ANALISIS KEBIJAKAN POROS MARITIM DUNIA DALAM KONTEKS PENINGKATAN KONEKTIVITAS NASIONAL DAN REGIONAL Oleh: Erlinda Matondang NPM. 120140106012 Disusun sebagai Pemenuhan Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Foreign Policy Analysis Program Studi Diplomasi Pertahanan Fakultas Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia Bogor
33
Embed
file · Web viewHal tersebut yang mendasari pemikiran Presiden Joko Widodo ... kebijakan pembentukan poros maritim dunia merupakan kebijakan luar negeri Indonesia saat ini
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS KEBIJAKAN POROS MARITIM DUNIA DALAM KONTEKS
PENINGKATAN KONEKTIVITAS NASIONAL DAN REGIONAL
Oleh:
Erlinda Matondang
NPM. 120140106012
Disusun sebagai Pemenuhan Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Foreign Policy Analysis
Program Studi Diplomasi Pertahanan
Fakultas Strategi Pertahanan
Universitas Pertahanan Indonesia
Bogor
November, 2014
ANALISIS KEBIJAKAN POROS MARITIM DUNIA DALAM KONTEKS
PENINGKATAN KONEKTIVITAS NASIONAL DAN REGIONAL
Oleh:
Erlinda Matondang
NPM. 120140106012
A. Pendahuluan
Dalam sejarah maritim Asia, jalur yang ditempuh pedagang China, Jalur
Sutra, terdiri dari darat dan laut. Jalur darat mempunyai rute yang melalui China,
Asia Tengah, India, dan Asia Barat. Jalur laut merupakan kelanjutan dari jalur
darat yang dimulai dari Teluk Persia sampai Laut Merah. Selain itu, jalur laut juga
dapat ditempuh dari Teluk Benggala sampai ke Teluk Persia. (Marsetio, 2014: 3)
Indonesia merupakan negara maritim dan sudah menjadi bagian dari jalur
perdagangan laut yang penting sejak masa prasejarah, khususnya di Selat Malaka.
Namun, hubungan perdagangan Nusantara dengan China dan India baru dimulai
pada abad ke-3 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan tulisan dari Fa-Hsien, yang
berlayar dari India ke China melalui Jawa. (Marsetio, 2014: 5)
Walaupun Indonesia merupakan negara maritim sejak masa prasejarah,
pemanfaatan potensi ekonomi laut masih belum maksimal karena pemerintah
tidak terlalu serius menggarap sektor kelautan dan perikanan (Aziz, 2014: 6).
Pembangunan dan ekonomi Indonesia masih berbasis pada eksplorasi dan
pengolahan wilayah daratan, padahal perairan Indonesia lebih luas dan potensial
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut yang mendasari pemikiran
Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembangkan visi poros maritim dunia.
Visi pembentukan poros maritim dunia tersebut tidak hanya menjadi
kebijakan dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Hal tersebut berkaitan dengan
kapal asing ataupun negara lain yang juga memerlukan wilayah perairan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir semester Mata Kuliah Analisis Kebijakan Luar Negeri yang dilaksanakan pada semester I dengan dosen pengampu Prof. Drs. Yanyan M. Yani, MAIR., Ph.D. Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana Program Studi Diplomasi Pertahanan, Universitas Pertahanan Indonesia
1
Indonesia, tidak hanya untuk sebagai jalur pelayaran, tetapi juga sebagai tempat
melakukan bisnis. Apalagi kebijakan tersebut sudah dipaparkan Jokowi di dalam
East Asian Summit (EAS), yang merupakan forum interaksi pemimpin-pemimpin
dari pelbagai negara. Oleh karena itu, kebijakan pembentukan poros maritim
dunia merupakan kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.
Pada dasarnya, kebijakan poros maritim dunia tersebut mendukung
pembentukan konektivitas nasional dan regional yang bertujuan untuk
menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2015,
Association of South East Asian Nations (ASEAN) akan melaksanakan
Komunitas ASEAN. Dalam pelaksanaan Komunitas ASEAN, konektivitas di
tataran nasional dan regional menjadi hal yang sangat penting. Apalagi Indonesia
merupakan negara kepulauan, sehingga konektivitas yang mampu menyatukan
antarpulau sangat diperlukan.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini mengangkat kebijakan pembentukan
poros maritim sebagai bagian kebijakan luar negeri Indonesia yang berdampak
lokal dan regional. Makalah ini menjelaskan mengenai kebijakan pembentukan
poros maritim dunia dalam konteks peningkatan konektivitas nasional dan
regional. Pembahasan kebijakan pembentukan poros maritim tersebut dianalisis
dengan menggunakan metode perspektif adaptif, sehingga tinjauannya didasarkan
pada kondisi internal, eksternal dan idiosinkratik dari Jokowi, sebagai Presiden
Indonesia saat ini.
B. Analisis Kebijakan Luar Negeri dengan Perspektif Model Adaptif
Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam menganalisis kebijakan
luar negeri suatu negara. Salah satunya adalah model perspektif adaptif. Analisis
dengan metode adaptif menggunakan asumsi yang menyatakan bahwa negara
melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Asumsi ini juga pendapat Rosenau
(1970) yang menyatakan bahwa negara merupakan entitas yang harus beradaptasi
terhadap lingkungannya untuk bertahan dan menjadi makmur (Thorson, 1973: 1).
2
Adaptasi yang dilakukan negara merujuk pada kondisi internal dan
eksternalnya. Pengaruh kondisi internal dan eksternal dari suatu negara terhadap
kebijakan luar negeri yang diambilnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pt=Et+ I t
Keterangan: Pt= kebijakan luar negeri pada waktu tertentu, Et= perubahan eksternal, dan I t= perubahan internal.
Selain, lingkungan internal dan eksternal, kebijakan luar negeri juga
dipengaruhi oleh kepemimpinan atau rezim penguasa negara tersebut. Oleh karena
itu, rumusnya berubah menjadi sebagai berikut.
Pt=Et+ I t+e¿
Keterangan: e¿= faktor idiosinkratik dari pemegang kekuasaan atau pemimpin.
Variabel sejarah atau kebijakan luar negeri yang sebelumnya juga
memengaruhi kebijakan yang diberikan oleh rezim yang saat ini berkuasa.
Pengaruh kebijakan luar negeri sebelumnya tersebut ditunjukkan dengan
perubahan rumus sebagai berikut.
Pt=P(t−1)+P(t−2 )+P(t−3)+…+P(t−n)
P(t−1)+P(t−2)+P(t−3 )+…+P(t−n)=E t+ I t+e¿
Untuk menggunakan rumus-rumus tersebut dalam menganalisis kebijakan
luar negeri suatu negara, dapat digunakan interpretasi angka dengan ketentuan
sebagai berikut.
Tabel 2. Interpretasi dari Nilai X dan Y
Et , I t , e¿danP(t−1)/ Kebijakan
Terdahulu
Pt
-1 = tidak mendukung
1 = mendukung
-3= sangat tidak didukung
-2= tidak didukung
-1= kurang didukung
0 = netral
3
1 = cukup didukung
2 = didukung
3 = sangat didukung
Variabel idiosinkratik juga dapat ditinjau melalui kondisi dan sikap
lingkungan rezim yang berkuasa atau memerintah. Berdasarkan sikap rezim yang
memerintah tersebut, Rosenau menyatakan bahwa ada empat kemungkinan pola
adaptasi yang dilakukan negara. Setiap pola adaptasi tersebut mempunyai
implikasi yang berbeda-beda dalam setiap perubahan dan kesinambungan politik
luar negeri suatu negara. Adapun keempat pola adaptasi tersebut, yaitu:
1. preservative adaptation (bersikap responsif terhadap permintaan dan
perubahan di lingkungan eksternal dan internal);
2. acquiescent adaptation (bersikap responsif terhadap permintaan dan
perubahan di lingkungan eksternal);
3. intransigent adaptation (bersikap responsif terhadap permintaan dan
perubahan di lingkungan internal); dan
4. promotive adaptation (bersikap tidak peduli/responsif terhadap permintaan
dan perubahan yang terjadi baik di lingkungan internal maupun eksternal).
(Rosenau, 1991: 59).
C. Kebijakan Poros Maritim Dunia
Indonesia merupakan negara yang dua per tiga dari wilayah terdiri dari
perairan dan kaya sumber daya kelautan. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Soekarno, dalam salah satu pidatonya, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat
jika mempunyai kemampuan perairan atau kelautan yang kuat, poros maritim juga
mempunyai tujuan yang sama. Indonesia akan dibentuk menjadi sebuah negara
maritim yang menjadi pusat aktivitas kelautan dunia
Kebijakan poros maritim merupakan salah satu agenda dan misi dari
Jokowi. Konsep pembentukan Indonesia poros maritim dunia terdiri dar lima pilar
4
utama yang disampaikan Jokowi dalam EAS. Kelima pilar tersebut, yaitu:
pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; komitmen menjaga dan
mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut;
komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim;
melakukan diplomasi maritim untuk membangun bidang kelautan; dan
membangun kekuatan pertahanan maritim (Anonim, 2014e).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof
Chaniago, menyatakan bahwa Jokowi ingin menjadikan wilayah perairan
Indonesia sebagai wilayah teraman di dunia untuk semua aktivitas laut
(Muhamad, 2014: 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan poros maritim
tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, tetapi
juga peningkatan keamanan dan kenyamanan negara lain data berada di wilayah
Indonesia. Kebijakan poros maritim tidak hanya berkaitan dengan permasalahan
domestik, tetapi juga internasional.
Menurut Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan
memanfaatkan kekayaan dan ruang laut untuk menjadi negara maritim. Indonesia
harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk
kesejahteraan bangsa dan kemajuan bangsa, serta membentuk keamanan laut yang
memadai untuk mencegah pelanggaran hukum (Muhamad, 2014: 6). Sementara
itu, di tataran diplomasi dan hubungan luar negeri, Indonesia harus mampu
melakukan diplomasi ekonomi maritim (Muhamad, 2014: 8). Diplomasi ekonomi
maritim menempatkan pemanfaatan potensi kelautan sebagai bagian dari
diplomasi dengan negara lain. Upaya diplomasi ini tidak hanya dapat
meningkatkan investasi di Indonesia, tetapi juga memperkuat hubungan kerja
sama dengan negara lain, terutama yang berada di wilayah Asia Tenggara.
D. Konektivitas Nasional dan Regional
Konektivitas yang dirancang oleh pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) adalah konektivitas nasional dengan visi Locally Integrated,
5
Globally Connected (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011: 36).
Upaya penguatan konektivitas nasional tersebut berpegang pada empat elemen
kebijakan, yaitu sistem logistik nasional, sistem transportasi nasional,
pembangunan daerah, serta teknologi dan informasi (Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, 2011: 33). Konektivitas nasional tersebut tidak hanya
menghubungkan antarpulau di Indonesia, tetapi juga pada tataran regional dan
internasional. Konektivitas tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok,
yaitu konektivitas intrakoridor, pengembangan interkoridor, dan perdagangan
logistik internasional (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011:
38).
E. Analisis Kebijakan Poros Maritim Dunia dalam Konteks Peningkatan
Konektivitas Nasional dan Regional
Ada tiga rumus perspektif model adaptif yang digunakan dalam
menganalisis kebijakan pembentukan poros maritim dunia, khususnya dalam
konteks peningkatan konektivitas nasional dan regional. Ketiga rumus tersebut,
yaitu:
Pt=Et+ I t……………………………………………. (i)
Pt=Et+ I t+e¿ ………………………………………. (ii)
Pt=P(t−1)+P(t−2 )+P(t−3)+…+P(t−n)………….... (iii)
Dari ketiga rumus tersebut, ada empat variabel yang dibahas untuk
menunjukkan dukungan lingkungan terhadap kebijakan poros maritim, khususnya
dalam konteks peningkatan konektivitas nasional dan regional. Berikut ini adalah
analisis mengenai keempat variabel tersebut.
a. Kondisi Internal
Kondisi internal Indonesia dapat ditinjau melalui tiga aspek, yaitu
kapabilitas nasional, sumber daya militer, ekonomi, dan politik, serta kapastas
6
untuk melakukan collective action. Pada aspek kapabilitas nasional, Indonesia
menunjukkan kemampuan untuk mengelola wilayah perairannya. Jumlah
penduduk yang besar dengan wilayah perairan yang luas dan didukung sumber
daya kelautan dalam jumlah yang besar, Indonesia dapat menjadi negara
maritim yang terkuat. Apalagi posisi perairan Indonesia yang sangat strategis
dan menjadi jalur perdagangan negara lain.
Indonesia mempunyai pantai sepanjang 54.716 km yang melintasi
Samudera Hindia, Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, Laut
Maluku, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor dan wilayah kecil
lainnya. Wilayah perairan indonesia yang sangat luas tersebut dibentuk
menjadi Sea Lines of Communication (SLoC) dan tiga Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI). SLoC berlaku untuk perairan Selat Malaka, ALKI 1
meliputi Selat Sunda, ALKI 2 meliputi Selat Lombok dan Makassar, dan
ALKI 3 meliputi Selat Ombai Wetar (Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, 2011: 33). Kelima selat yang dibentuk menjadi SLoC dan
ALKI tersebut merupakan daerah yang menjadi jalur utama pelayaran kapal-
kapal dagang dan sipil dunia.
Pada aspek kapabilitas militer, ekonomi, dan politik, Indonesia masih
belum mempunyai kemampuan pengamanan laut yang memadai. Pengamanan
laut Indonesia masih sangat terbatas. Komposisi kekuatan TNI AL yang
dibutuhkan dalam tataran Minimum Essential Force (MEF), terdiri dari 151
KRI, 54 pesawat udara, dan 333 Ranpur yang memiliki kesiapan tempur
dengan teknologi terkini, serta pasukan 3 BTP Marinir, 1 Yonif Siaga Ibu
Kota, 2 Yonif Kamdagri, an 18 Coastal Surveillance System (CSS) (Marsetio,
2014: 25). Sementara itu, kemampuan pengamanan laut Indonesia terbatas
pada ketersediaan bahan bakar untuk pengoperasian TNI AL. Dari 70 kapal
TNI AL, hanya ada 10—12 kapal yang dapat beroperasi setiap hari. Sementara
itu, kapal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) hanya dapat beroperasi 60 hari setiap
tahunnya. (Anonim, 2014b: 5).
7
Perhatikan tabel berikut ini!
Tabel 1. Indikator Makroekonomi Indonesia
2011 2012 2013 2014 2015
Real GDP Growth 6,5 6,3 5,8 5,7 6,3
Inflation (CPI), period average 5,4 4,3 7,0 5,4 4,7
Short-term Interest Rate 6,9 5,9 6,1 7,3 6,4
Fiscal Balance (%GDP) -1,1 -1,9 -2,2 -2,2 -2,0
Current Account Balance ($ billion) 1,7 -24,4 -32,5 -26,8 -26,8
Current Account Balance (%GDP) 0,2 -2,8 -3,7 -3,1 -2,7
Sumber: The OECD Economic Outlook Vol. 2014/ 1.
Dalam tabel di atas, terlihat bahawa perekonomian Indonesia
menunjukkan perbaikan. Bahkan, perekonomian Indonesia diperkirakan akan
tetap mengalami peningkatan. Gambaran perekonomian Indonesia yang terus
menunjukkan perbaikan tersebut, merupakan faktor pendukung pelaksanaan
kebijakan poros maritim.
Namun, Indonesia tidak dapat mengabaikan keperluan biaya yang
tinggi dalam pembentukan poros maritim dunia. Indonesia membutuhkan
pelabuhan dan galangan kapal yang memadai. Untuk itu, Jokowi sudah
merencanakan pembangunan 24 pelabuhan baru dan industri galangan kapal.
Pembangunan industri galangan kapal Indonesia membutuhkan dukungan
fiskal untuk meningkatkan daya saing terhadap kapal impor (Anonim, 2014a:
1). Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelabuhan baru dan industri
galangan ini, sangat besar. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan kerja
sama dengan negara lain.
Pada aspek politik, kondisi perpolitikan Indonesia masih belum
terdukung dengan kinerja parlemen. Setelah dilantik pada 14 Mei 2014,
anggota parlemen masih disibukkan dengan pertikaian pembagian kursi
kekuasaan. Jika parlemen dapat menyelesaikan permasalahan tersebut
8
sebelum memasuki tahun 2015, kebijakan poros maritim dunia yang dibentuk
oleh Jokowi akan semakin menguat. Dukungan dari parlemen merupakan hal
yang krusial karena lembaga legislatif tersebut merupakan perwakilan dari
seluruh rakyat Indonesia.
Aspek kapasitas untuk melakukan collective action sudah mulai
terbangun di Indonesia. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pembangunan wilayah
Indonesia dibagi ke dalam enam koridor. Adapun koridor-koridor tersebut,
antara lain.
1. Koridor Ekonomi Sumatera, yang bertemakan “Pusat Produksi dan
Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan Energi Cadangan Negara.”
2. Koridor Ekonomi Jawa, yang bertemakan “Pengendali Industri
Nasional dan Penyedia Layanan.”
3. Koridor Ekonomi Kalimantan, yang bertemakan “Pusat Produksi dan
Pengolahan Bahan Tambang dan Energi Cadangan Nasional.”
4. Koridor Ekonomi Sulawesi, yang bertemakan “Pusat Produksi dan
Pengolahan Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Pertambangan, serta
Minyak dan Gas Nasional.”
5. Koridor Ekonomi Bali—Nusa Tenggara, yang bertemakan “Pintu
Gerbang Pariwisata dan Dukungan Pangan Nasional.”
6. Koridor Ekonomi Papua—Kepulauan Maluku, yang bertemakan
“Pusat Pengembangan Produksi Makanan, Perikanan, Energi dan
Pertambangan Nasional.” (Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, 2011: 18)
Untuk menyatukan keenam koridor tersebut, pemerintah Indonesia
sebelumnya sudah merancang kebijakan konektivitas nasional. Selain itu,
keenam koridor tersebut juga dipersiapkan untuk memasuki tataran regional
dan global. Oleh karena itu, konektivitas yang dibangun Indonesia tidak hanya
bersifat lokal atau nasional, tetapi juga regional dan internasional.
9
Dengan konektivitas tersebut, Indonesia mempunyai kesiapan yang
matang untuk melakukan collective action di tingkat regional. Kesiapan ini
mendukung kebijakan poros maritim dunia. Apalagi di dalam MP3EI tersebut,
pembangunan wilayah perairan sebagai sarana penguatan konektivitas
nasional dan regional juga sudah diatur atau direncanakan.
b. Kondisi Eksternal
Kondisi eksternal Indonesia dapat ditinjau melalui sistem internasional
dan variabel eksternal. Sistem internasional masih bersifat anarkhi. Namun,
ada peningkatan kerja sama antarnegara untuk memperkuat kedudukan dalam
hubungan internasional. Hal ini yang mneyebabkan dunia menjadi multipolar
dengan penguatan regionalisme, termasuk yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara.
Pada variabel eksternal, Indonesia mendapatkan dukungan yang sangat
besar dari negara-negara mitra kerja, baik yang merupakan anggota ASEAN,
maupun bukan. Pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia tidak
hanya menjadi hal penting untuk ASEAN, tetapi juga negara di luar kawasan
Asia Tenggara. Amerika Serikat menawarkan bantuan pengawasan untuk
mengatasi penangkapan ikan secara ilegal, sedangkan Kanada menawarkan
bantuan pendampingan untuk menghitung stok ikan di perairan Indonesia
(Anonim, 2014d: 19). Bahkan, Bremen yang merupakan salah satu kota
pelabuhan paling ramai di dunia juga tertarik mengadakan kerja sama
pembangunan poros maritim dengan Indonesia.
Bremen merupakan salah satu kota di Negara Bagian dari Republik
Federal Jerman, tertarik untuk meningkatkan intensivitas kerja sama dengan
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pembangunan 24 pelabuhan baru
di Indonesia. Bremen mempunyai kapabilitas di sektor pelabuhan dan industri-
industri pembangunan kapal, kendaraan, penerbangan, perikanan, dan
makanan (Anonim, 2014f). Minat Kota Bremen tersebut menunjukkan bahwa
10
pembangunan poros maritim dunia menjadi perhatian seluruh masyarakat
internasional.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan mengenai lingkungan
eksternal Indonesia di bidang kelautan adalah permasalahan Laut Tiongkok
Selatan. Wilayah tersebut berbatasan langsung dengan kawasan perairan
Indonesia. Wilayah yang sangat rawan konflik tersebut dapat menjadi
ancaman pelaksanaan kebijakan poros maritim Indonesia. Apalagi berkaitan
dengan pembangunan konektivitas internasional.
Apalagi Tiongkok menyatakan bahwa ide pembentukan poros maritim
dunia di Indonesia seiring dengan rencana pembangunan Jalur Sutera Maritim
XXI yang sudah dipersiapkannya (Anonim, 2014c: 8). Pembangunan Jalur
Sutera Maritim XXI dapat dipastikan menggunakan wilayah Laut Tiongkok
Selatan. Jika Indonesia menerima kerja sama yang ditawarkan Tiongkok
terkait pembangunan Jalur Sutera tersebut, Indonesia akan menghadapi
negara-negara lain yang bersengketa. Hal tersebut mengancam
keberlangsungan pembangunan kawasan maritim Indonesia dan menghambat
pencapaian visi pembentukan poros maritim dunia.
Dalam konteks lingkungan eksternal, Indonesia mempunyai sejumlah
tantangan praktis yang terjadi di perairan Indonesia. Salah satunya adalah
pencurian ikan. Ada sejumlah daerah rawan pencurian ikan. Daerah tersebut,
antara lain Perairan Natuna, Perairan Natuna Barat (Kepulauan Riau), Laut
Arafuru Selatan, Bitung Utara, Kepala Burung (Papua Barat), Samudera
Hindia, serta Laut Segitiga Emas yang menghubungkan Indonesia, Thailand,
dan Malaysia. Hasil pencurian tersebut dijual ke negara Thailand, Filipina, dan
Vietnam. Kerugian yang disebabkan oleh pencurian ikan tersebut mencapai
Rp 101,04 triliun per tahun. Untuk menangani permasalahan tersebut, Menteri
Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, memberlakukan kebijakan
moratorium kapal yang berkapasitas 30 gross ton sejak tanggal 3 November
2014. (Kristiadi, 2014: 2)
Permasalahan lainnya adalah perbatasan laut yang masih belum dapat
diselesaikan dan ancaman-ancaman konvensional, terutama yang berasal dari