Top Banner
RINGKASAN EKSEKUTIF Falsafah yang paling mendasar dalam pembangunan bangsa Indonesia ialah bahwa pembangunan merupakan pengamalan Pancasila. Pembangunan tersebut merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila. Dengan demikian pembangunan diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir, batin serta spiritual, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tentram, dan rasa keadilan tidak saja bagi generasi saat ini namun juga generasi mendatang. Berkaitan dengan itu maka ukuran keberhasilan atau mutu negara amat tergantung pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh rakyatnya dengan baik secara fisik, psikis maupun spiritual. Secara lebih khusus, perhatian negara harus lebih diarahkan pada anggota masyarakatnya yang paling miskin, paling lemah, dan paling menderita karena disinilah arti kemanusiaan sebuah negara. Dalam konteks di atas maka pembangunan kependudukan dan keluarga berencana memperoleh perhatian khusus dalam kerangka pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Salah satu fokus penting dalam pembangunan kependudukan dan keluarga berencana adalah pembangunan kualitas manusia Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama, dibandingkan dengan negara-negara lain 1
125

NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Apr 09, 2016

Download

Documents

mori hartanto

Final
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

RINGKASAN EKSEKUTIF

Falsafah yang paling mendasar dalam pembangunan bangsa Indonesia ialah bahwa pembangunan merupakan pengamalan Pancasila. Pembangunan tersebut merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila. Dengan demikian pembangunan diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir, batin serta spiritual, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tentram, dan rasa keadilan tidak saja bagi generasi saat ini namun juga generasi mendatang. Berkaitan dengan itu maka ukuran keberhasilan atau mutu negara amat tergantung pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh rakyatnya dengan baik secara fisik, psikis maupun spiritual. Secara lebih khusus, perhatian negara harus lebih diarahkan pada anggota masyarakatnya yang paling miskin, paling lemah, dan paling menderita karena disinilah arti kemanusiaan sebuah negara.

Dalam konteks di atas maka pembangunan kependudukan dan keluarga berencana memperoleh perhatian khusus dalam kerangka pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Salah satu fokus penting dalam pembangunan kependudukan dan keluarga berencana adalah pembangunan kualitas manusia Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia peringkat kualitas penduduk Indonesia terus merosot. Apabila hal ini tidak segera di atasi, maka tingkat kompetisi penduduk Indonesia akan semakin merosot. Kondisi tersebut juga akan menghambat Indonesia dalam memasuki persaingan global.

Naskah akademis ini merupakan penjelasan secara akademis mengenai pentingnya amandemen UU No. 10 tahun 1992. Adapun strukturnya adalah sebagai berikut. Pada Bab-1 dan Bab-2 dibahas tentang keterkaitan kependudukan dan

1

Page 2: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

pembangunan, bagaimana kondisi kependudukan di Indonesia saat ini dan proyeksinya kedepan, serta isu pengelolaan kependudukan dan keluarga berencana yang meliputi aspek program, manajemen dan peraturan perundangan yang ada.

Pada Bab-3 diuraikan landasan filosofis rancangan amandemen UU No.10 tahun 1992 yang meliputi landasan berbangsa dan bernegara, prinsip-prinsi atau asas pembangunan dan pembangunan kependudukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Bab-4 menguraikan tinjauan yuridis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kependudukan di Indonesia. Uraian menekankan pada kerangka hukum lebih besar yang mengatur pembangunan kependudukan dan keluarga berencana di Indonesia. Bagian terpenting dalam kerangka ini adalah perkembangan pembangunan berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi, terutama dengan penerapan UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, kesepakatan internasional yang ada serta stardar umum dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, seperti transparansi, partisipasi, integrasi, koordinasi serta akses terhadap keadilan yang akan menjamin pengembangan dan penerapan hukum.

Bab-5 berisi rangkuman dengar pendapat baik yang dilakukan di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka mendapat masukkan untuk perubahan UU No.10 tahun 1992 tersebut. Cukup banyak masukkan yang diperoleh yang pada intinya memang mengakui nilai strategis dari pembangunan kependudukan dalam konteks pembangunan nasional di Indonesia. Bab-6 berisi definisi atau batasan rancangan amandemen tersebut yang meliputi kerangka pikir serta perbedaan antara UU No.10 tahun 1992 dengan hasil amandemen. Perbedaan antara UU No.10 tahun 1992 dengan rancangan amandemen meliputi:

1. Perubahan paradigma pembangunan dengan lebih mengkedepankan pembangunan berdasarkan pada hak (right based development). Dengan dasar pemikian tersebut maka prinsip dasar atau asas dari amandemen tersebut akan lebih diperluas dari undang-undang yang telah ada, dengan mengakomodir prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan kependudukan dan pembangunan yang berlaku secara internasional maupun prinsip-prinsip tentang hak asasi manusia yang tertuang dalam konvensi hak asasi manusia

2

Page 3: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

dan UU tentang hak asasi manusia. Upaya pengakomodasi kesepakatan internasional tersebut tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan landasan berbangsa dan bernegara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD-45 serta nilai-nilai keagaman, sosial budaya serta nilai hidup yang dianut bangsa Indonesia;

2. Upaya pengaturan yang dilakukan dalam undang-undang yang baru akan mencakup 2 aspek yaitu aspek normatif dan aspek operasional. Hal ini berbeda dengan UU yang sekarang ini dimana pengaturan yang dilakukan lebih bersifat normatif sedangkan pengaturan yang lebih bersifat operasional akan dilakukan oleh peraturan perundangan yang lebih rendah sifatnya. Dengan melakukan pengaturan yang bersifat operasional diharapkan akuntabilitas dari undang-undang yang baru ini nantinya akan lebih terjaga;

3. Perluasan substansi pembahasan dengan memasukkan isu gender, kesehatan reproduksi dan hak reproduksi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, sosial budaya serta pandangan hidup yang berlaku di Indonesia. Mengacu pada hasil konferensi kependudukan sedunia di Cairo, 1994, keluarga berencana diletakan dalam konteks dengan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, dalam undang-undang baru nantinya pemahaman tentang keluarga berencana diletakkan dalam kerangka kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi sesuai dengan rekomendasi konferensi kependudukan tersebut di atas. Isu gender juga menjadi perhatian dalam rancangan UU baru tersebut. Berbagai telaahan, komitmen baik internasional maupun nasional memperlihatkan bagaimana strateginya peran perempuan dalam pembangunan termasuk juga pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga;

4. Pengaturan yang lebih eksplisit terhadap hak dan kewajiban dari pemerintah, pemerintah daerah serta penduduk sehingga terjadi keseimbangan antara pemerintah, pemerintah daerah dan penduduk dalam pembangunan kependudukan;

3

Page 4: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

5. Pengaturan yang lebih eksplisit terhadap sanksi baik berupa sanksi pidana maupun administratif yang dikaitkan dengan insentif dan disinsentif terhadap pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut di atas;

6. Pengaturan yang lebih komprehensif dan eksplisit terhadap upaya penyerasian kebijakan kependudukan dengan kebijakan pembangunan lainnya;

7. Perubahan visi dan misi pembangunan keluarga dari keluarga sejahtera menjadi keluarga berkualitas.

Bab-7 berisi uraian tentang prinsip-prinsi baik yang bersifat umum maupun khusus dalam menyusun rancanangan amandemen UU No. 10 tahun 1992. Sedangkan Bab-8 berisi tentang sistematika rancangan amandemen tersebut yang meliputi: (1) Ketentuan Umum, (2) Asar dan Prinsip, (3) Arah dan Tujuan, (4) Hak dan Kewajiban, (5) Perkembangan Kependudukan, (6) Keluarga Berencana, (7) Data dan Informasi Kependudukan serta Keluarga, (8) Tanggung Jawab Pelaksanaan, (9) Komisi Kependudukan, (10) Peranserta Masyarakat, (11) Penghargaan dan Disinsentif, (12) Ketentuan Pidana, (13) Ketentuan Peralihan, (14) Ketentuan Penutup.

4

Page 5: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Kependudukan dan Kesejahteraan

Pembangunan kependudukan pada dasarnya ditujukan untuk menjamin keberlangsungan hidup seluruh manusia (Wilopo, 2002) pada tingkat individu ataupun agregat dengan tidak lagi hanya berdimensi lokal atau nasional, akan tetapi juga internasional. Hal ini perlu ditegaskan agar pembangunan kependudukan tidak lagi dipahami secara sempit sebagai usaha untuk mempengaruhi pola dan arah demografi semata. Akan tetapi sasarannya jauh lebih luas, yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat baik dalam arti fisik maupun non fisik termasuk spiritual. Dengan dasar pengertian ini pula maka kebijakan kependudukan merupakan bagian yang integral dari kebijakan pembangunan secara keseluruhan.

Ada beberapa argumentasi penting mengapa kebijakan kependudukan perlu diintegrasikan kedalam kebijakan pembangunan yaitu:

Pertama, tujuan pokok kebijakan pembangunan adalah mensejahterakan masyarakat;

Kedua, perilaku demografi (demographic behavior) terdiri dari sejumlah tindakan individu. Tindakan tersebut merupakan usaha untuk memaksimalkan utilitas atau kesejahteraan individu baik yang bersifat lahiriah, bathiniah maupun spiritual;

5

Page 6: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Ketiga, kesejahteraan masyarakat tidak selalu merupakan penjumlahan dari kesejahteraan individu. Oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk berusaha mengubah situasi dan kondisi serta mempengaruhi perilaku demografi, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat sama dengan penjumlahan dari kesejahteraan individu (Sukamdi, 1992).

Sementara itu dalam diskusi mengenai pembangunan, ada tiga hal lain yang patut diperhatikan. Pertama, keadaan atau kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Kedua, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka waktu yang lama, sehingga seringkali kepentingannya diabaikan. Ketiga, karena luasnya cakupan masalah kependudukan, maka pembangunan kependudukan harus dilakukan secara lintas sektor dan lintas bidang. Oleh karenanya dibutuhkan bentuk koordinasi dan pemahaman mengenai konsep secara benar. Hal itu dapat dilakukan jika ada acuan yang dapat digunakan sebagai dasar bagi semua “stakeholders” (Tjiptoheriyanto, 2001).

Alasan lain yang cukup penting adalah bahwa ketika kebijakan kependudukan diletakkan dalam konteks pembangunan, maka mempersoalkan sustainabilitas atau keberlangsungan merupakan suatu keharusan. Artinya adalah tujuan untuk mensejahterakan tidak hanya terbatas untuk saat ini, akan tetapi juga harus mampu menjamin bahwa kesejahteraan masyarakat juga akan berkesinambunagn untuk generasi mendatang. Dengan demikian kebijakan kependudukan juga harus diletakkan dalam bingkai kebijakan pembangunan jangka panjang.

1.2. Perkembangan Dimensi Kependudukan dalam PembangunanPerhatian masyarakat internasional mengenai perlunya integrasi kebijakan

kependudukan kedalam pembangunan telah berlangsung cukup lama. Hal itu dapat diamati dari deklarasi yang dihasilkan sejak dari konferensi kependudukan sedunia tahun 1974 di Bucharest, dilanjutkan di Mexico City tahun 1984 sampai dengan di Cairo pada tahun 1994 yang secara konsisten menekankan bahwa integrasi kebijaksanaan kependudukan dan pembangunan merupakan hal yang penting.

6

Page 7: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Perbedaannya adalah adanya pergeseran isu sentral dan cara pendekatan pada masing-masing konferensi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang.

Pada konferensi kependudukan sedunia di Bucharest tahun 1974, disepakati perlunya mengendalikan pertumbuhan penduduk. Mulai saat itu mulai terjadi perubahan paradigma pembangunan kependudukan dari yang semula bersifat pro-natalis ke anti-natalis. Argumentasinya di dasarkan pada pendapat Malthus bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada era tersebut penanganan masalah pengaturan kelahiran dilakukan dengan pemakaian alat kontrasepsi.

Pada konferensi kependudukan sedunia di Mexico tahun 1984, isu pengelolaan pertumbuhan penduduk berubah dari penggunaan alat kontrasepsi kepada pembangunan dalam arti luas (beyond family planning). Oleh karena itu konferensi Mexico mengeluarkan suatu slogan yang sangat terkenal yaitu “development is the best contraceptive”. Dasar pemikirannya adalah bahwa pembangunan baik pembangunan ekonomi dan sosial akan berdampak pada pembentukan norma tertentu mengenai anak. Hal ini didasarkan pada berbagai hasil studi yang menunjukkan bahwa makin tinggi status sosial ekonomi keluarga akan berdampak pada semakin sedikitnya jumlah anak yang mereka miliki. Oleh karena itu dalam upaya pengaturan kelahiran yang dibutuhkan bukan pelaksanaan program keluarga berencana dalam arti pelayanan kontrasepsi namun yang lebih diperlukan adalah pembangunan sosial ekonomi. Namun pada kenyataannya kerangka pikir tersebut banyak tidak berjalan di berbagai negara. Pertama, di banyak negara pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan waktu yang lama. Bahkan dalam beberapa kasus banyak negara yang terjebak dalam kemiskinan sehingga mengalami kesulitan untuk membangun kondisi ekonominya. Kedua, apabila tujuannya adalah untuk mengendalikan penduduk maka program keluarga berencana terbukti sebagai suatu program yang efektif.

Selain itu, pada periode sebelum Konferensi di Cairo, 1994 (International Conference on Population and Development), perhatian terhadap isu kependudukan lebih difokuskan pada upaya pengendalian kuantitas penduduk. Akibatnya, sebelum konferensi tersebut peran negara dalam menentukan arah kebijakan terasa lebih dominan dibandingkan dengan peran penduduk (individu). Upaya

7

Page 8: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

tersebut dimanifestasikan lebih kepada pendekatan demografi yaitu pengaturan kelahiran, penurunan kematian serta pengarahan mobilitas penduduk. Pendekatan yang lebih berbasiskan pada demografi tersebut mendapat banyak kecaman terutama dari mereka yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, kesejahteraan, maupun pemberdayaan perempuan (Jones, Gavin, 1998), karena dalam praktek program pengendalian kuantitas penduduk lebih menekankan interes negara dibandingkan dengan interes penduduk..

International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo dapat dipandang sebagai momentum perubahan mendasar dari pendekatan masalah kependudukan dalam pembangunan walaupun menurut Jones (1998) perubahan tersebut bukanlah berlangsung tiba-tiba, namun melalui proses yang cukup panjang yaitu sejak tahun 1985. Beberapa karya yang cukup mempengaruhi perubahan kerangka konsep kependudukan dalam pembangunan antara lain dikembangkan oleh Rosenfield dan Maine (1985) yang memberikan nuansa kesehatan masyarakat, Germain (1987) memberikan penekanan pada pemberdayaan perempuan, Dixon-Muller, 1993 serta Sen, Germain & Chen (1994) yang juga memberikan penekanan pada pemberdayaan perempuan & hak individu (lihat Jones, Gavin, 1998).

Secara ideal setiap kebijakan publik termasuk juga kebijakan kependudukan perlu mempertimbangkan tiga level kepentingan, yaitu individu, masyarakat dan negara atau wilayah secara seimbang1. Dengan demikian sebagai bagian dari kebijakan publik, tujuan akhir dari kebijaksanaan kependudukan juga harus mendukung perbaikan kondisi sosial ekonomi individu, negara dan masyarakat (Keyfitz dalam Sukamdi, 1992). Bahkan, kesejahteraan individu merupakan tujuan yang harus dikedepankan, sebab dengan tercapainya kesejahteraan individu secara merata, secara otomatis kesejahteraan masyarakat pada umumnya juga akan tercapai. Sebaliknya, kesejahteraan masyarakat atau negara secara agregat tidak selalu berarti kesejahteraan individu yang ada dalam agregasi tersebut juga tercapai. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu bahwa kecenderungan yang dominan adalah munculnya kepentingan negara (national

1 1 Oleh Garlan dan Trudeau, tiga kepentingan ini hanya dibagi menjadi dua yaitu masyarakat dan negara. Akan tetapi tim penulis berpendapat bahwa antara individu dan masyarakat harus dipisahkan sepanjang kepentingan masyarakat tidak selalu sama dengan akumulasi kepentingan individu (Sukamdi, 1992).

8

Page 9: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

interest) yang lebih menonjol. Hal itu kemudian berdasarkan logika negara, kepentingan tersebut diterjemahkan ke dalam level masyarakat dan individu. Masalah yang seringkali muncul adalah bahwa tidak selalu ketiga kepentingan tersebut cocok atau paralel, sehingga dalam beberapa kasus hak individu dan masyarakat terabaikan ketika kepentingan negara menjadi segala-galanya. Atas nama kepentingan negara, target kuantitatif harus segera tercapai, sehingga dalam berbagai program kependudukan tekanannya lebih ke aspek makro dari pada mikro. Pada saat ketika kepentingan negara lebih terkedepankan maka akan muncul pelanggaran hak individu dan isu mengenai hak asasi manusia (HAM) akan menjadi isu penting.

Arus pemikiran tentang hak asasi manusia menjadi semakin berkembang secara global (internasional) pada periode akhir tahun 80-an. Untuk kependudukan, pembahasan secara eksplisit berkembang dalam International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo, yang kemudian dikenal dengan “right based approach”. Di dalam konferensi ini penekanan dilakukan terhadap tiga isu pokok yaitu dignity of individual, human rights, dan social values. Secara implisit ketiga aspek tersebut meletakkan hak individu sebagai perhatian pokok dalam pembangunan kependudukan. Disamping itu konferensi ini juga menegaskan bahwa manusia merupakan pusat perhatian dalam pembangunan berkelanjutan, karena penduduk merupakan sumber daya yang paling penting dan paling bernilai.

Dalam konteks Indonesia, berbagai perkembangan pada tingkat internasional maupun nasional saat ini memaksa orang untuk memperhatikan tiga aspek pokok yang mempunyai pengaruh besar terhadap kebijakan kependudukan di masa yang akan datang. Pertama, pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi yang ditandai dengan mulai dilaksanakannya UU No 22 dan 25 tahun 1999. Kedua undang-undang tersebut telah mengamanatkan pemberian wewenang dan kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintahan kabupaten/kota dan dalam waktu yang bersamaan juga mengurangi kekuasaan pemerintahan pusat dalam kebijakan pembangunan. Hal ini membawa konsekuensi terhadap menguatnya proses bottom-up planning dalam setiap perumusan kebijakan di masa yang akan datang. Dengan demikian kebijaksanaan kependudukan tidak lagi hanya dipahami

9

Page 10: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

dari persoalan tingkat internasional maupun nasional akan tetapi harus memperhatikan inisiatif lokal sebagai respon terhadap masalah spesifik di tingkat internasional dan lokal.

Aspek kedua adalah globalisasi. Globalisasi telah mengubah wajah dunia menjadi dunia tanpa batas (borderless world). Hubungan antar negara menjadi sangat erat sehingga dalam batas tertentu kondisi suatu negara mampu menjadi determinan perubahan kondisi di negara yang lain. Dari sisi positif hal ini memberikan peluang bagi terjalinnya kerjasama yang lebih erat antar negara. Disamping itu juga “concern” negara lain terhadap persoalan kependudukan di Indonesia menjadi lebih tinggi sehingga dapat dijadikan patner dalam impelementasi kebijakan kependudukan di Indonesia. Dari sisi negatif, globalisasi telah menyebabkan Indonesia menjadi sangat rentan terhadap setiap gejolak yang terjadi di negara lain. Bahkan bagi sebagian orang globalisasi dicurigai sebagi usaha untuk memperkuat dominasi negara maju terhadap negara berkembang, sehingga ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju menjadi sangat tinggi. Barangkali argumentasi inilah yang dijadikan sebagai alasan bahwa globalisasi ikut berkontribusi terhadap persoalan ekonomi, sosial dan politik yang saat ini tengah melanda Indonesia.

Inti dari globalisasi adalah persaingan. Indonesia saat ini berada pada kondisi yang sangat sulit dengan berbagai persoalan dalam negari yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi daya saing di dunia internasional yang salah satu penyebabnya adalah menurunnya kualitas penduduk Indonesia. Antisipasi terhadap hal ini mutlak diperlukan karena apabila tidak, maka sebagai suatu bangsa, Indonesia akan semakin tertinggal dari negara lain. Lebih jauh dari itu, Indonesia akan semakin tergantung kepada negara lain untuk menjaga keberlangsungannya.

Hal penting lainnya yang terkait dengan isu globalisasi adalah bahwa Indonesia harus mengakomodasi kesepakatan-kesepakatan internasional sebagai landasan perumusan kebijakan pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan kependudukan. Oleh karena itulah maka penting untuk memahami isu-isu yang berkembang secara internasional agar dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakan pembangunan di Indonesia.

10

Page 11: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Aspek ketiga adalah krisis multidimensional yang menghantam Indonesia sejak pertengahan 1998 yang telah mengubah wajah Indonesia secara ekstrim. Krisis tersebut dimulai dengan krisis moneter yang diawali dengan menurunnya nilai rupiah pada bulan Desember 1997. Kondisi tersebut terus memburuk dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1998. Pada waktu itu krisis moneter telah bergeser menjadi krisis ekonomi. Sementara itu pada waktu yang bersamaan juga telah terjadi krisis politik dengan tumbangnya orde baru disertai dengan kerusuhan diberbagai tempat sebagai indikator munculnya krisis sosial. Krisis ekonomi yang masih berlangsung sampai saat ini telah menyebabkan masalah kependudukan menjadi lebih kompleks dan membuka kembali masalah lama yang sebenarnya sebagian telah teratasi selama tiga puluhan tahun terakhir.

Contoh yang sangat jelas adalah bahwa krisis ekonomi yang telah berlangsung selama lima tahun telah meningkatkan jumlah penduduk miskin. Pada tahun-tahun awal terjadinya krisis banyak orang sangat pesimis mengenai krisis ekonomi di Indonesia sehingga melahirkan skenario “doomsday” yang menganggap krisis ekonomi ini telah menghancurkan segala-galanya (Mubyarto, 2000). Hal ini muncul setelah terbit berbagai prediksi yang menggambarkan betapa parahnya dampak krisis ekonomi di Indonesia. Untuk isu kependudukan ada dugaan bahwa krisis ekonomi akan menyebabkan “lost generation” akibat kekurangan gizi dan kemiskinan. Tetapi kemudian muncul skenario lain yaitu “not that bad” yang melihat bahwa dampak krisis tidaklah seburuk yang dibayangkan.

Apapun justifikasinya, kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah bahwa krisis ekonomi telah memperparah kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini akhirnya memiliki implikasi penting terhadap aspek yang lain, misalnya keterbatasan akses penduduk terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar penduduk. Dalam jangka panjang kondisi ini dapat mengganggu pencapaian hasil pembangunan kependudukan yang telah dicapai selaman ini. Hal ini menuntut antisipasi secara khusus sebagai landasan berpijak bagi kebijakan kependudukan di masa yang akan datang.

Hal lain yang penting untuk dibahas adalah masalah kelembagaan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program-program kependudukan (lihat Agus Dwiyanto, 2001). Perubahan kondisi politik telah menyebabkan berubahnya

11

Page 12: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

struktur kelembagaan di Indonesia. Untuk aspek kependudukan dampak yang perlu disebut adalah dengan berubahnya lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan kependudukan. Bahkan, sebagaimana diketahui sejak sekitar tahun 1999, keberadaan lembaga yang bertanggung jawab terhadap perumusan kebijakan kependudukan terabaikan. Hal ini tentu saja membawa implikasi yang cukup signifikan terhadap arah dan orientasi kebijakan kependudukan.

Persoalan mengenai aspek kelembagaan ini menjadi penting apabila dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pada tingkat operasional program pengendalian jumlah penduduk semakin kehilangan momentum dengan didesentralisasikan BKKBN yang menyebabkan pada tingkat lokal perhatian terhadap program keluarga berencana menjadi terbatas. Bahkan untuk beberapa kasus, kebijakan kependudukan pada umumnya dan keluarga berencana pada khususnya, dianggap tidak penting dalam pembangunan daerah sehingga kehilangan prioritas.

Pembahasan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa isu dan kebijakan kependudukan telah berkembang secara substansial, baik pada level nasional maupun internasional. Isu yang berkembang tersebut belum semuanya diantisipasi di Indonesia. Bahkan dewasa ini dapat diamati bahwa pada tingkat lokal isu kependudukan juga telah berkembang dan menuntut respon segera dalam rangka perumusan kebijakan kependudukan di masa yang akan datang yang lebih antisipatif.

Alur pikir sistematika naskah akademik perubahan UU No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera secara ringkas digambarkan pada bagan berikut ini:

Gambar 1.1. Alur Pikir Naskah AkademikGambar 1.1. Alur Pikir Naskah Akademik

12

Isu yang muncul sebagai dasarpertimbangan amandemen:

• Perubahan kondisi sosial ekonomi Indonesia (Krisis)

• Desentralisasi

• Globalisasi

Page 13: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB IITUJUAN DAN URGENSI AMANDEMEN UU NO.10

TAHUN 1992 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

SEJAHTERA

Pada bagian ini akan diuraikan mengapa Undang-Undang No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahteran perlu di amandemen atau dirubah. Namun sebelum sampai pada pembahasan tersebut maka dirasakan perlu untuk menggambarkan kondisi kependudukan di Indonesia berikut apa yang telah dilakukan selama ini baik dalam arti kebijakan, program maupun manajemen untuk mengelola kondisi kependudukan tersebut.

2.1. Perkembangan Kependudukan & Permasalahannnya

2.1.1. Dinamika Kependudukan.

13

Penjelasan tentang kondisi Kependudukan di Indonesia

Urgensi Amandemen UU No.10/92

Tujuan Amandemen UU No.10/92

PROSES PERUBAHAN UU NO.10 TAHUN 1992

Landasan FiIosofisKegiatan dengar

pendapat

Prinsip umum dan khususDefinisi atau batasan Rancangan Amandemen

Naskah rancangan Amandemen UU No.10 1992

Tinjauan Yuridis

Page 14: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Indonesia merupakan salah satu negara yang sejak awal awal dekade 70-an sangat memperhatikan masalah kependudukan dan secara aktif terlibat dalam berbagai konferensi kependudukan di atas. Disamping itu, Indonesia secara konsisten telah mengadopsi ide dasar mengenai integrasi kebijakan kependudukan dan pembangunan. Sebagaimana halnya negara negara berkembang lainnya, Indonesia pada dekade 70-an dan 80-an sangat memfokuskan pada masalah kuantitas penduduk (pertumbuhan maupun persebaran). Tiga isu utama demografi yaitu kelahiran, kematian dan persebaran penduduk diupayakan untuk ditangani secara terpada melalui program keluarga berencana, kesehatan dan transmigrasi. Lebih lanjut untuk memayungi program kependudukan di Indonesia, pada tahun 1992, Indonesia kemudian mengeluarkan Undang-Undang tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang No.10 tahun 1992.

Pemahaman mengenai masalah kependudukan di Indonesia sangat diwarnai oleh ide Malthus yang berakar pada pemikiran “pesimis” bahwa jumlah penduduk yang besar dianggap sebagai beban bagi pembangunan ekonomi. Meskipun belum ada rumusan yang jelas mengenai jumlah penduduk optimal, akan tetapi jumlah yang ada saat ini masih dianggap terlalu banyak. Hal ini masuk akal jika dilihat dari persoalan pembangunan yang muncul yang secara langsung mapun tidak langsung dikaitkan dengan variable kependudukan, misalnya kemiskinan dan degradasi lingkungan. Dengan dasar pemikiran tersebut maka kebijakan yang diambil adalah menurunkan pertumbuhan penduduk dalam rangka pengendalian jumlah penduduk. Dari sisi ini maka kebijakan kependudukan di Indonesia termasuk berhasil. Tabel-1 menggambarkan beberapa indikator demografi di Indonesia sampai dengan tahun 2000.

TABLE-2.1INDIKATOR DEMOGRAFI DARI BERBAGAI SUMBER DI INDONESIA TAHUN 1971 – 2000

14

Page 15: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Sebagai ilustrasi, pada periode 1961-1971 pertumbuhan penduduk di Indonesia tercatat 2,1 persen pertahun. Angka ini kemudian meningkat menjadi 2,32 persen per tahun pada periode 1971-1980 dan menurun menjadi 1,97 persen per tahun pada periode berikutnya, 1980-1990. Penurunan juga terjadi pada periode 1990-2000 menjadi 1,5 persen per tahun. Penurunan pertumbuhan penduduk tersebut menyebabkan jumlah penduduk menjadi relatif terkendali. Pada tahun 1971 jumlah penduduk Indonesia tercatat 119,21 juta jiwa dan menjadi 206,26 juta jiwa pada tahun 2000. Data mengenai kepadatan penduduk memperlihatkan bahwa selama periode 1971-1990 terjadi peningkatan dan kemudian mengalami penurunan pada periode 1990-2000 (Tabel 1).

Jika dilihat menurut propinsi maka akan terlihat bahwa pertumbuhan penduduk sangat bervariasi. Pada periode 1990-2000 misalnya, terdapat 8 propinsi yang memiliki angka pertumbuhan penduduk di bawah 1 persen per tahun. Di pihak lain tercatat 4 propinsi mengalami pertumbuhan penduduk di atas 3 persen per tahun. Bahkan untuk Propinsi Riau angka pertumbuhan penduduknya mencapai 4,35 persen per tahun.

Meskipun selama periode 1980-2000, secara nasional angka pertumbuhan penduduk mengalami penurunan, akan tetapi terdapat dua propinsi yang

Indicator Sensus 1971 Sensus 1980 Sensus 1990 Supas 1995 Sensus1 2000

Jumlah Penduduk (jutaan) 119.2 147.5 179.4 195.3 206.3

Tingkat Pertumbuhan Penduduk (persen) 2.10 2.32 1.98 1.6 1.49

Kepadatan (penduduk/km2) 62.4 77.0 93.0 92.0 91.0

Persentase Penduduk tinggal di Perkotaan 17.3 22.3 30.9 34.0 42.0

Waktu Referensi 1967-70 1976-79 1986-89 1995 1997

Angka Kelahiran Kasar 3 (CBR)3 40.6 35.5 27.9 23.6 22.4

Angka Kematian Kasar 4 (CDR)4 19.1 13.1 8.9 7.7 7.6

Angka Kehiran Total 5 (TFR)5 5.6 4.7 3.3 2.8 2.3

Angka Kematian Bayi6 142 112 70 61 47

Angka Ketergantungan6

Pria 45.0 50.9 57.9 61.9 62.8

Wanita 48.0 54.0 61.5 65.7 66.7

1Sumber dari Proyeksi Penduduk Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BPS , 1998; 2Dihitung dengan rumus “compound interest”

3Kelahiran per tahun per 1000 penduduk; estimasi menggunakan rumus; CBR = 9.48968 + 5.55 TFR; 4Kematian per tahun per 1,000 penduduk;

5Estimasi dasar untuk metode anak; 6Menggunakan teknik estimasi tidak langsung ; Sumber: Biro Pusat Statistik, 1987; 1992; 1995, 1997a, 1997b, 1998, 2002;

15

Page 16: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

mengalami kenaikan pertumbuhan penduduk pada periode 19980-1990 dan 1990-2000, yaitu Propinsi DIY dan Riau. Untuk DIY kenaikan ini masih wajar karena angka akhirnya masih di bawah 1 persen per tahun, akan tetapi untuk Propinsi Riau perlu diperhatikan secara seksama. Penjelasan ini sekaligus memberikan argumentasi mengenai pentingnya memperhatikan variasi kondisi demografis dalam perumusan kebijakan kependudukan.

Secara umum penurunan angka pertumbuhan penduduk di Indonesia tidak lepas dari keberhasilan menekan angka kelahiran. Pada periode 1967-1970 angka kelahiran total (TFR) di Indonesia tercatat 5,605 anak per wanita. Hasil Sensus Penduduk tahun 1990 memperlihatkan bahwa angka tersebut telah menurun hampir separuh, yaitu menjadi 3,326 anak per wanita. Angka ini kemudian turun menjadi 2,344 anak per wanita pada periode 1996-1999 (lihat BPS, 2001: 47). Perubahan tersebut menunjukkan bahwa penurunan angka fertilitas berlangsung secara konsisten selama tiga dasa warsa terakhir. Kecenderungan ini diikuti oleh perubahan angka kelahiran kasar yang pada periode yang sama menurun secara konsisten (Tabel 1). Oleh beberapa ahli penurunan fertilitas di Indonesia disebut sebagai “revolusi fertilitas” karena penurunan yang sangat drastis dan konsisten.

Perlu untuk dicatat walaupun program keluarga berencana di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang luar biasa namun hal tersebut tidak serta merta menyebabkan jumlah penduduk Indonesia tidak bertambah (tetap). Fenomena ini dalam istilah demografi disebut dengan Demographic Momentum yaitu pertambahan yang disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada pada usia reproduksi, sebagai akibat tingginya tingkat kelahiran pada masa lalu.

Sebagai negara yang masih memiliki ‘struktur penduduk yang relatif muda’, meskipun program keluarga berencana telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran secara menakyubkan, namun untuk beberapa kurun waktu mendatang, penduduk Indonesia masih akan terus bertambah dan diperkirakan baru mencapai tahap penduduk tumbuh seimbang (PTS) pada sekitar tahun 2020 dengan jumlah penduduk sekitar 262 juta jiwa. Itupun akan tercapai jika Indonesia dapat mempertahankan keberhasilan program pengaturan kelahiran seperti saat ini.

16

Page 17: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Perlu juga dicatat bahwa angka kelahiran sangat bervariasi antar propinsi. Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 memperlihatkan bahwa terdapat 7 propinsi yang masih memiliki angka kelahiran total di atas 3 anak per wanita, dengan NTT sebagai propinsi yang memiliki angka kelahiran total tertinggi, yaitu 3,366 anak per wanita. Sebaliknya terdapat empat propinsi yang memiliki angka kelahiran total kurang dari 2. Bahkan untuk Propinsi DIY, angka kelahiran total sudah sangat rendah yaitu 1,435 anak per wanita. Sejalan dengan semangat desentralisasi, variasi ini akan menjadi bahan penting untuk merumuskan kebijakan kependudukan di bidang fertilitas di Indonesia.

Penurunan angka kelahiran tersebut merupakan hasil dari bekerjanya kebijakan pembangunan sosial ekonomi dan kebijakan kependudukan melalui gerakan keluarga berencana secara bersamaan. Apabila kebijakan tersebut terganggu, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pola dan tren kelahiran di Indonesia juga akan berubah. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kebijakan yang konsisiten untuk mempertahankan arah dan pola angka kelahiran di Indonesia.

Sebagaimana tercantum dalam naskah ICPD, persoalan keluarga berencana tidak dapat dilepaskan dari kesehatan reproduksi. Artinya adalah apabila keluarga berencana pada awalnya hanya terbatas pada pengaturan kelahiran, maka saat ini pelaksanaannya harus diletakkan dalam kerangka kebijakan yang lebih luas yaitu menyangkut kebijakan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu meskipun secara kuantitatif, angka kelahiran telah mengalami penurunan yang sangat signifikan, akan tetapi masih terdapat persoalan kesehatan reproduksi yang harus memperoleh perhatian lebih lanjut, sebab masalah yang muncul bukan hanya belum teratasi akan tetapi juga semakin bertambah. Untuk menyebut beberapa masalah diantaranya adalah kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan segala sesuatu yang terkait dengan hak reproduksi.

Dalam konteks keluarga berencana, krisis ekonomi dan desentralisasi telah melahirkan persoalan baru. Krisis ekonomi dari sisi keluarga menyebabkan mereka kesulitan untuk membeli alat kontrasepsi. Dari sisi pemerintahan, krisis ekonomi telah menyebabkan kesulitan untuk memberikan subsidi terhadap harga alat kontrasepsi sehingga harganya menjadi tidak terjangkau oleh golongan menengah ke bawah. Hal ini kemudian menyebabkan unmet demand yang sangat tinggi di

17

Page 18: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

masyarakat. Sementara itu desentralisasi telah mempengaruhi cara berpikir beberapa birokrat di tingkat lokal yang memandang bahwa kebijakan pengaturan kelahiran tidak menjadi prioritas karena tidak meningkatkan PAD. Hal ini secara simultan akan berakibat buruk bagi kebijakan kependudukan secara nasional.

Variabel lain yaitu kematian menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia menurun secara konsisiten selama periode 1971-2000. Pada awal tahun 70-an, angka kematian bayi tercatat 145 per 1000 lahir hidup. Hasil Sensus Penduduk tahun 1980 memperlihatkan bahwa angka tersebut telah turun menjadi 109 per 1000 lahir hidup. Sensus Penduduk tahun 1990 juga memperlihatkan penurunan angka kematian bayi yang cukup signifikan yaitu menjadi 71 per 1000 lahir hidup dan kemudian mengalami penurunan menjadi 47 per 1000 lahir hidup pada tahun 2000.

Sebagaimana halnya angka kelahiran, angka kematian bayi di Indonesia sangat bervariasi antar propinsi. Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 memperlihatkan bahwa seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, Propinsi Nusa Tenggara Barat masih merupakan propinsi dengan angka kematian bayi tertinggi. Sementara itu pada waktu yang bersamaan tiga propinsi telah mencapai angka kematian bayi di bawah 30 per 1000 lahir hidup, yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan dikhawatirkan akan mempengaruhi pencapaian tersebut. Penurunan daya beli masyarakat, keterbatasan akses pelayanan kesehatan dan kemampuan pemerintah yang juga terbatas dalam pelayanan kesehatan dapat menyebabkan angka kematian bayi meningkat kembali. Dalam skala tertentu desentralisasi telah menyebabkan pelayanan kesehatan di beberapa kabupaten dan kota mengalami penurunan, khususnya di Puskesmas. Selain ketersediaan obat-obatan, kenaikan beaya pelayanan di Puskesmas yang sangat drastis telah mempersulit masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas. Bahkan hal ini diperburuk oleh kenyataan bahwa pelayanan Posyandu juga cenderung menurun selama periode 1997-2000 (Strauss, et.al. 2002).

18

Page 19: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Sejalan dengan perkembangan angka kematian bayi, usia harapan hidup di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1967 usia harapan hidup baru mencapai 45,7 tahun. Angka ini meningkat menjadi 65,4 tiga puluh tahun kemudian. Pola antar propinsi menunjukkan bahwa DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara memiliki angka harapan hidup tertinggi, yaitu di atas 70 tahun. Sementara itu NTB adalah propinsi dengan angka harapan hidup paling rendah, yaitu 56 tahun.

Dari sisi migrasi terdapat dua pola yang menarik untuk dikemukakan. Pertama, secara umum Pulau Jawa merupakan pengirim migran ke luar pulau Jawa. Kedua, migran keluar dari luar Jawa, sebagian besar pergi ke Pulau Jawa. Hal ini berlangsung sejak awal Orde Baru. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa pada Sensus Penduduk tahun 2000 ada tiga propinsi di Pulau Jawa yang merupakan pengirim utama migran yaitu Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sementara itu Jawa Barat dan DKI merupakan penerima migran.

Isu saat ini yang banyak muncul sebagai dampak dari desentralisasi yang dimaknai secara salah adalah adanya kecenderungan di berbagai daerah untuk memberlakukan kebijakan menutup daerahnya terhadap migran dari luar. Ada dua isu penting yang perlu diperhatikan. Pertama, kebijakan tersebut melanggar hak asasi, artinya bertentangan dengan prinsip dasar yang telah disepakati secara internasional. Kedua secara demografis hal ini akan menghambat usaha untuk mengarahkan mobilitas penduduk dalam rangka mengatasi masalah distribusi penduduk yang tidak merata.

2.1.2. Ketenagakerjaan

Dalam kondisi normal, menurunnya pertumbuhan penduduk akan menurunkan jumlah penduduk pada struktur yang muda (0-15 tahun) namun untuk beberapa saat masih akan meningkatkan jumlah penduduk struktur umur di atasnya. Untuk penduduk yang tergolong muda seperti Indonesia, pertumbuhan penduduk usia kerja (15-64) menjadi lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk itu sendiri. Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan penduduk usia kerja pada periode 1990-1995 sebesar rata-rata 2.7 persen per tahun, kemudian menurun

19

Page 20: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

menjadi 2.4 persen per tahun pada periode 1995-2000 dan diperkirakan menurun lagi menjadi 1.1. persen per tahun antara tahun 2015-2020. Pertumbuhan usia kerja selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk,misalnya antara tahun 1995-2000 angka pertumbuhan penduduk adalah 1.48 persen dibandingkan 2.4 persen untuk pertumbuhan usia kerja). Secara absolut, penduduk usia kerja meningkat dari 121.6 juta pada tahun 1995 menjadi 136.5 juta pada tahun 2000 dan diperkirakan akan menjadi 182.5 juta pada tahun 2020.

Sejalan dengan itu, angkatan kerja bertambah dari sekitar 73,9 juta orang pada tahun 1990 menjadi sekitar 96,5 juta pada tahun 2000, dan diperkirakan meningkat lagi menjadi 144,7 juta pada tahun 2020. Permasalahan yang ditimbulkan oleh besarnya jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja tersebut disatu pihak menuntut kesempatan kerja yang lebih besar, dipihak lain menuntut peningkatan kualitas angkatan kerja itu sendiri agar mampu menghasilkan keluaran yang lebih tinggi sebagai prasyarat untuk bersaing di era globalisasi.

Keseimbangan antara supply (jumlah angkatan kerja) dengan demand (jumlah kesempatan kerja) merupakan sasaran strategis yang harus dicapai oleh pembangunan ekonomi. Dari sisi penciptaan kesempatan kerja, persoalan tersebut sangat terasa ketika krisis ekonomi mulai memukul perekonomian Indonesia sehingga kemampuan untuk menciptakan kesempatan kerja menjadi sangat terbatas bahkan dapat dikatakan menurun. Akibatnya sangat jelas yaitu meningkatnya jumlah angka pengangguran dan setengah pengangguran. Bahkan ketika pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi, tidak ada jaminan jumlah kesempatan kerja dapat seimbang dengan jumlah angkatan kerja. Sebagai contoh pada kurun waktu 1971-1980, pertumbuhan ekonomi adalah 7,9 % per tahun, namun daya serapnya angkatan kerja relatif kecil, yaitu hanya bertambah dengan tiga persen setahun. Simanjuntak (1996), melakukan proyeksi mengenai pertambahan angkatan kerja dan kesempatan kerja sampai dengan tahun 2018. Proyeksi ini dilakukan sebelum krisis ekonomi terjadi2. Jika mengikuti proyeksi tersebut maka Indonesia mengalami masalah kesenjangan antara angkatan kerja dan kesempatan kerja sampai dengan akhir tahun 2012. Baru setelah tahun 2013, kesempatan kerja diperkirakan akan berada di atas angkatan kerja (Tabel-2). 2 Proyeksi ini dilakukan dengan mendasarkan kondisi sebelum krisis, Apabila situasi krisis dimasukkan sebagai bahan

pertimbangan maka hasilnya akan jauh berbeda, khususnya dari sisi jumlah kesempatan kerja.

20

Page 21: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

TABEL-2.2: PERKIRAAN PERTUMBUHAN ANGKATAN KERJA DAN

KESEMPATAN KERJA DALAM PJP II (X 1000)

TAHUN ANGKATAN KERJA KESEMPATAN KERJA1998 12.704 11.9132003 13.232 12.4272008 12.701 12.7442013 12.095 12.1772018 11.455 11.871

Sumber: Simanjuntak, 1996

Dalam rangka meringankan beban penciptaan kesempatan kerja maka faktor yang dapat dipengaruhi adalah dari sisi supply, yaitu dengan menghambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Ada dua aspek yang dapat diintervensi, yaitu pertumbuhan angka partisipasi angkatan kerja dan pertumbuhan usia kerja. Pertumbuhan angka partisipasi angkatan kerja tidak mungkin diperlambat karena hal itu justru menunjukkan semakin besarnya penduduk yang masuk ke pasar kerja. Oleh karena itu cara strategis yang dapat dilakukan adalah menghambat pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan penduduk usia kerja melalui kebijakan kependudukan. Akan tetapi perlu dicatat bahwa kondisi antar daerah sangat bervariasi sehingga pilihan kebijakan juga sangat bervariasi tergantung permasalahan penting di masing-masing daerah.

Pada dasarnya jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar akan mampu menjadi potensi pembangunan apabila dibina dengan baik. Pembinaan yang baik akan menghasilkan mutu angkatan kerja yang baik. Mutu angkatan kerja antara lain tercermin dalam tingkat pendidikan dan latihan. Data memperlihatkan bahwa pada tahun 1997 yang lalu, Dalam 63 persen dari angkatan kerja pada saat itu berpendidikan SD ke bawah sedangkan mereka yang berpendidikan di atas SLTA (Diploma/Akademi dan Universitas) hanya 3.7%. Paling tidak hal ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya dari kuantitas tetapi persoalan muncul juga dari sisi kualitas.

2.1.3. Kemiskinan

21

Page 22: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Masalah kemiskinan masih merupakan tantangan utama di dalam upaya melaksanakan pembangunan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Kemiskinan biasanya disertai dengan pengangguran, kekurangan gizi, kebodohan, status wanita yang rendah, rendahnya akses terhadap pelayanan sosial dan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana. Faktor-faktor ini memberikan kontribusi terhadap tingginya tingkat fertilitas, morbiditas dan mortalitas, serta rendahnya produktivitas. Kemiskinan juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan distribusi penduduk yang tidak merata dan ketidak-berkelanjutan sumber-sumber alam yang tersedia, seperti tanah dan air, dan terhadap pengrusakkan lingkungan hidup yang serius.

Sebelum krisis ekonomi yang terjadi mulai tahun 1997, Indonesia sebenarnya telah berhasil menurunkan jumlah dan persentase penduduk miskin dari 54.2 juta jiwa atau 40.1 persen pada tahun 1976 menjadi 22.6 juta jiwa atau 11.4 persen (lihat gambar 2.1). Namun krisis ekonomi telah menyebabkan jumlah dan persentase penduduk miskin kembali meningkat. Hal ini tidak lepas kaitannya dengan ketidakmampuan penduduk untuk memperoleh pekerjaan.

Selama krisis ekonomi berlangsung ada bukti bahwa angka kemiskinan meningkat secara signifikan. Hasil perkiraan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa insiden kemiskinan meningkat dari 19 persen pada Februari 1996 menjadi 37 persen pada September 1998 ketika krisis ekonomi berada di

puncak (BPS, Bappenas and UNDP, 2001 : 10). Meskipun selama periode 1999-2001

22

Page 23: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

ada indikasi bahwa telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin akan tetapi jumlahnya masih tetap lebih tinggi dibandingkan ketika sebelum krisis. Pada tahun 2002, diperkirakan sekitar 38.4 juta penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin atau lebih kurang 18.2 persen dari seluruh penduduk di Indonesia (Bappenas, 2003). Meningkatnya jumlah penduduk miskin akan membawa implikasi yang sangat serius terhadap pembangunan sumberdaya manusia. Meningkatnya jumlah penduduk miskin merupakan indikator penurunan daya beli masyarakat. Hal ini akan berdampak pada pemenuhan pelayanan publik dan akhirnya bisa menghambat pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia.

Penduduk miskin dalam jumlah besar dan telah menderita selama bertahun-tahun akan dapat menjadi ancaman yang serius bagi pemerintahan (pusat dan daerah). Dalam konteks kependudukan, kemiskinan akan menyebabkan semakin terbatasanya akses penduduk terhadap pelayanan keluarga berencana, kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Pada skala tertentu, hal itu dapat memicu terhadap persoalan lain yang lebih luas menyangkut persoalan politik dan juga kesatuan bangsa. Dengan dasar pemikiran semacam ini maka kebijakan kependudukan pada masa yang akan datang harus mampu memberikan kontribuasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap usaha mengatasi kemiskinan.

Ilustrasi yang menarik disajikan dalam Indonesia Human Development Report (BPS, Bappenas, and UNDP, 2001 :49) mengenai waktu yang dibutuhkan oleh propinsi di Indonesia untuk mencapai sasaran internasional. Seperti kemiskinan, untuk mencapai sasaran internasional, beberapa propinsi membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun, misalnya Propinsi NAD membutuhkan waktu 150 tahun, Sumatera Utara 122 tahun, dan Nusa Tenggara Barat 130 tahun. Untuk kemiskinan angka terkecil di miliki oleh DIY yaitu 11 tahun. Secara nasional waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran internasional adalah 15 tahun. Artinya, pada baru pada tahun 2008, Indonesia dapat mencapai sasaran internasional. Sementara itu untuk sektor pendidikan, Maluku, Papua dan Kalimantan Timur membutuhkan waktu di atas 75 tahun. Secara nasional waktu yang dibutuhkan untuk sektor pendidikan adalah 30 tahun. Hal ini memberikan ilustrasi bahwa terdapat gap waktu antar propinsi dalam rangka mencapai sasaran internasional. Dengan demikian harus ada insentif untuk mendorong agar daerah yang satu

23

Page 24: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

mampu mengakselerasi pembangunan Sumberdaya Manusia sehingga tidak ketinggalan dengan daerah lain.

Pengentasan kemiskinan membutuhkan pendekatan yang komprehensif tidak saja aspek ekonomi namun juga sosial dan kemanusiaan. Dalam konteks ini maka pelaksanaan good governance di semua tingkatan merupakan prasyarat mutlak dalam pengentasan kemiskinan. Kependudukan, pembangunan dan kemiskinan sangat terkait erat satu dengan yang lain dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Disamping itu keseimbangan antara kependudukan, sumberdaya & lingkungan merupakan faktor penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup baik untuk generasi sekarang maupun akan datang.

2.1.4. Lingkungan Hidup

Kegiatan sehari-hari manusia, masyarakat dan negara berhubungan secara timbal-balik dengan tingkat, pola dan perubahan parameter kependudukan, pemakaian sumber-sumber daya alam, lingkungan hidup, dan bentuk serta kualitas pembangunan ekonomi dan sosial. Berkembangnya kemiskinan serta ketimpangan sosial dan gender mempunyai pengaruh yang sangat signifikan secara timbal balik dengan parameter demografi seperti pertumbuhan penduduk, penyebaran dan struktur penduduk. Demikian pula pola konsumsi dan produksi yang tidak terkendali sebagai akibat dari perubahan parameter demografi memberikan kontribusi terhadap penggunaan sumberdaya alam yang yang tidak berkelanjutan dan pengrusakkan lingkungan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang sinergik antara kebijakan kependudukan, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, pembangunan sosial serta pelestarian lingkungan hidup. Deklarasi Rio tentang Pembangunan dan Lingkungan serta Agenda 21, ICPD Cairo, 1994, serta Millenium Summit secara konsisten telah memberikan pengertian tentang keterkaitan hubungan antara lingkungan hidup, lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Terkendalinya pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kemampuan negara untuk mengatasi kemiskinan, melindungi dan memperbaiki lingkungan hidup, dan membangun dasar-dasar pembangunan yang berkelanjutan di masa datang.

24

Page 25: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Status pelestarian lingkungan hidup di Indonesia saat ini berada pada keadaan yang buruk dengan kecenderungan yang makin memburuk. Penurunan kualitas lingkungan terjadi di berbagai wilayah dengan drastis yang disebabkan oleh berbagai masalah seperti sampah, penurunan kualitas udara akibat dari emisi kendaraan bermotor, kesesakan pemukiman, sanitasi, dan kesediaan air sangat terbatas, penebangan hutan, penjarahan hutan dan kebakaran hutan (MenLH, 2003).

Salah satu masalah kerusakan lingkungan adalah degradasi lahan yang besar, yang apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat akan menjadi lahan kritis sampai akhirnya menjadi gurun. Lahan kritis umumnya banyak terjadi di dalam daerah aliran sungai (DAS) di seluruh Indonesia. Data Departemen Kehutanan menunjukkan lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15,11 juta hektar dan di dalam kawasan hutan 8,14 juta hektar (MenLH, 2003).

Total hutan yang rusak sudah mendekati angka 57 juta hektar. Ironisnya, kapasitas lembaga yang bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan lahan dengan inisiatif pemerintah tak cukup kuat menangani kerusakan yang terjadi. Realisasi lahan kritis yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dari tahun 1999 sampai tahun 2001 mencapai 1.271.571 hektar yang terdiri dari 127.396 hektar di dalam kawasan hutan dan 1.144.175 hektar di luar kawasan hutan. Selama lima tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan 1,6 juta hektar per tahun. Berdasarkan citra satelit 1995-1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia pada 432 HPH mencapai 14,2 juta hektar, sedangkan kerusakan pada hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 5,9 juta hektar.

Luas areal hutan yang perlu direboisasi di seluruh Indonesia mencapai 43,111 juta hektar, meliputi Pulau Jawa 111 ribu hektar dan di luar Pulau Jawa seluas 43 juta hektar. Idealnya Pulau Jawa mempunyai hutan minimal 30 persen dari luas daratan. Namun sampai saat ini baru 23% dikurangi lahan kritis yang mencapai antara 250 ribu ha sampai 300 ribu ha. Penyebab utama meluasnya lahan kritis adalah adanya :

1. tekanan dan pertambahan penduduk,2. luas areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah,

25

Page 26: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

3. pengelolaan hutan yang tidak baik dan penebangan illegal,4. pembakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali,5. ekploitasi bahan tambang.

Meluasnya lahan kritis membuat penduduk yang tinggal di daerah tersebut relatif miskin, kepadatan penduduk tinggi, pemilikan lahan bertambah sempit, kesempatan kerja sangat terbatas, dan lingkungan hidup mengalami kerusakan/degradasi. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang telah memperburuk kondisi perekonomian masyarakat luas, khususnya petani gurem. Akibatnya penebangan hutan semakin merebak serta lahan yang terancam menjadi kritis semakin meluas.

Penambangan yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia saat ini banyak menimbulkan kerugian tidak hanya kerugian materi berupa hilangnya devisa bagi negara tetapi juga ancaman dan kerugian bagi lingkungan hidup yaitu rusaknya lingkungan dan menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Beberapa perusahaan pertambangan besar dalam melakukan aktifitasnya banyak menimbulkan masalah lingkungan, seperti pembuangan limbah ke sungai yang telah menimbulkan masalah. Begitu juga penambangan pasir laut yang banyak menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap. Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan (sedimentasi) terus-menerus, terutama di bagian hilir sungai. Proses sedimentasi di bagian hilir ini dapat disebabkan oleh erosi intensif di bagian hulu. Erosi ini selain merupakan akibat dari rusaknya daerah aliran sungai bagian hulu hingga tanahnya mudah tererosi, juga karena pelurusan sungai dan sudetan, yang dapat mendorong peningkatan erosi di bagian hulu. Material tererosi ini akan terbawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir hingga menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai sudah sangat serius dan ditemukan di hampir seluruh daerah hilir/muara di Indonesia. Untuk itu perlu segera disosialisasikan perbaikan daerah aliran sungai dengan pelarangan penjarahan hutan dan penghentian hak pengusahaan hutan serta peninjauan kembali proyekproyek pelurusan dan sudetan-

26

Page 27: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

sudetan yang tidak perlu. Pendangkalan sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang masyarakat ke sungai. Sampah domestik yang dibuang ke sungai terutama di kota-kota besar akan berakibat terjadinya pendangkalan dan penutupan alur sungai sehingga aliran air tertahan dan akhirnya sungai meluap.

Lingkungan laut juga tak kurang bermasalah. Adanya pengelolaan yang keliru, misalnya konversi hutan mangrove, penambangan pasir dan penangkapan ikan hias di habitat terumbu karang secara paksa (memakai racun dan bahan peledak), tumpahan minyak, dan masih banyak lagi, pasti dan sudah menurunkan bahkan menghilangkan kemampuan alam untuk merehabilitasi (asimilasi) dirinya sendiri.

Terjadinya penurunan kualitas hutan di daerah hulu daerah aliran sungai, misalnya telah nyata dirasakan akhir akhir ini, berupa berbagai bencana, seperti tanah longsor, banjir maupun kekeringan, kebakaran hutan, dan lain-lain, merupakan dampak negatif kegiatan manajemen lingkungan yang kurang, bahkan tidak memperhatikan kaidah-kaidah pokok pengelolaan yang ramah lingkungan.

Pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia, yaitu antara lain 30 persen hutan mangrove di dunia; 30 persen terumbu karang dunia, khususnya Indonesia bagian timur; 60 persen konsumsi protein berasal dari sumber daya ikan di mana 90 persen ikan yang ditangkap adalah ikan perairan pesisir dan sisanya berasal dari perairan dalam.

Konsentrasi penduduk yang sebagian besar (60%) berada di wilayah pesisir, secara nyata telah menimbulkan tekanan pada lingkungannya. Berbagai jenis limbah (padat maupun cair) terminal akhirnya adalah laut. Apabila jumlah limbah yang harus diasimilasi tersebut masih sesuai atau di bawah kemampuan daya dukung dan potensi lingkungannya, mungkin tak timbul masalah yang menjadi bencana lingkungan. Dampak pencemaran di pesisir relatif mudah menyebar luas, mengenai apa saja yang dilaluinya, seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.

Hutan mangrove yang karakteristik fisiknya dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan, penahan lumpur dan pencegah

27

Page 28: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

terjadinya intrusi serta abrasi pantai, telah mengalami penyusutan sebesar kurang lebih 31 persen dari jumlah 4,29 juta ha. Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia. Total luasan hutan mangrove di dunia adalah 15,9 juta hektar dan 4,25 juta hektar atau 27 persen-nya berada di Indonesia .

Total luas terumbu karang Indonesia 85.707 km2, dengan jenis keanekaragaman hayati terumbu karang meliputi: >450 jenis karang batu; 2.500 jenis moluska; 1.512 jenis krustasea; 850 jenis spons; 745 jenis ekinodermata; 2.334 jenis ikan; 30 jenis mamalia laut; 38 jenis reptilia laut. Kondisi terumbu karang sudah Indonesia semakin mencemaskan. Sekitar 14 persen dalam kondisi kritis, 46 persen telah mengalami kerusakan, 33 persen dalam kondisi masih cukup bagus dan hanya 7 persen kondisinya masih sangat bagus.

2.1.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah peningkatan kualitas penduduk. Dari berbagai laporan, terutama yang diterbitkan oleh UNDP (lihat Human Development Report, 1994-2001), menunjukkan bahwa kualitas penduduk Indonesia dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia tergolong rendah di kawasan ASEAN. Bahkan ada indikasi bahwa pada masa krisis ini kondisi tersebut cenderung memburuk. Tabel-3 memperlihatkan perkembangan IPM di Indonesia pada kurun waktu 1990-1999.

TABEL-2.3INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA 1990-1999

Indicators 1990 1996 1999

Indek Pembangunan Manusia 63.4 67.7 64.3

Ketergantungan Hidup (tahun) 63.2 66.4 66.2

Angka Kematian Bayi 56.0 44.0 44.9

Literacy Rate (%) 81.5 85.5 88.4

Mean years of Schooling 5.3 6.3 6.7

Purchasing power parity

(ribuan rupiah)

555.4 587.4 578.8

Sumber: Laporan Pembangunan Manusia Tahun 2001

Selama periode 1975-1996 terjadi kenaikan yang konsisten nilai IPM di Indonesia. Pada tahun 1975 IPM untuk Indonesia tercatat 0.465. Angka ini

28

Page 29: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

meningkat menjadi 0.677 pada tahun 1996 (lihat BPS, Bappenas, and UNDP. 2001). Akan tetapi kenaikan ini relatif lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Pada tahun 1997 sebelum krisis menghantam Indonesia, rangking IPM Indonesia adalah terendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Philipina. Pada waktu itu negara-negara tetangga telah mencapai IPM kurang lebih 0,70, bahkan Malaysia telah mencapai 0,75, Indonesia masih berada di sekitar 0,65 dan bahkan menurun menjadi 0.64 pada tahun 1999. Dalam konteks internasional rangking Indonesia tidak mengalami perbaikan yang berarti, bahkan memburuk. Memperhatikan hal ini, maka kebijakan kependudukan merupakan salah satu aspek yang mampu memberikan kontribusi terhadap usaha peningkatan kualitas penduduk. Isu tentang IPM juga harus dilandasi dengan pemahanan keadilan dan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan. Oleh karena itu IPM harus juga dikaitkan dengan Gender Equity Measure (GEM) dan Gender Development Indeks (GDI).

2.2. Pengelolaan Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana

2.2.1. Kebijakan dan Program Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana di Indonesia

Secara umum terdapat tiga area yang menjadi fokus kebijakan kependudukan di Indonesia. Pertama adalah pengendalian kuantitas penduduk. Di dalam kebijakan ini kebijakan yang paling menonjol adalah pengelolaan kuantitas penduduk melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran (program keluarga berencana) dan penurunan kematian (program kesehatan). Kedua adalah peningkatan kualitas penduduk melalui program kesehatan dan pendidikan dan ketiga adalah pengarahan mobilitas penduduk utamanya melalui program transmigrasi dan pembangunan wilayah. Disamping itu penyempurnaan sistem informasi kependudukan juga menjadi fokus kebijakan kependudukan di Indonesia.

Namun jika diperhatikan secara lebih mendalam maka selama ini kebijakan dan program kependudukan di Indonesia sangat menitik beratkan pada upaya untuk mengelola pertumbuhan penduduk. Upaya tersebut dilakukan melalui

29

Page 30: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

program keluarga berencana. Tidak seperti halnya program keluarga berencana di banyak negara lainnya, maka program keluarga berencana di Indonesia tidak semata-mata berupa pelayanan kontrasepsi kepada pasangan yang membutuhkan. Program keluarga berencana dikaitkan dengan upaya untuk memberdayakan keluarga agar dapat mandiri baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Pelaksanaan program keluarga berencana yang dilaksanakan oleh pemerintah diarahkan untuk membantu keluarga miskin (pra sejahtera dan sejahteran I) agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan disamping mampu mengatur kehidupan reproduksinya.

Kendatipun pendekatan yang dilakukan baik untuk menangani persoalan kependudukan bersifat pengaturan terhadap tingkat kelahiran, dengan KB sebagai agenda utamanya, dibalik kegiatan praktis itu sebenarnya terdapat dasar-dasar pemikiran yang mendalam dan bersifat strategis. Dasar-dasar pemikiran itu merupakan jawaban (response) Indonesia terhadap perubahan sosial yang dinamis, yang menyangkut modernisasi masyarakat Nusantara serta kebutuhan untuk menyesuaikan struktur perkembangan keluarga dan masyarakat.

Meskipun tema-tema praktis yang diangkat dari dasar-dasar pemikiran itu lebih sering menyangkut isu-isu Keluarga Berencana, hal itu diarahkan untuk mencapai sebuah cita-cita besar: keluarga berkualitas, dimana keluarga berkualitas didefinisikan sebagai keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kebijakan perkembangan kependudukan termasuk keluarga berencana berencana di Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar yang kuat. Hal itu salah satunya dapat diamati bagaimana GBHN menegaskan bahwa penduduk merupakan subyek dan obyek pembangunan. Dalam istilah lain landasan kebijakan kependudukan di Indonesia bertumpu pada “people centered development”. Di dalam Propenas 2000-2004 juga ditegaskan mengenai pentingnya sektor kependudukan dalam proses pembangunan.

30

Page 31: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

2.2.2. Kelembagaan Pengelolaan Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Jika kita kembali melihat kebelakang, perhatian Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah mulai memperhatikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Tentu saja implementasi dari perhatian ini disesuaikan dengan kondisi pada masa itu. Program pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah kurang padat misalnya sudah dimulai bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Program transmigrasi yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tercatat pada tahun 1951 (Prijono Tjiptoherijanto, 1997, hal 102).

Program transmigrasi pada awalnya lebih dilihat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja pada daerah-daerah yang jarang penduduknya. Dalam terminologi ilmu kependudukan model seperti ini sering disebut sebagai kebijakan perpindahan penduduk yang langsung (direct policy). Karena jumlah penduduk yang dipindahkan makin lama makin banyak maka pemerintah kemudian memandang perlu mengembangkan suatu institusi yang khusus menangani masalah pemindahan penduduk tersebut. Kemudian muncul kelembagaan transmigrasi. Kelembagaan yang mengurusi transmigrasi ini mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan konsep tramigrasi yang dianut pada kurun waktu tertentu. Pada awalnya program transmigrasi dikaitkan dengan isu ketenagakerjaan dan upaya membina para transmigran agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi di daerah tujuan dan oleh karenanya dibentuklah kelembagaan Nakertranskop. Namun sebagaimana dikemukakan terdahulu karena jumlah penduduk/keluarga yang perlu dipindahkan makin lama makin besar maka dirasakan perlu adanya suatu kelembagaan khusus yang menangani masalah pemindahan ini sehingga munculah institusi Departemen Transmigrasi.

Dalam perjalananannya, program transmigrasi kemudian banyak menimbulkan pro dan kontra. Tidak sedikit analisis yang memperlihatkan bahwa program ini tidak efisien dan kurang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk. Banyak pihak menyimpulkan bahwa program pengarahan persebaran penduduk lebih baik dilakukan secara tidak langsung (indirect) melalui pengaturan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daripada mengembangkan kebijakan langsung (direct). Di dalam institusi transmigrasi sendiri berkembang

31

Page 32: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

kerangka pikir bagaimana mengkaitkan program ini dengan pembangunan daerah. Karena itulah institusi transmigrasi kembali dikaitkan dengan pembangunan keternagakerjaan.

Disamping aspek persebaran penduduk, Indonesia sejak akhir tahun 60-an mulai memperhatikan aspek pertumbuhan penduduk. Jika pada masa sebelumnya pemerintah beranggapan bahwa jumlah penduduk yang besar justru berdampak positif pada pembangunan bangsa, maka pemerintahan Order Baru melihat bahwa dengan kondisi kualitas yang rendah maka jumlah penduduk yang besar justru menjadi beban pembangunan dan karenanya harus dikendalikan. Karena itulah pemerintah kemudian mengembangkan institusi Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dan kemudian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perhatian terdahap aspek pengendalikan pertumbuhan penduduk secara konsisiten terus diberikan sampai saat ini.

Dari uraian di atas terlihat bahwa Indonesia secara konsisten telah berupaya membangun penduduk agar menjadi sumberdaya manusia atau pelaku pembangunan yang handal. Secara konsisten Indonesia berupaya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan mengarahkan persebaran penduduk.

Dimensi keterkaitan antara kependudukan dan pembangunan mulai mendapatkan perhatian sejak Kabinet Pembangunan IV (1983). Berbagai analisa dan pemikiran dari mereka yang banyak menggeluti studi pembangunan mendorong pemerintahan baik yang berada di lingkungan eksekutif, legislatif maupun judikatif untuk mulai memperhatikan dimensi kependudukan dalam arti yang lebih luas (tidak hanya pembangunan kependudukan itu sendiri) kedalam mainstream pembangunan nasional. Pada Kabinet Pembangunan IV tersebut mulai dibentuk institusi kependudukan yang tugas dan fungsinya antara lain mengembangkan kebijakan kependudukan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam kebijakan pembangunan nasional. Oleh karena bidang kependudukan bersifat lintas sektor maka bentuk institusi yang dirasakan tepat untuk itu adalah Menteri Negara. Jika dilihat dalam perspektif kilas balik maka format Menteri Negara nampaknya memang merupakan format yang paling tepat untuk bidang kependudukan.

32

Page 33: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Pada masa itu, institusi Menteri Negara yang membidangi Kependudukan (Kantor menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) mengembangkan format pembangunan kependudukan di Indonesia melalui berbagai kebijakan serta berupaya merangkul berbagai pihak untuk menyebarluaskan konsep pembangunan berwawasan kependudukan. Pada waktu itu dikembangkan segitiga “Emil Salim” yaitu Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup – Pusat Studi Kependudukan – Pemerintah Daerah (BKLH). Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup lebih berfungsi sebagai pengembang kebijakan makro didukung oleh Pusat Studi Kependudukan yang ada di Universitas) untuk kemudian diterjemahkan kedalam program oleh Pemerintah Daerah (BKLH).

Format institusi kemudian mengalami perubahan pada Kabinet Pembangunan V. Pada saat itu Kependudukan bergabung dengan salah satu institusi implementasi pembangunan kependudukan yaitu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Penggabungan ini dari satu sisi memiliki keuntungan karena bergabungnya dua institusi yang bertanggung jawab pada koordinasi kebijakan dan implementor kebijakan. Kondisi tersebut mengakibatkan konsistensi dapat dijaga, khususnya di bidang keluarga berencana sebagai salah satu kebijakan pengaturan kelahiran. Meskipun hal ini tidak lepas dari beberapa kelemahan yang ditimbulkan oleh bergabungnya dua tangungjawab yang berbeda.

Dalam Kabinet Reformasi institusi Kependudukan kemudian sempat digabung dengan Transmigrasi (Meneg. Transkep) dan kemudian untuk beberapa waktu muncul sebagai suatu badan yang bersifat implementasi (Badan kependudukan nasional atau Baknas). Penggabungan institusi kependudukan dengan institusi implementasi dan bahkan membentuk kependudukan sebagai institusi implementasi sebenarnya mempersempit arti kependudukan itu sendiri. Pada kabinet saat ini institusi kependudukan dalam arti pengelolaan kebijakan kependudukan kurang mendapat tempat. Memang pada saat ini terdapat institusi setingkat Direktorat Jendral (Dirjen) di lingkungan Departemen Dalam Negeri yang mengelola kependudukan namun lebih pada aspek administrasi kependudukan.

2.2.3. Peraturan Perundangan Pengelolaan Perkembangan Kependudukandan Keluarga Berencana

33

Page 34: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Berubah-ubahnya perhatian pemerintah terhadap isu kependudukan dan pembangunan disamping oleh karena memang situasi spesifik pada saat tersebut. Namun sebenarnya yang lebih penting adalah ketidakmampuan perangkat peraturan perundangan yang ada “mengikat” pemerintah untuk melihat masalah kependudukan secara lebih komprehensif dan dalam perspektif jangka panjang. Padahal sebagaimana diketahui bahwa persoalan kependudukan berdimensi luas dan persoalan jangka panjang, persoalan generasi mendatang. Untuk itu dibutuhkan ‘kestabilan’ kebijakan dan program kependudukan dan keluarga berencana.

Lahirnya Undang-Undang No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dan ditunjang dengan munculnya dua peraturan pemerintah yaitu PP No.27/1994 tentang Perkembangan Kependudukan dan PP No 21/1994 Tentang Keluarga Sejahtera merupakan penjabaran dari upaya untuk meletakkan kerangka peraturan perundangan yang mendasar bagi kebijakan dan program kependudukan termasuk keluarga berencana di Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa UU No 10 tahun 1992 telah memberikan landasan berpijak yang cukup kokoh bagi pelaksanaan kebijakan Kependudukan termasuk keluarga berencana di Indonesia pada masanya walaupun dengan beberapa kelemahan yang ada di dalamnya. Bagan berikut ini menggambarkan substansi dan alur pikir UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Sejahtera:

Gambar 2.2 Gambar 2.2 Alur Pikir UU No.10 Tahun 1992 Alur Pikir UU No.10 Tahun 1992

Tentang Tentang Perkembangan Kependudukan dan Keluarga SejahteraPerkembangan Kependudukan dan Keluarga Sejahtera

34

Asas, Arah dan Tujuan(3 PASAL)

BAB IVUpaya perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga Sejahtera (1 Pasal)

BAB VPerkembangan Kependudukan

A. Kuantitas Penduduk (1 Pasal)B. Kualitas Penduduk (2 Pasal)C. Mobilitas Penduduk (1 Pasal

BAB VIPembangunan Keluarga Sejahtera

A. Kualitas Keluarga (1 Pasal)B. Keluarga Berencana (8 Pasal)

BAB VIIPeran serta masyarakat (1 Pasal)

BAB VIIIPembinaan (3 Pasal)

Page 35: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Namun sejalan dengan berbagai perubahan baik pada konteks global maupun nasional maka kelemahan peraturan perundang-undangan yang memayungi kebijakan dan program kependudukan dan keluarga berencana di Indonesia menjadi lebih terasa lagi.

2.3. Urgensi Perubahan Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga SejahteraUraian di atas menggambarkan betapa kompleksnya persoalan

kependudukan di Indonesia saat ini. Persoalan ini tidak saja menyangkut masalah jumlah penduduk yang begitu besar ditambah dengan masih tingginya tingkat pertumbuhan, namun juga berhubungan dengan rendahnya kualitas serta tidak meratanya persebaran penduduk. Akibat yang nampak adalah bahwa penduduk yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru menjadi beban bagi pembangunan. Dalam kondisi seperti ini maka sulit diharapkan munculnya pembangunan yang berkelanjutan. Ketidak mampuan penduduk menjadi potensi atau modal pembangunan akan menyebabkan modal pembangunan beralih pada pemanfaatan sumberdaya alam. Kita ketahui bersama bahwa kemampuan sumberdaya alam tidak mungkin bertahan lama apalagi jika sumberdaya alam tersebut dimanfaatkan oleh penduduk yang terus bertambah dalam jumlah besar namun tidak diikuti dengan kualitas yang memadai. Dampaknya kemudian terjadi

35

Ketentuan Umum BAB 1 1 Pasal

Hak danKewajiban(4 Pasal)

Ketentuan Penutup 2 Pasal

Page 36: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

penurunan kesejahteraan bagi penduduk tidak saja penduduk saat ini namun juga generasi mendatang.

Oleh karena itulah agar pembangunan dapat berkelanjutan dibutuhkan kerangka pembangunan yang sinergis antara pertumbuhan ekonomi dan sosial, pengelolaan perkembangan kependudukan serta pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Pengelolaan perkembangan kependudukan harus dilihat sebagai prasyarat utama terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

Sangat disayangkan bahwa Indonesia yang sejak awal dekade 70-an sangat memperhatikan persoalan perkembangan kependudukan, akhir-akhir ini memberikan perhatian yang rendah kepada persoalan ini. Isu pembangunan ekonomi lebih mengemuka dibandingkan dengan pembangunan sosial termasuk pengelolaan perkembangan kependudukan, padahal studi dan pengalaman empiris membuktikan bahwa pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi tidak akan berkesinambungan.

Undang-undang No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang diharapkan mampu menjadi landasan peraturan perundangan bagi pelaksanaan program perkembangan kependudukan termasuk keluarga berencana dan pembangunan keluarga di Indonesia ternyata tidak mampu mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itu agar pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga kembali masuk kedalam arus tengah pembangunan di Indonesia dirasakan perlu untuk melakukan amandemen terhadap undang-undang tersebut. Analisis terhadap urgensi perubahan Undang-Undang No.10 tahun 1992 dapat dilihat dari 3 aspek yaitu:

1. Kelemahan yang ada dari undang-undang itu sendiri yang menyebabkan rendahnya efektivitas pelaksanaan,

2. Perubahan yang terjadi di dalam negeri terutama berkaitan dengan struktur kepemerintahan yang juga menyebabkan efektivitas pelaksanaan undang-undang ini menjadi lemah,

36

Page 37: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

3. Perubahan lingkungan strategis global yang berdampak pada makin luasnya cakupan isu kependudukan yang harus diatur, hal mana tidak tertampung dalam Undang-undang No.10 tahun 1992.

Jika diperhatikan dengan seksama maka ada beberapa kelemahan di dalam Undang-Undang No.10 tahun 1992 yang menyebabkan lemahnya efektivitas pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Pertama, UU No.10 tahun 1992 tidak secara eksplisit mengemukakan aspek pelaksanaan dari undang-undang tersebut yang menyangkut isu kelembagaan dan resources yang dibutuhkan untuk pengelolaan perkembangan kependudukan. Padahal sebagaimana dikemukakan terdahulu, pengelolaan perkembangan kependudukan adalah persoalan jangka panjang yang membutuhkan ‘kestabilan’ unsur pelaksanaan. Kedua, Undang-Undang No.10 tahun 1992 lebih merupakan pedoman yang sangat umum dan tidak secara spesifik menegaskan pengaturan apa yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan perkembangan kependudukan tersebut. Oleh karena sangat umum sehingga memungkinkan timbulnya interpretasi yang inkonsisten dalam Peraturan Pemerintah (PP). Di dalam UU No 10 tidak kurang ada 11 ketentuan yang mengamanatkan muncul nya PP yang diharapkan menjadi penjabaran UU tersebut. Ketiga, UU No.10 tahun 1992 lebih berupaya untuk melakukan pengaturan yang ditujukan pada penduduk dan kurang memberikan pengaturan yang jelas pada pemerintah. Padahal pengelolaan perkembangan kependudukan merupakan tanggung jawab bersama antara eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya baik secara fisik, psikis maupun spiritual. Ketidakmampuan Undang-undang ini adalah untuk “mewajibkan’ pemerintah terkait dengan tidak adanya reward/punishment atau insentif/disinsentif untuk melaksanakan Undang-Undang ini. Oleh karena itu perlu segera diatur agar undang-undang ini dikemudian hari memiliki posisi yang kuat dalam mengatur perilaku seluruh stakeholder di bidang kebijakan kependudukan.

Perubahan konstelasi struktur kepemerintahan yang ada saat ini juga menyebabkan efektivitas pelaksanaan undang-undang No.10 tahun 1992 menjadi sangat lemah. Undang-Undang No.10 tahun 1992 dikembangkan dengan nuansa sentralisasi. Nuansa tersebut tidak sesuai lagi dengan situasi saat ini. Walaupun dalam undang-undang tersebut disebutkan tentang peran Pemerintah Daerah

37

Page 38: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

sebagai pelaksana undang-undang ini namun tidak dengan jelas disebutkan bagaimana hubungan hirarki antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) dalam melaksanaannya serta apa dan bagaimana hak dan kewajiban dari masing-masing tingkatan.

Perubahan struktur kepemerintahan yang ada tersebut kemudian berdampak pula pada “kadaluarsanya” beberapa definisi atau batasan yang digunakan. Misalnya, di dalam ketentuan umum pasal 1 poin 7 disebutkan bahwa:

Mobilitas penduduk adalah gerak keruangan penduduk dengan melewati batas administrasi Daerah Tingkat II.

Batasan ini mengandung kelemahan pokok. Pertama dalam UU No 22 dan 25 tahun 1999 tidak lagi dikenal istilah Daerah Tingkat II. Kedua, Tidak ada justifikasi yang kuat mengapa batas administrasi yang digunakan adalah Dati II, bukan daerah administrasi yang lebih rendah misalnya kecamatan atau desa. Hal ini penting untuk diperhatikan karena menyangkut ketersediaan data yang diperlukan dalam perencanaan kependudukan dan pembangunan.

Oleh karena itu hal terpenting dalam pembuatan undang-undang ini yang kemudian berbeda dengan semangat yang berkembang dewasa ini adalah bahwa UU No 10 dibuat berdasarkan semangat sentralisasi. Dengan keluarnya UU No 22 dan 25 tahun 1999 jelas hal itu tidak sesuai, karena semangat yang diusung oleh kedua undang-undang tersebut adalah desentralisasi. Oleh karena itu amandemen terhadap UU No 10 ini pertama kali harus mampu menggeser ciri sentralisasi menjadi desentralisasi.

Sebagai negara yang ikut menandatangani hasil konferensi kependudukan dunia di Cairo tahun 1994 dan Millenium Development Summit (MDS) 2000, Indonesia sudah seharusnya terikat (dalam batasan yang tentu saja sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang berlaku) dengan berbagai kesepakatan yang ada terutama mengacu isu keadilan dan kesetaraan gender serta pemberdayaa perempuan. Berbagai prinsip pembangunan yang tertuang dalam dua konferensi tersebut setidaknya harus menjadi pelengkap prinsip atau asas yang menjadi landasan undang-undang yang akan diamandemen tersebut nantinya.

38

Page 39: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Beberapa konsep mendasar yang ada dalam undang-undang No.10 tahun 1992 yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini harus diubah. Sebagai contoh pasal 19 yang berbunyi :

Suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahhiran”

Di dalam penjelasannya justru menunjukkan bahwa hak tersebut berbeda, yaitu :

Suami isteri harus sepakat mengenai pengaturan kelahiran dan cara yang akan dipakai agar tunuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau tindakan sepihak dapat menimbulkan kegagalan atau masalah dikemudian hari. Kewajiban yang sama antara keduanya berarti juga bahwa apabila isteri tidak dapat memekai alat, obat dan cara pengaturan kehamilan, misalnya karena alas an kesehatan maka suami mempergunakan alat, obat, dan cara yang diperuntukkan bagi laki-laki.

Penjelasan ini mengundang interpretasi bahwa laki-laki hanya menggunakan alat, obat atau cara pengaturan kehamilan jika isterinya karena alasan tertntu tidak dapat menggunakannya. Padahal justru hal seperti inilah yang akan dihindarkan dalam kesepakat konferensi kependudukan dunia di Cairo, 1994. Demikian juga halnya dengan berkembangnya isu terkait dengan mobilitas penduduk misalnya migrasi internasional, internally displaced persons (IDPs) dan juga refugees yang semuanya memperoleh porsi cukup penting di dalam konferensi Cairo belum diakomodasi di alam undang-undang ini.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, terdapat isu-isu baru yang belum terakomodasi di dalam UU No 10 tahun 1992. Hal itu sebagai sesuatu yang wajar karena isu-isu tersebut muncul setelah undang-undang tersebut disahkan. Akibatnya adalah terdapat kelemahan dan kekurangan sehingga kebijakan kependudukan tidak dapat dilakukan secara optimal.

Dengan demikian dilihat dari aspek substansial, efektivitas pelaksanaan maupun perubahan strategis yang ada, amandemen UU No 10 tahun 1992 mendesak untuk dilakukan. Undang-undang yang telah diamandemen tersebut nantinya harus mampu ‘mengikat’ seluruh pihak baik eksekutif, legislatif maupun masyarakat dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota. Keterlambatan atau

39

Page 40: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

ketidakperdulian kita terhadap masalah pengelolaan masalah kependudukan akan berdampak pada kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang. Kegagalan kita untuk mengelola kependudukan dapat berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan, peningkatan pengangguran, peningkatan kemiskinan, serta kerusakan lingkungan hidup. Sebaliknya, jika kita mampu mengelola kependudukan secara baik maka jumlah penduduk yang besar tersebut akan dapat menjadi potensi bagi pembangunan nasional.

Dalam perumusan kebijakan kependudukan hal terpenting yang dibutuhkan adalah dukungan informasi dan data kependudukan yang valid dan reliabel. Disamping itu untuk menjamin ketersediaan data kependudukan yang berkelanjutan sumber data yang paling ideal adalah registrasi penduduk. Sampai sejauh ini kita masih menghadapi persoalan dengan kualitas data registrasi penduduk yang kurang memadai, sehingga perencanaan kependudukan masih mengandalkan data dari sensus dan survei penduduk. Untuk itu perlu adanya jaminan bahwa tersedia data kependudukan yang valid dan reliable sekaligus bersifat berkelanjutan. Hal itu kemudian dapat dikembangkan menjadi suatu sistem informasi kependudukan yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada penduduk.

2.4. Tujuan Perubahan Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga SejahteraTujuan dilakukannya amandemen UU No 10 tahun 1992 adalah untuk

memberikan kepastian dan jaminan hukum terhadap kebijakan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga dalam konteks dengan pembangunan secara berkelanjutan. Secara khusus tujuan amandemen tersebut adalah :

40

Page 41: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

(a) tersusunnya ketentuan baru sebagai pengganti/penyempurnaan ketentuan lama yang tidak afektif,

(b) tersusunnya ketentuan baru untuk merespon tantangan masalah kependudukan dan pembangunan ke depan.

41

Page 42: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB IIILANDASAN FILOSOFIS RANCANGAN AMANDEMEN

UU NO.10 TAHUN 1992

3.1. Landasan Berbangsa dan BernegaraFalsafah yang paling mendasar dalam pembangunan bangsa Indonesia ialah

bahwa pembangunan merupakan pengamalan pancasila. Untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, di dalam GBHN telah tercantum jelas. GBHN memberikan tuntunan, bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedomannya.

Demikian pula Undang-Undang Propenas 1999 memberikan batasan bahwa :“Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas perwujudan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penyelenggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama segenap rakyat Indoneia di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju.....”.

Dari amanat tersebut disadari bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelmaan pula dari proses perubahan politik, sosial dan budaya yang meliputi bangsa, di dalam kebulatannya. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat terlepas dari keberhasilan pembangunan dibidang lainnya. Karena itu GBHN menyatakan bahwa

42

Page 43: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

keseluruhan semangat, arah dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.

Dengan demikian ukuran keberhasilan atau mutu negara amat tergantung pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat dengan baik baik dalam arti fisik, psikis maupun spiritual. Negara dibentuk untuk menyelenggarakan kehidupan yang layak dan sejahtera bagi semua warganya. Berkaitan dengan masalah kependudukan, salah satu fungsi negara adalah memajukan kesejahteraan umum, yaitu dengan menciptakan satu basis kemakmuran bagi seluruh rakyat. Kemakmuran adalah suatu keadaan yang kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara wajar, mantap, dan terus menerus. Dalam pengertian ini, kemakmuran itu adalah kemakmuran umum (public prosperity), yaitu tersedianya barang-barang dan jasa-jasa bagi rakyat, sehingga orang masing-masing dapat dicapai kemakmuran pribadinya. Berkaitan dengan ini Dipoyudo (1989:545) mengungkapkan bahwa:

“… hakekat kesejahteraan umum adalah melengkapi usaha orang-orang; (1) dengan menyediakan apa yang perlu bagi kemakmuran pribadi mereka tetapi tidak dapat mereka capai dengan kekuatan mereka sendiri; (2) bagi semua warga masyarakat tetapi secara proporsional menurut prestasi dan kebutuhan masing-masing yang wajar; (3) dengan memperhatikan anggota-anggota masyarakat yang lemah dan memerlukan bantuan istimewa seperti fakir miskin; yatim piatu kaum; pengangguran; kaum cacat; kaum jompo; gelandangan; dan sebagainya. Selain itu negara menjamin tersedianya barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan hidup dalam jumlah yang mencukupi”

3.2. Wawasan Kependudukan dan PembangunanArti kemanusiaan sebuah negara dapat diukur dari perhatiannya kepada

anggota masyarakatnya yang paling miskin, paling lemah, dan paling menderita. Dalam kaitan ini, maka pembangunan dan pembangunan kependudukan harus memperhatikan prinsip atas asas pembangunan yang memperhatikan hak asasi manusia atau sering disebut dengan Rights Based Development baik yang terkandung dalam pertemuan kependudukan secara internasional di Cairo tahun 1994 dan Millenium Summit, di New York tahun 2000.

43

Page 44: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Prinsip-prinsip pembangunan yang disepakati meliputi:

Kesamaan. Tidak satu pun individu dan bangsa yang tidak berhak memperoleh kesempatan untuk merasakan manfaat pembangunan. Kesamaan hak perempuan dan lelaki harus dijamin.

Solidaritas. Tantangan global harus ditata sehingga biaya-biaya dan beban-beban secara adil ditanggung bersama sejalan prinsip dasar kesetaraan dan keadilan social. Mereka yang menderita atau berkekurangan layak mendapatkan bantuan dari mereka yang berkelebihan.

Toleransi. Umat manusia harus menghormati satu sama lain meski berbeda kepercayaan, kebudayaan dan bahasa. Perbedaan di dalam atau di antara masyarakat tidak dapat ditekan, malah hal itu harus dihormati sebagai aset kemanusiaan yang berharga. Budaya perdamaian dan dialog di antara berbagai peradaban seharusnya digalakkan.

Penghormatan terhadap alam. Berbagai makhluk hidup dan sumber daya alam harus dikelola secara berhati-hati sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan cara inilah, berbagai kekayaan tak ternilai yang telah diberikan alam kepada kita dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Berbagai pola produksi dan konsumsi yang tidak berkesinambungan saat ini harus diubah demi kesejahteraan generasi mendatang

Tanggung Jawab Bersama. Tanggung jawab menata pembangunan social ekonomi dunia serta tantangan terhadap keamanan dan perdamaian internasional harus ditanggung bersama antarbangsa di dunia dan diterapkan secara multilateral. Sebagai organisasi perwakilan bangsa-bangsa di dunia, PBB harus memainkan peran utama.

Kebebasan. Lelaki dan perempuan memiliki hak untuk hidup dan membesarkan anak-anaknya dengan mempertimbangkan martabat, bebas dari kelaparan dan bebas dari rasa takut akan kekerasan, penindasan dan ketidakadilan. Kepemerintahan demokratis dan partisipatif didasarkan atas keinginan dari orang yang memperoleh hak-hak tersebut.

Sementara itu prinsip atau asas pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga meliputi; (1) mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari penduduk, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan penduduk saat ini dan

44

Page 45: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

generasi yang akan datang, (2) Setiap penduduk dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat serta hak asasi manusia yang sama dan sederajat untuk hidup, memiliki kebebasan dan keamanan serta dapat berpatisipasi dan menikmati hasil pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga tanpa adanya diskriminasi atas dasar suku, jenis kelamin, agama, bahasa sehari-hari yang dipakai, strata sosial, nomor urut kelahiran, dan status lainnya, (3) Penduduk pada seluruh dimensinya harus menjadi titik sentral pembangunan berkelanjutan agar setiap penduduk dan generasinya mendatang dapat hidup sehat, sejahtera, produktif, dan harmonis dengan lingkungannya serta menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas bagi pembangunan. Penduduk mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi dirinya dan keluarganya, termasuk kecukupan pangan, sandang, papan, air dan sanitasi lingkungan, (4) Hak untuk pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga sebagai bagian dari pembangunan adalah bagian dari hak asasi manusia secara universal yang menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan agar terjadi pemerataan kebutuhan penduduk, pembangunan, dan lingkungan secara adil bagi generasi sekarang dan mendatang, (5) Kunci keberhasilan pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga tidak terlepas dari upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan, termasuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menjamin kemampuan agar setiap perempuan dapat melaksanakan serta mengatur proses reproduksinya (6) Pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga merupakan bagian integral dari pembangunan budaya, sosial-ekonomi bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas hidup untuk semua penduduk (7) Pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan memerlukan partisipasi semua pihak dengan menjamin terwujudnya keseimbangan antara penduduk, sumberdaya, dan lingkungan yang diperlukan dalam pembangunan, (8) Pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga harus memberikan perhatian pada pengurangan kemiskinan sebagai prasarat terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Upaya pengurangan kemiskinan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) memerlukan

45

Page 46: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

kerjasama semua bangsa didunia dan seluruh masyarakat Indonesia agar tidak terjadi ketimpangan kebutuhan dasar hidup antar penduduk dan semakin banyaknya penduduk yang terpenuhi kebutuhan dasar kehidupannya, (9) Keluarga sebagai bagian pokok masyarakat perlu diberdayakan dengan memberikan perlindungan secara menyeluruh dan dukungan oleh semua pihak agar mampu mengembangkan dirinya dan anggota keluarganya sehingga dapat berperan dalam pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga (10) Setiap penduduk berhak memperoleh pendidikan yang diperlukan untuk menjadi sumberdaya yang berkualitas dengan harkat dan martabat yang tinggi, terutama bagi wanita dan anak-anak perempuan sehingga mampu berperan dalam pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga, (11) Keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus memberikan prioritas kepada anak dan remaja oleh karenanya mereka harus dijamin haknya untuk hidup layak, hidup sehat secara prima dan memperoleh informasi, pendidikan dan pelatihan tanpa diskriminasi, (12) Penduduk yang pindah ke daerah baru dan keluarganya berhak memperoleh perlakuan dan jaminan kesejahteraan yang sama dengan penduduk sekitarnya serta memperoleh jaminan kemananan fisik dan keselamatan hidupnya sesuai dengan kemampuan daerah tujuan, (13) Pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga harus memberikan perhatian dan memberikan perlindungan secara khusus kepada penduduk “indegenous” dengan membantu untuk mempertahankan indentitas aslinya, budaya dan aspirasi mereka dalam pembangunan kependudukan dengan memberikan kesempatan yang sama dalam pembangunan seperti penduduk lainnya.

Implikasinya adalah perlunya jaminan tentang:

1. Persamaan dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; negara dapat melakukan batasan-batasan terhadap pelaksanaan hak ini melalui pengaturan dalam undang-undang sejauh tidak bertentangan dengan hakekatnya dan semata-mata demi tujuan memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis;

46

Page 47: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

2. Mengakui hak untuk bekerja, mendapatkan nafkah yang layak dari pekerjaan itu yang melakukan pekerjaan yang secara bebas dipilih, melakukan perlindungan terhadapnya;

3. Negara menyelenggarakan dan menjamin hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial; dan

4. Memberikan jaminan kepada setiap orang atas standar penghidupan yang layak, bebas dari kelaparan dan menikmati standar hidup yang memadai yang dapat dicapai untuk kesehatan jasmani dan rohani.

Dengan pengertian di atas maka penduduk merupakan titik sentral pembangunan. Disatu sisi penduduk harus dibangun agar mampu menjadi pelaku atau sumberdaya pembangunan. Dalam hal ini menjadi hak bagi penduduk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dalam arti luas termasuk pendidikan keagamaan, moral dan etika sehingga yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Disisi lain maka penduduk memiliki persamaan hak untuk menikmati hasil pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut, maka strategi pembangunan harus benar-benar memperhatikan kondisi kependudukan sehingga hasil pembangunan tersebut dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk yang ada.

Dengan kata lain dimensi kependudukan dan pembangunan nasional dapat dilihat dalam dua sisi yaitu:

1. Integrasikan aspek kependudukan ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Sisi ini merupakan usaha penjabaran dari pembangunan berwawasan kependudukan. Secara sederhana pembangunan berwawasan kependudukan merujuk pada konsep agar perencanaan pembangunan (baca pembangunan ekonomi) harus memperhatikan dinamika kependudukan yang ada.

2. Pembangunan kependudukan. Sisi ini merujuk pada bagaimana membangun penduduk dengan segala dimensinya agar dapat menjadi pelaku-pelaku pembangunan yang handal melalui mengendalikan

47

Page 48: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

pertumbuhan penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk, meningkatkan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem informasi kependudukan yang handal.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Jargon pembangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk atau format yang berbeda-beda. Hal itu misalnya tampak dari beberapa konsep misalnya didengung-dengungkannya penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan, jargon pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, atau pembangunan bagi segenap rakyat. Konsep "pembangunan manusia seutuhnya", yang tidak lain adalah konsep "pembangunan kependudukan", mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita I pada tahun 1969. Sampai sedemikian jauh, walaupun pada tataran kebijaksanaan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah tampaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut dalam berbagai program sektoral3. Banyak sekali hambatan yang masih terjadi dalam mengimplementasikan pembangunan berwawasan kependudukan.

Ada indikasi bahwa Indonesia masih kurang serius dalam menangani pembangunan berwawasan kependudukan. Salah satu penjelasannya adalah bahwa seperti halnya di banyak negara berkembang, perhatian utama pemerintah adalah memacu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, kemudian, dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan nasional yang pokok. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada tidak berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan

3 Sejauh ini walaupun disebutkan dalam GBHN bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan sumberdaya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi, namun dalam kenyataannya pembangunan nasional masih terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi. Disamping itu, nampak jelas bahwa pemilihan sasaran pembangunan ekonomi, khususnya pengembangan industri, dalam banyak kasus tidak memperhatikan dan memperhitungkan kondisi kependudukan yang ada.

48

Page 49: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.

Pembangunan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Berbagai studi dan literatur memperlihatkan bahwa kualitas sumberdaya manusia memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam jangka pendek investasi dalam sumberdaya manusia nampak sebagai suatu upaya yang ‘sia-sia’. Namun dalam jangka panjang investasi tersebut justru mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengalaman di banyak negara misalnya di Asia Timur, Jepang, Korea, dan Taiwan serta Malaysia, menunujukkan bahwa keberhasilan yang mereka capai saat ini tidak dapat dilepaskan dari keseriusan pemerintah di negara tersebut dalam investasi modal manusia.

Kesehatan dan pendidikan dalam arti luas sangat berperan dalam peningkatan sumberdaya manusia. Pendidikan yang diperlukan dalam suatu masyarakat adalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan sosial ekonomi dalam masyarakat tersebut. Saat ini untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, diperlukan sumberdaya manusia yang mampu bersaing secara global. Oleh karena itu agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang mampu berdaya saing secara global, maka diperlukan pendidikan yang memnuhi standar mutu internasional .

Dalam hal mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam perencanaan pembangunan daerah maka manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada di daerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibandingkan dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan

49

Page 50: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

keberlangsungan proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan.

Sebaliknya orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur, sebagaimana yang terlihat selama ini di Indonesia. Demikian pula dalam pertumbuhan (growth) ada yang dinamakan dengan ‘limit to growth’. Konsep ini mengacu pada kenyataan bahwa suatu pertumbuhan ada batasnya. Jika batas dari terlampaui maka yang kemudian terjadi adalah terjadinya ‘pemusnahan’ atas hasil-hasil pembangunan tersebut. Nampaknya ini yang sedang berlangsung di Indonesia dengan terjadinya krisis ekonomi sekarang ini. Jika diingat beberapa tahun yang lalu selalu ada peringatan bahwa perekonomian kita terlalu memanas dan lain sebagainya. Itu tidak lain adalah kata lain bahwa pertumbuhan ekonomi kita sedang memasuki apa yang disebut dengan '‘limit to growth’. Bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dapat dipacu lebih tinggi lagi dengan melihat pada kondisi fundamental yang ada.

Ada beberapa kritik lagi yang ditujukan kepada konsep pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan yaitu (1) prakasa biasanya dimulai dari pusat dalam bentuk rencana formal, (2) proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat pakar dan teknokrat, (3) teknologi yang digunakan biasanya bersifat ‘scientific’ dan bersumber dari luar, (4) mekanisme kelembagaan bersifat ‘top-down’, (5) pertumbuhannya cepat namun bersifat mekanistik, (6) organisatornya adalah para pakar spesialis, dan (7) oreintasinya adalah bagaimana menyelesaikan program/proyek secara cepat sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan. Dengan melihat pada kriteria di atas nampak bahwa peranan penduduk lokal dalam proses pembangunan sangat sedikit.

Kritik para ahli terhadap orientasi pembangunan yang mengutamakan pada pertumbuhan tersebut telah berlangsung pada paruh waktu pertama tahun 1980-

50

Page 51: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

an. Para cendekiawan dari Massachuset Institute of Technology dan Club of Rome pada kurun waktu tersebut secara gencar mengkritik orientasi pembangunan ekonomi tersebut. Dari berbagai kajian dan diskusi tersebut kemudian muncullah perspertif pembangunan yang kemudian dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan penduduk merupakan pusat pelaksanaan pembangunan.

Pertanyaan mendasar kemudian adalah apa yang dimaksud dengan pembangunan kependudukan tersebut?. Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, ciri utama, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik ekonomi, sosial, budaya, agama, serta lingkungan penduduk tersebut (UU No.10/92). Jelaslah kiranya secara konsep hal-hal yang dapat dikategorikan secara operasional ke dalam bidang kependudukan adalah amat luas.

Sedangkan konsep penduduk sebagai penjabaran “manusia seutuhnya”. adalah orang dalam segenap dimensinya sebagai manusia, yaitu sebagai (a) diri pribadi, (b) anggota keluarga, (c) anggota masyarakat, (d) warga negara, dan (e) himpunan kuantitas, yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada waktu tertentu.

Penduduk sebagai diri pribadi atau individu mencakup hak pribadi seperti: memilih pekerjaan yang sesuai keinginan dan kemampuan individu, hak untuk menikah (membentuk rumah tangga) dan memilih pasangan hidup, kedudukan yang diakui sama dengan semua orang lain meskipun anak angkat atau punya kerentanan/cacat fisik, hak untuk pindah, dsb. Pengaturan tentang kewajiban individu agar tidak merugikan orang banyak.

Penduduk sebagai keluarga, menyangkut hak keluarga untuk menentukan jumlah anak dan tidak punya anak, untuk menentukan jenis kelamin anak (ataukah kewajiban untuk menjaga keseimbangan?), melakukan adopsi. Disamping itu juga

51

Page 52: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

mencakup pengaturan tentang struktur keluarga (bolehkah keluarga batih atau nuklir ?) dan lain-lain untuk menjaga tanggung jawab terhadap orang tua, tanggungjawab terhadap anak, dsb.

Penduduk sebagai anggota kelompok, golongan daerah (termasuk kelompok budaya atau etnik) dan agama. Termasuk di dalamnya adalah hak berserikat, mengembangkan kekayaan budaya, mengembangkan kemampuan bersama, penduduk asli (klausal tentang prioritas, hak atau keterkaitan dengan tanah/wilayah/lahan).

Penduduk sebagai warga negara dapat dipahamai sebagai hak penduduk untuk memperoleh ruang hidup, namun tidak pula boleh mengalahkan hak penduduk asli (misalnya hak ulayat), memperoleh status hukum dan kewarganegaraan dan hal penduduk lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai warganegara.

Penduduk sebagai himpunan demografi. Aspek ini terkait dengan hak/kewajiban untuk dicatat dan dimasukkan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan.

Dengan demikian, penduduk tidak hanya dilihat secara kuantitatif sebagai angka, bagian dari agregat atau jumlah makro. Perincian ini penting, karena dalam setiap dimensi tersebut, penduduk memainkan peranan yang berbeda-beda. Kebutuhan dan perilaku kependudukan setiap orang dalam berbagai peran tersebut dapat berbeda, sehingga rincian tersebut memungkinkan analisis dan pemenuhan yang lebih sesuai. Sebagai contoh, perilaku diri pribadi akan berbeda dalam kuantitas dan kualitasnya dari perilaku keluarga, misalnya dalam hal konsumsi (energi, dsb). Kelima dimensi ini berkaitan pula dengan hak dan kewajiban setiap penduduk.

Di dalam masyarakat, penduduk sebenarnya selalu dilihat dalam arti yang lebih luas, hampir sama dengan konsep manusia, bangsa, orang atau kelompok yang berdiam disuatu tempat. Dalam GBHN, konsep penduduk Indonesia umumnya tidak berbeda dengan “manusia Indonesia” . Dalam UUD 1945, penduduk dilihat sebagai warga negara yang mempunyai hak kewarganegaraan dan kedudukan penduduk yang dipunyai seluruh penduduk. Implisit tercantum pula hak untuk hidup layak sebagai manusia, serta konsep penduduk sebagai golongan dan rakyat

52

Page 53: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

daerah, anggota masyarakat, dan kelompok budaya yang dinamakan UUD sebagai hak penduduk juga lebih luas dari konsep demografis, yaitu termasuk kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

3.3. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memperhatikan kepentingan generasi saat ini dan generasi mendatang. Oleh karena itu sumberdaya (alam) harus dikelola dengan sebijaksana mungkin. Konsep tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) datang pertama kali oleh World Commision on Environment and Development (WCED). Mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh WCED maka krisis lingkungan dan pembangunan tidak dapat dipecahkan secara terpisah, tetapi harus secara terkait. Memecahkan krisis lingkungan secara tersendiri hanya akan memperparah krisis pembangunan, yang pada gilirannya akan kembali menimbulkan masalah lingkungan hidup yang lebih besar lagi. Karena itu pembangunan harus dapat dilanjutkan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya pula. Ini berarti, bahwa pengembangunan harus disertai upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan untuk menjalankan fungsinya buat seterusnya.

Untuk mencapai keadaan yang memungkinkan keberlanjutan, strategi WCED memuat beberapa sasaran yang harus dicapai dalam dasawarsa pembangunan mendatang ini menjelang tahun 2000, antara lain:

1. Menghidupkan pertumbuhan ekonomi secara merata diseluruh dunia. Dinegara berkembang untuk menghapuskan kemiskinan, yang merupakan salah satu sumber perusakan sumber alam dan lingkungan hidup yang utama. Di negara maju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk mendorong pengembangan perekonomian dunia;

2. Mengubah kualitas pertumbuhan: tidak lagi intensif bahan dan intensif energi, dampak yang leih merata dan lebih adil. Pembangunan harus disertai langkah untuk menjaga “stock” modal lingkungan, menyempurnakan pemerataan pendapatan, dan mengurangi kerentanan terhadap krisis ekonomi;

53

Page 54: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

3. Pemenuhan kebutuhan esensial manusia: lapangan kerja, pangan, energi, air dan sanitasi;

4. Tingkat pertumbuhan penduduk yang terlanjutkan (sustainable), yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan produktif ekonosistem;

5. Konservasi dan peningkatan kualitas pengkalan sumber daya (resource base), a.l. sumber pertanian (lahan, sungai, hutan), sumber energi, kapasitas biosfir untuk menyerap produk sampingan penggunaan energi, dsb

6. Reorientasi teknologi dan pengelolaan risiko; agar mengarah pada teknologi hemat dan bersih lingkungan serta penanggulangan resiko lingkungan;

7. Penggabungan/keterpaduan lingkungan hidup dengan ekonomi dalam pengambilan keputusan.Strategi pembangunan global yang berwawasan lingkungan seperti

dirumuskan WCED itu diadopsi oleh Indonesia sesuai pula dengan filsafat pembangunan yang berkembang di Indonesia. Kesadaran akan keterkaitan krisis ekonomi dan pembangunan, merupakan salah satu alasan yang memperkuat keputusan untuk menerapkan konsep ini. Dalam keadaan ekonomi yang masih belum cerah seperti yang diinginkan, mudah timbul godaan untuk menguras dan menghamburkan alam lingkungan yng ada tanpa perhitungkan. Dalam keadaan tersesak, biasa terjadi manusia merusak lingkungan yang menghidupinya. “Tetapi kita harus makin peka dan pandai-pandai memanfaatkan sumber alam dan potensi lingkungan dengan sebaik-baiknya. Kita harus menjaga agar kegiatan pembangunan yang dilakukan untuk keperluan hari ini, jangan sampai menimbulkan kerusakan lingkungan yang memerlukan biaya besar untuk memperbaiki di esok hari”.

Keterkaitan antar generasi merupakan pertimbangan penting lainnya. Kemampuan, modal dan sumber daya yang ada tidak boleh dipakai habis pada suatu kurun waktu, tetapi dikembangkan untuk dapat melakukan pembangunan yang lebih meningkat lagi pada kurun waktu berikutnya. Pembangunan pada intinya harus menjamin kelanjutan dirinya sendiri. Alam lingkungan yang menjadi milik semua generasi bangsa Indonesia sepanjang zaman, harus juga dapat menghidupi dan meningkatkan harkat hidup generasi-generasi mendatang.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (pembangunan yang tidak semata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi

54

Page 55: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

saat ini namun juga generasi mendatang), terdapat 3 aspek penting yang harus benar-benar diperhatikan yaitu (1) aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (2) aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan untuk mencapai kalitas hidup yang tinggi dan (3) aspek pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ketiga aspek di atas harus dilihat dalam konteks perkembangan kependudukan. Aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merujuk pada penempatan peran penduduk sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi. Jadi penduduk sebagai subyek pembangunan. Aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan merupakan penjabaran dari penempatan peran penduduk sebagai obyek pembangunan. Penduduk sebagai penikmat pembangunan. Aspek pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan menempatkan peran penduduk sebagai pemelihara lingkungan hidup demi kehidupan generasi mendatang (lihat gambar-3.1).

Gambar-3.1: Skematik Pembangunan Berkelanjutan

55

PENDUDUK

Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

Pembangunan sosial

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Page 56: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia dengan penduduk saat ini berjumlah sekitar 213,6 juta jiwa, sangat mendukung pada upaya internacional untuk melihat pembangunan secara komprehensif, dengan menempatkan penduduk sebagai titik sentral perhatian. Oleh karena itu, Indonesia sangat mendukung hasil ICPD-94 dan juga berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan kependudukan secara global. Dukungan Indonesia terhadap kebijakan global kependudukan tidak saja demi kepentingan nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan masyarakat Indonesia namun juga demi kepentingan global, kepentingan umat manusia untuk menyelamatkan planet bumi, karena kita hidup dalam satu planet bumi.

Satu prinsip yang juga dijadikan landasan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan pokok adalah prinsip good governance. Terdapat tiga stakeholders yang harus diperhatikan dalam good governance, yaitu state, private, dan civil society. Suatu kebijakan harus merupakan produk dari interaksi dan partisipasi secara optimal antar ketiga stakeholders tersebut. Paling tidak hal itu mencakup tiga hal pokok yaitu respect to the stakeholder right, separation of power, dan accountability.

56

Page 57: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN

KEPENDUDUKAN DI INDONESIA

Pada bagian terdahulu telah dibahas UU No.10 tahun 1992 dan berbagai kelemahannya dalam memenuhi kebutuhan berkaitan dengan pembangunan kependudukan, keluarga berancana dan pembangunan keluarga saat ini di Indonesia. Bab ini akan mengupas kerangka hukum lebih besar yang mengatur pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga di Indonesia. Bagian terpenting dalam kerangka ini adalah perkembangan pembangunan berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi, terutama dengan penerapan UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999. Hukum-hukum ini beserta peraturan-peraturan perundangannya secara mendasar mengubah peran pemerintah pusat, propinsi dan distrik dalam fungsi manajemennya, termasuk pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga. Topik ini akan dikaji di bagian 4.1 bab ini. Melengkapi keseluruhan kerangka ini, terdapat beberapa pengaturan dalam UUD 1945 dan UU yang berkenaan dengan sector-sektor yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga. Hukum dan peraturan perundangan tersebut harus dipertimbangkan dalam penyusunan amandemen UU No.10 tahun 1992. Kajian ini akan dianalisis dalam bagian 4.2 bab ini. Selain ICPD di Cairo tahun 1994 terdapat beberapa konvensi multilateral, traktat maupun deklarasi yang berkaitan dengan isyu-isyu tersebut dan juga perlu dipertimbangkan dalam amandemen ini. Hal tersebut akan dikupas dalam bagian 4.3. Di bagian terakhir bab, yaitu bagian 4.4. akan dipaparkan stardar umum dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, seperti transparansi, partisipasi, integrasi, koordinasi serta akses terhadap keadilan yang akan menjamin pengembangan dan penerapan hukum.

57

Page 58: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

4.1. Kerangka Otonomi Daerah

UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang pembagian pendapatan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya menciptakan kerangka hukum dan finansial terutama bagi tingkat distrik, dengan bantuan teknis dari tingkat propinsi dan pusat. Singkatnya, peran pemerintah pusat telah berubah, yaitu dari satu peraturan dan manajemen yang rinci menjadi pedoman dan petunjuk kebijakan. Peran distrik telah berubah, yaitu dari satu administrasi kebijakan pusat ke keleluasaan manajemen di wilayah jurisdiksinya.

UU No.22 tahun 1999 (Pasal 4) mengandung pesan bahwa UU ini ditujukan untuk menata dan mengorganisir masyarakat lokal berdasarkan keputusan-keputusan yang didasarkan atas aspirasi mereka. Pasal 7 (1) menyebutkan bahwa wewenang ini mencakup setiap bidang kepemerintahan kecuali urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, kehakiman, keuangan dan agama. Pemerintah pusat tetap berwenang dalam penyusunan kebijakan-kebijakan tertentu, termasuk pembangunan kependudukan dan keluarga berencana. Peraturan No.25 tahun 2000 mendefinisikan ‘kebijakan-kebijakan’ – melengkapi pedoman, criteria, standar dan pengawasan – dengan pemahaman bahwa aksi tindak lanjut yang lebih rinci atau spesifik perlu dilakukan. Karenanya, peran pemerintah pusat lebih kepada satu aksi tidak langsung, sementara pengaturan dan pengawasan langsung dengan aksi yang lebih spesifik perlu ditindaklanjuti di tingkat local.

Namun, meski wewenang manajemen telah diberikan kepada tingkat distrik, hal ini bukan sesuatu yang absolut atau kaku. Selain lima aspek kepemerintahan yang secara eksplisit berada dalam cakupan pemerintah pusat, beberapa aspek lain tetap dapat dicakup oleh pemerintah pusat melalui peraturan (UU No.22 tahun 1999 pasal 7 (2). Distrik tetap terkait dengan pemerintah pusat dan pemerintah pusat tetap dapat meneguhkan itu. Menurut pasal 9 UU No.22 tahun 1999, tingkat propinsi memiliki tiga wewenang, yaitu (1) wewenang meliputi kepemerintahan lintas seksi tingkat distrik atau hal yang mempengaruhi dua atau lebih distrik (2) wewenang menangani hal-hal yang belum atau tidak dapat ditangani oleh distrik, dan (3) wewenang administratif yang didelegasikan dari pemerintah pusat.

58

Page 59: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Perubahan manajemen ini memiliki konsekuensi besar terhadap pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga di Indonesia termasuk juga kelembagaan pengelolaan perkembangan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga.

4.2. Perundang-Undangan Terkait

4.2.1. Undang-Undang Dasar

UUD 1945 mengandung pengaturan terkait dengan kesejahteraan sosial penduduk. Pasal 26 pada dasarnya menyatakan bahwa semua orang berkedudukan sama di muka hukum. Bab XA mengatur isu lain berkaitan dengan hak asasi manusia sementara Pasal 28I menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan, pengembangan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Pasal 28B berkaitan erat dengan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana:

Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, sementara pasal 28C menyatakan setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 28E mendiskusikan hak seseorang untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. Pasal 28G menyatakan bahwa tiap orang berhak atas perlindungan

59

Page 60: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya. Pasal 28H juga mengatur hal berkaitan dengan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat:

Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Pasal 28I melindungi kebebasan dasar individu, misalnya dalam hal anti-diskriminasi. Pasal ini juga mengandung makna penghormatan terhadap identitas kultural dan hak masyarakat tradisional

Pasal 28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

4.2.2. Undang-Undang Terkait

60

Page 61: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Dalam melakukan perubahan/amandemen terhadap suatu undang-undang harus diperhatikan kedudukan undang-undang tersebut di antara undang-undang lain yang mengatur substansi yang serupa atau yang berkaitan. Hal ini perlu dilakukan agar amandemen tersebut nantinya hanya akan mencakup hal-hal yang belum diatur oleh UU lainnya dan tidak saling tumpang tindih. Hal ini berkaitan erat dengan prinsip rechtmatigheid (taat asas) dalam penyusunan suatu undang-undang.

Pengaturan hukum masalah kependudukan merupakan isyu yang luas dengan fokus pada kesejahteraan rakyat. Berbagai undang-undang yang telah ada dan berkaitan dengan kependudukan baik langsung maupun tidak langsung antara lain adalah:

No. Thn Nama Bidang Yang DiaturUU 5 1950 Pokok-Pokok Agraria mobilitas penduduk U 1 1974 Perkawinan kualitas pendudukUU 6 1974 Kesejahteran Sosial kualitas pendudukUU 4 1979 Kesejahteran Anak kualitas pendudukUU 2 1989 Sistem Pendidikan Nasional kualitas pendudukUU 3 1992 Jaminan Sosial Tenaga Kerja perkembangan kuantitas

penduduk; mobilitas penduduk

UU 9 1992 Keimigrasian mobilitas pendudukUU 23 1992 Kesehatan perkembangan kuantitas

pendudukUU 24 1992 Penataan Ruang mobilitas pendudukUU 15 1997 Transmigrasi mobilitas pendudukUU 16 1997 StatistikUU 23 1997 Pengelolaan Linkungan

Hidupkualitas penduduk

UU 39 1999 Hak Asasi Manusia kualitas pendudukUU Lanjut Usia Kualitas pendudukUU Koperasi Pemberdayaan ekonomi

Masyarakat

61

Page 62: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Secara operasional pengalaman selama sekitar sepuluh tahun menunjukkan bahwa UU No.10 tahun 1992 tidak selalu selaras dengan produk hukum yang lain. Dengan demikian adakalanya penerapan UU No.10 tahun 1992 sering didasarkan pada kebijakan yang pada waktu itu didukung oleh kepemimpinan nasional yang kuat secara politis. Munculnya reformasi di berbagai bidang sekitar tahun 1998 menjadikan dukungan tersebut tidak sekuat dulu lagi, sehingga kelangsungan kegiatan dibidang kependudukan dan keluarga sejahtera harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang kuat. Perubahan lain yang berpengaruh secara signifikan adalah diselenggarakannya the International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo. Konferensi itu memberikan penekanan terhadap tiga isyu pokok yaitu martabat individu, hak asasi manusia dan nilai-nilai sosial.

Lebih jauh lagi, telah terjadi perubahan mendasar dalam prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang berlandaskan pada prinsip otonomi daerah, sehingga penerapan UU No.10 tahun 1992 yang berpola sentralistik semakin menghadapi kendala karena tidak sesuai dengan situasi yang ada. Untuk itu harus diidentifikasi materi muatan UU lain yang berkaitan dengan kependudukan dan keluarga sejahtera, agar amandemen UU No.10 tahun 1992 dapat melengkapi UU lain yang berkaitan dengan kependudukan dan keluarga sejahtera.

Berbagai variasi ketentuan hukum di bidang kependudukan dan keluarga sejahtera yang tersebar dalam berbagai peratuan perundang-undangan lain harus diselaraskan (disinkronisasi) agar penerapan oleh instansi terkait tidak saling bertabrakan. Untuk itu perlu dicari ide-ide dasar di bidang kependudukan dan keluarga sejahtera melalui bantuan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kajian akademis terkini menunjukkan bahwa pengaturan hukum di bidang kependudukan tidak terlepas dari konsep dasar kependudukan yang meliputi perkembangan penduduk (kuantitas dan kualitas), mobilitas penduduk, dan kesetaraan jender. Dengan demikian, analisis undang-undang lain akan difokuskan pada ide tiga dasar tersebut, yaitu perkembangan kuantitas penduduk, perkembangan kualitas penduduk dan mobilitas penduduk. Sedangkan ide kesetaraan jender diharapkan dapat terlihat secara lintas bagian dari ketiga ide dasar tersebut.

62

Page 63: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

4.3. Konvensi Internasional

Pembahasan ICPD telah tertuang di Bab 2 dan 3. Pengaturan tersebut pada dasarnya merangkum pengaturan terkait dari konvensi-konvensi dan traktat lainnya. Selain ICPD Cairo terdapat berbagai perkembangan penting lainnya, terutama Millenium Development Summits, di New York tahun 2000, yang menghasilkan Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi ini secara umum menjadi kerangka untuk mengukur kemajuan pembangunan antar bangsa-bangsa dan merupakan pengarusutamaan tujuan dan target pembangunan secara global. MDGs memfokuskan pada delapan tujuan utama yaitu: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) pendidikan dasar untuk semua anak, (3) meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan serta (8) mengembangkan kemitraan internasional untuk pembangunan.

Kerangka Aksi telah disusun di Beijing tahun 1995 dalam Konferensi Wanita Sedunia keempat. Tidak seperti ICPD, sesuai judulnya, konferensi tersebut terfokus pada perempuan dan menyatakan bahwa: hak asasi perempuan termasuk hak untuk memiliki kontrol terhadap dan memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab terhadap hal berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan (para. 96).

4.4. Standar dan Prinsip Kepemerintahan yang baikKepemerintahan yang baik sangat penting dalam dua hal: (1) proses

penyusunan RUU dan (2) penerapan RUU setelah ditetapkan. Kepemerintahan yang baik dapat didefinisikan dalam berbagai cara, namun terdapat beberapa prinsip yang secara mendasar berlaku di berbagai definisi itu. UNESCAP mengidentifikasi delapan karakter yang mencirikan kepemerintahan yang baik yaitu (1) Partisipatif, (2) berorientasi konsensus (kesepakatan), (3) accountable, (4) transparan (terbuka), (5) responsive, (6) efektif dan efisien, (7) kesetaraan, inklusif serta (8) taat pada hukum yang berlaku. Pendekatan ini memastikan minimalnya korupsi, terakomodirnya suara kelompok minoritas dan kelompok rentan dalam proses

63

Page 64: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

penyusunan keputusan Pendekatan ini juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang. Prinsip-prinsip tersebut dapat terangkum dalam tiga pilar kepemerintahan yang baik sebagai berikut: (1) informasi, (2) partisipasi, dan (3) akses terhadap keadilan.

World Health Organization (WHO) telah mengidentifikasi beberapa prinsip untuk penerapan hukum berkaitan dengan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, sebagai berikut (WHO, 2000): (1) pengambilan keputusan berdasarkan kelengkapan informasi (informed decision-making); (2) kebebasan memutuskan; (3) privasi; (4) kerahasiaan; (5) pelayanan oleh petugas yang berkompeten; dan (6) pelayanan yang aman dan bermanfaat. Disamping itu United Nations baik dalam Konferensi Kependudukan International, Cairo 1994 & Millenium Summit, New York 2000 mengeluarkan deklarasi khusus yang membahas kepemerintahan secara umum (Majelis Umum PBB, 2000). Sebagaimana yang telah dikemukakan pada prinsip-prinisp atau asas pembangunan dan pembangunan kependudukan pada Bab 3.

Tujuan kepemerintahan yang baik adalah menciptakan sistem hukum yang terkait dengan orang-orang yang diaturnya suatu sistem hukum yang diciptakan berdasarkan kebutuhan, keinginan dan kemampuan orang-orang. Sistem ini tidak dapat terlalu normatif atau aspiratif hingga menjadikannya tidak realistis dan tidak mungkin dilaksanakan. Tujuan lain sistem hukum adalah untuk memastikan keterlibatan komunitas di dalam penyusunan, sosialisasi dan pemahaman tentang sistem hukum sehingga mampu meningkatkan penerapan, kepatuhan dan peneguhannya. Ini berarti, hukum bukan semata refleksi pemerintahan Negara atau kepemimpinan institusional, namun terutama merupakan refleksi masyarakat keseluruhan.

64

Page 65: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB VKEGIATAN DENGAR PENDAPAT PUBLIK BERKAITAN DENGAN RENCANA AMANDEMEN UU NO.10 TAHUN

1992

5.1. TujuanDalam rangka amandemen UU No.10 tahun 1992 telah dilakukan

serangkaian dengar pendapat publik baik yang dilakukan di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Dengar pendapat tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan masukkan baik kepada penyusunan naskah akademis maupun rancangan perubahan undang-undang itu sendiri.

Dengar pendapat tersebut melibatkan pakar di bidang kependudukan, instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah (propinsi dan kabupaten kota), organisasi profesi seperti Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia, LSOM seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Fatayat NU, Aisyiah Muhamadyah, dsb maupun tokoh masyarakat dan tokoh agama maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota.

5.2. Pelaksanaan Kegiatan Sampai saat ini telah dilakukan kegiatan dengar pendapat publik meliputi:

Bedah UU No.10/1992 . Kegiatan ini berlangsung tanggal 13 Mei 2003 di mana Komisi VII DPR RI mengundang beberapa ahli dan pihak terlibat dalam penyusunan UU No.10 di tahun 1992, yaitu Prof. Dr. Alwi Dahlan, Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, dr. Abdullah Cholil, MPH. Melalui pertemuan ini diharapkan Komisi VII DPR RI mendapatkan informasi pendahuluan tentang sejarah, landasan filsafat, tujuan, semangat serta konteks saat penyusunan UU No.10 di tahun 1992. Dengan pemahaman historis ini, Komisi VII maupun tim perumus diharapkan menangkap hikmah, proses belajar, kekuatan serta

65

Page 66: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

kelemahan dari UU No.10/1992 sehingga amandemen yang dilakukan betul-betul mampu meningkatkan manfaat dari UU ini.

Dialog Bulanan. Pertemuan bulanan yang umumnya berlangsung di DPR RI merupakan pertemuan bersama antara Komisi VII DPR RI, komisi lain dalam DPR RI, LSM, organisasi profesi, instansi pemerintah terkait, kalangan akademik, badan donor serta media massa. Tujuan dialog ini adalah memfasilitasi pertukaran informasi antara ahli atau nara sumber tentang pembangunan kependudukan terutama dengan Komisi VII DPR RI.

Pada tanggal 6 Juni 2003 berlangsung dialog bulanan pertama bertopik “Peran Kependudukan dalam Pembangunan Nasional”. Dialog yang dimoderasi oleh Prof. Prijono Tjiptoherijanto (demografer) melibatkan para ahli, yaitu DR. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS (demografer dan dosen IPB) yang mengetengahkan “Analisis Strategi Pembangunan Nasional Saat Ini dari Perspektif Kependudukan” serta Dra. Laila Ratna Komala, MA (mewakili pihak Bappenas) yang membawakan makalah tentang “Integrasi Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Nasional”.

Dialog bulanan kedua yang juga bersamaan dengan peringatan Hari Kependudukan Dunia berlangsung di Gedung Wakil Presiden pada tanggal 10 Juli 2003. Pertemuan yang dimoderasi oleh DR. Surya Chandra Surapaty, MPH, Ph.D (Ketua IFPPD dan Ketua Sub-Komite Kependudukan, Komisi VII DPR RI) mengetengahkan Drs. Jusuf Kalla (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat) dengan makalahnya yang bertopik “Proyeksi Penduduk dan Dampaknya terhadap Ketenagakerjaan dan Kemiskinan”, Deputi Menteri Lingkungan Hidup dengan bahasannya seputar “Proyeksi Penduduk dan Dampaknya terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Drs. Rozy Munir, M.Sc (Ketua IPADI Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) menyampaikan makalah “Tantangan Pembangunan Kependudukan Masa Sekarang dan Akan Datang” serta Dr. Bernard Coquelin (Perwakilan UNFPA di Indonesia) yang mengemukakan topik bahasan “Kesehatan Reproduksi Remaja: Tantangan Kependudukan dan Pembangunan Saat ini dan Mendatang”, yang juga merupakan tema Hari Kependudukan Dunia tahun 2003.

66

Page 67: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Pertemuan Informal. Pertemuan yang lazimnya berlangsung di DPR RI merupakan pertemuan antara Komisi VII DPR RI serta komisi lain dalam DPR RI dengan para pakar. Pertemuan ini diharapkan memenuhi kebutuhan anggota DPR RI akan informasi terkini serta konsep-konsep terkait dengan pembangunan kependudukan.

Pertemuan informal pertama berlangsung di DPR RI tanggal 25 Juni 2003. Komisi VII DPR RI mengundang DR. Sri Harijati Hatmadji (Lembaga Demografi UI), Drs. Sukamdi, M.Sc (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM), Siswanto A. Wilopo (Demografer dan Deputi KB/KR BKKBN) dan Dr. Herkutanto, SH, Sp.F (Ketua Komite Hukum Kedokteran dan Peraturan Perundangan Ikatan Dokter Indonesia periode 2000-2003) untuk mengemukakan konsep pembangunan kependudukan serta ide-ide awal yang mendukung kebutuhan amandemen UU No.10/1992.

Seminar Lokal / Konsultasi Publik . Seminar setengah hari ini merupakan forum pertukaran informasi di propinsi atau distrik yang melibatkan perwakilan Komisi VII atau komisi lain di DPR RI, perwakilan DPRD, pakar, instansi pemerintah terkait, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi profesi, kalangan akademik, badan donor serta media massa. Di sesi awal, lazimnya perwakilan Komisi VII / komisi lain di DPR RI menyampaikan paparan tentang hak inisiatif DPR dan aspek-aspek yang ada dalam UU No.10/1992 dan dianggap perlu diamandemen. Sementara itu, perwakilan DPRD memaparkan kondisi kependudukan dan kesehatan reproduksi di propinsinya. Lebih lanjut, pembicara pakar membahas tentang konsep kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan berkelanjutan serta pengelolaan kependudukan di daerah.

Jadwal dan kota penyelenggaraan seminar lokal adalah sebagai berikut : Banten 4 Juli 2003, Bangka Belitung 17 Juli 2003, Makasar 18 Juli 2003, NTT 21 Juli 2003, Sumatra Utara 24 Juli 2003, Jawa Tengah (Demak) 29 Juli 2003, Jawa Barat (Sukabumi) 29 Juli 2003, dan Bandar Lampung 30 Juli 2003. Disamping itu, juga dilakukan temu ilmiah oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gajahmada pada tanggal 11 Juli 2003 di Yogyakarta yang mengundang akademisi, pemerhati kependudukan dan pemerintah lokal untuk

67

Page 68: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

menggali pemikiran para akademisi mengenai persoalan kependudukan di Indonesia dan relevansinya dengan rencana amandemen tersebut.

5.3. Rangkuman Masukan Dari berbagai kegiatan dengar pendapat publik tersebut di atas dapat

dirangkum beberapa pemikiran sebagai berikut:

Persoalan kependudukan merupakan persoalan pokok dalam pembangunan nasional. Adalah suatu kenyataan bahwa persoalan kependudukan di Indonesia sangat kompleks karena berkaitan dengan jumlahnya yang besar, pertumbuhannya yang masih tinggi ditambah dengan kualitasnya yang rendah. Akibatnya penduduk belum mampu menjadi modal pembangunan namun justru menjadi beban pembangunan dan menimbulkan banyak persoalan sosial di masyarakat;

Persoalan kependudukan harus ditangani sebaik-baiknya jika Indonesia tidak ingin makin terpuruk baik secara ekonomi maupun sosial budaya;

Jika Indonesia ingin mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan maka penduduk harus dijadikan titik sentral perencanaan pembangunan. Dalam konteks ini maka perhatian pemerintah kepada program pembangunan sumberdaya manusia melalui peningkatan iman taqwa, kecerdasan serta kesehatan harus sejajar dengan perhatian kepada pembangunan ekonomi;

Persoalan kemiskinan harus menjadi perhatian pokok dalam pembangunan di Indonesia. Pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih serius lagi kepada kelompok penduduk miskin termasuk dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan juga keluarga berencana;

Persoalan kependudukan adalah persoalan jangka panjang dan persoalan investasi sumberdaya manusia. Oleh karena itu penanganan kependudukan haruslah bersifat berkesinambungan dalam arti kebijakan dan program;

Isu kependudukan adalah isu lintas sektor dan lintas bidang. Oleh karena itu untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan dibutuhkan suatu

68

Page 69: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

institusi yang mampu melakukan koordinasi kebijakan dan program yang terdapat pada berbagai sektor dan bidang tersebut;

Dalam berbagai dengar pendapat publik peserta sepakat bahwa UU No.10 tahun 1992 perlu diamandemen oleh karena telah terjadi berbagai perubahan isue strategis berkaitan dengan kependudukan yang terjadi setelah pemberlakukan undang undang tersebut. Perubahan strategis tersebut terjadi baik pada tingkat internasional maupun nasional terutama terkait dengan perubahan sistem kepemerintahan dari sentralistis ke desentralistis;

Disamping itu UU No.10 tahun 1992 dirasakan bersifat sangat normatif dan kurang operasional sehingga sulit diimplementasikan di lapangan. Disamping itu UU tersebut tidak mengatur dengan jelas sanksi kepada pelanggar apakah itu sanksi yang bersifat pidana maupun administratif yag diakitkan dengan insentif dan disinsentif. Ketidak jelasan sanksi ini dirasakan menjadi salah satu titik lemah dari pelaksanaan UU No.10 tahun 1992;

Dalam upaya perubahan UU No.10 tahun 1992, berbagai komitmen internasional dalam bidang kependudukan dan pembangunan perlu dijadikan acuan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;

Usulan substansi yang diperoleh dari pemaparan di propinsi Banten meliputi bahwa pengaturan undang-undang tersebut nantinya harus mencakup nilai-nilai religi, penduduk miskin dapat mendapatkan alat kontrasepsi dan pelayanannya dengan harga terjangkau, kesadaran jender diperhatikan dalam UU hasil amandemen, keselarasan dengan UU terkait, pembahasan tentang hak asasi manusia dengan pembatasan jumlah kelahiran; serta mengatur institusi yang bertanggung jawab mengelola masalah kependudukan serta anggarannya;

Pemaparan di propinsi Bangka Belitung mendapatkan masukkan bahwa undang-undang tersebut nantinya harus mampu melindungi lingkungan terutama di daerah tersebut yang relatif rusak karena pertambangan tak terkendali serta menjamin sumber daya alam yang ada menjadikan masyarakat lokal sejahtera, lebih jelas mengatur sanksi, mengatur institusi yang menangani masalah

69

Page 70: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

kependudukan di tingkat pusat dan daerah, mampu melindungi hak asasi manusia serta warga masyarakat keturunan;

Di Makasar beberapa masukkan yang diperoleh meliputi agar UU hasil amandemen mampu mempertimbangkan pentingnya penyuluhan (KIE) tentang alat kontrasepsi serta dampak sampingnya, terutama bagi masyarakat pedesaan, hasil amandemen kelak disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka paham tentang isinya, hasil amandemen memperhatikan pelayanan dasar hak penduduk seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk serta jaminan sosial, mampu menata pemerataan dan pengelolaan penduduk,, memperhatikan kesetaraan jender;

Di Kupang, topik utama yang mengemuka dalam seminar itu antara lain Kesadaran jender dan perlunya pemberdayaan perempuan, Lingkungan hidup dan pembangunan kependudukan, Konsep kuantitas dan kualitas dalam kependudukan;

Di Medan, Isue yang menjadi topik hangat dalam seminar itu, antara lain Kesehatan reproduksi remaja, paket kesehatan reproduksi esensial (essential reproductive health package)., sanksi, komitmen terhadap pembangunan kependudukan dan kesehatan reproduksi – perlunya penugasan terhadap institusi yang bertanggung jawab serta alokasi dana, serta kualitas sumber daya manusia;

Di Bandar Lampung isue yang menjadi topik hangat dalam seminar itu, antara lain bahwa UU hasil amandemen mengatur batasan jumlah anak yang akan ditanggung oleh negara sehingga masyarakat akan termotivasi berpartisipasi dalam KB, masukan agar anak jalanan diperhatikan dalam UU hasil amandemen, masukan agar ada sanksi bagi petugas lapangan yang memperjualbelikan alat kontrasepsi, serta masukan agar UU hasil amandemen disesuaikan dengan era desentralisasi.

Berbagai pemikiran dan pendapat tersebut di atas diupayakan semaksimal mungkin untuk diakomodir di dalam berbagai pengaturan yang akan di lakukan dalam rancangan perubahan undang-undang no.10 tahun 1992 tersebut.

70

Page 71: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB VIDEFINISI ATAU BATASAN RANCANGAN PERUBAHAN

UU NO.10 TAHUN 1992

Naskah akademik suatu undang-undang harus mencerminkan jiwa dari substansi pengaturan hukum yang akan dituangkan dalam rancangan undang-undang. Oleh karenanya konsep dasar setiap pokok substansi yang akan diatur harus mengalir jelas, logis, dan dapat dipahami. Untuk itu harus diidentifikasi pokok substansi yang akan diatur untuk dijelaskan konsep dasarnya.

Mengacu pada batasan penduduk dan kependudukan dalam Undang-Undang No.10 tahun 1992 yaitu :

Penduduk adalah orang dalam dimensinya sebagai diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada waktu tertentu.

Kependudukan adalah hal ichwal yang berkaitan dengan jumlah, ciri utama, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan penduduk tersebut.

71

Page 72: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Berdasarkan batasan tersebut terlihat jelas bahwa pengertian penduduk dan kependudukan adalah sangat luas. Seluruh aspek kehidupan penduduk atau orang masuk dalam batasan kependudukan. Sebagai suatu konsep berpikir, pengertian tersebut sudah sangat memadai. Namun sebagai suatu konsep undang-undang maka batasan tersebut harus lebih diperjelas agar undang-undang yang akan dikeluarkan nantinya dapat dioperasionalisasikan, tidak bertentangan dan tidak tumpang tindih dengan undang-undang lainnya yang juga telah mengatur hal yang sama.

Luasnya batasan/pengertian kependudukan yang ingin diatur oleh UU No.10 tahun 1992 terlihat dalam batasan arti perkembangan kependudukan dalam UU No.10 tahun 1992 yaitu:

Perkembangan kependudukan adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan perubahan keadaan penduduk yang meliputi kuantitas, kualitas dan mobilitas yang mempunyai pengaruh terhadap pembangunan dan lingkungan hidup.

Pengertian ini menyebabkan munculnya kesulitan untuk melakukan operasionalisasi Undang-undang No.10 tahun 1992 tersebut. Hal inilah yang kemudian menyebabkan hampir seluruh konsideran UU No.10 tahun 1992 hanya bersifat umum. Dalam pemikiran awal, karena berbagai konsideran yang ada bersifat umum dan operasionalisasinya diarahkan pada Peraturan Pemerintah (PP) maka tidak kurang dari 11 PP harus dilahirkan oleh UU No.10 tahun 1992 tersebut.

Untuk menghindari kesulitan dalam mengoperasionalisasikan UU No.10 tahun 1992 yang diamandemen tersebut nantinya, maka diberi batasan yang jelas tentang aspek kependudukan apa yang ingin diatur oleh UU amandemen tersebut nantinya.

6.1. Kerangka Pikir Rancangan Perubahan UU No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga SejahteraSkema berikut ini merupakan kerangka pikir yang dipakai untuk melihat

bagaimana peran kependudukan dalam pembangunan yang akan diatur oleh UU No.10 tahun 1992 yang diamandemen (bukan peran penduduk dalam pembangunan secara konseptual akademis).

72

Page 73: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Gambar-5.1 : Kerangka Konseptual Rancangan Amandemen UU Nomor 10 Tahun 1992

Sesuai dengan kerangka pemikiran tersebut, pengelolaan kuantitas penduduk yang terdiri dari 2 aspek utama yaitu (1) pengelolaan kuantitas penduduk berupa pengelolaan kelahiran, kematian, mobilitas dan (2) pengelolaan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya. Pengelolaan kelahiran, kematian, mobilitas & struktur penduduk tersebut akan berdampak timbal balik dengan peningkatan kualitas penduduk. Dalam kerangka pemikiran ini, kualitas penduduk merupakan output dan input dari upaya pengelolaan kuantitas penduduk.

Jika kita kembali pada kerangka pikir di atas maka pengelolaan kelahiran, kematian, mobilitas & struktur penduduk akan mempengaruhi kualitas penduduk disamping upaya-upaya lainnya seperti pendidikan & pelatihan, kesehatan, ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Berbagai upaya yang terakhir ini bukan merupakan kajian utama pengaturan dari rencana amandemen yang akan dilakukan walaupun upaya untuk meningkatkan kualitas penduduk antara lain melalui pendidikan dalam arti luas dan pelatihan, perluasan kesempatan kerja, perlindungan dsb disinggung dalam undang-undang yang akan diamandemen tersebut dan dirujuk kepada undang-undang lain yang telah mengaturnya. Sangat disadari bahwa peningkatan kualitas penduduk yang terjadi (melalui berbagai upaya termasuk juga pengelolaan perkembangan kuantitas penduduk) akan juga

73

Pengelolaan kuantitas penduduk:

Kelahiran Kematian Mobilitas Struktur

Pengelolaan kualitas penduduk:

Penduduk Berkualitas baik secara fisik, mental maupun

spiritual sebagai SDM pembangunan

5MATRA

5MATRA

Pembangunan berkelajutan

Page 74: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

berdampak pada makin baiknya pengelolaan perkembangan kependudukan tersebut dikemudian hari. Peningkatan pendidikan misalnya, akan berdampak pada perubahan pola pikir penduduk terhadap nilai anak yang pada gilirannya akan mempengaruhi upaya pengaturan kehamilan dan kelahiran.

Pengelolaan kualitas penduduk yang diatur melalui undang-undang ini lebih difokuskan pada pengaturan upaya yang berkaitan dengan pengelolaan kuantitas penduduk. Ini perlu dikemukakan agar pembahasan tentang kualitas penduduk tidak menjadi sangat luas sifatnya dan juga mengatur apa yang telah diatur oleh undang-undang lain seperti undang undang tentang agama, ketenagakerjaan, maupun sistem pendidikan nasional.

Sama halnya dengan UU No.10 tahun 1992, maka dalam amandemen UU ini nantinya, penduduk harus dilihat dalam 5 dimensi yaitu individu, keluarga, masyarakat, warna negara dan himpunan demografis. Pemahaman tentang dimensi penduduk ini penting artinya pada saat akan melakukan pengaturan upaya perkembangan kependudukan. Dalam hal ini ada upaya yang cocok untuk dilakukan pengaturan dalam konteks penduduk sebagai individu namun juga ada upaya yang pengaturannya cocok dilihat dalam konteks penduduk sebagai keluarga, masyarakat, warna negara dan seterusnya. Upaya pengaturan kelahiran misalnya lebih banyak terkait dengan dimensi penduduk sebagai keluarga, oleh karena norma sosial budaya masyarakat Indonesia menghendaki bahwa kelahiran harus terkait dengan hak keluarga bukan hak individu. Walaupun dalam batas-batas tertentu kesempatan memperoleh informasi & pelayanan terkait dengan pengaturan kelahiran dapat merupakan hak individu.

Contoh lain adalah bagaimana upaya pengaturan perkembangan kependudukan termasuk keluarga berencana untuk kelompok masyarakat rentan (misalnya penduduk terpencil atau miskin). Upaya pengaturan perkembangan kependudukan dan keluarga berencana bagi kelompok ini harus dilihat dalam konteks dimensi mereka sebagai anggota masyarakat yang memiliki ciri kebersamaan satu dengan lainnya, bukan sebagai individu. Hanya dengan melakukan upaya pengaturan yang mengatur pada setting masyarakat, akan diperoleh kebijakan dan program yang efektif.

74

Page 75: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Terjadinya peningkatan kulitas penduduk sebagai dampak dari pengelolaan kuantitas penduduk tentu saja berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan (lihat gambar-5.1). Demikian pula sebaliknya, pembangunan berkelanjutan akan kembali berkontribusi pada peningkatan kualitas penduduk baik generasi kini maupun generasi mendatang. Mengapa dikatakan berkontribusi, karena peningkatan kualitas penduduk bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi pembangunan berkelanjutan. Karena di luar faktor kependudukan masih terdapat banyak faktor lain seperti pembangunan ekonomi, pengelolaan lingkungan hidup, good governance dsb yang terkait satu dengan lainnya.

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka kerangka dasar dari dimensi kependudukan dan pembangunan berkelanjutan yang harus mendapat mengaturan mencakup 2 hal yaitu:

1. Upaya pengelolaan perkembangan kependudukan berupa kuantitas dan kualitas penduduk melalui pengaturan melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran, kematian, mobilitas & struktur penduduk; dan

2. Upaya pengaturan kebijakan dan program pembangunan makro agar sesuai dengan kondisi perkembangan kependudukan yang ada.

Dalam pengaturan hukum di bidang kependudukan dan pembangunan berkelanjutan dapat diidentifikasi 5 (lima) pokok substansi yaitu (1) kebijakan perkembangan kependudukan termasuk keluarga berencana, (2) kualitas penduduk dan keluarga, (3) panca dimensi kependudukan, (4) hak (dan kewajiban) penduduk, pemerintah dan pemerintah daerah, dan (5) pembangunan berkelanjutan. Konsep dasar kelima subtansi tersebut menjadi alur pikir dalam keseluruhan alur pikir rancangan amandemen UU No.10 tahun 1992.

6.2. Kebijakan Perkembangan Kependudukan

Kebijakan perkembangan kependudukan berhubungan dengan upaya mempengaruhi perkembangan kependudukan, agar serasi, selaras, dan seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan (termasuk daya tampung lingkungan sosial). Langkah kebijaksanaan adalah dengan mengendalikan kuantitas

75

Page 76: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

penduduk yang meliputi upaya pengaturan kelahiran, penurunan kematian dan pengarahan mobilitas spasial penduduk, didukung dengan data kependudukan yang handal. Tujuan kebijakan dalam mempengaruhi perkembangan kependudukan adalah untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan kesimbangan antara kuantitas, kualitas, persebaran penduduk dengan lingkungan hidup yang akan menopang kehidupan penduduk pada saat ini dan mendatang.

Upaya pengaturan perkembangan kependudukan tersebut harus sesuai dengan pendekatan yang berlaku secara internasional terutama komtmen ICPD dan MDGs. Isu tentang hak azasi manusia, kesetaraan dan keadilan gender, kesamaan hak dan kewajiban antara penduduk & pemerintah dalam pengelolaan perkembangan kependudukan, dan lain sebagainya harus dipakai sebagai landasan pijakan kebijakan.

6.3. Kualitas Penduduk

Konsep kualitas penduduk sangat penting dalam melihat bagaimana peran kependudukan bagi pembangunan berkelanjutan. Dari segi keterkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, kualitas penduduk menentukan apakah perilaku, gaya hidup, dan perlakuan penduduk terhadap lingkungan maupun pola konsumsi, yang pada gilirannya akan berdampak pada daya tampung lingkungan dan keberlanjutan program pembangunan dalam jangka panjang. Peningkatan kualitas merupakan hak setiap penduduk, termasuk kelompok rentan yang sering diabaikan. Berbagai kemudahan harus diberikan kepada kelompok penduduk rentan dalam mengembangkan kualitas mereka. Namun sebagaimana telah diuraikan di atas maka undang-undang yang akan diamandemen ini nantinya tidak akan melakukan pengaturan terhadap seluruh aspek kualitas penduduk (karena sudah banyak diatur oleh UU lainnya) namun lebih mengatur pada kualitas penduduk dalam konteks dengan pengaturan aspek perkembangan kependudukan.

6.4. Panca dimensi kependudukan.

Perhatian perumus kebijakan kependudukan pada umumnya dan perkembangan kependudukan pada khususnya sering menimbulkan permasalahan

76

Page 77: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

dalam operasionalisasinya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya penduduk merupakan mahluk multi dimensi. Kebijakan yang baik pada satu dimensi belum tentu cocok bagi dimensi lainnya. Sebagai contoh, kualitas individu yang baik tidak serta merta menghasilkan kualitas keluarga yang baik. Oleh karena keluarga tidak hanya merupakan penjumlahan individu.

Implikasi penting terhadap hal tersebut adalah bahwa dalam melihat dimensi kependudukan dan pembangunan, penduduk tidak boleh hanya semata-mata dilihat dari dimensi perseorangan atau individu belaka. Tetapi, diperlukan cara pandang yang lebih komprehensif yaitu dengan memperhatikan dimensi lain dari penduduk yaitu penduduk sebagai anggota keluarga, masyarakat, bangsa (negara) serta dimensi penduduk tersebut sebagai suatu himpunan agregat. Pada masing-masing dimensi terdapat hak dan sekaligus kewajiban dari penduduk. Hak dan kewajiban tersebutlah yang perlu dilakukan pengaturannya dalam UU yang akan diamandemen ini nantinya.

Sistematika panca dimensi ini ternyata sangat berguna untuk operasionalisasi konsep manusia seutuhnya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Perkembangan Kependudukan di atas hanya mungkin dipengaruhi andaikata diarahkan pada berbagai dimensi Kependudukan. Apa lagi mengingat makin luasnya perkembangan masalah di masa depan.

6.5. Hak (dan Kewajiban) penduduk, Pemerintah & Pemerintah Daerah dalam Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana.

Upaya pengelolaan perkembangan kependudukan dan keluarga berencana merupakan interkasi antara hak dan kewajiban penduduk (masyarakat termasuk swasta) dengan pemerintah & pemerintah daerah. Oleh karena itulah undang-undang yang diamandemen tersebut nantinya harus mempu melakukan pengaturan hak dan kewajiban seluruh stakeholders (penduduk, pemerintah dan pemerintah daerah) melalui sanksi ataupun melalui mekanisme insentif dan disinsentif. Misalnya dari dimensi diri pribadi (individu), penduduk berhak membentuk keluarga, mengembangkan kualitas diri dan kualitas hidup, memilih

77

Page 78: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

tempat tinggal dan pindah lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang dengan diri dan kemampuannya. Namun dibalik hak-nya tersebut penduduk tersebut juga memiliki kewajiban untuk mendaftarkan perkawinan, memiliki surat pindah (jika ia ingin pindah ke daerah lain) dan lain sebagainya.

Pada saat yang sama pemerintah juga memiliki hak untuk mencatatkan perkawinan penduduk demi perencanaan pembangunan misalnya dan sebaliknya juga memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi dan pelayanan agar penduduk yang ingin melakukan pernikahan tersebut mendapatkan pelayananyang memadai dalam rangka meningkatkan kualitas hidup keluarga mereka.

Contoh lain dalam dimensi anggota masyarakat, penduduk memiliki hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, kemampuan sebagai kelompok; memanfaatkan wilayah warisan adat, dan melestarikan perilaku kehidupan budaya. Sebagai warganegara haknya diakui atas harkat dan martabat yang selama, serta ruang hidup. Dalam dimensi himpunan kuantitas, ia berhak diperhitungkan dalam kebijaksanaan kependudukan dan pembangunan nasional.

6.6. Pembangunan Berkelanjutan

Tujuan akhir dari upaya pengaturan perkembangan kependudukan adalah terciptanya pembangunan berkelanjutan. Pada Bab-3 bagian pembangunan berkelanjutan telah diuraikan bagaimana kerangka konseptual pembangunan berkelanjutan dan bagaimana pentingnya pengelolaan perkembangan kependudukan dalam menuju pembangunan berkelanjutan.

6.7. Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga

Dalam bab-2 bagian 2.2. telah diuraikan bahwa keluarga berencana dan pembangunan keluarga memiliki posisi sentral dalam pengelolaan perkembangan kependudukan secara umum. Dilihat dari aspek pengelolaan kuantitas penduduk, dimana isu utamanya adalah pertumbuhan penduduk, program keluarga berencana dan pembangunan keluarga sangat memegang peranan. Demikian pula dalam pengelolaan kualitas penduduk baik yang bersifat fisik, mental maupun spiritual, keluarga memegang peranan yang sangat sentral.

78

Page 79: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Oleh karena itu didalam rancangan perubahan undang-undang no.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, program keluarga berencana dan pembangunan keluarga mendapatkan perhatian yang strategis disamping upaya-upaya lainnya seperti peningkatan keadilan dan kesetaraan gender, upaya penyerasian kebijakan kependudukan dengan kebijakan pembangunan lainnya, penurunan kematian, pengarahan mobilitas penduduk, maupun peningkatan pemanfataan data dan informasi kependudukan.

6.8 Perbedaan Substantial antara Undang-Undang No.10 tahun 1992 dengan Rancangan Perubahan Undang-Undang No.10 tahun 1992Pada bagian terdahulu telah diuraikan tentang pokok-pokok isu substantial

yang sama, yang tetap dipertahankan dari undang-undang No.10 tahun 1992 di dalam rancangan perubahan terhadap undang-undang tersebut. Bagian ini mencoba menguraikan isu-isu yang secara substantial mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut meliputi:

Perubahan paradigma pembangunan dengan lebih mengkedepankan pembangunan berdasarkan pada hak (right based development). Dengan dasar pemikiran tersebut maka prinsip dasar atau asas dari amandemen tersebut akan lebih diperluas dari undang-undang yang telah ada, dengan mengakomodir prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan kependudukan dan pembangunan yang berlaku secara internasional maupun prinsip-prinsip tentang hak asasi manusia yang tertuang dalam konvensi hak asasi manusia dan UU tentang hak asasi manusia. Upaya pengakomodasi kesepakatan internasional tersebut tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan landasan berbangsa dan bernegara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD-45 serta nilai-nilai keagaman, sosial budaya serta nilai hidup yang dianut bangsa Indonesia;

Upaya pengaturan yang dilakukan dalam undang-undang yang baru akan mencakup 2 aspek yaitu aspek normatif dan aspek operasional. Hal ini berbeda dengan UU yang sekarang ini dimana pengaturan yang dilakukan lebih bersifat normatif sedangkan pengaturan yang lebih bersifat operasional akan dilakukan oleh peraturan perundangan yang lebih rendah sifatnya. Dengan melakukan

79

Page 80: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

pengaturan yang bersifat operasional diharapkan akuntabilitas dari undang-undang yang baru ini nantinya akan lebih terjaga;

Perluasan substansi pembahasan dengan memasukkan isu gender, kesehatan reproduksi dan hak reproduksi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, sosial budaya serta pandangan hidup yang berlaku di Indonesia. Mengacu pada hasil konferensi kependudukan sedunia di Cairo, 1994, keluarga berencana diletakan dalam konteks dengan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, dalam undang-undang baru nantinya pemahaman tentang keluarga berencana diletakkan dalam kerangka kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi sesuai dengan rekomendasi konferensi kependudukan tersebut di atas. Isu gender juga menjadi perhatian dalam rancangan UU baru tersebut. Berbagai telaahan, komitmen baik internasional maupun nasional memperlihatkan bagaimana strateginya peran perempuan dalam pembangunan termasuk juga pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga;

Pengaturan yang lebih eksplisit terhadap hak dan kewajiban dari pemerintah, pemerintah daerah serta penduduk sehingga terjadi keseimbangan antara pemerintah, pemerintah daerah dan penduduk dalam pembangunan kependudukan. Pengaturan terhadap hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah tersebut merupakan penjabaran dari pengakuan atas otonomi daerah;

Pengaturan yang lebih eksplisit terhadap sanksi baik berupa sanksi pidana maupun administratif yang dikaitkan dengan insentif dan disinsentif terhadap pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut di atas;

Pengaturan yang lebih komprehensif dan eksplisit terhadap upaya penyerasian kebijakan kependudukan dengan kebijakan pembangunan lainnya;

Perubahan visi dan misi pembangunan keluarga dari keluarga sejahtera menjadi keluarga berkualitas. Perubahan ini didasarkan pada pemahaman filosofis bahwa pengertian keluarga berkualitas dipandang lebih luas maknanya daripada keluarga sejahtera dan ini sejalan dengan kerangka pikir penduduk berkualitas pada seluruh dimensinya.

80

Page 81: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

BAB VIIPRINSIP-PRINSIP DALAM

PENYUSUNAN RANCANGAN AMANDEMEN UU NO.10 TAHUN 1992

Dalam menyusun draft rancangan atau amandemen undang-undang harus diperhatikan dua prinsip utama, yaitu prinsip umum yang berkaitan dengan kelaziman penyusunan suatu norma hukum tertulis dan prinsip khusus yang menyangkut substansi spesifik yang akan diatur. Kedua prinsip ini akan memandu

81

Page 82: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

setiap langkah perumusan norma atas substansi yang akan diatur yaitu masalah kependudukan. Dengan demikian alur pikir rumusan norma hukum akan mengalir dengan logis dan konsisten serta dapat dipertangungjawabkan dari segi teknik penyusunan perundang-undangan.

Dalam rancangan / amandemen setiap undang-undang prinsip umum yang tidak boleh dilupakan meliputi pemenuhan prinsip doelmatigheid (manfaat), rechmatigheid (taat asas), dan plichtmatigheid (dapat diterapkan). Selain itu efektifitas hukum juga harus dijaga dengan cara membebankan suatu konsekuensi juridis atas setiap pelanggaran norma yang diatur, hal ini dapat berupa sanksi maupun berbagai bentuk disinsentif lainnya. Lebih jauh lagi, prinsip umum yang senantiasa harus dipegang dalam setiap legal drafting adalah bahwa bahasa yang digunakan haruslah bersifat normatif. Ini berarti bahwa rumusan setiap pasal harus memuat subyek hukum yang diatur, lingkup kewenangan, hak dan tanggungjawab, serta konsekuensi atas ketidakpatuhan atas norma tersebut.

Dalam rancangan / amandemen UU No.10/1992 terdapat empat prinsip utama tentang alasan perlunya perubahan atas substansi UU No.10/1992 yang akan menjadi panduan bagi perumasan setiap pasal. Keempat prinsip tersebut adalah (1) prinsip kepatuhan terhadap hak asasi manusia; (2) prinsip pola penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan semangat otonomi daerah; (3) prinsip multinasionalitas sesuai dengan era globalisasi, dan (4) prinsip kesetaraan jender. Prinsip diatas belum terdapat atau berlum cukup diatur dalam UU No.10/1992, dan hal ini dapat dimaklumi karena perkembangan sosial dan politik baik dalam maupun luar negeri yang cukup pesat.

7.1. Prinsip Umum

Setiap penyusunan draft rancangan atau amandemen undang-undang Memenuhi prinsip doelmatig, rechmatig, dan plichtmatigMemuat sanksi atau disinsentifDapat diimplementasikan tanpa menunggu PPPenekanan fungsi, tugas dan tanggung jawab

82

Page 83: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

7.2. Prinsip khusus yang melatarbelakangi penyusunan rancangan amandemen UU No.10/1992 Latar belakang perubahan UU No. 10 /1992 adalah kehendak ingin

menyatukan dua tema besar (kependudukan dan keluarga sejahtera). Penyatuan kedua tema dalam amandemen UU No. 10 /1992 ini berfokus pada issue kependudukan didasarkan atas:

1. Perkembangan konsep kependudukan pasca diundangkannya UU 10 / 1992 yang termuat dalam Konperensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan yang mengedepankan Hak Asasi Manusia

2. Pergeseran konsep pemerintahan dari pusat ke daerah

3. Issue globalisasi yang berdampak luas pada kependudukan

4. Issue kesetaraan jender

Keempat issue tersebut menjadi prinsip khusus yang harus diperhatikan dalam perumusan norma hukum dalam amandemen UU No. 10 /1992.

BAB VIIISISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

83

Page 84: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Bab-1 Ketentuan umum

Bab-2 Asas dan PrinsipBagian ini memuat asas dan prinsip yang akan dipakai dalam pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga. Pengelolaan perkembangan kependudukan selain berasaskan nilai-nilai perikehidupan bangsa Indonesia juga mengakomodir asas atau prinsip dalam konferensi kependudukan dunia di Cairo pada tahun 1994 (International Conference on Population and Development), Millenium Development Summit di New York pada tahun 2000, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan agama yang di anut di Indonesia serta dari konvensi hak asasi manusia dan undang-undang hak asasi manusia.

Asas atau prinsip tersebut meliputi (1) kebebasan dan kesamaan martabat dan derajat, (2) keseimbangan antara kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang, (3) keadilan dan kesetaraan gender, (4) integrasi dengan kebijakan pembangunan lainnya, (5) partisipasi semua pihak, (6) perhatian kepada kelompok tertinggal, (7) kemitraan antar negara, (8) kesamaan hak dalam pelayanan dan perlindungan.

Bab-3 Arah dan Tujuan

Arah dan tujuan yang ingin dicapai melalui pelaksanaan undang-undang ini adalah terwujudnya penduduk berkualitas pada seluruh dimensinya dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Bab-4: Hak & Kewajiban

Hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang ini meliputi hak dan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah dan penduduk. Hak dan kewajiban ini dikaitkan dengan berbagai asas atau prinsip yang telah ditetapkan terdahulu. Pengaturan hak penduduk dilihat dalam keseluruhan dimensi penduduk. Ini didasarkan pada pemahaman bahwa hak yang dimiliki penduduk berbeda-beda sesuai dengan dimensinya.

84

Page 85: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Bab-5: PerkembanganKependudukan Bab ini terdiri dari 4 bagian yaitu (1) Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan, (2) Penurunan Angka Kematian, (3) Mobilitas Penduduk, (4) Keterpaduan Kebijakan Kependudukan dan Pembangunan.

Ruang lingkup pengaturan keterkaitan kependudukan dan pembangunan berkelanjutan adalah memadukan kebijakan pembangunan makro baik ekonomi, sosial maupun lingkungan hidup dengan kondisi atau dinamika perkembangan kependudukan pada semua tingkatan (pusat, propinsi dan kabupaten/kota).

Tujuannya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas kehidupan generasi masa kini dan masa yang akan datang. Perbaikan kualitas kehidupan generasi tersebut merupakan bagian dari hak azasi manusia pada masa kini & masa mendatang

Upaya yang perlu dilakukan mulai dari peningkatan komitmen politik, peningkatan sumberdaya manusia pelaksana program, peningkatan komtmen seluruh stakeholders, sampai pada upaya monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program tersebut.

Pengaturan kelahiran ditujukan agar supaya penduduk yang ada dapat menjadi sumber daya manusia yang bermutu dan meningkatnya kesejahteraan keluarga.yang pada gilirannya diharapkan dapat terbentuk Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS).

Pencapaian kondisi Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) dapat ditambah dapat diraih manakala terjadinya keseimbangan antara laju tingkat kelahiran yang rendah dengan tingkat kematian yang juga rendah, adanya keseimbangan struktur penduduk usia muda dengan penduduk usia tua, adanya keseimbangan pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian upaya pencapaian penduduk tumbuh se-imbang merupakan program pelayanan yang terkoordinasi dan terpadu dengan instansi dan sektor pembangunan lain yang terkait. Keberhasilan menurunkan tingkat kalahiran atau menekan tingkat kematian umpamanya, bukanlah jaminan penduduk tumbuh seimbang dapat dicapai karena keberhasilan sektor pembangunan lainnya juga perlu dipacu untuk dapat

85

Page 86: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

mengimbangi terhadap keberhasilan penurunan tingkat kelahiran dan kematian tersebut.

Upaya pengaturan kelahiran penduduk harus diletakkan dalam konteks bahwa (1) Setiap orang mempunyai hak untuk hidup mendapatkan kemerdekaan dan keamanan pribadi, (2) stiap orang berhak mendapatkan standart keshatan fisik dan mental yang setinggi tingginya. Setiap negara harus mengembangkan ukuran untuk memenuhi pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual

Upaya yang perlu dilakukan dalam mencapai tujuan pengaturan kelahiran diarahkan pada promosi, perlindungan maupun bantuan kepada individu dan keluarga tentang pengaturan kelahiran.

Ruang lingkup penurunan angka kematian meliputi penurunan angka kematian ibu, penurunan angka kematian bayi, penurunan angka kematian anak & peningkatan harapan hidup. Upaya tersebut merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Upaya penurunan kematian dilandasi beberapa prinsip yaitu (1) Akses Kespro bagi setiap individu (KIE & Pelayanan), (2) akses pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi dan anak, dan (3) promosi lebih utama daripada kuratif.

Upaya penurunan tingkat kematian dalam rangka mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya dengan memperhatikan prinsip (1) hak-hak reproduksi individu dan pasangan; (2) memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi bagi ibu, bayi dan anak; (3) pencegahan untuk mengurangi risiko kesakitan dan kematian; (4) keluarga dan masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif dalam penurunan kematian

86

Page 87: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Dalam konteks ini maka prioritas diberikan pada penurunan angka kematian ibu melahirkan, bayi dan balita sebagai perwujudan kesepakatan Program Aksi Kependudukan dan Pembangunan serta Sasaran kesepakatan internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pelaksanaa upaya penurunan kematian dilakukan melalui kegiatan promosi, kuratif dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu diberikan perhatian khusus pada pemantauan pelaksanaan kebijakan dari waktu kewaktu melalui pengumpulan data, analisa, dan proyeksi angka kematian.

Pengarahan mobilitas meliputi mobilitas internal (dalam negeri) dan mobilitas internasional (antar negara) ditujukan agar meningkatnya kesejahteraan migran dan terjadinya keseimbangan, keserasian, keselarasan distribusi penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan

Pengarahan mobilitas penduduk (internal) didasarkan pada prinsip bahwa hak azasi manusia untuk bertempat tinggal dimana saja sesuai dengan keinginannya.

Upaya untuk mencapai tujuan tersebut diarahkan pada pengaturan pembangunan dan bukan pada upaya pemindahan penduduk serta pemberian sarana informasi, kemudahan dan perlindungan bagi para migran.

Bab-6: Keluarga BerencanaBab tentang keluarga berencana terdiri dari 2 bagian yaitu (1) pengaturan kehamilan, dan (2) ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Aspek pengaturan kehamilan yang akan dibahas meliputi berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan pengaturan kehamilan di Indonesia. Disamping itu juga dibahas tentang batasan tentang program pengaturan kehamilan.

Selanjutnya, aspek yang diatur dalam pemberdayaan keluarga meliputi pemberdayaan ekonomi keluarga dan ketahanan keluarga. Pemberdayaan keluarga ini difokuskan pada keluarga miskin (pra KS & KS-I). Tujuan pemberdayaan keluarga adalah meningkatkan tahapan keluarga sejahtera dari keluarga prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I ke tahapan yang lebih tinggi, sejalan dengan upaya-upaya pengentasan kemiskinan penduduk. Tujuan tersebut hendak dicapai

87

Page 88: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

melalui upaya perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan anggota keluarga khususnya dari keluarga yang tidak produktif kepada keluarga yang produktif, melalui pendekatan kelompok. Program Pemberdayaan Ekonomi Keluarga dalam rangka mencapai tujuan tersebut adalah dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada peningkatan minat, pengetahuan, sikap, dan perilaku berwirausaha bagi keluarga-keluarga sasaran, serta dengan mengembangkan sikap dan perilaku keuangan keluarga yang terencana, hemat dan gemar menabung. Wirausaha yang dikembangkan adalah usaha mikro keluarga melalui pendekatan kelompok yang dikenal dengan kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).

Bab-7: Data & Informasi Kependudukan Serta KeluargaData dan informasi kependudukan baik yang bersifat makro dan mikro perlu untuk terus menerus dikumpulkan dan dianalisis dalam rangka membuat perencanaan pembangunan. Data mikro sangat penting bagi penajaman sasaran intervensi yang akan dilakukan. Dalam konteks ini maka merupakan hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan memanfaatkan data.

Bab-8: Tanggung Jawab PelaksanaanBab ini memuat dan mengatur tentang Peran, Kewenangan dan Kewajiban Pemerintrah Pusat, Propinsi, dan Kab/Kota, yang meliputi:

1. Kepastian adanya pengelola/institusi yng bertanggung jawab di tingkat pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kab/.Kota

2. Diberikan ruang kepada Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kab/Kota ) untuk mengatur sendiri pelaksanaan dan kebijakan tehnis penyelenggaraan perkembangan kependudukan dan pemberdayaan keluarga dengan Peraturan Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah

3. Pengaturan tentang pemberian fasilitasi, pembinaan, pengawasan dalam bentuk pedoman dan standard dibidang perkembangan kependudukan dan pemberdayaan keluarga

88

Page 89: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

4. Penetapan Kebijakan secara makro bidang perkembangan kependudukan dan pemberdayaan keluarga

5. Kewajiban Pemerintah memberikan pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat/keluarga miskin terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan program perkembangan kependudukan

6. Harus dikaitkan dengan undang-undang lain yang terkait mengatur hal yang sama

Disamping itu Bab ini juga memuat mengenai:

• Hubungan Pusat, Propinsi dan Kabupaten dalam pengelolaan perkembangan kependudukan à dikaitkan dengan hak dan kewajiban serta insentif dan disinsentif , Lokal inisiatif serta Peran masyarakat melalui LSOM dan lembaga profesi.

Bab-9: Komisi KependudukanBagian ini memuat pengaturan peranserta masyarakat yang diterjemahkan kedalam pembentukan komisi kependudukan. Komisi ini merupakan mitra pemerintah dalam mengelola kependudukan dan pembangunan keluarga di Indonesia.

Bab-10: Peranserta MasyarakatBagian ini secara lebih specifik memuat berbagai pengaturan agar terjadi peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga di Indonesia.

89

Page 90: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Bab-11: Penghargaan dan DisinsentifPenghargaan dan disinsentif dikatikan dengan hak dan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah serta penduduk dalam mengelola kependudukan dan pembangunan keluarga.

Bab-12: Ketentuan PidanaBagian ini memuat pengaturan ketentuan pidana yang dapat dikenakan kepada pengelola program maupun penduduk terkait dengan hak dan kewajibana yang diberikan kepada mereka.

Bab-13: Ketentuan Peralihan

Bab-14: Ketentuan Penutup

90

Page 91: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Diagram berikut ini menggambarkan alur pikir sistematika Rancangan UU tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sebagai pengganti Undang-undang No. 10 tahun 1992 tentang Pekembangan Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, sebagai berikut:

Gambar 8.1 : Gambar 8.1 : Alur Pikir Rancangan UUAlur Pikir Rancangan UU

Tentang Tentang Kendudukan dan Pembangunan KeluargaKendudukan dan Pembangunan Keluarga

91

Perkembangan Kependudukan BAB V (15 Pasal)

Keluarga Berencana BAB VI (16 pasal)

Data dan Informasi Kependudukan serta Keluarga BAB VII (3 pasal)

Tanggung Jawab Pelaksanaan BAB VIII (4 pasal)

Penghargaan dan DisinsentifBAB XI (2 pasal)

Peranserta Masyarakat BAB X (1 pasal)

Komisi Kependudukan BAB IX (6 pasal)

Ketentutan Umum BAB 1 (1 Pasal)

Ketentuan Pidana BAB XII (7 pasal)

ASAS DAN PRINSIP, BAB II (2 PASAL)

Hak dan Kewajiban BAB IV (14 Pasal)

Ketentuan Peralihan BAB XIII (2 pasal)

Ketentuan Penutup BAB XIV ( 3 Pasal)

ARAH DAN TUJUANBAB III (2 PASAL)

Page 92: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2002. Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Jakarta : BPS.BPS, Bappenas, and UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001, Towards a New Consensus, Democracy and Human Development in Indonesia. Bappenas, 2003, Peta Kemiskinan di Indonesia, Jakarta, 2003.Dixon-Muller, Ruth, 1993, Population Policy and Women’s Rights: Transforming Reproductive Choice (Westport, Conn., Praeger).Dwiyanto, Agus. 2001. “Tantangan kebijakan dan peran pemerintah dalam pembangunan kependudukan” dalam Agus Dwiyanto dan Fathurochman. Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM hal 211-228.Germain, Adrienne (1987), Reproductive Health and Dignity: Choices by Third World Women, background paper prepared for the International Conference on Better Health for Women and Children through Family Planning, Nairobi, 5-9 October (Population Council).Jones, Gavin.1998, The Bali Declaration and the Programme of Action of the International Conference on Population and Development in the Context of the Population Dynamics of the Asian and Pacific Region, United Nation – UNFPA - ESCAP, Asian Population Studie Series No.153, 1998. Mubyarto. 2000. Krisis ekonomi, ekonomi rakyat, dan optimisme menghadapi pemulihan ekonomi. Denpasar : kerjasama YAE dan Pemda segugus Nusa Tenggara.Prijono Tjiptoheriyanto. 2001. “Kependudukan dalam era reformasi” dalam Agus Dwiyanto dan Fathurochman. Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM, hal 57-76.Rosenfield dan Maine (1985), Maternal mortality – a neglected tragedy: where is the ‘M’ in MCH, Lancet, 8446:83-85 Sen, Gita, Adrienne Germain & Lincoln C. Chen, eds. (1994), Population Policies Reconsidered: Health, Empowerment, and Rights, (Harvard, Harvard University Press). Simanjuntak, Payaman, 1996, Memperkecil Beban Ketergantungan Penduduk Anak dan Remaja, Usia Lanjut serta Rentan Terhadap Penduduk Usia Produktif, makalah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Kependudukan tanggal 14 Maret 1996. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN

Strauss, John, et.al. 2002. Indonesian Living Standards Three Years After the Crisis : Evidence from the Indonesia Family Life Survey. Yogyakarta : CPPS-GMUSukamdi. 1992. Kebijakan Kependudukan, Suatu Pengantar. Tidak diterbitkan.

92

Page 93: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Undang-undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga SejahteraUndang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2000. Tentang Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 - 2004WHO, 2000. Pertimbangan untuk Menyusun Hukum Kesehatan Reproduksi, Edisi Kedua.

Wilopo, Siswanto Agus. 2002. “Pembangunan Nasional dan Komitmen Program Aksi Kependudukan dan Pembangunan ICPD + 5”. Paper disampaikan pada Seminar Persoalan Kependudukan dan Implementasi Rencana Tindak ICPD+5 di Indonesia. Jakarta 26 Nopember.

93

Page 94: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

NASKAH AKADEMIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG

KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

Jakarta, 2003

94

Page 95: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Daftar IsiRingkasan Eksekutif 1

Bab I Pendahuluan 51.1. Kependudukan dan Kesejahteraan 51.2. Perkembangan Dimensi Kependudukan dan Pembangunan 6

Bab II Tujuan dan Urgensi Amandemen UU No.10 Tahun 1992 TentangPerkembangan Kependudukan dan Pembangunan KeluargaSejahtera 132.1. Perkembangan Kependudukan & Permasalahannya 132.2. Pengelolaan Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 282.3. Urgensi Perubahan Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera 322.4. Tujuan Perubahan Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera 39

Bab III Landasan Filosofis Rancangan Amandemen Undang-undang Nomor 10 tahun 19923.1. Landasan Berbangsa dan Bernegara 393.2. Wawasan Kependudukan dan Pembangunan 413.3. Pembangunan Berkelanjutan 50

Bab IV Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan

Dengan Kependudukan dan Indonesia 554.1. Kerangka Otonomi Daerah 564.2. Peraturan Perundang-undangan terkait 574.3. Konvensi Internasional 604.4. Estándar dan Prinsip Kepemrintahan yang baik 61

Bab V Kegiatan Dengar Pendapat Publik Berkaitan dengan Rencana Amandemen Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992635.1. Tujuan 635.2. Pelaksanaan Kegiatan 635.3. Rangkuman Masukan 68

Bab VI Definisi atau Batasan Rancangan Perubahan UU No.10/199269

6.1. Kerangka Pikir Rancangan Perubahan Undang-UndangNo.10 tahun 1992 tentang Perkembangan KependudukanDan Pembangunan Keluarga Sejahtera 70

6.2. Kebijakan Perkembagnan Kependudukan 73

6.3. Kualitas Penduduk 736.4. Panca dimensi kependudukan 74

95

Page 96: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

6.5. Hak (dan Kewajiban) penduduk, Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Perkembangan Kependudukan Dan Keluarga Sejahtera 756.6. Pembangunan Berkelanjutan 756.7. Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga 766.8. Perbedaan Substansi antara UU No.10/1992 dengan Rancangan Undang-undang tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (RUU Pengganti) 76

Bab VII Prinsip-prinsip dalam Penyusunan Rancangan AmandemenUndang-undang Nomor 10 Tahun 1992 797.1. Prinsip Umum 807.2. Prinsip Khusus yang melatarbelakangi penyusunan Rancangan Amandemen UU No.10 Tahun 1992 80

Bab VIII Sistematika Rancangan UU tentang Kependudukan danPembangunan Keluarga (RUU Pengganti UU 10/1992)

81Bab – 1 Ketentuan UmumBab – 2 Asas dan PrinsipBab – 3 Arah dan TujuanBab – 4 Hak dan KewajibanBab – 5 Perkembangan KependudukanBab – 6 Keluarga BerencanaBab – 7 data dan InformasiBab – 8 Tanggung Jawab PelaksanaanBab – 9 Komisi KependudukanBab – 10 Peranserta MasyarakatBab – 11 Penghargaan dan DisinsentifBab – 12 Ketentuan Pidana’Bab – 13 Ketentuan PeralihanBab – 14 Ketentuan Penutup

Gambar dan Table:Gambar 1.1. Alur Pikir Naskah Akademis 12Table 2.1 Indikator Demografi dari berbagai Sumber di Indonesia

Tahun 1971 – 2000 14Table 2.2 Perkiraan pertumbuhan angkatan kerja dan kesempatan

Kerja dalam PJP II (x 1000) 20Gambar 3.1. Skematik Pembangunan Berkelanjutan 53Gambar 6.1. Kerangka Konseptual Rancangan Amandemen Undang-

Undang Nomor 1º tahun 1992Gambar 8.1 Alur Pikir Rancangan Undang-undang tentang

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga 88Daftar Pustaka

SISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

96

Page 97: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

TENTANG KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

Bab I KETENTUAN UMUMPasal 1

Bab II ASAS DAN PRINSIPPasal 2 s/d Pasal 3

Bab III ARAH DAN TUJUANPasal 4 s/d Paal 5

Bab IV HAK DAN KEWAJIBANPasal 6 s/d Pasal 19

BAB V PERKEMBANGAN KEPENDUDUKANBagian Kesatu: Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan

Berkelanjutan.Pasal 20 s/d Pasal 24

Bagian Kedua: Penurunan Angka Kematian.Pasal 25 s/d Pasal 27

Bagian Ketiga: Mobilitas PendudukPasal 28 s/d Pasal 30

Bagian Keempat: Keterpaduan Kebijakan Kependudukan dan Pembangunan.

Pasal 31 s/d Pasa 34

Bab VI KELUARGA BERENCANABagian Kesatu: Pengaturan KehamilanPasal 35 s/d Pasal 46

Bagian Kedua: Ketahanan dan Kesejahteraan KeluargaPasal 47 s/d Pasal 50

Bab VII DATA DAN INFORMASI KEPENDUDUKAN SERTA KELUARGAPasal 51 s/d Pasal 53

Bab VIII TANGGUNG JAWAB PELAKSANAANPasal 54 s/d Pasal 57

Bab IX KOMISI KEPENDUDUKAN

97

Page 98: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

Pasal 58 s/d Pasal 63

BAB X PERANSERTA MASYARAKATPasal 64

Bab XI INSENTIF AWAINSENTIFPasal 65 s/d Pasal 66

Bab XII KETENTUAN PIDANAPasal 67 s/d Pasal 73

Bab XIII KETENTUAN PERALIHANPasal 74 s/d Pasal 75

BAB XIV KETENTUAN PENUTUPPasal 76 s/d Pasal 78.

98

Page 99: NASKAH_AKADEMIK_Final_19-11-2003

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR…. TAHUN….

TENTANG

KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

(RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DPR RI)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIATAHUN 2003

99