NI PATABAI PANGNGISSENGANG KODI Studi Kasus Tentang Konflik Nelayan di Kecamatan Tarowang, Kabupaten Jenepoto, Sul-Sel SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelas sarjana pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin OLEH : IRFAN E51111255 DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
130
Embed
NI PATABAI PANGNGISSENGANG KODI - digilib.unhas.ac.iddigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/... · MAKASSAR 2018 . i ABSTRAK ... Pangngissengang Kodi Studi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
NI PATABAI PANGNGISSENGANG KODI
Studi Kasus Tentang Konflik Nelayan di Kecamatan Tarowang,
Kabupaten Jenepoto, Sul-Sel
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelas sarjana pada
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
OLEH :
IRFAN
E51111255
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
i
ABSTRAK
Penelitian ini dilatar belakangi oleh terjadinya persaingan antar
nelayan di Kecamatan Tarowang dimana persaingan bukan hanya pada alat
tangkap namun karena adanya penggunaan ilmu gaib merugikan. Ilmu gaib
ini digunakan untuk mengalahkan orang yang dianggap sebagai pesaingnya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk
mendeskripsikan bagaimana sistem pengetahuan masyarakat nelayan
tentang pangngissengang kodi, mengapa pangngissengang kodi digunakan
dalam persaingan penangkapan ikan, bagaimana dampak penggunaan
pangngissengang kodi dalam hubungan masyarakat nelayan dan bagaimana
mekanisme penyelesain konflik akibat ni patabai pangngissengang kodi.
Berdasarkan hasil analisis pengetahuan nelayan tentang
pangngissengang kodii sangat beragam mulai dari jenis, cara melakukan,
dan media yang digunakan. Adapun beberapa alasan nelayan menggunakan
pangngissengang kodi bukan hanya pada persoalan persaingan yang
menyebabkan terjadinya konflik, namun konflik yang terjadi ditutupi dengan
gaya hubungan yang halus namun kedua pihak sadar bahwa dirinya sedang
berselisih. konflik ini dapat terselesaikan dengan cara di biarkan saja hingga
terlupakan dan juga terdapat momen seperti momen lebaran.
Kata Kunci: persaingan, nelayan, ilmu gaib
ii
ABSTRACT
This research is based on the competition between fishermen in
Tarowang district where competition is not only in fishing gear but because of
the use of occult knowledge is detrimental. Witchcraft is used to beat people
who are considered as competitors.
This research uses qualitative research method to describe how
knowledge system of fisherman society about pangngissengang kodi, why
pangngissengang kodi used in fishing competition, how the impact of using
pangngissengang kodi in relation of fisherman society and how mechanism of
conflict settlement caused by ni patabai pangngissengang kodi.
Based on the results of knowledge analysis of fishermen about
pangngissengang kodi very diverse ranging from type, way of doing, and
media used. As for some reasons fishermen use pangngissengang kodi not
only on the issue of competition that causes the conflict, but the conflict is
covered with a subtle relationship style but both parties are aware that he is
at loggerheads. this conflict can be solved in a way let alone until forgotten
and also there are moments like moments Eid.
Keywords: competition, fisherman, witchcraft
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas berkat rahmat dan
hidayah Allah SWT penyusunan skripsi dengan judul “Ni Patabai
Pangngissengang Kodi Studi Kasus Tentang Konflik Nelayan Di
Kecamatan Tarowang, Kabupaten Jeneponto, Provensi Sulawesi
Selatan” dapat diselesaikan. Adapun Penulisan skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Departemen
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik, Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik dari
berbagai pihak yang dapat membangun,Terwujudnya skripsi ini tidak lepas
dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Kedua orangtua penulis, Sakkir dan Rosmiah, yang telah
membesarkan penulis dengan sangat tulus serta tak henti-hentinya
memberikan dukungan, doa, nasehat, dan motivasi hingga sampai
detik ini penulis tetap ingin dan bersemangat dalam menyelesaikan
studi.
2. Terimakasih kepada saudara-saudara saya Irwan Sakkir S.Ikom, Irsan
Sakkir, dan Irmawati Sakkir.
3. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, selaku rektor Universitas
Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar beserta
iv
seluruh staff yang telah memberikan pelayanan birokrasi fakultas
selama saya berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.
5. Prof. Dr. Supriadi Hamdat, MA selaku Ketua Departemen Antropologi
Program Studi S1 Universitas Hasanuddin yang melalui kritikan-
kritikan beliau membantu penulis menyadari kelemahan dan
kekurangan yang ada.
6. Prof. Yamin Sani, MS dan Muhammad Neil, S. Sos, M. Si, selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan
arahan serta nasehat dalam selama proses penelitian dilakukan.
7. Kepada seluruh dosen-dosen penguji atas kritik dan sarannya,
Dr. Safriadi S.IP. M.Si, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si dan Dra. Hj.
Nurhadelia F.L, M.Si.
8. Seluruh Dosen Jurusan Antropologi yang telah memberikan ilmu
dengan tulus dan ikhlas. Terkhusus kepada Dr. Munsi Lampe, MA, Dr.
Muh Basir Said, MA, Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA, Prof. H
Pawennari Hijjang, MA, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si, Ahmad Ismail,
S.Sos, M.Si, dan Icha Musyawirah Hamka, S.Sos, M.Si, dan Dr. Ansar
Arifin, M.S.
9. Seluruh mahasiswa Jurusan Antropologi angkatan 2011 yang telah
mendukung dan memberikan bantuan selama saya berkuliah.
10. Seluruh adik-adik mahasiswa jurusan antropologi angkatan 2012,
2013. 2014, 2015 dan 2016
11. Seluruh Alumni Antropologi terkhusus kepada, Kak Andi ikbal, Kak
roni, Kak Ramlan, dan kak ucup yang telah memberikan kritik dan
saran selama proses penulisan dilakukan.
12. Seluruh warga pondok 73, ical, aslan, april, ciwank, Akbar dan Kak
Ikbal yang selalu membantu penulis.
13. Seluruh teman-teman di KURENAL tanpa terkecuali yang selalu
memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi
v
14. Kepada Devi Juliani Akil, R.A Gemilang Rezki, Amitha, dan Auliah
Yafi yang selalu mengingatkan penulis.
Serta seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas
kebaikan-kebaikan mereka dengan setimpal. Amin.
Makassar,27 Agustus 2017
IRFAN
vi
DAFTAR ISI
SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK…………………………………………………………………..………. i
ABSTRACT………………………………………………………………………....ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….…...iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….……..iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..……….v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………..………….…1 B. Fokus Penelitian…………………………………………………….……...4 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...…5 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………..……...5 E. Metode Penelitian……………………………………………………..…....6 F. Sistematika Penulisan…………………………………………..………..12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik dan Persaingan…………………………………………………..13 B. Pengetahuan Lokal dan Ilmu Gaib……………….……………………..22 C. Mimpi……………………………………………………………..………...40 D. Kasus-Kasus Konflik Nelayan…………………………………………...42
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Lokasi dan Lingkungan Alam………………….…………………………46 B. Kependudukan………………………………….………….………………49 C. Mata Pencaharian…………………………….………….………………..54 D. Aktifitas Keseharian Nelayan…………………………….………………58
BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN
A. Pengetahuan Nelayan Tarowang Tentang Pangngissengang Kodi...62 B. Pelaku dan Korban Pangngissengang Kodi…………………………....97 C. Dampak Sosial Pangngissengang Kodi………………………….……105 D. Mekanisme Penyelesaian Konflik……………………………………...110
vii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….115 B. Saran………………………………………………………………………116
39 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Teluh wrejit, yakni semacam teluh yang paling ganas oleh karena
korban teluh ini akan mengalami muntah darah segar dan biasanya dalam
waktu singkat korban akan mati.
1. Teluh ganggong, yakni semacam teluh yang mengakibatkan korban akan
menderita pada salah satu bagian tubuhnya terus-menerus sampai
korban mati jika tidak diberikan penawar.
2. Teluh buncit, yakni semacam teluh yang dapat mematikan usaha
ekonomi. Dengan cara mananam botol berisi tanah berasal dari kuburan.
Biasanya ditempatkan pada sekitar pekarangan usaha atau tempat
tinggal seseorang yang akan dijadikan mangsa teluh (Darmawan, 2006).
Gambaran diatas telah banyak menjelaskan mengenai ilmu gaib dan
tujuan penggunaan ilmu gaib, seperti halnya ilmu gaib agresif yang di
gunakan untuk merugikan seseorang dan ilmu gaib agresif yang terdapat Di
Banyuwangi ada teluh yang dapat mematikan usaha ekonomi seseorang.Hal
ini juga terjadi pada masyarakat nelayan Di Kec. Tarowang Kab. Jeneponto,
ilmu gaib di gunakan dalam persaingan penangkapan ikan.Oleh karena itu
penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna melihat dan menganalisis
permasalahan yang terjadi.
C. Mimpi
Tylor (dalam Koenjraningrat, 2009), suatu penelitian serupa itu
dilakukan sendiri dengan mengambil sebagai pokok, unsur-unsur
40 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesusastraan, adat-istiadat,
upacara dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang terpenting
yaitu dua jilid Primitive Culture: Researches into the Development of
Mythology, Religion, Language, Art and Custom (1874). Dalam buku itu ia
juga mengajukan teorinya tentang asal mula religi, yang berbunyi sbb: Asal
mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan
faham jiwa itu disebabkan karena dua hal yaitu:
1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
hal-hal yang mati. Suatu organism pada satu saat bergerak-gerak, artinya
hidup, tetapi tak lama kemudian organisma itu juga tak bergerak lagi,
artinya mati. Maka manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan
yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa.
2. Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-
tempat lain (bukan di tempat dimana ia sedang tidur). Maka manusia
mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada ditempat tidur,
dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain.
Bagian lain ituah disebut jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia
bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya. Pada waktu
hidup, jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat
meningggalkan tubuh manusia waktu tidur atau pingsan. Karena pada saat-
saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh berada dalam
41 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
keadaan lemah. Tetapi Tylor berpendirian bahwa walaupun sedang
melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap
ada. Hanya apabila manusia mati jiwanya melayang terlepas dan terputuslah
hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu jelas terlihat
apabila tubuh jasmani sudah hancur, berubah menjadi debu di dalam tanah,
atau hilang berganti menjadi api di dalam api upacara pembakaran mayat.
Jiwa mereka yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat
sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang
oleh Tylor tidak disebut soul, atau jiwa, lagi tetapi disebut spirit (mahluk halus
atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan
kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada mahluk-mahluk
halus.
D. Kasus-kasus Konflik Nelayan
Konflik yang terjadi antara nelayan tradisional di Kelurhan Pasar
Bengkulu dengan nelayan modern di Kelurahan Kandang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: Masih beroperasinya kapal-kapal trawl milik
nelayan modern walaupun penggunaan alat tangkap tersebut telah dilarang
oleh pemerintah. Keberatan nelayan tradisional akan penggunaan alat
tangkap trawl tersebut anatar lain:
1. Merusak kelestarian sumberdaya perikanan,
2. Merusak habitat dan daerah pemijahan udang,
42 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
3. Merusak jaring-jaring nelayan tradisional yang di pasang di pinggir pantai,
karena pengoperasian trawl sepanjang bibir pantai ,
4. Hasil tangkapan sampingan berupa ikan-ikan yang memiliki nilai niaga
yang rendah, lebih banyak dari hasil tangkapan utama, yaitu udang
keong.
Pelanggaran jalur penangkapan oleh nelayan-neayan modern,
khususnya kapal-kapal trawl ke wilayah perairan nelayan tradisional. Hal
tersebut berkaitan dengan perebutan sumberdaya perikanan yang memang
sangat terbatas (Wijaya, 2009).
Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya
perikanan sempat terjadi di beberapa daerah di perairan Sulawesi
Selatan.Kasus yang mengemuka terekam ketika terjadi di perairan Sinjai,
dimana dua kelompok nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah
penangkapan ikan.Peristiwa ini terjadi pada 2002 di Lappa, Kabupaten
Sinjai.Konflik terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan Galesong.
Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan Galesong oleh nelayan Sinjai,
karena menganggap wilayah perairan tersebut adalah milik mereka sejak
turun temurun dan melarang nelayan Galesong untuk menangkap lagi di
perairan mereka.Kasus tersebut terjadi wilayh perairam Sinjai, sehingga klaim
sumberdaya dinyatakan oleh nelayan local kabupaten Sinjai. Bentrok antara
nelayan Sinjai dengan nelayan Galesong tersebut lebih disebabkan karena
perebutan lokasi penangkapan ikan (Syaiful, 2013).
43 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Konflik antarnelayan di perairan Sinjai sebenarnya telah berlangsung
sejak lama, namun masih bersifat laten semenjak tahun 90-an. Kejadian di
Lappa misalnya, sebagai terminal dan pusat aktifitas perdagangan para
nelayan, berawal dari kalahnya bersaing antara nelayan tradisional dan
nelayan pendatang. Pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga
tahun 2000-an dalam taraf yang masih rendah. Namun sejak tahun 2000-an
keadaan konflik bergeser tidak hanya antara tradisional dan nelayan modern
seperti kejadian pembakaran purse seine di Lappa, tapi juga antar nelayan
tradisional (Syaiful, 2013).
Konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang melibatkan
nelayan Kecamatan Paciran terjadi berulang kali.Konflik antar nelayan
Kecamatan Paciran yang berlangsung pada periode tahun 1993 sampai
2005. Konflik yang melibatkan nelayan asal Kecamatan Paciran terjadi
berulang kali dengan obyek permasalahan yang relatif sama, yaitu
perbedaan alat tangkap dan daerah penangkapan ikan (fishing ground).
konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut oleh nelayan Kecamatan
Paciran merupakan konflik sumber daya alam berbasis persoalan ekonomi.
Kondisi sumber daya perikanan pelagis maupun demersal di perairan utara
Jawa Timur sebagai area penangkapan ikan oleh nelayan Kecamatan
Paciran memiliki kecenderungan mengalami gejala lebih tangkap.Sumber
konflik yaitu perbedaan teknologi penangkapan ikan dan perselisihan di area
penangkapan ikan.Perbedaan teknologi terjadi pada perikanan skala kecil,
44 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
antara nelayan jaring tradisional dan pengguna mini trawl.Perselisihan di area
penangkapan ikan, terjadi di wilayah perairan pantai Lamongan dan luar
Lamongan.Kondisi lebih tangkap pada sumber daya perikanan laut yang
terdapat di wilayah perairan utara Jawa Timur memberi pengaruh bagi
timbulnya konflik antarnelayan baik sesama nelayan Paciran maupun antara
nelayan Kecamatan Paciran dengan nelayan dari wilayah di luar Lamongan
(Satria, 2010 )
Konflik yang terjadi pada masyarakat nelayan penelitian ini
menunjukkan ada dua pola konflik yang terjadi sepanjang pesisir pantai utara
kabupaten Tuban, antara lain konflik antara kelompok nelayan alat tangkap
mini trawl dengan alat tangkap jaring rajungan. Konflik jenis ini terjadi di desa
Karangagung, Kradenan, Karangsari, Beji. Sedangkan pola konflik yang lain
yaitu konflik antara kelompok nelayan alat tangkap purse seine dengan
kelompok nelayan pemilik rumpon. Konflik ini terjadi di desa Glondonggede,
desa Bulujowo. Penelitian ini juga menunjukkan ada beberapa sebab konflik
antara lain: 1) Ketidakberdayaan nelayan akibat sistem pemasaran yang
tidak memihak nelayan, 2). Ketidakpastian dan penurunan penghasilan, 3).
Inkonsistensi dalam penegakan hukum, 4). Persamaan wilayah tangkap, 5).
Kerusakan alat tangkap dan terumbu karang dan 6). Adanya perasaan saling
curiga antar kelompok nelayan. Hasil penelitian juga menunjukkan dinamika
konflik memiliki intensitas yang tinggi dengan ditandai adanya berbagai
45 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kekerasan mulai dari mengancam, razia, penyanderaan, pemukulan dan
penyerbuan massa ke kelompok lain (Lukman, 2004)
Gambaran hasil penelitian diatas dari berbagai perspektif disiplin ilmu
yang meneliti konflik pada masyarakat nelayan memiliki perbedaan dengan
penelitian yang penulis lakukan, perbedaan utama terletak pada penyebab
terjadinya konflik antar nelayan Di Kec. Tarowang Kab. Jeneponto, dan lokasi
penelitian.
46 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Lokasi dan Lingkungan Alam
Kecamatan Tarowang merupakan 1 dari 11 kecamatan dalam
wilayah administratif Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Kelara di sebelah utara, Kabupaten
Bantaeng di sebelah timur, Kecamatan Batang di sebelah barat dan Laut
Flores di sebelah selatan. Wilayah Tarowang dibagi atas 8 buah desa,
dimana 6 buah Desa berbatasan langsung dengan laut dan 2 desa berada di
sataran tinggi. Tarowang terletak disebelah selatan ibukota kabupaten
dengan jarak 15 km. Kecamatan Tarowang memiliki luas wilayah 40,68 km2,
dengan desa terluas yaitu Desa Tino (9,04 km2), dan desa dengan luas
paling kecil adalah Desa Balangloe Tarowang yaitu 2,50 km2.
Wilayah Kecamatan Tarowang memanjang dari timur ke barat
dengan variasi topografi dari landai hingga bergelombang. Kedua tipologi
daratan tersebut dapat ditemukan baik di wilayah pesisir maupun daerah
dataran tinggi dan hampir setiap desa memiliki kedua bentuk topografi
tersebut. Sementara jika dilihat dari arah selatan ke utara, wilayah Kec.
Tarowang didominasi daerah datar begelombang di sebelah selatan dan
terus meninggi membentuk rangkaian perbukitan dan pegunungan di sebelah
utara. Jadi secara umum topografi Tarowang berupa lahan bergelombang
47 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
yang sebagian besar merupakan daerah terbuka berupa padang rumput.
Bagian terendah berupa sungai yang memanjang dari utara yang merupakan
wilayah pegunungan ke arah Selatan yang merupakan daerah pesisir, dan
berupa lembah. Pada sebagian daerah aliran sungai Balang Allu tersebut
terletak Desa Balangloe Tarowang, desa yang menjadi pusat aktifitas
pemerintahan kecamatan.
Seperti juga kecamatan lain di Jeneponto, Kecamatan Tarowang
merupakan wilayah yang sedikit ditumbuhi pepohonan di bagian selatan.
Konsentrasi besar fegetasi terdapat disebelah utara yang berupa daerah
pegunungan. Konsentrasi yang sama juga terdapat di wilayah beberapa desa
yang berbatasan langsung dengan Kab. Bantaeng di sebelah tumur.
Sementara di daerah yang lebih rendah di selatan pepohonan hanya
ditemukan pada daerah-daerah pemukiman penduduk dan kebun penduduk.
Sebagian besar vegetasi didominasi oleh tanaman berupa semak dan rumput
alang-alang. Substrat berupa karst atau bebatuan kapur dan kurangnya
curah hujan tidak memungkinkan tumbuhnya banyak vegetasi besar. Bentuk
subatrat demikian menjadikan sangat sulit untuk menemukan wilayah datar
dengan jumlah komposisi tanah yang banyak kecuali di daerah pesisir
dimana sungai bermuara. Vegetasi-vegetasi besar umumnya ditanam oleh
penduduk terutama berupa pohon buah seperti mangga, rambutan dan
pohon jambu mede.
48 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Pada daerah muara sungai, banyak terdapat tanah subur yang
merupakan hasil proses sedimentasi akibat erosi dedaerah yang lebih tinggi
pada musim hutan dan disepanjang daerah aliran sungai. Kurangnya
tumbuhan membuat air hujan dengan mudah menghanyutkan tanah tepi
sungai dan humus dipermukaan menuju sungai dan dibawa arus sungai
hingga menumnup di sekitar muara sungai. Sedimen tersebut kemudian
membentuk daratan yang berlumpur dan menjadi dasar bagi tumbuhnya
berbegai tanaman khas pesisir terutama dari jenis bakau. Tutupan vegetasi
bakau membantu sedimen tersebut tetap tinggal dan menjadi lahan yang baik
untuk menjadi pemukiman dan usaha tambak.
Proses sedimentasi terus bertambah setiap tahun dan karena
sedimen tersebut berupa lumpur maka juga dengan sangat musah diambil
oleh laut melalui proses abrasi pantai. Proses ini membuat banyak tambak
akhirnya hilang dan kembali menjadi laut, terutama yang tidak memiliki cukup
perlindungan berupa hutan mangrove. Sedimentasi juga mengakibatkan
pendangkalan pada wilayah muara sungai yang tentunya berpengaruh pada
mobilitas perahu. Penumpukan sedimen di tengah salah satu muara sungai
di Kec. Tarowang telah mengakibatkan munculnya delta yang cukup besar
dan ditumbuhi tanaman bakau membuat arah keluar dan masuk muara
menjadi sangat sempit. Perahu-perahu nelayan harus melaju lambat dan
bergantian untuk dapat keluar dan masuk. Sedikit kesalahan dapat membuat
perahu terbalik atau kandas di muara sungai.
49 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
B. Kependudukan
Seperti juga kecamatan di Kab. Jeneponto, penduduk Tarowang
menggunakan bahawa Makassar dalam percakapan sehari-hari, meskipin
sebagian besar dari mereka mampu berbahasa Indonesia. Kurangnya
penduduk dari suku lain yang masuk membuat bahasa ini menjadi Bahasa
umum. Bahasa Indonesia hanya digunakan ketika berbicara dengan orang
luar dan dalam dunia pendidikan. Tidak banyak suku bangsa lain yang tinggal
di Tarowang. Stereotype orang luar tentang daerah ini dan kurangnya
sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan mungkin menjadi alasan tidak
adanya pendatang lain. Secara umum masyarakat mengenal daerah ini
sebagai daerah “Texas”, istilah yang digunakan untuk menyebutkan daerah
dengan tingkat emosional penduduk tinggi dan ketidak ramahan dalam
bergaul. Dapat dikatakan 99% penduduk yang mendiami daerah ini adalah
orang Jeneponto.
Cara berbahasa atau gaya berbicara penduduk memang berintonasi
tinggi. Bagi orang yang baru masuk ke wilayah tersebut akan menanggapi
cara berbicara tersebut sama ketika melihat orang berkelahi. Meskipun hanya
dua orang yang bercakap, namun suasana tegang tampak terlihat. Tetapi
bagi masyarakat local sendiri, gaya Bahasa tersebut dapat mereka pahami
dengan baik.
Data statistik penduduk Kec. Tarowang (table 1) tahun 2015
menunjukkan tingginya jumlah penduduk berusia 0 – 19 tahun. Kelompok
50 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
usia tersebut terdiri atas balita dan anak-anak usia sekolah antara SD dan
SMU. Angka tersebut menunjukkan rendahnya jumlah penduduk yang
bersekolah di luar Kec. Tarowang, terutama untuk kaum wanita. Sementara
jumlah kaum pria mulai berkurang pada usia15 – 19 tahun.
Secara umum terlihat bahwa penduduk Kec. Tarowang berusia muda
lebih banyak dibandingkan penduduk usia produktif dan usia tua. Data
tersebut menunjukkan mobilitas keluar yang tinggi pada usia produktif dan
umumnya tidak kembali. Usia ini merupakan usia kuliah dan bekerja. Banyak
penduduk pada kategori usia ini yang melanjutkan pendidikan ke Makassar,
menjadi tentara dan sebagian lagi berpindah ke Makassar untuk mencari
pekerjaan. Perimbangan jumlah penduduk yang tinggal antara laki-laki dan
perempuan sangat kecil. Rasio jenis kelamin di Kec. Tarowang adalah 94
yang berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat sekitar 94 orang
penduduk laki-laki.
Tabel : 2 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
di Kecamatan Tarowang Tahun 2015
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
0-4 1.173 1.014 2.188
5-9 1.245 1.189 2.434
10-14 1.234 1.188 2.423
15-19 981 1.046 2.028
20-24 884 1.056 1940
51 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
25-29 1.028 1.140 2.168
30-34 864 932 1.796
34-39 907 958 1.866
40-44 627 717 1.343
45-49 579 665 1.243
50-54 509 597 1.106
65-59 351 427 778
60-64 316 333 648
65-69 183 229 411
70-74 118 193 311
Jumlah 11.136 11.892 23.028
Sumber : Kantor Kecamatan Tarowang
Jika jumlah penduduk antar desa diperbandingkan, tidak ditemukan
banyak perberbeda. Baik dari jumlah populasi maupun perbandingan
penduduk pria dan wanita. Meskipun demikian jumlah penduduk terbanyak
berdiam di Desa Bonto Ujung dan Desa Tino yang terletak agak ke
pegunungan dan berbatasan langsung dengan Kab. Bantaeng. Kedua desa
tersebut merupakan pusat konsentrasi penduduk bermata-pencaharian
petani di Kab. Jeleponto. Bukan hanya menghasilkan bahan pangan, kedua
desa juga menjual berbagai jenis bibit tanaman terutama bibit buah-buahan
yang didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Dinas perkebunan dan
kehutanan pada tingkat provindi dan Kab./Kota sering kali memesan bibit
dalam jumlah banyak untk disalurkan ke daerah tertentu sebagai bantuan
52 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pemerintah, disamping pesanan dari petani dan pengusaha perkebunan
lainnya.
Tabel : 3
Distribusi Penduduk Kecamatan Tarowang Menurut Desa
Tahun 2012-2015
Desa/Kelurahan 2012 2013 2014 2015
01 BontoRappo 2.084 2.096 2.114 2.126
02 Pao 3.072 3.098 3.118 3.118
03 Tarowang 2.512 2.533 2.549 2.549
04 AlluTarowang 2.948 2.972 2.992 2.992
05 BalangBaru 2.752 2.776 2.792 2.792
06 BalangLoeTarowang 2.232 2.251 2.265 2.265
07 BontoUjung 3.510 3.540 3.562 3.562
08 Tino 3.570 3.601 3.624 3.562
Jumlah 22.692 22.885 23.028 26.966
Sumber : Kantor Kecamatan Tarowang
Meskipun populasi penduduk lebih padat pada dua desa yang telah
disebutkan di atas, namun tingkat kepadatan penduduk justru ada pada
desa-desa di dataran rendah dan pesisir. Kecenderungan penduduk untuk
bermukim dekat dengan akses jalan raya dimana berbagai sektor
perekonomian dapat dikembangkan menjadi salah satu faktor penyebab
53 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
terjadinya kepadatan penduduk tersebut. Kepadatan penduduk di desa-desa
ini juga tampak jelas terlihat dari jarah antar rumah dan besarnya pekarangan
yang dimiliki warga. Bahkan beberapa rumah memiliki ukuran yang kecil dan
dihuni oleh dua hingga tiga keluarga. Rumah-rumah berbentuk panggung
dimanfaatkan sebagai hunian baik pada bagian atas maupun bawah rumah
dengan memberi dinding. Beberapa penduduk memanfaatkan sedikit
ruangan dibawah rumah mereka sebagai tempat berjualan makanan ringan
dan kebutuhan dapur lainnya. Sedangkan mereka yang tinggal di tepi jalan
poros dapat membuka tempat berjualan yang lebih besar karena umumnya
memiliki pekarangan yang lebih luas pada bagian depan untuk
mengantisipasi pelebaran jalan.
Tabel : 4 Kepadatan Penduduk Kecamatan Tarowang Menurut
Desa/Kelurahan Tahun 2012-2015
No Desa/Kelurahan 2012 2013 2014 2015
01 BontoRappo 410 414 416 416
02 Pao 812 820 825 825
03 Tarowang 609 615 619 619
04 AlluTarowang 796 804 809 809
05 BalangBaru 378 382 384 384
06 Balang Loe Tarowang 892 900 906 906
07 BontoUjung 680 686 690 690
08 Tino 394 398 401 401
Kec.Tarowang 394 398 401 566
Sumber : Kantor Kecamatan Torawang
54 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
C. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di Kec. Tarowang sangat beragam mulai
dari petani, peternak, nelayan, pedagang, aparat pemerintah, karyawan
swasta dan mereka yang bergerak pada sektor jasa. Total jumlah penduduk
yang bekerja menurut data tersebut adalah 7.647 jiwa dimana lebih dari 80%
diantaranya bekerja pada sektor pertanian. Sedangkan 15.381 jiwa lainnya
belum atau tidak bekerja disebabkan karena usia sekolah atau sudah
pensiun.
Sektor pertanian umumnya digeluti masyarakat yang berdiam di
daerah pegunungan dan sedikit di daerah pesisir. Jenis tanaman yang
dibudidaya berupa tanaman padi, sayur mayur dan buah-buahan. Beberapa
penduduk terutama di Desa Tino juga mengusahakan penanaman atau
budidaya bibit tanaman, terutama dari jenis buah-buahan. Khusus daerah
Tarowang sangat sedikit ditemukan wilayah persawahan. Topografinya yang
tidak rata dan daerah aliran sungai yang lebih rendah dari lahan milik
penduduk membuat penduduk lebih memilih berkebun.
Pada daerah yang lebih tinggi penduduk banyak menanam tanaman
jangka panjang terutama coklat dan jambu mente. Selain bertani banyak
diantara penduduk yang juga beternak terutama kuda, kambing. dan sapi. Di
daerah yang lebih rendah penduduk cenderung menanam tanaman sayuran,
jagung dan umbi-umbian. Dan pada kedua daerah berbeda topografi tersebut
banyak tumbuh tanaman lontar yang banyak dimanfaatkan penduduk untuk
55 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
membuat gula merah dan dijual segar ketika masih berasa manis, serta
difermentasi menjadi minuman keras lokal yang disebut ballo’.
Tabel : 5 Penduduk Kecamatan Tarowang menurut Desa dan Sumber Mata
Pencaharian Tahun 2015
Sumber : Kecamatan Tarowang
Jenis peternakan yang banyak di Kec. Tarowang adalag yang berskala
rumah tangga. Kab. Jeneponto merupakan salah satu penghasil terna di
Prov. Selawesi Selatan, khususnya kambing, sapi dan kuda. Ketiga jenis
hewan ini sangat penting bagi penduduk Jeneponto, terutama kuda yang
tidak saja di konsumsi tetapi juga digunakan sebagai alat angkutan.
Meskipun tidak banyak lagi penggunaan kuda sebagai alat transportasi
karena banyak dan murahnya harga kendaraan bermotor terutama roda dua,
tetapi hewan ini masih sangat efektif digunakan penduduk terutama yang
Desa/Kelurahan PNS/
ABRI
TB
MKN
Nela
yan
Tamb
ak
Ter
nak
Peda
gang
Indus
tri
Angkut
an
Jasa
Bonto Rappo 9 799 - - 46 4 - 11 -
Pao 20 481 251 26 18 7 10 10 -
Tarowang 40 417 300 8 - 11 12 24 -
Allu Tarowang 8 857 - - 30 2 15 18 -
Balang Baru 10 700 50 2 7 15 - 5 -
Balang Loe
tarowang
14 657 250 6 20 1 - 50 -
Bonto Ujung 20 423 50 10 50 29 - 30 6
Tino 20 1.677 50 10 21 5 - 25 -
2015 141 6.011 951 62 192 74 37 173 6
56 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
tinggal di wilayah pegunungan dimana jalan raya belum memadai atau
bahkan tidak ada. Sebagai bahan makanan, kuda merupakan makanan khas
bagi penduduk Jeneponto karena daging kuda merupakan sumber protein
penting yang selalu terhidang pada setiap kegiatan perhelatan.
Di wilayah pesisir, selain bertani penduduk juga banyak yang memiliki
tambak yang diisi dengan udang atau bandeng. Sedangan pada daerah
pantai, beberapa warga mengusahakan budidaya rumput laut. Bahkan
karena sempitnya lahan budidaya, banyak warga Tarowang membeli atau
menyewa lahan laut di kabupaten tetangga, yaitu Bantaeng. Hingga kini
mayoritas petani rumput laut di Kab. Bantaeng berasal dari Kec. Tarowang.
Selain sebagai petambak dan petani rumput laut, sebagian besar juga
menjadi nelayan dengan berbagai jenis alat tangkap. Tetapi yang paling
dominan adalah penggunaan jarung pukat untuk menangkap ikan-ikan
bergerombol. Pemukiman nelayan di Kab. Jeneponto tidak persis berada di
tepi laut, tetapi umunya berada di sepanjang muara sungai. Kencangnya dan
besarnya ombak serta angin pada permulaan musim timur, yaitu sekitar bulan
Maret dan April dari arah Laut Flores yang berada tepat di sebelah Selatan
kabupaten ini menjadikan posisi pemukiman sangat rentan kerusakan.
Daerah pesisir Kab. Jeneponto juga dipenuhi oleh tumbuhan jenis bakau
yang menghalangi penduduk untuk membuka permukiman di wilayah
tersebut. Membangun permukiman di wilayah daerah aliran sungai dirasakan
57 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
lebih aman. Perahu dapat ditambatkan dengan baik tanpa takut hanyut atau
terbalik terkena ombak.
Nelayan taorang mulai beroperasi pada malam hari dan kembali pada
subuh atau pagi hari. Kadang kala mereka berangkat lebih cepat jika lokasi
penangkapan jauh dari pantai. Dalam sebulan nelayan hanya melaut
sebanyak 20 hari sebab pada saat bulan purnama yang berlangsung sekitar
7 hingga 10 hari, ikan sangat sulit ditangkap. Dalam setahun masa sulit
menangkap ikan berlangsung pada masa peralihan dan awal musim timur
dimana angin tepat bertiup dari arah Laut Flores. Keadaan tersebut
berlangsung selama tiga bulan. Pada saat musim barat, beberapa wilayah
termasuk Tarowang sedikit terlindung dari ombak besar.
Kesulitan yang dihadapi nelayan ketika melaut terutama pada saat
pergi dan pulang menangkap. Nelayan harus melalui muara sungai yang
pada saat musim hujan sangat sulit untuk dilayari. Besarnya ombak dari laut
dan arus sungai yang cukup kuat mendorong ke arah laut membuat nelayan
harus sangat berhati-hati mengarahkan kapal mereka pada daerah seperti
ini. Resiko terbalik sangat besar karena pertemuan arus laut dan aliran
sungai, dan beberapa daerah sangat dangkal karena sedimentasi yang
membuat perahu dapat kandas dan sulit dilepaskan. Karena itu ketika
melewati wilayah seperti ini nelayan cenderung berlayar dengan cara
berbaris dan tidak berusaha untuk saling mendahului. Sempitnya daerah
yang cukup dalam dilayari membuat perahu dapat saling berbenturan dan
58 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pecah di daerah muara. Dasar sungai yang juga dipenuhi patahan kayu dan
tunggul pohon membahayakan baling-baling perahu.
Ikan hasil tangkapan nelayan didistribusikan oleh punggawa kepada
pedagang yang datang menjemput dengan kendaraan dan kepada beberapa
pedagang yang menjual ikan disekitar perumahan dengan berkeliling atau
menjual di tepi jalan poros. Oleh pedagang ikan hasil tangkapan nelayan
dijual di daerah Kec. Togo-togo yang memiliki pasar dan juga di bawa ke
Kab. Bantaeng yang tidak memiliki nelayan dan Bulukumba yang hanya
sedikit jumlah nelayannya. Di Jeneponto sendiri ikan-ikan didistribusikan
hingga ke daerah pedalaman dengan menggunakan sepeda motor. Sebagian
besar ikan yang dijual dalam keadaan kering untuk mengantisipasi perjalanan
jauh. Proses pengeringan ikan dilakukan oleh kaum wanita dan umumnya
distribusi secara lokal juga dilakukan oleh kaum wanita. Ini menjadikan para
wanita terlibat dalam aktifitas perikanan di Tarowang.
D. Aktivitas Keseharian Nelayan
Ada tiga alat tangkap yang umum digunakan nelayan Tarowang yatu
jaring senar (lanra tasi), jaring nilon (lanra turung) dan pancing. Ketiga alat
tangkap dimiliki oleh semua nelayan dan digunakan dengan memperhatikan
musim ikan. jaring nilon umumnya digunakan untuk muism ikan tertentu,
sedangkan jaring senar merupakan jaring yang paling sering digunakan
59 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dalam penangkapan harian. Demikian pula halnya dengan pancing yang
hanya digunakan pada waktu-watu tertentu.
Jaring nilon dioperasikan oleh dua hingga tiga orang, namun kadang
seorang nelayan terpaksa mengoperasikannya sendiri jika tidak
mendapatkan teman untuk berangkat. Ketika musim barat berlangsung
nelayan melakukan penangkapan dalam tiga trip. Tiga trip penangkapan
yang dimaksudkan adalah tiga kali menurunkan jaring dalam sehari
semalam. Pada musim ini ikan jenis banyara yang paling banyak ditangkap
yang metupakan salah satu jenis ikan yang memiliki harga yang tinggi.
Meskipun tiga kali menurunkan jaring, nelayan data berangkat sekali saja dan
tinggal di lokasi penangkapan untuk menunggu waktu menurunkan jaring
berikutnya. Tetapi ada pula nelayan yang bolak balik dari desa ke lokasi
penangkapan, terutama jika penangkapan dilakukan tidak jauh dari desa.
Pada musim barat kadangkala penangkapan dilakukan di perairan Kab.
Bantaeng bahkan hingga ke Laut Flores.
Pada musim Timur penangkapan ikan menurun bagi nelayan
Tarowang. Mereka hanya dapat melakukan satu hingga dua trip penangapan
dalam sehari dan dilakukan dengan bolak-balik ke lokasi penangkapan. Jika
penangkapan dilakukan dua kali dalam sehari, maka nelayan berangkat pada
sore hari sekitar sekitar pukul 16:00 wita dan kembali ke rumah pada sekitar
60 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pukul 20:00 wita. Mereka akan berangkat lagi pada waktu subuh pada pukul
04:30 wita dan akan kembali sekitar pukul 08:00 wita.
Dari paparan mengenai aktifitas nelayan tersebut dapat dilihat bahwa
sepanjang musim timur perahu-perahu nelayan akan banyak ditemukan
tertambat di sepanjang aliran sungai yang melewati pemukiman nelayan
hingga masuknya musim barat. Dan ketika musim barat, aktifitas
penangkapan yang tinggi membuat perahu nelayan sangat sulit ditemukan.
Diperkampungan terutama mereka yang tidak kembali dalam beberapa hari.
Dan jika kita memperhatikan waktu keberangkatan mereka pada musim
timur, dapat dipastikan bahwa perahu nelayan akan tertambat pada pagi hari
hingga pukul 16.00 sore hari dan antara pukul 20.00 hingga pukul 08.00 pagi.
Dari penjelasan informan yang akan dikemukakan kemudian, maka waktu-
waktu yang disebutkan ditas kemungkinan bagi pelaku pangisengang kodi
untuk melakukan aksinya terutama pangisengang kodi yang diletakkan di
mesin dan badan perahu.
Selama perahu berada di perkampungan, alat tangap tidak dibawa
pulang tetapi tetap diletakkan di atas perahu dan nelayan hanya menutupnya
dengan plastic atau bahan lain untuk melindungi dari panas matahari. Dan
selama perahu berada di kampung, pemilik perahu akan sering datang
memeriksa perahunya untuk memastikan perahu tidak hanyut akibat arus
sungai dan pasang surut air laut, atau tenggelam akibat terlupa menutup
61 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
lubang possi perahu atau penutup tersebut terlepas sendiri, atau ada orang
yang melepaskannya.
Daerah dimana perahu-perahu ditambatkan adalah tepian sungai yang
menjadi tempat umum. Anak-anak menjadikan tempat ini untuk bermaik pada
sore hari, nelayan menggunakannya untuk tempat memperbaiki peralatan
dan perahu, para ibu juga menggunakannya untuk berkumpul dan bercerita.
Banyaknya orang yang mengakses tempat ini memungkinkan bagi siapa saja
untuk secara sengaja meletakaan sesuatu yang dapat mencelakakan pemilik
perahu. Karena itu, selain kekhawatiran hilangnya perahu akibat kebocoran
seperti yang dijelaskan sebelumnya, pemilik perahu juga sering melakukan
pengamatan pada perahunya pada saat-saat ramai mespun dilakukan dari
jarak jauh atau dari atas rumah. Dan meskipun penangkapan dilakukan dua
hingga tiga orang, yang dapat mendekati perahu selama berada di kampong
hanyalah pemilik perahu. Teman atau anggota yang ikut melakukan
penangkapan baru akan mendekati perahu ketika perahu akan berangkat.
62 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Nelayan Tarowang tentang Pangngissengang Kodi
Persaingan memperoleh hasil tangkapan merupakan hal yang biasa terjadi
pada masyarakat nelayan dimanapun. Keinginan untuk mengungguli orang
lain dalam hal kekayaan dan nama besar mendorong setiap orang akan
berusaha keras untuk mewujudkannya. Ada banyak cara yang dapat
dilakukan misalnya berusaha meningkatkan kemampuan modal dengan
menabung ataupun meminjam, memperbaharui sarana tangkap yaitu perahu
alat tangkap dan berbagai hal lainnya. Salah satu cara yang juga banyak
dipergunakan adalah cara kasar dengan melakukan pengrusakan secara
terang-terangan, melakukan sabotase dan bahkan menggunakan ilmu gaib.
Hal terakhir biasanya dilakukan pada saat seseorang iri karena tidak dapat
memenangkan persaingan. Kasus penggunaan ilmu gaib dalam persaingan
penangkapan juga ditemukan di lokasi penelitian ini yaitu di Kec. Tarowang.
Seorang informan (HM, 62 thn) menerangkan pada saya pada suatu
wawancara dengan mengatakan:
Biasa tea i ni saingi, nammake anu pakinjo. Ia kabusu
punggawaiya ammake anu pakinjo punna tea mi nisaingi.
Artinya :
(biasa karena tidak ingin disaingi, maka orang memakai ilmu
seperti itu. Semua punggawa memakai ilmu seperti itu kalau
sudah tidak mau disaingi)
63 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Ilmu yang dimaksudkan informan adalah ilmu sihir yang biasa diistilahkan
dengan sebutan ilmu hitam yang memiliki beragam nama pada setiap
kebudayaan seerti ilmu pelet di Pulau Jawa dan doti-doti di Sulawesi Selatan.
Tetapi meskipun masyarakat nelayan Tarowang merupakan bagian dari
budaya Sulawesi Selatan mereka sangat jarang menggunakan kata doti
tetapi lebih sering menggunakan istilah pangissengang kodi yang berarti ilmu
yang tidak baik atau buruk seperti yang diungkapkan oleh RF (27 thn):
“Arenna injo punna kinne na kua tau pangngissengang kodi”
artinya : “Ilmu seperti itu disini disebut pengetahuan yang tidak
baik/buruk”
Masyarakat nelayan Tarowang memandang pangisengang kodi
merupakan ilmu yang tidak baik. Dikatakan demikian karena dari sudut
pandang agama yaitu Agama Islam yang dianut, ilmu ini dikategorikan
sebagai ilmu sihir yang dilarang untuk dipelajari. Selain itu, ilmu ini juga dapat
merusak kehidupan orang lain dan juga hubungan sosial antar nelayan.
Tetapi di sisi lain, karena ilmu ini sangat sering digunakan, maka masyarakat
pada saat yang sama juga menganggap ilmu ini penting untuk memenangkan
persaingan dalam memperoleh hasil tangkapan atau untuk membalas
perbuatan seseorang yang disangka menggunakannya, maka itu beberapa
orang punggawa berusaha memilikinya atau setidaknya mengetahui pada
siapa dia dapat meminta bantuan untuk melakukannya.
64 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Pangissengang kodi dapat dimiliki seseorang dengan cara pewarisan
dan juga dengan cara belajar. Ilmu seperti ini biasanya diturunkan dari
keluarga baik oleh orangtua, paman atau saudara. Sedangkan sebagian
lainnya berguru kepada orang yang memilikinya seperti yang diungkapkan
DM (34 thn):
Karena persaingan, jadi biasa ada yang datang ke kampungnya orang cari orang pintar begini saya cari ilmu begini, ilmu mau di kasi mati orang ia nu doti.
Mereka yang tidak ingin memiliki, akan memilih menggunakan jasa orang lain
yang dalam istilah lokal disebut dengan orang pintar seperti yang
diungkapkan informan di atas.
Pangissengang kodi dapat dimiliki baik oleh kaum laki-laki maupun
perempuan. Keduanya memiliki potensi untuk menggunakannya ilmu ini,
tetapi dalam penelitian ini hanya kaum pria yang ditemukan
menggunakannya. Pelaku pengguna pangissengang kodi bisa dari kalangan
keluarga dekat dan keluarga jauh, selain dari orang lain yang tidak memiliki
hubungan kerabat. Meskipun demikian, masyarakat nelayan Tarowang
merasa bahwa mereka seluruhnya masih memiliki hubungan kekerabatan
meskipun ada yang sudah dikategorikan keluarga jauh.
Dari data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, pengetahuan
masyarakat nelayan Tarowang tentang pangissengang kodi dapat dibagi
dalam tiga bagian yaitu pengetahuan tentang jenis-jenis pangissengang kodi,
65 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pengetahuan tentang media yang dapat digunakan, dan pengetahuan
tentang waktu penggunaannya.
1. Pengetahuan tentang jenis-jenis pangissengang kodi
Masyarakat nelayan Tarowang mengkategorikan pangissengang kodi
dalam dua jenis berdasarkan sasaran dan tujuan akhirnya yaitu (1)
panggisengang kodi yang digunakan untuk menghilangkan nyawa
seseorang, dan (2) pangissengang kodi yang digunakan untuk menumbulkan
kerugian ekonomi. Penggunaannya panggisengang kodi melibatkan dua
komponen utama yaitu mantra dan media. Mantra dapat berbeda-beda,
namun media yang digunakan tampak sama.
1.1. Panggisengang kodi untuk menghilangkan nyawa seseorang
Panggisengang kodi seperti ini biasanya digunakan untuk membalas
perbuatan pelaku yang dipandang oleh korban telah berkali-kali
menggunakan ilmunya untuk merugikannya. Dalam kasus ini terjadi
pertukaran status dimana korban akan menjadi pelaku dan pelaku akan
menjadi korban, dan sekaligus menjadi akhir dari perseteruan keduanya.
Batas dari berulang kali ditentukan sendiri oleh korban berdasarkan
pertimbangan kerugian dan perasaan sakit yang dialaminya.
Tidak banyak data yang dapat dikumpulkan mengenai pangissengang
kodi jenis ini karena informasi tersebut sangat sensitif. Dan informan tidak
ingin memberi kesan bahwa mereka pernah melakukannya kepada
seseorang. Tetapi banyak cerita beredar di masyarakat tentang peristiwa
66 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kematian seseorang dimasa lalu yang diduga dan bahkan beberapa
dipastikan karena guna-guna.
Meskipun merupakan cara terakhir, tetapi sebelum korban melakukan
pembalasan terakhir, biasanya orang yang diduga sebagai pelaku diminta
untuk mencabut pangissengang kodi yang digunakannya terhadap korban.
Misalnya apabila pelaku menyelipkan sesuatu pada perahu korban, maka ia
diminta untuk mecabutnya terlebih dahulu, disertai ancaman serius kepada
yang bersangkutan.
Pada saat korban akan melakukan pembalasan, maka ia akan
menjalankan ritual yang dilakukan pada tengah malam. Uniknya salah satu
ritual yang dilakukan adalah shalat yang juga mereka sebut dengan Shalat
Tahajjud. Perbedaan dengan Shalat Tahajjud dalam ibadah agama Islam
adalah pada niat sholat dan terdapatnya sejumlah benda yang akan
digunakan sebagai media mengirimkan guna-guna pada lawan. Ritual ini
dilakukan seorang diri tanpa ada yang melihat. Gunanya tentu saja agar tidak
ada yang mengetahui dan dapat menyebarkan berita yang menyebabkannya
akan mandapatkan masalah. Bagi mereka yang tidak dapat melakukannya
sendiri, atau merasa bahwa ilmu yang dimilikinya lemah sehingga dengan
medah dipatahkan oleh lawan dan bahkan lawan dapat membalikkannya,
akan meminta bantuan orang pintar. Jika meminta bantuan pada orang
pintar, rutual dapat dilakukan oleh pemohon dengan bantuan orang pintar,
atau dilakukan hanya oleh orang pintar saja. Tentu saja terdapat sejumlah
67 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
syarat yang diajukan oleh orang pintar tersebut yang wajib dipenuhi termasuk
pembayaran. Dan karena setiap orang memiliki ilmu yang berbeda, maka
media yang digunakan dalam ritual juga berbeda-beda.
1.2. Panggisengang kodi untuk menimbulkan kerugian ekonomi
Pangissengang kodi lebih banyak digunakan untuk merugikan orang
pada masyarakat nelayan Tarowang dengan sasaran untuk menimbulkan
kerugian ekonomi. Berbeda dengan apa yang telah diterangkan sebelumnya,
untuk membuat kerugian secara ekonomi maka sasaran yang dituju dapat
berupa orang (punggawa atau juru mudi), perahu, dan mesin.
Seperti dikemukakan pada bagian cara penangkapan ikan yang
dilakukan nelayan Tarowang, bahwa dalam proses penangkapan ikan satu
perahu dioperasikan oleh tiga orang yaitu seorang punggawa yang boleh jadi
juga merupakan pemilik kapal, dan satu atau dua orang sawi, yang salah
satunya juga berperan sebagai juru mudi selain punggawa kapal. Namun di
antara kedua atau ketiga awak perahu, punggawalah yang menjadi sasaran
dari pelaku. Jika punggawa lumpuh, baik sakit maupun terganggu secara
kejiwaan, maka aktifitas penangkapan ikan tidak akan dilakukan. Seorang
punggawa tidak akan mengizinkan perahunya digunakan orang lain
meskipun anaknya sendiri kecuali ia sudah sama sekali tidak dapat melaut
karena usia.
Sementara perahu dan mesin merupakan komponen yang menjadi satu
dan berfungsi sebagai alat transportasi menuju dan pulang dari lokasi
68 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
penangkapan. Untuk dapat memiliki keduanya dibutuhkan modal yang tidak
sedikit. Karena itu perawatan keduanya paling sering dilakukan untuk
menjaga agar dapat digunakan dalam jangka panjang. Kedua dapat menjadi
sasaran karena keduanya memiliki celah untuk dapat meletakkan sesuatu
yang merupakan media bagi bekerjanya panggissengang kodi tersebut.
Sedangkan alat tangkap berupa jaring tidak dapat dikena ilmu karena selalu
dicelupkan di air yang berarti apa yang disimpan dapat lepas dan hilang
karena arus dan ombak laut.
Sama dengan peggunaan pangissengang kodi untuk menghilangkan
nyawa seseorang, yang digunakan untuk menimbulkan kerugian ekonomi
juga terdiri atas dua yaitu mantra dan media pengantar. Masing-masing
sasaran memiliki mantra dan media tersendiri untuk dapat mencapai
hasilnya. Karena itu media yang digunakan dapat pula dibagi berdasarkan
sasaran yang dituju yaitu media untuk orang, media untuk perahu, dan media
untuk mesin.
Pada penelitian ini tidak ada informan yang memberikan informasi
mengenai apa mantra yang digunakan. Mantra merupakan rahasia bagi
pemiliknya. Terdapat kepercayaan bahwa apabila sebuah mantra sudah
banyak yang mengetahuinya, maka mantra itu sudah tidak manjur lagi. Dan
untuk mendapatkan mantra pangngissengang kodi membutuhkan waktu yang
cukup panjang agar orang yang memilikinya rela untuk memberikan atau
69 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mengajarkannya. Sedangkan untuk media yang digunakan cukup banyak
informasi yang diperoleh.
Secara umum, media yang digunakan berasal dari benda yang berasal
dari orang yang sudah meninggal, bagian tubuh hewan, dan benda-benda
yang biasa digunakan sehari-hari seperti jarum, kain hitam, uang kertas dll.
Media yang digunakan dalam pangngissengang tersebut memiliki sasaran
dan akibatnya masing-masing. Berikut beberapa jenis pangngissengang kodi
dan media yang digunakan berdasarkan sasaran yang diinginkan:
1.2. Media dengan sasaran orang.
Ada tiga media yang sering digunakan oleh pelaku pangissengang
kodi untuk menyerang korbannya secara fisik dan mental yaitu jarum
tumpul (Jarung tippulu), Sa’ra Ati (suara hati) dan Panggarisang
(penggaris).
1.2.1 Jarung tippulu (jarum tumpul)
Media yang digunakan yaitu jarum jahit yang sengaja ditumpulkan
dan beberapa helai potongan rambut manusia yang kusut. Jarum dililit
dengan rambut kusut, kemudian di beri mantra dan disimpan pada
bagian tertantu pada perahu atau di rumah calon korban. Biasanya
media ini diselipkan di celah kayu yang sulit untuk di lihat sehingga sulit
ditemukan. Pangissengang kodi ini digunakan untuk mengganggu
pikiran korban agar selalu gelisah, tidak dapat berfikir dengan tenang
70 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sehingga tidak dapat berkonsentrasi pada saat melakukan
penangkapan.
Salah satu hal penting bagi nelayan dalam melakukan aktifitas
menangkap ikan adalah aspek waktu dan tempat. Setiap punggawa
harus mengetahui kapan waktu musim ikan tiba dan dimana tenpat ikan-
ikan tersebut akan timbul di laut. Jika pikiran mereka terganggu maka
akan menimbulkan kesalahan menentukan waktu dan tempat atau
bahkan menmbulkan keraguan untuk berangkat. Tidak ada nelayan akan
berangkat ke laut jika mereka merasa ragu akan hasil yang akan
diperoleh. Karena itu pangissengang kodi ini akan menjadi penyebab
mereka tidak dapat memperoleh tangkapan dan berakibat ada ketidak
mampuan untuk membiayai usaha dan rumah tangga karena tidak ada
penghasilan atau penghasilan menkadi berkurang.
1.2.2 Sa’ra ati (suara hati)
Pangngissengang ini hanya berupa mantra yang dibaca dalam hati tetapi
harus dilakukan ditempat dimana pelaku dapat melihat perahu
korbannya. Mantra dibacakan sambil pelaku melihat perahu korbannya
dengan niat yang sungguh-sungguh. Mantra dapat dibacakan dilokasi
tambat perahu, ketika perahu sedang berlayar dilaut menuju lokasi
penangkapan dll. Tujuan pangngissengang ini adalah untuk mengganggu
pikiran korban pada saat melakukan penangkapan ikan di laut. Jadi
korban akan terus merasa ragu ketika sudah berada dalam perjalanan
71 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
menuju lokasi penangkapannya sehingga cenderung untuk mengubah-
ubah arah tujuannya sehingga jauh dari lokasi yang sesungguhnya.
Karena mantra harus dibacakan sambil melihat perahu korban, dan
dilakukan ditempat terbuka misalnya ketika sedang melaju menuju lokasi
penangkapan, maka pelaku harus berhati-hati agar perbuatannya tidak
dilihat orang lain terutama korbannya. Merupakan hal yang tidak wajar
pada masyarakar Tarowang jika anda melihat seseorang dalam waktu
yang cukup lama jika tidak dalam keadaan sedang berbicara-bincang
dengannya, apalagi dalam jarak yang cukup jauh. Mereka yang merasa
diamati atau orang yang melihat kejadian tersebut akan mulai
mempertanyakan apa maksud yang bersangkutan. Dan tuduhan akan
jatuh pada perbuatan negatif apalagi jika pelaku ketahuan merapalkan
mantra atau diinterpretasi oleh yang melihat sedang melakukannya.
1.2.3 Penggarisan (penggarisan)
Sasaran dari pangngissengang ini adalah orang yang mengemudiakan
perahu yang umumnya adalah punggawa dengan maksud untuk
menggariskan ruang gerak seseorang atau membatasinya. Media yang
digunakan adalah gambar tubuh manusia, undangan taziyah dan uang
kertas pecahan seribu. Gambar tubuh manusia yang digunakan harus
utuh memperlihatkan bagian-bagian tubuh dan bukan hanya sekedar
gambar siluet. Ketika menyiapkan media pelaku akan membuat garis
pada gambar manusia di beberapa bagian yaitu pada bagian kepala,
72 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mata, tangan, perut, paha, dan kaki, kemudian diberi kata ALLAHU dalam
tulisan Arab. Kemudian uang seribu kertas di bagi dua, satu dari potong
uang tersebut kemudian dibungkus bersama beberapa undangan
ta’syiah. Setelah dibungkus media tersebut disimpan di perahu orang
korban. Seperti pada penggunaan jarum, media ini juga harus diletakkan
ditempat yang sulit ditemukan dan biasanya diselipkan di sela-sela kayu
perahu.
Berbeda dengan dua bentuk yang digunakan sebelumnya dimana pelaku
membuat korbannya menjadi ragu-ragu dan kemudian membuat
kesalahan dalam menentukan lokasi penangkapan, penggunaan ilmu
yang satu ini dimaksudkan untuk membuat korban menjadi malas untuk
keluar mencari uang atau keluar menangkap ikan. Korban akan
dihinggapi rasa malas meskipun tidak menderita sakit secara fisik.
Karena sasarannya adalah punggawa, sementara perahu tidak akan
keluar atau dialihkan ke orang lain oleh punggawa pemiliknya, maka
perahu tidak akan keluar beroperasi. Dan jika dalam beberapa waktu
perahu tidak beroperasi, maka para anggota tentunya akan memilih
pindah ke perahu lain sehingga usaha dari punggawa yang menjadi
korban akan tutup.
Dari ketiga cara yang dapat dilakukan seseorang pelaku dalam
menggunakan pangissengang kodi-nya, dapat dilihat bahwa sasaran
73 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
utamanya adalah punggawa yang juga merupakan pemilik dan berfungsi pula
sebagai juru mudi. Efek dari ilmu ini adalah menjadikan punggawa tidak
dapat berkonsentrasi dalam berfikir dan mengambil keputusan terutama
dalam menentukan lokasi penangkapan, dan membuatnya menjadi malas
untuk beraktifitas. Kedua hal tersebut tentunya dapat menurunkan
penghasilan karena yang satu tidak akan mendapatkan hasil akibat salah
mengambil keputusan, sedangkan yang lainnya korban tidak keluar melaut
sehingga tidak memperoleh penghasilan.
1.3. Media dengan sasaran perahu.
Terdapat tujuh media yang sering digunakan oleh pelaku
pangissengang kodi untuk menyerang perahu korbannya yaitu jejak kaki
korban (bate bangkenna), tanah kuburan (butta tau mate), air bekas mandi
jenazah (je’ne rio tau mate), batu nisan (batu nisan tau mate), pengikat kafan
orang mati (passikko aya’ tau mate), gigi anjing gila (gigi kongkong pongoro),
dan tulang ikan (buku juku).
1.31. Bate bangkenna (Jejak kaki korban)
Jejak kaki korban yang dimaksudkan adalah tanah yang pernah diinjak
korban dan masih memiliki bekas jejak kakinya. Menemukan bekas jejak
kaki seorang nelayan di Tarowang tidaklah sulit. Lokasi dimana kapal
nelayan ditambatkan adalah tepian sungai yang tanahnya berlumpur.
Setiap hari tanah akan dibasahi air sungai yang mengikuti pasang air
laut, dan kemudian kering kembali seiring berkurangnya debit air di
74 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sungai akibat surut. Namun utnuk mengambil tanah jejak kaki tersebut
tidak mudah. Beberapa rumah berada tepat ditepi sungai dan tempat
tersebut ramai digunakan sebagai tempat bermain oleh anak-anak dan
bergosip bagi wanita. Para pemilik perahu juga sering datang meskipun
hanya sebentar untuk memeriksa keadaan perahu mereka. Sehingga
pelaku harus memilih waktu yang paling tepat agar aktifitasnya
mengambil tanah jejak kaki korbannya tidak diketahui orang lain. Dan
karena area penambatan perahu adalah tempat terbuka, maka setiap
orang tidak akan berlama-lama berdiri atau duduk di dekat perahu orang
lain untuk menghindari tuduhan dan kesalahpahaman.
Jika tanah bekas kaki korban sudah di dapatkan, maka pelaku segera
membungkusnya dengan kain berwarna hitam. Bungkusan tersebut
harus berukuran kecil agar tidak mudah dilihat, karena itu tanah jejak kaki
korban yang diambil juga hanya sedikit saja. Bungkusan tanah tersebut
kemudian dimasukkan kedalam kayu tammate (kayu liung) yang terlebih
dahulu sudah beri lubang. Gabungan di antara ketiganya juga harus
diusahakan sekecil mungkin agar dapat disembunyikan dengan cara
diselip.
Setelah media selesai pelaku membacakan mantra dan kemudian
mencari waktu yang tepat untuk meletakkannya di perahu korban.
Penggunaan bekas kaki sebagai media dalam pangngissengang kodi
dipercaya dapat membuat korban akan kesulitan dalam menemukan
75 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
lokasi menangkap ikan selama media tersebut tidak dilepas dari
perahunya.
1.3.2. Butta tau mate (Tanah Kuburan)
Cara membuat kerugian pada korban yang tampaknya mudah adalah
dengan menggunakan tanah kuburan. Di kampung nelayan Tarowang
untuk memperoleh tanah kuburan tidaklah sulit karena lokasi pemakaman
sangat dekat dari pelabuhan dan pemukiman warga, dan ada jalan
setapak yang biasa digunakan warga melintas jika ingin mengunjungi
kebun atau rumah kerabat yang tinggal disebelah pemakaman. Tanah
kuburan yang digunakan adalah tanah dari kuburan orang yang masih
baru meninggal. Masyarakat mempercayai bahwa roh orang yan baru
saja meninggal masih berada di sekitar rumahnya selama 40 hari
sebelum naik ke langit. Sehingga roh tersebut masih dalam keadaan
panas karena itu sangat ampuh digunakan dalam ilmu hitam.
Praktek ilmu ini adalah dengan cara pelaku mengambil segenggam tanah
kuburan yang masih baru kemudian berdiri membelakangi perahu
korbannya. Dalam keadaan tenang pelaku membaca mantra kemudian
melemparkan tanah tersebut ke arah perahu dengan tetap
membelakanginya. Apa bila tanah kuburan tersebut mengenai perahu
meskipun dalam jumlah sedikit, maka sudah dianggap setengah berhasil
karena pelaku harus memastikan apakah mantra yang dibacanya bekerja
pada pemilik perahu.
76 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Meskipun cara ini mungkin yang paling mudah dilakukan, tetapi sekaligus
merupakan cara yang paling mudah diketahui. Pemilik perahu selalu
membersihkan perahunya ketika pulang dari laut dan sesekali datang
memeriksanya. Karena itu sangat mudah menemukan tanah di atas
perahu terutama bila masih berbentuk gumpalan. Tanah di Tarowang
memiliki tekstur menggumpal dan kering. Sangat mudah hancur ketika
terkena air tetapi mudah terlihat dalam keadaan kering. Melemparkan
tanah juga akam membuat tanah melengket pada badan perahu dan
sangat mudah melihat perbedaan antara tanah yang diletakkan dan
tanah yang dilemparkan.
Adapun maksud dari posisi membelakangi perahu ketika pelaku
mempraktekkan ilmunya adalah agar ikan yang akan ditangkap atau yang
berada disekitar perahu juga berbalik meniggalkan perahu. Dengan
demikian nelayan pemilik perahu tidak dapat memperoleh hasil.
1.3.3 Je’ne rio tau mate (air bekas mandi jenazah)
Mendapatkan air bekas mandi jenazah tentunya sangat sulit. Selain
banyak yang memperhatikan, mengambilnya juga sudah menjadi hal
yang mencurigakan. Pelaku harus dapat mengambil tanpa diketahui
orang lain terutama keluarga yang berduka meskipun hanya sedikit.
Tentunya keluarga dari jenazah akan marah jika air mandi jenazah
keluarganya digunakan sebagai media sihir.
77 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Air yang berhasil dikumpulkan diletakkan dalam wadah berupa botol dan
kemudian disimpan hingga saat akan digunakan. Dalam prakteknya
pelaku akan mencampurkan sedikit air bekas mandi jenazah tersebut
dengan air tawar ataupun air laut. Kemudian pelaku akan berusaha
mengambil timba/gayung yang biasa digunakan pemilik perahu untuk
menguras air jika masuk ke dalam perahu. Air di dalam timba tersebut
kemudian di beri mantra oleh pelaku kemudian menyiramkannya ke
perahu korban dengan cara dihempaskan ke arah badan perahu.
1.3.3. Batu nisan tau mate (batu nisan orang mati)
Berikutnya adalah media berupa pecahan batu nisan. Seperti juga tanah
kuburan, tentunya sangat mudah menemukan batu nisan karena letaknya
yang tidak jauh dari pemukiman. Tetapi untuk dapat mengambil sedikit
pecahan dari batu nisan merupakan hal yang sulit. Pelaku harus
memecahkan batu nisan dan tentunya harus dilakukan dengan cara
memukulnya dengan benda keras dan itu berarti akan merusak nisan.
Posisi pemakaman yang sangat dekat dengan pemukiman membuat
pelaku akan sangat sulit menemukan waktu untuk dapat mengambil
pecahan nisan meskipun pada malam hari.
Praktek guna-guna dengan menggunakan pecahan batu nisan ini
dilakukan dengan cara meletakkan pecahan batu nisan yang telah diberi
mantra terlebih dahulu ditempat yang sulit untuk ditemukan pada perahu
78 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
korban. Tentunya juga terdapat kesulitan untuk dapat meletakkan media
tersebut seperti halnya media yang telah dijelaskan sebelumnya.
2. Pa’sikko aya’ tau mate (Pengikat kafan orang mati)
Sama dengan air mandi jenazah, media yang satu ini juga sangat sulit
untuk didapatkan. Mereka yang memiliki kesempatan untuk bisa
mendapatkannya hanya yang turut dalam penyelenggaraan jenazah dan
merek yang ikut memasukkan jenazah ke liang lahat. Pengikat kafan
jenazah juga banyak dijadikan jimat selain digunakan sebagai media
pangngissengang kodi. Bila digunakan untuk mencelakakan orang,
sebagian dari pengikat kain kafan ini akan diberi mantra kemudian akan
diletakkan dicelah-celah kayu perahu korban kemudian ditutup.
Warnanya yang putih membuatnya mudah disembunyikan karena semua
perahu nelayan di Tarowang dicat dengan warna putih baik bagian dalam
maupun bagian luar. Dan bila telah terselip pelaku dapat menutupnya
dengan menggunakan bubuk kapur yang diberi air sehingga tidak mudah