NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Muchsin Abdurrahman (11140110000046) JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M
97
Embed
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH
NABI MUSA DAN NABI KHIDIR
(Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Muchsin Abdurrahman
(11140110000046)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
N a m a : Muchsin Abdurrahman
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 16 Mei 1996
NIM : 11140110000046
Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa AS
dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-
82)
Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Ghofur, M.A
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan
saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 11 Maret 2019
Mahasiswa Ybs.
Muchsin Abdurrahman
NIM.11140110000046
KEMENTERIAN AGAMA
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
i
ABSTRAK
Muchsin Abdurrahman (1114011000046) Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
dalam Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi
ayat 60-82) “Skripsi” untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2019.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir pada kajian tafsur surat Al-Kahfi ayat 60-82,
serta untuk mengetahui konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
tersirat dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS dalam surat ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian
melalui studi kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS
yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 dan ayat lain yang berkaitan,
mengandung berbagai macam nilai-nilai pendidikan akhlak. Adapun nilai-nilai
pendidikan akhlak yang tergambarkan dalam kisah tersebut ada 5 point, yaitu
sabar, tawakal, tawadhu, disiplin, dan bersungguh-sungguh.
Kata Kunci : Nilai-nilai Pendidikan Akhlak, dalam Kisah Nabi Musa AS dan
Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82)
ii
ABSTRACT
Muchsin Abdurrahman (1114011000046) values education of Morals in the story
of Prophet Moses and Khidir Nabi (the study of the interpretation of Surat Al-
verse 60-82 Cave) "Thesis" to the Department of Islamic studies, Faculty of
Tarbiyah and teacher training, the Islamic University Country (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2019.
The purpose of this research is to find the remembrance of the home values
education in the story of him in a letter on the study khidir tafsur pavilion 60-82
verse , and to know the concept of the application of the remembrance of the home
values education that is implied and in musa moses the united states and prophet
khidir whatever is in the us .
In this research , the use writers approach qualitative research was conducted by
using the method descriptive analysis who used a technique of the analysis of the
study through study literature available ( library research )
The results of this study concluded that the story of Prophet Moses and Khidir Nabi
described in surat Al-verse 60-82 Cave and other texts related, contain a wide
variety of moral education values. As for the moral education values that the
breakfast buffet in the story there are 5 point, wait, tawwakul, tawadhu, disciplined,
and conscientious.
Key words: Moral Education values, in the story of Prophet Moses and Khidir(the
study of the interpretation of Surat Al-verse 60-82 Cave)
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
tiada henti memberikan segala nikmat, karunia, dan pertolongan-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini (skripsi).
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa ajaran agama yang benar, dan penuh kemulian dengan budi
pekertinya, sehingga kita terhindar dari kejahilan-kejahilan yang dapat
menyesatkan kita.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua terkasih yang
tidak pilih kasih, yaitu ayahanda Adih dan ibunda Norma Sumarnis Wijaya, yang
mana berkat kekuatan do’a serta motivasi dari ayah dan ibu, penulis dapat
menyelesaikan studi ini.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari hambatan dan
kesulitan, namun berkat adanya bimbingan, bantuan, nasihat dan saran serta
kerjasama dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Menyadari bahwa keberhasilan penulis menyelesaikan
skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas
dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan ucapan dan
penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi
ini, antara lain:
1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Dr. Abdul Ghofur, MA, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah
memberikan bimbingan, masukan, dan arahan serta telah meluangkan waktunya
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Akhmad Shodiq, MA, selaku dosen pembimbing akademik Pendidikan
Agama Islam kelas B angkatan 2014
iv
5. Seluruh dosen beserta staf Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan
ilmu serta membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.
6. Teruntuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Adih dan Ibunda Norma Sumarnis
Wijaya yang telah merawat dengan kasih sayang, yang berjuang untuk
memberikan pendidikan yang tinggi kepada putranya, mendidik dengan sabar,
tulus dan ikhlas, selalu mendoakan anaknya dan memberikan yang terbaik
untuk anaknya.
7. Ustadz Sanwani Soehali, SS, selaku guru di majelis taklim yang setiap hari
memberikan ilmu dan motivasi agar penulis dapat menerapkan ilmu yang telah
(Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)”, maka teridentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Kurang etika komunikasi yang baik antara pendidik dan peserta didik
yang mengakibatkan peserta didik tidak mempunyai etika kepada
pendidik.
2. Minim model atau contoh yang menjadi panutan siswa di sekolah
dalam berakhlak dan bertingkah laku.
3. Pergaulan siswa yang sangat bebas dalam ruang lingkup sosial di
masyarakatnya yang berimbas menjadikan siswa kurang berakhlak di
sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Pada dasarnya, isi kandungan surat al-Kahfi ayat 60-82 mencakup berbagai
macam nilai-nilai pendidikan, di antaranya pendidikan akhlak, pendidikan
spiritual dan pendidikan emosional. Untuk itu, agar pembahasan penelitian
terfokuskan, maka penulis mengambil pembahasan yang berkaitan dengan
berbagai macam permasalahan di atas yaitu:
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak sebagaimana terkandung dalam kisah
Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-
82).
2. Konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak sebagaimana
terkandung dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian
tafsir surat Al-Kahfi ayat 60-82).
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identitas dan pembatasan masalah di atas maka masalah dalam
penelitian dapat dirumuskan:
1. Apa saja nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Nabi Musa AS dan
Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82)?
2. Bagaimana konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak
sebagaimana terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS
(kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82)?
8
F. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitan ini adalah:
1. Untuk meneliti nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-
82).
2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir
surat al-Kahfi ayat 60-82).
G. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini di antaranya sebagai berikut:
1. Bagi penulis adalah menjadi modal awal dalam mempelajari dan mengkaji
segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan akhlak dalam perspektif
Al-Qur’an dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang
ideal.
2. Bagi jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah untuk
dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam mengetahui
perspektif Al-Qur’an tentang pendidikan akhlak dan diharapkan dapat
memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam.
3. Bagi sekolah, sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan pendidikan
akhlak yang tepat.
4. Bagi guru dan orang tua, sebagai pedoman dalam menerapkan nilai-nilai
pendidikan akhlak dan sebagai contoh pedoman untuk membina akhlak
siswa/anak.
5. Bagi pembaca, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan dalam
pembenahan pendidikan akhlak yang semestinya.
9
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Nilai Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Nilai Pendidikan Akhlak
Nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “harga (dalam
arti taksiran harga), harga uang (dibandingkan dengan harga uang yang
lain), angka kepandaian; biji; ponten; banyak sedikitnya isi; kadar; mutu;
sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu
yang menyempurnakan manusia sesuai hakikatnya”.1
Istilah nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti hal-
hal atau sifat-sifat yang bermanfaat atau penting untuk kemanusiaan.2
Nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan sifat-sifat
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang penting atau
berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai
dengan hakikatnya.3
Dari penjelasan di atas maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa
nilai merupakan sesuatu yang baik dan berharga yang melekat di dalam diri
seseorang yang harus dijunjung tinggi dan diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pendidikan” berasal dari
kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan “pen” dan akhiran “an”, maka kata ini
mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara etimologi
definisi “pendidikan” diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), Ed. 3, Cet. II, h. 783. 2 Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 2005), h. 103 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Cet. II, h. 783 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., h. 263
10
Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.5
Hasbullah mengutip perkataan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Dasar-Dasar
Ilmu Pendidikian tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, maksudnya adalah pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.6
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses
pengembangan kepada peserta didik kepada perubahan akhlak, fisik dan kepribadian
sehingga mereka dapat mengembangkan potensi dan dapat memberikan kontribusi
yang baik bagi masyarakat dan bangsa serta negara.
Istilah akhlak memang dikenal sejak awal kelahiran Islam, seperti yang disabdakan
Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits shahih, riwayat Bukhori, Hakim dan
Baihaqi, diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut,
إنما بعثت ألتم م مكارم األخالق “Bahwasanya saya diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan kebaikan
akhlak.”7
Pengertian akhlak secara bahasa adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk
jamak dari kata khuluqun yang berarti tabiat, budi pekerti, al-‘adat (kebiasaan), al-
muru’ah (peradaban yang baik), al-din (agama).8 Dalam hal ini Ibn al-Jauzi (w. 597
H) sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar, menjelaskan bahwa al-Khuluq adalah
etika yang dipilih seseorang. Dinamakan khuluq karena etika bagaikan khalqah
(karakter) pada dirinya. Dengan demikian, khuluq adalah etika yang menjadi pilihan
5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra
Umbara, 2010), Cet. 1, h. 2-3 6 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), cet. 5, h. 4 7 M. Hasyim Syamhudi, Akhlak-Tasawuf dalam Konstruksi Piramida Ilmu Islam, (Malang: Madani Media,
2015), h. 1. 8 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 364.
11
dan diusahakan seseorang. Adapun etika yang sudah menjadi tabiat bawaannya
dinamakan al-Khaym.9
Pengertian di atas merupakan pengertian secara etimologi. Abudin Nata
menambahkan pengertian secara terminologi dalam bukunya Akhlak Tasawuf akhlak
adalah sifat yang tertanam kuat dalam jiwa dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, sehingga
hal ini sudah menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sesungguhnya, bukan karena sandiwara.10
Menurut al-Ghazali yang dikutip oleh Sayyid Kamal al-Haidari akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang
dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Jika suatu bentuk
memunculkan perbuatan-perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat,
maka bentuk itu dinamakan akhlak yang baik. Namun jika darinya muncul perbuatan
buruk, maka bentuk itu dinamakan akhlak buruk.11
Ahmad Amin dalam buku Etika sebagaimana dikutip oleh Hamzah Ya’kub
merumuskan pengertian akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.12
Jika diperhatikan dengan saksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak
sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi
pengertian akhlak tersebut dan dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu sikap
yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
Jadi nilai pendidikan akhlak adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi
kemanusiaan yang melekat pada pendidikan Islam, diperoleh melalui proses usaha
mendidik, membimbing, membina, dan membentuk pribadi manusia menjadi
berintelektual dan berbudi pekerti yang luhur sehingga perbuatan-perbuatan tertanam
kuat dalam jiwanya yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan
9 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 11. 10 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 4 11 Sayyid Kamal al-Haidari, Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyyah ar-
Ruhaniyyah: Buhuts Fi Jihad an-Nafs oleh Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustakan Hidayah, 2003), h. 59 12 Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, (Bandung: CV Diponegoro, 1983), h. 12
12
hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah SWT.
2. Ruang Lingkup Nilai Pendidikan Akhlak
Akhlak dalam agama tidak dapat disamakan dengan etika. Etika dibatasi oleh
sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan hal ini belum tentu terjadi pada
lingkungan masyarakat yang lain. Etika juga hanya menyangkut perilaku hubungan
lahiriah. Misalnya, etika berbicara antara orang pesisir, orang pegunungan dan orang
keraton akan berbeda, dan sebagainya. Akhlak mempunyai makna yang lebih luas
karena akhlak tidak hanya bersangkutan dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan
dengan sikap batin maupun pikiran.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intiya adalah
perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik
atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut, bahwa
objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut ditentukan baik atau buruk.13
Akhlak menyangkut berbagai aspek di antaranya adalah hubungan manusia
terhadap Allah dan hubungan manusia sesama mahluk (manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa) serta hubungan manusia
terhadap lingkungan.
a. Akhlak terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah pada prinsipnya dapat diartikan penghambaan diri
kepada-Nya atau dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai mahluk kepada Allah sebagai Khalik. Sebagai
mahluk yang dianugerahi akal sehat, kita wajib menempatkan diri kita pada posisi
yang tepat, yakni sebagai penghamba dan menempatkan-Nya sebagai satu-satunya
zat yang kita pertuhankan.
Ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah:
1) Allah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari
air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang
rusuk, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat ath-Thariq ayat 5-7
لب اء دافق يخرج من بين ٱلص فلينظر ٱلإنسن مم خلق خلق خلق من م
13 Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah), Cet. III, h. 2.
13
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan?, Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Dalam ayat ini Allah berfirman manusia diciptakan dari tanah yang
kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang
kokoh (rahim), setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging,
dijadikan tulang dan dibalut dengan daging dan selanjutnya diberi ruh,
sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 12-13.
كين ن طين ثم جعلنه نطفة في قرار م ولقد خلقنا ٱلإنسن من سللة م “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”
2) Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa
pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap, dan peraba, di samping
anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia
sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78.
مع هتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم ٱلس م ن بطون أ خرجكم م
أ وٱلل
فأدة لعل كم تشكرون بصر وٱلأ
وٱلأ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
3) Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
sebagainya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 12-13:
من مرهۦ ولتبتغواكم ٱلبحر لتجري ٱلفلك فيه بأ
ر ل ٱل ذي سخ ٱلل رض
ت وما في ٱلأ مو ا في ٱلس ر لكم م فضلهۦ ولعل كم تشكرون وسخ
لك أليت ل قوم يت نه إن في ذ رون جميعا م فك “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal
dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat
mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia
telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berfikir.”
14
4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan menguasai daratan dan lautan. Sebagaimana dalam al-
Qur’an surat al-Isra’ ayat 70:
ي بت ن ٱلط وٱلبحر ورزقنهم م منا بني ءادم وحملنهم في ٱلبر ولقد كر ن خلقنا تفضيلا م ي كثير م
لنهم عل وفض “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji
demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak
akan mampu menjangkau hakikat-Nya.14
b. Akhlak terhadap sesama manusia
Akhlak terhadap sesama manusia dapat dirinci lagi sebagai berikut:
1) Akhlak terhadap Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir dan kewajiban bagi
setiap manusia untuk beriman kepadanya. Iman tidak cukup dengan hanya
sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal
yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang bagaimana
bersikap terhadap Rasulullah SAW itulah yang dinamakan akhlak terhadap
Rasulullah SAW. Beberapa akhlak yang perlu kita tunjukkan kepada
Rasulullah SAW dalam buku Akhlak Hubungan Horisontal oleh M. Alaika
Salamulloh adalah sebagai berikut:
a) Mengimani dan Menjalankan Ajaran Rasulullah SAW
Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman kepada Rasulullah
SAW berserta risalah yang dibawanya. Makna mengimani ajaran
Rasulullah SAW adalah menjalankan ajarannya, mentaati perintahnya,
dan berhukum dengan ketepatannya.
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Hasyr 59:7
14 Moh. Ardani, Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001), cet, 1,
h. 43.
15
هل ٱلقرى فلل ه وللر سول ولذي ٱلقرب علي رسولهۦ من أ فاء ٱلل
أ ا م
غنياء بيل كي لا يكون دولة بين ٱلأ وٱليتمي وٱلمسكين وٱبن ٱلس
كم ٱلر سول فخذوه منكم وما ءاتى وٱت قوا ٱلل كم عنه فٱنتهوا وما نهى شديد ٱلعقاب إن ٱلل
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah SAW wajib kita
taati dan semua larangannya wajib kita jauhi.
b) Mencintai Rasulullah SAW
Wajib dan harus diutamakan melebihi kecintaan kita kepada sesama
mahluk. Bukti cinta kepada Rasulullah SAW tidak cukup dengan hanya
membaca shalawat, tetapi juga harus diwujudkan dengan tindakan
konkret, di antaranya adalah menjalankan ajaran Rasulullah SAW, rindu
untuk bertemu dengan Rasulullah SAW serta memperbanyak shalawat
dan pujian kepada Rasulullah SAW.
c) Meneladani Akhlak Rasulullah SAW
Karena sikap dan ketaatan beliau pada ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur’an menjadi bagian yang tak terpisahkan pada setiap suasana
kehidupannya, sehingga patutlah jika seharusnya kita sebagai umatnya
meneladani akhlak beliau.
Akhlak kepada Rasulullah SAW merupakan wujud kecintaan dan
ketaatan kita sebagai umatnya kepada sang pemimpin yaitu Rasulullah
SAW dengan mentaati, menjalankan perintahnya serta mengikuti jejak
beliau, manusia akan dijamin kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.
2) Akhlak terhadap Orang Tua
Allah memerintahkan kepada kita supaya senantiasa berbuat baik kepada
orang tua. Mereka berdua telah banyak berjasa kepada kita. Mulai sebelum
16
lahir hingga kita dewasa, tak pernah sedetik pun kasih sayang mereka
terlewatkan dari kita Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra’ 17 ayat 23:
ا يبلغن عندك ٱلكبر إم نا لدين إحس إي اه وبٱلو إل ا ل ا تعبدواوقضي رب ك أ
هما قولا كريما ولا تنهرهما وقل ل ف
و كلاهما فلا تقل ل هما أ
حدهما أ
أ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dalam buku Akhlak Horisontal karya M. Alaika Salamulloh terdapat
beberapa tuntunan akhlak yang perlu dipahami oleh setiap anak dalam
berinteraksi dengan orang tuanya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Mencukupi Kebutuhan Orang Tua
Dengan tegas Allah memerintahkan kepada kita bahwa setiap harta
yang kita peroleh wajib dinafkahkan kepada orang-orang yang berada di
bawah tanggungan kita, termasuk kepada orang tua. Bahkan orang tua
menduduki peringkat pertama dalam penerimaan nafkah ini. Allah SWT
berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 215:
لدين ن خير فللو نفقتم م لونك ماذا ينفقون قل ما أ
قربين و يسأ
ٱليتمي وٱلأ
بهۦ عليم بيل وما تفعلوا من خير فإن ٱلل وٱلمسكين وٱبن ٱلس Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada orang tua,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Akhlak ini berlaku pada anak yang sudah mandiri dan memiliki
penghasilan sendiri. Bahkan kalau sang anak sudah menikah dan
memiliki anak cucu, kewajiban tersebut tidaklah putus. Hendaklah ia
tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan
sang orang tua.
b) Patuh Menjalankan Perintah Orang Tua
Sebagaimana firman Allah SWT QS Luqman ayat 15
17
إون ن تشرك بي ما ليس لك بهۦ علم فلا تطعهماجهداك علي أ
إلي مرجعكم ثم ي ناب إل
وٱت بع سبيل من أ نيا معروفا وصاحبهما في ٱلد
نب ئكم ن بما كنتم تعملو فأ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
Berdasarkan penjelasan di atas taat dan patuh terhadap perintah
orang tua sepanjang perintah orang tua mengandung unsur kebaikan,
wajib hukumnya bagi sang anak mematuhinya. Akan tetapi, bila perintah
tersebut menjurus kepada kemaksiataan, maka anak tidak wajib taat.
c) Mendoakan Orang Tua
Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 24:
ياني صغيرا ٱرحمهما كما رب من ٱلر حمة وقل ر ب ل وٱخفض لهما جناح ٱلذ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Ayat di atas menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban anak untuk
mendoakan orang tuanya. Di antara doa yang dipanjatkan adalah semoga
Allah menyayangi kepada keduanya sebagaimana mereka
menyayanginya pada waktu kecil. Mendoakan orang tua adalah
kewajiban seorang anak, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal
dunia. Rasulullah SAW bersabda:
”Apabila anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal)
dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang
dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)
Sesungguhnya kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua tidak
akan pernah putus meski keduanya telah meninggal dunia, seorang anak
tetap wajib berbakti kepada mereka salah satunya dengan cara
mendoakan keduanya.
3) Akhlak terhadap Diri Sendiri
18
Setiap muslim meyakini bahwa nasib hidupnya di akhirat ditentukan oleh
perilakunya selama di dunia. Dengan mengerjakan kebaikan, berarti ia telah
menanam benih yang baik. Jika ia lebih senang menceburkan dirinya ke
dalam kubangan maksiat maka ia telah menanam benih yang buruk dan akan
menanggung akibatnya. Akhlak terhadap diri sendiri di antaranya adalah
memelihara diri baik lahir (jasmani) maupun batin (rohani).15
a) Dari sisi batin
Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang dapat membersihkan
jiwanya adalah iman dan amal saleh, sedangkan yang dapat mengotori
dan merusaknya adalah kemaksiatan dan kekafiran. Karena itulah orang
muslim dianjurkan untuk terus-menerus menjaga dan membersihkan
dirinya, menghiasinya dengan akhlak yang baik dan menyapunya dari
segala kotoran dan dosa.16
b) Dari sisi lahir
Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga kesehatan. Sebab
kesehatan adalah karunia dari Allah SWT dengan menjaga kesehatan
ragawi, berarti kita telah berakhlak mulia kepada diri sendiri. Salah satu
bentuk berakhlak baik terhadap jasmani adalah tidak mengonsumsi
makanan dan minuman yang dilarang Allah SWT karena setiap yang
dilarang oleh Allah SWT pasti di dalamnya terkandung keburukan.
Sebagai contoh, khamar. Dengan tegas Allah SWT melarang setiap
muslim meminum khamar. Sebab, meminum khamar dapat memberikan
dampak yang sangat buruk kepada kesehatan manusia, baik terhadap
pikiran maupun fisiknya. Dengan meminum khamar jaringan dan
metabolisme tubuh menjadi terusik sehingga kekebalan tubuh akan
menurun. Karenanya orang yang minum khamar sangat mudah terserang
penyakit.
4) Akhlak terhadap Karib Kerabat
Kerabat adalah orang-orang yang mempunyai pertalian keluarga dengan
kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun perkawinan. Kita harus
15 M. Alaika Salamulloh, Akhlak Hubungan Horizontal, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, 2009),
h.121-122 16 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI), 2001),
cet. 4, h.54
19
menjaga hubungan kekerabatan tersebut supaya tetap terjalin kuat dan tidak
terputus. Sebab, apabila tali kekerabatan kita terputus, maka tatanan keluarga
kita akan berantakan.
5) Akhlak terhadap Tetangga
Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita
adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan
bantuan jika kita membutuhkannya.
Beberapa akhlak yang perlu ditanamkan dalam bertetangga ialah:
1) Menjaga hubungan baik dengan tetangga. Minimal hubungan baik
dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau
menyusahkan mereka.
2) Saling mengunjungi
3) Saling menolong dalam keadaan senang maupun susah
4) Menghindari permusuhan.
6) Akhlak terhadap Guru
Kata guru biasa dipahami dengan arti digugu dan ditiru yang berarti
dipercaya dan dijadikan suri tauladan. Akan tetapi guru pada hakikatnya
adalah pendidik atau yang mendidik murid. Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan.17
Ada sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih besar kecuali
haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas
bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu
dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu
huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam
agama.”18
Termasuk menghormati guru ialah hendaknya seorang murid tidak
berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan tidak memulai bicara
17 Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pemerintahan RI
Tahun 2010Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Serta Wajib Belajar, (Bandung : Citra Umbara, 2010),
Cet. I, h. 2 18 Syekh Az-Zarnuji, Terjemahan Ta’lim Muta’alim Sebuah Panduan Bagi Para Penuntut Ilmu, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2009), h. 28
20
padanya kecuali dengan ijinnya. Hendaknya tidak banyak bicara di hadapan
guru. Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang capek atau bosan. Harus
menjaga waktu. Jangan mengetuk pintunya tapi sebaliknya menunggu sampai
beliau keluar.19
c. Akhlak terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di
sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak
bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Dalam pandangan Islam,
seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga
sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada mahluk
untuk mencapai tujuan penciptanya.20
Dengan tidak menyakiti, merusak dan mengganggu lingkungan sekitar berarti
kita telah menjaga amanah dari Allah SWT dan juga merupakan wujud syukur kita
kepada pencipta alam semesta terhadap apa yang telah dimiliki seseorang harus
diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga terwujud pribadi
yang berkarakter dengan kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
B. Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an
Secara bahasa, kata qashash berasal dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar yang
dipetik dari kata qashasha yaqushu qishashan yang secara etimologi berarti mencari
jejak.21 Sementara ulama mendefinisikan qishash sebagai menelusuri peristiwa/
kejadian dengan jalan menyampaikan/menceritakannya tahap demi tahap sesuai
dengan kronologi kejadiannya. Dapat ditambahkan bahwa penyampaian itu dapat
terjadi dengan menguraikannya dari awal hingga akhir, bisa juga dalam bentuk
bagian/episode-episode tertentu.22
Namun secara terminologi, menurut Manna al-Khalil al-Qathan mendefinisikan
qishashul Qur’an sebagai pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat-umat dahulu
19 Syekh Az-Zarnuji, ibid, h. 29 20 Abudin Nata, Op.cit, hal. 15 21 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah, 2007),
h. 354 22 M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsiri, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 319
21
dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Ayat yang
menjelaskan tentang kisah-kisah inilah yang paling banyak mendominasi ayat-ayat Al-
Qur’an dengan menunjukkan keadaan negeri-negeri yang ditempatinya dan
peninggalan jejak mereka.23 Hal ini diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan
menggunakan cara dan gaya bahasa yang menarik dan atau dengan cara shuratan
nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang
menyaksikan peristiwa itu).24
Dari pengertian yang dikemukakan di atas dipahami bahwa kisah-kisah yang
ditampilkan Al-Qur’an agar dapat dijadikan pelajaran dan sekaligus sebagai petunjuk
yang berguna bagi setiap orang beriman dan bertaqwa dalam rangka memenuhi tujuan
diciptakannya yaitu sebagai hamba dan khalifah bumi dan isinya. Serta memberikan
pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya agar dijadikan pelajaran
untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan
benar.
2. Macam-macam Kisah dalam Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi beberapa macam, di antaranya
sebagai berikut:
a. Dari Segi Waktu
Ditinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam Al-Qur’an ada tiga bagian, yaitu:
1) Kisah hal gaib yang terjadi pada masa lalu, seperti kisah tentang dialog
malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi (QS. Al-
Baqarah: 30-34), kisah tentang penciptaan alam semesta (QS. Al-Furqan:
59, QS. Qaf: 38), dan kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan
kehidupannya ketika di surga (QS. Al-A‘raf: 11-25).
2) Kisah hal gaib yang terjadi masa kini, seperti kisah tentang turunnya
malaikat pada malam Lailatul Qadr (QS. Al-Qadar: 1-5) dan kisah
tentang kehidupan mahluk-mahluk gaib seperti setan, jin, atau iblis (QS.
A’araf: 13-14).
3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti
kisah tentang akan datangnya hari kiamat (surat al-Qari’ah, surat az-
Zalzalah, dan lain sebagainya), kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat
23 Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 139 24 Ibid, h. 140
22
(surat al-Lahab), dan kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan
orang-orang yang hidup di neraka (surat al-Ghasyiah, dan lain
sebagainya).
b. Dari Segi Materi
Ditinjau dari segi materi kisah-kisah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
1) Kisah-kisah para Nabi.
2) Kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi masa lampau yang
tidak dapat dipastikan kenabiannya.
3) Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
Rasulullah.25
3. Tujuan-tujuan Kisah dalam Al-Qur’an
Salah satu elemen penting dari gaya Al-Qur’an adalah menerangkan berbagai
bahasan melalui contoh-contoh atau perbandingan-perbandingan. Semua ini kerap
diungkap dari kehidupan para Nabi atau Rasul terdahulu atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan. Karena itu, tipe-tipe kisah Al-Qur’an ini
mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda-tanda, dan pesan bagi umat
manusia.26 Orang-orang kafir menganggap kisah-kisah ini sebagai mitos dan legenda,
meskipun semua itu mengandung informasi pencerahan yang berharga dan berbagai
contoh bagi yang benar-benar beriman. Allah menerangkan setiap peristiwa yang
mungkin dan hukum-hukum yang berlaku di sepanjang masa dengan memberikan
contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi dari kehidupan para nabi dan bangsa-bangsa
terdahulu.27
Adapun tujuan-tujuan dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an, merenungkan dan memperhatikannya
akan menggiring kita untuk berpikir. Berpikir merupakan kerja akal di mana
manusia mengaktifkan daya pikirnya dan mendayagunakan akalnya, lalu
merenungkan episode-episode kisah yang memuat nasihat dan pelajaran. Al-
Qur’an menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil
pelajaran, dan ia mengajak kita dalam banyak ayat untuk berpikir dan
25 Ahmad Syadali dkk, Ulumul Qur’an II Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MkDK, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000), hal. 27-30 26 Harun Yahya, Misinterpretasi terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-
Bagaimana sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? Dengan
kata lain, tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya
bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan
situasi tertentu.33
2) Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.
Atau lebih jelasnya, alur merupakan peristiwa-peristiwa yang disusun satu
per satu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal
sampai akhir cerita.34
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa tiap peristiwa tidak berdiri sendiri.
Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain,
peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa
berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir.
3) Penokohan
Penokohan merupakan unsur penting dalam cerita. Dalam kajian kisah,
sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan
perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan
menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya
tidak menyarankan pada pengertian yang sama, atau paling tidak serupa.
Istilah penokohan lebih luas cakupannya daripada tokoh. Sebab ia
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh dalam cerita, bagaimana
perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
32 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 45 33 Ibid, h. 45 34 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al
Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26.
26
sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Masalah penokohan sekaligus menyarankan pada teknik
perwujudan dan pembangunan tokoh dalam sebuah cerita utuh.35
4) Latar
Robert Staton mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. 36
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk
memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demian,
pembaca merasa dipermudah mengoperasikan daya imajinasinya, di
samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan
dengan pengetahuannya tentang latar. 37
5) Sudut Pandang
Menurut M.H. Abrams, seperti dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, sudut
pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara
atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk karya kepada pembaca.38
Sudut pandang dapat dibedakan secara garis besarnya ke dalam dua
macam, yaitu persona pertama, first person, gaya “aku”, dan persona
ketiga, third person, gaya “dia”. Atau, menurut Brook dan Warren, sudut
pandang dibedakan dengan sebutan:
i. Narator bertindak sebagai tokoh dalam cerita yang meliputi: sebagai
tokoh utama yang menceritakan ceritanya; dan sebagai tokoh minor
yang menceritakan kisah tokoh utama.
ii. Narator bertndak bukan sebagai tokoh dalam cerita, yang meliputi:
pengarang sebagai orang ketiga yang mengisahkan cerita dan
menyusupi pikiran serta perasaan tokoh utama, dan pengarang dalam
menceritakan cerita itu hanya sebagai peninjau saja.39
35 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 166 36 Robert Staton, Op.cit, h. 35 37 Ni Nyoman Karmini, Op.cit, h. 68 38 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 248 39 Ni Nyoman Karmini, Op.cit, h. 70
27
5. Kisah Al-Qur’an dalam Pendidikan
Al-Qur’an tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat cerita muhamakamat yang
selalu menepati janji. Cerita itu mampu mengetuk imajinasi pembaca maupun
pendengarnya sampai akhir cerita itu dan bersifat mudah dicerna oleh akal manusia.
Cerita itu mampu menguraikan kepada hubungan perasaan tanpa ada rasa bosan dan
jenuh. Cerita itu pun mampu memberikan jawaban yang masuk pada elemen-elemen
akal. Maka dari itu, cerita itu mengumpulkan dari berbagai bidang cerita, baik yang
bersifat bunga dan buah.
Pelajaran-pelajaran dengan menggunakan metode mendikte dan berceramah akan
memberikan pengajaran yang bosan. Peserta didik akan merasa bosan untuk mengikuti
pelajaran-pelajaran yang menggunakan metode-metode tersebut dan merasa sulit
mengambil pelajaran. Metode-metode di atas juga membutuhkan waktu yang cukup
lama. Oleh karena itu, pendidik dalam bercerita harus menggunakan metode-metode
yang menarik minat peseta didik dalam belajar, memberikan manfaat kepadanya dan
juga memberikan faidah-faidah yang banyak.
Pada umumnya, ketika peserta didik diceritakan beberapa hikayat atau kisah-kisah
dalam belajar, mereka akan menundukkan kepalanya untuk mendengarkan kisah
tersebut. Bahkan merasa malu ketika mendengar kisah orang terdahulu. Sehingga
peserta didik akan memahami sesuatu yang diceritakan kepadanya dan mereka akan
menceritakan kembali kisah-kisah tersebut kepada teman sepermainannya.
Inilah hal yang terlihat ketika peserta didik diceritakan menggunakan metode-
metode yang menarik, maka seorang pendidik seharusnya menceritakan hal-hal yang
memberikan faidah kepada peserta didik di dalam menyampaikan materi-materi
pelajaran. Hal yang paling diutamakan oleh seorang pendidik dalam bercerita adalah
pelajaran agama dan akhlak, yaitu materi inti dalam pendidikan dan pendidik mampu
membimbing agama dan akhlak mereka yang menjadi bekal untuk kehidupannya.
Di dalam kisah-kisah Al-Qur’an terdapat kandungan menumbuhkan potensi-
potensi yang memberikan kesenangan pendidik dalam menceritakan kisah-kisah
tersebut, sehingga pendidik merasa berhasil dalam mendidik peserta didiknya. Kisah-
kisah tersebut juga memberikan efek jangka panjang dalam ingatan peserta didik untuk
menumbuhkan akhlak dan agamanya. Kisah-kisah tersebut berupa perjalanan para nabi,
kabar-kabar orang terdahulu dan sunnatullah untuk seluruh kehidupan di muka bumi
ini, ada juga keadaan-keadaan para imam terdahulu. Maka dari itu, seorang pendidik
dalam mencertikan kisah-kisah Al-Qur’an harus jujur dan benar.
28
Seorang pendidik dalam menceritakan kisah Al-Qur’an seyogyanya menggunakan
metode-metode yang sesuai dengan pelajaran yang sedang diajarkan kepada peserta
didik. Tidak hanya dalam bercerita, namun dalam semua pelajaran harus menggunakan
metode yang sesuai dengan materi yang diajarkannya. Inilah yang menjadi tolak ukur
keberhasilan seorang pendidik dalam menceritakan kisah-kisah Al-Qur’an yaitu
bertambahnya hal-hal yang bermanfaat dalam ingatan peserta didik baik ketika ia masih
muda ataupun sudah dewasa yang menjadi kebutuhannya nanti. Seperti kisah-kisah Al-
Qur’an yang diceritakan menggunakan metode-metode dalam memperbaiki adab
sehingga menjadi baik. Serta membutuhkan banyak analisa yang mendalam dan
mendukung proses pendidikan dalam membentuk kepribadian peserta didik.40
C. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan skripsi “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam
Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82”
adalah sebagai berikut:
1. Skripsi Siti Damayanti yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam
Perspektif Al-Qur’an Surat al-An’am Ayat 151-153” pada tahun 2017 di FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian ini, Siti Damayanti
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode library research (kajian
studi kepustakaan). Dalam pembahasan tafsirnya, penulis menggunakan metode
tafsir tahlili dengan sumber Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-
Misbah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diperoleh bahwa dalam ayat
tersebut terdapat beberapa nilai pendidikan akhlak, di antaranya: nilai ketauhidan,
birrul walidain, perlindungan terhadap anak dan keturunan, menjaga kehormatan
diri, perlindungan terhadap jiwa, memelihara (menyayangi) anak yatim, jujur dan
adil dalam perniagaan dan dalam kesaksian, menepati janji, serta taat dan patuh
pada peraturan.
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi di atas adalah terletak pada objek
kajian penelitian, yaitu dalam skripsi tersebut yang dikaji adalah QS. Al-An’am
ayat 151-153, sedangkan dalam penelitian yang akan penulis teliti membahas
tentang QS. Al-Kahfi ayat 60-82. Persamaan penelitian ini dengan skripsi di atas
adalah keduanya membahas ayat Al-Qur’an dengan fokus penelitian nilai-nilai
40
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Quran, (Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1073), h. 310-311
29
pendidikan akhlak dengan menggunakan metode tafsir tahlili.
2. Achmad Syarief, dalam skripsinya yang berjudul “Aspek-Aspek Pendidikan
Akhlak yang terdapat pada QS. Ali Imran ayat 133-136”, yang ditulis pada tahun
2012 di FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa ciri orang yang bertakwa yang meliputi sikap dermawan,
sikap sabar (baik dalam menahan amarah dalam memaafkan kesalahan orang lain
yang dilakukan atas dirinya) serta ajakan kepada orang-orang beriman untuk
bersegera bertaubat serta bersegera meminta ampun dari Allah SWT yang mana
di dalamnya Allah menjanjikan kepada orang-orang yang bertakwa tersebut akan
diberi imbalan yang berupa surga.
Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada adalah
objek penelitiannya, dan dalam skripsi ini surat, ayat, serta pemahaman dalam
nilai-nilai pendidikan akhlak surat al-Hujarat ayat 9-13. Di sini dapat terlihat di
mana letak persamaan dan perbedaan dalam pengkajiannya sehingga penulisan
skripsi yang akan disusun ini dapat relevan dan menjadi sumber bacaan yang dapat
dijadikan dasar pengetahuan atau referensi.
3. Rizal Faiz Muhammad, dalam skripsinya yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan
Islam dalam Al-Qur’an (Studi Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa AS), yang ditulis
pada tahun 2007 di FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa proses pembelajaran antara Nabi Khidir AS dan Nabi Musa
AS merupakan contoh pembelajaran bagi kehidupan manusia sekarang, di mana
pola keseimbangan dalam kehidupan agar selalu dijaga, antara materi dengan non-
materi, rasionalitas dengan spiritual dan teknologi dengan agama, karena dalam
kisah ini termuat kontribusi positif bagi dunia pendidikan yang dapat diambil
nilai-nilai pendidikan Islamnya.
Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada adalah
objek penelitiannya, dan dalam skripsi ini surat, ayat, serta pemahaman dalam
nilai-nilai pendidikan Islam. Di sini dapat terlihat di mana letak persamaan dan
perbedaan dalam pengkajiannya sehingga penulisan skripsi yang akan disusun ini
dapat relevan dan menjadi sumber bacaan yang dapat dijadikan dasar pengetahuan
atau referensi.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek penelitian yang penulis kaji yaitu tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah
Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat Al-Kahfi ayat 60-82). Adapun waktu
yang dilaksanakan pada penelitian ini dimulai pada bulan November 2018 dengan perkiraan
perencanaan penelitian sebagai berikut: pada bulan November dan Desember 2018 mencari dan
mengumpulkan data-data beserta referensi-referensi dari berbagai sumber, baik sumber primer
maupun sumber skunder. Selanjutnya, pada bulan Januari dan Februari 2019 proses
penganalisaan dari data-data yang telah dikumpulkan.
B. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian melalui
studi kepustakaan (library research).
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian
ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman
dalam buku Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek bahwa sumber data penelitian
kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah.
Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,
jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1
Sedangkan metode tafsir yang penulis gunakan adalah metode tafsir tahlili, tafsir
tahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat
dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam Mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian
metode ini mengurangi kosa kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran
yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
1 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada
Press, 2006), h. 80.
31
sesudahnya. Untuk itu semua merujuk pada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah
dan riwayat para sahabat dan tabi’in.2
Menurut Said Agil Husin al-Munawar dalam buku yang berjudul Ulumul Qur’an
Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan karya Anshori, terdapat empat aspek-aspek yang
perlu diperhatikan dalam menafsirkan ayat dengan menggunakan metode tahlili ini, di
antaranya:
a. Menjelaskan arti kata-kata (mufradat) yang terkandung di dalam suatu ayat yang
ditafsirkan.
b. Menjelaskan asbab an-nuzul, baik secara asbabi atau ibtida’i.
c. Menyebutkan kaitan ayat yang satu dengan ayat yang lain (munasabah al-Ayat) dan
hubungan antara surat dengan surat yang lain baik sebelum atau sesudahnya
(munasabah al-Surat).
d. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat tersebut, baik yang berkaitan
dengan hukum, tauhid, akhlak, atau yang lainnya. 3
2. Sumber Penelitian
Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang berkaitan
dengan tema yang diambil dalam penelitian ini, dengan mengambil sumber-sumber yang
bersifat primer, yakni dari kitab al-Qur’an dan tafsirnya. Seperti tafsir al-Misbah, tafsir
al-Maraghi, tafsir Fi Zilail Quran, dan tafsir al-Azhar. Adapun data yang bersifat sekunder
yaitu dari buku-buku yang membahas berkaitan dengan pendidikan akhlak, kisah-kisah
nabi dan buku-buku yang masih berkaitan dengan tema yang diambil oleh penulis.
C. Fokus Penelitian
Pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian mengenai isi kandungan surat Al-
Kahfi ayat 60-82, bagaimana kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terkandung dalam ayat
tersebut, serta nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.
D. Prosedur Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
2Said Agil Husin Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
cet.1, h. 69 3Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), cet.
I, h. 208
32
Dalam analisis data, penulis menggunakan dengan teknik pengumpulan data berupa
dokumen-dokumen, artikel-artikel, buku-buku yang terkait, beserta kitab-kitab tafsir,
yang kemudian penulis analisis untuk memperoleh data informasi yang berhubungan
dengan tujuan penelitian, maka sumber datanya meliputi:
a. Data Primer
Yaitu data yang berasal dari sumbernya, dalam hal ini adalah buku-buku yang
berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas. Jadi pendekatan yang
digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan tafsir tahlili. Melalui pendekatan ini
diupayakan untuk memahami makna yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-
82.
b. Data Skunder
Yaitu data yang tidak langsung yang berupa catatan-catatan atau buku-buku yang
berisikan pengetahun tentang Al-Qur’an, buku-buku tentang pendidikan, serta
sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan pembahasan.
2. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah cara peneliti untuk mendapatkan data yang akurat dari data-
data yang sudah dikumpulkan selama proses penelitian dengan cara menganalisis,
mengamati dan menyimpulkan data-data yang diperoleh atau bisa disebut sebagai reduksi
data. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, baik data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan dilokasi penelitian, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto dan
sebagainya. 4
Dalam menganalisis suatu data, penulis menggunakan metode tafsir tahlili dengan
beberapa langkah, di antaranya:
a. Penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dalam surat Al-Kahfi
ayat 60-82, yang mana dengan menjelaskan kosa kata terdapat dari masing-masing
b. Setelah menjelaskan kosa kata ayat per-ayat, kemudian penulis menjelaskan
munasabah atau hubungan dengan ayat-ayat yang masih berkaitan dengan kisah Nabi
Musa dan Nabi Khidir dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82.
c. Menjelaskan makna yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 dengan
dibantu dari penjelasan ayat atau hadits atau ilmu yang berkaitan dengan ayat
tersebut. Pada tahap ini penulis menjelaskan makna yang terkandung dalam surat Al-
Kahfi ayat 60-82 dengan menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadits-
hadits Rasulullah yang berkaitan dengan makna tersebut, serta buku-buku penunjang
seperti buku pendidikan akhlak. Selain itu pada tahap ini juga penulis menganalisis
nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82
sesuai dengan runtutan ayat.
d. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya mencari
kesimpulan dari surat Al-Kahfi ayat 60-82. Kesimpulan dari penelitian ini berkaitan
tentang apa saja isi kandungan surat Al-Kahfi ayat 60-82, bagaimana kisah Nabi
Musa dan Nabi Khidir yang terkandung dalam ayat tersebut, serta nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks Ayat dan Terjemahnya
ا ا بلغ م با فل ى حق مض
أ و
أ بحرين بلغ مجمع ٱل
ى أ برح حت
ا أ ى لفتىه ل ما مجم إوذ قال موس ع بلهۥ ا فٱت خذ سبي م ا من نسيا حوت د لقي لق غداءنا ا ءات لفتىه قال زا ا جاو سربا فلم فى ٱلبحر
نسىيه إل
أ وت وما فإن ى نسيت ٱلح خرة ص إلى ٱل ا وي
رءيت إذ أ
أ با قال نا هذا نص يطن ا ٱسفر لش ۥ ذكره
ن أ
صصا أ لى ءاثارهما ق ا ع ا نبغ فٱرتد لك ما ك قال ذ عجبا ۥ فى ٱلبحر سبيله وٱت خذ
و ا قال لهۥ م دن ا علم منه من ل نا وعل ن عد ة م ءاتينه رحم بادنا ن ع دا م ل فوجدا عب سى هكيف تصبر ع برا و دا قال إن ك لن تستطيع معى ص مت رش ا عل من مم ن تعل
ت بعك على أ
لى ما أ
بع ال فإن ٱت ق مرا
أ لك عصى
أ برا ولا ا ص ستجدنى إن شاء ٱلل ل برا قا بهۦ خ فلا تىلم تحط س قال ت ا ة خرق في ى إذا ركبا فى ٱلس كرا فٱنطلقا حت ه ذ حدث لك م
ى أ لى عن شىء حت
ى ت ش د جئ لق ا هل
ق أ تغر ا ل خرقت
ع م أ قل إن ك لن تستطي
لم أ
ل أ ا قا ل لا ا إمر ا قا ى صبر عقا لقيا غلما فقتلهۥ ى إذا ٱنطلقا حت مري عسرا ف
أ بما نسيت ولا ترهقى من خذنى قتلت ل تؤا
أ
ى ت ش قد جئ س ل نف ير ة بغ ك نفسا زكي ل ل ق
لم أ
ى صبرا ا ن كرا ۞قال أ ع مع إن ك لن تستطي ى إذا ذرا فٱنطلقا حت دن ى ع بلغت من ل بعدها فلا تصحبى قد لتك عن شىء
قال إن سأ تيا
أ
دا فوهما فوج ي ن يض
أ بوا
ا فأ هل
أ هل قرية ٱستطعما
ال لو أ ۥ ق قامه
فأ ن يقض
ا جدارا يريد أ فيا لم تستطع ع ويل م
تأ ب ئك ب ن
ك سأ ى وب ب ذا فراق ا قال ه جر
أ خذت عليه ت لت ا ل شئ ه صبر ي
كين يعملون س فكانت لم ة في س ا ٱل م
خذ أ
ك يأ ل ا وكن وراءهم م عيب
ن أ
أ ردت
فى ٱلبحر فأا وكفرا ي ا طغ م ن يرهق
أ ا ن فخش ي ه مؤم بوا
ن أ م فكا ا ٱلغل م
ا وأ غصب ة سفي ر كل
أ ن ف
أ دنا
يرا م ما خ ما رب ة وكن يبدل مدي مين فى ٱل كان لغلمين يتي لجدار ف ا ٱ م
ما وأ قرب رح
ه زكوة وأ
ا تخرجا كزهم ا ويس هم شد
أ يبلغا ن
ك أ راد رب
ا فأ لح بوهما ص
ن أ ا وك م ل ز ۥ ك ن تحته مة م رحليه صبرا ر ا لم تسطع ع ل م وي
مري ذلك تأ
ۥ عن أ ك وما فعلته ب
35
60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun".
61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya,
lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah
kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".
63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi,
maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke
laut dengan cara yang aneh sekali".
64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula.
65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.
66. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.
68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir
melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan
yang besar.
72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku".
73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih,
bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang
mungkar".
75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?"
76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka
janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku".
77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
36
hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera.
80. Dan adapun anak muda itu, maka orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang
yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan
bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
B. Tafsir Mufradat
1. Al-Huqubu (الحقب) : dengan mendhomahkan huruf ha’ dan qaf, atau huruf ha’ memakai
dhammah, sedangkan qaf memakai sukun. Jadi, bisa dibaca al-huqub, bisa jadi al-huqb:
masa. Ada yang mengatakan, satu huqub sama dengan 80 tahun. Sedangkan menurut Al-
Hasan 70 tahun.
2. Qasasan (قصصا) : mengikuti. Yakni seperti orang mengatakan: Asarahu, artinya
mengikuti dia.
3. Al-Ihatatu bisy-syai’i (ء حاطةبالشيا ( الا : mengetahui sesuatu dengan sempurna
4. Balagta min ladunni (لدن ىعذارابلغات (منا : kamu telah mendapatkan uzur dariku.
5. Qaryatun( ية قرا ) : sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ialah Antakiyah, atau
Abbillah, atau Nasirah. Kebenaran semuanya tidak bisa dipercaya.1
6. Shobron ( صبارا ) : menahan dari kesusahan. Dikatakan: aku menahan dari kesusahan
dengan hewan peliharaan, aku menahan dari kesusahan tanpa makanan hewan, dan aku
menahan dari si fulan. Sabar adalah menahan diri atas sesuatu yang memerlukan akal dan
hukum.2
1 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi 16, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1974), Edisi ke-2, h.
menyebutkannya, lalu aku terangkan kepadamu segi kekurangannya, karena
sesungguhnya aku tidak akan melakukan sesuatu kecuali yang benar dan dibolehkan.
Sekalipun pada lahirnya tidak diperbolehkan. Syarat khidir itu diterima oleh Musa demi
memelihara kesopanan seorang murid terhadap gurunya.33
Hamba saleh itu pun masih menekankan dan memperjelaskan permasalahannya. Ia
menyebutkan persyaratan dalam menemaninya sebelum memulai perjalanan. Yaitu,
Musa harus bersabar untuk tidak bertanya dan meminta penjelasan tentang sesuatu dari
perilaku-perilakunya hingga rahasianya terbuka sendiri baginya.34
Dalam penjelasan ini, Nabi Khidir mengajukan persyaratan kepada Nabi Musa
jikalau ingin menjadi muridnya. Syarat yang diajukan hanya Nabi Musa harus bersabar
untuk tidak bertanya. Nabi Khidir telah mengetahui bahwa Nabi Musa mempunyai sifat
tidak sabar jika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangannya. Maka dari itu
Nabi Khidir mengajukan persayaratan itu.
Di sisi lain, perlu dicatat bahwa jawaban hamba Allah yang saleh dalam menerima
keikutsertaan Nabi Musa AS sama sekali tidak memaksanya ikut. Beliau memberi
kesempatan kepada Nabi Musa AS untuk berpikir ulang dengan menyatakan “jika engkau
mengikutiku.” Beliau tidak melarangnya secara tegas untuk mengajukan pertanyaan
tetapi mengaitkan larangan tersebut dengan kehendak Nabi Musa AS untuk
mengikutinya. Dengan demikian, larangan tersebut bukan datang dari diri hamba yang
saleh itu, tetapi ia adalah konsekuensi dari keikutsertaan bersamanya. Perhatikan
ucapannya: “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.” Dengan ucapan ini,
hamba yang saleh telah mengisyaratkan adanya hal-hal yang aneh atau bertentangan
dengan pengetahuan Nabi Musa AS yang akan terjadi dalam perjalanan itu, yang boleh
jadi memberatkan Nabi Musa AS.35
Dan syarat yang dikemukakan gurunya ini pun rupanya disanggupi oleh Musa.
Dengan demikian terdapatlah persetujuan kedua belah pihak, guru dan murid dan sejak
saat itu Musa telah menjadi murid guru itu, atau Khidir dan mereka berjalan bersama.36
33 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 275-276 34 Sayyid Qutb, op.cit. h. 330-331 35 Quraish Shihab, op.cit, h. 101 36 Hamka, loc.it
49
Setelah Nabi Khidir mengajukan persyaratan kepada Nabi Musa dan Nabi Musa
menerima persyaratan itu. Sesuai tafsir di atas bahwa Nabi Musa sudah sah menjadi murid
dari Nabi Khidir. Perjalanan Nabi Musa bersama dengan gurunya dimulai. Namun Nabi
Musa tidak bisa berkomentar tentang alur perjalanannya karena sudah terikat dengan
peryaratan itu.
Penulis berpendapat bahwa dalam kesepakatan persyaratan yang diajukan oleh
Nabi Khidir kepada Nabi Musa ini terdapat sebuah perjanjian tata tertib dalam
pembelajaran. Jikalau tata tertib itu dilanggar maka akan berlaku sebuah hukuman. Nabi
Khidir menerapkan pembelajaran sikap disiplin dengan mengajukan persyaratan tersebut
kepada Nabi Musa.
Nabi Musa dan Nabi Khidir, pada pertemuan pertama antara Nabi Musa dan Nabi
Khidir dapat dipaparkan asal-usul Musa. Latar belakang Nabi Musa ini sekiranya menjadi
bahan masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan yakni pembinaan
akhlak. Nabi Musa yang awalnya bersikap sombong dengan ilmunya, ketika bertemu
dengan Nabi Khidir berbalik menjadi rendah hati dan tawadhu dalam situasi
bagaimanapun.
Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan berusaha untuk menerangkan apa yang
disepakatinya sebelum pemberangkatan. Dari hal ini terlihat bahwa Nabi Khidir
menggunakan metode uswatun hasanah atau memberi suri tauladan yang baik, yaitu
selalu disiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Ajaran tersebut merupakan bagian
dari akhlak yang baik dan dapat diambil sebagai pedoman bagi masyarakat muslim agar
selalu disiplin.
12. Ayat 71
ا خرقت
ل أ قا ا ة خرق في س ى ٱل ى إذا ركبا ف ى فٱنطلقا حت د جئت ش لق ا هل
ق أ تغر ا ل إمرا
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan
yang besar.”
Setelah usai pembicaraan pendahaluan sebagaimana dilukiskan ayat-ayat di atas,
dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang
50
dikehendaki. Musa pun menyetujui dengan penuh kerelaan. Maka, di hadapan kita
berputarlah episode awal dari kisah dua orang ini, maka berangkatlah keduanya yakni
Musa dan hamba Allah yang saleh itu menelusuri pantai untuk menaiki perahu.37
Mulailah Musa menyaksikan lautan dan akan pergi ke seberang sana, lalu
menumpang pada sebuah perahu, tetapi sebelum sampai ke tempat yang dituju dibuatnya
lobang pada perahu itu sehingga air bisa saja masuk, yang niscaya akan membawa perahu
karam. Lupalah Musa akan janjinya tidak akan bertanya kalau melihat suatu yang ganjil.
Bawaan dirinya yang asli keluar lagi dengan tidak disadarinya.38 Musa berkata kepada
Khidir, “Mengapa kamu melubangi kapal yang akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya. Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”
Kemudian Musa pun menanggalkan bajunya, lalu dia tambalkan pada lubang tersebut.39
Inilah contoh nyatanya pada diri Musa, yang telah diperingatkan sebelumnya
bahwa dia tidak mungkin bersabar menghadapi apa yang belum diketahui dan
dikuasainya. Namun, dia tetap ngotot dengan berazam untuk bersabar, memohon
pertolongan taufik dengan kalimat insya Allah, diperkuat pula dengan janji dan menerima
persyaratan Khidir. Namun, ketika Musa berhadapan dengan kenyataan lapangan
berkenaan dengan perilaku Khidir, dia dengan semangat menyala mengingkarinya.40
Berdasarkan penafsiran di atas, penulis berpendapat bahwa materi pertama yang
harus diterima Nabi Musa adalah sesuatu yang bertentangan dengannya yaitu perbuatan
Nabi Khidir merusak kapal sederhana. Nabi Musa secara sadar menanyakan perbuatan
itu kepada Nabi Khidir dan melanggar kesepakatannya di awal. Oleh sebab ini, sifat keras
kepala dan spontan itu keluar dari Nabi Musa dan tergembarkan dengan jelas.
13. Ayat 72
ى صبرا قل إن ك لن تستطيع مع
لم أ
قال أ“Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku".”
Khidir berkata, “Bukankah aku telah katakan padamu, hai Musa. Sesungguhnya,
kamu sekali-kali tidak akan mampu bersabar bersamaku terhadap perbuatan yang kamu
37 Quraish Shihab, op.cit, h. 102 38 Hamka, op.cit, h. 234 39 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 276 40 Sayyid Qutb, op.cit. h. 331
51
lihat dan aku lakukan.”41 Dengan penuh kesabaran dan kelembutan, hamba saleh itu
mengingatkan Musa dengan komitmen yang telah dinyatakannya sejak awal.
Baru saja itu yang pertama kali engkau melihat yang ganjil pada pemandanganmu
engkau sudah tidak sabar. Bukankah aku telah katakan sejak semula bahwa engkau tidak
akan sabar menurutkan daku. Sekarang hal itu sudah terbukti.42
Kelembutan dan sopan santun Nabi Khidir dalam mengingatkan Nabi Musa ini
yang menjadi keutamaan dalam cerita ini. Nabi Musa yang telah melanggar perjanjiannya
di awal, tetap diingatkan dengan sabar dan santun oleh Nabi Khidir. Inilah yang bisa kita
terapkan dalam mendidik murid yaitu sifat lembah lembut Nabi Khidir dalam
mengingatkan muridnya.
Nabi Khidir sebagai seorang pendidik mengenali masalah yang dihadapi oleh
muridnya, memiliki sikap kasih sayang, lemah lembut dan sabar, pemaaf. Ini terlihat
ketika Nabi Musa melanggar janjinya yaitu tidak akan bertanya tentang apa yang
dilakukan oleh gurunya, namun Nabi Khidir tidak memarahinya. Bahkan lebih dari itu,
Nabi Khidir mengingatkan kembali dengan rasa lemah lembut dan kasih sayang dengan
pernyataan yang sopan.
14. Ayat 73
مري عسرا
ن أ ما نسيت ولا ترهقى م خذنى ب قال لا تؤا“Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".”
Musa cepat-cepat meminta agar dimaafkan atas kealpaannya. Dia memohon agar
Khidir menerima uzurnya dan tidak membebaninya kesulitan dengan merujuk dan
memperingatkannya.43 Musa berkata kepada Khidir, “Janganlah kamu menghukum aku
karena kelalaianku untuk berserah diri kepadamu dan tidak mengingkari kamu. Dan
janganlah kamu membebankan kepakau suatu kesulitan dan janganlah kamu
menyempitkan urusanku ini. Janganlah kamu mempersulit aku untuk menigkuti kamu,
tapi mudahkanlah dengan membiarkan sesuatu dan tak perlu berdebat.”44 Nabi Musa
sadar bahwa ia telah melakukan pelanggaran dalam tata tertib pembelajarannya, maka
41 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it 42 Hamka, loc.it 43 Sayyid Qutb, loc.it 44 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it
52
dari itu secara sadar pula ia meminta maaf dan meminta keringanan untuk mengikuti Nabi
Khidir.
Di sini Musa mengakui terus-terang bahwa dia lupa. Dia lupa akan janjinya. Karena
baru sekali ini dia melihat hal sedahsyat itu. Disangkanya tidak akan sampai demikian.
Oleh karena itu, satu kelupaan dia pun memohon maaf. Dan berkata “Dan janganlah
engkau bebani aku karena kesalahanku ini dengan suatu kesukaran.” Artinya bahwa aku
mengakui kesalahanku ini. Sebabnya hanyalah karena lupa semata-mata. Aku meminta
maaf. Jangan engkau segera murka kepadaku, sehingga aku tidak boleh lagi mengikuti
engkau dalam perjalanan. Karena kalau demikian halnya, beratlah rasanya bebanku.
Syukurlah rasanya bagiku. Sebab aku tidak dapat lagi meneruskan menuntut ilmu.45
Dalam penjelasan ini, tergambarkan bahwa Nabi Musa mempunyai sifat tanggung jawab
atas perbuatannya. Nabi Musa meminta maaf kepada Nabi Khidir atas mempertanyakan
sesuatu hal yang tidak sesuai dengannya dan ini melanggar perjanjiannya.
15. Ayat 74
يا غلما ى إذا لق ى فٱنطلقا حت ت ش د جئ س ل ق ة بغير نف ي ت نفسا زك قتل
ل أ ۥ قا ا فقتله ن كرا
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar".”
Hamba saleh itu menerima uzurnya, sehingga tibalah penayangan episode kedua di
hadapan kita. Maka tersebutlah dalam riwayat Ibnu Abbas bahwa perjalanan itu mereka
teruskan, sehingga berjumpa dengan anak muda-muda bermain-main. Di antara anak-
anak muda yang sedang banyak bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh guru itu seorang
di antara mereka: “Sehingga apabila keduanya bertemu seorang anak muda, maka
dibunuhnyalah itu.” 46
Rupanya setelah kelihatan olehnya anak itu, terus dengan tidak banyak tanya lagi
anak itu dibunuhnya mati! Tentu sekali lagi Musa tercengang, Musa yang lekas meluap.
Musa yang selamanya tidak dapat menahan hati melihat perbuatan yang di luar garis:
45 Hamka, op.cit, h. 235 46 Hamka, op.cit, h. 236
53
“Dia pun bertanya: Adakah patut engkau membunuh satu jiwa yang masih bersih.” Satu
jiwa anak kecil yang masih suci bersih dan belum berdosa: “Dengan tidak ada sebab dia
membunuh orang.” Karena hukuman bunuh hanya dapat dilakukan kepada seseorang
yang membunuh orang lain, sebagai hutang nyawa bayar nyawa. Dan dengan terus-terang
Musa menyatakan tantangan atas perbuatan itu dengan katanya: “Sungguh engkau telah
berbuat suatu perbuatan yang munkar.”47
Penulis berpendapat terkait penafsiran di atas, bahwa Nabi Khidir melakukan
perbuatan yang sangat fatal yakni membunuh seorang anak kecil yang belum berdosa.
Setiap orang yang melihat perbuatan ini, pasti akan menanyakan kepada pembunuh anak
kecil itu, bahkan akan dihakimi di tempat tanpa ada prosedur hukum. Maka dari itu,
merupakan suatu hal yang wajar Nabi Musa menanyakan perbuatan Nabi Musa
membunuh anak kecil yang belum berdosa.
Pada kali ini, Musa tidaklah dalam kondisi lupa ataupun lalai, namun dia benar-
benar sengaja melakukannya. Dia benar-benar sengaja mengingkari perbuatan keji ini, di
mana dia tidak sabar atas kejadianya dan tidak pula mengetahui takwil penyebab-
penyebabnya. Sementara anak kecil itu yang menjadi korban pembunuhan, di mata Musa
tidak bersalah dan berdosa sedikit pun. Anak kecil itu tidak melakukan sesuatu yang
mengharuskan pembunuhan terhadapnya. Bahkan, dia sendiri belum baligh sehingga
harus bertanggung jawab dan dihukum atas segala perilaku yang berasal darinya.48
16. Ayat 75
ك إن ك لن تستطيع معى صبرا قل ل
لم أ
قال أ“Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?"
Sekali lagi hamba yang saleh itu mengingatkan Musa dengan persyaratan dan janji
yang telah disepakatinya. Dia mengingatkannya dengan pernyataan yang sama dengan
pernyataan pertama. Khidir berkata, “Bukankah aku telah katakan padamu, hai Musa.
Sesungguhnya, kamu sekali-kali tidak akan mampu bersabar bersamaku terhadap
perbuatan yang kamu lihat dan aku lakukan.”49
47 Hamka, ibid 48 Sayyid Qutb, op.cit, h. 332 49 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it
54
Dalam kesempatan kali ini, hamba saleh itu menetapkan dengan pasti bahwa dia
telah berkata kepada Musa dan tertuju langsung dengan pasti dan tepat kepadanya.
Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa kamu tidak akan sabar bersamaku, tapi
kamu tidak puas dan tetap ngotot ikut serta menemaniku dan kamu telah menerima
persyaratanku?50
Penulis berpendapat terkait tafsir di atas, Bahwa Nabi Khidir sudah berkata kepada
Nabi Musa sebelum Nabi Musa ingin berguru kepadanya. Nabi musa tidak akan sabar
berguru kepada Nabi Khidir, Kemudian Nabi khidir mengulangi perkataannya dengan
maksud untuk memperkuat Nabi musa, Apakah Nabi Musa itu benar-benar sanggup
mengikutinya atau tidak.
Nabi Musa berkali-kali bertanya kepadanya tentang pelajaran yang belum berhak
dipelajarinya secara tergesa-gesa. Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang dan
sabar bahwa muridnya ini tidak akan bersabar. Dari peristiwa tersebut terlihat bahwa Nabi
Musa memiliki sifat atau watak kurang bersabar dalam menunggu penjelasan gurunya
yaitu Nabi Khidir. Nabi Khidir pun mengajarkan kesabaran kepada muridnya agar
membiasakan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu.
Nabi Khidir tidak akan marah oleh karena kesalahan muridnya tersebut, melainkan
menegurnya dengan lemah lembut. Teguran halus, tulus, dan ikhlas inilah yang
menyadarkan akan kesalahan Nabi Musa dan menggugah rasa kesusilaannya.
17. Ayat 76
ذرا دن ى ع بلغت من ل ا فلا تصحبى قد بعده لتك عن شىء
قال إن سأ“Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka
janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku".”
Nabi Musa AS sadar bahwa dia telah melakukan dua kali kesalahan, tetapi tekadnya
yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan
terakhir. Untuk itu dia berkata: “Jika aku bertanya kepadamu wahai saudara dan temanku
tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah engkau menjadikan aku temanmu dalam
perjalanan ini lagi, yakni aku rela, tidak kecil hati dan dapat mengerti jika engkau tidak
menemaniku lagi. Sesungguhnya engkau telah mencapai batas yang sangat wajar dalam
50 Sayyid Qutb, loc.it
55
memberikan uzur kepadaku karena rela dua kali aku melanggar dan engkau telah dua kali
pula memaafkanku.51
Artinya, tahu sendirilah Musa bahwa kalau dia berbuat kesalahan memungkiri
janjinya sekali lagi, sudahlah sepatutnya jika dia tidak dibawa serta lagi. Uzur yang
diberikan guru itu kepadanya sampai tiga kali sudahlah sampai pada cukup.52
Penulis berpendapat terkait penafsiran di atas, bahwa seorang guru memiliki rasa
kasih sayang kepada muridnya, meskipun murid itu sudah melakukan kesalahan
kepadanya dan mengingkari janjinya terhadap guru. Guru tetap memberikan beberapa
kesempatan lagi untuk si murid agar menguji tingkat istiqomah dan kesabaran murid.
Nabi Musa dan Nabi Khidir terletak ketika Nabi Khidir membunuh seorang anak
kecil. Ditinjau dari pandangan lahir, perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela dan
dosa besar. Padahal dibalik itu terkandung hikmah bagi orang tuanya. Kedua orang tua
anak tersebut bahagia ketika anak mereka lahir dan sebaliknya mereka bersedih ketika
anak itu dibunuh. Padahal kalau anak itu tetap hidup niscaya ia akan menyesatkan kedua
orang tuanya. Oleh karena itu seorang hendaknya rela akan takdir Allah, karena takdir
Allah bagi seorang mukmin lebih baik dari apa yang disenanginya. Dan ini merupakan
salah satu bagian dari akhlak seorang mukmin.
18. Ayat 77
ا ا فوجدا في فوهم ي ن يض
وا أ ب
ا فأ هل
أ تطعما هل قرية ٱس
تيا أ
ى إذا أ دارا يريد ج فٱنطلقا حت ۥ قامه
فأ قض ن ي
ا أ جر
أ خذت عليه ت قال لو شئت ل
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding
rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata:
"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".”
Permintaan Nabi Musa AS kali ini masih dikabulkan juga oleh hamba yang saleh
itu. Maka setelah peristiwa pembunuhan itu keduanya berjalan lagi untuk kedua kalinya.
Mungkin sekali perjalanan itu sudah sangat jauh, sedang persediaan makanan tidak ada
lagi. Sebab itu mereka keduanya sudah sangat lapar: “Mereka keduanya meminta diberi
jamuan makan kepada penduduk negeri itu.” Berbuat baiklah kepada kami, hai isi
51 Quraish Shihab, op.cit, h. 105 52 Hamka, op.cit, h. 237
56
kampung karena kami adalah musafir tengah dalam perjalanan jauh, bermurah hatilah
memberi kami makanan, moga-moga Allah memberikan gantinya berlipat ganda bagi
tuan di sini: “Tetapi mereka tidak mau menjamu keduanya.” Kasar benarlah rupanya budi
penduduk negeri itu, bakhil dan kedekut.53
Dalam penjelasan tafsir di atas, penulis berpendapat bahwa terdapat sebuah
pelajaran yakni ketika ada seorang musafir di tempat kita tinggal, hendaknya kita
memberikan mereka sesuatu yang dibutuhkannya. Janganlah kita abaikan mereka karena
sesungguhnya mereka sangat membutuhkan kita sebagai saudaranya. Mungkin
perjalanan musafir itu diniatkan untuk menuntut ilmu dan menolong seorang ahli ilmu
sangatlah mulia di sisi Allah.
Kemudian Khidir menemukan sebah dinding yang hampir runtuh. Pernyataan itu
menggambarkan seolah-olah dinding itu hidup dengan memiliki kemauan dan
kehidupan.54 Lalu khidir mengusapnya dengan tangannya, sehingga dinding itu kembali
tegak lurus, maka hal ini menjadi salah satu mukjiztnya.55 Heran lagi Musa melihat
perlakuan gurunya itu, kita sudah lapar, orang tidak ada yang sudi menjamu: “Berkata
dia: “Jika engkau mau bolehlah engkau mengambil upah dari perbuatanmu itu.” Jika
engkau minta upahnya, sekurangnya dengan makanan untuk kita berdua, hilanglah
kelapan kita!56 Perbuatan Nabi Khidir ini yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-
hari yaitu menolong tanpa rasa pamrih untuk diberi sekalipun kita dalam keadaan
membutuhkan.
Sebenarnya kali ini Nabi Musa AS tidak secara tegas bertanya, tetapi memberi
saran. Kendali demikian, karena dalam saran tersebut terdapat semacam unsur pertanyaan
apakah diterima atau tidak, maka ini pun telah dinilai sebagai pelanggaran oleh hamba
Allah itu. Saran Nabi Musa AS itu lahir setelah beliau melihat dua kenyataan yang
bertolak belakang. Penduduk negeri enggan menjamu, kendati demikian hamba Allah itu
memperbaiki salah satu dinding di negeri itu.57
53 Hamka, loc.it 54 Sayyid Qutb, op.cit, h. 335 55 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 4 56 Hamka, loc.it 57 Quraish Shihab, op.cit, h. 106
57
19. Ayat 78
ا ه صبر لي ويل ما لم تستطع ع
تأ ب ئك ب ن
ك سأ ى وب ق ب فرا قال هذا “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Selesailah sampai di sini. Kita sudah mesti berpisah. Engkau diikat oleh janjimu
sendiri, jika bertanya lagi sekali, aku tidak akan membawamu serta lagi dalam perjalanan
ini. Tetapi sungguhpun demikian tidaklah akan aku biarkan saja pertanyaanmu itu tidak
terjawab: “akan aku beritakan kepada engkau arti perbuatan yang engkau terhadapnya itu
tak dapat sabar.” Akan aku terangkan semuanya kepada engkau.58
Telah tiga kali Nabi Musa AS melakukan pelanggaran. Kini cukup sudah alasan
bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan. Karena itu dia berkata: “Inilah masa
atau pelanggaran yang menjadikan perpisahan antara aku denganmu wahai Musa, apalagi
engkau sendiri telah menyatakan kesediaanmu kutinggal jika engkau melanggar sekali
lagi. Namun demikian, sebelum berpisah aku akan memberitahukanmu kepadamu
informasi yag pasti tentang makna dan tujuan dibalik apa, yakni peristiwa-peristiwa yang
engkau tidak dapat sabar terhadapnya.”59
Ayat ini menjelaskan tentang akhir perjalanan Nabi Musa menuntut ilmu kepada
Nabi Khidir, karena di kesepakatan awal Nabi Musa tidak akan menanyakan sesuatu
tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Meskipun begitu, Nabi Khidir memberikan
dispensasi kepada Nabi Musa. Namun, Nabi Musa selalu mengingkari janjinya itu dan
sampailah ia pada akhir perjalanannya. Nabi Khidir pun tidak lupa dengan janjinya untuk
menjelaskan perbuatan yang ia lakukan selama perjalanan kepada muridnya.
Terkait penjelasan tafsir di atas, penulis berpendapat bahwa sikap Nabi Khidir
dalam menepati janjinya merupakan janji seorang guru kepada muridnya. Di mana
seorang guru jikalau sudah melakukan perjanjian kepada muridnya, haruslah ditepati
karena itu merupakan contoh yang bisa diterapkan muridnya dalam kehidupan sehari-
harinya.
Permohonan Nabi Musa diterima gurunya, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Melihat
kejanggalan yang dilakukan oleh gurunya karena perbedaan pandangan, membuat Nabi
58 Hamka, op.cit, h. 237-238 59 Quraish Shihab, op.cit, h. 106-107
58
Musa bertanya lagi. Pertanyaan itu berarti pelanggaran atas tata tertib yang disepakatinya
di awal dan tibalah pula saat perpisahan di antara keduanya. Hukuman itu dijatuhkan
bukan merupakan balasan dendam karena ulah muridnya tapi merupakan wujud disiplin
yang mesti ditegakkan.
20. Ayat 79
ك ل ا وكن وراءهم م ب عي
ن أ
أ ردت
بحر فأ كين يعملون فى ٱل س م كانت ل ة ف في س ا ٱل م
أغصبا ة سفي ذ كل خ
يأ
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera.”
Mulailah dengan tenang guru itu menafsirkan rahasia dari ketiga perbuatanna itu:
“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di laut.”
Artinya bahwa perahu yang aku rusakkan atau aku beri cacat itu ialah kepunyaan nelayan
atau penangkap-penangkap ikan. Mereka itu sebagaimana kebanykan nelayan adalah
orang-orang miskin. Mencari ikan sekadar dapat akan dimakan. “Maka aku hendak
memberi cacat padanya.” Aku bocorkan perahu itu, “karena di belakang mereka ada
seorang raja yang mengambil tiap-tiap perahu dengan jalan sewenang-wenangnya.”60
Ringkasan, bahtera adalah milik kaum miskin yang lemah. Mereka
menggunakannya untuk mencari nafkah, maka dengan apa yang telah aku perbuat, aku
bermaksud menolong mereka dari apa yang mereka takuti dan tidak dapat mereka tolak,
yaitu seorang raja di hadapan mereka yang kebiasaannya merampas bahtera-bahtera yang
layak pakai.61
Pendapat penulis terkait tafsir di atas adalah Nabi Khidir menjelaskan perbuatannya
tanpa ada amarah kepada Nabi Musa. Nabi Musa yang notabennya selalu melanggar
janjinya, namun Nabi Khidir tetap santun dalam menjelaskan penjelasannya. Nabi Khidir
juga menggunakan bahasa yang lugas dan dapat dipahami muridnya.
21. Ayat 80
ا ا وكفر ا طغي م ن يرهق
ا أ ين فخش ؤم ه م بوا
فكان أ لغلم ا ٱ م
وأ
60 Hamka, op.cit, h. 239 61 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 8
59
“Dan adapun anak muda itu, maka orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran.”
Anak kecil itu tidak menampakkan sedikit pun dalam dirinya dan penampilannya
sesuatu yang mengharuskannya untuk dibunuh. Namun, tirai gaib tentang anak itu telah
menyingkapkan hakikat lain kepada hamba saleh itu. Ternyata watak dasar anak itu
adalah kafir dan zalim, tersimpan dalam dirinya benih-benih kekafiran dan kebiadaban.
Semakin hari hal itu semakin tampak dan terang. Sehingga, bila anak itu tetap hidup, pasti
mendurhakai kedua orang tuanya yang mukmin dengan kekafiran dan kebiadabannya.
Kemudian mengarahkan keduanya karena dorongan cinta keduanya kepadanya untuk
mengikuti jalannya. Maka, Allah pun berkehendak dan mengarahkan kehendak hamba-
Nya yang saleh untuk membunuh anak yang membawa watak-watak kafir dan biadab
tersebut.62
Ringkasan, sesungguhnya kami telah mengetahui bahwa jika anak muda itu telah
mencapai balig, niscaya dia akan mengajak kedua orang tuanya kepada kekafiran, lalu
mereka menyambut dan masuk bersamanya ke dalam agamanya, akibat mereka terlalu
cinta kepadanya.63
Perbuatan Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil yang belom berdosa
merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir dalam hukum syariat. Namun, Nabi Khidir
mempunyai penjelasan yang masuk akal tentang hal itu. Ia menyampaikan bahwa Allah
telah membukakan penglihatan tentang masa depan anak itu dan seandainya dia masih
tetap hidup akan mengakibatkan kebinasaan pada kedua orang tuanya.
22. Ayat 81
قرب رحما
وة وأ ه زك ما خيرا م ب ما ر بدل ن ي
ردنا أ
فأ“Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak
lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya
(kepada ibu bapaknya).”
62 Sayyid Qutb, op.cit, h. 336 63 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 9
60
Menurut suatu tafsiran dari Ibnu Juraij, seketika anak pertama itu dibunuh Khidir,
ibunya sedang mengandung. Dan setelah anak itu lahir, ternyata menjadi seorang anak
Muslim yang shalih.64
Sekiranya urusan itu hanya disandarkan kepada ilmu nyata dari seseorang, maka
yang tampak hanya penampilan luar dari anak kecil itu. Sehingga, hamba saleh itu tidak
punya hak dan legalitas untuk membunuhnya karena dia tidak melanggar apa pun yang
membuatnya berhak untuk dibunuh menurut syariat. Bukanlah hak selain Allah dan selain
hamba-Nya yang kepadanya dibukakan sedikit ilmu gaib-Nya untuk memutuskan hukum
atas seseorang berdasarkan faktor-faktor gaib yang terungkap kepadanya dari orang itu.
Dia juga tidak berhak menetapkan hukum berdasarkan ilmu gaib-Nya tanpa
mengindahkan ketentuan hukum syariat yang lahiriah. Kasus yang ada dalam kisah ini
merupakan urusan Allah berdasarkan ilmu-Nya yang gaib dan sangat dalam.65
23. Ayat 82
بوهما ص
أ ما وكن ز ل كن تحتهۥ ك ة و مدي ين يتيمين فى ٱل فكان لغلم ا ٱلجدار م
لحا وأم
فعلتهۥ عن أ ا ك وم ب ن ر ا رحمة م هما ويستخرجا كزهم د ش
أ ن يبلغا
ك أ راد رب
ي فأ ر
ليه صبرا ا لم تسطع ع ل م وي
ذلك تأ“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan
bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".”
Keterangan pertama ini memberikan isyarat pada kita bahwa dinding itu adalah
bangunan pusaka dari seorang ayah yang telah meninggal dunia dan meninggalkan dua
orang anak yatim. Dan sebagai kita maklum, anak-anak disebut yatim ialah sebelum
mereka dewasa. Maka ketika Musa dan gurunya itu melewat ke kampung tersebut,
mereka masih kecil-kecil. “Dan di bawahnya ada harta terpendam kepunyaan keduanya.”
Konzun kita artikan harta terpendam. Yaitu harta kekayaan yang terdiri dari emas dan
perak yang biasa dikuburkan oleh orang yang telah meninggal di dalam tanah, kalau digali
oleh orang yang datang kemudian akan bertemu dan menjadi kekayaan mereka. “Dan
64 Hamka, op.cit, h. 240 65 Sayyid Qutb, op.cit, h. 336-337
61
kedua ayah-bunda mereka adalah orang yang shalih.” Merekalah yang menguburkan
harta terpendam itu. Maka kasihanlah saya kepada kedua anak yatim itu jika harta
terpendam pusaka orang tua mereka tidak sampai ke tangan mereka, karena jauh
tertimbun dalam tanah, karena tanah tempat dia terpendam dihimpit lagi oleh dinding.
“Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampatlah kiranya kedewasaan mereka
dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka.”66
Hamba saleh itu membebaskan diri dari segala campur tangan dalam perkara itu.
Itu semua merupakan rahmat Allah, yang mengatur perilaku itu. Semua itu adalah urusan
Allah, yang mengatur perilaku itu. Semua itu adalah urusan Allah, bukan urusannya.
Allah telah membukakan kepadanya pintu-pintu gaib dalam masalah ini dan masalah-
masalah sebelumnya. Dia mengarahkannya kepada tindakan itu sesuai dengan ilmu gaib
yang dibukakan kepadanya.67
Demikian Nabi Khidir itu mampu menyingkap tabir rahasia perbuatan-
perbuatannya yang merupakan gaib yang tidak disingkap Allah, kecuali hamba-hamba-
Nya yang Dia pilih. Dalam keterpakuan Nabi Musa mendengar rahasia itu, kisahnya
ditutup tanpa menjelaskan ke mana perginya Nabi Khidir itu.
D. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82 serta
Implementasinya dalam Pendidikan
Dalam kelompok ayat ini, ada beberapa nilai-nilai akhlak dapat dipetik dari tafsir di atas,
di antaranya adalah tawakal, tawadhu, disiplin, bersungguh-sungguh dalam menutut ilmu, dan
sabar.
1. Tawakal
Konsep tawakal tercermin dalam penjelasan Hamka dalam tafsirnya ayat 81,
“Maka inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Tuhan keduanya dengan (anak)
yang lebih baik dari dia.” Hamka menafsirkan bahwa sangatlah kita mengharapkan
moga-moga Allah akan segera mengganti anak yang telah mati itu dengan anak yang
shalih yang akan menenangkan hati kedua orang tuanya yang beriman dan shalih itu, yang
lebih baik dari dia. “Tentang kebaktian dan lebih dekat tentang hubungan keluarga.”
66 Hamka, loc.it 67 Sayyid Qutb, op.cit, h. 337
62
(ujung ayat 81) ditunjukkan dalam ayat ini sikap tawakal nabi Khidir tentang anak
pengganti yang akan lahir itu. Yaitu yang mempunyai keistimewaan.68
Secara harfiah, tawakal berasal dari kata wakala yang artinya menyerahkan,
mempercayakan, atau mewaikili urusan kepada orang lain. Tawakal adalah menyerahkan
segala perkara dan usaha yang dilakukan kepada Allah swt, serta berserah diri sepenuhnya
kepada-Nya untuk mendapatkan kemaslahatan atau menolak kemudharatan.
Tawakal merupakan salah satu ciri orang yang beriman, bahkan Muhammad bin Abdul
Wahab, seorang ulama Arab Saudi menyatakan seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi
Hukum Islam bahwa tawakal merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak tertinggi
keimanan.69
Menurut Abu Bakar al-Jazairi, tawakal adalah perbuatan dan harapan dengan
disertai hati yang tenang, jiwa yang tenang, dan keyakinan yan kuat bahwa apa yang
dikehendaki Allah pasti terjadi, atau apa yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Allah
ta’ala tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.70
Implementasi sikap tawakal dalam dunia pendidikan bertujuan agar manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang lain
dan masyarakat. Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
dikatakan oleh M.Arifin bahwa tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi
kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku
khalifah di muka bumi, yaitu sebagai berikut:
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan
masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan
kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup
sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah dengan dilandasi sikap
hubungan yang harmonis pula.71
68 Hamka, Op.cit, . 240 69Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al-Qalam, 2007), h. 52 70Ahmad Yani, Ibid. h. 53 71 Muzayyin Arifin, op.cit, hlm. 121.
63
2. Tawadhu
Konsep tawadhu tercermin dalam penjelasan Hamka dalam tafsirnya ayat 66, yaitu
alangkah sopan adab yang ditunjukkan oleh seorang Nabi Allah ini. Musa memohon
penjelasan pemahaman tanpa memaksa, dan ia mencari ilmu yang dapat memberikan
petunjuk dari hamba saleh yang alim ini. Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa
sehingga menunjukkan sikap ketawadhuan Nabi Musa setelah menyediakan diri menjadi
murid dan mengakui di hadapan guru bahwa banyak hal yang dia belum mengerti.
Kelebihan ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai dia mengerti sebagai
seorang murid yang setia.72
Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah lembut. Dan ini
tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji melainkan bila dibarengi karena
mengharap wajah Allah Azza Wa Jalla. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah SWT mengangkat derajatnya di
mata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu karena maksud
utama perilakunya itu didasari agar mulia di mata orang dan sikap seperti itu menghapus
tawadhu yang sebenarnya.73
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mendefinisikan tawadhu yaitu merendahkan diri
terhadap kebenaran, tunduk kepadanya, dan menerimanya dari orang yang
mengatakannya. Tunduk terhadap kebenaran adalah kemuliaan yang sebenarnya karena
ia adalah taat kepada Allah SWT, kembali kepada kebeneranan dan membiasakan diri
agar tidak terus-menerus di atas kebatilan.74
Rasulullah merupakan contoh yang paling ideal dalam hal bertawadhu, lemah
lembut, bersahaja, berakhlak mulia dan berlapang dada. Pernah suatu ketika, Nabi
berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau berhenti kemudian
mengucapkan salam dan melontarkan sebuah candaan.75
Sikap tawadhu atau sikap rendah hati ini harus selalu ditanamkan dalam hati sebagai
sarana untuk mematahkan sikap sombong atau takabbur yang mungkin saja bersemayam
72 Hamka, op.cit, h. 232 73 Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Sifat Tawadhu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, (Islam
House: Riyadh), h. 4 74 Mahmud Muhammad al-Khazandar, Tawadhu’, (Riyadh: Maktab Dakwah, 2008), h. 5 75 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1999), h. 216.
64
di dalam hati murid yang menuntut ilmu di sekolah atau di manapun. Dalam hal ini untuk
membentuk sikap tawadhu siswa, guru harus mempunyai kepribadian yang bisa dijadikan
teladan oleh para siswa dan guru yang lain. Menjadi guru PAI sangat penting tidak hanya
menyampaikan pengetahuan kognitif saja melainkan membentuk moral dan nilai luhur
kepada pribadi siswa khususnya dalam hal ketawadhuan. Keteladanan guru dalam
membentuk sikap tawadhu siswa meliputi:
a. Kepribadian yang baik, berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan, maksudnya guru
PAI harus bertindak sesuai dengan norma religius, iman, taqwa, jujur, ikhlas, suka
menolong dan memiliki perilaku yang diteladani siswa.
b. Kepribadian disiplin, maksudnya guru PAI harus lebih memberikan contoh kepada
siswa agar bisa disiplin, karena banyak perilaku siswa yang kadang tidak sesuai
dengan sikap moral yang baik.
c. Kepribadian teladan bagi siswa, seorang guru PAI harus bisa menjadi teladan yang
baik, santun dalam berbicara dan sopan dalam bertingkah laku.76
3. Sabar
Akhlak ini tercerminkan dalam surat Al-Kahfi ayat 75:
ك إن ك لن تستطيع معى صبرا قل ل
لم أ
قال أ
“Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?"
Di dalam ekspedisi Nabi Musa dengan Nabi Khidir, Nabi Musa berkali-kali bertanya
kepadanya tentang pelajaran yang belum berhak dipelajarinya secara tergesa-gesa.
Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang dan sabar bahwa muridnya ini tidak akan
bersabar. Dari peristiwa tersebut terlihat bahwa Nabi Musa memiliki sifat atau watak
kurang bersabar dalam menunggu penjelasan gurunya yaitu Nabi Khidir. Nabi Khidir pun
mengajarkan kesabaran kepada muridnya agar membiasakan diri untuk tidak tergesa-gesa
dalam menghukumi sesuatu.
Secara harfiah, sabar berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran yang artinya
menahan atau mengekang. Sabar dalah menahan diri dari bersikap, berbicara, dan
76 E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009), hlm.
121.
65
bertingkah laku yang tidak dibenarkan oleh Allah swt. dalam berbagai keadaan yang sulit,
berat, dan mencemaskan. Sabar juga bermakna ketabahan dalam menerima suatu
kesulitan dan kepahitan, baik secara jasmani seperti menanggung beban dengan badan
berupa beratnya suatu pekerjaan, sakit, dan sebagainya, juga sabar secara rohani seperti
menahan keinginan tidak benar.
Kata sabar mengandung makna yang luas dalam berbagai keadaan, sehingga
istilahnya berbeda-beda. Ketika seseorang mendapatkan musibah-musibah, dia harus
bersabar. Ketika seseorang hidup berkecukupan atau berlebihan, dia harus mengendalikan
hawa nafsu yang disebut dengan zuhud. Jika seseorang menghadapi peperangan,
kesabarannya disebut syaja’ah (berani). Jika seseorang marah kesabarannya adalah lemah
lembut (al-Hilmu). Jika seseorang menghadapi bencana, sabarnya adalah lapang dada,
jika menyimpan perkataan (rahasia), sabarnya adalah kitmaanus-sirri, jika memperoleh
sesuatu yang tidak banyak, sabarnya adalah qana’ah (menerima).77
Nurkhalis Madjid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Nur, menekankan
pengertian sabar pada kesanggupan untuk memikul penderitaan, karena berharap kepada
Allah untuk meraih kemenangan di masa depan. Karena harapan itu ibarat pelampung
yang mengambangkan kita dalam lautan dan gelombang kehidupan yang tidak menentu
ini. Kita berani hidup karena ada harapan. Sesuatu yang kita inginkan ternyata tidak
terjadi hari ini maka kita mash harapkan terjadi besok atau lusa atau minggu depan atau
bulan depan atau tahun depan dan seterusnya. Apabila yang kita inginkan tidak juga
terwujud maka janganlah bersikap pesimis atau berpikiran negatif dan menuduk bahwa
Tuhan tidak adil. Pikiran pesimis-negatif akan membuat kita mengalami kebangkrutan
rohani, dan oleh sebab itu kita harus mengganti pandangan pesimistis-negatif dengan
pandangan optimistis-positif karena apapun yang terjadi pasti ada hikmahnya. merupakan
kesombongan yang tidak masuk akal jika ingin mengetahui kehendak Tuhan. Tuhan
Maha Kuasa dan Maha Besar sedang kita mahluk yang lemah dan tidak mungkin
mengetahui segala sesuatu yang dikehendaki Allah.78 Apabila kita mendapat suatu cobaan
dari Tuhan, maka kita jangan berfikiran negatif, melainkan kita harus bersabar
menerimanya sebab sikap sabar dapat membuat kita tidak kehilangan akal sehat.
77 Ahmad Yani, loc.it, h.125 78 Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Cara Sufi, (Jakarta: Gugus Lintas Wacana, 2005), cet. 1, h.12-15
66
Sikap sabar bisa dibangun atau diciptakan oleh seorang siswa di sekolah apabila
pendidik menggunakan strategi pembelajaran yakni strategi pembelajaran efektif.
Strategi ini bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, melainkan
juga sikap dan keterampilan berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Kemampuan afektif
berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama,
disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan
mengendalikan diri. Maka strategi ini sulit diukur karena menyangkut kesadaran
seseorang yang tumbuh dari diri.
Proses pembentukan sikap dalam strategi afektif adalah dengan pola pembiasaan dan
pemodelan. Berikut uraiannya:
a. Pola pembiasaan, dalam proses pembelajaran di sekolah baik disadari atau tidak, guru
akan menanamkan sikap tertentu kepada siswa yang setiap kali menerima proses
pembiasaan.
b. Pemodelan, dilakukan melalui proses pembentukan sikap yang dilakukan melalui
proses asimilasi atau proses percontohan yang dilakukan.79
4. Disiplin
Akhlak disiplin tercermin dalam penjelasan Sayyid Qutb dalam kitabnya, yaitu Nabi
Musa berintrospeksi diri dan menyadari bahwa dia telah melanggar janjinya dua kali, dan
dia tetap lupa akan janjinya walaupun telah diperingatkan dan disadarkan. Maka, dia pun
sadar untuk mendisiplinkan dirinya sesuai dengan janjinya di awal perjalanan dan
terdorong untuk memutuskan mutlak atas dirinya dan menjadikan kesempatan berikutnya
(kalau diizinkan) menemani hamba itu sebagai peluang terakhir.80
Disiplin pada hakikatnya adalah suatu unsur paling penting dalam keseluruhan
perilaku dan kehidupan baik secara individual maupun kelompok. Dengan disiplin,
perilaku seseorang individu atau kelompok akan lebih serasi, selaras dan seimbang
dengan tuntutan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menunjang terwujudnya kualitas
hidup yang lebih bermakna.
79 Nunuk Suryani, Strategi Belajar Mengajar, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h.106 80 Sayyid Qutb, ibid
67
Disiplin berasal dari bahasa Latin dicscere yang berarti belajar. Dari kata tersebut
timbul kata disciplina yang berarti pengajaran atau pelatihan. Perkembangan bahasa terus
bergulir sehingga kata disiplin memiliki beberapa pengertian. Pertama, disiplin diartikan
sebagai kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan dan pengendalian.
Kedua, disiplin merupakan sikap kejiwaan atau sikap mental yang mencerminkan tingkah
laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap
peraturan, ketentuan, etika, norma dan kaidah yang berlaku. Ketiga, disiplin merupakan
latihan jiwa yang bertujuan agar diri dapat berperilaku tertib.81
Jikalau kita melihat dari peristiwa proses Nabi Musa menuntut ilmu kepada Nabi
Khidir, terlihat bahwa Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan berusaha untuk
menerangkan apa yang disepakatinya sebelum pemberangkatan. Dari hal ini terlihat
bahwa Nabi Khidir menggunakan metode uswatun hasanah atau memberi suri tauladan
yang baik, yaitu selalu disiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Ajaran tersebut
merupakan bagian dari akhlak yang baik dan dapat diambil sebagai pedoman bagi
masyarakat muslim agar selalu disiplin.
Di sisi lain, Nabi Khidir menerapkan tata tertib kepada Nabi Musa yang bertujuan
agar Nabi Musa bisa menjadikan kesepakatannya di awal sebagai sikap disiplin untuk
Nabi Musa sendiri. Ini terlihat dengan kesadaran Nabi Musa akan kesalahannya sendiri
yang tercermin dalam permohonannya yang terakhir sebagaimana tercantum dalam ayat
76: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah
kamu membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau telah memberikan uzur
kepadaku.”
Permohonan Nabi Musa diterima gurunya, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Melihat
kejanggalan yang dilakukan oleh gurunya karena perbedaan pandangan, membuat Nabi
Musa bertanya lagi. Pertanyaan itu berarti pelanggaran atas tata tertib yang disepakatinya
di awal dan tibalah pula saat perpisahan di antara keduanya. Hukuman itu dijatuhkan
bukan merupakan balasan dendam karena ulah muridnya tapi merupakan wujud disiplin
yang mesti ditegakkan.
81 Fahmi Irhamsyah dkk., Pendidikan 18 Karakter Bangsa, (Jakarta: Mustika Pustaka Negeri, 2016), jil. 2, h.
19
68
Penerapan atau pembetukan sikap disiplin dalam pendidikan formal ini bisa
diterpakan melalui beberapa unsur, di antaranya:
a. Pengetahuan, maksudnya sejauh mana seseorang mengetahui dan memahami
perbuatan yang seharusnya dilakukan sehingga dikatakan berdisiplin dan mana yang
perbuatan yang tidak berdisiplin. Dengan demikian orang tersebut dapat mengetahui
akibat dari perbuatannya: akibat positif bagi yang berdisiplin dan negatif bagi yang
sebaliknya. Misalnya dengan menghormati guru maka akan disayangi guru,
melanggar perintah guru maka akan mendapat sanksi, menghargai hak orang lain
maka tidak akan dikucilkan, namun apabila tidak menghargai orang lain maka akan
dikucilkan.
b. Kesadaran moral (moral conciouness) driyarkara menjelaskan sebagai berikut:
“Moral adalah suatu keseluruhan asas dan nilai yang berkenaand dengan baik dan
buruk.” Misalnya tidak berbuat asusila, tidak meminum-minuman keras,
menghormati orang tua, menghormati guru, dan lain-lain.
c. Pengendalian diri (control). Hal ini berkaitan dengan sejauh mana sikap seseorang
terhadap berbagai alat kontrol seperti tata tertib, dan atau peraturan. Misalnya tidak
menyontek, menghargai teman, mengutamakan kepentingan bersama, dan lain-lain.
d. Kehendak dan kebebasan untuk memilih perbuatan. Terdapat dua macan kehendak
yaitu positif dan negatif. Kehendak positif adalah kehendak seseorang yang bersedia
berbuat dan mengerjakan sesuatu sesuai dengan aturan atau norma yang ada.
Sebaliknya kehendak negatif adalah seseorang yang tidak mau mengerjakan sesuatu
sesuai dengan peraturan norma yang ada. Misalnya norma agama, norma kesopanan,
dan norma kesusilaan.82
5. Bersungguh-sungguh dalam Menuntut Ilmu
Konsep bersungguh-sungguh ini tercermin dalam penjelasan Sayyid Qutb dalam
tafsirnya, yaitu kita dapat memahami dari arahan kisah ini bahwa Nabi Musa memiliki
target dari perjalanannya yang direncakan dengan kuat ini. Musa bermaksud mencapai
sesuatu dari perjalanan ini. Dia mempermaklumkan keinginannya dan bersungguh-
sungguh untuk mencapai pertemuan dua laut itu walaupun harus menghadapi kesulitan
yang sangat besar dan harus ditempuh dalam waktu yang sangat lama. Dia menyatakan
82 N. Driyakarya, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT. Pembangungan, 1962). h. 54
69
cita-citanya tersebut dengan apa yang diceritakan oleh Al-Qur’an sendiri dari firman
Allah, “Atau aku akan berjalan sampai waktu bertahun-tahun.”83
Para penuntut ilmu haruslah bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti
yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang
sungguh-sungguh untuk mencari (keridhoanku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan
mereka kepada jalan-jalan menuju keridhoan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-
sungguh mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk
pintu, dan maju terus, tentu bisa masuk.
Dengan kadar sengsaramu dalam berusaha kamu akan mendapat apa yang akan kamu
dambakan. Dikatakan bahwa belajar dan memperdalam ilmu fiqih itu dibutuhkan adanya
kesungguhan dari tiga orang, kesungguhan murid, guru dan orang tua bila masih hidup.
Ustadz Sadiduddin mengalunkan syair gubahan Imam Syafi’i kepada muridnya:
“Kesungguhan itu dapat mendekatkan sesuatu yang jauh, dan bsa membuka pintu yang
terkunci. Sungguh sangat banyak orang yang bercita-cita luhur bersedih, karena diuji
dengan kemiskinan. Barangkali sudah menjadi suratan takdir dan keputusan Allah, bahwa
banyak orang cerdas tapi miskin dan banyak orang bodoh yang kaya raya. Dan kedua hal
tersebut tidak bisa dikumpulkan.”
Penyair lain berkata, “Kamu ingin menjadi orang ahli fiqih, tapi tak mau sengsara,
itu artinya kamu gila. Mencari harta pun tidak akan berhasil tanpa kerja keras, dan harus
tahan menghadapi penderitaan. Begitu juga mencari ilmu, tidak akan berhasil tanpa kerja
keras (bersungguh-sungguh).” Abu Thoyyib berkata, “Sungguh naif orang yang mampu
berusaha tapi tidak mau berusaha secara optimal.”84
83 Sayyid Qutb,Op.cit, h. 329. 84 Syekh Az-Zarnuji, Op.cit, h. 39-41
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Nabi Musa
AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82) pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa terdapat 5 point nilai-nilai pendidikan akhlak
yang terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir Surat Al-Kahfi ayat
60-82), di antaranya:
1. Tawakal
Sikap tawakal dalam cerita Nabi Musa dan Nabi Khidir terletak ketika Nabi Khidir
membunuh seorang anak kecil. Ditinjau dari pandangan lahir, perbuatan tersebut
merupakan perbuatan tercela dan dosa besar. Padahal dibalik itu terkandung hikmah bagi
orang tuanya. Kedua orang tua anak tersebut bahagia ketika anak mereka lahir dan
sebaliknya mereka bersedih ketika anak itu dibunuh. Padahal kalau anak itu tetap hidup
niscaya ia akan menyesatkan kedua orang tuanya. Oleh karena itu seorang hendaknya rela
akan takdir Allah, karena takdir Allah bagi seorang mukmin lebih baik dari apa yang
disenanginya. Dan ini merupakan salah satu bagian dari akhlak seorang mukmin.
Implementasi sikap tawakal dalam dunia pendidikan adalah:
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan
masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan AllahTawadhu
2. Tawadhu
Dari kasus Nabi Musa dan Nabi Khidir, pada pertemuan pertama antara Nabi Musa
dan Nabi Khidir dapat dipaparkan asal-usul Musa. Latar belakang Nabi Musa ini sekiranya
menjadi bahan masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan yakni
pembinaan akhlak. Nabi Musa yang awalnya bersikap sombong dengan ilmunya, ketika
bertemu dengan Nabi Khidir berbalik menjadi rendah hati dan tawadhu dalam situasi
bagaimanapun.
71
Keteladanan guru dalam membentuk sikap tawadhu siswa meliputi:
a. Kepribadian yang baik, berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan, maksudnya
guru PAI harus bertindak sesuai dengan norma religius, iman, taqwa, jujur,
ikhlas, suka menolong dan memiliki perilaku yang diteladani siswa.
b. Kepribadian Disiplin, maksudnya guru PAI harus lebih memberikan contoh
kepada siswa agar bisa disiplin, karena banyak perilaku siswa yang kadang tidak
sesuai dengan sikap moral yang baik.
c. Kepribadian Teladan bagi Siswa, seorang guru PAI harus bisa menjadi teladan
yang baik, santun dalam berbicara dan sopan dalam bertingkah laku.
3. Sabar
Ketika perjalanan jauh menuju pertemuan dua lautan dan dilanjutkan dengan
perlawatan bersama gurunya yang ditempah dengan melampaui daratan dan lautan itu
memerlukan ketabahan, kesabaran dan bekal yang cukup. Kesadaran akan pentingnya
mencari ilmu karena Allah tidak menjadikan rendah diri atau menyerah yang disebabkan
jabatan atau titel kenabian yang dimiliki oleh Nabi Musa AS.
Proses pembentukan sikap dalam strategi afektif adalah dengan pola pembiasaan dan
pemodelan. Berikut uraiannya:
a. Pola pembiasaan, dalam proses pembelajaran di sekolah baik disadari atau tidak,
guru akan menanamkan sikap tertentu kepada siswa yang setiap kali menerima
proses pembiasaan.
b. Pemodelan, dilakukan melalui proses pembentukan sikap yang dilakukan melalui
proses asimilasi atau proses percontohan yang dilakukan.
4. Disiplin
Di sisi lain, Nabi Khidir menerapkan tata tertib kepada Nabi Musa yang bertujuan
agar Nabi Musa bisa menjadikan kesepakatannya di awal sebagai sikap disiplin untuk Nabi
Musa sendiri. Ini terlihat dengan kesadaran Nabi Musa akan kesalahannya sendiri yang
tercermin dalam permohonannya yang terakhir sebagaimana tercantum dalam ayat 76:
“Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau telah memberikan uzur kepadaku.”
Penerapan atau pembetukan sikap disiplin dalam pendidikan formal ini bisa
diterpakan melalui beberapa unsur, di antaranya:
72
a. Pengetahuan, maksudnya sejauh mana seseorang mengetahui dan memahami
perbuatan yang seharusnya dilakukan sehingga dikatakan berdisiplin dan mana
yang perbuatan yang tidak berdisiplin
b. Kesadaran moral (moral conciouness)
c. Pengendalian diri (control).
d. Kehendak dan kebebasan untuk memilih perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam Menuntut Ilmu
Ketika sebelum Nabi Musa berangkat mencari Nabi Khidir, beliau memerintahkan
muridnya agar menyediakan seekor ikan yang besar kemudian disimpan pada sebuah
kantong sebagai suatu tanda. Bila ikan itu hilang, maka di situlah Nabi Khidir berada.
Dari peristiwa tersebut tercermin bahwa mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, agar
kita bisa bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut.
Implementasi sikap bersungguh-sungguh yaitu para penuntut ilmu haruslah
bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti yang diisyaratkan dalam Al-
Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang sungguh-sungguh untuk mencari
(keridhoanku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan mereka kepada jalan-jalan menuju
keridhoan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-sungguh mencari sesuatu tentu akan
mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk pintu, dan maju terus, tentu bisa
masuk.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah:
1. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat. Yang mana dalam al-Qur’an
berisi petunjuk, ilmu pengetahuan, hukum-hukum yang mengatur bagaimana berhubungan
baik dengan sesama makhluk-Nya, maupun bagaimana berhubungan baik dengan
Tuhannya, serta dalam al-Qur’an pula terdapat kisah-kisah orang-orang terdahulu, yang
dapat dijadikan pelajaran dikehidupan sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena
itu, kita sebagai seorang muslim hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an.
2. Kewajiban seorang yang menuntut ilmu hendaknya menyampaikan hasratnya dengan
penuh adab sopan santun, disertai tekat bulat serta kesabaran. Seorang tersebut harus selalu
hormat kepada gurunya dan cepat meminta maaf jikalau berbuat kesalahan.
73
3. Dan seorang guru sebaiknya berusaha maksimal untuk menjelaskan materi yang
disampaikan sehingga peserta didiknya memahami maksud dan tujuan dari materinya serta
dibalut dengan rasa lemah lembut dan kasih sayang.
74
DAFTAR PUSTAKA
Agil Husin Munawar, Said. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat
Pers, 2002
Alaika Salamulloh, Muhammad . Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: PT Pustaka Insan
Madani, 2009
Ali Al-Hasyimi, Muhammad. Jati Diri Muslim, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar. 1999
al-Khalidy, Shalah. Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu. Jakarta: Gema
Insani. 1999
Amin, Ahmad. Kitab al-Akhlak. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah. 2001
Asy-Syaqawi, Amin bin Abdullah. Sifat Tawadhu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Islam