Top Banner

of 21

Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

Aug 07, 2018

Download

Documents

jeanli
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    1/59

     

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    2/59

     

    PEDOMAN

    TATALAKSANA CEDERA OTAK 

    Guideline for M anagement of Traum atic Brain Injur y)

    Editor : Joni Wahyuhadi

    Wihasto Suryaningtyas

    Rahadian Indarto Susilo

    Tim NeurotraumaRSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaSurabaya, 2007

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    3/59

     

    Tim Neurotrauma dan Kontributor

    DR, dr, Abdul Hafid Bajamal, SpBSProf. DR, dr, Nancy Margarita Rehatta SpAn. KIC

    Prof.DR,dr, Eddy Rahardjo, SpAn.KIC

    dr. Hamzah, SpAnDR, dr, M. Arifin Parenrengi, SpBS

    dr. Agus Turchan SpBSdr. Joni Wahyuhadi, SpBS

    dr. Eko Agus Subagio, SpBSdr. Edward Kusuma, SpAn

    dr. Achmad Zuhro Ma’ruf, SpBSdr. Agus Chairul Anab, SpBS

    dr. Gigih Pramono, SpBSdr. Khamim Thohari, SpBS

    dr. Yoppie Prim Avidar

    dr. Wihasto Suryaningtyasdr. Khairul Ihsan Nasutiondr. Yusuf Asmunandar

    dr. Andre Kusumadr. M. Ihsan Z. Tala

    dr. Rahadian Indarto Susilodr. Yahya Ari Pramono

    dr. Made Agus M. Inggasdr. Bambang Priyanto

    dr. Nyoman Gde Wahyudanadr. M. Faris

    dr. Nadjullah Budi Setiawan

    dr. Yudi Cahyonodr. M. Ainul Huda

    Nyoman Suparna, Amd-Kep.Nunuk, Amd-Kep.

    Ni Luh Widiasih,S.Kepnes.Endang, Amd-Kep.

    Bambang Sugiarto, Amd-Kep

    Sekretariat Neurotrauma:SMF/ Departemen Ilmu Bedah SarafRSU dr. Soetomo – FK Un iversitas Airlangga

    Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8Surabaya

    Telp: 031-5501325/ 5501304Fax: 031-5025188

    e-mail: [email protected] 

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    4/59

     

    SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM 

    DR. SOETOMO, SURABAYA 

     Assalamualaikum Wr. Wb.

    Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,dan atas

    berkat rahmat Nya Tim Neurotrauma RSU dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran

    Universitas Airlangga, Surabaya dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana

    Cidera Otak”.

    Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk menjawab tantangan

    di bidang pelayanan, pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidangpelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang berhubungan

    dengan penanganan neurotrauma, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan

    menurunkan angka keacatan dan kematian akibat cedea otak.

    Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga merupakan

    tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari jenjang diploma hingga

    spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini

    dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.

    Pedoman ini berdasar evidence base medicine  dan disusun sedemikian rupa sehingga memberi

    peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa fenomena kasusneurotrauma masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum semuanya terjawab dengan jelas.

    Mudah-mudahan hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para klinisi yang

    memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis, dokter muda serta paramedis.

    Semoga apa yang telah diraih saat ini menjadi bibit untuk perkembangan dan kemajuan di masa

    mendatang.

    Wassalamualaikum Wr. W b

    Direktur

    Rumah Sakit Umum dr. Soetomo, Surabaya

    H. Slamet R. Yuwono, dr, DTMH. MARS

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    5/59

     

    SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS AIRLANGGA, SURABAYA 

     Assalamualaikum Wr. Wb.

    Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU dr.

    Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat

    menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, yang disusun

    berdasarkan evidence base medicine.

    Mengingat kemajuan ilmu dan tehnologi yang tak dapat dibendung, adalah halyang wajar bahwa perubahan-perubahan dapat terjadi terutama di bidang ilmukedokteran yang selalu dinamis. Neurotrauma adalah kasus emergency terbanyakdi RSU dr. Soetomo yang membutuhkan penanganan yang cepat, tepat, dan

    akurat. Banyak hal baru yang muncul ke permukaan dan telah dibuktikan melalui suatu prosespenelusuran evidence based medicine  yang memberikan arah dalam proses penanganan pasiencedera otak.

    Pelayanan yang bermutu dan proses pendidikan yang didukung dengan pedoman baku akan sangatbermanfaat bukan hanya bagi pasien tetapi bagi peserta didik dan penyedia pelayanan baik medismaupun paramedis. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan pendidikan yang terpadu ini kelak akanmuncul hal-hal baru yang memberi lahan bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidangneurotrauma.

    Besar harapan Saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswakedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis, perawat, peserta didikkeperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangandan penyempurnaan ilmu yang telah ada selalu Saya harapkan dan Saya dukung untuk memperluaskhazanah dan wawasan keilmuan.

    Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku pedoman ini, Sayasampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga dapat bermanfaat dan dapat terusmengembangkan keilmuan yang dimiliki demi kemanusiaan. Terima kasih.

    Wassalamualaikum Wr. W b

    DekanFakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

    Muhammad Amin

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    6/59

     

    KATA PENGANTAR

    Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter,

    kususnya yang berkecimpung dalam bidang trauma dan perawatan gawat darurat.

    Problem pada cedera otak adalah menimbulkan kecacatan yang berat dan bahkan sampai kematian

    .Angka kematian di RSU,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan

    ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Disamping itu cedera

    otak juga sering terjadi pada usia-usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas

    dan sangat berpangaruh pada kemajuan bangsa.

    Dalam upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan

    pada para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat –pusat pelayanan kesehatan di daerah-daerah

    dan para peserta didik program spesialis bedah,bedah saraf,saraf dan aneatesia serta para dokter

    muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman in dengan sistematika yang mudah

    dipahami.Dan semoga dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada

    saat yang tepat pula dalam menghadapi penderita nurotrauma. Kecepatan dan ketepatan adalah

    faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cidera pada susunan saraf.

    Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan

    pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan.

    Ketua tim neurotrauma

    RSU.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.

    DR.dr. Adbul Hafid Bajamal, dr., SpBS

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    7/59

     

    DAFTAR ISI

    SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA

    SAMBUTAN

    Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya

    Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya

    KATA PENGANTAR

    DAFTAR ISI

    DAFTAR SINGKATAN

    I. PENDAHULUAN 1

    II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN

    III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM 4

    (GENERAL MEASURES)III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage 4

    III.2. Tatalaksana Awal Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 4

    III.3. Anamnesis 6

    III.4. Pemeriksaan Fisik Umum 6

    III.5. Pemeriksaan Neurologis 7

    III.6. Observasi 8

    III.7. Pemeriksaan Foto Polos Kepala 8

    III.8. Pemeriksaan CT Scan 9

    III.9. Kriteria Masuk Rumah Sakit 9

    III.10. Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala 9

    III.11. Lembar Pesanan Saat Pulang 9III.12. Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI) 10

    III.13. Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1 10

    IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA 11

    IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan 11

    IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang 12

    IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat 13

    V. REKOMENDASI TATALAKSANA TANPA INTERVENSI PEMBEDAHAN 14

    (GUIDELINE FOR NON-SURGICAL MEASURES)

    V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang 14

    V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol 16

    V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik 16V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik 17

    V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid 18

    V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer 19

    V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi 21

    V.8. Rekomendasi Penggunaan  Acid Suppresor Agent  dan Gastric Mucosal Protector 22

    V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline 23

    V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam 24

    VI. REKOMENDASI TATALAKSANA INTERVENSI PEMBEDAHAN 26

    (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT )

    VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) 26

    VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH) 27

    VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak 29

    VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior 30

    VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Patah Tulang Kepala Depresi 31

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    8/59

     

    VII. REKOMENDASI PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL 33

    (GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT )

    VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi 33

    VII.2. Manajemen Tekanan Intra Kranial 33

    VIII. REKOMENDASI TATALAKSANA CEDERA OTAK PADA ANAK 38

    VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi 38VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial 39

    VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat 40

    VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial 41

    VIII.5. Peran Pengeluaran Cairan Serebrospinal pada Pengendalian TIK 43

    VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB 43

    VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri 45

    IX. PENUTUP 49

    X. KEPUSTAKAAN 50

    C over dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition.

    McGraw-Hill. New York, 1996 

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    9/59

     

    DAFTAR SINGKATAN 

    CBF Cerebral Blood Flow

    CMRO2  Cerebral Metabolic Rate of O2 

    COB Cedera Otak Berat

    COR Cedera Otak Ringan

    COS Cedera Otak Sedang

    CPP Cerebral Perfusion Pressure

    CSF Cerebro Spinal Fluid

    CSS Cairan Serebro Spinal

    CT Scan Computed Tomography Scan

    EDH Epidural Hematoma

    EVD Extra Ventricular Drainage

    GCS Glasgow Coma Scale

    HCU High Care Unit

    ICP Intra Cranial Pressure

    IRD Instalasi Rawat Darurat

    KRS Keluar Rumah Sakit

    LCT Long Chain Triglycerides

    LCU Low Care Unit

    MAP Main Arterial Pressure

    MCT Medium Chain Triglycerides

    MRS Masuk Rumah SakitNSAID Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs

    PPI Proton Pump Inhibitor

    RCT Randomized Control Trial

    ROI Ruang Observasi Intensif

    SDH Sub Dural Hematoma

    SRMD Stress Related Mucosa Damage

    TBI Traumatic Brain Injury

    TIK Tekanan Intra Kranial

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    10/59

     

    1

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    PENDAHULUAN

    Neurotrauma masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah

    saraf. Neurotrauma di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian

    dan memerlukan biaya yang tinggi dalam penanganannya. Perkembangan pengetahuan

    mengenai patofisiologi dan tatalaksana neurotrauma terlihat pesat pada dekade terakhir.

    Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratoris dan klinis serta

    biomolekuler dan genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat

    terjadinya impak melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya dan

    dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap trauma. Karenanya berkembang dengan

    cepat pula metode penanganan yang komprehensif, cepat, tepat,dan monitoring yangbenar serta penemuan obat-obat baru, metode neurorestorasi dan rehabilitasi dalam rangka

    meningkatkan outcome dari pasien neurotrauma.

    Di Indonesia khususnya di rumah sakit Dr. Soetomo, neurotrauma masih merupakan

    masalah yang cukup serius. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo

    sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2006, didapatkan data sebagai berikut:

    Tahun   S Penderita CO   S Penderita COB Total Kematian % Kematian COB %

    2002 2005 455 225 11.22 169 37.142003 1910 467 210 10.99 127 27.19

    2004 1621 275 134 8.267 81 29.45

    2005 1670 199 103 6.168 65 32.66

    2006 1588 195 98 6.171 49 25.13

    Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo

    Th. 2002 - 2006

     

      Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera otak berkisar antara 6,171 %

    hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur

    internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.

      Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi,

    berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini

    relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu sekitar 22 %.

      Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera

    otak yang datang ke IRD.

    Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien dengan cedera otak di RSU

    dr.Soetomo menunjukkan bahwa neurotrauma memerlukan penanganan yang terpadu,

    meliputi  prehospital care  dan hospital care yang merupakan faktor penting untuk dibenahi

    dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

    Pembenahan hospital care meliputi:

    1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:

    a. Pembuatan guideline atau pedoman yang berisi algoritma dan rekomendasi

    b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia ( provider )

    Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo, Surabaya

    Tahun 2002 - 2006

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    11/59

     

    2

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat

    d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU) 

    e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris

    2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara:

    a. Sosialisasi guideline atau pedoman yang berisi algoritma dan rekomendasi

    pada rumah sakit daerah.b. Peningkatan sistem rujukan

    c. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cara pendidikan

    berkelanjutan.

    3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain

    4. Evaluasi berkala

    Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per tahun di

    RSU Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka morbiditas dan

    mortalitas yang sama dengan pusat-pusat neurotrauma internasional, oleh karena itu

    pedoman tatalaksana cedera otak adalah merupakan langkah awal yang sangat penting dan

    strategis dalam rangka memberikan pelayanan, proses pendidikan dan penelitian dalamupaya menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien cedera otak.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    12/59

     

    3

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    PROSES PEMBUATAN PEDOMAN

    Proses pembuatan guideline atau pedoman diawali pada tahun 2004 di SMF/Departemen Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga dengan membentuk

    tim kecil neurotrauma  yang terdiri dari komponen para ahli bedah saraf, anestesi, peserta

    didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat Darurat dan

    Instalasi Rawat Inap Bedah. Pada diskusi-diskusi tim neurotrauma dilakukan pengumpulan

    data, identifikasi masalah, opini-opini, pengalaman praktis dan studi literatur serta penelitian

    yang berkaitan dengan neurotrauma.

    Pada pedoman ini terdapat dua bagian besar yaitu berupa algoritma tatalaksana cedera

    otak yang merupakan alur penanganan pasien trauma kepala di RSU dr. Soetomo. Bagian

    kedua adalah rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan intervensi pembedahan

    maupun tanpa pembedahan.

    Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine  dengan membagi

    tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori (class), yaitu:

     A. Klas I : adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat

    dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial   (RCT)

    atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan

    gold standard atau standard (high degree of clinical certainty).

    B. Klas II: adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat

    dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif(studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode

    yang didapat adalah berupa guideline (moderate clinical certainty).

    C. Klas III: adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat

    dari peneliitian retrospektif, serial case, data registrasi pasien, laporan

    kasus, review kasus, dan pendapat ahli. Metode yang didapat adalah

    berupa option (unclear clinical certainty) .

    Pemilihan tehnologi operasi selalu dievaluasi berdasarkan akurasi, tingkat kepercayaan,

     potential therapy , efektifitas biaya, dan ketersediaan alat.

    Sistematika penulisan dan isi dari pedoman ini adalah sedemikian rupa sehingga sesuai

    dengan kondisi di RSU. Dr. Soetomo sebagai rumah sakit pendidikan. Diharapkan secara

    mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter spesialis dan mahasiswa

    kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi-rekomendasi

    yang disarankan, diperoleh dari penelitian – penelitian klinis dan laboratoris sehingga

    sangat mungkin berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

    Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian –

    penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan-acuan dan rekomendasi-rekomendasi

    dengan tingkat kepercayaan klinis ( clinical certainty ) yang lebih tinggi.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    13/59

     

    4

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM( GENERAL MEASURES ) 

    III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD

    Triage bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label sesuai kegawatan dan

    semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada dokter jaga bedah.

    III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat

    1. General precaution 

    2. Stabilisasi  Airway, Breathing, Circulation

    3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan

    pemeriksaan fisik seluruh organ)

    4. Pemeriksaan neurologis

    5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan

    6. Menentukan tahapan tatalaksana selanjutnya sesuai buku Pedoman

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    14/59

     

    5

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution )

    No Jenis Perlindungan

    1. Mencuci tangan dengan antiseptik

    -  setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang

    terkontaminasi

    -  segera setelah melepas sarung tangan

    -  diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda

    2. Pemakaian sarung tangan

    -   jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda –

    benda yang terkontaminasi

    -   jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak

    3. Pemakaian Masker, dan goggles

    -  untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan

    dengan darah atau cairan tubuh

    4. Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)-  untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh

    -  mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang

    melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh

    5. Linen

    -  hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi

    -   jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien

    6. Alat - alat perawatan pasien

    -  hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat – alat yang telah

    terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta

    lingkungan sekitarnya-  alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali

    7. Kebersihan lingkungan

    -  area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan

    menggunakan desinfektan

    8. Benda – benda tajam

    -   jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan

    -   jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya

    -   jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas

    dengan tangan-  buang benda – benda tajam di dalam kontainer anti tembus.

    10. Resusitasi pasien

    -  hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation

    bags, atau alat bantu ventilasi lain. 

    11. Penempatan pasien

    -  pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan

    ditempatkan pada ruangan khusus 

    Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( D ikutip dari Guidelines for Hea lthcare Facilities

    with Limited Resources )

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    15/59

     

    6

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    III.2.1 Stabilisasi ABC

    Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan perbaiki

    A  Airway   Patensi ?

    Suara tambahan ?

    Obstruksi

    B Breathing Efektif ? Frekuensi dan kedalamanGerakan dada

     Air entry

    Sianosis

    C Circulation   Adekuat ? Nadi dan pengis ian

    Warna kulit

    Capilary refilling time

    Perdarahan

    Tekanan darah

    D Disability  

    ( status neurologis )

    Normal ? Tingkat kesadaran (AVPU

    atau GCS)

    Reflek pupilE Exposure ( buka seluruh

    pakaian )

    Cedera lain ? Gerakan ekstremitas. Evaluasi

    respon terhadap perintah atau

    rangsang nyeri

    Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak (Dikutip dari: Reilly P.Head Injury.1997)

    III.3. Anamnesis

    Informasi yang diperlukan adalah:

     –   Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat

     –   Mekanisma trauma

     –   Waktu trauma

     –   Pernah pingsan atau sadar setelah trauma

     –   Amnesia retrograde atau antegrade

     –   Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, kejang, vertigo

     –   Riwayat mabuk, alkohol, narkotika

     –   Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi

    dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah

    III.4. Pemeriksaan fisik Umum

    Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk menentukan

    kelainan:

     –   Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki –   Per sistem B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

    Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan trauma otak adalah:

    1. Pemeriksaan kepala

    Mencari tanda tanda :

    a. Jejas di kepala meliputi: hematoma sub kutan,sub galeal, luka terbuka, luka

    tembus dan benda asing.

    b. Tanda tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita, ekimosis

    post auricular, rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani

    atau leserasi kanalis auditorius.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    16/59

     

    7

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    c. Tanda - tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Le Fort), fraktur

    rima orbita dan fraktur mandibula

    d. Tanda tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan

    bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.

    e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit   yang

    berhubungan dengan diseksi karotis2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.

    Mencari tanda tanda adanya cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal)

    dan cedera pada medula spinalis. Meliputi jejas,deformitas dan status motorik,

    sensorik dan autonomik.

    III.5. Pemeriksaan Neurologis

    Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :

    a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS)

    b. Saraf kranial

    •  Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflekkonsensuil, bandingkan kanan-kiri

    •  Tanda-tanda lesi saraf VII perifer (wajah asimetris)

    c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal

    detachment.

    d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda-

    tanda lateralisasi.

    e. Autonomis: refleks bulbocavernous, refleks kremaster, refleks spingter, refleks

    tendon, refleks patologis dan tonus spingter ani.

    .

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    17/59

     

    8

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    III.6. Observasi

    Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu)

    dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi

    neurologis sebagai berikut:

    Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat

    kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5

    menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan

    penanganan yang kurang tepat

    III.7. Pemeriksaan Foto Polos Kepala

    Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :

    1. Kehilangan kesadaran, amnesia

    2. Nyeri kepala menetap

    3. Gejala neurologis fokal

    4. Jejas pada kulit kepala

    5. Kecurigaan luka tembus

    6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga

    7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    18/59

     

    9

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, pasien anak

    9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :

    benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia > 50 tahun.

    III.8. Pemeriksaan CT Scan

    Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera otak : 1. GCS < 13 setelah resusitasi.

    2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.

    3. Nyeri kepala, muntah yang menetap

    4. Terdapat tanda fokal neurologis

    5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur

    6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus

    7. Evaluasi pasca operasi

    8. Pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )

    9. Indikasi sosial

    III.9. Kriteria Masuk Rumah Sakit

    Pasien cedera otak akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut: 

    1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran

    2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah

    3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi

    4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus

    5. Fraktur tengkorak

    6. CT scan kepala abnormal

    7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit

    8. Umur pasien diatas 50 tahun9. Anak-anak (usia < 18 tahun)

    10. Indikasi sosial

    III.10. Kriteria Pulang Pasien Cedera otak

    Kriteria pasien cedera otak dapat dipulangkan dengan pesan :

    -  Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan

    -  Tidak ada gejala neurologis

    -  Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang

    -  Tak ada fraktur kepala atau basis kranii

    -  Ada yang mengawasi di rumah

    -  Tempat tinggal dalam kota

    III.11. Lembar Pesanan saat Pulang

    Pasien cedera otak yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa ke

    IRD bila :

    -  Muntah makin sering

    -  Nyeri kepala atau vertigo memberat

    -  Gelisah atau kesadaran menurun

    -  Kejang

    -  Kelumpuhan anggota gerak

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    19/59

     

    10

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    III.12. Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI)

    Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI :

    -  GCS < 8

    -  GCS < 13 dg tanda TIK tinggi

    -  GCS < 15 dengan lateralisasi

    -  GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.-  Cedera otak dengan defisit neurologis progresif menurun belum indikasi

    operasi.

    -  Pasien pasca operasi

    Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1

    -  Pasien cedera otak yang tidak memerlukan ventilator dan layak transport.

    -  Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1

    III. 13 Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1

    -  Pasien dengan CT scan kepala abnormal yang belum indikasi operasi

    -  Pasien Cedera Otak Ringan (COR) dan Cedera Otak Sedang (COS) yangtidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    20/59

     

    11

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    ALGORITMA PENATALAKSANAAN

    PASIEN CEDERA OTAK

    IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan

    Pasien

    IRD

    Cepat

    memburuk

    OPERASI  MRS di ruang

    HCU - F

    1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC)

    2. Anamnesis, fisik diagnostik

    3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi

    4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi

    6. Lapor jaga bedah saraf 

    Resusitasi + Rediagnosis

    • Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam

    (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS; 80-100

    cc/KgBB/ 24 jam)

    • Puasa 6 jam

    • Obat simptomatik IV atau supp

    • Observasi ketat

    • Catat keadaan vital dan neurologis bila

    akan dikirim ke ruangan perawatan

    • Serah terima penderita serta informasi

    lengkap keadaan penderita

    ICU/ ROI-1

    R. Perawatan ( LCU )

    KRS

    ICU/ ROI - 1 Operasi

    VS. Stabil

    Neurologis Stabil

     

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    21/59

     

    12

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang

    Penderita

    IRD

    Operatif MRS di ruang HCU - F

    • Stabil isasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang

    collar brace

    • Lapor jagabedah saraf 

    • Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya

    • Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match)

    • Bila tensi stabil , infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam

    • Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis

    • Obat simptomatik IV atau supp

    • B ila telah stab il   CT scan kepala, foto leher lat, thorak

    fotoAP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi

    • Pasang kateter,evaluasi produksi urine

    Membaik Memburuk

    RuangPerawatan (LCU)

    • Stabilisasi + Resusitasi

    • Rediagnosis citoVS. Stabil

    Neurologis Stabil

    ICU/ ROI-1

    ICU/ ROI-1 Operasi

     

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    22/59

     

    13

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    IV.3. Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat

    Penderita

    IRD

    Lapor jaga bedah saraf 

    Operasi

    MRS di ICU –ROI-1

    •   Bila keadaan fungsi vital telah stabil

    •   Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU

    •   Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita,

    obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)

    • Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi

    • Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak

    boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau

    nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut

    dilakukan cricothyrotomi danpersiapan intubasi atau tracheostomi

    • Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200

    mmHg atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung (dianjurkan

    melalui oral)

    • Pasang collar brace

    • Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-

    tandapneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa..

    • Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau

    darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.

    • Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal

    ginjal dan atau gagal jantung, manitol 20% 200 ml bolus dalam20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menitsetiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm.

    • Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga

    kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin

    bolus15-20 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl0,9%iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB

    • Bilatelahstabil Infus cairan isotonis (NaCl0,9 %)

    1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas

    indikasi.. Pemeriksaan lab DL, BGA, GDA, crossmatch

    • Anamnesis    pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika,   intake

    terakhir, alergi

    • Pemeriksaanfisik umumdan neurologis

    • Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotikasesuai indikasi

    • Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine• Tandavital stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorak fotAP,

    • Pemeriksaan radiologis lainatas indikasi

    • Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaanreflek

    oculocephalik

    • Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    23/59

     

    14

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    REKOMENDASI TATALAKSANA

    PERAWATAN TANPA INTERVENSI

    PEMBEDAHAN

    V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang

    Standard : Pemberian fenitoin dimulai dengan Loading Dose segera setelah trauma

    efektif sebagai profilaksis terjadinya kejang dini pasca trauma kepala 

    Guideline :

    1. Pengobatan profilaksis dengan fenitoin, carbamazepin atau valproat

    sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak

    menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma.2. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini

    pasca trauma.

    Option : -

    Penjelasan rekomendasi : 

    Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca

    trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk

    menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca

    trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari paska trauma (early type) pada pasien yang

    mempunyai risiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau karbamazepinterbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada fase ini belum

    terbentuk fokus epilepsi.

    Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:

    1. Cedera Otak Berat

    2. Amnesia ≥ 24 jam

    3. Fraktur depresi

    4. Hematom intrakranial

    5. Subdural Hematom

    6. Kontusio Serebri

    7. Fraktur tulang tengkorak8. Defisit neurologis fokal

    9. usia ≥ 65 tahun atau ≤ 15 tahun

    Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk

    menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera

    setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kg dalam 100 cc NaCl 0,9% dengan

    kecepatan infus maksimum 50 mg/min.

    Pada pasien pediatri dosis loading yang direkomendasi 10-20 mg/kg, diikuti dosis

    rumatan 5 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10

    mg/kg/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    24/59

     

    15

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )

    No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan

    1 Golden,1996

    Penelitian retrospektifdengan rancangan casecontrol study untuk

    mengetahui pengaruhfaktor resiko terhadapangka kejadian epilepsipasca trauma dini

    II Faktor resiko terjadinya epilepsipasca trauma dini :-  usia ≤ 15 tahun-

      fraktur depress-  lesi intrakranial-  defisit neurologis fokal

    2 Temkin etal l, 1990

    Penelitian randomizeddouble blind   untukmengetahui efektifitaspemberian fenitoin untukmencegah kejang pascatrauma

    II Fenitoin hanya efektif untukmencegah kejang dini pasca trauma

    3  Annegers etal l, 1998

    Penelitian retrospektifuntuk mengetahuikarakteristik cedera otak

    yang berhubungandengan timbulnya kejangpasca trauma

    II Faktor resiko yang signifikan :-  subdural hematom-  skull fractures-

      amnesia lebih dari satu hari-  usia ≥ 65 tahun

    4 Chang SB,LowensteinDH, 2003

    Meta analisis beberapapenelitian level I,II untukmengetahui perananprofilaksis obat antiepilepsi pada penderitacedera otak berat

    I Pengobatan profilaksis denganFenitoin, dimulai dengan dosisloading segera setelah trauma efektifmenurunkan resiko kejang dini pascatrauma.Profilaksis tidak efektif untuk kejangfase lanjut.Faktor resiko terjadinya kejang :cedera otak berat, amnesia atautidak sadar berkepanjangan,

    hematom intrakranial atau kontusioserebri, dan fraktur depress.

    Referensi

    Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di

    RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf

    FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996

    Temkin et al l. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post traumatic

    seizures. The NEJM 1990; 323 : 497-502.

     Annegers JF et al l. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain Injuries. The

    NEJM 1998

    Chang S, Bernard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter : Antiepileptic drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Quality Standards Subcommittee of the

     American Academy of Neurology. Neuro logy 2003; 60 :10 -6.

    V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline : mannitol membantu menurunkan TIK pada pasien cidera otak berat. Pemberian

    secara bolus dengan dosis 0,25 sampai 1 gram / kgBB lebih dianjurkan

    dibandingkan pemberian secara kontinyu.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    25/59

     

    16

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Option : pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan monitor TIK jika

    didapatkan tanda – tanda herniasi transtentorial atau terjadi penurunan

    kesadaran yang progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol /l untuk

    mencegah terjadi gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi

    euvolumia dan dipasang urin kateter untuk memonitor produksi urin

    Penjelasan rekomendasi

    Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK

    dengan cara menarik cairan ke dalam ruang intravaskuler. Ketika menggunakan manitol

    harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga supaya pasien tetap euvolumia dan

    osmolaritas serum kurang dari 320 mmol/L. Euvolumia dipertahankan dengan penggantian

    volume cairan yang isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (tekanan darah sistolik

    kurang dari 90 mmHg). ( Balafif, 1999. Gemma, 1997., Mendelow, 1985 )

    Tabel tingkat pembuktian ( evidence)

    No Penulis Deskripsi Kelas Kesimpulan1 Balafif,

    1999Studi case controlmembandingkan antarapasien COB tipe “ nonsurgical mass lession”yang mendapat manitolsecara empiris dengantanpa manitol.

    II Manitol secara bermaknamenurunkan mortalitas COB tipe“non surgical mass lession” bilatidak ada episode hypotensionatau hypoksia selama perawatanpada GCS 3-5 atau CY scanmenunjukkan kontusio grade III

    2 Gemma,1997

    Prospective randomizedclinical studymembandingkan efekhypertonic saline 7,5%dengan manitol 20%

    II Hypertonic saline sama efektifnyadengan manitol dalammenurunkan edema otak selamaproses operasi bedah saraf

    3 Mendelow,1985

    Penilaian pengaruhpemberian manitol 20dengan dosis 0,25 – 0,5g/kg intravena terhadapTIK, CPP dan CBF

    III Terjadi penurunan TIK, danpeningkatan CBF dan CPP

    Referensi

    Balafif F. Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada penderita cdera otak berat tipe “

    Non Surgical Mass Lession” di RS dr. Soetomo Surabaya. 1999

    Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Calvi MR, Cipriani A, Garancini MP., 7.5%

    hypertonic saline versus 20% mannitol during elective neurosurgical supratentorial

    procedures., J Neurosurg Anesthesiol. 1997;9(4):329-34.

    Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure in

    human head injury. J Neurosurg 1985; 63:43-8.

    V.3 Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis

    Standard   : Belum ada data yang mendukung

    Guideline  : Belum ada data yang mendukung

    Options  : Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter

    ventrikuler tidak mengurangi resiko infeksi.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    26/59

     

    17

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Penjelasan Rekomendasi

    Pada cedera otak berat oleh karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat

    pada tindakan pemasangan monitor TIK, tindakan ventilasi mekanik dsb. Infeksi

    memberi pengaruh signifikan terhadap,morbiditas,mortalitas dan lama rawat inap dari

    penderita.

    Dan pada pemasangan monitor TIK jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksisampai dengan 27%. Penggunaan monitor TIK jangka pendek belum terbukti menaikkan

    risiko morbiditas,mortalitas.

    Tabel Tingkat Pembuktian (evidence) 

    No Penulis Deskripsi Kelas Kesimpulan

    1  Arabi et al l,

    2005 Ana lisa terhadap insidensinfeksi ventrokulostomy danevaluasi terhadap factor

    resikonya.

    III Penggunaan antibiotic lokal ataupusistemik tidak menurunkan resikoinfeksi pada pemasangan kateter

    ventrikel.

    2 Sunbarg et

    al l., 1996 Ana lisa rertrospektif dari648 pasien yang memakaiTIK monitor. 142-nyaadalah COB. Tidak adayang mendapat antibiotikprofilaksis.

    III Dari seluruh pasien COB tidak adainsiden definitive terhadap infeksiCSF.

    3 Holloway etal l.,1996

     Ana lisa retrospektif dari 584pasien cedera otak berat.

    III Pada 61 pasien denganventiculostomy ditemukan infeksi.Pada umumnya infeksi ditemukanpada 10 hari pertama setelahpemasangan ventriculostomy. Tidakada pengaruh antara kateter yangdiganti setiap 5 hari atau tidak.

    Referensi

     Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections: Insidence and risk

    factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.

    Sundbarg G, Nordstrom C-H, Soderstrom S. Complication due to prolonged ventricular fluid

    pressure recording. Br. J Neurosurg 1988;2:485–95.

    Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of monitoring duration and

    catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg 1996;85:419–24.

    V.4 Rekomendasi Penggunaan Analgetik

    Standard : Belum ada data pendukung 

    Guideline : Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) dan Acetaminophen dapat

    digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolak hanya boleh diberikan

    maksimal lima hari. Obat-obatn NSAID lainnya seperti ibuprofen dan

    naproxen bisa diberikan per-oral. 

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    27/59

     

    18

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Option :  Ketoprofen supositoria dan Acetaminophen supositoria bermanfaat

    mengurangi nyeri pada cedera otak ringan. Belum ada data yang tidak

    memperbolehkan metamizol diberikan pada pasien trauma kepala.

    Penjelasan rekomendasi : 

    Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan tekanan intra kranial dan harus ditangani.NSAID seperti ketorolak, metamizole, dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri

    dengan menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase.

     Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memilik i mekanisme yang sama dalam

    menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase. Peningkatan

    kadar prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID

    dapat pula menyebabkan perdarahan  saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.

    Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)

    No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan

    1 Jacobi J etal l., 2002

    Membahas literatur padaMedline search 1994-

    2001 untuk penyusunan

    guideline dengan review

    dari metaanalisis dan

    tabel evidence

    II Ketorolak dan acetaminophen bolehdigunakan pada pasien trauma

    kepala

    2 Hedenmalm

    K et al l.,

    2002

    Secara retrospektif

    membahas laporan kasus

    agranulocytosis akibat

    pemakaian metamizole

    III Insiden agranulocytosis 92% terjadi

    pada 2 bulan pertama pemakaian

    metamizole

    3 Prasetya H,

    2005

    Penelitian eksperimental

    semu pada pemakaianketoprofen dan

    acetaminophen pada

    COR

    II Ketoprofen dan acetaminophen

    bermanfaat mengurangi nyeri padaCOR

    Referensi

    Jacobi J et al l. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and analgesics in the

    critically ill adult. Am J Health Syst Pharm 2002;59(2):150-78

    Hedenmalm K et al l. Agranulocytosis and other blood dyscrasias associated with dipyrone

    (metamizole). Eur J Clin Pharmacol 2002;58(4):265-74.

    Prasetya H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian Paracetamol 650 mg Suppositoria

    dengan Ketoprofen 100 mg Suppositoria terhadap Nyeri Kepala pada Penderita Cedera

    Otak Ringan. Karya Akhir, 2005. 

    V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid

    Standard : Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien dengan

    cedera otak berat. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan

    menurunkan TIK pada pasien dengan cedera otak berat

    Guideline : Kortikosteroid tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita cedera otak

    sebagai cara untuk menurunkan TIK yang tinggi. Option : - 

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    28/59

     

    19

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Penjelasan rekomendasi : 

    Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor

    kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau

    meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid

    tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagianreseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga

    terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu. Pada beberapa

    kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi bisa timbul

    perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan mortalitas dan

    manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid di beberapa penelitian menjadi

    pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak.

    Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)

    No Penulis Deskripsi Kelas Kesimpulan

    1 Alderson P,2005 Penelitian RandomisedControlled Trials  untuk menilaikuantitas efektifitas dankeamanan tentang penggunaankortikosteroid pada traumakepala

    I Penelitian yang terbesarmenyimpulkan mortalitasdengan steroid pada penelitianini menyarankan steroid tidaklagi digunakan rutin padacedera otak

    2 Philip Aiderson,1997

    Penelitian RandomisedControlled Trials  untuk menilai

    kuantitas efektifitas dankeamanan tentang penggunaankortikosteroid pada traumakepala

    I Review sistemik pada RCTuntuk kortikosteroid padacedera otak akut menunjukkanefek yang tidak jelas.

    3 Umar Kasan,

    1994

    Penelitian prospektif komparatif

    penggunaan dengan dan tanpakortikosteroid pada pasiencedera otak

    II Terapi dengan dan tanpa

    kortikosteroid pada pasienmemar otak secara statistiktidak berbeda secarabermakna

    Referensi

     Alderson P, Roberts I. corticosteroid for acute traunatic brain injury, 2005

    Philip Aiderson. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of randomised

    controlled trials, BMJ 1997.

    Umar Kasan. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif Komparatif dengan

    dan tanpa Penggunaan Kortikosteoid, disertasi 1994.

    V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer

    Standard   : Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3

    mg/kgBB/jam.

    Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20 menit;

    dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam

    Penthotal loading dose diberikan 5-10mg/kg BB diberikan dalam 10 menit,

    dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.

    Guideline : -

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    29/59

     

    20

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Option  : - 

    Penjelasan rekomendasi :

    Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak,

    dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan

    pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat d ilihat dalam table di bawah ini, pilihanyang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik.

     Agent sedasi yang ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan

    suplai oksigen ke otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara

    autoregulasi otak dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat

    (v) mudah dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki

    therapeutic window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.

    Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management  kontrol TIK.

    Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence)

    No Penulis Deskripsi Penelitian Class Kesimpulanon

    1 Sanchez et al   Meneliti safety dan efficacypenggunaan propofol;midazolam araupunkombinasi propofol danmidazolam pada pasientrauma kepala

    I Baik propofol, midazolam,ataupun kombinasikeduanya dinyatakan amanuntuk pasien dengan traumakepala.

    2 Karabinis et al   Meneliti safety dan efficacysedasi berbasis analgesiamenggunakan ramifentanil, kombinasi denganmidazolam dan propofoldibandingkan dengsnfentanil, morphin kombinasidengan midazolam danpropofol di unit perawatanneuro-intensif.

    I Waktu pemeriksaanneurologis lebih cepat danlebih mudah diprediksidengan menggunakanramifentanil dibandingkandengan penggunaan fentanilataupun morphin.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    30/59

     

    21

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Referensi:

    Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the Brain-Failure Patient.In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park GR and Sladen RN.Blackwell Science 1995. pp 130-144

    Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al l. Propofol versus Midazolam: safety and efficacy for sedating

    the severe trauma patient. Anesth Analg. 1998;86(6):1219-24.Karabinis A et al . Safety and efficacy of Ana lgesia-based regimens in intensive care unit

    patients with brain injuries: a randomised, controlled trial. Crit Care.2004;8(4):R268 -80.

    Ederoth P et al . Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain trauma.Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35

    V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi

    Standard   : Pemberian nutrisi dini

    Guideline  : Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total  harus

    tercapai dalam waktu 7 hari setelah trauma. Kebutuhan nutrisi pasien

    cedera otak sebesar 140% dari kebutuhan basal pada pasien yang tidak

    di lumpuhkan dan 100% pada pasien yang di lumpuhkan. Nutrisi dapat

    diberikan secara enteral dan parenteral. Sedikitnya 15% dari asupan

    energi harus mengandung protein. Pemberian lemak sebaiknya yang

    merupakan kombinasi LCT (Long-Chain Triglyserides) dan MCT (Medium- 

    Chain Triglyserides). 

    Option  :  Pemberian melalui gastrojejunostomy   untuk menghindari masalah

    pengosongan lambung dan memudahkan pemberian

    Penjelasan rekomendasi : 

    Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga

    membutuhkan nutrisi yang cukup. Pemberian asupan nutrisi yang adekuat dapat

    memperbaiki outcome pasien dengan cedera otak. Dari penelitian diketahui bahwa

    pemberian kombinasi LCT (Long-Chain Triglyserides) dan MCT (Medium-  Chain

    Triglyserides) mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme

    protein di viscera pasca trauma. Disarankan pemberian early feeding   karena

    memberikan outcome lebih baik. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode

    pemberian mana yang paling baik. Tetapi penelitian menunjukkan pemberian late

    feeding ( lebih dari 1 minggu setelah trauma ) berhubungan dengan nitrogen loss yang

    besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% per minggu. Untuk mencapai

    pemenuhan kebutuhan nutrisi pada hari ke 7, maka pemberian nutrisi harus dimulaipaling lambat 72 jam setelah trauma. Diperlukan komunikasi yang baik antara dokter,

    farmasi, dan ahli gizi untuk menjamin asupan nutrisi. Salah satu keuntungan pemberian

    makanan melalui pipa gastrojejunostomi adalah letaknya jauh dari wajah pasien dan

    terhindar dari tercabut pasien saat gelisah ( Borzotta, 1994, Grahm, 1989., Taylor 1987) 

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    31/59

     

    22

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence)

    No Penulis Deskripsi Penelitian Klass Kesimpulan

    1 Sarafzadeh et al   Mengukur perubahanmetabolik pada penderitaimpending atau manifesthypoxia pada pasien

    cedera otak. Meneliti safetydan efficacy penggunaanpropofol; midazolamaraupun kombinasipropofol dan midazolampada pasien trauma kepala

    II Hiperventilasi memilikipotensi terjadinya efeksamping metabolismecerebral. keadaan

    metabolisme cerebralanaerobitergantung dariderajat dan lamanya episodehipoksik .

    2 Parel P et al   Review article dukungannutrisi pada penderitacedera otak.

    I Early feeding memberikansurvival dan disabilityoutcome yang lebih baik

    3 Krakau K et al   Systematic reviewmengenai status metabolikdan terapi nutrisi padapenderita cedera otak

    sedang-berat

    I Hasil review menunjukkanpeningkatan metabolic rate,hiperkatabolisme, danintoleransi gastrointestinal

    sampai 2 minggu pascatrauma.Kecenderungan morbiditasdan mortalitas yang lebihrendah pada penderita yangmendapat early feeding .

    4 Calon B et al   Meneliti nilai metabolikMCT dan LCT padapenderita trauma kepala

    II MCT memiliki efekmenguntungkan padametabolisme protein viseralpasca trauma

    Referensi:

    Sarrafzadeh AS et al . Metabolic changes during impending and manifest cerebral hypoxia in

    traumatic brain injury. Br J Neurosurg.2003;17(4):340-6

    Krakau K;Omne-Ponten M;Karlson T;Borg j. Metabolism and nutrition in patients with moderate

    and severe traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67.

    Calon B et al . Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat emulsion in

    parental nutrition of severe head trauma patients. Infusiontherapie.1990;17(5):246 -8.

    V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector  dan Acid Supressor Agent

    Standard :Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid suppressive agent   denganH2 blocker, Proton Pump Inhibitor (PPI), dan gastric mucosal protector

    dapat membantu penurunan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress

    related mucosal damage (SRMD). Proton pump Inhibitor (PPI)  lebih

    dianjurkan karena memiliki karakteristik cara kerja dan durasi kerja yang

    lebih baik dibandingkan H2 Blocker  dan gastric mucosal protector. 

    Guideline - 

    Option : -

    Penjelasan rekomendasi

    Pemberian regimen profilaksis  Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden

    perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer   dengan pengaturan PH

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    32/59

     

    23

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site

    of action  memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih

    lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12 jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde

    (Messori et al l, 2000., Michelle et al l, 2004., David C. Metz, 2005.)

    Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan

    1 David C.Metz, 2005

    Meta analisis dari RCTtentang penggunaan acidsuppressive agent untukpencegahan SRMD danstress ulcer  

    I Pemberian regimen acidsuppressive agent dapatmencegah terjadinya SRMD danstress ulcer dengan menjagakeasaman lambung.

    2 Michelle E. Allen, 2004

    Meta analisis dari RCTtentang profilaksis terapiterhadap stress ulcer  

    I Pemberian obat propilaksis untukpencegahan perdarahangastrointestinal yang disebabkanoleh stess ulcer memberikan hasilyang sedikit significan dalam

    menurunkan insiden perdarahangastrointestinal3 S Trippoli, et

    al l, 2000Meta analisis daripenelitian tentangpenggunaan ranitidineversus sucralfat dalampencegahan stress ulcer

    I Pemberian ranitidine dan sucralfatkurang efektif dalam pencegahanperdarahan gastrointestinal yangdisebabkan oleh stess ulcer

    Referensi

    David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-Related Mucosal

    Disease. Medscape. 2005

    Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of Health-System

    Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst 

    Pharm. 1999; 56:347-79.

    S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in intensive care patients

    given ranitidine and sucralfate for prevention of stress ulcer: meta-analysis of randomised

    controlled trials. BMJ 2000;321:1103-07

    V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline

    Standar   :Belum ada data pendukung

    Guideline  :Pemberian citicoline pada pasien sindroma post concussio, 

    ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala pasca

    commotio. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pascatrauma menunjukkan perbaikan yang bermakna.

    Option  :Pemberian Citicoline pada jangka waktu lama setelah cedera otak

    dapat memberikan peningkatan kemampuan kognitif.

    Penjelasan Rekomendasi:

    Citicoline (Cytidine 5' - diphosphocholine or CDP-choline) berfungsi mengaktifasi bio-

    sintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolisme otak dan

    menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicoline juga

    mempunyai fungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K

     ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2. Citicoline dapat diberikan padapasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka lama dan hasilnya

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    33/59

     

    24

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post concussion,

    perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat diberikan

    dengan dosis 1 gram perhari baik oral maupun injeksi.

    Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )

    No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan1 Levin HS.

    1991Penelitian double blindplacebo-control untukmenilai efikasi citicolinedengan pemberian 1gram tablet selama 1bulan pada 14 oranguntuk pengobatan tandadan gejala sindromapost concussionalsetelah cedera otakringan dan sedang.

    II Hasil: adanya perbaikan dalamfungsi memori pada pasien denganpemberian citicoline dibandingdengan tanpa pemberian obattersebut (P < 0.02)

    2 CalatayudMV, PerezJB, AsoEscarioJ.1991

    Penelitian single blindrandomized pada 216pasien cedera otaksedang dan berat yangmenerima pengobatanciticoline.

    II Hasil: adanya perbaikan dalam fungsimotor, kognisi dan psikis sertadidapatkan adanya pemendekanmasa waktu rawat inap pada pasiendengan pemberian citicoline.

    3 Spiers PA,HochanadelG, 1999

    Case report: 2 pasiendengan pemberianciticoline selama 1,5sampai 4 tahun setelahcedera otak.

    III Citicoline memberikan hasilperbaikan fungsi kognisi setelahcedera otak sedang dan berat.

    Referensi:Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J Neurology Science.

    103: S39-42, 1991

    Maldonado VC et al . Effects of CDP-coline on the recovery of patients with head injury. J

    Neurology Science. 103: S15-18, 1991

    Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two cases, including

    my own. J Int Neuropsychol Soc. 5:260-264, 1999

    V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam

    Standar   :Belum ada data pendukung

    Guideline  :Pemberian piracetam dengan dosis 24-30mg/hari secara bermakna

    dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis pada pasien

    cedera otak.

    Option  :Piracetam juga dapat memberikan pengaruh mengurangi tingkat

    keparahan dan gejala-gejala sindroma  post concussion , dan

    memperbaiki tingkat kesadaran pasien cedera otak dalam kondisi

    koma dalam.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    34/59

     

    25

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Penjelasan Rekomendasi:

    Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif,

    meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme

    phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan

    oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatkan perfusi lokal. Pemakaian piracetam

    dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejalasindroma post concussion  dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran.

    Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 mg/hari baik injeksi

    maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan per oral dengan dosis 4,800

    gram/hari.

    Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )

    No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan

    1 Goscinski I, etal , 1998

    Penelitian prospektifkasus-kontrol untukmengetahui efektifitas

    pemberian piracetampada 100 pasien cederaotak sedang dan berat.

    II Hasil: Dosis 24-30 g/harimemberikan hasil yang positif untukmemperbaiki kondisi pasien yang

    dapat dilihat pada parameter: partia l oxygen pressure   (oxygentherapy) dan kadar gula darah.

    2 Goscinski I, etal , 1999

    Penelitian observasionalyang dilakukan padatahun 1995-1996dengan jumlah pasien100 orang untukmengetahui pengaruhpiracetam pada cederaotak.

    III Hasil: dosis tinggi piracetam (24-30g/hari) memperbaiki kondisi pasien

     jika pengobatan dimulai segerasetelah cedera.

    3 HakkarainenH dan

    Hakamies L.1978

    Penelitian double-blinddengan 60 pasien

    dengan sindroma  postconcussional   yangdiberikan selama 2-12bulan, dengan dosis4,800 mg perhari.

    II Hasil: setelah 8 minggupengobatan, ditemukan

    pengurangan tanda dan gejalasindroma  post concussional   sepertivertigo, sakit kepala, kelelahan,gangguan kesadaran, peningkatankeringat dan gejala lain.

    Referensi:

    Goscinski I, Sliwonik S, Sondej T, Kwiatkowski S, Moskala M, Cichonski J, Wegrzyn D, Uhl H,

    Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol Neurochir Pol Sep-

    Oct;32(5):1189-97, 1998

    Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of post-concussional syndrome.

    Eur Neurol 17, 50-55, 1978

    Goscinski I, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T,   Clinical

    observations concerning piracetam treatment of patients after craniocerebral

    injury, Przegl Lek;56(2):119-20, 1999

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    35/59

     

    26

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA

    PEMBEDAHAN

    VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline : Belum ada data yang mendukung

    Option  : Indikasi, waktu, dan metode pembedahan

    Indikasi pembedahan

    -  Pasien epidural hematoma dengan volume >30 cc, tanpa melihat GCS

    -  Perdarahan epidural dengan volume

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    36/59

     

    27

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Referensi

    Bullock et al l. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery 2006;58:7–

    15.

    Mitesh V. American Journal of Neuroradiology 1998;20:115-6.

    VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)

    Standard : Belum ada data yang mendukung.

    Guideline : Menurunkan TIK dengan drainase CSS transventrikel dan monitoring TIK

    lebih penting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10 mm).

    Option  : Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi.

    Indikasi Pembedahan 

    1. Pasien subdural hematoma, tanpa melihat GCS

    -  dengan ketebalan >10mm

    -  atau pergeseran struktur midline > 5mm pada CT scan

    2. Semua pasien subdural hematoma dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring

    tekanan intrakranial.

    3. Pasien subdural hematoma dengan GCS < 9,

    -  ketebalan subdural hematoma < 10mm dan pergeseran struktur midline, jika

    mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian

    dengan saat masuk ke rumah sakit

    -  dan/atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetris atau fixed

    -  dan/atau TIK > 20mmHg.

    Waktu

    Pada pasien subdural hematoma akut dengan indikasi pembedahan, pembedahan

    dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripadaevakuasi hematom.

    Metode

    Metode penanganan pasien dengan subdural hematoma akut tipis traumatik dengan

    drainase CSF transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy

    dekompressi dan pemasangan drainase CSF transventrikel dilakukan pada penderita

    dengan indikasi tertentu. 

    Penjelasan Rekomendasi

    Penderita cedera otak berat dengan komplikasi subdural hematom akut merupakanpenyebab utama kematian pada cedera otak berat dengan lesi massa intrakranial.

     Angka kematian mencapai 42% - 90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena

    mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema

    serebral. 

    Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih

    penting dari efek hematom subdural itu sendiri. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih

    penting daripada waktu pelaksanaan evakuasi hematom.  

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    37/59

     

    28

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )

    No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan

    1 Widodo,1999

    Penelitian prospektifeksperimental untukmengetahui perbedaanhasil akhir antara

    tindakan operasi dankonservatif padapenderita cedera otakberat dengan hematomsubdural akut traumatikatipis.

    II Tidak ada perbedaan bermaknasecara statitistik antara tindakanoperasi dan konservatif padapenderita cedera otak berat dengan

    hematom subdural akut traumatikatipis.

    2 Hartanto,2003

    Penelitian prospektifanalitik untuk mengetahuiperbedaan hasil akhirantara tindakanpembedahan (evakuasihematom dandekompressi) dengan

    penanganan secarakonservatif padapenderita dengan cederaotak berat dengankomplikasi hematomsubdural kurang dari 1cm dan efek massa lebihdari 5 mm.

    II Tindakan pembedahan (evakuasihematom dan dekompresi) lebih baikdaripada penanganan secarakonservatif.

    3 Thohari,2006

    Studi prospektifobservasional untukmengetahui perbedaanhasil akhir antaratindakan pembedahanevakuasi hematom dandekompresi dengandrainase CSFtransventrikel padapenderita dengan cederaotak berat dengankomplikasi hematomsubdural kurang dari 1cm dan efek massa lebihdari 5 mm.

    II Tindakan drainase CSFtransventrikel lebih baik dibandingkandengan pembedahan evakuasihematom dan dekompresi.

    4 Wilbergeret al l, 1991

    Penelitian retrospektifanalitik untuk mengetahuiapakah operasi yangdilakukan kurang dari 4

     jam setelah traumamemberi hasil akhir yanglebih baik

    ClassII

    Kemampuan untuk mengontrol TIKlebih berpengaruh terhadap hasilakhir dibandingkan waktupelaksanaan evakuasi hematom

    Referensi

    Widodo J. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita dengan komplikasi

    hematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS I

    Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999

    Hartanto RA. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural akut tipis pada cedera otak

    berat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD

    Dr Soetomo. 2003

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    38/59

     

    29

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Thohari K. Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis pada Penderita Cedera otak Berat.

    Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr

    Soetomo. 2006

    Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity, mortality, and

    operative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.

    VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline : Belum ada data yang mendukung

    Option  : Indikasi, waktu, dan metode pembedahan

    Indikasi pembedahan

    1. Pasien dengan lesi masa parenkimal

    -  tanda-tanda deteorisasi neurologis yang progresif dan sesuai dengan lesi,

    -  hipertensi intrakranial yang refrakter dengan pengobatan

    -  atau ada anda-tanda efek masa pada CT kepala.

    2. Pasien dengan GCS 6-8-  dengan kontusio frontal atau temporal volume >20 ml, dengan pergeseran

    struktur

    -  midline ≥ 5mm

    -  dan atau kompresi sisterna pada CT

    -  lesi ≥ 50ml..

    3. Pasien dengan intra cerebral hematoma yang tidak menunjukkan tanda-tanda

    neurologis yang menjelek, dan telah dilakukan kontrol terhadap TIK, dan tidak

    menunjukkan efek massa yang bermakna pada CT, dapat dilakukan

    penatalaksanaan non operatif dengan monitor yang intensif dan foto serial

    Waktu dan Metode

    -  Kraniotomi dan evakuai lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi

    fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas.

    -  Kraniektomi dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan

    penanganan untuk pasien dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi

    intrakranial membandel yang dengan pengobatan.

    -  Prosedur dekompresi, termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal

    dan kraniektomi dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk

    pasien dengan hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal

    difus dengan klinis dan radiologis adanya impending herniasi transtentorial.

    Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )

    No Penulis Deskripsi Kelas Kesimpulan

    1 Bullock etal l., 2006

    Manajemen bedah padaperdarahan parenkim otak

    III Evakuasi masa yang segera bila adaefek masa dan penurunan fungsineurologi progresif

    2 De Luca etal l, 2000

    Pengalaman pengarangterhadap penangananpasien dengan peningkatantekanan intracranial.

    III Operasi dekompresi untukpeningkatan TIK harus dilakukansesegera mungkin, sebelumkeadaan yang irrversibel terjadi.

    3 Soloniuk etal l, 1986

    Manajemen dan indikasioperasi ICH trauma

    III Indikasi operasi dibuat berdasarkandata dari yang ada dan waktu kapan

    untuk dilakuan evakuasi.

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    39/59

     

    30

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Referensi

    Bullock et al l. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47–

    55.

    De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al : The role of decompressive craniectomy in the treatment

    of uncontrollable post-traumatic intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl

    2000;76:401-4.Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al : Traumatic intracerebral hematomas: timing of appearance

    and indications for operative removal. J Trauma 1986; 26:787-94.

    VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Masa di Fosa Posterior

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline  : Belum ada data yang mendukung

    Option  : Indikasi, waktu, dan metode pembedahan

    Indikasi pembedahan

    -  Pasien dengan efek massa pada CT scan kepala. Efek massa ditandai dengan

    distorsi, dislokasi atau obliterasi ventrikel IV, kompresi atau hilangnya sisterna

    basalis atau adanya hidrosefalus obstruktif.

    -  Pasien dengan disfungsi neurologis

    -  Pasien dengan deteriorisasi yang sesuai dengan lesi

    -  Pasien dengan lesi tanpa efek massa yang bermakna pada CT dan tanpa tanda-

    tanda disfungsi neurologis dapat dilakukan penatalaksanaan non operatiif

    dengan observasi yang ketat dan foto serial

    Waktu

    Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukansecepat mungkin sejak pasien mengalami deteriorisasi dengan cepat dan penderita

    dengan GCS > 8 memiliki prognosa yang lebih baik.

    Metode

    Kraniektomi suboccipital merupakan metode yang banyak dipakai dan

    direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior.

    Penjelasan Rekomendasi

    Trauma yang berakibat lesi masa pada fossa posterior hanya berkisar 3 %

    dari seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi masafosa posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan

    ruang fosa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.

    Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik.

    Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )

    No Penulis Deskripsi Kelas Kesimpulan

    1 Bullock et

    al l., 2006

    Manajemen bedah lesi

    masa fosa posterior dari

    analisa 24 dokumen

    medline secara review

    sistematis

    III Guideline disusun berdasar data

    yang mendukung evakuasi masa

    yang segera bila ada efek masa

    dan penurunan fungsi neurologi

    progresif

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    40/59

     

    31

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    2  Avella et al l.,

    2003

    Laporan kasus 24 pasien

    SDH trauma fosa

    posterior

    III Pada pasien dengan GCS > 8

    yang segera dilakukan operasi

    memiliki outcome yang lebih baik

    3 Kizilkilc et

    al l., 2003

    Laporan kasus pasien

    SDH trauma fosa

    posterior dengan kista

    arakhnoid

    III Terapi konservatif dapat dilkukan

    secara selektif pada kasus SDH

    fosa posterior

    Referensi

    Bullock et al l. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47–

    55.

     Avella et al l. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa : Clinicoradiological analysis of 24

    patients. 2003.

    Kizilkilc et al l. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with an Arachnoid

    Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003;29:242 -6.

    VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Patah Tulang Kepala Depresi

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline  : Pemberian obat antibiotik propilaksis untuk pencegahan meningitis pada

    fraktur dasar tengkorak tidak bermakna dibandingkan placebo

    Option  :Penatalaksanaan fraktur dasar tengkorak terdiri dari perawatan konservatif

    dan atau tindakan pembedahan

    Penjelasan rekomendasi

    Perawatan konservatif

    Dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran dura yang persisten, fraktur tulang

    temporal, kelumpuhan otot – otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan. Terapi

    konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama lima hari untuk

    memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan

    pemberian 1 sampai 2 juta unit penicillin perhari pada kasus kebocoran likuor. Kultur

    nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur.

    Pasien dipertahankan dalam posisi tirah baring total dengan elevasi posisi the head of

    bed , untuk mengurang aliran CSF. Bila kebocoran tidak berkurang dalam waktu 72 jam

    dengan terapi konservatif. Pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150

    ml CSF per hari selama 3 sampai 4 hari. Diversi CSF dari kebocoran dura dapatmembantu penutupan secara spontan.

    Indikasi pembedahan

    1. Kebocoran likuor serebrospinal pos trauma yang disertai dengan meningitis.

    2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule 

    3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah

    4. Trauma balistik pada tulang temporal yang menyebabkan kerusakan vaskular

    5. Defek yang luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, pneumocephalus

    atau kebocoran CSF lebih dari lima hari

    Waktu

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    41/59

     

    32

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Tidak ada konsensus mengenai Waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir

    menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu lima hari semenjak CSF

    fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi insiden

    infeksi.

    Metode1. Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell

    tracts  dan obliterasi dari tuba Eustachian. Setelah struktur yang cidera diperbaiki

    atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang

    terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal.

    2. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa

    posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang

    petrosus. Diusahakan melakukan penutupan primer, namun bila tidak

    memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk

    menutup defek.

    3. Tindakan operasi untuk rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yangdiketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.

    Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)

    No Penulis Deskripsi penelitian Kelas Kesimpulan

    1 Katzen T. et

    al , 2007

    Review beberapa

    penelitian tentang fraktur

    dasar tengkorak

    III Penanganan fraktur dasar

    tengkorak dapat dilakukan dengan

    konservatif bila tidak didapatkan

    indikasi pembedahan.

    2 Turchan A.1995

    Prospektif case controlinsiden meningitis pada

    pemberian antibiotik pada

    fraktur dasar tengkorak.

    II Pemberian obat antibiotikpropilaksis untuk pencegahan

    meningitis pada fraktur dasar

    tengkorak tidak bermakna

    dibandingkan placebo.

    Referensi

    Katzen T., Jarrahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK . Craniofacial and

    Skull Base Trauma. 2007. Available at: WWW . Skull Base Institute.

    Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal Mencegah

    Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah Tulang Dasar Tengkorak.

    Laboratorium Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas

     Airlangga. 1995

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    42/59

     

    33

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    REKOMENDASI PENGENDALIAN

    TEKANAN INTRAKRANIAL

    VII.1. Indikasi pemasangan alat pantau tekanan intrakranial – ventrikulostomi

    Standard : Belum ada data yang mendukung 

    Guideline : pemasangan Monitor TIK perlu dilakukan pada pasien cedera otak berat

    (GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal

    (hematoma, contusio, edema atau penyempitan sisterna basalis ). Monitor

    TIK juga perlu dipasang pada pasien Cedera Otak Berat (COB) dengan CT

    scan kepala normal jika didapatkan dua atau lebih dari hal berikut :

    a. Usia > 40 tahun

    b. Tekanan darah sistolik < 90c. Postural bilateral atau unilateral

    Option : Indikasi pemasangan monitor TIK 

    Penjelasan Rekomendasi

    Banyak data dilaporkan sejak tahun 1970 - an penurunan angka mortalitas dan

    morbiditas pada pasien COB dengan penerapan protokol penanganan yang intensif

    (Intensif Menagement Protokol ). Tujuan utama penanganan secara intensif ini adalah

    memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak

    sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan

    hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu – satunya jalan untuk menentukan

    Cerebral  Perfusion Pressure dan Cerebral Hypoperfusion adalah dengan memonitor TIKdan tekanan darah secara kontinyu

    Metode 

    Metode monitoring tekanan intra kranial adalah melakukan pemasangan drainase

    intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik Kocher.

    VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial

    Standard : belum ada data yang mendukung 

    Guideline : belum ada data yang mendukung 

    Option : Beberapa option dalam penanganan TIK 

    Penjelasan rekomendasi : 

    Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta

    Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:

      Pemasangan TIK Monitor  

      Menjaga CPP 60 - 70 mmHg

      Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)

      Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB

      Hiperventilasi PaCO2 30-35 mmHg (pada kasus impending  herniasi)

      Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCO2 

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    43/59

     

    34

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I

    Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of

    Neurotrauma November 1996)

    PemasanganMonitor TIK

    Menjaga CPP

    60-70mmHg

    Hipertensi TIK

    Manitol

    0.25-1.0 g/KgBB

    CT Scan

    ulang

    Pertahankan

    terapi TIK

    Hipertensi TIK?

    Hiperventilasi sampai

    PaCO2 30-35mmHg

    Hipertensi

    Intrakranial?

    Terapi tersier

    penanganan TIK

    tidak

     

    ya

     

    ya tidak

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    44/59

     

    35

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II

    Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common

    Questions. 2004

    Sedasi dan analgesik

    Penggunaan Ventilator

    Head Up 30° dengan leher

    an lurus

    Manitol

    Cairan hipertonik THAM

    Drainase CSF

    Decompressive Craniectomy

    Koma dengan barbiturat

    Terapi Dasar

    Terapi Lanjutan

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    45/59

     

    36

      n  e  u

      r  o  t  r  a  u  m

      a 

    Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III

    Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly

    1997

    Sedasi

    Drainase CSF

    Manitol

    Mild Hiperventilasi-

    hipothermi 32oC

    Hiperventilasi agresif

    Barbiturat

  • 8/20/2019 Neurotrauma Guideline RSU dr Soetomo.pdf

    46/59

     

    37

       n   e   u   r   o   t   r   a   u   m

       a 

    Tabel Tingkat Pembuktian ( evidence)

    No Pengarang Diskripsi Kelas Kesimpulan

    1 Bullock et al . Jalur kritis penanganan TIK III Sesuai skema I,drainase CSF setelahitu manitol

    2 Valadka et al    Algoritma penanganan T IK III Sesuai skema II,

    pemberian manitolsetelah itu drainaseCSF

    3 Peter Reilly Algoritma penanganan TIK III Skema III,drainase CSFdulu baru pemberianmanitol

    Referensi

    Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,Journal of

    Neurotrauma,November 1996.

    Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and man