NASKAH KULIAH PSEUDO CROUP BLOK 15 SISTEM RESPIRASI
NASKAH KULIAH
PSEUDO CROUP
BLOK 15SISTEM RESPIRASI
MEDICAL EDUCATION UNITFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACMAD YANI2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2
2.1 Anatomi Perkembangan Laring.................................................................. 2
2.2 Anatomi Laring........................................................................................... 5
2.3 Persarafan, Perdarahan dan Drainase Limfatik Laring.............................. 11
2.4 Fisiologi Laring.......................................................................................... 13
2.5 Obstruksi Saluran Pernapasan Atas Infeksius........................................... 14
2.5.1 Etiologi dan Epidemiologi................................................................. 15
2.5.2 Manifestasi Klinis............................................................................. 16
2.5.2.1 Croup (Laringotrakeobronkitis)............................................. 16
2.5.2.2 Epiglotitis Akut (Supraglotitis)............................................. 18
2.5.2.3 Laringitis Spasmodik Akut (Croup Spasmodik).................. 21
2.5.2.4 Trakeitis bakteri..................................................................... 22
2.5.3 Diagnosis Banding............................................................................. 24
2.5.4 Komplikasi......................................................................................... 25
2.5.5 Prognosis............................................................................................ 25
2.5.6 Pengobatan......................................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN........................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 33
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Perkembangan Laring............................................................. 2
Gambar 2.2 Anatomi Laring pada Bayi dan Dewasa................................................. 4
Gambar 2.3 Anatomi Laring....................................................................................... 6
Gambar 2.4 Struktur Laring Dalam............................................................................ 10
Gambar 2.5 Haemophilus influenzae......................................................................... 15
Gambar 2.6 Croup...................................................................................................... 17
Gambar 2.7 Haemophilus influenzae tipe B................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
Pseudo croup acute epiglotitis merupakan suatu sindroma “croup”. Kedua
penyakit ini mempunyai manifestasi klinik yang sama yaitu obstruksi saluran napas atas.
Tetapi kedua penyakit ini mempunyai penyebab dan patofisiologi yang berbeda satu
sama lainnya.
Karena penyakit ini mempunyai manifestasi klinik berupa obstruksi saluran napas
atas, maka kedua penyakit ini merupakan kegawatdaruratan di bagian Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung , dan Tengorok yang mungkin dapat ditemukan dalam praktek sehari-
hari.
Walaupun dalam penatalaksanaannya kedua penyakit ini tidak ada perbedaan
yang berarti, namun kita tetap perlu mengetahui tentang kedua penyakit ini. Sehingga
penderita dapat ditangani dengan baik sesuai dengan penyebab dan perjalanan
penyakitnya.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang masing-masing penyakit, mulai dari
penyebab sampai pengobatannya. Sehingga kita dapat lebih mengetahui tentang
penanganannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Perkembangan Laring
Susunan pernapasan mulai berkembang dua sampai empat hari setelah pembentukan
sistem saraf dan sistem kardiovaskular. Beberapa ahli embriologi menduga bahwa
divertikulum ventral dalam usus depan merupakan primordium paru dan laring, yang
merupakan tanda pertama dari susunan pernapasan.
Gambar 2.1. Anatomi Perkembangan Laring
Hari ke-34 dalam uterus, lamina epitel pada laring mulai mengalami rudimenter.
Divertikulum pernapasan primitif berubah menjadi pipa laringotrakea yang
menghubungkan faring dengan fisura laring. Fisura laring terikat di bagian lateral oleh
pembengkakan aritenoid dan lipatan ariepiglotik primitif. Pada garis tengah terdapat
eminensia hipofaring (epiglotis primitif). Eminensia ini menonjol ke arah rostral dan
kaudal merupakan penyatuan dari perluasan lengkung ke-4 ke anterior dan pasangan ini
merupakan asal mula epiglotis.
Selama kehamilan minggu ke-5 sampai ke-8, berbagai tulang rawan berkembang
menjadi bentuk khusus dan otot-otot yang besar terlihat dengan jelas. Epiglotis adalah
yang terakhir membentuk jaringan tulang rawan.
Epiglotis dan kartilago kuneiformis Wrisberg merupakan derivat dari furkula, yang
merupakan derivat dari dasar faring, walaupun lengkung ke-4 yang membentuk plika
gloso-epiglotik lateral mungkin berperan dalam pembentukan epiglotis.
Sewaktu lahir batas inferior kartilago krikoid berada setinggi batas atas dari vertebra
servikal ke-4 dan ujung epiglotis berhadapan dengan vertebra servikal pertama. Maka,
epiglotis dapat dilihat dengan mudah di balik dorsum lidah pada kebanyakan bayi. Laring
menurun sedikit pada leher antara waktu lahir dan umur dua tahun, kemudian posisi
relatif menetap hingga umur sebelas sampai dua belas tahun. Selama periode ini, krikoid
berhadapan dengan diskus intervertebra antara vertebra ke empat dan ke lima, dan
epiglotis berada pada ketinggian diskus intervertebra ke dua. Ujung epiglotis hampir
menetap berhadapan dengan vertebra servikal ke tiga. Pada bayi, kerangka tulang rawan
laring lebih lunak, dan ligamen yang menyangganya lebih longgar, membuat laring lebih
mudah mengempis jika mendapat tekanan negatif di bagian dalam. Jaringan subepitel
kurang padat, lebih banyak dan lebih bervaskuler pada bayi, yang cenderung
mengakumulasi cairan jaringan. Hal ini merupakan faktor penting penyebab terjadinya
obstruksi daerah infraglotik dan supraglotik akibat edema inflamasi pada anak kecil.
Beberapa struktur laring mempunyai perbedaan bentuk pada bayi. Epiglotis cenderung
berbentuk huruf omega, maka ada kecenderungan lebih besar untuk menutup vestibulum
bila terjadi edema. Juga, tepi epiglotis yang berbentuk omega kurang menopang plika
ariepiglotik dibandingkan tepi epiglotis yang rata pada orang dewasa yang dapat
membantu menahan plika ariepiglotik tersebut pada posisi lateral.
Gambar 2.2. Anatomi Laring pada Bayi dan Dewasa
Keganjilan-keganjilan bentuk laring bayi merupakan faktor penting dalam
kecenderungan terjadinya penyakit laring tertentu dan aspirasi benda asing.
2.2 Anatomi Laring
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk
jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas membuka ke dalam
laringofaring, dan di bawah bersambung dengan trakea.
Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan, yang dihubungkan melalui
membran dan ligamen dan digerakkan oleh otot. Laring juga dilapisi oleh mukosa.
Kartilago tiroid terdiri atas dua lamina tulang rawan hialin yang bertemu di garis
tengah, pada tonjolan V jakun. Tepi posterior tiap lamina tertarik ke atas membentuk
kornu superius dan ke bawah membentuk kornu inferius. Pada permukaan luar tiap
lamina terdapat linea obliqua sebagai tempat melekat m. sternotiroideus, tirohioideus, dan
m. konstriktor faringeus inferior.
Kartilago krikoid dibentuk dari cincin tulang rawan yang utuh. Bentuknya mirip
cincin cap dan terletak di bawah kartilago tiroid. Memiliki arkus anterior sempit dan
lamina posterior yang lebar. Pada permukaan lateral terdapat faset sirkular untuk
artikulasi dengan kornu inferius kartilago tiroid. Di kiri-kanan tepi atas terdapat faset
artikular untuk artikulasi dengan basis kartilaginis aritenoid. Semua sendi ini ialah sendi
sinovial.
Kartilago aritenoid merupakan rawan kecil berjumlah dua dan berbentuk piramid.
Keduanya terletak di belakang laring, di lateral tepi atas lamina kartilago krikoid.
Masing-masing tulang rawan memiliki apeks di atas dan basis di bawah. Apeks
menyangga kartilago kornikulata. Basis berartikulasi dengan kartilago krikoid.
Gambar 2.3. Anatomi Laring
Kartilago kornikulata adalah dua nodulus kecil yang berartikulasi dengan apeks-
apeks kartilago aritenoid dan menjadi tempat melekat plika-plika ariepiglotika.
Kartilago kuneiformis merupakan dua tulang rawan kecil berbentuk batang yang
terletak sedemikian rupa sehingga masing-masing terdapat dalam satu plika ariepiglotika.
Berfungsi untuk menyokong plika tersebut.
Epiglotis merupakan tulang rawan yang tipis, fleksibel, berbentuk daun dan
fibroelastik. Petiola merupakan bagian inferior yang sempit melekat pada tulang rawan
tiroid tepat di atas komisura anterior. Dekat ujung bawah petiola terdapat penonjolan,
tuberkulum epiglotis, yang seringkali menutupi komisura anterior pada pemeriksaan
laring tidak langsung. Tulang rawan ditembus oleh beberapa foramen di bawah
perlekatan ligamen hioepiglotika. Bagian epiglotis ini membentuk dinding posterior
ruang praepiglotika yang merupakan daerah penting pada penyebaran karsinoma laring.
Tidak seperti perikondrium tulang rawan hialin, perikondrium epiglotis sangat melekat.
Oleh karena itu infeksi cenderung terlokalisasi jika mengenai epiglotis, sedangkan infeksi
akan menyebabkan destruksi luas tulang rawan hialin dimanapun, karena terlepasnya
perikondrium. Epiglotis dilekatkan pada os hioideum oleh ligamentum hioepiglotikum,
dan dilekatkan pada kartilago tiroid oleh ligamentum tiroepiglotikum.
Aditus laringis menghadap ke belakang dan atas, ke dalam laringofaring. Dibatasi di
depan oleh tepi atas epiglotis, di lateral oleh plika ariepiglotika yaitu lipat mukosa yang
menghubungkan epiglotis dengan kartilago aritenoid, posterior dan bawah oleh mukosa
antara kedua kartilago aritenoid. Kartilago kornikulata yang terletak di puncak kartilago
aritenoid dan rawan kecil berbentuk batang, kartilago kuneiformis, menyebabkan tepi
atas plika ariepiglotika sedikit meninggi.
Laring juga disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah superior, pada kedua sisi
laring terdapat membrana kuadrangularis yang meluas ke belakang dari tepi lateral
epiglotis hingga tepi lateral kartilago aritenoid. Dengan demikian, membrana ini
membagi dinding antara laring dan sinus piriformis, dan batas superiornya disebut plika
ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik penting lainnya adalah konus elastikus
(membrana krikovokalis). Jaringan ini jauh lebih kuat daripada membrana
kuadrangularis, dan meluas ke atas dan medial dari arkus kartilaginis krikoidea untuk
bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi. Jadi konus elastikus
terletak di bawah mukosa di bawah permukaan korda vokalis sejati.
Otot-otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok. Otot ekstrinsik yang terutama
bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara otot intrinsik menyebabkan gerakan
antara berbagai struktur-struktur laring sendiri. Otot ekstrinsik dapat digolongkan
berdasarkan fungsinya. Otot depresor atau otot-otot leher (omohioideus, sternohioideus,
sternotiroideus) berasal dari bagian inferior. Otot elevator (milohioideus, geniohioideus,
genioglosus, hioglosus, digastrikus dan stilohioideus) meluas dari os hioideum ke
mandibula, lidah dan prosesus stiloideus pada kranium. Otot tirohioideus walaupun
digolongkan sebagai otot-otot leher, terutama berfungsi sebagai elevator. Melekat pada os
hioideum dan ujung posterior alae kartilago tiroidea adalah konstriktor medius dan
inferior yang melingkari faring di sebelah posterior dan berfungsi pada saat menelan.
Serat-serat paling bawah dari otot konstriktor inferior berasal dari krikoid, membentuk
krikofaringeus yang kuat, yang berfungsi sebagai sfingter esofagus superior.
Anatomi otot-otot intrinsik laring paling baik dimengerti dengan mengaitkan
fungsinya. Serat-serat otot interaritenoideus (aritenoideus) transversus dan oblikus
meluas di antara kedua kartilago aritenoidea. Bila berkontraksi, kartilago aritenoidea akan
bergeser ke arah garis tengah, mengaduksi korda vokalis. Otot krikoaritenoideus posterior
meluas dari permukaan posterior lamina krikoidea untuk berinsersi ke dalam prosesus
muskularis aritenoidea, otot ini menyebabkan rotasi aritenoid ke arah luar dan
mengabduksi korda vokalis. Antagonis utama otot ini, yaitu otot krikoaritenoideus
lateralis berorigo pada arkus krikoidea lateralis, insersinya juga pada prosesus muskularis
dan menyebabkan rotasi aritenoid ke medial, menimbulkan aduksi. Yang membentuk
tonjolan korda vokalis adalah otot vokalis dan tiroaritenoideus yang hampir tidak dapat
dipisahkan, kedua otot ini ikut berperan dalam membentuk tegangan korda vokalis. Otot-
otot laring utama lainnya adalah pasangan otot krikotiroideus, yaitu otot yang berbentuk
kipas berasal dari arkus krikoidea di sebelah anterior dan berinsersi pada permukaan
lateral alae tiroid yang luas. Kontraksi otot ini menarik kartilago tiroidea ke depan,
meregang dan menegangkan korda vokalis. Kontraksi ini secara pasif juga memutar
aritenoid ke medial, sehingga otot krikotiroideus juga dianggap sebagai otot aduktor.
Maka secara ringkas dapat dikatakan terdapat satu otot abduktor, tiga aduktor, dan tiga
otot tensor.
Struktur laring dalam. Sebagian besar laring dilapisi oleh mukosa toraks bersilia
yang dikenal sebagai epitel respiratorius. Namun, bagian-bagian laring yang terpapar
aliran udara terbesar, misalnya permukaan lingua pada epiglotis, permukaan superior
plika ariepiglotika, dan permukaan superior serta tepi bebas korda vokalis sejati, dilapisi
epitel gepeng yang lebih keras. Kelenjar penghasil mukus banyak ditemukan dalam epitel
respiratorius.
Struktur pertama yang diamati pada pemeriksaan memakai kaca adalah epiglotis.
Tiga pita mukosa (satu plika glosoepiglotika mediana dan dua plika glosoepiglotika
lateralis) meluas dari epiglotis ke lidah. Di antara pita median dan setiap pita lateral
terdapat satu kantung kecil, yaitu valekula. Di bawah tepi bebas epiglotis, dapat terlihat
aritenoid sebagai dua gundukan kecil yang dihubungkan oleh otot interaritenoid tipis.
Perluasan dari masing-masing aritenoid ke anterolateralis menuju tepi lateral bebas dari
epiglotis adalah plika ariepiglotika, merupakan suatu membrana kuadrangularis yang
dilapisi mukosa. Di lateral plika ariepiglotika terdapat sinus atau resesus piriformis.
Struktur ini bila dilihat dari atas, merupakan suatu kantung berbentuk segitiga di mana
tidak memiliki dinding posterior. Dinding medialnya di bagian atas adalah kartilago
kuadrangularis dan di bagian bawah kartilago aritenoidea dengan otot-otot lateral yang
melekat padanya, dan dinding lateral adalah permukaan dalam alae tiroid. Di sebelah
posterior sinus piriformis berlanjut sebagai hipofaring. Sinus piriformis dan faring
bergabung ke bagian inferior, ke dalam introitus esofagi yang dikelilingi oleh otot
krikofaringeus yang kuat.
Gambar 2.4. Struktur dalam laring
Dalam laring sendiri, terdapat dua pasang pita horizontal yang berasal dari aritenoid
dan berinsersi ke dalam kartilago tiroidea bagian anterior. Pita superior adalah korda
vokalis palsu atau pita ventrikular, dan lateral terhadap korda vokalis sejati. Korda
vokalis palsu terletak tepat di inferior tepi bebas membrana kuadrangularis. Ujung korda
vokalis sejati (plika vokalis) adalah batas superior konus elastikus. Otot vokalis dan
tiroaritenoideus membentuk massa dari korda vokalis ini. Karena permukaan superior
korda vokalis adalah datar, maka mukosa akan memantulkan cahaya dan tampak
berwarna putih pada laringoskopi indirek. Korda vokalis palsu dan sejati dipisahkan oleh
ventrikulus laringis. Ujung anterior ventrikel meluas ke superior sebagai suatu
divertikulum kecil yang dikenal sebagai sakulus laringis, di mana terdapat sejumlah
kelenjar mukus yang diduga melumasi korda vokalis. Pembesaran sakulus secara klinis
dikenal sebagai laringokel.
2.3 Persarafan, Perdarahan dan Drainase Limfatik Laring
Dua pasangan saraf mengurus laring dengan persarafan sensorik dan motorik. Dua
saraf laringeus superior dan dua inferior atau laringeus rekurens, saraf laringeus
merupakan cabang-cabang saraf vagus. Saraf laringeus superior meninggalkan trunkus
vagalis tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke anterior dan medial di bawah
arteri karotis eksterna dan interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang sensorik
interna dan cabang motorik eksterna. Cabang interrna menembus membrana tirohioidea
untuk mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis, sinus piriformis, dan seluruh
mukosa laring superior interna tepi bebas korda vokalis sejati. Masing-masing cabang
eksterna merupakan suplai motorik untuk satu otot saja, yaitu otot krikotiroideus. Di
sebelah inferior, saraf rekuens berjalan naik dalam alur di antara trakea dan esofagus,
masuk ke dalam laring tepat di belakang artikulasio krikotiroideus, dan mengurus
persarafan motorik semua otot intrinsik laring kecuali krikotiroideus. Saraf rekurens juga
mengurus sensasi jaringan di bawah korda vokalis sejati (regio subglotis) dan trakea
superior. Karena perjalanan saraf inferior kiri yang lebih panjang serta hubungannya
dengan aorta, maka saraf ini lebih rentan cedera dibandingkan saraf yang kanan.
Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dan suplai sarafnya. Arteri dan
vena laringea superior merupakan cabang-cabang arteri dan vena tiroidea superior, dan
keduanya bergabung dengan cabang interna saraf laringeus superior untuk membentuk
pedikulus neurovaskuler superior. Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh
tiroidea inferior dan mask ke laring bersama saraf laringeus rekurens.
Pengetahuan mengenai drainase limfatik pada laring adalah penting pada terapi
kanker. Terdapat dua sistem drainase terpisah, superior dan inferior, dimana garis
pemisah adalah korda vokalis sejati. Korda vokalis sendiri mempunyai suplai limfatik
yang buruk. Di sebelah superior aliran limfe menyertai pedikulus neurovaskular superior
untuk bergabung dengan nodi limfatisi superiores dari rangkaian servikalis profunda
setinggi os hioideus. Drainase subgotis lebih beragam, yaitu ke nodi limfatisi pretrakeales
(satu kelenjar tepat di depan krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar getah bening
servikalis profunda inferior, nodi supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis
superior.
2.4 Fisiologi Laring
Walaupun biasanya laring dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu proteksi jalan napas, respirasi dan fonasi.
Kenyataannya secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu sfingter
yang melindungi saluran pernapasan, sementara perkembangan suara merupakan
peristiwa yang terjadi belakangan.
Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme
berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus
dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, disamping aduksi korda vokalis sejati
dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah
pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika
ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral,
menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi.
Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke
dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga terhambat
selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa
daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva.
Pada bayi, posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak antara epiglotis
dengan permukaan posterior palatum mole. Maka bayi-bayi dapat bernapas selama
laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan napas.
Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan
korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung sepeti juga ia
mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung dan paru. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli
terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam
aditus laringis, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas.
Tiap penyakit yang mempengaruhi kerja otot intrinsik dan ekstrinsik laring (paralisis
saraf, trauma, pembedahan), atau massa korda vokalis sejati (misalnya paralisis saraf,
trauma, pembedahan) akan mempengaruhi fungsi laring, akibatnya akan terjadi gangguan
menelan ataupun perubahan suara.
2.5 Obstruksi Saluran Pernapasan Atas Infeksius
Radang akut saluran pernapasan atas jauh lebih penting pada bayi dan anak kecil
dibandingkan pada anak yang lebih tua, karena jalan napas yang lebih kecil cenderung
menghadapkan anak kecil pada suatu keadaan penyempitan yang relatif lebih berat
daripada yang ditimbulkan oleh tingkat radang yang sama pada anak yang lebih tua.
Laring disusun dari empat kartilago (yaitu: tiroid, krikoid, aritenoid, epiglotis) dan
jaringan lunak yang menyatukannya. Kartilago krikoid melingkari jalan napas tepat di
bawah plika vokalis dan membatasi bagian saluran pernapasan atas anak yang paling
sempit.
Radang yang meliputi plika vokalis dan struktur sebelah inferior plika disebut
laringitis, laringotrakeitis, atau laringotrakeobronkitis, dan radang struktur sebelah
superior plika (yaitu: aritenoid, lipatan ariepiglotis [“plika palsu”], epiglotis) disebut
supraglotitis. Croup adalah istilah umum yang meliputi kelompok heterogen keadaan-
keadaan yang relatif akut (kebanyakan infeksi) yang ditandai dengan batuk keras dan
kasar yang khas atau “croupy”, yang tidak atau dapat disertai oleh stridor inspiratoir,
suara parau, dan tanda-tanda kegawatan pernapasan yang disebabkan oleh berbagai
tingkat obstruksi laring. Infeksi tersebut pada bayi dan anak kecil jarang terbatas pada
satu daerah saluran pernapasan; biasanya mengenai sampai beberapa tingkat laring,
trakea, dan bronkus. Bila ada keterlibatan laring yang cukup dapat menimbulkan gejala
klinis dari bagian laring mungkin mengaburkan tanda-tanda trakea atau bronkus.
2.5.1 Etiologi dan Epidemiologi
Agen virus menyebabkan obstruksi saluran pernapasan atas infeksius yang
paling akut kecuali yang terkait dengan difteria, trakeitis bakteri, dan epiglotitis akut.
Virus parainfluenza menyebabkan sekitar 75% kasus; adenovirus, virus sinsisial
respiratorik, influenza dan campak menyebabkan kasus virus sisanya. Pada sebuah
penelitian Mycoplama pneumonia ditemukan dari 3,6% penderita yang menderita
obstruksi saluran pernapasan akut. Walaupun Haemophilus influenzae tipe b
merupakan penyebab biasa epiglotitis akut, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumonia, dan Staphilococcus aureus kadang-kadang terlibat.
Gambar 2.5 Haemophilus influenzae
Dengan hampir lenyapnya infeksi yang disebabkan oleh H.influenzae tipe b
karena penggunaan vaksin HIB, kejadian epiglotitis telah menurun secara dramatis.
Karenanya agen lain telah mulai menyebabkan proporsi kasus epiglotitis yang lebih
besar. Epiglotitis virus adalah penyakit yang jarang tetapi lebih ringan. Kebanyakan
penderita yang menderita croup virus berumur antara 3 bulan dan 5 tahun, tetapi
penyekit yang disebabkan H.influenzae dan Corynebacterium diphteriae lebih lazim
ditemukan pada penderita yang berumur 3-7 tahun. Insidens croup lebih tinggi pada
orang laki-laki, dan penyakit ini terjadi paling lazim selama musim dingin setiap
tahunnya. Sekitar 15% penderita mempunyai riwayat keluarga croup yang kuat dan
laringitis cenderung kambuh pada anak yang sama.
2.5.2 Manifestasi Klinis
Sindrom croup mempunyai manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat. Yang termasuk sindrom croup antara lain; laringotrakeobronkitis,
epiglotitis, spasmodic croup, dan trakeitis bakteri.
2.5.2.1 Croup (Laringorakeobronkitis)
Croup, bentuk obstruksi saluran pernapasan akut yang paling lazim,
terutama disebabkan oleh virus. Tanda-tanda utama yang tampak adalah edema
radang, destruksi epitel bersilia, dan eksudat. Infeksi bakteri sekunder jarang
terjadi. Kebanyakan penderita menderita infeksi saluran pernapasan atas yang
progresif, dan terjadi serangkaian gejala-gejala dan tanda-tanda yang khas.
Mula-mula hanya ringan, batuk keras dan kasar dengan stridor inspiratoir yang
intermitten. Ketika obstruksi bertambah, stridor menjadi teus-menerus dan
disertai dengan penjelekan batuk, pelebaran lubang hidung dan retraksi
suprasternal, infrasternal, dan interkostal. Ketika radang meluas ke bronkus dan
bronkiolus, kesukaran pernapasan bertambah, dan fase ekspirasi pernapasan
juga menjadi berat dan lama. Terjadi berbagai tingkat keterlibatan saluran
pernapasan bawah. Suhu tubuh mungkin hanya sedikit naik. Gejala-gejala
secara khas memburuk pada malam hari; jarang mencapai 39-40ºC dan sering
kambuh dengan intensitas yang menurun selama beberapa hari. Biasanya anak
yang lebih tua sakitnya tidak serius. Anggota keluarga yang lain dapat
menderita penyakit pernapasan ringan. Lama sakit berkisar dari beberapa hari
kadang-kadang beberapa minggu; sering berulang sejak umur 3-6 tahun,
berkurang sejalan dengan pertumbuhan jalan napas. Pemburukan pada sebagian
besar penderita croup hanya sejauh stridor dan sedikit dispnea sebelum mereka
mulai menyembuh. Pada beberapa kasus ada obstruksi yang lebih jelek. Agitasi
dan menangis sangat memperburuk gejala dan tanda-tanda, dan anak lebih suka
duduk tegak di tempat tidur atau dipertahankan tegak.
Gambar 2.6. Croup
Mungkin ada pengurangan suara pernapasan bilateral, ronki, dan krepitasi
tersebar. Pada gangguan jalan napas lebih lanjut, terjadi kelaparan udara dan
kegelisahan, dan kemudian digantikan oleh hipoksemia berat hiperkapnea dan
kelemahan, disertai dengan pengurangan pertukaran udara dan stridor,
takikardia, dan akhirnya mati karena hipoventilasi. Pada anak hipoksemia yang
mungkin sianosis, pucat atau akut, setiap manipulasi faring, termasuk
penggunaan penekan lidah, dapat mengakibatkan henti kardiorespirasi.
Karenaya pemeriksaan ini harus ditunda, dan oksigen harus diberikan sampai
penderita dipindahkan ke tempat di rumah sakit dimana manajemen optimal
jalan napas dan syok dimungkinkan. Kadang-kadang pola
laringotrakeobronkitis berat mungkin sukar dibedakan dari epiglotitis, walaupun
biasanya epiglotis bermula lebih eksplosif dan perjalanan penyakitnya cepat; ia
juga memerlukan tindakan pencegahan yang sama. Pemeriksaan roentgenografi
nasofaring dan saluran pernapasan atas dapat membantu.
2.5.2.2 Epiglotitis Akut (Supraglotitis)
Epiglotitis adalah selulitis jaringan yang terdiri dari jalan masuk laring
yang meliputi epiglotis, lipatan ariepiglotis, dan kartilago aritenoid.
Penyebarannya hampir selalu H. Influenzae tipe b. Epiglotitis yang disebabkan
oleh patogen lain sangat jarang. Invasi langsung yang terlibat oleh H. Influenzae
tipe b mungkin merupakan pencetus kejadian patofisiologis. Keadaan dramatis
yang berkemungkinan mematikan ini biasanya terjadi pada anak umur 2-7
tahun; puncak insidens terjadi pada sekitar 3,5 tahun.
Gambar 2.7. Haemophilus influenzae tipe B
Penyakit ini amat sangat jarang dijumpai karena luasnya penggunaan
imunisasi terhadap H. Influenzae tipe b. Epiglotitis ditandai dengan perjalanan
demam tinggi yang mendadak dan berat, nyeri tenggorokan, dispnea, obstruksi
pernapasan yang progresivitasnya cepat, dan tidak berdaya, walaupun
kegawatan pernapasan seringkali merupakan manifestasi pertama. Dalam
beberapa jam, penyakit ini dapat memburuk menjadi obstruksi jalan napas total
dan kematian, kecuali bila diberikan pengobatan yang adekuat. Dengan
pengobatan yang adekuat, penyakit jarang berakhir lebih dari 2-3 hari.
Seringkali anak terutama penderita yang lebih muda, tampak baik pada waktu
sebelum tidur tetapi kemudian terbangun pada malam hari dengan demam
tinggi, afonia, lidah terjulur, dan kegawatan pernapasan sedang atau berat
dengan stridor. Biasanya tidak ada anggota keluarga lain yang sedang menderita
penyakit saluran pernapasan atas akut. Anak yang lebih tua pada mulanya sering
mengeluh nyeri tenggorokan dan disfagia. Kegawatan pernapasan berat dapat
terjadi dalam menit-menit atau jam-jam mulainya penyakit, dengan stridor
inspiratoir, suara parau, batuk kasar dan kuat (kurang lazim), iritabilitas dan
gelisah. Ludah yang mengalir ke luar dan disfagia lazim. Leher mungkin
hiperekstensi walaupun tanda-tanda lain iritasi meningeal tidak ada. Anak yang
lebih tua mungkin lebih menyukai posisi duduk, membungkuk ke depan,
dengan mulut terbuka dan lidah agak terjulur. Beberapa anak dapat menjelek
dengan cepat sampai keadaan seperti syok, yang ditandai dengan kepucatan,
sianosis, dan gangguan kesadaran.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan kegawatan pernapasan sedang atau
berat dengan stridor inspiratoir dan kadang-kadang stridor ekspiratoir, pelebaran
cuping hidung, dan retraksi fossa suprasternal inspiratoir, sela supraklavikuler
dan antar iga, serta daerah subkostal. Faring dapat meradang dan mungkin ada
mukus dan saliva yang berlebihan yang dapat juga mengakibatkan ronki. Pada
penjelekan, stridor dan suara pernapasan dapat mengurang karena penderita
lelah. Periode singkat kelaparan udara dengan kegelisahan dan agitasi dapat
disertai dengan peningkatan sianosis yang cepat, koma, dan kematian. Alternatif
lainnya, anak mungkin hanya menderita suara parau ringan dan epiglotis besar,
mengkilap, warna merah cheri tampak pada pemeriksaan ketika bagian posterior
lidah ditekan.
Diagnosis memerlukan penampakan epiglotis yang besar, membengkak,
merah cheri, dengan pemeriksaan atau laringoskopi langsung. Kadang-kadang
sruktur supraglotis yang lain terutama lipatan ariepiglotis dapat lebih dilibatkan
daripada epiglotisnya sendiri. Beberapa penderita dapat mengalami refleks
laringospasme dan obstruksi total akut, aspirasi sekresi, dan henti
kardiorespirasi selama atau segera sesudah pemeriksaan faring dengan
menggunakan spatel lidah. Anak yang dicurigai epiglotitis tidak boleh
ditempatkan pada posisi terlentang karena risiko bertambahnya agitasi dan
perubahan akibat gravitasi terhadap posisi epiglotis menambah obstruksi jalan
napas. Sampel gas darah arteri tidak boleh diambil sebelum diagnosis pasti dan
membuat saluran pernapasan buatan. Jika diagnosis dimungkinkan atas dasar
klinis, persiapan harus segera dibuat untuk melakukan pemeriksaan dan
pengendalian jalan napas, seringkali dalam kamar operasi, oleh dokter yang
terampil dalam intubasi endotrakea atau trakeostomi.
2.5.2.3 Laringitis Spasmodik Akut (Croup Spasmodik)
Croup spasmodik terjadi paling sering pada anak umur 1-3 tahun dan
secara klinis sama dengan laringotrakeobronkitis, kecuali bahwa tanda-tanda
infeksi pada penderita dan keluarganya seringkali tidak ada. Pada beberapa
kasus penyebabnya adalah virus, tetapi faktor-faktor alergi dan psikologi
penting pada kasus-kasus yang lain. Refluks gastroesofagus dapat berperan
penting dalam memicu croup spasmodik, dan anak dengan sindrom ini patut
mendapatkan pemeriksaan laringoskopi yang cermat. Dokumentasi endoskopi
laringitis posterior (yaitu edema atau radang kartilago aritenoid) memberi kesan
refluks. Peluang untuk melakukan pemeriksaan patologi jarang ada; tanda-tanda
primer tampak pada pemeliharaan epitel (tidak seperti infeksi akut
laringotrakeobronkitis) dan pucat, edema berair. Pada beberapa kasus ada
predisposisi familial terhadap sindrom ini.
Terjadi paling sering pada sore atau malam hari, croup spasmodik
bermula dengan awitan mendadak yang dapat didahului oleh selesma dan serak
yang ringan sampai sedang. Anak terbangun dengan batuk yang khas, batuk
metalik, inspirasi berisik, dan kegawatan pernapasan serta cemas dan ketakutan.
Pernapasan lambat dan berat, nadi dipercepat, dan kulit dingin serta lembab.
Penderita biasanya tidak demam. Dispnea diperjelek oleh kegembiraan; episode
sianosis intermiten jarang dijumpai. Biasanya keparahan gejala-gejala
berkurang dalam beberapa jam, dan hari berikutnya penderita sering tampak
baik kecuali untuk serak ringan dan batuk. Demikian pula, serangan tanpa
kegawatan pernapasan yang berat pada selang satu atau dua malam, tetapi
biasanya tidak begitu berat, dan akhirnya berakhir dengan penyembuhan total.
Episode demikian sering berulang beberapa kali.
2.5.2.4 Trakeitis Bakteri
Disebut juga sebagai membranous laryngotracheobronchitis, menyerang
anak-anak mulai dari usia beberapa minggu sampai awal usia remaja.
Patogenesis dipikirkan untuk menunjukkan suprainfeksi bakteri dari trakeitis
yang disebabkan oleh virus. Trakeitis bakteri sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas beberapa hari sebelumnya. Trakeitis bakteri tidak
melibatkan epiglotis, tetapi seperti epiglotitis dan croup, mampu menyebabkan
obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa. S.aureus adalah patogen yang
paling lazim diisolasi. Virus parainfluenza tipe 1, Moraxell catarrhalis, dan
H.influenzae telah terlibat dalam infeksi ini.
Khasnya pada anak, timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai bagian
dari laringotrakeobronkitis. Demam tinggi dan “toksisitas” dengan kegawatan
pernapasan dapat terjadi segera atau sesudah beberapa hari dari perbaikan yang
tampak. Pengobatan yang biasa digunakan pada croup tidak efektif. Intubasi
atau trakeostomi biasanya diperlukan. Patologi utama yang tampak adalah
pembengkakan mukosa pada setinggi kartilago krikoid, yang dikomplikasi oleh
sekret purulen, kental banyak sekali.
Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit saluran pernapasan atas
bakteri, yang meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk batang,
demam tinggi dan sekret jalan napas purulen dan tidak ada tanda-tanda klasik
epiglotitis.
Terapi antimikroba yang tepat, yang biasanya meliputi agen
antistafilokokus, harus diberikan pada setiap penderita dengan croup yang
perjalanannya memberi kesan trakeitis bakteri sekunder. Bila didiagnosis
trakeitis bakteri, jalan napas buatan biasanya terindikasi dan penambahan
oksigen mungkin diperlukan.
Komplikasi penyempitan subglotis dan kolom udara trakea yang terobek-
robek kasar seringkali diperlihatkan secara roentgenografi. Jika manajemen
saluran napas tidak optimal, dapat terjadi henti kardiorespirasi.
Prognosis untuk kebanyakan penderita sangat baik, jika penilaian dan
tindakan gawat darurat cepat dilakukan. Dengan berkurangnya edema mukosa
dan sekresi purulen, ekstubasi dapat diselesaikan dengan aman, dan penderita
dapat diamati secara cermat sementara terapi antibiotik dan oksigen diteruskan.
2.5.3 Diagnosis Banding
Empat sindrom ini harus dibedakan satu sama lain dan dari berbagai wujud lain
yang dapat menimbulkan obstruksi saluran pernapasan atas. Trakeitis bakteri adalah
pertimbangan diagnosis banding yang paling penting. Croup difteritis biasanya
didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas selama beberapa hari. Gejala biasanya
berkembang lambat, walaupun obstruksi saluran pernapasan dapat terjadi mendadak;
cairan hidung serosa atau serosanguinosa dapat terjadi. Pemeriksaan faring
menunjukkan membran abu-abu putih yang khas. Croup campak hampir selalu
terdapat bersamaan dengan manifestasi penyakit sistemik penuh dan perjalanannya
dapat fulminan.
Obstruksi pernapasan yang mulainya mendadak dapat disebabkan oleh aspirasi
benda asing. Anak biasanya umur 6 bulan sampai 2 tahun. Rasa tercekik dan batuk
tejadi secara mendadak, biasanya tanpa tanda-tanda prodormal infeksi, walaupun
anak dengan infeksi virus dapat juga mengaspirasi benda asing. Abses retrofaring
atau peritonsiler dapat menyerupai obstruksi pernapasan. Pemeriksaan roentgenografi
saluran pernapasan atas dan dada sangat penting dalam mengevaluasi kemungkinan
ini dan kemungkinan penyebab kompresi ekstrinsik jalan napas, seperti hematoma
akibat trauma dan obstruksi intralumen karena massa (misalnya, kista, tumor).
Obstruksi saluran pernapasan atas kadang-kadang disertai dengan angioedema
daerah subglotis sebagai bagian dari anafilaksis dan reaksi alergi menyeluruh, edema
pasca intubasi endotrakea untuk anestesi umum atau kegagalan pernapasan, tetanik
hipokalsemik, mononukleosis infeksiosa, trauma dan tumor atau malformasi laring.
Batuk croupy dapat merupakan tanda awal asma. Stridor psikogenik juga dapat
terjadi. Epiglotitis dengan manifestasi khas lidah terjulur dan atau disfagia dan stridor
juga dapat diakibatkan karena secara tidak sengaja menelan cairan panas.
2.5.4 Komplikasi
Komplikasi terjadi pada sekitar 15% penderita dengan croup virus. Yang paling
sering adalah perluasan proses infeksi yang melibatkan daerah saluran pernapasan
lainnya, seperti telinga tengah, bronkiolus terminal, atau parenkim paru. Trakeitis
bakteri mungkin merupakan komplikasi croup virus bukannya penyakit tersendiri.
Pneumonia interstitial dapat terjadi, tetapi sukar untuk membedakan pada
rontgenogram dari daerah bercak atelektasis akibat obstruksi. Bronkopneumonia tidak
lazim kecuali jika ada aspirasi isi lambung yang telah terjadi selama masa kegawatan
pernapasan berat. Walaupun pneumonia bakteri sekunder tidak lazim, trakeobronkitis
supuratif merupakan komplikasi tambahan pada laringotrakeobronkitis. Pneumonia,
limfadenitis servikal, otitis atau kadang-kadang meningitis atau atritis septik dapat
terjadi selama perjalanan epiglotitis. Empisema mediastinum dan pneumotoraks
merupakan komplikasi trakeotomi yang paling lazim.
2.5.5 Prognosis
Pada umumnya lama rawat inap di rumah sakit dan tingkat mortalitas untuk
kasus obstruksi saluran pernapasan atas infeksius akut bertambah ketika infeksi
meluas dan melibatkan bagian saluran pernapasan yang lebih besar, kecuali pada
epiglotitis, di mana infeksi setempat sendiri terbukti mematikan. Sebagian besar kasus
kematian karena croup disebabkan oleh obstruksi laring atau oleh komplikasi
trakeotomi. Epiglotitis yang tidak diobati mempunyai angka mortalitas 6% pada
beberapa seri, tetapi jika diagnosis dibuat dan pengobatan yang tepat dimulai sebelum
penderita hampir mati, maka prognosisnya sangat baik. Hasil akhir
laringotrakeobronkitis akut, laringitis dan croup spasmodik juga sangat baik. Sebagai
suatu kelompok, anak-anak yang perlu dirawat inap di rumah sakit untuk croup
agaknya mempunyai kenaikan reaktivitas bronkus dibandingkan dengan anak normal
bila diuji beberapa tahun kemudian. Perbedaannya kecil, dan fungsi pentingnya tidak
jelas.
2.5.6 Pengobatan
Terapi untuk croup infeksius terutama adalah rumatan atau penyediaan
pertukaran pernapasan yang adekuat dan sebagian tergantung pada lokasi primer
penyakit dan penyebabnya, Pada bentuk infeksi bakteri, terapi antibiotik juga penting.
Sebagian anak afebris dengan croup spasmodik akut atau penderita demam
dengan laringotrakeobronkitis ringan biasanya dapat secara aman dan efektif
ditatalaksana di rumah. Pengobatan terhadap refluks gastroesofagus, yang menjadi
dasar penyakit dan yang tidak sering dicurigai, dapat mencegah croup spasmodik
pada anak yang diketahui rentan terhadapnya.
Anak dengan croup harus dirawat inap bilal dijumpai salah satu gejala dari
yang berikut ini: dicurigai ada epiglotitis atau telah menderita epiglotitis yang
sebenarnya, stridor progresif, stridor berat pada saat istirahat, kegawatan pernapasan,
hipoksemia, gelisah, sianosis, pucat, depresi sensorium atau demam tinggi pada anak
yang tampak toksik. Pada semua kasus keputusan utuk rawat inap dibuat karena perlu
untuk observasi yang terpercaya dan trakeotomi yang relatif aman atau yang lebih
sering, intubasi nasotrakea, jika salah satu tindakan ini diperlukan. Penderita croup
harus diamati dengan cermat untuk penguatan gejala obstruksi pernapasan. Anak
yang dirawat inap di rumah sakit biasanya ditempatkan pada atmosfer dengan
kelembaban yang sejuk untuk mengurangi iritasi dan pengeringan sekresi dan
mungkin mengurangi edema. Pemantauan frekuensi pernapasan yang terus-menerus
sangat penting, karena peningkatan takipnea mungkin merupakan tanda awal dari
hipoksemia dan sedang mendekati obstruksi pernapasan total. Pada kasus kegawatan
pernapasan sedang atau berat, cairan parenteral harus diberikan untuk mengganti
kehilangan cairan tubuh. Sedatif merupakan kontraindikasi karena kegelisahan
digunakan sebagai salah satu indeks klinis keparahan utama dari obstruksi dan
diperlukan trakeotomi. Opiat merupakan kontraindikasi utama karena dapat menekan
pernapasan dan mengeringkan sekresi. Oksigen digunakan untuk mengurangi
hipoksemia, tetapi dengan pengamatan ketat.
Laringotrakeobronkitis dan croup spasmodik tidak berespons terhadap
antibiotik, dan antibiotik tidak terindikasi untuk mencegah suprainfeksi. Epinefrin
rasemik dengan aerosol (larutan 2,25% diencerkan 1:8 dengan air dalam dosis 2-4 mL
selama 15 menit) sering mengurangi gejala sementara. Epinefrin rasemik tidak
menyebabkan penjelekan rebound obstruksi. Namun, jika aerosol diberikan selama
fase penjelekan riwayat alamiah penyakit anak, obstruksi dapat menjadi lebih jelek
sesudah pengaruhnya berkurang. Jika aerosol diberikan pada puncak obstruksi, anak
akan menjadi lebih baik sesudah pengaruh aerosol berhenti.
Penggunaan kortikosteroid mungkin terindikasi pada anak yang dirawat inap
dengan croup, yaitu untuk mengurangi edema radang dan mencegah destruksi epitel
bersilia. Tidak ada bukti kuat yang memberi kesan adanya pengaruh merugikan dari
pengobatan kortikosteroid. Pada anak yang amat sakit, di unit perawatan intensif,
pernapasan campuran helium-oksigen, yang densitasnya lebih rendah dan hasilnya
memperbaiki turbulensi aliran udara, dapat mengurangi kerja penapasan.
Epiglotitis merupakan keadaan gawat darurat medis. Penyakit ini harus
ditangani segera dengan jalan napas buatan yang ditempatkan pada keadaan-keadaan
yang terkontrol, biasanya dalam kamar operasi. Semua penderita harus mendapatkan
oksigen pada perjalanan ke kamar operasi kecuali bila oksigen menjadi
terkontraindikasi karena bertambahnya agitasi yang disebabkan oleh masker.
Epinefrin rasemik dan kortikosteroid tidak efektif; obat-obat ini tidak mengubah
perlunya jalan napas buatan dan dapat menunda pengobatan definitif hingga
keadaannya menjadi berbahaya. Biakan darah, permukaan epiglotis, pada kasus
tertentu cairan serebrospinal, harus dikumpulkan pada saat stabilisasi jalan napas.
Seftriakson atau sefotaksim atau kombinasi ampisilin dan sulbaktam harus diberikan
secara parenteral sementara menunggu laporan biakan dan kerentanan karena
semakin bertambahnya kemungkinan strain H.influenzae tipe b yang resisten
ampisilin. Sesudah pemasangan jalan napas buatan, kegawatan pernapasan dan
sianosis akan hilang, dan gas darah menjadi normal atau mendekati normal.
Epiglotitis sembuh sesudah beberapa hari pemberian antibiotik, dan penderita dapat
dilepaskan dari trakeotomi atau pipa nasotrakea; antibiotik harus dilanjutkan selama
7-10 hari.
Trakeostomi dan intubasi endotrakea. Dengan pemasukan intubasi nasotrakea
atau trakeotomi epiglotis rutin, angka mortalitas telah turun sampai hampir nol.
Kedua posedur harus selalu dilakukan pada kamar operasi jika waktu memungkinkan;
intubasi dan anestesi umum yag dilakukan sebelumnya akan memudahkan tindakan
trakeotomi tanpa komplikasi.
Intubasi endotrakea atau trakeostomi diperlukan untuk semua penderita
epiglotitis, tetapi untuk penderita laringotrakeobronkitis, croup spasmodik atau
laringitis, tindakan ini hanya diperlukan untuk individu yang terdapat tanda-tanda
kegagalan pernapasan akibat obstruksi walaupun pengobatannya memadai. Beberapa
bentuk laringotrakeobronkitis yang memerlukan trakeostomi pada sebagian besar
penderita telah dilaporkan selama epidemi campak dan virus influenza A berat.
Penilaian terhadap perlunya prosedur ini memerlukan pengalaman dan pertimbangan,
karena prosedur ini harus ditunda sampai sianosis dan kegelisahan berat telah
berkembang; frekuensi nadi di atas 150x/menit dan semakin naik, serta PCO2 naik,
terutama pada anak yang sedang lelah, merupakan petunjuk bahwa kegagalan
pernapasan akan segera terjadi.
Pipa endotrakea atau trakeostomi harus tetap terpasang di tempatnya sampai
edema dan spasme telah berkurang dan penderita mampu menangani sekresi secara
memuaskan. Penyembuhan radang epiglotis yang adekuat, yang secara tepat
diperkuat dengan laringoskopi seratopik, memungkinkan pelepasan pipa (ekstubasi)
yang jauh lebih cepat, seringkali dalam 24 jam. Ada beberapa bukti bahwa
hidrokortison (50-100 mg/24 jam) atau deksametason (0,25-0,5 mg/kgbb/dosis setiap
6 jam sesudah makan prn) dan epinefrin rasemik mungkin berguna untuk
memudahkan ekstubasi atau untuk menangani croup akibat ekstubasi.
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom croup (laringitis) adalah berbagai penyakit yang ditandai dengan gejala
akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor
inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres pernapasan. Yang
termasuk sindrom croup antara lain: laringitis virus (laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, croup) atau laringotrakeobronkitis, epiglotitis (supraglotitis),
spasmodic croup, dan trakeitis bakteri.
Laringotrakeobronkitis adalah infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh
virus dengan gejala atau tanda stridor, batuk menggonggong, suara parau disertai
demam akibat peradangan hanya pada laring saja, laring dan trakea, atau laring,
trakea, bronki. Penyebab utamanya adalah Parainfluenza virus tipe 1. Biasanya
terjadi pada anak 0-5 tahun (tersering 2-5 tahun), biasanya didahului batuk, pilek dan
demam. Pemeriksaan fisik didapatkan dispnea, pernapasan cuping hidung, retraksi
suprasternal dan interkostal sampai timbul air hunger, perubahan tingkat kesadaran,
dan sianosis. Pada laringoskopi didapatkan mukosa laring berwarna merah dengan
pembengkakan subglotis. Penyulitnya adalah gagal napas. Terapi dapat berupa obat-
obatan antara lain epinefrin rasemik, O2 lembab bila sesak, kortikosteroid, dan
trakeostomi jika obstruksi saluran napas berat.
Epiglotitis disebabkan karena peradangan dan edema pada daerah supraglotis
laring. Penyebabnya paling sering yaitu Haemophilus influenzae tipe B. Paling sering
pada anak 2-6 tahun. Awitan gejala klinis terjadi tiba-tiba dengan demam tinggi, sakit
tenggorokan, nyeri menelan, batuk, air liur menetes, cepat menjadi progresif hingga
timbul distres pernapasan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam, tanda distres
pernapasan, pada laringoskopi epiglotis tampak merah dan edema pada plika
ariepiglotika. Penyulitnya antara lain; edema paru, gagal napas, pneumonitis,
pneumotoraks dan emfisema akibat trakeostomi. Terapinya yaitu perawatan di ruang
intensif, ventilasi, O2 lembab, trakeostomi atau intubasi endotrakeal, dan antibiotik.
Spasmodic croup ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada malam hari
menunjukkan stridor, batuk menggonggong, suara parau akibat edema subglotis.
Penyebabnya belum jelas, mungkin berhubungan dengan reaksi alergi terhadap
antigen virus. Sering terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Umumnya tanpa riwayat
demam. Pada laringoskopi, mukosa laring tampak pucat. Penyulit terjadi jika
penyumbatan saluran pernapasan berat. Terapi dengan obat-obatan, yaitu O2 lembab,
epinefrin rasemik, kortikostroid. Pasien jarang dirawat inap, biasanya sembuh
spontan.
Trakeitis bakteri merupakan keadaan yang juga mengancam jiwa seperti
epiglotitis. Penyebab terbanyak adalah Staphylococcus aureus. Biasanya menyerang
anak kurang dari 3 tahun. Batuk menggonggong, stridor inspirasi, dan demam tinggi
diawali dengan infeksi saluran napas akut atau laringotrakeobronkitis. Pada
pemeriksan fisik didapatkan demam tinggi dan tampak toksik, sekret kental di trakea.
Penyulitnya adalah gagal napas. Terapi berupa trakeostomi atas indikasi, perawatan di
ruang intensif, O2 lembab, tracheal toilet berulang-ulang, dan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
John J. Ballenger. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13.
Jakarta Barat: Binarupa Aksara, 1994; 417-34, 512-7.
Richard S. Snell. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:
EGC, 1997; 156-60.
Adams, Boies, Higler. BOIES Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997; 370-6, 383-5.
Terence M. Davidson. Manual of Otolaryngology Head and Neck Surgery. Orlando,
Florida: Gnene & Stratton Inc., 1984; 80-2.
Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta:
EGC, 2000; 1472-77.
Byron J. Bailey and Jonas T. Johnson. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2006; 1108-10.
Herry Garna, Heda Melinda. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi 3. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD RSU Dr. Hasan Sadikin, 2005;
388-95.