1. hasil pengamatan
Hasil pengamatan pada praktikum fermentasi dalam pembuatan nata
de coco untuk kloter D dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2
berikut
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de CocoKelTinggi Awal
Media (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata (%)
07140714
D12-0,50,7-2535
D21,2-0,50,6-41,6750
D31,3-0,40,5-30,7738,46
D41-0,40,5-4050
D52,5-0,60,6-2424
Tabel 1 daitas menunjukkan bahwa terdapat 3 hal yang
dibandingkan, yaitu tinggi awal media, tinggi ketebalan nata dan %
lapisan nata. Pengamatan dilakukan dari hari ke-0, hari ke-7 dan
hari ke-14. Pada pengamatan tinggi awal media, kelompok D5 memiliki
tinggi yang paling tinggi, yaitu 2,5 cm. Pada pengamatan terhadap
tinggi ketebalan nata untuk hari ke-0 semua kelompok belum memiliki
ketebalan nata. Pada hari ke-7 diketahui kelompok D5 memiliki
ketebalan nata yang paling tinggi, yaitu 0,6 cm. Pada pengamatan
hari ke-14 yang memiliki ketebalan nata tertinggi adalah kelompok
D1 yaitu dengan ketebalan 0,7 cm. Selanjutnya pengamatan terhadap %
lapisan nata pada hari ke-7 dapat diketahui yang paling besar
adalah kelompok D3, yaitu 41,67% kemudian pada pengamatan hari
ke-14 diketahui % lapisan nata yang tertinggi adalah kelompok D2
dan D4, yaitu 50%.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de
CocoKelompokAromaWarnaTekstur
D1++++
D2++++++
D3+++++++
D4+++++
D5++++
Keterangan:Aroma Warna Tekstur+: sangat asam +: kuning +: tidak
kenyal++ : asam ++ : putih bening ++ : agak kenyal+++: agak asam+++
: putih agak bening +++ : kenyal++++: tidak asam++++ : putih ++++ :
sangat kenyal
14
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada uji sensori terhadap aroma
diketahui kelompok D3 agak asam, kelompok D4 sangat asam dan
kelompok lainnya asam. Untuk aspek warna, pada3
pengujian sensorinya diketahui bahwa warna yang terbentuk pada
keseluruhan kelompok adalah kuning kecuali pada kelompok D3 yang
memiliki warna putih bening. Pada pengamatan terhadap tekstur dapat
diketahui bahwa kelompok D2 dan D4 memiliki tekstur yang kenyal.
Pada kelompok D3 memiliki tekstur yang agak kenyal dan kelompok D1
dan D5 memiliki tekstur yang tidak kenyal.
2. pembahasan
Pada pembahasan kali ini dilakukan pembahasan pada praktikum
fermentasi dalam pembuatan nata de coco. Nata termasuk dalam
selulosa yang memiliki bentuk padat. Karakteristik lain yang
dimiliki nata, yaitu memiliki warna putih dan transparan, serta
teksturnya kenyal (Anastasia & Afrianto, 2008). Berdasarka
bahan bakunya, terdapat berbagai macam nata. Bahan baku yang harus
dimiliki adalah komponen gula, mineral, protein dan karbohidrat
yang tinggi. Bahan baku pembuatan nata dapat berasal dari air
kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya), sari buah nanas
(nata de pina) dan sari buah mangga (nata de mango) (Pambayun,
2002). Dalam praktikum ini dilakukan pembuatan nata de coco
sehingga dengan demikian menggunakan air kelapa sebagai bahan
bakunya. Air kelapa memiliki kandungan gizi yang tinggi antara lain
kandungan air, protein, lemak, karbohidrat, abu. Kandungan gizi
yang lain adalah asam pantotenat, asam niotinat, biotin, rioflavin,
dan asam folat. Terdapat juga komponen gizi air kelapa yang lain,
yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa dan vitamin B kompleks dimana
komponen-komponen ini dapat membantu pertumbuhan mikroorganisme
dalam proses fermentasi (Palungkun, 1996).
Nata de coco merupakan salah satu jenis produk pangan yang
diproduksi karena adanya proses fermentasi melalui Acetobacter
xylinum dengan media substrat cair air kelapa (Santosa et al.,
2012). Pada praktikum ini tahap awal yang dilakukan adalah proses
pembuatan media. Tahap pertama air kelapa disaring dahulu. Proses
penyaringan berfungsi agar diperoleh media yang bersih, steril dan
bebas kontaminan dan kotoran agar diperoleh nata dengan hasil yang
baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses penyaringan dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Proses penyaringan awal
Selanjutnya proses dilanjutkan dengan memasukkan gula pasir
sebanyak 10% air kelapa ke dalam air kelapa yang sudah disaring.
Gula pasir memiliki fungsi untuk menyediakan karbon pada karbon
organik untuk Acetobacter xylinum. Hal ini dilakukan untuk
dihasilkan tenunan selulosa (Awang, 1991). Pada proses fermentasi
digunakan sumber karbon dari monosakarida dan disakarida (paling
banyak ditemui sukrosa). Sukrosa banyak ditemui dalam bentuk gula
pasir (Pambayun, 2002). Dengan demikian penggunaan gula pasir
sebanyak 10% dari air kelapa pada praktikum ini berfungsi karena
Acetobacter xylinum akan membentuk lapisan nata yang tebal sehingga
diketahui bahwa konsentrasi 10% merupakan konsentrasi optimum untuk
memproduksi nata de coco. Apabila pada proses pembuatan nata de
coco gula yang digunakan kurang dari 10% maka tidak dimanfaatkan
maksimal oleh Acetobacter xylinum dalam pemuatan nata de coco ini
(Sunarso, 1982). Gula pasir juga memiliki fungsi untuk menentukan
karakteristik nata seperti tekstur, flavor, penampakan bahkan
pengawet (Hayati, 2003). Proses penambahan gula pasir dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Penambahan gula pasir
Setelah dilakukan penambahan gula pasir, proses dilanjutkan
dengan melakukan pemanasan media. Proses pemanasan ini berfungsi
untuk melarutkan gula dan membantu proses pembunuhan mikroorganisme
kontaminan pada air kelapa. Tahap pada praktikum ini sesuai dengan
teori Tortora et al. (1995) yang menyatakan bahwa air kelapa
setelah disaring mengalami proses pemasakan. Proses pemasakan
dilakukan hingga mendidih sehingga mikroorganisme kontaminan dapat
mengalami pengurangan jumlah. Fungsi pemanasan pada prose pembuatan
nata de coco ini agar gula pasir larut sebab apabila tidak terlarut
secara sempurna dapat terjadi kesulitan pada penyerapan oleh
Acetobacter xylinum. Proses fermentasi pada pembuatan nata menjadi
tidak maksimal (tebal) apabila terjadi kejadian tersebut (Astawan
& Astawan, 1991). Proses pemanasan dapat dilihat pada Gambar 3.
berikut ini.
Gambar 3. Proses pemasakan
Pada proses pemasakan tersebut dilakukan penambahan ammonium
sulfat sebanyak 0,5%. Penambahan ammonium sulfat ini berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan sumber organik nitrogen agar pertumbuhan
mikroorganisme Acetobacter xylinum dapat mengalami fermentasi
dengan baik (Awang, 1991). Selain ammonium sulfat sumber nitrogen
yang dapat digunakan antara lain protein, ekstrak yeast, urea
(Pambayun, 2002). Bentuk ammonium sulfat yang ditambahkan beserta
proses penambahan ammonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 4
berikut ini.
Gambar 4. Ammonium sulfat dan proses penambahan ammonium
sulfat
Proses pembuatan nata de coco kemudian dilanjutkan dengan
penamahan asam asetat glacial hingga pH 4-5. Asam asetat glacial
digunakan dalam praktikum ini karena asam asetat glacial dapat
menciptakan kondisi pH pada media yang optimal. Kondisi asam
merupakan kondisi yang mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum
yang dapat tumbuh pada pH 4-4,5 (Pambayun, 2002). Kemudian
Anastasia & Afrianto (2008) menambahkan bahwa pH pada media
untuk menghasilkan nata de coco perlu ditambahkan asam atau
acidulant. Hal ini dilakukan agar pH yang diinginkan yaitu 4-5
tercapai sehingga pertumbuhan Acetobacter xylinum optimal. Proses
penambahan asam asetat glacial dilakukan di ruang asam. Sebelum dan
setelah proses penambahan asam asetat glacial dilakukan pengamatan
pH menggunakan pHmeter. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar
5.
Gambar 5. Proses pengecekan pH dan penambahan asam asetat
glacial
Proses pembuatan nata de coco yang terakhir adalah proses
pemanasan kembali hingga gula terlarut dan kemudian disaring.
Proses penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan partikel besar
yang tertinggal pada air kelapa dan merupakan proses untuk
mengurangi kontaminasi serta kotoran agar fermentasi dapat berjalan
baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses pemanasan dan penyaringan
akhir dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Proses pemasakan dan penyaringan akhir
Langkah kerja yang dilakukan tersebut merupakan proses pembuatan
media. Proses pembuatan media ini merupakan bagian yang penting
karena membantu pertumbuhan bakteri nata dimana media ini
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam proses pembuatan nata de
coco. Bakteri yang didukung dalam praktikum ini adalah Acetobacter
xylinum. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Volk
& Wheeler (1993) yang menyatakan bahwa media akan menyediakan
makanan untuk biakan tumbuh secara subur sehingga dengan demikian
diperoleh biakan murni. Pembuatan media ini juga untuk menunjang
kondisi lingkungan sehingga kelangsungan hidup mikroorganisme
dengan jumlah banyak lebih terjamin. Nata de coco merupakan produk
pangan yang memiliki potensi untuk sumber selulosa murni (Halib et
al., 2012). Nata de coco merupakan makanan yang sangat baik dan
aman untuk dikonsumsi karena membantu konttol berat badan dan
pencegahan pada kanker kolon dan rektum yang mengandung kadar
selulosa tinggi, kandungan lemak, rendah kalori dan tidak terdapat
kolesterol di dalamnya (Mesomya et al., 2006). Nata juga memiliki
serat pangan dimana komponen ini sangat baik karena tidak
mengganggu lemak dan mineral yang diserap dalam tubuh dan baik
untuk mereka yang sedang melakukan diet (Hernaman, 2007).
Setelah media sudah jadi, dilanjutkan proses fermentasi. Media
diambil 100 ml kemudian dimasukkan dalam kotak dari bahan plastik.
Proses ini dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Penuangan media ke dalam kotak plastik
Setelah media dimasukkan dalam kotak plastik, proses fermentasi
dilanjutkan dengan menambahkan biang nata (starter) sebanyak 10%
dari media tersebut. Prose ini dilakukan secara aseptis di ruang
laf. Banyaknya starter yang digunakan memiliki kesesuaian dengan
teori yang diungkapkan oleh Pato & Dwiloka (1994). Beliau
menyatakan bahwa jumlah starter ideal untuk memproduksi nata
sebanyak 4-10%. Apabila jumlah starter tidak sesuai (terlalu
sedikit atau terlalu banyak) dapat terbentuk nata dengan
karakteristik yang tidak sesuai dengan standar yang ada. Pendapat
lain yang menguatkan teori ini adalah teori yang diungkapkan oleh
Misgiyarta (2007). Beliau menyatakan bahwa substrat air kelapa
untuk memproduksi nata de coco diinokulasi dengan starter dengan
jumlah 10% (v/v). Dalam proses produksi nata de coco, sukrosa yang
digunakan konsentrasinya 10% (Jagannath et al., 2008). Proses
penambahan kultur dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.
Gambar 8. Penambahan starter
Setelah diberi tambahan starter, dilakukan penggojogan sehingga
larutan menjadi homogen. Kemudian dilakukan penutupan wadah
menggunakan kertas coklat. Penutupan dilakukan menggunakan kertas
coklat karena Acetobacter xylinum termasuk bakteri aerob sehingga
membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya. Oleh karena itu,
tidak digunakan tutup dari wadah yang rapat. Selain itu untuk
mengurangi adanya resiko untuk terjadi kontaminasi yang berasal
dari lingkungan sekitar sehingga diperoleh nata dengan
karakteristik baik (Pambayun, 2002).
Gambar 9. Penutupan wadah dengan kertas coklat
Selanjutnya dilakukan proses inkubasi selama 2 minggu pada suhu
ruang dan tidak terpapar cahaya. Pada masa inkubasi wadah yang
berisi produk tidak boleh tergoyang. Hal ini bertujuan agar lapisan
nata tidak terpisah pada saat terbentuk nantinya. Acetobacter
xylinum membutuhkan suhu ruang agar diperoleh pertumbuhan yang
optimal. Apabila dilakukan inkubasi pada suhu lebih dari 40C
Acetobacter xylinum mati. Demikian pula bila suhu inkubasi terlalu
rendah, karena pertumbuhannya sangat terhambat (Pambayun, 2002).
Untuk memperoleh ketebalan nata yang optimum, fermentasi dapat
dilakukan dalam rentang waktu 10-14 hari pada suhu ruang, yaitu
sekitar 28-32C (Rahayu et al., 1993). Dengan demikian cara kerja
yang dilakukan pada praktikum ini sesuai dengan teori yang ada.
Selanjutnya dilakukan proses pengamatan dimana pengamaatan
dilakukan sejak terbentuk lapisan pada cairan permukaan, pada hari
ke-7 dan ke-14. Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap
persentase kenaikan pada ketebalan nata dimana dilakukan perhitung
menggunakan formulasi:
Setelah proses inkubasi berakhir, dilakukan uji sensori terhadap
warna, tekstur dan aroma dan pengamatan terhadap ketebalan lapisan
nata.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan
antara ketebalan pada pengamatan hari ke-7 dan ke-14. Dapat
diketahui dari seluruh hasil pengamatan bahwa lapisan tersebut
memiliki peningkatan pada kelompok D1-D4 sedangkan kelompok D5
tidak mengalami peningkatan. Hal ini terjadi akibat waktu inkubasi
atau fermentasi yang semakin lama dan menyebabkan nata yang
dihasilkan memiliki ketebalan yang bertambah dan persentasenya
meningkat. Pembentukan lapisan pada permukaan substrat akan tampak
dan semakin terlihat kompak setelah waktu inkubasi berkisar antara
36-48 jam. Pada proses ini tidak boleh terjadi gangguan karena
dapat menyebabkan lapisan tenggelam. Menurut teori yang diungkapkan
oleh Anastasia & Afrianto (2008) beliau menambahkan bahwa
pemecahan gula pada media menjadi selulosa merupakan lapisan nata
yang mengalami peningkatan. Ketidaksesuaian hasil pengamatan pada
kelompok D5 yang tidak mengalami peningkatan ini dapat disebabkan
oleh kandungan gula dalam media yang telah diuraikan semuanya oleh
Acetobacter xylinum pada hari ke-14 menghasilkan ketebalan nata
yang tidak mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena
kandungan gula, pH da suhu akan sangat menentukan karakteristik
dari nata de coco yang akan terbentuk. Sehingga meskipun terjadi
kesamaan media yang digunakan namun bentuk wadah memiliki perbedaan
sehingga mempengaruhi perbedaan pada tinggi media. Nata de coco
yang dibuat pada wadah dengan permukaan luas dan dangkal akan
menghasilkan ketebalan yang tinggi sebab jika wadah sempit maka
luas permukaannya menyulitkan persediaan oksigen. Dengan demikian
diperoleh produk dengan ketebalan rendah (Mashudi, 1993). Mekanisme
dari pembuatan nata yang baik yaitu glukosa (glukokinase) diuraikan
menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase). Kemudian
glukosa-6-fosfat dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa
Pirosfosforilase) dan UDP-Glukosa (Hamad et al., 2011)
Pada uji sensori aroma diketahui bahwa kelompok D3 memiliki
aroma yang agak asam, kelompok D4 memiliki aroma yang sangat asam
dan kelompok lainnya memiliki aroma yang asam. Arom asam ini
menunjukkan bahwa nata memiliki pH yang lebih asam dibandingkan
nata yang tidak beraroma asam. Dengan demikian fermentasi telah
berlangsung (Astawan & Astawan, 1991). Selain itu aroma asam
terbentuk akibat adanya penambahan asam asetat glasial sehingga
aroma asam masih terasa (Anastasia & Afrianto, 2008). Selain
itu, Acetobacter xylinum mampu mengubah gula menjadi selulosa dan
asam asetat oleh karena itu timbul aroma yang asam. Namun
seharusnya nata tidak beraroma asam (Halib et al., 2012). Selain
itu uji sensori ini dilakukan tanpa adanya perlakuan pencucian
sehingga aroma asam masih sangat terhirup. Untuk menghilangkan
aroma asam tersebut dapat dilakukan pencucian hingga beberapa kali
ulangan dan dilakukan perebusan mengunakan gula hingga mendidih
(Arsatmodjo, 1996).
Pada uji sensori terhadap warna dapat diketahui bahwa hampir
keseluruhan kelompok memiliki warna kuning, kecuali kelompok D3
yang memiliki warna putih bening. Warna kuning ini terjadi akibat
glukosa yang banyak digunakan dalam proses mengakibatkan adanya
reaksi browning. Reaksi browning terjadi akibat proses pemanasan
sambil ditambahkan gula. Dengan demikian diperoleh nata yang
memiliki warna semakin gelap (Mashudi, 1993). Namun, warna kuning
tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Santosa et al.
(2012) yang menyatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk yang
padat, kuat, kokoh dan berwarna putih.
Uji sensori yang terakhir adalah pada aspek tekstur. Berdasarkan
hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kelompok D2 dan D4 memiliki
tekstur kenyal, kelompok D3 kenyal dan kelompok D1 dan D5 memiliki
tekstur tidak kenyal. Tingkat kekenyalan pada nata dipengaruhi dan
mengalami perubahan pada saat perebusan dengan gula sehingga
menjadi cepat putus dan kekenyalannya menurun (tidak begitu
kenyal). Hal ini dapat terjadi karena pada proses perebusan, air
dan gula memasuki selulosa sehingga strukturnya lebih longgar dan
mudah putus (Astawan & Astawan, 1991). Kekenyalan yang dimiliki
nata ditentukan oleh komponen serat atau disebut selulosa. Semakin
banyak selulosanya, nata akan meningkat kekenyalan dan
ketebalannya. Semakin tebal selulosa, air yang menuju rongga
selulosa semakin banyak sehingga kekenyalan semakin tinggi dan
kekenyalan berbanding lurus pada ketebalan (Arsatmodjo, 1996 dan
Anastasia & Afrianto, 2008).
3. kesimpulan
Nata de coco menggunakan bahan baku sari kelapa dalam proses
fermentasinya. Nata de coco memiliki rasa manis, bentuk padat,
tekstur kenyal, dan warna putih transparan. Air kelapa merupakan
salah satu substrat yang tepat untuk Acetobacter xylinum. Air
kelapa mengandung air karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan
nutrisi lainnya. Acetobacter xylinum dapat menghasilkan jaringan
selulosa yang menebal (nata) saat difermentasi. Gula pasir
berfungsi sebagai sumber karbon untuk Acetobacater xylinum.
Ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen bagi Acetobacter xylinum.
Asam asetat glasial berfungsi untuk mencapai pH optimum bagi
bakteri penghasil nata. Fermentasi nata de coco dilakukan secara
aerob. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena Acetobacter
xylinum dapat tumbuh dan berkembang maksimal pada suhu ruang.
Banyaknya selulosa akan meningkatkan ketebalan dan kekenyalan pada
nata. Penambahan gula pada proses pembuatan nata dapat menyebabkan
warna nata menjadi kuning akibat terjadinya browning akibat
interaksi gula yang dipanaskan. Semakin lama proses fermentasi
lapisan nata semakin tebal. Nata yang baik seharusnya tidak
beraroma asam. Produksi selulosa dan asam asetat pada proses
fermentasi nata de coco dapat mempengaruhi karakteristik nata.
Wadah yang digunakan akan mempengaruhi ketebalan nata yang
dihasilkan.
Semarang, 6 Juli 2015PraktikanAsisten Dosen Wulan Apriliana Nies
Mayangsari
Gabriella Juliani
12.70.017413
4. daftar pustaka
Anastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed
dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB.
Bogor.[Skripsi]
Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004).
Structural Investigations Of Microbial Cellulose Produced In
Stationary And Agitated Culture. Cellulose 11: 403-411.
Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food
Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal
41(2)(2012): 205211
Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. (2011).
Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De
Coco. Jurnal Teknik Kimia Vol 12 (2): 74-77.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa.
Yogyakarta.
Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. (2007).
Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap
Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan
Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa.
(2008). The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate
Concentrations on the Production of Bacterial Cellulose
(Nata-De-Coco) by Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol
(2008) 24:2593 2599.
Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat
dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan
Struktur Gel Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi,
Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]
Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.;
Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of
Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human.
Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.
Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco.
Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan
Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM.
Yogyakarta.
Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin
Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof
Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International
Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:6-11.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap
Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.[
Skripsi]
Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. (1995). Microbiology.
The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar.
Erlangga. Jakarta.
5. lampiran5.1. PerhitunganRumus:
Kelompok D1H0 H7 H14
Kelompok D2H0 H7 H14
Kelompok D3H0 H7 H14
Kelompok D4H0 H7 H14
Kelompok D5H0 H7 H14 5.2. Laporan Sementara5.3. Hasil Viper5.4.
Abstrak Jurnal