24
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan,
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 215-216. 25
Al-Allamah ar-Ragib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat al-Faz al-Qur'an ..., hlm. 272. 26
Hasanal K., Moh. Mashudi, Relevansi Konsep Pendidikan Keluarga dalam al-Qur’an
(Studi Atas Kitab Tafsir fi Dzilalil Qur’an Karya Sayyid Quthb), dalam Jurnal Al-Hikmah Vol 8
Oktober 2020, hlm. 79.
Page 15
11
segala pujian hanya untuk Allah semata. Semakin sering bersyukur dan berterima
kasih, maka akan semakin baik, bahagia dan tenteram batinya.27
3.1.7 Bertaubat
Menurut Hamka bahwa setiap manusia akan mengalami perjalanan hidup yang
terjal, berbelit-belit, mendaki dan menurun, pasang naik dan turun, tertawa dan
menangis, pernah jaya dan pernah gagal, pernah juga berbuat salah dan dosa,
tetapi janganlah putus asa dan berhenti di tengah jalan, sadar dan jujurlah secara
terus terang akan kealpaan dan kekhilafan kita. Tentu ada kebenaran dan ada
kesalahan, namun yang terbaik bagi orang yang terlanjur berbuat salah dan dosa
sebab kelemahan dan kebodohannya adalah bertaubat kepada Allah SWT.
Bagaimanapun juga, kita tetap seorang Muslim, pasrah dan menyerahkan
sepenuhnya hidup hanya kepada Allah dan berusaha hendak menjadi orang baik.
Ibnu Kaṡīr berpendapat bahwa ujung surah al-Ahqāf ayat 15 di dalamnya
terdapat petunjuk bagi orang yang telah berumur 40 tahun, agar ia memperbaharui
taubat dengan kembali kepada Allah, lalu mensyukuri segala anugerah nikmat
Allah yang telah diberikan kepadanya dan kepada kedua orangtuanya serta
bertekad agar supaya dapat berbuat amal shalih yang Allah ridhai. Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
3.1.8 Raja’ (Pengharapan)
Hamka berpendapat bahwa Allah telah memberikan raja’ (pengharapan) kepada
umat manusia. Alangkah sedihnya bila hidup tidak diberi pengharapan. Allah
menunjukkan bahwa Dia adalah Maha Besar. Dia berkata bahwa permohonan
yang tulus ikhlas itu dikabulkan berkat amalan baik yang pernah dikerjakan.
Kalau ada kesalahan maka kesalahan itu dilampaui saja, Allah tidak
mengambilnya sebagai sebuah tuntutan yang berat, karena bila dibandingkan
kesalahan itu dengan jasa-jasa dan amalan baik dan mulia yang mereka kerjakan,
maka akan menjadi kecillah kesalahan itu. Sebab itu dilampaui saja, karena jarang
di atas dunia ini manusia yang akan terlepas sama sekali dari kesalahan dan
kealpaan.
27
Choirul Mahfud, The Power of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam al-
Qur’an, dalam jurnal Epistemé, Vol. 9, No. 2, Desember 2014, hlm. 379-381.
Page 16
12
3.2 Persamaan dan Perbedaan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang
Terkandung dalam Surah al-Ahqāf Ayat 13-17 Menurut Tafsir Ibnu
Kaṡir dan Tafsir al-Azhār
3.2.1 Persamaan Kedua Mufassir
Tabel 1. Persamaan Penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka Mengenai Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surah al-Ahqāf Ayat 13-17
No Persamaan Kedua Mufassir
1. Keduanya sama-sama menggunakan metode tafsir ar-Riwāyah,
yaitu rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, as-
Sunah, atau perkataan Sahabat sebagai penjelasan maksud dari
firman Allah, yaitu tafsir al-Qur’an dengan al-Quran, tafsir al-
Qur’an dengan as-Sunah atau tafsir al-Qur’an menurut asar yang
timbul dari kalangan para Sahabat, sehingga keduanya tidak lepas
dari pendapat para ulama terdahulu.
2. Secara garis besar nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17 hasil analisis dari kedua mufassir
tersebut hampir sama pada penafsiran, nilai keimanan, nilai
keistiqamahan, nilai birr al-Wālidain, nilai syukur dan nilai taubat,
hanya saja secara spesifik ada sedikit penekatan kata yang akan
disampakan dibagian perbedaan.
3.2.2 Perbedaan Kedua Mufassir
Tabel 2. Perbedaan Penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka Mengenai Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surah al-Ahqāf Ayat 13-17
No Perbedaan Kedua Mufassir
1. Perbedaan antara penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka adalah Ibnu
Kaṡīr seorang mufasir yang dalam tafsirnya lebih cenderung ke
tafsir bi al-Ma’ṡur. Sedangkan Hamka adalah seorang mufasir yang
dalam tafsirnya memiliki corak antara riwayah dengan dirayah,
karena Hamka memelihara sebaik-baiknya hubungan antara naqal
Page 17
13
dengan aqal. Hamka tidak hanya semata-mata mengutip atau
menukil pendapat ulama yang telah terdahulu, tetapi juga
mempergunakan tinjauan dan pengalamannya sendiri. Hamka tidak
ta'ashshub kepada suatu faham, melainkan mencoba mengerahkan
segala upaya untuk mendekati maksud ayat, menguraikan makna,
dari lafadz bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan memberi
kesempatan orang untuk berfikir.
2. Secara spesifik ada sedikit perbedaan dalam penekatan kata antara
penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka, di antaranya: Pertama; Nilai
iman menurut Ibnu Kaṡīr adalah memurnikan amal, sedangkan
Hamka adalah sikap hidup hanya bergantung kepada Allah. Kedua;
Nilai istiqamah menurut Ibnu Kaṡīr adalah teguh pendirian dalam
beramal, sedangkan Hamka adalah konsisten atas amal baik yang
telah diperbuatnya. Ketiga; Nilai birr al-Wālidain menurut Ibnu
Kaṡīr adalah berbakti dan berlemah lembut kepada kedua orangtua,
sedangkan Hamka adalah menegakkan budi baik sebagai rasa
hormat kepada kedua orangtua. Keempat; Nilai syukur menurut
Ibnu Kaṡīr adalah mensyukuri nikmat Allah, dan berterimakasih
kepada orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan,
sedangkan Hamka adalah berterimakasih kepada Allah atas nikmat
hidup dan berkat dilahirkan melalui perantara ibu dan bapak.
Kelima; Nilai taubat menurut Ibnu Kaṡīr adalah kembali kepada
Allah dan khusus bagi orang yang telah berumur 40 tahun, agar ia
senantiasa memperbaharui taubat, sedangkan Hamka adalah
kembali menuju petunjuk Allah dengan pasrah menyerahkan
sepenuhnya hidup hanya kepada-Nya dan berusaha menjadi orang
baik. Keenam; Nilai syaja’ah menurut Hamka adalah sikap hidup
yang muncul karena buah dari keimanan dan istiqamah, sedangkan
Ibnu Kaṡīr tidak berbicara terkait syaja’ah. Ketujuh; Nilai doa
menurut Hamka adalah permohonan kepada Allah dan merupakan
salah satu bentuk khidmat kepada orangtua semasa mereka hidup
Page 18
14
dan tetap mendoakannya setelah mereka meninggal, salah satunya
berdoa dengan ayat 15 dari surah al-Ahqāf, sedangkan Ibnu Kaṡīr
tidak menyinggung terkait doa. Kedelapan; Nilai raja’ menurut
Hamka adalah bentuk pengharapan manusia kepada Allah agar
dikabulkan permohonannya, kalau ada kesalahan kecil maka
kesalahan itu dilampaui saja, Allah tidak mengambilnya sebagai
sebuah tuntutan yang berat, agar manusia tidak sedih dalam
hidupnya, sedangkan Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya tidak menyinggung
masalah raja’.
3.3 Implikasi Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam
Surah al-Ahqāf Ayat 13-17 Hasil Komparasi Tafsir Ibnu Kaṡir dan
Tafsir al-Azhār dalam Kehidupan Kekinian
Akhlak dan Islam tidak pernah meninggalkan satu aspekpun dari sekian aspek
kehidupan manusia, baik itu bersifat ruhani maupun yang bersifat jasmani,
keagamaan ataupun duniawi, intelektual atau insting, individual atau sosial. Islam
telah meletakkan dan menetapkan sistem yang terbaik untuk mengaturnya menuju
pada keluhuran.
Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakter yang
membedakannya dari bermacam-macam hukum dunia yang lain. Hukum itu
dalam dasar-dasarnya secara umum berasal dari wahyu Allah; Pertama, Aturan-
aturannya dibuat dengan dorongan agama dan moral. Kedua, Balasannya
didapatkan di dunia dan di akhirat. Ketiga, Kecenderungan komunal
(bersama/umum). Hal tersebut dapat berkembang sesuai dengan lingkungan,
waktu dan tempat, privat dan publik, dan membahagiakan dunia seluruhnya.28
Masyarakat Muslim mempunyai tata krama dan tradisi yang harus
dijadikan sebagai habitat tempat tumbuh kembangnya anak Muslim, agar kelak
mereka bisa mempratikkannya, selain juga agar mereka bisa menghormatinya.
Tidak seharusnya anak Muslim mengasingkan diri dari masyarakat, tetapi
28
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komprehensif, alih bahasa A. Malik
Madani dan Hamim, (Jakarta: CV Rajawali, 1988), hlm. 160.
Page 19
15
sebaliknya, harus berinteraksi. Ia harus mampu memberikan pengaruh, bukannya
terpengaruh. Ia harus mempengaruhi masyarakat dengan akhlaknya yang mulia.
Jangan sampai terpengaruh dengan tradisi dan akhlak buruk yang ada dalam
masyarakat. Kita harus mengarahkan anak kita dalam memilih teman, jangan
sampai ia memilih teman buruk, tetapi harus memilih teman yang baik. Karena
seseorang itu akan terpengaruh oleh akhlak temannya.
Setelah mengetahui penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka dalam surah al-
Ahqāf Ayat 13-17 di atas, berikut implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kehidupan kekinian hasil komparasi tafsir Ibnu Kaṡīr dan Hamka. Pertama,
Komitmen beriman kepada Allah. Kedua, Anjuran bersikap Istiqamah. Ketiga,
Anjuran bersikap syaja’ah. Keempat, Penanaman nilai birr al-Wālidain. Kelima,
Anjuran berdoa. Keenam, Anjuran bersyukur. Ketujuh, Anjuran bertaubat. Dan
kedelapan, Anjuran bersikap raja’.
3.4 Strategi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung
dalam Surah al-Ahqāf Ayat 13-17 Hasil Komparasi Tafsir Ibnu Kaṡir
dan Tafsir al-Azhār dalam Kehidupan Kekinian
Setelah mengetahui penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka dalam surah al-Ahqāf Ayat
13-17 di atas sekaligus implikasinya dalam kehidupan kekinian, berikut akan
disampaikan strategi penanaman nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan
kekinian hasil komparasi tafsir Ibnu Kaṡīr dan Hamka.
3.4.1 Penanaman Nilai Iman Kepada Allah
Adapun strategi penanaman nilai iman kepada Allah. Berikut pola pembinaan
terstruktur tersebut:29
a. Memberikan contoh dan teladan yang baik kepada anak serta
membimbingnya untuk senantiasa beriman dan berpegang teguh kepada
ajaran-ajaran agama sehingga terbentuk akhlak yang mulia. Semisal;
Berkata jujur, amanah, syukur, tawakkal, ikhlas, sabar, pemaaf, dan yang
lainnya.
29
Munawir Haris dan Hilyatul Auliya, Urgensi Pendidikan Agama dalam Keluarga dan
Implikasinya Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, dalam Masile: Jurnal Studi Ilmu
Keislaman Juli-Desember, Vol. 1, No.1, 2019, hlm. 53-55.
Page 20
16
b. Membiasakan anak untuk melaksanakan syiar-syiar agama sejak kecil
dalam praktek-praktek ibadah, seperti ikut shalat berjamah dengan orangtua
atau ikut serta ke masjid untuk menjalankan ibadah, mendengarkan khutbah
atau ceramah-ceramah keagamaan dan kegiatan religius lainnya.
c. Menyiapkan suasana keagamaan dan spiritualitas yang sesuai dengan
keadaan rumah di mana mereka berada. Pengetahuan agama dan spritual
termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh
oleh keluarga terhadap anak-anaknya.
d. Membimbing anak dengan memberikan buku-buku bacaan keagamaan yang
berguna untuk menambah wawasan sehingga mereka semakin memikirkan
ciptaan-ciptaan Allah dan atas keagungan-Nya.
3.4.2 Penanaman Nilai Istiqamah
Ada beberapa strategi yang bisa dipakai dalam penanaman nilai istiqamah
terhadapa anak, di antaranya:30
a. Pembiasaan, yakni melakukan perbuatan baik dan mulia secara terus-
menerus dan konsisten untuk waktu yang cukup lama, sehingga perbuatan
itu benar-benar dikuasai dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit
ditinggalkan. membiasakan anak sejak kecil berarti membiasakannya kelak
untuk dewasa nanti. Dengan begitu kelak saat dewasa tidak asing lagi
dengan pelaksanaan ibadah shalat, puasa, membaca al-Qur’an, zakat, infak,
shadaqah dan lain sebagainya.31
b. Peneladanan, yakni mencontoh perilaku, pemikiran, sifat dan sikap dari
orangtua guru dan tokoh-tokoh yang dikagumi untuk kemudian mengambil
alihnya menjadi suatu sikap, sifat dan prilaku pribadi secara konsisten.
c. Pemahaman, penghayatan dan penerapan secara sadar, dengan berusaha
memahami secara benar nilai-nilai, asas-asas dan prilaku yang baik,
30
Muhammad Harfin Zuhdi, Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim, dalam Jurnal
Religia, Vol. 14, No. 1, April 2011, hlm. 120-121. 31
Muhammad Yunan Harahap, Masruroh Lubis, dan Muhammad Ali Hanafiah, Strategi
Penanaman Kebiasaan Beribadah Pada Anak (Studi Kasus Pada Masyarakat Muslim Minoritas
Desa Kuta Gugung Kabupaten Karo), dalam Intiqad: Jurnal Agama dan Pendidikan Islam, Vol.
11, No. 2 (Desemner 2019), hlm. 333.
Page 21
17
kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari secara terus-
menerus dan konsisten.
3.4.3 Penanaman Nilai Syaja’ah
Tiga strategi penanaman nilai syaja’ah yang telah disebutkan dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah32
, di antaranya: Pertama, Berani menghadapi musuh dalam peperangan
(QS. Al-Anfal: 15-16). Kedua, Berani menyatakan kebenaran (kalimah al-Haq)
sekalipun di hadapan penguasa yang dzalim. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: "Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan
penguasa yang dzalım." (HR. Tirmidzi). Ketiga, Berani untuk mengendalikan diri
tatkala marah sekalipun dia mampu melampiaskannya.
3.4.4 Penanaman Nilai Birr al-Wālidain
Ada beberapa hal yang harus ditanamkan orangtua dan para pendidik terhadap
anak, yaitu dengan mengajarkan anak agar menghormati dan berbakti kepada
orangtuanya. Adapun strategi penanaman nilai dalam birr al-Wālidain adalah
sebagaimana berikut: 33
a. Berbicara dengan halus dan sopan terhadap orangtua, serta tidak memotong
pembicaraannya.
b. Menyambut orangtua dengan senyum dan mencium tangannya.
c. Belajar dengan giat dan berusaha menjadi murid berprestasi untuk
menyenagkan orangtua.
d. Meminta izin tatkala hendak pergi dan masuk kamar orangtua.
e. Senantiasa tersenyum setiap kali berhadapan dengan orangtua.
f. Tidak mencela orangtua, jika keduanya melakukan sesuatu yang aneh atau
salah.
g. Tidak mendahului orangtua dalam mengambil makanan.
h. Tidak menelantangkan kaki di hadapan orangtua.
i. Mendoakan dan memintakan ampunan bagi orangtua, baik ketika mereka
masih hidup atau sudah mati.
32
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Cet. Ke-10, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI), 2009), hlm. 116-118. 33
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Fān Tarbiyah al-‘Aulād fi al-Islām (Seni Mendidik
Anak 2), alih bahasa Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 24.
Page 22
18
3.4.5 Penanaman Nilai Doa
Menurut Imam al-Ghazali (1979: 181-191) terdapat beberapa macam penanaman
nilai dalam doa, di antaranya:34
a. Memilih waktu yang mulia, untuk berdoa seperti hari Arafah untuk tahunan,
bulan Ramadhan untuk bulanan, hari jum’at untuk mingguan, dan waktu
sahur dari saat-saat malam.
b. Mengambil segala hal keadaan yang mulia yaitu adanya peristiwa fenomena
alam ataupun aktifitas manusia misal ketika turun hujan, ketika bergeraknya
barisan yang melaksanakan jihad fisabilillah, ketika didirikan shalat-shalat
fardu.
c. Menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan.
d. Merendahkan suara dengan penuh ketundukan, antara benar-benar
merendahkan dan mengeraskan.
e. Merendahkan diri dengan khusyuk serta penuh rasa takut (kepada Allah
SWT).
f. Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan mengulanginya sebanyak tiga kali.
g. Doa dimulai dengan berżikir kepada Allah SWT.
h. Memperhatikan adab batin yang merupakan penyebab diterimanya, doa oleh
Allah SWT, yaitu: mengembalikan segala hak orang yang teraniaya dan
menghadapkan segenap jiwa raga dengan sepenuh hati kepada Allah SWT.
i. Doa itu akan dikabulkan jika di dalamnya terkumpul kehadiran hati,
kosentrasi secara penuh terhadap apa yang dimintanya, dan bertepatan
dengan salah satu dalam enam waktu dikabulkannya doa, yaitu: Sepertiga
malam terakhir, saat ażan, antara ażan dan iqamat (pertengahan), setelah
melaksanakan shalat wajib, saat khatib duduk di antara khutbah pertama dan
kedua, dan saat-saat terakhir setelah waktu Ashar.
3.4.6 Penanaman Nilai Syukur
Adapun strategi penanaman nilai syukur kepada Allah SWT bisa dilakukan
dengan tiga cara,35
yaitu: Pertama, Bersyukur menggunakan hati (menyadari
34
Awaludin Hakim, Doa dalam Perspektif Al-Qur’an Kajian Tafsir Ibnu Katῑr dan Tafsir
Al-Azhar, dalam jurnal al-Fath, Vol. 11 No. 01 (Januari-Juni) 2017, hlm. 55-56.
Page 23
19
bahwa semua nikmat yang diperoleh merupakan anugerah dan bersumber dari
Allah SWT, QS. An-Nahl: 53). Kedua, Bersyukur menggunakan lisan mengakui
melalui ucapan bahwasanya asal semua nikmat adalah dari Allah SWT seraya
mengucapkan pujian kepada-Nya. Al-Qur’an juga mengajarkan supaya pujian
terhadap Allah SWT dilakukan dengan mengucapkan الحمد لله رب العلمين (segala puji
hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam). Ketiga, Bersyukur melalui amal
perbuatan (memanfaatkan semua nikmat sesuai dengan tujuan penciptaan atau
pemberiannya).
3.4.7 Penanaman Nilai Taubat
Adapun strategi penanaman nilai taubat yang sempurna adalah harus memenuhi
lima dimensi,36
yaitu: Menyadari kesalahan, menyesali kesalahan, memohon
ampun kepada Allah SWT (istighfar), berjanji tidak akan mengulanginya,
menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh, untuk membuktikan bahwa dia
benar-benar telah bertaubat. Lima dimensi di ataslah yang disebut dengan taubat
yang sempurna atau dalam bahasa al-Qur'an disebut taubat nasuha (QS. At-
Tahrim: 8).
3.4.8 Penanaman Nilai Raja’
Adapun strategi penanaman nilai raja’ adalah, sebagai berikut: Pertama, Selalu
optimis dalam melewati setiap warna kehidupan dengan lebih indah dan membuat
suasana hati menjadi tenang (QS. Yusuf: 87). Kedua, Selalu dinamis. Adalah
sikap untuk terus berkembang, berfikir cerdas, kreatif, rajin, dan mudah
beradaptasi dengan lingkungan. Ketiga, Berpegang teguh kepada tali agama Allah
yaitu agama Islam. Keempat, Berharap kepada Allah, agar selalu diberikan
kesuksesan dalam berbagai macam usaha dan mendapat rida dari-Nya. Kelima,
Menciptakan prasangka baik membuang jauh prasangka buruk. Keenam, Selalu
meningkatkan amal sholeh untuk bertemu Allah. Ketujuh, Selalu meningkatkan
jiwa untuk berjuang dijalan Allah. Kesembilan, Selalu meningkatkan rasa syukur
atas nikmat yang telah diteriamnya. Kesepuluh, Selalu merasa takut kepada
35
Desri Ari Enghariano, Syukur dalam Perspektif al-Qur’an, dalam jurnal El-Qanuny,
Vol. 5, No. 2 Edisi Juli-Desember 2019, hlm. 278-279. 36
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq ..., hlm. 61-62.
Page 24
20
ancaman dan siksaan Allah di hari akhirat kelak. Kesebelas, Selalu cinta
(mahabbah) kepada Allah. 37
4 PENUTUP
Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17
(studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār) dalam tesis ini mengenai
ruang lingkupnya terbagi menjadi 3 bagian. Pertama: Akhlak kepada Allah,
meliputi; iman, raja’, berdoa, bersyukur dan bertaubat. Kedua: Akhlak pribadi,
meliputi; istiqamah dan syaja’ah. Ketiga: Akhlak dalam keluarga, meliputi; birr
al-Wālidain. Persamaan dan perbedaan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17 (studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir
dan tafsir al-Azhār. Adapun persamaannya antara penafsiran Ibnu Kaṡīr dan
Hamka adalah keduanya sama-sama menggunakan metode tafsir ar-Riwāyah,
yaitu rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunah, atau
perkataan Sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu tafsir al-
Qur’an dengan al-Quran, tafsir al-Qur’an dengan as-Sunah atau tafsir al-Qur’an
menurut asar yang timbul dari kalangan para Sahabat, sehingga keduanya tidak
lepas dari pendapat para ulama terdahulu. Sedangan persamaan nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam surah al-Ahqāf Ayat 13-17 hasil dari
analisis dari kedua penafsiran ulama tersebut meliputi; Nilai keimanan, nilai
keistiqamahan, nilai birr al-Wālidain, nilai syukur dan nilai taubat. Perbedaan
antara penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Hamka adalah Ibnu Kaṡīr seorang mufasir yang
dalam tafsirnya lebih cenderung ke tafsIr bi al-Ma’ṡur. Sedangkan Hamka adalah
seorang mufasir yang dalam tafsirnya memiliki corak antara riwayah dengan
dirayah, karena Hamka memelihara sebaik-baiknya hubungan antara naqal
dengan aqal. Hamka tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat
ulama yang telah terdahulu, tetapi juga mempergunakan tinjauan dan
pengalamannya sendiri. Sementara perbedaan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam surah al-Ahqāf ayat 13-17 hasil dari analisis dari kedua
37
Novialdi, Yosi dan Suci Nurohma Wati, Mencari Ketenraman Jiwa dalam Ajaran
Tasawuf, dalam jurnal al-Karim: Jurnal Pendidikan, Psikologi dan Studi Islam, Vol. 5, No. 1
(2020), hlm. 44.
Page 25
21
penafsiran ulama tersebut meliputi; Nilai syaja’ah, nilai doa dan nilai raja’.
Sementara itu Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya tidak menyinggung terkait dengan tiga
nilai tersebut.
Implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surah al-
Ahqāf ayat 13-17 (studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār) dalam
kehidupan kekinian meliputi; Komitmen beriman kepada Allah, anjuran bersikap
istiqamah, anjuran bersikap syaja’ah, anjuran bersikap birr al-Wālidain, anjuran
berdoa, anjuran bersyukur, anjuran bertaubat dan anjuran bersikap raja’. Strategi
penanaman nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surah al-Ahqāf
ayat 13-17 (studi komparasi tafsir Ibnu Kaṡir dan tafsir al-Azhār) dalam
kehidupan kekinian meliputi; Penanaman nilai iman kepada Allah, penanaman
nilai istiqamah, penanaman nilai syaja’ah, penanaman nilai birr al-Wālidain,
penanaman nilai doa, penanaman nilai syukur, penanaman nilai taubat dan
penanaman nilai raja’.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2019. Urgensi Penanaman Akhlak Di Tengah Maraknya Kasus
Kenakalan Remaja. Research and Development Journal Of Education Vol.
5. No. 2.
Ad-Dimasyqī, al-Imām Abū al-Fidā’ al-Hāfiz Ibnu Kaṡīr. 2009. Tafsir al-Qur’an
al-Azim. Juz I. Beriut: Dār al-Fikr.
Al-Asfahani, al-Allamah ar-Ragib. T.t. Mu'jam Mufradat al-Fāz al-Qur'ān.
Beirut: Dar al-Fikr.
Enghariano, Desri Ari. 2019. Syukur dalam Perspektif al-Qur’an, dalam jurnal El-
Qanuny, Vol. 5, No. 2.
Hakim, Awaludin. 2017. Doa dalam Perspektif Al-Qur’an Kajian Tafsir Ibnu
Katῑr dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal al-Fath, Vol. 11 No. 01.
Hamka. 1982. Tafsir al-Azhār Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
---------. 2015. Tafsir al-Azhar. Vol. 8, Cet. Ke-1. Jakarta: Gema Insani.
---------. 2017. Akhlaqul Karimah. Cet. Ke-1. Jakarta: Gema Insani.
Harahap, Muhammad Yunan. Lubis, Masruroh dan Hanafiah, Muhammad Ali.
2019. Strategi Penanaman Kebiasaan Beribadah Pada Anak (Studi Kasus
Page 26
22
Pada Masyarakat Muslim Minoritas Desa Kuta Gugung Kabupaten
Karo), dalam Intiqad: Jurnal Agama dan Pendidikan Islam, Vol. 11, No. 2.
Haris, Munawir dan Auliya, Hilyatul. 2019. Urgensi Pendidikan Agama dalam
Keluarga dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak,
dalam Masile: Jurnal Studi Ilmu Keislaman Juli-Desember, Vol. 1, No.1.
Ilyas, Yunahar. 2009. Kuliah Akhlaq. Cet. Ke-10. Yogyakarta: Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI).
Junaidah, Mas Ayu, Sovia. 2018. Pengembangan Akhlak pada Pendidikan Anak
Usia Dini. Al-Idarah: Jurnal Kependidikan Islam. Vol. 8 No. 2,
Desember.
K. Hasanal, Mashudi, Moh.. 2020. Relevansi Konsep Pendidikan Keluarga dalam
al-Qur’an (Studi Atas Kitab Tafsir fi Dzilālil Qur’an Karya Sayyid
Quthb). Jurnal Al-Hikmah. Vol. 8 Oktober 2020.
Kosim, Abdul dan Fathurrohman. 2018. Pendidikan Agama Islam sebagai Core
Ethical Values untuk Perguruan Tinggi Umum. Cet. Ke-1. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mahfud, Choirul. 2014. The Power of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur
dalam al-Qur’an. Jurnal Epistemé. Vol. 9. No. 2.
Majelis Tarjih, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2012. Risalah Islamiyah Bidang
Akhlak. Cet. Ke-1. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Mantra, Ida Bagoes. 2008. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif.
Mursi, Muhammad Sa’id. 2001. Fān Tarbiyah al-‘Aulād fi al-Islām (Seni
Mendidik Anak 2. Alih bahasa Muhammad Muchson Anasy. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar.
Musa, Muhammad Yusuf. 1988. Islam: Suatu Kajian Komprehensif. Alih bahasa
A. Malik Madani dan Hamim. Jakarta: CV Rajawali.
Novialdi, Yosi dan Wati, Suci Nurohma. 2020. Mencari Ketenraman Jiwa dalam
Ajaran Tasawuf, dalam jurnal al-Karim: Jurnal Pendidikan, Psikologi dan
Studi Islam, Vol. 5, No. 1.
Raharjo, Gesang Ginanjar. 2019. Keluarga Sarana Pembentukan Kepribadian
Islam Bagi Remaja. (Online),
(https://www.republika.co.id/berita/retizen/surat-
pembaca/19/11/09/q0p65k349-keluarga-sarana-pembentukan-kepribadian-
islam-bagi-remaja diakses pada hari Sabtu 13 Juni 2020).
Page 27
23
Shafa Marwah, Siti, Syafe’i, Makhmud, Sumarna, Elan. 2018. Relevansi Konsep
Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara Dengan Pendidikan Islam,
dalam Jurnal Tarbawy: Indonesian Journal of Islamic Education. Vol. 5,
No.1.
Shihab, M. Quraish. 1997. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan. Bandung: Mizan.
-------------------------. 2009. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur'an, jilid 12, Cet. Ke-2. Jakarta: Lentera Hati.
Sukitman, Tri. 2016. Internalisasi Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran (Upaya
Menciptakan Sumber Daya Manusia Yang Berkarakter), dalam JPSD:
Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar Vol. 2, No. 2 Agustus.
Surahmad, Winarno. 1989. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Syamsirin, 1430. Pendidikan Berbasis Etika Menurut az-Zarnuji dalam Prespektif
Kitab Ta’lîm al-Muta’allîm Tarîqa at-Ta’alum, dalam Jurnal at-Ta’dib.
Vol. 5, No. 1.
Thoyyib, M.. 2012. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an (Telaah Surat
al-Hujurat Ayat 11-13), dalam Jurnal al-Hikmah. Vol. 2, No. 2.
Unayah, Nunung dan Sabarisman, Muslim. 2015. Fenomena Kenakalan Remaja
dan Kriminalitas, dalam Jurnal Sosio Informa Vol. 1, No.02, Mei-
Agustus.
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2011. Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim,
dalam Jurnal Religia, Vol. 14, No. 1.