8/7/2019 natsir mantap http://slidepdf.com/reader/full/natsir-mantap 1/21 1 Mohammad Natsir: Pemikiran Islam di Dalam Kehidupan Berbangsa Latar Belakang Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 adalah sebuah negara yang berbentuk Kesatuan. Hal itu berdasarkan kesepakatan para founding fathers kita yang telah berjuang melalui berbagai cara baik diplomatik maupun konfrontasi secara kekerasan atau fisik. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dibahas berbagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia. Topik bahasan itu antara lain adalah mengenai bentuk negara, batas negara, dan dasar negara. Mengenai dua poin bahasan pertama tidak terjadi perdebatan yang berarti, tetapi untuk bahasan mengenai dasar negara terjadi pembahasan yang alot dan perdebatan yang sengit. Perdebatan itu muncul ke permukaan sekitar tahun 1940-an dan terjadi antara dua tokoh besar saat itu yaitu Soekarno dan Mohammad Natsir. Perdebatan tentang dasar negara berkutat pada dua pemikiran mereka yang bertolak belakang satu sama lain. Soekarno menganggap bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Soekarno sering disebut Kaum Nasionalis Sekuler. Pemikiran yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Natsir yang menganggap bahwa persoalan negara tidak dapat dipisahkan dari agama (Islam). Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Natsir sering disebut Kaum Nasionalis Islam atau Nasionalis Religius. Keduanya sebenarnya mempunyai satu cita-cita yang sama untuk membangun bangsa dan negara Indonesia, Tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan dasar negara ini. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan nasionalisme? Sangat menarik sebenarnya membahas mengenai nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu gerakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 adalah sebuah negara yang berbentuk
Kesatuan. Hal itu berdasarkan kesepakatan para founding fathers kita yang telah
berjuang melalui berbagai cara baik diplomatik maupun konfrontasi secara
kekerasan atau fisik. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) dibahas berbagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia.
Topik bahasan itu antara lain adalah mengenai bentuk negara, batas negara, dan
dasar negara. Mengenai dua poin bahasan pertama tidak terjadi perdebatan yang
berarti, tetapi untuk bahasan mengenai dasar negara terjadi pembahasan yang alot
dan perdebatan yang sengit.
Perdebatan itu muncul ke permukaan sekitar tahun 1940-an dan terjadi antara
dua tokoh besar saat itu yaitu Soekarno dan Mohammad Natsir. Perdebatan tentangdasar negara berkutat pada dua pemikiran mereka yang bertolak belakang satu sama
lain. Soekarno menganggap bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Kelompok
yang mempunyai ide yang sama dengan Soekarno sering disebut Kaum Nasionalis
Sekuler. Pemikiran yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Natsir yang
menganggap bahwa persoalan negara tidak dapat dipisahkan dari agama (Islam).
Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Natsir sering disebut Kaum
Nasionalis Islam atau Nasionalis Religius. Keduanya sebenarnya mempunyai satu
cita-cita yang sama untuk membangun bangsa dan negara Indonesia, Tetapi
keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan dasar negara ini.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan nasionalisme? Sangat menarik
sebenarnya membahas mengenai nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu gerakan
sosial (social force) yang penuh dengan dinamika, penuh dengan gejolak. Sebuah
bentuk kecintaan yang mendalam terhadap bangsa. Menurut Rupert Emerson
nasionalisme adalah komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu
atas dasar elemen-elemen yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka
memiliki takdir bersama menuju masa depan. Disini, meminjam wacana Soekarno,
semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak
membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan
yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan
untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan. Hasrat hidup bersama
itu merupakan solidaritas yang agung. Ernest Renan menyebut nasionalisme sebagai
le desire d¶entre ensemble atau kehendak untuk bersatu.1
Nasionalisme ini
membentuk persepsi dan konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di selurunegara-negara jajahan sebagai suatu kekuatan politik yang tak bisa dinegasikan oleh
penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan
menciptakan masyarakat/negara yang adil, dimana tidak ada lagi penindasan
manusia oleh manusia. Melihat pernyataan diatas, menguatkan pemahaman saya
bahwa Natsir adalah seorang nasionalis sejati. Meskipun ia mengedepankan konsep
Islam dalam pemikirannya, tetapi tujuan Natsir jelas. Menaikan harkat dan martabat
bangsa indonesia. Melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan,
belenggu pembodohan moral.
Seorang Natsir yang memiliki landasan pemikiran Islam ternyata memiliki andil
dalam perjuangan Indonesia. Tanpa memikirkan diri sendiri, apalagi golongannya,
Natsir terus berjuang mulai dari pembentukan negara Indonesia yang utuh sampai
memperjuangkan hak ± hak kaum Muslim di Indonesia. Atas dasar itulah penulis
ingin mengangkat pemikiran Natsir, menelusuri lebih dalam mengenai pemikiran
yang Natsir miliki dan mengapa sampai sekarang jasanya begitu besar di Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini.
Meskipun pada saat itu muncul banyak ide ± ide mengenai dasar negera, natsir
tetap berpegang teguh terhadap pemikiran yang ia miliki. Ide-idenya itu dipaparkan
secara komprehensif, tidak hanya dari sudut pandang konseptual tetapi sampai
1 Badri Yatim, S oekarno, Islam, dan Nasionalisme, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999. Hal 60
Seiring berjalannya waktu, ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir,
Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tidak hanya terampil menuangkan ide dan
gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya
selain pernah mengetuai J ong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir
pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Kepribadian Natsir
terbentuk berkat perkenalannya dengan Ahmad Hassan, pria keturunan India asal
Singapura yang kemudian menjadi ahli agama di Organisasi PERSIS. melalui
diskusi dan percakapan seputar persoalan Islam, politik, dan kemerdekaan. Bersama
Hassan, Natsir menyelami dan memahami Islam secara mendalam yang bercorak
reformis dan moderat, jauh dari kecenderungan sikap eksklusif, seperti yang
dikembangkan ulama tradisional.4
Secara pribadi keterlibatan di Persis tentu
menjadi sebuah proses pematangan Natsir secara intelektualitas, keterlibatannyadisini menjadikan dia menjadi seorang yang kritis dan aktif dalam berbagai kegiatan
keislaman sedangkan keaktifan di JIB telah memberikan kematangan secara
keorganisasian dan politik. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan
Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern
yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak
1932.
Tahap selanjutnya dalam perkembangan pemikiran Natsir adalah ketika ia
bergabung dengan Masyumi. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sendiri
berdiri pada tanggal 17 November 1945 melalui Kongres Nasional Umat Islam di
Yogyakarata. Masyumi ini berbeda dengan Masyumi yang pernah dibentuk oleh
Pemerintahan Jepang pada akhir tahun 1943, Masyumi bentukan Jepang yang sudah
ada sebelumnya hanya terbuka bagi perserikatan-perserikatan yang telah diberi
status hukum oleh pemerintahan militer. Kiai dan ulama yang telah mendapat
persetujuan dari pemeritahan bisa menjadi anggota, ditambah lagi ketika mereka
dibawah kontrol pemerintahan Jepang. Dengan demikian Masyumi bentukan
Jepang tentu saja bertujuan untuk memuluskan kepentingan Jepang, sementara
Masyumi yang dibentuk pasca kemerdekaan adalah organisasi politik yang berdiri
tanpa campur tangan luar dan mendapat sambutan baik dari organisasi pergerakan
menghormati akal manusia. Mewajibakan orang menuntut ilmu, memerdekaan
kebebasan berpikir, melarang penerapan secara literal semua yang diserap, seperti
yang Soekarno sering tuding terhadap kaum pemikir Islam. Tetapi sekali lagi ia
tekankan bahwa tujuan itu semua adalah agar negara yang akan dibangun nanti
sesuai dengan ajaran agama dan dapat tumbuh menjadi negara yang stabil luar dan
dalam.
Disini Islam dipandang sebagai sistem yang mencakup berbagai hal, bukan
hanya ibadah tetapi juga bidang politik, sosial ± budaya, sampai ekonomi. Menurut
beliau , melepaskan segala sesuatu yang telah disebutkan tadi tanpa restu Allah
berarti sama saja menjerumuskan kedalam kemusyrikan. Bagi Natsir, agama Islam
tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada
pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwakaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen,
fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip Al quran yang dianggap sebagai dasar
ideologi Islam yang artinya, ³Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan
untuk mengabdi kepada-Ku.´ (51: 56). Bertitik tolak dari dasar ideologi Islam ini,
Natsir berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah
ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.9
Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang
menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan
memahami gambaran pemerintahan yang akan diterapkan Islam. Bahkan beliau
sempat berpendapat dalam buku C apita S elekta yang ia tulis sebagai berikut,
³Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang
sudah di mata seorang bodoh duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh
³haremnya´ menonton tari ³dayang-dayang´. Terbayang olehnya yang duduk
mengepalai ³kementerian kerajaan´, beberapa orang tua bangka memegang hoga.
Sebab memang beginilah gambaran pemerintahan Islam yang digambarkan dalam
kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat
selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah =
Harem; Islam = poligami.´ Disini Natsir ingin membenarkan pandangan yang
yang kuat dan dapat memilah ± milah mana masukan yang sesuai dengan kaidah
dan nilai ± nilai dasar yang kita miliki.
Bila melihat sejarahnya, pemeluk islam yang menjadi mayoritas di
Indonesia sebenarnya adalah penganut demokrasi. Penganut kebebasan yang sangat
bertanggung jawab. Keterwakilan yang seharusnya menanggung amanat. Menurut
sebagian besar mayoritas pemeluk Islam di Indonesia, dengan adanya sistem
demokrasi partai ± partai Islam dapat lebih mudah memperjuangkan nilai ± nilai
Islam yang ingin mereka tegakan. Pemeluk Islam menginginkan sebuah sistem yang
membebaskan manusia terbebas dari ketidakadilan. Sebuah sistem yang memberi
ruang partisipasi yang tinggi terhadapat masyarakatnya untuk memperjuangkan
nilai ± nilai yang dianut tanpa adanya rasa takut.
11
Jadi apabila ada segelintir pemikir yang mempertanyakan dan memperdebatkan sistem demokrasi yang tidak
sejalan dengan pemikiran Islam rasanya penulis menyarankan untuk tidak terlalu
dirisaukan karena posisi argumennya tidak terlalu kuat dan mengganggu
berjalannya demokrasi itu sendiri. Natsir disini sebagai pemikir Islam yang
memiliki kompetensi sekaligus jiwa nasionalisme yang tinggi, berperan sebagai
tokoh demokratisasi yang berkembang di Indonesia. Demokrasi yang
sesungguhnya, keterwakilan yang tidak otoriter dan mengedepankan kesejahteraan
rakyat luas.
Sebagai seorang negarawan yang berpengetahuan keagamaan luas, Natsir
sebenarnya mengimpikan negeri ini menjadi sebuah negara yang masyarakatnya
hidup dengan rukun, taat beragama, bertoleransi (tasamuh), dan hidup dengan
sejahtera. Demi mewujudkan impiannya tersebut, Natsir mengusung konsep sebuah
negara yang berdasarkan sistem demokrasi konstitusional, yaitu sistem
pemerintahan yang tunduk pada konstitusi, kekuasaan negara berada pada tangan
rakyat, dan pemerintah selaku pemegang kekuasaan dibatasi oleh konstitusi dantidak bisa bertindak sewenang-wenang sehingga tidak melanggar hak-hak asasi
rakyat. Yang penulis tangkap disini adalah Natsir berupaya menciptakan sistem
yang tunduk dengan konstitusi, lalu setelah itu baru ia berjuang menciptakan
konstitusi yang berlandaskan asas ± asas atau nilai Islam. Bentuk pemerintahan
yang Natsir tawarkan pun berupa konsep Teo-Demokrasi.
Teo-demokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh wahyu. Dengan
prinsip ini, Natsir ingin mempertegas bahwa kebebasan harus ada batasnya,
sementara demokrasi sekuler menurut Natsir dapat berujung pada berbagai musibah
kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia bisa terperangkap pada dorongan
nafsu hewani dan anarkistis. pernyataan Natsir ini bukanlah pemahaman buta
melainkan pemahamannya yang mendalam atas teori dan praktek demokrasi
sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya.12
Natsir berupaya menawarkan teo-demokrasi untuk Indonesia karena
kekhawatirannya terhadap perkembangan pengaruh sekularisme di Indonesia yang
dikembangkan oleh Soekarno dan pemikir Nasionalis yang lain. Di masa awal
kemerdekaan, Soekarno ingin membangun Indonesia dengan menganut paham
Ataturkisme dan Kemalisme dengan mengusung pemikiran yang liberal dan
sekuler. Soekarno yakin bahwa harus ada pemisahan antara agama dan negara.
Hal ini ditolak Natsir. Sebab, secara teologis dan sosiologis, menurut Natsir,agama telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan hal ini berbeda
dengan Barat, yang kemerdekaannya terbangun tanpa keterlibatan peran agama,
sehingga tidak peduli akan peran agama dalam sebuah negara. Bagi Natsir,
kemerdekaan Indonesia dibangun dan didapatkan dengan peran agama yang kental.
Pembentukan negara Indonesia berada pada keterikatan terhadap agama. Agama
merupakan realitas hidup yang menjadi bagian dari kehidupan sosial, dan budaya
bahkan agama berperan penting serta menjadi inspirasi dan alat mobilisasi yang luar
biasa dalam melawan penjajahan, dengan mengobarkan semangat jihad. Sehingga,
bagi Natsir, mau tidak mau politik Indonesia harus memberi peran yang sesuai bagi
12 Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam , Jakarta, Republika, 2007. Hal 116
Sebenarnya bila melihat lebih jauh, bergabungnya Natsir di dalam PRRI
diakibatkan ketidakpuasan terhadap kepimimpinan Soekarno dan kedekatan
Soekarno dengan kabinet Djuanda. Ditakutkan kabinet tersebut akan semakin kuat
dan akan menyingkirkan lawan lawan politik yang ada. Mereka beranggapan
kedekatan dengan pihak komunis yang dipimpin PKI akan berakibat fatal karena
pihak komunis akan menggunakan cara apapun untuk mencapai kekuasaan.
Ditakutkan bangsa Indonesia akan dihancurkan, padahal masyarakat yang ada pada
saat itu adalah mayoritas Muslim sehingga Natsir dan kawan ± kawan menolak
dengan keras bentuk ± bentuk manuver politik yang membahayakan kesatuan
Nasional pada waktu itu dan mulai bergabung dengan PRRI. Natsir saat itu
tergabung sebagai keanggotaan perjuangan yang pasif. Mengapa pasif? Karena
perlawanan militer yang waktu itu dilakukan lebih sering dijalankan oleh sayap ± sayap militer seperti Simbolon dan Ahmad Husein. Disini dapat dikatakan Natsir
menjadi korban karena Natsir sangat menolak bentuk perlawanan dengan kekerasan
terhadap pemerintah pusat. Beliau sangat percaya dengan nilai kebangsaan dan nilai
demokrasi.17
Ketidakpuasan yang kedua adalah adanya ketimpangan dalam hal ekonomi
dan pembangunan yang berpusat atau terkonsentrasi di pulau Jawa. Pihak Natsir
menuntut sebuah Otonomi Daerah. Sebuah pemerataan pembangunan. Bahkan
Burhan D. Magenda berpendapat bahwa apabila tuntutan mengenai otonomi daerah
saat itu dipenuhi kemungkinan besar akan mencegah terbentuknya Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka. Sungguh pemikiran preventif
yang luar biasa dari seorang Natsir.
Pihak pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konstitusi
yang serius, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno dengan sokongan
penuh pihak militer mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 dan
sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat. Situasi tersebut
tentu menjadikan suatu guncangan tersendiri bagi umat Islam baik secara politis
didirkan atas dasar kesepakatan beberapa alim ulama pada pertemuan halal bi halal
di Jakarta.
Melihat keadaan politik yang sedemikian rupa, akhirnya Natsir mencoba
pendekatan ± pendekatan baru. Natsir mengetahui bahwa perjuangan Islam dengan
menggunakan jalur partai sudah tidak mungkin lagi. Tetapi Natsir yakin perjuangan
Islam tidak boleh berhenti sampai disitu. Karena itu dia yakin bahwa jalan dakwah
yang ia tempuh adalah jalan terbaik dalam memperjuangkan hak dan kepentingan
kaum Muslimin, terutama di Indonesia.
Pada periode pertama yayasan ini dipimpin oleh Natsir sebagai ketua, H.M.
Rasyidi sebagai wakilnya, sekretaris I dan II masing-masing H. Buchari Taman danH. Nawari Duski, serta bendahara H. Hasan, dengan beberapa anggota yaitu: H.
Abdul Malik Ahmad, Prawoto Mangkusasmito, H. Mansur Daud Datuk Palimo
Kayo, Desnan Raliby dan Abdul Hamid.
Bentuk kepengurusan diatas tidak berubah
selama dua puluh tahun lamanya.19
Melalui DDII telah banyak usaha-usaha yang
dilakukan dalam memberikan pemahaman Islam melalui dakwah, sementara itu ada
beberapa usaha ±usaha lain yang dilakukan DDII terbagi beberapa kelompok, yaitu:
1. Memperluas pengertian dakwah dari pengertian hanya sebagai tabliqh, kepada
pengertian yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai kelanjutan
risalah Nabi Muhammad SAW.
2. DDII memberikan pengertian kepada para jamaahnya bahwa tugas dakwah
merupakan fardhu ain bagi setiap muslim
3. Mengembalikan fungsi mesjid sebagai pusat pembinaan masyarakat seperti di
zaman Rasulullah.
4. Mengingatkan dan meningkatkan mutu dakwah.
5. Meningkatkan usaha pembelaan terhadap umat dan perbaikan aqidahnya.
6. Membangkitkan ukhuwah Islamiyah Al-Alamiyah (persaudaraan Islam