NEW MEDIA DAN FENOMENA HIKIKOMORI Kajian Budaya dan Media Pada Masyasrakat Jepang dalam Perspektif Teori Efek Kuat Media 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kehidupan sosial masyrakat pada zaman sekarang diliputi dengan informasi yang sangat cepat dan perkembangan teknologi yang pesat. Menurut Marshall McLuhan dalam Virigianti keadaan masyrakat sekarang ini digambarkan dengan istilah global village yang berarti masyarakat hidup dalam dunia yang lebih terkompres (padat) dimana batas ruang dan waktu tidak lagi jelas karena perkembangan teknlogi komunikasi dan informasi (Virgianti, 2011). Konsep global village oleh McLuhan ini menggambrakan keadaan masyrakat yang lebih terintegrasi dengan peresebaran informasi yang cepat dan massive dengan lahirnya teknologi informasi komunikasi seperti internet yang dikenal dengan new media.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
NEW MEDIA DAN FENOMENA HIKIKOMORI
Kajian Budaya dan Media Pada Masyasrakat Jepang dalam
Perspektif Teori Efek Kuat Media
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kehidupan sosial masyrakat pada zaman sekarang
diliputi dengan informasi yang sangat cepat dan
perkembangan teknologi yang pesat. Menurut Marshall
McLuhan dalam Virigianti keadaan masyrakat sekarang
ini digambarkan dengan istilah global village yang
berarti masyarakat hidup dalam dunia yang lebih
terkompres (padat) dimana batas ruang dan waktu
tidak lagi jelas karena perkembangan teknlogi
komunikasi dan informasi (Virgianti, 2011). Konsep
global village oleh McLuhan ini menggambrakan keadaan
masyrakat yang lebih terintegrasi dengan
peresebaran informasi yang cepat dan massive dengan
lahirnya teknologi informasi komunikasi seperti
internet yang dikenal dengan new media.
New media atau internet membawa masyarakat pada
informasi yang cepat dan mudah. Berbeda dengan awal
kemunculan internet, sekarang ini, pengggunaan
internet di masyarakat semakin luas. Pengggunaan
akan akses internet yang semakin hari semakin
meningkat sangat memengaruhi pola komunikasi yang
terjadi di masyrakat, apalagi penggunaan internet
oleh masyarakat urban di negara maju, seperti
Jepang.
Jepang merupakan salah satu negara yang
terkenal dengan perkembangan industri dan teknologi
yang melahirkan budaya populer. Perkembangan
teknologi yang pesat di ruang lingkup masyarakat
Jepang menjadikan masyarakatnya cenderung bersifat
individualis. Fenomena permasalahan sosial pada
masyarakat Jepang yang menjadi perbincangan ahli
psikologi dari sejak tahun 1990 adalah hikikomori.
“Hikikomori (social withdrawal) means behaviour in whichadolescents and young adults refuse all contact with society andwithdraw from all social activities,” - (Suwa & Suzuki, 2013)
Permasalahan hikikomori terbagi atas beberapa
kategori umur, namun pada umumnya permasalahan ini
dapat dialami oleh kalangan muda maupun dewasa
Jepang yang merasa dikucilkan oleh lingkungan
sosialnya (korban bullying). Sebutan hikikomori ini
diberikan pada kaum muda maupun dewasa yang menarik
dirinya dari lingkungan sosial karena
kecenderungannya mengurung diri di kamarnya tanpa
menjalani aktivitas baik sekolah ataupun bekerja
sebagaimana masyarakat biasa pada umumnya (Fogel &
Kawai, 2004).
Menurut kementrian kesehatan dan kesejahteraan
pemerintah Jepang pada tahun 2003 dalam Fong,
seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang
hikikomori ketika seseorang tersebut memiliki
karakteristik seperti 1). Seseorang yang mengurung
dirinya sendiri di dalam rumah minimal 6 bulan, 2)
seseorang yang tidak memiliki hubungan intimasi
dengan orang lain selain keluarga, 3) Hikikomori
adalah bentuk penarikan diri dari sosial bukan
symptom kelainan jiwa, 4) Seorang hikikomori adalah
bentuk penrikan diri dari sosial yang tidak
mengambil peran dalam kegiatan sosial, seperti
sekolah ataupun bekerja (Fong, 2008).
Di dalam perspketif psikologi barat, fenomena
hikikomori ini merupakan salah satu gejala disorder
syndrome (kelainan) pada otak. Namun, seiring
banyaknya penelitian yang dilakukan, seorang ahli
psikoterapi Jepang bernama Yuichi Hattori dalam
Fogel dan Kawai menyatakan bahwa masalah hikikomori
disebabkan oleh budaya tradisional yang di anut
masyarakat Jepang1. Jepang merupakan negara yang
terkenal dengan perkembangan industri manufactur
yang pesat, hal ini membawa masrakat Jepang pada
peningkatan kompetisi di dunia dan penurunan
1 Fogel dan Kawai meneliti hikikomori pada lingkup keluarga danmasyrakat Jepang, pada penelitiannya hikikomori dapat diamati melaluiperubahan sistem masyarakat Jepang, hubungannya dengan budaya danconsensual frame yang terdapat di masyarakat Jepang.
kesejahteraan diri akibat tuntutan yang terbagun di
lingkungan sosial mengaharuskannya seperti robot
yang produktif (Fogel & Kawai, 2004).
Budaya lisan dalam berkomunikasi dalam
masyarakat Jepang menjadi hal pertama dilihat
sebagai akibat dari permasalahan hikikomori.
Berdasarkan pada pernyataan McLuhan “media is the
message” dalam teori ekologi media. Melihat adanya
keterkaitan anatara media dalam berkomunikasi
seseorang dengan budaya yang tercipta setelahnya,
McLuhan melihat media terpisah dari isi yang
dibawanya. Empat era perkembangan media yang
berkaitan dengan cara berkomunikasi manusia salah
satunya adalah era tribal yang terkenal dengan
tradisi lisannya sehingga komunikasi yang terjadi
di antara masyarakat Jepang dengan lingkungannya
baik dalam konteks keluarga, sekolah, bahkan
lingkungan bekerja dalam kungkungan budaya yang
menuntut produktivitas yang tinggi merupakan media
yang mengawali lahirnya bentuk penarikan diri dari
sosial di masyarakat Jepang (hikikomori) (Littlejohn
& Foss, 2009).
Berawal dari konsep ekologi media oleh McLuhan,
penelitian dalam makalah ini mencoba melihat
bagaimana perkembangan teknologi membawa masyarakat
Jepang pada suatu budaya tertentu. Lahirnya new
media (internet) membawa manusia mengenal dunia
digital di luar realitas sehari-hari yang biasanya
kita temui, batas antara ruang dan waktu dapat
diatasi dengan adanya new media. Penggunaan internet
di Jepang membawa masyarakat Jepang pada bentuk
pelarian diri atau dunia baru dimana mereka dapat
membentuk identitas baru yang berbeda dengan
kehidupan sehari-harinya hal ini memperlihatkan
bahwa new media menawarkan ruang pelarian bagi
seseorang yang manarik diri dari sosialnya seperti
hikikomori. Hal ini dijelaskan melalui konsep
hyperreality oleh Jean Baudrillard yang mengatakan
bahwa realitas telah menjadi semu atau realitas
sebagian telah tergantikan akibat media (Virgianti,
2011).
Dalam makalah penelitian ini, peneliti berusaha
mengaitkan pengaruh dari kuatnya penggunaan new
media sabagai media yang mendasari perubahan
perilaku dari penggunanya dengan fenomena hikikomori
yang manarik diri dari lingkungan sosialnya sebagai
pengguna dari new media.
1.2 Rumusan Masalah
Lahirnya New media di era globalisasi seperti
sekarang ini telah menawarkan dan memberikan ruang
pelarian bagi kasus seseorang yang menarik diri
dari ruang sosialnya. Melihat hal tersebut, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana efek
atau pengaruh penggunaan new media (internet) oleh
masyarakat Jepang terhadap fenomena hikikomori atau
bentuk penarikan diri dari masyarakat Jepang?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat
komparasi fenomena hikikomori Jepang pada awal
kemunculannya dengan fenomena hikikomori di era
digital melalui lahirnya new media sebagai sarana
pelarian hikikomori dari dunia di realitasnya.
Penelitian ini di bawah payung studi budaya dengan
kajian budaya yang terbentuk oleh media pada
tradisi sosiokultural oleh Littlejohn sehingga
melihat pengaruh dari penggunaan new media terhadap
perilaku sosial yang terbentuk setelahnya, dalam
kasus ini hikikomori memperoleh ruang pelarian diri
dari realitas yang memunculkan hipotesa bahwa
jumlah hikikomori di Jepang meningkat.
1.4 Kerangka Teori
Penelitian dalam makalah ini menggunakan
tradisi sosiokultural oleh Littlejohn dengan teori
ekologi media yang dipaparkan oleh Marshall
McLuhan, dimana penemuan atau inovasi keberagaman
media dari massa ke massa membentuk budaya
masyarakat pada massanya.
Berangkat dari pemahaman Brent D. Ruben bahwa
sejatinya komunikasi massa adalah komunikasi
bermedia yang berarti produk informasi yang
tercipta, dibuat dan didistribusikan untuk produksi
massa (yang dikonsumsi secara massa) dan memiliki
tujuan tertentu untuk dibuat (Ruben, 1992). Segala
media yang dijadikan untuk menyampaikan informasi
memiliki pengaruhnya tersendiri bagi seseorang yang
menerimanya. Hal ini mendasari lahirnya tiga asumsi
dasar dari teori ekologi media yakni 1) media
memengaruhi setiap perilaku masyarakat, 2) media
membentuk persepsi dan mengatur pengalaman
seseorang, 3) media dapat menyatukan dunia
(Bahfiarti, 2012).
Teori ekologi media ini berada pada tradisi
sosiokultural dalam Littlejohn yang melihat fungsi
dan respon manusia terhadap media sebagai konteks
budaya yang lebih besar. Media adalah bentuk budaya
yang besar dimana media lahir dan berkembang di
antara kehidupan manusia yang pada akhirnya media
itu melekat dengan diri manusia menjadi nilai-nilai
yang ada pada diri manusia (Littlejohn & Foss,
2009). Lebih jauh lagi, Littlejohn mengemukakan
pemikiran McLuhan mengenai media dan budaya menjadi
sebuah teori media yang memiliki klasifikasi yakni
teori media klasik dan teori media baru.
1.4.1 Teori Media Klasik dan Teori Media Baru
Pada teori media klasik, gagasan McLuhan yang
dipengaruhi Harold Adam Innis gurunya manyatakan
bahwa media komunikasi adalah intisari dari
peradaban dan sejarah manusia diarahkan oleh media
yang menonjol pada massanya. McLuhan dalam Ellis
memaparkan bahwa media yang terbesar pada suatu
massa akan membentuk perilaku dan pemeikiran
seseorang pada massa tesebut (Littlejohn & Foss,
2009). Ketika media yang digunakan manusia berubah,
perbuahan itu akan berbanding lurus dengan
perubahan cara berpikir seseorang dalam
berkomunikasi atau menyampaikan informasi. Maka
dari itu, seseorang akan mengatur cara bagaimana
informasi dapat tersampaikan, dan bagaimana
seseroang tersebut dapat berhubungan dengan
seseorang yang lain.
Teori media baru hadir ketika periode baru yang
dikenal dengan The Second Media Age hadir. The Second
Media Age merupakan judul buku dari Mark Poster pada
tahun 1990, dalam bukunya periode ini ditandai
dengan adanya teknologi interaktif dan komunikasi
jaringan, khususnya dengan munculnya dunia maya
yang akan mengubah masyarkat (Littlejohn & Foss,
2009). Ada beberapa pandangan mengenai media baru
salah satunya pandangan Pierre Levy dalam
Littlejohn mengenai cyberculture yang terbentuk
seiring dengan berkembangannya penggunaan internet.
World wide web atau internet oleh Levy dipandang
sebagai sebuah lingkungan baru yang terbuka,
fleksibel, dan dinamis, dimana manusia dapat
mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru lewat
pertemuan semu dalam dunia maya yang memperluas
dunia sosial, dan menyediakan tempat untuk berbagi
pandangan secara luas (Littlejohn & Foss, 2009).
Meskipun demikian Levy melihat bahwa komunikasi
yang terbangun di dunia maya bukanlah interaksi
tatap muka pada umumnya, namun melalui media baru
seseorang dapat berhubungan atau berinteraksi
dengan cara baru yang tidak bisa dilakukan oleh
media sebelumnya.
Perkembangan yang pesat mengenai teknologi pada
media baru dipercaya lebih termediasi. Namun,
disisi lain munculnya media baru memunculkan sebuah
konsep technopoly oleh Neil Postman yang mengatakan
bahwa teknologi memonopoli budaya manusia. Dalam
bukunya yang berjudul technopoly Postman menyatakan
bahwa teknologi baru memiliki dampak yang mendalam
seperti mengubah proses jalan berpikirnya
seseorang. Postman beragumentasi bahwa teknologi
tidak netral sampai teknologi tersebut digunakan
oleh manuisa untuk sesuatu yang baik atau buruk.
Maka dari itu. Kegunaan beberapa teknologi pada
umumnya ditentukan oleh bagaimana seseorang
menggunakan teknologi itu sendiri. Pada
perkembangannya, teknologi banyak membawa perubahan
yang tidak terduga seperti dalam hal ideologi,
setiap teknologi memiliki bias ideologis, dan
teknologi baru bersaing dengan yang lama untuk
dominasi pandangan dunia mereka. Salah satunya, new
media membawa manusia pada konsep technopoly yang
diungkap Postman dalam bukunya sebagai berikut:
“People who tend to believe that new technologies can do and are incapableof imagining what they will undo might call such technophiles people.Technophiles gaze on technology as a lover does on his beloved, seeing it aswithout blemish and entertaining no apprehension for the future”(Postman, 1993).
Postman mengungkapkan dalam bukunya bahwa
teknologi sekarang ini memiliki kekuatan yang
sangat hebat yang telah mampu mengubah sistem
sosial, intelektual, dan kebudayaan yang ada di
Amerika, hal ini membawa asumsi dasar mengenai
technopoly yang dimaksud oleh Postman sebagai
berikut:
Some basic assumptions of technopoly are that 1) the primary goal of laborand thought is efficiency, 2) technical calculation is superior to humanjudgment, 3) what cannot be measured either does not exist or is of novalue, 4) affairs of citizens are best guided by experts, and 5) techniques andtechnical machinery can do our thinking for us (Postman, 1993).
Dalam hal ini Postman dan McLuhan memiliki
persamaan asumsi bahwa penenmuan teknologi
mengimbangi kemajuan manusia, padahal di samping
itu terlepas dari konten yang dibawa teknologi
sebagai media itu sendiri memilki pengaruh langsung
terhadap pemakainya, pada hasilnya masyarakat
mendefinisikan teknologi sebagai budaya pencarian
otorisasi teknologi, menemukan kepuasan di
dalamnya, dan menerima perintah di dalamnya
(Postman, 1993).
1.5 Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan oleh
peneliti berdasarkan pada paradigma konstruktivis
untuk melihat bagaimana media dapat mebentuk budaya
di masyarakat. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif melalui pengumpulan fakta dan
data dari review jurnal-jurnal penelitian yang
membahas fenomena hikikomori dari berbagai perspektif
yang kemudian data dan fakta dianalisis guna
mendapatkan sebuah kesimpulan. Data dan fakta yang
dikumpulkan peneliti akan diolah ke dalam bentuk
uraian penjelasan dan argumentatif dengan teknik
penulisan deskriptif-analitis melalui studi
pustaka. Metode dalam penelitian ini melakukan
metode studi kasus terhadap kasus hikikomori (social
withdrawal) di masyarakat Jepang melalui kajian budaya
dan media.
2. Pembahasan
2.1 Hikikomori Jepang di tahun 1990
Fenomena hikikomori di Jepang sudah menjadi
perhatian banyak peneliti sejak awal kemunculannya
sekitar tahun 1990-an. Peneliti percaya bahwa
jumlah hikikomori di Jepang sekitar satu juta dewasa
muda yang menolak untuk bekerja dan menghindari
kontak sosial dengan orang lain (Suwa & Suzuki,
2013).
Seorang pakar pandahulu mengenai masalah
Hikikomori di Jepang, Tamaki Saito menamakan kondisi
hikikomori pertama kali dalam bukunya yang berjudul
hikikomori as a social phenomenon-unending/ongoing adolescence
pada tahun 1998. Saito pertama kali mengemukakan
bahwa ada satu juta hikikomori atau sekitar 1%
populasi masyarakat Jepang yang tergolong hikikomori
(Nesser, 2009). Angka hikikomori ini mengejutkan
beberapa pihak dan menjadi perhatian besar sejak
Saito mempublikasikannya.
Dalam Ogino mengatakan “….A slightly outdated research
report from 2003 by The Ministry of Health, Labour and Welfare
presents a less alarming number. It reported 14 069 cases
throughout Japan” (Nesser, 2009).
Dalam pengenalan penelitian yang dilakukan Suwa
dan Suzuki (2013) terhadap seseorang yang disebut
sebagai hikikomori pada umumnya adalah seseorang yang
baru saja lulus dari sekolah menengah atau
universitas, namun tidak berniat untuk bekerja
ataupun seseorang yang drop out dari intitusi
pendidikan alias tidak menyelesaikan pendidikannya
yang kemudian menghindari kontak sosial dengan
teman-temannya.
Pada kesehariannya hikikomori selalu megurung
diri di kamarnya dari pagi hingga pagi kembali
datang, biasanya ia tidur di siang hari dan terjaga
di malam hari tanpa melakukan kontak sosial dengan
anggota keluarganya sama sekali. Ada beberapa dari
hikikomori lainnya yang bisa saja keluar rumah untuk
beberapa saat seperti pergi mengunjungi
perpustakaan atau sekedar belanja ke toko yang
jaraknya dekat dengan rumahnya.
Penelitian mengenai hikikomori ini dilakukan
melalui banyak perspektif studi, baik sebagai
kajian psikologis, kesehatan maupun sosial. Dari 10
jurnal2 yang di review oleh peneliti mengenai hikikomori
persamaannya berada pada kebudayaan Jepang yang
berkaitan dengan keluarga dan lingkungan sosial
seorang hikikomori.
2 10 Jurnal penelitian mengenai hikikomori yang peneliti ambil 5 diantaranya berjudul Hikikomori Investigations into the phenomenon ofacute social withdrawal in contemporary Japan dari Universitas ofHawai’i Manoa, The phenomenon of “hikikomori” (social withdrawal) andthe socio-cultural situation in Japan today oleh Aichi ShukutokuUniversity, Hikikomori- a Generation in Crisis oleh University ofOslo, Hikikomori oleh University of Colorado, Hikimori in Japanese Youth :Some Possible Pathwas for Alleviating this Problem from The Perspecyive of Dynamic SystemTheoru oleh Hokkaido University, Exploring hikikomori: a mixed methodsqualitative research oleh The University of Hong Kong
Gambar 1. Jumlah Penelitian Mengenai Hikikomori
Grafik di atas merupakan perubahan angka
penelitian mengenai hikikomori dari tahun 1986 hingga
2011 berdasarkan studi secara umum hikikomori pada
generasi muda dan studi yang berkaitan dengan ilmu
penyakit (Suwa & Suzuki, 2013). Pada awalnya
hikikomori digunakan sebagai istilah psikiatri yang
menggambarkan gejala penarikan diri dalam kategori
autis, skizofrenia, atau depresi yang biasa terjadi
pada dewasa muda. Setelah tahun 1990, hikikomori di
kalangan kaum muda mulai meningkat, dan mulai
muncul penelitian yang menyatakan fenomena hikikomori
memiliki keterkaitan dengan latar belakang sosio-
kultur negara Jepang.
Menurut Allison dalam bukunya yang berjudul
Millenial Monsters dalam penelitian Suwa dan Suzuki
menyatakan bahwa hikikomori adalah suatu peristiwa
yang terjadi sebagai akibat dari pasca-perang
masyarakat terobsesi pendidikan yang menjadikan
anak-anak Jepang pada satu penilaian yang tetap.
Allison mengungkapkan adanya keterkaitan antara
sistem pendidikan di Jepang dengan fenomena
hikikomori. Sistem pendidikan di Jepang membuat semua
anak terstrandarisasi pada satu nilai dalam
pendidikan yang kaku. Relasi antara pendidikan
dengan orangtua pun terjadi, di mana orang tua anak
menekankan keberhasilan akademis dan tidak terlihat
untuk pilihan lain, berpikir bahwa keberhasilan
akademik satu-satunya cara meraih keberhasilan
(Suwa & Suzuki, 2013).
Menurut Fogel dan Kawai (2004) pada
penelitiannya mengenai hikikomori sebagai fenomena
psikologikal atau sosial kultural mengemukakan
faktor lain yang menyebabkan munculnya hikikomori
adalah seseorang yang depresi dari kesehariannya
akibat dari perlakuan sosial yang ia dapat sehari-
hari, seperti bullying yang seseorang alami di
institusi pendidikan, tuntutan produktivitas yang
tinggi saat bekerja menimbulkan stress yang tinggi
dan banyaknya pemecatan tenaga kerja oleh
perusahaan.
“In the case of Japanese society, the reliance in the previously existingconsensual frame on implicit communication is likely to lead to an inabilityto explicitly communicate to others about the depth of one's fears” (Fogel& Kawai, 2004).
Tingginya tingkat kompetisi di lingkup
masyarakat Jepang menjadikan masyarakat Jepang
memiliki sifat individualis yang tinggi yang
terlihat tanpa emosi sehingga mereka memiliki
kecenderungan sulit mengekspersikan diri lewat
komunikasi secara tatap muka.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan
teknologi yang pesat di Jepang menawarkan berbagai
bentuk pelarian dari kenyataan seperti munculnya
kreasi anime (animasi), video game, dan manga.
Melalui anime, video game dan manga Jepang
menggambarkan karakter ideal dari kehidupan yang
diinginkan masyrakat Jepang. Tidak heran jika
kebanyakan orang yang depresi dengan kehidupannya
beralih perhatian pada dunia baru yang ditawarkan
realitas melalui media anime, video game, dan manga
(Virgianti, 2011). Hikikomori adalah salah satu dari
kategori warga Jepang yang mencari dunianya melalui
media yang tercipta oleh tangan manusia.
2.2 New Media (internet ) dan hikikomori
Apa yang berubah di masyarakat memengaruhi
fenomena hikikomori. Hikikomori yang pada awalnya
adalah bentuk penarikan diri dari sosial dan
berusaha mengurung diri di kamar, seiring
berjalannya waktu, fenomena hikikomori disebabkan
oleh faktor perubahan sosial dan perkembangan
teknologi yang terjadi di Jepang. Media informasi
yang semakin hari semakin terinovasi memeberikan
alasan bentuk pelarian yang lebih jauh bagi seorang
seperti hikikomori. Media telah menciptakan dunia
yang didambakan seseorang dalam kasus hikikomori. Hal
ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
Allison dan Nomura yang menyatakan adanya
keterkaitan antara hikikomori dengan revolusi
teknologi informasi (IT).
“However, the hikikomori phenomenon first appeared in the early 1990s,while Internet usage only reached 60% in 2001.Therefore, it is clear that thehikikomori phenomenon preceded general Internet usage” –Allison andNomura (Suwa & Suzuki, 2013).
Di dalam penelitiannya, hikikomori yang berusia
sekitar 30 tahun ke atas memiliki dunia pribadinya
yang ia dapat dari internet atau home movies. Allison
dan Nomura mempertimbagngkan kesenjangan di antara
sistem edukasi mapun revolusi teknologi informasi
yang menjadi penyebab langsung fenomena hikikomori di
Jepang.
Selaras dengan penelitian Allison dan Nomura,
Shimoyachi dalam Fogel dan Kawai menyatakan adanya
hubungan antara perkembangan teknologi di Jepang
dengan fenomena hikikomori. Shimoyachi mengatakan
perubahan hal major yang terjadi di Jepang adalah
peningkatan yang pesat pada penggunaan internet dan
telepon selular khususnya pada kaum muda Jepang
(Fogel & Kawai, 2004). Seseorang yang tidak tumbuh
beriringan dengan teknologi telah belajar
menggunakan teknologi tersebut sebagai alat untuk
menyelesaikan pekerjaan atau untuk tetap melihat
perkembangan yang terjadi di dunia. Bagi seorang
anak, kehadiran internet memakan tempat besar di
pikirannya, internet tidak hanya sebagai alat tapi
internet dapat menjadi dunia dimana seseorang bisa
tersesat di dalamnya. Beberapa anak dapat merasakan
dunia internet seperti chat rooms, blogging dan video
game lebih nyata daripada dunia interaksi pada
kehidupan manusia sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Rees (2002) yang menyatakan “hikikomori is a closing of the
border of the child's world to outsiders with a small bridge to that
outside world via the internet” (Fogel & Kawai, 2004).
Tampak jelas sekali media memainkan peranan
dalam perilaku seseorang pada suatu massa seperti
yang dijelaskan pada teori media McLuhan.
Penggunaan new media (internet) oleh masyrakat
Jepang diteliti telah memiliki pengaruh yang sangat
signifikan sebagai alasan fenomena hikikomori yang
semakin mengkhawatirkan masyarakat Jepang. Dalam
salah satu studi yang dilakukan Lars Nesser yang
berjudul Hikikomroi-A Generation in Crisis bahkan menegaskan
jika hikikomori merupakan masalah sosial yang akut
yang berdampak pada krisis generasi muda bagi
masyrakat Jepang karena pada perkembangan terkahir
ini hikikomori banyak dialami oleh kaum muda
Jepang.
Takeda dalam penelitiannya memberikan pernyatan
telah terbentuknya new individualism yang mengisolasi
diri secara fisik maupun mental. The New Individualism
ini hadir di tengah perubahan yang pesat dalam
berbagai aspek khidupan masyarakat Jepang membawa
masyarakat Jepang pada situasi sosial tanpa
orientasi hidup berkelompok (Takeda, 1998).
Suwa dan Suzuki menambahkan bahwa masyarakat
Jepang kehilangan ketertarikan berinteraksi secara
fisik akibat penggunaan teknologi seperti internet
khusunya pada kaum muda.
“Certainly, disinterest in others who are physically present in close
proximity, and who at the same time have an obsessive focus on a distant
person or information via mobile phone, e-mail or the Internet, is the
current social attitude of Japanese, especially youth (Suwa & Suzuki,
2013)”
Peningkatan dan perkembangan media komunikasi
di masyrakat Jepang menyebabkan close proximity dan
continuity secara personal tidak lagi penting pada
gaya hidup masyarakat Jepang sekarang ini.
Komunikasi secara tatap muka menjadi hal yang
jarang dan komunikasi secara on-line secara general
menjadi lebih penting bagi masyrakat Jepang,
seperti fakta yang dikemukakan Suwa dan Suzuki
(2013) sebagai berikut:
“The concept of “off-line meeting”, now commonly used among young
Japanese, may be considered clearly describing their form of existence in
which indirect online communication takes precedence over actual
relationships.”- Suwa and Suzuki.
Tingginya penggunaan internet di kalangan kaum
muda Jepang sekarang ini telah menjadi faktor
penyumbang angka fenomena hikikomori yang merupakan
masalah yang masih menjadi perhatian banyak
peneliti. Hadirnya new media di kehidupan masyrakat
Jepang membawa pengaruh yang dominan pada nilai-
nilai yang di pegang kaum muda Jepang dalam
menjalankan kesehariannya, mereka cenderung
mengisolasi diri baik dari keluarga maupun
komunitas lokal dan menempatkan prioritas pada
interaksi dalam private world seperti dalam dunia maya
internet.
New media memliki keterkaitan dengan fenomena
hikikomori sebagai akibat bahwa teknologi telah
memonopoli budaya manusia, seperti yang diungkap
oleh Postman dalam konsep technopoly. Masyarakat
Jepang dalam kasus hikikomori percaya akan hadirnya
new media membawanya pada realitas yang baru yang
selama ini tidak pernah mereka dapatkan dari media
lain. Hikikomori dapat menemukan bentuk keluarga,
lingkungan sosial, bahkan hubungan yang romantic
melalui komunitas yang terbangun di ruang maya dalam
new media.
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Hadirnya teknologi di kehidupan manusia membawa
manusia pada budaya tertentu. Jepang yang merupakan
salah satu negara yang terkenal dengan perkembangan
teknologi informasinya membawa masyrakatnya pada
suatu kehidupan yang individualis yang memungkinkan
fenomena hikikomori terus tumbuh besar di negara
Jepang. Penelitian ini menemukan fakta bahwa
lahirnya new media (internet) telah digunakan
hikikomori sebagai sarana pelarian diri dari
realitas kehidupannya. Hal ini memperlihatkan bahwa
media menentukan cara berpikir dan perilaku manusia
pada suatu massa dan memiliki pengaruh yang kuat
bagi keberlangsungan nilai-nilai yang manusia
miliki.
3.2 Saran
Marshall McLuhan mengatakan bahwa media adalah
pesan. Terlepas dari konten yang dibawa oleh suatu
media, media memiliki pengaruh secara langsung
terhadap pola pikir dan perilaku seseorang karena
media tercipta berdasarkan tujuan dari manusia
seperti salah satunya untuk memudahkan keseharian
manusia. Kegunaan alat teknologi sebagai media sudah
sebaiknya secara bijak diperhitungkan dan dipahami
baik-buruknya tanpa merusak nilai-nilai yang telah
ada sehingga inovasi teknologi tidak sampai
menciptakan perubahan yang sangat signifikan di
tatanan sosial manusia.
Daftar Pustaka
Bahfiarti, T. (2012). BUKU AJAR DASAR-DASAR TEORI
KOMUNIKASI. Makasar: Universitas Hasanudin.
Fogel, A., & Kawai, M. (2004). HIKIKOMORI IN JAPANESE
YOUTH: SOME POSSIBLE PATHWAYS FOR ALLEVIATING
THIS PROBLEM FROM THE PERSPECTIVE OF DYNAMIC
SYSTEMS THEORY.
Fong, R. Y. (2008). EXPLORING HIKIKOMORI – A MIXED METHODS
QUALITATIVE RESEARCH. Hongkong: THE UNIVERSITY OF HONG
KONG.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). TEORI
KOMUNIKASI - THEORIES OF HUMAN COMMUNICATION- EDISI 9.
Jakarta: Salemba Humanika.
Nesser, L. (2009). Hikikomori- a Generation in Crisis -
Investigations into the phenomenon of acute social withdrawal in
Japan-. University of Oslo.
Postman, N. (1993). TECHNOLPOLY -THE SURRENDER OF CULTURE
TO TECHNOLOGY- 1ST VINTAGE BOOK EDITION. United State of
America: Vintage Book.
Ruben, B. D. (1992). COMMUNICATION AND HUMAN BEHAVIOR
THIRD EDITION. New Jersey: Prentice Hall.
Suwa, M., & Suzuki, K. (2013). The phenomenon of
“hikikomori” (social withdrawal)and the socio-
cultural situation in Japan today. Journal of
Psychopathology, 191-198.
Takeda, T. (1998). KO TO SHUUDANN NO AIDA WO YURAAGERU
INFURA WO. Nikkei Design.
Virgianti, A. (2011). aSIMULACRA DALAM GLOBALISASI SEBAGAI